Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Dosen : Annisa Farida Muti, M.Sc., Apt.


Putu Rika Veryanti, M. Farm Klin., Apt.
Sister Sianturi, M. Si.
Theodora Cristy M, M. Farm., Apt.

Disusun Oleh :
Maria Venansia Rensiana 16330130
Kelas D

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2018/2019

1
DAFTAR ISI

Cover...................................................................................................................1
Daftar Isi..............................................................................................................2
Kata Pengantar.....................................................................................................3
Pertemuan 1..........................................................................................................4
Bab I Pendahuluan...............................................................................................5
Bab II Tinjauan Pustaka.......................................................................................5
Bab III Metodologi Praktikum.............................................................................6
Bab IV Hasil dan Pembahasan.............................................................................9
Bab V Penutup.....................................................................................................10
Pertemuan 2..........................................................................................................11
Bab I Pendahuluan................................................................................................12
Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................................12
Bab III Metodologi Praktikum..............................................................................14
Bab IV Hasil dan Pembahasan..............................................................................19
Bab V Penutup......................................................................................................21
Pertemuan 3...........................................................................................................22
Bab I Pendahuluan................................................................................................23
Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................................23
Bab III Metodologi Praktikum..............................................................................24
Bab IV Hasil dan Pembahasan..............................................................................29
Bab V Penutup......................................................................................................31
Pertemuan 4..........................................................................................................32
Bab I Pendahuluan................................................................................................33
Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................................33
Bab III Metodologi Praktikum..............................................................................34
Bab IV Hasil dan Pembahasan..............................................................................39
Bab V Penutup......................................................................................................41
Pertemuan 5...........................................................................................................42
Bab I Pendahuluan.................................................................................................43
Bab II Tinjauan Pustaka.........................................................................................43
Bab III Metodologi Praktikum...............................................................................45
Bab IV Hasil dan Pembahasan...............................................................................48
Bab V Penutup.......................................................................................................49
Daftar Pustaka........................................................................................................50

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan proses pembuatan laporan ini.
Laporan ini dibuat bertujuan untuk memenuhi syarat UAS Praktikum Farmakologi.
Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan laporan praktikum ini.
Demikian laporan Praktikum Farmakologi yang telah saya buat. Semoga
laporan Praktikum Farmakologi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Juga
bermanfaat bagi saya selaku penyusun.

Jakarta, 03 Agustus 2018

Penyusun

3
PERTEMUAN 1
EFEK OBAT SISTEM SARAF OTONOM
(PENGARUH OBAT KLOINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK
TERHADAP SALIVA DAN MATA)

4
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Judul Percobaan

Efek Obat Siatem Saraf Otonom (Pengaruh Obat Kolinergik dan


Antikolinergik Terhadap Saliva dan Mata)

1.2. Tujuan Percobaan

1. Mengahayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetatif tubuh.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik atau antikolinergik
pada neuroefektor parasimpatis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum


Kelompok saraf eferen dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem saraf
somatis yang kerjanya dipengaruhi kontrol kesadaran dan sistem saraf otonom yang
kerjanya tanpa dipengaruhi kontrol kesadaran. Pada sistem saraf otonom,
neurotransmitter kolinergik dan neurotransmitter adrenergik memegang peranan utama
sebagai sinyal kimia spesifik. Saraf otonom yang mensintesis dan melepaskan
asetilkolin sebagai neurotransmitter neuron disebut kolinergik. Sedangakan saraf
otonom yang mensintesis dan melepaskan adrenalin/epinefrin sebagai neurotransmitter
disebut neuron adrenergik.
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Secara anatomi susunan saraf
otonom terdiri atas praganglion, ganglion dan pascaganglion yang mempersarafi sel
efektor. Serat eferen persarafan otonom terbagi atas sistem persarafan simpatis dan
parasimpatis. Berdasarkan macam saraf otonom tersebut, maka obat otonomik
digolongkan menjadi :
Saraf Parasimpatis
• Parasimpatomimetik atau Kolinergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf
parasimpatis.
• Parasimpatolitik atau Antagonis Kolinergik
Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis. Saraf Simpatis
• Simpatomimetik atau Adrenegik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf
simpatis.
• Simpatolitik atau Antagonis Adrenegik Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas
susunan saraf simpatis.
Obat Ganglion

5
Merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion, baik pada saraf
parasimpatis maupun pada saraf simpatis.
Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral/transmitor dengan cara
menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat
pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu :
1. Hambatan pada sintesis atau pelepasan transmitter
2. Menyebabkan pelepasan transmitter
3. Ikatan dengan reseptor
4. Hambatan destruksi transmitter
Pupil merupakan organ yang yang baik dalam menunjukan efek lokal dari
suatu obat, karena obat yang diteteskan dalam saccus conjunctivalis dapat memeberi
efek setempat yang nyata tanpa menunjukan efek sistemik.
Pilokarpin merupakan obat kolinergik/parasimpatikomimetika, yaitu adalah
sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi susunan
parasimpatis (SP), karena melepaskan Asetilkolin di ujung-ujung neuron, dimana tugas
utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya,
singkatnya asimilasi. Efek sistemiknya dapat menyebabkan efek nikotinik terutama
menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat, air mata dan ludah. Efek lokal:
Kegunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi
otot siliaris.Pada mata akan terjadi spasmo akomodasi, dan penglihatan akan terpaku
pada jarak tertentu sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.
Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi.
Kerja obat ini secara umum berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam
mata maka kerjanya akan berhari-hari. Atropin menyekat semua aktivitas kolinergik
pada mata sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil), mata menjadi bereaksi
terhadap cahaya dan sikloplegia (ketidakmapuan memfokus untuk penglihatan dekat).
Pada pasien dengan glaucoma , tekanan intraokular akan meninggi dan membahayakan.

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Fenobarbital 100 mg/70 kgBB manusia scara IV
- Pilokarpin HCL 5 mg/kgBB kelinci secara IM
- Atropin 𝑆𝑂4 0,25 mg/kgBB kelinci secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, beaker glass,
gelas ukur.

6
3.2. Perhitungan Dosis
Pilokarpin HCL :
1,45 kg × 5 mg = 7,25 mg
7,25 𝑚𝑔
× 100 ml = 0,3625 ml = 0,4 ml
2000 𝑚𝑔

3.3. Prosedur Kerja


1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva
1. Siapkan kelinci.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.
3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100 mg/70 kgBB manusia scara IV.
4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCL 5 mg/kgBB kelinci secara IM.
5. Catat waktu muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCL dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama 5 menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
6. Setelah 5 menit, suntikkan atropin 𝑆𝑂4 0,25 mg/kgBB kelinci secara IV.
7. Catat waktu muncul efek salivasi akibat atropin 𝑆𝑂4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama 5 menit. Ukur volume saliva yang
ditampung.
Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi
Efek Obat Sistem Kelinci Pilokarpin HCL Volume saliva 2,1 ml
Saraf Otonom yang ditampung
pada kelenjar selama 5 menit
Saliva (ml)
Atropin 𝑆𝑂4 Volume saliva
yang ditampung
selama 5 menit
(ml)

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata


1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.
2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram
dan pada penyinaran dengan senter.

7
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : tetes mata fisostigmin salisilat sebanyak 3 tetes
b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HCL sebanyak 3 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.
5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6. Uji refleks mata.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropin 𝑆𝑂4.
8. Amati, ukur dan catat diameter pupil stelah pemberian obat.
9. Ctat dan tabelkan pengamatan.
10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCL 0,9 % pada kedua
mata kelinci.
Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata
Efek Obat Sistem Saraf Mata Kanan Kelinci Cahaya suram (cm) 0,4
Otonom pada Mata Cahaya senter (cm) 0,3
Setelah pemberian 0,6
fisostigmin (cm)
Respon refleks mata Sering berkedip
Setelah pemberian atropin 0,5
𝑆𝑂4. (cm)
Mata Kiri Kelinci Cahaya suram (cm) 0,5
Cahaya senter (cm) 0,4
Setelah pemberian 0,6
pilokarpin HCL (cm)
Respon refleks mata Tidak ada
Setelah pemberian atropin 0,5
𝑆𝑂4. (cm)

8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Praktikum kali ini dilakukan uji efek obat sistem saraf otonom, pengaruh obat
kolinergik dan antikolinergik terhadap saliva dan mata. Tujuan dari praktikum kali ini
antara lain: mengahayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom
dalam pengendalian fungsi vegetatif tubuh dan mengenal teknik untuk mengevaluasi
aktivitas obat kolinergik atau antikolinergik pada neuroefektor parasimpatis.
Sistem saraf otonom yang kerjanya tanpa dipengaruhi kontrol kesadaran. Pada
sistem saraf otonom, neurotransmitter kolinergik dan neurotransmitter adrenergik
memegang peranan utama sebagai sinyal kimia spesifik. Sraf otonom yang mensintesis
dan melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter neuron disebut kolinergik.
Sedangkan saraf otonom yang mensintetis dan melepaskan adrenalin/epinefrin sebagai
neurotransmitter disebut neuron adrenergik.
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Serat eferen persarafan otonom
terbagi atas sistem persarafan simpatis dan parasimpatis.
Pada uji pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik terhadap saliva dilakukan
pada kelinci dengan bobot tubuh 1,45 kg. Kelinci tidak disedasikan pada praktikum ini.
Kelinci langsung disuntikkan pilokarpin HCL 5 mg/kgBB kelinci secara IM. Lalu, saat
diamati waktu muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCL pada 15:14. Saliva yang
dikekskresikan kelinci lalu ditampung ke dalam beaker glass selama 5 menit lebih. Efek
salivasi ini disebabkan karena efek sistemik pilokarpin yang dapat menyebabkan efek
nikotinik terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar ludah/saliva kelinci.
Dari efek salivasi ini diperoleh volume saliva yang ditampung selama 5 menit adalah
sebanyak 2,1 ml.
Pada uji pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik mata dilakukan pada
kelinci dengan bobot tubuh 1,45 kg. Sebelum dilakukan pemberian obat, diameter pupil
kelinci diamati dan diukur. Pada cahaya suram mata kiri kelinci diameter pupil
berukuran 0,5 cm. Diameter pupil kelinci mata kiri pada penyinaran dengan senter
berukuran 0,4 cm. Setelah diamati, mata kiri kelinci diteteskan pilokarpin HCL
sebanyak 3 tetes. Lalu, kelopak mata kiri kelinci ditutup selama 1 menit. Diameter pupil
kiri kelinci diamati dan diukur setelah pemberian obat berukuran 0,6 cm. Tidak
terjadi/ada respon refleks pada mata kiri kelinci. Pada uji dengan pilokarpin ini terjadi
kesalahan karena obat tidak diteteskan pada kantong konjungtiva mata kelinci, sehingga
yang terjadi adalah pupil mata kelinci mengalami dilatasi. Seharusnya efek pilokarpin
menyebabkan konstriksi pupil. Setelah pemberian atropin, pupil mata kelinci
mengalami konstriksi dengan ukuran 0,5 cm. Terjadi kesalahan dalam pemberian
atropin yang tidak pada kantong konjungtiva mata kelinci sehingga obat tidak masuk
semuanya ke mata kelinci. Seharusnya efek atropin menyebabkan dilatasi pupil. Setelah
percobaan pada mata kiri kelinci, lalu diteteskan larutan fisiologis NaCL 0,9 % pada
mata kelinci untuk menetralkan kembali kondisi mata kelinci.
Pada mata kanan kelinci, saat diamati pada cahaya suram diameter pupil mata
kelinci berukuran 0,4 cm. Pada cahaya senter diameter pupil mata kelinci berukuran 0,3
cm. Pada saat diteteskan pilokarpin HCL sebanyak 3 tetes, diameter pupil mata kelinci
mengalami dilatasi dengan ukuran 0,6 cm. Ini diamati setelah kelopak mata kelinci
ditutup selama 1 menit setelah pemberian pilokarpin. Disini terjadi kesalahan dalam
pemberian pilokarpin yang tidak diteteskan pada kantong konjungtiva sehingga banyak
obat yang menetes keluar mata kelinci. Efek yang disebabkan pilokarpin seharusnya

9
terjadi konstriksi pupil. Pada pemberian atropin sebanyak 3 tetes, diameter pupil mata
kelinci mengalami konstriksi dengan ukuran 0,5 cm. Ini diamati setelah kelopak mata
kelinci ditutup selama 1 menit setelah pemberian atropin. Terjadi kesalahan dalam
percobaan ini, akibat pemberian obat atropin tidak pada kantong konjungtiva mata
kelinci sehingga tidak semua obat masuk ke mata kelinci. Efek yang ditimbulkan
atropin seharusnya terjadi dilatasi pupil. Setelah percobaan ini, mata kanan kelinci
diteteskan larutan fisiologis NaCL 0,9 % untuk menetralkan kembali mata kelinci.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Pada uji pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik pada saliva kelinci, pada
penyuntikan pilokarpin HCL 0,4 ml secara IM, setelah diamati saat muncul saliva
akibat pilokarpin HCL selama 5 menit diperoleh volume saliva yang ditampung
sebanyak 2,1 ml. Efek salivasi ini disebabkan karena efek sistemik pilokarpin yang
dapat merangsang efek nikotinik terutama rangsangan terhadap kelenjar ludah/saliva
kelinci.
Pada uji pengaruh obat kolinergik dan antikolinergik pada mata kelinci, Terjadi
kesalahan dalam pemberian obat pilokarpin HCL dan atropin yang tidak sesuai.
Pemberian obat seharusnya pada kantong konjungtiva mata kelinci, tetapi karena salah
pemberian sehingga tidak semua obat pilokarpin HCL dan atropin masuk ke mata
kelinci. Pada pemberian pilokarpin HCL, seharusnya terjadi konstriksi pada pupil mata
kelinci, tetapi yang terjadi adalah dilatasi pupil. Pada pemberian atropin, seharusnya
terjadi dilatasi pada pupil mata kelinci, tetapi yang terjadi adalah konstriksi pupil.

10
PERTEMUAN 2
EFEK LOKAL OBAT
(METODE ANESTESI LOKAL)

11
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Judul Percobaan


Efek Lokal Obat (Metode Anestesi Lokal)
1.2. Tujuan Percobaan
1. Mengenal berbagai teknik untuk menyebabkan anestesi lokal pada hewan coba
2. Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja anestetika
lokal.
3. Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anestetika lokal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum


Istilah anestesi diperkenalkan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya
tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan
anestesi umum. Anestesi lokal adalah hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang
kesadaran dan anestesi umum, yaitu hilang rasa sakit disertai hilang kesadaran.
Tindakan anestesi digunakan untuk mempermudah tindakan operasi maupun
memberikan rasa nyaman pada pasien selama operasi.
Anestesi lokal didefinisikan sebagai suatu tindakan yang menyebabkan
hilangnya sensasi rasa nyeri pada sebagian tubuh secara sementara yang disebabkan
adanya depresi eksitasi di ujung saraf atau penghambatan proses konduksi pada saraf
perifer. Anestesi lokal menghilangkan sensasi rasa nyeri tanpa hilangnya kesadaran
yang menyebabkan anestesi lokal berbeda secara dramatis dari anestesi umum.
 Anestetikum Lokal Yang Ideal
Anestetikum lokal sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan
saraf secara permanen, harus efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan
setempat pada membran mukosa dan memiliki toksisitas sistemik yang rendah. Mula
kerja bahan anestetikum lokal harus sesingkat mungkin, sedangkan masa kerja harus
cukup lama sehingga operator memiliki waktu yang cukup untuk melakukan tindakan
operasi, tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan. Zat

12
anestesi lokal juga harus larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, serta
tahan pemanasan bila disterilkan tanpa mengalami perubahan.
 Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat dari
permeabelitas membran terhadap ion Na+ akibat depolarisasi ringan pada membran.
Proses inilah yang dihambat oleh bahan anestetik lokal; hal ini terjadi akibat adanya
interaksi langsung antara bahan anestetik lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap
adanya perubahan voltase muatan listrik.
Dengan semakin bertambahnya efek bahan anestesi lokal didalam saraf, maka
ambang rangsang membranakan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan
potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman konduksi saraf
juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan potensial aksi dan
dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.
Obat-obat anestesi lokal adalah obat basa lemah dan biasanya dibuat dalam
bentuk garam untuk meningkatkan daya larut dan kestabilan dalam jaringan. Dalam
tubuh, obat-obat ini berada dalam keadaan kation dan dalam keadaan tak bermuatan.
Prokain, potensi 1 dan durasi 60-90 menit. Lidokain, potensi 2 dan durasi 90-200 menit.
 Penyerapan
Absorpsi sistemik dari injeksi anestesi lokal ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu dosis lokasi pemberian, jumlah ikatan yang terjadi antara obat dengan protein
plasma, jumlah aliran darah sekitar tempat pemberian, penggunaan vasokonstriktor, dan
karakteristik obat itu sendiri.
 Distribusi
Fase awal yang terjadi adalah fase distribusi cepat, dimana terjadi pengambilan
obat di organ-organ yang memiliki daya perfusi tinggi (otak, hati, ginjal dan jantung).
Kemudian diikuti oleh fase distribusi lambat, dimana terjadi pengambilan oleh organ
yang memiliki daya perfusi sedang (otot dan saluran gastrointestinal).
 Metabolisme dan ekskresi
Obat-obat anestesi lokal, diubah menjadi lebih water-soluble di hati (tipe
amida) atau plasma (tipe ester). Dimana kemudian obat tersebut akan dibuang lewat
urine. Karena bentuk tak bermuatan dari obat dapat berdifusi langsung melewati
membran lipid, maka hanya sedikit obat anestesi dalam bentuk tak bermuatan yang
terekskresi.

13
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan


1. Anestesi Lokal Metode Permukaan
Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Tetes mata prokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
- Tetes mata lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
Alat : Gunting, aplikator, kotak kelinci, stop watch.

2. Anestesi Lokal Metode Regnier


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Tetes mata prokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
- Tetes mata lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
Alat : Gunting, aplikator, kotak kelinci, stop watch.

3. Anestesi Lokal Metode Infiltrasi


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Larutan prokain HCL 1% sebanyak 0,2 ml secara SC
- Larutan prokain HCL 1% dalam adrenalin (1:50.000) sebanyak
0,2 ml secara SC
- Larutan lidokain HCL 1% sebanyak 0,2 ml secara SC
- Larutan lidokain HCL 1% dalam adrenalin (1:50.000)
sebanyak 0,2 ml secara SC
Alat : Gunting, alat cukur, spuit injeksi 1 ml, peniti, kotak kelinci,
spidol, stop watch.

14
4. Anestesi Lokal Metode Induksi
Hewan coba Mencit putih, jantan (jumlah 3 ekor), bobot tubuh 20-30 g
Obat : - Larutan prokain HCL 0,5 mg kg/BB mencit secara IV
- Larutan lidokain HCL secara IV
- Larutan NaCL 0,9 % secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, kotak penahan mencit, pinset, spidol.

3.2. Perhitungan Dosis


1. Anestesi Lokal Metode Permukaan : −
2. Anestesi Lokal Metode Regnier : −
3. Anestesi Lokal Metode Infiltrasi : −
4. Anestesi Lokal Metode Induksi :
Kelompok 7 & 8
0,5 𝑚𝑔
×100 ml = 0,025 ml = 0,03 ml
2500 𝑚𝑔

3.3. Prosedur Kerja


1. Anestesi Lokal Metode Permukaan
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.
2. Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon refleks okular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada
menit ke-0. CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus
diatur.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : Tetes mata prokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
b. Mata kiri : Tetes mata lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.
5. Cek ada/tidaknya respon refleks okular mata (mata berkedip) dengan menggunakan
aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60.
6. Catat dan tabelkan pengamatan.

15
7. Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCL 0,9 % pada kedua
mata kelinci.
Percobaan Bahan Obat Ada/tidaknya Respon Refleks Okuler (menit ke-)
0 5 10 15 20 30 45 60
Anestesi Mata NaCL √ √ √ √ √ √ √ √
Lokal Kelinci 0,9 %
Metode Kiri (Kel. 1)
Permukaan NaCL √ √ √ √ √ √ √ √
0,9 %
(Kel. 2)
Mata Lidokain √ − − − − √ √ √
Kelinci HCL 2 %
Kanan (Kel. 1)
Lidokain − − − − − √ √ √
HCL 2 %
(Kel. 2)
2. Anestesi Lokal Metode Regnier
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.
2. Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon refleks okular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada
menit ke-0. CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus
diatur.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci:
a. Mata kanan : Tetes mata prokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
b. Mata kiri : Tetes mata lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.
5. Cek ada/tidaknya respon refleks okular mata (mata berkedip) dengan menggunakan
aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-8, 15, 20, 25, 30, 40, 50,
60.
6. Ketentuan metode Regnier:
a. Pada menit ke-8:
- Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon refleks okuler, maka
dicatat angka 100 sebagai respon negatif.
- Jika pemberian aplikator sebelum 100 kali terdapat respon refleks okuler, maka
dicatat angka terakhir saat memberikan respon sebagai respon negatif.

16
b. Pada menit ke- 15, 20, 25, 30, 40, 50,60:
- Jika pemberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat respon refleks okuler, maka
dicatat angka 1 sebagai respon negatif dan menit-menit yang tersisa juga diberi angka 1.
c. Jumlah respon refleks okuler negatif dimulai dari menit ke- 8 hingga menit ke-60.
Jumlah ini menunjukkan angka Regnier dimana efek anastetika local dicapai pada
angka Regnier minimal 13 dan maksimal 800.
7. Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis NaCL 0,9 % pada kedua
mata kelinci.
8. Catat dan tabelkan pengamatan.
Percobaan Bahan Obat Jumlah Sentuhan yang Memberi Respon Refleks Okuler (menit
ke-)
0 8 15 20 25 30 40 50 60 Jumlah
Anestesi Mata NaCL + 21 1 1 1 1 1 1 1 28
Lokal kelinci
0,9 %
Metode kiri (Kel. 3)
Regnier NaCL + 55 65 68 80 75 65 80 87 575
0,9 %
(Kel. 4)
Mata Lidokain + 1 1 1 1 1 1 1 1 8
kelinci HCL 2%
kanan (Kel. 3)
HCL 2% + 25 25 25 26 29 61 76 80 347
(Kel. 4)
3. Anestesi Lokal Metode Infiltrasi
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu punggung kelinci dan cukur hingga bersih kulitnya
(hindari terjadinya luka).
2. Gambar 4 daerah penyuntikan dengan jarak ± 3 cm.
3. Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon getaran otot punggung kelinci
dengan menggunakan peniti sebanyak 6 kali sentuhan pada daerah penyuntikan pada
menit ke-0. CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan peniti dan ritme harus
diatur.
4. Suntikkan larutan obat tersebut pada daerah penyuntikkan.
5. Cek ada/tidaknya respon getaran otot punggung kelinci dengan menggunakan peniti
sebanyak 6 kali sentuhan pada daerah penyuntikkan pada menit ke- 5, 10, 15, 20, 25,
30, 35, 40, 45, 60.
6. Catat dan tabelkan pengamatan.

17
Percobaan Bahan Obat Ada/Tidaknya Getaran Otot Punggung Kelinci Sebanyak 6
kali dengan Menggunakan Peniti (menit ke-)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60
Anestesi Punggung Lidokain
Lokal kelinci HCL 2 % + + + + + + + − − − −
Metode kanan (Kel. 5)
Infiltrasi Lidokain
HCL 2 % − − − − − − + − − − −
(Kel. 6)
Punggung Lidokain
kelinci +
+ + + + + + − − − − −
kiri Adrenalin
(Kel. 5)
Lidokain
+
− − − − − − + − − − −
Adrenalin
(Kel. 6)
4. Anestesi Lokal Metode Induksi
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon Haffner pada
menit ke-0.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.
3. Mencit pertama disuntik dengan larutan prokain HCL secara IV.
4. Mencit kedua disuntik dengan lidokain HCL secara IV.
5. Mencit ketiga disuntik dengan larutan NaCL 0,9 %.
6. Cek ada/tidaknya respon Haffner (ekor mencit dijepit lalu terjadi respon angkat
ekor/mencit bersuara) pada menit ke-10, 15, 20, 25, 30.
7. Catat dan tabelkan pengamatan.
Ada/Tidaknya Respon Haffner (menit ke-)
Percobaan Bahan Obat
0 10 15 20 25 30
Anestesi Mencit Lidokain
+ + + − − −
Lokal (Kel. 7)
Metode Lidokain
+ + − − − −
Konduksi (Kel. 8)
Lidokain
NaCL 0,9 + + + + + +
% (Kel. 7)
Lidokain
NaCL 0,9 + + + + + +
% (Kel. 8)

18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Anestesi Lokal Metode Permukaan


Pada percobaan ini, hewan yang digunakan adalah kelinci. Kelinci yang
disiapkan lalu diuji untuk mengecek ada/tidak respon refleks okuler mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator sebelum pemberian obat. Pada mata kanan
kelinci ada refleks berkedip dari kelompok 1 & 2. Pada mata kiri kelinci kelompok 1
ada refleks berkedip, tetapi tidak pada mata kiri kelinci kelompok 2. Obat yang
diberikan pada percobaan ini adalah lidokain HCL 2 % dan larutan NaCL 0,9 %. Pada
pemberian NaCL 0,9 %, lalu kelopak mata kelinci ditutup delama 1 menit, terjadi
refleks okular mata kiri kelinci dari masing-masing kelompok 1 & 2 dari menit ke-5
sampai ke-60. Hal ini karena larutan NaCL 0,9 % hanya merupakan larutan fisiologis,
bukan merupakan obat anestesi, sehingga tidak memberikan efek. Pada pemberian
lidokain HCL 2 %, lalu kelopak mata kelinci ditutup selama 1 menit, tidak terjadi
refleks berkedip mata kanan kelinci pada menit ke-5 sampai ke-20. Refleks okuler mata
kanan kelinci terjadi kembali pada menit ke-30 sampai ke-60. Hal ini terjadi karena
lidokain memiliki kerja lebih cepat, lebih lama. Pada percobaan di mata kanan kelinci,
kerja lidokain habis pada menit ke 30. Hal ini tidakssesuai teori, seharusnya kerja
lidokain lebih lama. Kesalahan ini terjadi saat pemberian lidokain pada kantong
konjungtiva kelinci.
2. Anestesi Lokal Metode Regnier
Pada percobaan ini hewan yang digunakan adalah kelinci. Kelinci yang
disiapkan lalu diuji untuk mengecek ada/tidak respon refleks okuler mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator, lalu dijumlahkan dengan metode Regnier.
Data kelompok 3, mata kelinci kiri yang diteteskan NaCL 0,9 %, jumlah respon refleks
okuler dimulai dari menit ke-8 hingga ke- 60 adalah 28 angka Regnier. Mata kanan
kelinci yang ditetesi lidokain HCL 2 %, jumlah respon refleks okuler dari menit ke-8
hingga ke-60 adalah 8 angka Regnier. Data kelompok 4, mata kelinci kiri yang
diteteskan NaCL 0,9 %, jumlah respon refleks okuler dimulai dari menit ke-8 hingga
ke- 60 adalah 575 angka Regnier. Mata kanan kelinci yang ditetesi lidokain HCL 2 %,
jumlah respon refleks okuler dari menit ke-8 hingga ke-60 adalah 347 angka Regnier.
Perbedaan data dari kelompok 3 & 4 dapat terjadi karena kesalahan dalam pemberian
larutan yang tidak tepat pada kantung konjungtiva mata kelinci.

19
3. Anestesi Lokal Metode Infiltrasi
Pada percobaan ini hewan yang digunakan adalah kelinci. Kelinci yang
disiapkan lalu dicukur bulunya di bagian punggung. Sebelum pemberian obat,
punggung kelinci diuji untuk mengecek adanya getaran otot punggung pada daerah
penyuntikan menggunakan peniti. Pada kelompok 5, terjadi getaran otot punggung pada
menit ke-0, sedangkan kelompok 6 tidak. Pada pemberian lidokain HCL 2 % di
punggung kanan kelinci, data kelompok 5 menunjukkan adanya getaran pada menit ke-
5, dan pada menit ke-35 sampai ke-60 tidak ada getaran otot punggung kelinci. Data
kelompok 6 menunjukkan tidak adanya getaran otot pungggung kelinci pada menit ke-5
hingga ke-25, ada getaran otot pungggung pada menit ke-30 dan pada menit ke-35
sampai ke-60 tidak ada getaran otot punggung kelinci. Ada getaran otot pungggung
pada menit ke-30, lalu tidak ada getaran pada menit ke-35 hingga ke-60. Pada
pemberian lidokain + adrenalin di punggung kiri kelinci, data kelompok 5 menunjukkan
adanya getaran otot punggung kelinci pada menit ke-5 sampai menit ke-25, dan pada
menit ke-30 sampai ke-60 tidak ada getaran otot punggung kelinci. Data kelompok 6
menunjukkan tidak adanya getaran otot pungggung kelinci pada menit ke-5 hingga ke-
25, lalu ada getaran otot pungggung pada menit ke-30 dan tidak ada getaran otot
punggung kelinci pada menit ke-35 hingga ke-60. Data kelompok 6 menunjukkan
kesalahan, lidokain HCL memiliki ketidakteraturan durasi getaran otot punggung.
Lidokain seharusnya memiliki kerja lebih cepat dan lebih lama dan lebih anestesi. Obat
lidokain + adrenalin seharusnya memberikan efek lama kerja, karena penambahan
adrenalin pada aanestasi lokal akan memberikan rangsangan pada saraf adrenergik yang
ada pada otot polos pembuluh darah kulit dan menyebabkan vasokonstriksi sehingga
kecepatan absorpsi dalam darah. Perbedaan hasil ini terjadi karena : kondisi hewan uji
yang berbeda, sehingga mempengaruhi pengamatan reaksi obat, waktu pengamatan
tidak konstan sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal, kesalahan kerja pada saat
praktikum. Pemberian obat pada metode ini adalah secara subkutan.
4. Anestesi Lokal Metode Induksi
Pada percobaan ini hewan yang digunakan adalah mencit jantan berjumlah 2
ekor dengan bobot tubuh 20-30 g. Sebelum pemberian obat, mencit diuji untuk
mengecek adanya respon Haffner pada menit ke-0. Data kelompok 7 & 8 menunjukkan
adanya respon Haffner. Data kelompok 7, mencit ke-1 disuntik lidokain HCL secara IV
menunjukkan adanya respon Haffner pada menit ke 10 & ke-15. Mencit ke-2 disuntik

20
larutan NaCL 0,9 % menunjukkan adanya respon Haffner pada menit ke-10 sampai
menit ke-30. Data kelompok 8, mencit ke-1 disuntik lidokain HCL secara IV
menunjukkan adanya respon Haffner pada menit ke-10. Mencit ke-2 disuntik larutan
NaCL0,9 % menunjukkan adanya respon Haffner pada menit ke-10 sampai menit ke-30.
Data dari kelompok 7 & 8 menunjukkan hasil yang sesuai antara pemberian obat dan
efek yang ditimbulkan.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Pada percobaan anestesi lokal metode permukaan, respon refleks okuler yang
muncul pada kedua mata kelinci saat pemberian obat lidokain HCL 2 % dan NaCL 0,9
% menunjukkan hasil yang sesuai saat pemberian NaCL 0,9 %.
Pada percobaan anestesi lokal metode Regnier, respon refleks okuler yang
timbul pada mata kiri dan kanan kelinci. Data kelompok 3 & 4 menunjukkan jumlah
angka Regnier yang berbeda-beda pada pemberian NaCL 0,9 % dan lidokain HCL 2 %.
Pada percobaan anestesi lokal metode Infiltrasi, respon getaran otot punggung
kelinci timbul pada punggung kanan & kiri kelinci. Data dari kelompok 5 & 6 ada yang
menunjukkan kesesuaian hasil. Tapi, ada yang terjadi kesalahan.
Pada percobaan anestesi lokal metode konduksi, respon Haffner pada mencit
timbul saat percobaan. Data dari kelompok 7 & 8 menunjukkan kesesuaian hasil saat
pemberian obat dan efek yang timbul.

21
PERTEMUAN 3
PERCOBAAN UJI DIABETES
UJI KADAR GLUKOSA DAN ANTIDIABETES

22
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Judul Percobaan


Percobaan Uji Diabetes (Uji Kadar Glukosa dan Antidiabetes)
1.2. Tujuan Percobaan
1. Mengetahui secara lebih baik peran insulin dalam tubuh dan pengaruhnya pada
penyakit diabetes.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi penyakit diabetes dengan cara konvensional.
3. Melakukan test glukosa konvensional pada manusia menggunakan alat ukur glukosa
darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum


Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis adalah penyakit metabolisme yang
merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya
peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan
metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif
(Anonim, 2013). DM merupakan penyakit kronis, terjadi ketika pankreas tidak
memproduksi insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif
menggunakan insulin (WHO, 2011). Keadaan hiperglikemia kronis pada DM akan
mengakibatkan kerusakan jangka panjang gangguan dan kegagalan berbagai organ
terutama mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah (Soegondo, 2009).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, DM merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. DM, penyakit gula
atau kencing manis adalah suatu gangguan kronis yang bercirikan hiperglikemia (gula
darah terlampau meningkat) dan khususnya menyangkut metabolisme hidrat arang
(glukosa) di dalam tubuh. Tetapi metabolisme lemak dan protein juga terganggu (Tjay
& Rahardja, 2007). DM adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan poliuri,
polidipsi dan polifagi, disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau

23
hiperglikemik (glukosa puasa ≥ 126 mg/ dL atau postprandial ≥ 200 mg/ dL)
(Farmakologi dan Terapi, 2009).
Terapi Obat DM
 Glibenklamid
Potensinya 200× lebih kuat dari Tolbutamid. Durasi kerja sampai 24 jam,
dimetabolisme di hati, dieliminasi1/2 di ginjal dan ½ di feses (Dipiro, 2008). Waktu
paruh 4 jam. Mekanismenya merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga
hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi
dengan baik (Dipiro, 2008).
 Metformin
Durasi kerja sampai 24 jam, tidak berikatan dengan protein plasma, tidak
terjadi metabolisme dan diekskresikan oleh ginjal sebgai senyawa aktif (Sukandar,
2009). Waktu paruh 3-6 jam. Mekanismenya bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar
pankreas.

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan


Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 6 ekor), bobot tubuh 20-30 g
Obat : - Larutan glukosa 5% 1 g/kgBB mencit secara PO
- CMC Na 1% secara PO
- Glibenklamid 5 mg/70kgBB manusia secara PO
- Metformin 500 mg/70kgBB manusia secara PO
Alat : Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, Accu-Check dan
strip glukosa

24
3.2. Perhitungan Dosis
Kelompok 1
Pemberian larutan glukosa 5% 1 g/kgBB mencit secara PO
35 100
Mencit 1 : = 0,035× = 0,7 ml (larutan glukosa)
1000 5
36 100
Mencit 2 : = 0,036× = 0,72 ml (larutan glukosa)
1000 5
36 100
Mencit 3 : = 0,036× = 0,72 ml (larutan glukosa)
1000 5

Pemberian CMC Na CMC Na 1% secara PO = 0,5 ml (mencit1, 2, 3)


Kelompok 2
Pemberian larutan glukosa 5% 1 g/kgBB mencit secara PO
27 100
Mencit 1 : = 0,027× = 0,54 ml~0,5 ml (larutan glukosa)
1000 5
47 100
Mencit 2 : = 0,047× = 0,94 ml~0,9 ml (larutan glukosa)
1000 5
43 100
Mencit 3 : = 0,043× = 0,86 ml ~0,9 ml (larutan glukosa)
1000 5

Pemberian CMC Na 1% secara PO


Mencit 1 = 0,35 ml
Mencit 2 = 0,25 ml
Mencit 3 = 0,2 ml
Kelompok 3
Pemberian larutan glukosa 5% 1 g/kgBB mencit secara PO
38 100
Mencit 1 : = 0,038 × = 0,76 ml~0,8 ml (larutan glukosa)
1000 5
40 100
Mencit 2 : = 0,04 × = 0,8 ml (larutan glukosa)
1000 5
38 100
Mencit 3 : = 0,038 × = 0,76 ml~0,8 ml (larutan glukosa)
1000 5

Pemberian Glibenklamid 5 mg/70kgBB manusia secara PO


Mencit 1 : 0,0026× 5 mg = 0,013 mg
38
×0,013 mg= 0,0247 mg
20
0,0247 mg
×50 ml =0,247 ml~0,25 ml
5 𝑚𝑔

25
Mencit 2 : 0,0026× 5 mg = 0,013 mg
40
×0,013 mg= 0,026 mg
20
0,026mg
×50 ml =0,26 ml
5 𝑚𝑔

Mencit 3 : 0,0026× 5 mg = 0,013 mg


38
×0,013 mg= 0,0247 mg
20
0,0247 mg
×50 ml =0,247 ml~0,25 ml
5 𝑚𝑔

Kelompok 4
Pemberian larutan glukosa 5% 1 g/kgBB mencit secara PO
40 100
Mencit 1 : = 0,04 × = 0,8 ml (larutan glukosa)
1000 5
44 100
Mencit 2 : = 0,044 × = 0,88 ml (larutan glukosa)
1000 5
33 100
Mencit 3 : = 0,033 × = 0,66 ml (larutan glukosa)
1000 5

Pemberian Metformin 500 mg/70kgBB manusia secara PO


Mencit 1 : 0,0026× 500 mg = 1, 3 mg
40
×1, 3 mg= 2,6 mg
20
2,6 mg
×50 ml =0,26 ml~0,3 ml
500 𝑚𝑔

Mencit 2 : 0,0026× 500 mg = 1, 3 mg


44
×1, 3 mg= 2,86 mg
20
2,86 mg
×50 ml =0,286 ml~0,3 ml
500 𝑚𝑔

Mencit 3 : 0,0026× 500 mg = 1, 3 mg


33
×1, 3 mg= 2,1 mg
20
2,1 mg
×50 ml =0,21ml~0,2 ml
500 𝑚𝑔

Kelompok 5
Pemberian larutan glukosa 5% 1 g/kgBB mencit secara PO
38 100
Mencit 1 : = 0,038 × = 0,76 ml (larutan glukosa)
1000 5
38 100
Mencit 2 : = 0,038 × = 0,76 ml (larutan glukosa)
1000 5

26
34 100
Mencit 3 : = 0,034 × = 0,68 ml (larutan glukosa)
1000 5

Pemberian Metformin 500 mg/70kgBB manusia secara PO


Mencit 1 : 0,0026× 500 mg = 1, 3 mg
38
×1, 3 mg= 2,47 mg
20
2,47 mg
×50 ml =0,247 ml~0,25 ml
500 𝑚𝑔

Mencit 2 : 0,0026× 500 mg = 1, 3 mg


38
×1, 3 mg= 2,47 mg
20
2,47 mg
×50 ml =0,247 ml~0,25 ml
500 𝑚𝑔

Mencit 3 : 0,0026× 500 mg = 1, 3 mg


34
×1, 3 mg= 2,21 mg
20
2,21 mg
×50 ml =0,221 ml
500 𝑚𝑔

3.3. Prosedur Kerja


1. Puasakan mencit selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2. Cek kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian glukosa pada menit ke-0 dengan
cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung
strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer.
Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah puasa (GDP).
3. Berikan larutan glukosa 1 g/kgBB mencit.
4. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit ke-5 dengan
cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung
strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer.
Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah setelah pembebanan.
5. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan :
Kelompok I : CMC Na 1% secara PO
Kelompok II : Glibenklamid 5 mg/70kgBB manusia secara PO
Kelompok III : Metformin 500 mg/70kgBB manusia secara PO
6. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.
7. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing pada menit ke-10.

27
8. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit 20, 40, 60, 80,
100, dan 120.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Data yang diperoleh dianalisa secara statistik berdasarkan analisis variasi dan
bermakna perbedaan kadar glukosa darah antara kelompok kontrol negatif, positif dan
kelompok uji kemudian dianalisa dengan Student’s t-test. Data disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik.
Kadar Glukosa Darah
Percobaan Bahan Obat
0 5 menit 60 menit
Uji Kadar Mencit CMC Na 1 % 1 151 mg/dL 178mg/dL 171 mg/dL
Glukosa secara PO 2 137 mg/dL 173mg/dL −
Darah dan (Kel. 1) 3 159 mg/dL − −
Antidiabetes CMC Na 1 % 1 170 mg/dL 171 mg/dL 144 mg/dL
secara PO 2 187 mg/dL 203 mg/dL 152 mg/dL
(Kel. 2) 3 176 mg/dL 190 mg/dL 130 mg/dL
Glibenklamid 5 1 172 mg/dL 205 mg/dL 124 mg/dL
mg/70kgBB 2 197 mg/dL 207 mg/dL 162 mg/dL
manusia secara
3 197 mg/dL 244 mg/dL 149 mg/dL
PO (Kel. 3)
Metformin 500 1 160 mg/dL 164 mg/dL 141 mg/dL
mg/70kgBB 2 138 mg/dL 144 mg/dL 110 mg/dL
manusia secara
3 156 mg/dL 166 mg/dL 138 mg/dL
PO (Kel. 4)
Metformin 500 1 191 mg/dL 197 mg/dL 132 mg/dL
mg/70kgBB 2 157 mg/dL 162 mg/dL 130 mg/dL
manusia secara
3 182 mg/dL 186 mg/dL 120 mg/dL
PO (Kel. 5)

28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktukium kali ini dilakukan uji kadar glukosa dan antidiabetes. Hewan
coba yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit. Untuk pemberian obat dibagi
5 kelompok. Kelompok 1 & 2 CMC Na 1% secara PO, kelompok 3 Glibenklamid
secara PO dan kelompok 4 & 5 Metformin secara PO.
Mencit yang digunakan dalam percobaan dicek kadar glukosanya terlebih
dahulu sebelum pemberian glukosa. Ekor mrncit dipotong di bagian ujung, kemudian
darah diteteskan ke bagian ujung strip. Kadar glukosa darah puasa (GDP) dari
kelompok 1 pada mencit 1 adalah 151 mg/dL, mencit 2 adalah 137 mg/dL dan mencit 3
adalah 159 mg/dL. Kadar glukosa darah pada kelompok 2 (GDP) ; mencit 1 adalah 170
mg/dL, mencit 2 adalah 187 mg/dL dan mencit 3 adalah 176 mg/dL. Kadar glukosa
darah puasa pada kelompok 3; mencit 1 adalah 172 mg/dL, mencit 2 adalah 197 mg/dL
dan mencit 3 adalah 197 mg/dL. Kadar glukosa darah puasa (GDP) dari kelompok 4 ;
mencit 1 adalah 160 mg/dL, mencit 2 adalah 138 mg/dL dan mencit 3 adalah 156
mg/dL. Kadar glukosa darah puasa kelompok 5 ; mencit 1 adalah 191 mg/dL, mencit 2
adalah 157 mg/dL dan mencit 3 adalah 182 mg/dL.
Lalu selanjutnya dilakukan pemberian glukosa 1g/kgBB mencit secara PO
pada mencit. Setelah pemberian pada menit ke-5, kadar glukosa darah mencit dicek lagi.
Ekor ujung mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung strip. Kadar
glukosa darah yang terlihat pada glukometer dari kelompok 1 ; mencit 1 adalah 178
mg/dL, mencit 2 adalah 173 mg/dL dan mencit 3 adalah −. Dari hasil ini dapat terlihat
adanya peningkatan kadar glukosa darah mencit setelah pemberian larutan glukosa.
Kadar glukosa darah yang terlihat pada glukometer dari kelompok 2 ; mencit 1 adalah
171 mg/dL, mencit 2 adalah 203 mg/dL dan mencit 3 adalah 190 mg/dL. Dari hasil ini
dapat terlihat adanya peningkatan kadar glukosa darah mencit setelah pemberian larutan
glukosa. Pada kelompok 3 ; mencit 1 adalah 205 mg/dL, mencit 2 adalah 207 mg/dL
dan mencit 3 adalah 244 mg/dL. Dari hasil ini dapat terlihat ada peningkatan kadar
glukosa darah mencit setelah pemberian larutan glukosa. Pada kelompok 4 ; mencit 1
adalah 164 mg/dL, mencit 2 adalah 144 mg/dL dan mencit 3 adalah 166 mg/dL. Hasil
menunjukkan adanya peningkatan kadar glukosa darah mencit. Pada kelompok 5 ;
mencit 1 adalah 197 mg/dL, mencit 2 adalah 162 mg/dL dan mencit 3 adalah 186
mg/dL. Hasil menunjukkan adanya peningkatan kadar glukosa darah mencit.

29
Setelah pemberian larutan glukosa, selanjutnya dilakukan pemberian obat oleh
masing-masing kelompok. Sebelum pemberian obat, dosis dan volume pemberian
dihitung dengan tepet untuk masing-masing mencit. Pada kelompok 1 dilakukan
pemberian CMC Na 1% secara PO. Setelah 60 menit, kadar glukosa darah mencit diuji
kembali. Ekor mencit bagian ujung dipotong, lalu darah diteteskan ke bagian ujung
strip. Kadar glukosa darah yang terlihat pada glukometer ; mencit 1 adalah 171 mg/dL,
mencit 2 adalah − dan mencit 3 adalah −. Dari data hasil menunjukkan penurunan kadar
gula darah mencit. Berdasarkan teori, CMC Na sebagai kontrol negatif yang tidak
memiliki efek antidiabetes.
Pada kelompok 2 dilakukan pemberian CMC Na 1% secara PO. Setelah 60
menit, kadar glukosa darah mencit diuji dengan memotong ujung ekor mencit. Lalu
darah diteteskan ke bagian ujung strip. Kadar glukosa darah yang terlihat pada
glukometer ; mencit 1 adalah 144 mg/dL, mencit 2 adalah 152 mg/dL dan mencit 3
adalah 130 mg/dL. Hasil menunjukkan penurunan kadar glukosa yang sangat besar.
Berdasarkan teori, CMC Na sebagai kontrol negatif yang tidak memiliki efek
antidiabetes.
Pada kelompok 3 dilakukan pemberian obat Glibenklamid 5 mg/70kgBB
manusia secara PO. Setelah 60 menit, kadar glukosa darah mencit diuji dengan
memotong ujung ekor mencit. Lalu darah diteteskan ke bagian ujung strip. Kadar
glukosa darah yang terlihat pada glukometer ; mencit 1 adalah 124 mg/dL, mencit 2
adalah 162 mg/dL dan mencit 3 adalah 149 mg/dL. Hasil menunjukkan penurunan
kadar glukosa yang sangat besar. Glibenklamid (Sulfonil Urea generasi II) potensi
hipoglikemiknya hampir 100 × lebih besar. Paruh waktu 3-5 jam, efek hipoglikemiknya
12-24 jam.
Pada kelompok 4, pemberian obat Metformin 500 mg/70kgBB manusia secara
PO. Setelah 60 menit, kadar glukosa darah mencit diuji dengan memotong ujung ekor
mencit. Lalu darah diteteskan ke bagian ujung strip. Kadar glukosa darah yang terlihat
pada glukometer ; mencit 1 adalah 141 mg/dL, mencit 2 adalah 110 mg/dL dan mencit 3
adalah 138 mg/dL. Hasil menunjukkan penurunan kadar gula darah mencit. Metformin
memiliki paruh waktu 1,5-3 jam. Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan
produksi glukosa hati. Durasi kerja sampai 24 jam.
Pada kelompok 5, pemberian obat Metformin 500 mg/70kgBB manusia secara
PO. Setelah 60 menit, kadar glukosa darah mencit ; mencit 1 adalah 132 mg/dL, mencit

30
2 adalah 130 mg/dL dan mencit 3 adalah 120 mg/dL. Hasil menunjukkan penurunan
kadar gula darah mencit. Metformin bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan
produksi glukosa hati. Paruh waktu 1,5-3 jam, durasi kerjas ampai 24 jam.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji kadar glukosa darah mencit puasa (GDP) setelah
pemberian larutan glukosa, terjadi peningkatan kadar gula darah mencit. Karena glukosa
sebagai induksi sumber gula.
Setelah pemberian obat Glibenklamid, terjadi penurunan kadar gula darah
mencit yang sangat besar. Karena Glibenklamid merupakan obat antidiabetes yang
paling kuat.
Setelah pemberian obat Metformin, terjadi penurunan kadar gula darah mencit,
tapi tidak sebesar penurunan kadar gula darah mencit pada pemberian obat
Glibenklamid.
Hal ini karena Glibenklamid dapat merangsang sekresi insulin di kelenjar
pankreas.

31
PERTEMUAN 4
EFEK DIURETKA
UJI POTENSI DIURETIKA

32
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Judul Percobaan


Efek Diuretika (Uji Potensi Diuretika)
1.2. Tujuan Percobaan
1. Memahami kerja farmakologi dari berbagai kelompok diuretika
2. Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi potensi diuretika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum


Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urine
dengan cara memperbanyak pengeluaran kemih melalui kerja langsung terhadap ginjal
(Lapalo,2012).
Proses diuresis dimulai dari mengalirnya darah disaring ke glomeruli
(gumpalan kapiler), hasil filtrasi yang mengandung banyak air serta elektrolit
ditampung wadah corong yang mengelilingi setiap glomerulus (kapsul bawman) dan
kemudian disalurkan ke pipa kecil. Tubuli ini terdiri dari bagian glomerulus, kedua
bagian ini dihubungi oleh sebuah lengkungan (henle’s loop).
Diuretik bermanfaat untuk meningkatkan laju ekskresi Na+ dan anion yang
menyertainya, biasanya Cl-. Diuretik tidak hanya mengubah ekskresi Na+, tetapi juga
memodifikasi pengaturan kation lain (misalnya K+, H+, Ca2+, dan Mg2+), anion lain
(seperti Cl-, HCO3-, dan H2PO4-) dan asam urat oleh ginjal. Selain itu, diuretik juga
secara tidak langsung dapat mengubah hemodinamik ginjal.
Pada banyak penyakit, jumlah natrium klorida yang direabsorbsi oleh tubulus
ginjal adalah tinggi secara abnormal. Hal ini mengakibatkan retensi air, peningkatan
volume darah dan ekspansi kompartemen cairan ekstravaskuler, yang mengakibatkan
edema jaringan. Beberapa penyakit edema jaringan yang biasa dihadapi meliputi gagal
jantung, asites hepatik dan sindrom nefrotik.
Diuretik juga diketahui digunakan secara luas dalam terapi penyakit nonedema
seperti hipertensi, hiperkalsemia dan diabetes insipidus.

33
Golongan Obat Diuretik
- Inhibitor karbonik anhydrase (asetazolamid) : bekerja padatubuli Proksimal dengan
cara menghambat reabsorpsi bikarbonat.
- Loop diuretic (furosemid) : bekerja pada ansa henle bagian asenden pada bagian
dengan epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl.
- Tiazid (klorotiazid) : bekerja pada tubulus distal untuk menurunkan reabsobsi Na+
dengan menghambat kontransporter Na+/Cl.
- Hemat kalium (spironolakton) : Bekerja di tubulus renalis rektus untuk menghambat
reabsopsi Na+, sekresi K+ sekresi H+.
- Osmotic (manitol) : bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out.

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan


Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 6 ekor), bobot tubuh 200-300 g
Obat : - CMC Na 1% secara PO
- Furosemid 20 mg/70 kgBB manusia secara PO
- Spironolakton 100 mg/70 kgBB manusia secara PO
- Air hangat 50 ml/ kgBB tikus
Alat : Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, kandang diuretic,
beaker glass, gelas ukur.

3.2. Perhitungan Dosis


Kelompok 1
Potensi Diuretika
4,1 𝑚𝑙
×100 % = 82 %
5 𝑚𝑙

Kelompok 2
Potensi Diuretika
1,9 𝑚𝑙
×100 % = 38 %
5 𝑚𝑙

34
Kelompok 3
Pemberian Spironolakton 100 mg/70 kgBB manusia secara PO
0,018 × 100 mg = 1,8 mg
150 𝑔
×1,8 mg = 1,35 mg
200 𝑔

1,35 𝑚𝑔
×50 ml = 0,67 ml~0,7 ml
100 𝑚𝑔

Potensi Diuretika
4,7 𝑚𝑙
×100 % = 94 %
5 𝑚𝑙

Kelompok 4
Pemberian Spironolakton 100 mg/70 kgBB manusia secara PO
0,018 × 100 mg = 1,8 mg
150 𝑔
×1,8 mg = 1,35 mg
200 𝑔

1,35 𝑚𝑔
×50 ml = 0,67 ml~0,7 ml
100 𝑚𝑔

Potensi Diuretika
7,4 𝑚𝑙
×100 % = 148 %
5 𝑚𝑙

Kelompok 5
Furosemid 20 mg/70 kgBB manusia secara PO
0,018 × 20 mg = 0,36 mg
154 𝑔
×0,36 mg = 0,277 mg
200 𝑔

0,277 mg
×50 ml = 0,6575 ml~0,7 ml
20 𝑚𝑔

Potensi Diuretika
1,8 𝑚𝑙
×100 % = 36 %
5 𝑚𝑙

35
Kelompok 6
Furosemid 20 mg/70 kgBB manusia secara PO
0,018 × 20 mg = 0,36 mg
151 𝑔
×0,36 mg = 0,2781 mg
200 𝑔

0,2781 mg
×50 ml = 0,68 ml~0,7 ml
20 𝑚𝑔

Potensi Diuretika
3 𝑚𝑙
×100 % = 60 %
5 𝑚𝑙

3.3. Prosedur Kerja


1. Puasakan tikus selama 12-16 jam, tetapi tetap diberi air minum.
2. Sebelum pemberian obat, berikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/kgBB tikus.
3. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor tikus dengan perbedaan dosis obat yang diberikan :
Kelompok I : CMC Na 1% secara PO
Kelompok II : Furosemide 20 mg/70kgBB manusia secara PO
Kelompok III : Spironolakton 100 mg/70kgBB manusia secara PO
4. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing tikus.
5. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing.
6. Tempatkan tikus ke dalam kandang diuretik.
7. Kumpulkan urin selama 2 jam, catat frekuensi pengeluaran urin dan jumlah urin
setiap kali diekskresikan.
8. Catat dan tabelkan pengamatan.
9. Hitung presentase volume kumulatif urin yang diekskresikan :
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑢𝑟𝑖𝑛𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑘𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 2 𝑗𝑎𝑚
= × 100%
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑖𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑜𝑟𝑎𝑙

Efek diuretika positif jika presentase volume kumulatif urin yang diekskresikan >
75% dari volume air yang diberikan.
Percobaan Bahan Obat Efek Diuretika
Potensi Tikus CMC Na 1% Frekuensi
Diuretika secara PO urinasi
42 48 60 90
(Kel. 1) (menit
ke-)

36
Volume 1,1
1 ml 1 ml 1 ml
urin (ml) ml
Volume
urin
kumulatif 4,1 ml
selama 2
jam (ml)
Volume
air yg
diberikan 5 ml
secara PO
(ml)
Potensi
diuretika 82%
(%)
CMC Na 1% Frekuensi
secara PO urinasi
38 46 63 90
(Kel. 2) (menit
ke-)
Volume 0,5 0,2 0,5 0,7
urin (ml) ml ml ml ml
Volume
urin
kumulatif 1,9 ml
selama 2
jam (ml)
Volume
air yg
diberikan 5 ml
secara PO
(ml)
Potensi
diuretika 38 %
(%)
Spironolakton Frekuensi
100 urinasi
6 13 20 54
mg/70kgBB (menit
manusia ke-)
secara PO Volume 1,8 0,9
1 ml 1 ml
(Kel. 3) urin (ml) ml ml
Volume
urin
kumulatif 4,7 ml
selama 2
jam (ml)
Volume
air yg
diberikan 5 ml
secara PO
(ml)

37
Potensi
diuretika 94 %
(%)
Spironolakton Frekuensi
100 urinasi
6 17 30 40 48 61 74
mg/70kgBB (menit
manusia ke-)
secara PO Volume 1,2 0,5 0,5 1,2
2 ml 1 ml 1 ml
(Kel. 4) urin (ml) ml ml ml ml
Volume
urin
kumulatif 7,4 ml
selama 2
jam (ml)
Volume
air yg
diberikan 5 ml
secara PO
(ml)
Potensi
diuretika 148 %
(%)
Furosemide Frekuensi
20 urinasi
36 52 67
mg/70kgBB (menit
manusia ke-)
secara PO Volume 0,3 0,5
1 ml
(Kel. 5) urin (ml) ml ml
Volume
urin
kumulatif 1,8 ml
selama 2
jam (ml)
Volume
air yg
diberikan 5 ml
secara PO
(ml)
Potensi
diuretika 36 %
(%)
Furosemide Frekuensi
20 urinasi
53 73 112
mg/70kgBB (menit
manusia ke-)
secara PO Volume
1 ml 1 ml 1 ml
(Kel. 6) urin (ml)
Volume
urin 3 ml
kumulatif

38
selama 2
jam (ml)
Volume
air yg
diberikan 5 ml
secara PO
(ml)
Potensi
diuretika 60 %
(%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan efek diuretika (uji potensi
diuretika). Percobaan ini bertujuan memahami kerja farmakologi dari berbagai
kelompok diuretika dan memperoleh gambaran tentang cara evaluasi potensi diuretika.
Hewan coba yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus putih. Obat yang
digunakan dalam percobaan ini antara lain, CMC Na 1% secara PO (Kel. 1 & 2),
Spironolakton 100 mg/70kgBB manusia secara PO (Kel. 3 & 4), dan Furosemide 20
mg/70kgBB manusia secara PO (Kel. 5 & 6).
Sebelum pemberian obat, tikus masing-masing kelompok diberikan air hangat
per oral sebanyak 5 ml. Setelah itu, tikus diberikan obat sesuai kelompok masing-
masing. Setelah pemberian obat, tikus ditempatkan ke dalam kandang diuretik untuk
dikumpulkan urin yang diekskresikan selama 2 jam.
Dari data kelompok 1 & 2 dengan pemberian CMC Na 1% secara PO:
kelompok 1 ; frekuensi urinasi dan volume urin pada menit ke- 42 (1 ml), 48 (1,1 ml),
60 (1 ml), 90 (1 ml). Volume urin kumulatif selama 2 jam yang diperoleh adalah 4,1 ml.
Potensi diuretika yang diperoleh adalah 82%, memberikan efek diuretika positif karena
> 75%. Hasil ini menunjukkan efek diuretika yang timbul dipengaruhi pemberian air
hangat per oral sebanyak 5 ml. Karena CMC Na 1% tidak dapat menimbulkan efek
diuretika. Kelompok 2 ; frekuensi urinasi dan volume urin pada menit ke- 38 (0,5 ml),
46 (0,2 ml), 63 (0,5 ml), 90 (0,7 ml). Volume urin kumulatif selama 2 jam yang
diperoleh adalah 1,9 ml. Potensi diuretika yang diperoleh adalah 38%, memberikan efek
diuretika negatif karena < 75%. Hasil ini menunjukkan efek diuretika yang timbul

39
dipengaruhi pemberian air hangat per oral sebanyak 5 ml. Karena CMC Na 1% tidak
dapat menimbulkan efek diuretika.
Dari data kelompok 3 & 4 dengan pemberian Spironolakton 100 mg/70kgBB
manusia secara PO: kelompok 3 ; frekuensi urinasi dan volume urin pada menit ke- 6
(1,8 ml), 13 (1 ml), 20 (0,9 ml), 54 (1 ml). Volume urin kumulatif selama 2 jam yang
diperoleh adalah 4,7 ml. Potensi diuretika yang diperoleh adalah 94%, memberikan efek
diuretika positif karena > 75%. Hasil ini menunjukkan efek diuretika yang sesuai
dengan Spironolakton sebagai obat diuretika yang dapat meningkatkan ekskresi urin.
Kelompok 4 ; frekuensi urinasi dan volume urin pada menit ke- 6 (2 ml), 17 (1 ml), 30
(1,2 ml), 40 (0,5 ml), 48 (1 ml), 61 (0,5 ml), 74 (1,2 ml). Volume urin kumulatif selama
2 jam yang diperoleh adalah 7,4 ml. Potensi diuretika yang diperoleh adalah 148%,
memberikan efek diuretika positif karena > 75%. Hasil ini menunjukkan efek diuretika
yang sesuai dengan Spironolakton sebagai obat diuretika yang dapat meningkatkan
ekskresi urin.
Dari data kelompok 5 & 6 dengan pemberian Furosemide 20 mg/70kgBB
manusia secara PO: kelompok 5 ; frekuensi urinasi dan volume urin pada menit ke- 36
(1 ml), 52 (0,3 ml), 67 (0,5 ml). Volume urin kumulatif selama 2 jam yang diperoleh
adalah 1,8 ml. Potensi diuretika yang diperoleh adalah 36%, memberikan efek diuretika
negatif karena < 75%. Hasil ini menunjukkan efek potensi diuretika Furosemide yang
lebih rendah dibandingkan Spironolakton sebagai obat diuretika yang dapat
meningkatkan ekskresi urin. Kelompok 6 ; frekuensi urinasi dan volume urin pada
menit ke- 53 (1 ml), 73 (1 ml), 112 (1 ml). Volume urin kumulatif selama 2 jam yang
diperoleh adalah 3 ml. Potensi diuretika yang diperoleh adalah 60%, memberikan efek
diuretika negatif karena < 75%. Hasil ini menunjukkan efek potensi diuretika
Furosemide yang lebih rendah dibandingkan Spironolakton sebagai obat diuretika yang
dapat meningkatkan ekskresi urin.

40
BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari data kelompok 1 & 2 dengan pemberian CMC Na 1% secara PO:
kelompok 1 ; menunjukkan efek diuretika yang timbul dipengaruhi pemberian air
hangat per oral sebanyak 5 ml. Karena CMC Na 1% tidak dapat menimbulkan efek
diuretika.
Dari data kelompok 3 & 4 dengan pemberian Spironolakton 100 mg/70kgBB
manusia secara PO: menunjukkan efek diuretika yang sesuai dengan Spironolakton
sebagai obat diuretika yang dapat meningkatkan ekskresi urin.
Dari data kelompok 5 & 6 dengan pemberian Furosemide 20 mg/70kgBB
manusia secara PO: menunjukkan efek potensi diuretika Furosemide yang lebih rendah
dibandingkan Spironolakton sebagai obat diuretika yang dapat meningkatkan ekskresi
urin.

41
PERTEMUAN 5
EFEK LOKAL OBAT
PENGARUH OBAT TERHADAP MEMBRAN DAN KULIT
MUKOSA

42
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Judul Percobaan


Efek Lokal Obat (Pengaruh Obat Terhadap Membran dan Mukosa)
1.2. Tujuan Percobaan
1. Memahami efek lokal dari berbagai obat/senyawa kimia terhadap kulit dan membran
mukosa berdasarkan cara kerja masing-masing ; serta dapat diaplikasikan dalam praktek
dan dampaknya sebagai dasar keamanan penanganan bahan.
2. Memahami sifat dan intensitas kemmpuan merusak kulit dan membran mukosa dari
berbagai obat yang bekerja lokal.
3. Menyimpulkan persyaratan farmakologi untuk obat yang dipakai secara lokal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum


Anestetik lokal bekerja dengan cara menyebabkan blokade yang reversibel atas
konduksi sepanjang serat saraf. Obat-obat yang dipakai berbeda dalam hal potensi,
toksisitas, lama kerja, stabilitas, kelarutan dalam air, dan kemampuannya menembus
membran mukosa. Keragaman sifat ini menentukan kesesuaian obat dalam berbagai
cara pemberian, misalnya topikal (permukaan), infiltrasi, pleksus, epidural (ekstradural)
atau blokade spinal. Anestetik lokal juga digunakan untuk penghilang nyeri pasca
bedah, sehingga mengurangi kebutuhan analgesik seperti opioid.
Terdapat beberapa prinsip-prinsip dalam pengujian efek lokal obat, yaitu :
- Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecahkan ikatan S-S
pada keratin kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
- Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit &
mukosa akan rusak.
- Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabelitas
kulit akan mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.

43
- Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein,
sehingga permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi
menurun dengan akibat menurunnya sensitivitas dibagian tersebut.
Efek obat yang akan timbul pada membrane dan kulit mukosa tergantung pada
jumlah obat yang dapat diserap pada permukaan kulit dan membrane serta kelarutan
obat dalam lemak karena pada epidermis kulit merupakan sawar lemak. Pada kulit yang
terkelupas/ luka maka absorpsi jauh lebih mudah. Obat yang digunakan di sini dapat
memberikan efek menggugurkan bulu korosif. Fenol serta adstrigen obat tersebut obat
tersebut dapat memberikan efek local pada membrane dan kulit mukosa.
Mukosa yang tervaskularisasi baik, yaitu rongga mulut dan rongga
tenggorokan (rute local, sublingual), memilliki sifat absorpsi yang baik untuk senyawa
yang tidak terionisasi lipofil.
Protektiva yang merupakan senyawa pelindung kulit atau mukosa terhadap daya kerja
iritansia dikelompokkan menjadi :
- Demulsensia: memberikan lapisan pelindung mukosa dan kulit.
- Emoliensia: hanya melindungi kulit.
- Astringensia : penyamakan.
- Adsorbensia : pengikatan pada permukaan molekul.
Cara penggunaan obat yang memberi efek lokal, adalah :
- Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan suatu
alat seperti : inhaler, nebulizer atau aerosol.
- Penggunaan obat pada mukosa seperti : mata, telinga, hidung, vagina, dengan obat
tetes, dsb.
- Penggunaan pada kulit dengan salep, krim, lotion, dsb.

44
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Alat dan Bahan


1. Menggugurkan bulu
Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor, usia 2 bulan, bobot tubuh
200-300 g
Obat : - Veet Cream
- Larutan NaOH 20 %
- Larutan Na2 S 20 %
- Kertas Saring
Alat : Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stop watch.

2. Korosif
Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor, usia 2 bulan, bobot tubuh
200-300 g
Obat : - Larutan AgCl2 5 %
- Larutan fenol
- Larutan NaOH 10%
- Larutan 𝐻2 𝑆𝑂4 pekat
- Larutan HCl pekat
- Larutan AgNO3
- Kertas saring
Alat : Gunting, batang pengaduk, gelas arloji, stop watch.

3. Astringen : −

4. Efek Local Fenol : −

3.2. Perhitungan Dosis: −

45
3.3. Prosedur Kerja
1. Menggugurkan bulu
1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan.
2. Ambil kulitnya lalu dibuat 3 potongan, masing-masing berukuran 2,5 × 2,5 cm.
3. Letakan potongan kulit tersebut diatas gelas arloji yang telah diberikan kertas saring.
4. Catat bau asli/awal dari obat yang digunakan.
5. Oleskan/teteskan larutan obat pada bagian atas potongan kulit tikus tersebut.
6. Amati selama 30 menit efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat dengan
bantuan batang pengaduk.
7. Catat dan tabelkan pengamatan.
Efek
Gugur bulu
Percobaan Bahan Obat (catat waktu
Bau Awal
saat mulai gugur
bulu)
Menggugurkan bulu Kulit tikus Veet cream Bau khas wangi 15:47
Larutan NaOH Bau khas
15:51
20%
Larutan NaS Bau pesing,
15:53
20% sedikit menyengat

2. Korosif
1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan.
2. Ambil ususnya lalu dibuat 6 potongan, masing-masing berukuran 4-5 cm.
3. Letakan potongan usus tersebut diatas gelas arloji yang telah diberi alas kertas saring.
4. Teteskan larutan obat pada potongan usus tikus tersebut hingga terendam.
5. Rendam selama 30 menit.
6. Setelah 30 menit, amati efek korosif/kerusakan jaringan setelah pemberian obat
dengan bantuan batang pengaduk.
7. Catat dan tabelkan pengamatan.

46
Efek
Percobaan Bahan Obat Kerusakan pada
Sifat Korosif
Jaringan
Korosif Usus tikus Larutan
Tidak korosif Tidak merusak
AgCl2 5 %
Larutan fenol 5% - -
Larutan NaOH
Korosif Mengubah warna
10%
Larutan 𝐻2 𝑆𝑂4 Sangat korosif Merusak jarinagn
Larutan HCl pekat Menyebabkan
Sangat korosif
iritasi
Larutan AgNO3 Merusak jaringan,
Korosif
membakar kulit

3. Astringen
1. Mulut praktikan dibilas/dikumur dengan larutan tannin 1 %.
2. Rasakan jenis sensasi yang dialami di mulut.
3. Catat dan tabelkan pengamatan.
Percobaan Bahan Obat Efek Sensasi Mulut
Astringen Mulut untuk kumur Larutan tannin 1%

4. Efek Local Fenol


1. Celupkan 4 jari tangan selama 5 menit ke dalam larutan fenol yang tersedia.
2. Rasakan jenis sensasi yang dialami jari tangan (rasa tebal, dingin, panas).
3. Jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, angkat segera dan bilas dengan etanol.
4. Catat dan tabelkan pengamatan.
Efek Sensasi Jari
Percobaan Bahan Obat Tangan (rasa tebal,
dingin, panas)
Fenol dalam berbagai Jari tangan Larutan fenol 5% Dingin, panas, setelah
pelarut dalam air diangkat terasa tebal
Larutan fenol 5% Dingin, panas, setelah
dalam etanol diangkat terasa tebal
Larutan fenol 5%
-
dalam gliserin 25 %
Larutan fenol 5%
-
dalam minyak lemak

47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan pengaruh obat terhadap membran
kuli dan mukosa, yaitu menggugurkan bulu, korosif, dan efek lokal fenol. Percobaan ini
bertujuan : memahami efek lokal dari berbagai obat/senyawa kimia terhadap kulit dan
membran mukosa berdasarkan cara kerja masing-masing ; serta dapat diaplikasikan
dalam praktek dan dampaknya sebagai dasar keamanan penanganan bahan, memahami
sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membran mukosa dari berbagai obat
yang bekerja lokal, menyimpulkan persyaratan farmakologi untuk obat yang dipakai
secara lokal.
1. Menggugurkan Bulu
Pada percobaan pengaruh obat terhadap membran kulit dan mukosa, yaitu
menggugurkan bulu, hewan coba yang digunakan adalah tikus putih yang terlebih
dahulu dikorbankan. Bahan yang digunakan adalah kulit tikus. Obat yang digunakan
adalah Veet cream (bau awal khas, wangi), Larutan NaOH 20% (bau awal khas),
Larutan NaS 20% (bau awal bau pesing sedikit menyengat). Kulit tikus dibuat 3
potongan, diletakkan diatas kaca arloji yang dialas kertas saring. Larutan obat dioleskan
dan diteteskan diatas potongan kulit. Setelah 30 menit, diamati efek menggugurkan bulu
dari masing-masing obat. Waktu gugur bulu yang diberi Veet Cream pada 15:47,
larutan NaOH 20% pada 15:51, larutan NaS 20% pada 15:53. Semua larutan obat yang
digunakan menunjukkan efek menggugurkan bulu.
2. Korosif
Pada percobaan pengaruh obat terhadap membran kulit dan mukosa, yaitu
korosif, hewan coba yang digunakan adalah tikus putih yang terlebih dahulu
dikorbankan. Bahan yang digunakan adalah usus tikus. Obat yang digunakan adalah
larutan AgCl2 5 %, larutan NaOH 10%, larutan 𝐻2 𝑆𝑂4, larutan HCl pekat, larutan
AgNO3 . Usus tikus dibuat 6 potongan, diletakkan diatas kaca arloji yang dialas kertas
saring. Larutan obat diteteskan pada potongan usus hingga terendam. Setelah 30 menit,
diamati efek korosif/kerusakan jaringan dari masing-masing obat. Larutan AgCl2 5 %
tidak korosif dan tidak merusak jaringan. Larutan NaOH 10% & larutan AgNO3 bersifat
korosif, merusak jaringan dan membakar jaringan. Larutan 𝐻2 𝑆𝑂4 & larutan HCl pekat
bersifat sangat korosif dan merusak jaringan. Pada percobaan ini ada larutan obat yang
berefek korosif, sangat korosif dan ada yang tidak korosif.

48
3. Efek Local Fenol
Pada percobaan pengaruh obat terhadap membran kulit dan mukosa, yaitu efek
lokal fenol, bahan yang digunakan adalah jari tangan. Obat yang digunakan adalah
larutan fenol 5% dalam air dan larutan fenol 5% dalam etanol. Jari tangan yang
dicelupkan kedalam larutan fenol 5% dalam air memberikan efek sensasi dingin, panas,
dan saat diangkat terasa tebal. Jari tangan yang dicelupkan kedalam larutan fenol 5%
dalam etanol memberikan efek sensasi dingin, panas, dan saat diangkat terasa tebal.
Pada percobaan ini semua larutan obat yang digunakan menghasilkan efek lokal fenol
pada jari tangan, baik larutan fenol 5% dalam air maupun larutan fenol 5% dalam
etanol.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Pada percobaan pengaruh obat terhadap membran kulit dan mukosa, yaitu
menggugurkan bulu, semua larutan obat (Veet cream, larutan NaOH 20%, larutan NaS
20%) yang digunakan menunjukkan efek menggugurkan bulu.
Pada percobaan pengaruh obat terhadap membran kulit dan mukosa, yaitu
korosif, ada larutan obat yang berefek korosif (larutan NaOH 10% & larutan AgNO3 ),
sangat korosif (larutan 𝐻2 𝑆𝑂4 & larutan HCl pekat ) dan ada yang tidak korosif (larutan
AgCl2 5 %).
Pada percobaan pengaruh obat terhadap membran kulit dan mukosa, yaitu efek
lokal fenol, semua larutan obat yang digunakan menghasilkan efek lokal fenol pada jari
tangan, baik larutan fenol 5% dalam air maupun larutan fenol 5% dalam etanol.

49
DAFTAR PUSTAKA

Pertemuan 1
1. https://edoc.site/obat-otonom-5-pdf-free.html.
2.http://repository.lppm.unila.ac.id/477/1/B_Ajar_Farma_Unila_Ach-2015-Dr_Asep_
_Sukohara_Final.pdf
3. http://download.portal.garuda.org/article
4. http://edoc.site/obat-otonom-pdf-free.html
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56449/
2. https://edoc.site/farmakologi-obat-anestesi-lokal-pdf-free.html
3. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/42063
Pertemuan 3
1. http://eprints.ump.ac.id/3361/2/2.%20BAB%20I.doc
2. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Galenika/article/download/4831/6244
3.http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26477/1WAHYU%20PUT
RI%LESTARI
Pertemuan 4
1.http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/praktikum-
farmakologi-komprehensif.pdf
2. https:edoc.tips/downloadFile/efek-diuretik-dengan-obat-yang-berbeda.pdf
3. http://diglib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Course-9162-7_0075.image.Marked.pdf
Pertemuan 5
1. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-15-anestesia/152-anestetik-lokal
2. https://dlscrib.com/efek-lokal-obat_58c24ff4e1ze890d56add375_txt.html
3. http://dokumen.tips/documents/199198118-efek-lokal-obat.docx.html

50

Anda mungkin juga menyukai