Anda di halaman 1dari 155

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

DOSEN : Dra. Refdanita, M.Si.

Disusun oleh:

Nanda Fadilla Wardhani (14334117)

KELAS M

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga saya berhasil menyelesaikan laporan praktikum ini.

Diharapkan laporan praktikum ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Tiada
gading yang tak retak, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dosen saya yaitu Ibu Dra. Refdanita.,
M.Si., selaku Dosen Mata Kuliah Farmakologi dan pembimbing praktikum farmakologi yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun laporan ini dengan baik.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.

Jakarta, Agustus 2016

Penulis
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
CARA PEMBERIAN OBAT
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan, berbagai produk


kesehatan mulai di buat sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan fungsi dan
perannya dalam kesehatan. Hal ini juga berdampak pada perkembangan obat dan cara
penggunaan obat. Sebagai seorang farmasis, sudah seharusnya mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga
dari segi farmakologi. Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah rute pemberian obat,
hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan efek obat yang akan digunakan. Selain itu
dengan memahami rute pemberian obat seorang farmasis dapat menentukan cara tebaik yang
dapat di gunakan untuk pemberian obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien apakah
menggunakan obat peroral, parenteral, tropical, vaginal atau dengan cara lain yang dianggap
dapat memberikan hasil maksimal.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat


2. Menyadari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul
3. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat perbedaan rute pemberian obat
terhadap efek yang timbul
4. Mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan
I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian obat kepada kelinci percobaan melalui oral, intraperitoneal, intra muscular,
intravena, dan subkutan dengan dosis yang berbeda yang dipengaruhi berat badan hewan
percobaan. Serta mengamati pengaruh yang dihasilkan oleh masing masing cara pemberian.
BAB II

DASAR TEORI

Rute pemberian obat salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat.

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik


b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk
sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang
bekerja setempat misalnya salep.

Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:

Cara/bentuk sediaan parenteral

Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset
of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan
iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat
yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume
kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar
(infuse) harus isotonis dan isohidris.
Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action
segera.
Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%
Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak
boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak
banyak terpengaruh
Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak
banyak berpengaruh.
Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan
hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.
Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas
pirogen.

Keuntungan rute ini adalah:


a. Jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan
tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC
b. Cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
c. Efek sistemik dapat segera dicapai
d. Level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan
e. Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat
rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.

Kerugiannya adalah meliputi:


1. Gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan
dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam
jumlah besar
2. Perkembangan potensial thrombophlebitis
3. Kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau
teknik injeksi septik, dan
4. Pembatasan cairan berair.

Intramuskular
Intramuskular (IM) (Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam air yang
lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat
dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi).
a. Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di
otot pantat atau paha.
b. Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi
pembawa air untuk minyak.
c. Larutan sebaiknya isotonis.
d. Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
e. Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
7
f. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan.
g. Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot
dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain.

Subkutan
Subkutan (SC) (Onset of action lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan
dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian
yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang
diberikan tidak lebih dari 1 ml.
a. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
b. Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
c. Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan
suspensi.
d. Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya
penyerapan.
e. Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke
dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di
jaringan dan membentuk abses.
f. Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
g. Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise.

Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim,
1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang
dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di
metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.

Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat
diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel,
1989).

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai
dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang berbeda-beda

8
melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau kehilangan obat selama
proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan.

Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per oral,
karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus,
karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada pemberian secara
oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh, terlebih
dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna antara lain:

1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak langsung
dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan yang
berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah
ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi
kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorfi, kelarutan
dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi. Absorpsi
lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.

3. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna,
waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya pembuluh
darah pada tempat absorpsi.
4. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya
penyakit tertentu.

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena
luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat
cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena kava superior dan tidak
melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual ini tidak mengalami
metabolisme lintas pertama oleh hati.

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavaibilitas
obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan
mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan atau
di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme atau eliminasi lintas

9
pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian
parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya bersama makanan.

Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat
pasien koma.

10
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat & Bahan

Alat
a. Kawat kandang
b. Alat suntik & Jarum Suntik
c. Sonde
d. Timbangan
e. Stopwatch
f. Spidol
g. Koran
h. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
i. Sarung tangan & Masker
j. Beaker Glass

Bahan
a. Kapas
b. Alkohol
c. Phenobarbital 50mg/ml
d. Tikus Putih Jantan 5 ekor
e. Aqua Pro Injeksi

III.2 Dosis

Factor konversi

Manusia tikus : BB tikus 200 g = 0,018

Bobot tikus

Hewan Berat Tikus Tara Timbangan


Tikus ke-1 287 g 197,5 g
Tikus ke-2 319 g 197,5 g
Tikus ke-3 315 g 197,5 g
Tikus ke-4 293 g 197,5 g
Tikus ke-5 289 g 197,5 g

Perhitungan Dosis

No. Hewan Bobot Tikus Dosis


1. Tikus 1 287g
287g - 197,5g x 0,9 mg/ml = 0,4
= 89,5g
mg/ml

x 1ml = 0,008 ml

Pengenceran
phenobarbital 10 ml

x 10 ml = 0,08 ml

2. Tikus 2 319g
319g 197,5g x 0,9 ml = 0,5 ml
= 121,5g

x 1 ml = 0,01 ml

3. Tikus 3 315g
315g 197,5g x 0,9 ml = 0,5 ml
= 117,5g

x 1 ml = 0,01 ml

4. Tikus 4 293g
293g - 197,5g x 0,9 ml = 0,4 ml
= 95,5 g

x 1 ml = 0,008 ml

Pengenceran
phenobarbital 10 ml

x 10 ml = 0,08 ml

5. Tikus 5 298g
298g 197,5g x 0,9 ml = 0,4 ml
= 100,5 g

12
x 1 ml = 0,008 ml

Pengenceran
phenobarbital 10 ml

x 10 ml = 0,08 ml

13
III.3 Prosedur Kerja

a. Pemberian secara oral


1. Ambil tikus jantan putih
2. Siapkan Sonde
3. Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang pada alat suntik
berisi Phenobarbital, diselipkan dekat langit langit tikus dan diluncurkan masuk
ke esofagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit pendorong sambil badan
spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai esofagus.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

b. Pemberian secara intra peritoneal


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih tinggi
dari kepala, larutan oral obat disuntikkan pada bagian perut sebalah kanan bawah
tepat dibawah jantung diatas rongga hati.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

c. Pemberian secara intramuscular


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Suntikkan pada bagian paha tikus
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

d. Pemberian secara subkutan


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Lalu suntikkan dilakukan dibawah kulit tengkuk
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

e. Pemberian secara intravena


1. Ambil tikus putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar
sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor didilatasi dengan
penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organik seperti alkohol.
Penyuntikkan dimulai dari bagian distal ekor.
4. Amati kelakuan tikus dan catat waktunya

BAB IV

HASIL PENGAMATAN
Hewan percobaan : Tikus putih jantan

Obat : Phenobarbital 50mg/ml

Hewan Cara Pemberian Dosis Waktu Waktu Timbul


Pemberian Efek
Tikus ke-1 Oral 0,014ml 09.56 10.52
Tikus ke-2 IP 0,014ml 10.37 11.17
Tikus ke-3 IM 0,014ml 10.46 11.15
Tikus ke-4 SC 0,014ml 11.10 11.26
Tikus ke-5 IV 0,013ml 11.36 11.39

Pengamatan ( waktu timbul efek )


Cara Perubahan Waktu Hipnotik Sedatif Anestesi Jarak
Pemberian aktivitas pemberian obat
Pernafasan cepat 09.56 10.31 10.52 11.56 2jam
perlahan teratur,
Oral
hipnotik sedative
kemudian anastesi
Pernafasan cepat 10.37 10.57 11.17 11.37 1 jam
perlahan mulai
teratur, aktifitas
IP
fisik perlahan
menurun, hipnotik,
sedative, anastesi
Laju pernafasan 11.46 11.01 11.15 11.26 40meit
cepat lama
kelamaan mulai
teratur,
IM
menurunnya
aktivitas fisik,
hipnotik, sedative,
anastesi
Aktif 11.10 11.26 11.35 12.15 1 jam 50 menit
membersihkan
area suntikan,
SC
pernafasan teratur,
hipnotik, sedative,
anastesi
15
Usaha untuk 11.36 11.39 11.44 11.46 10 menit
berdiri gagal,
IV
hipnotik,sedative,
kemudian anstesi

16
BAB V

PEMBAHASAN

Phenobarbital atau 5-etil-5fenilbarbiturat berbentuk hablur putih, tidak berbau, tidak


berasa, stabil di udara, sangat sukar larut dalam air, larut dalam etanol,eter, larutan alkali
hidroksida, sukarlarut dalam kloroform.

Phenobarbital merupakan antikonvulsan golongan barbiturate yang efektif digunakan


untuk mengatasi epilepsy. Karena merupakan golongan barbiturate maka phenobarbital memiliki
mekanisme menekan korteks sensor, menurunkan aktifitas motoric, menyebabkan kantuk, efek
sedasi dan hipnotik. Dosis yang dianjurkan untuk dewasa 60-180mg diminum malam, sedangkan
untuk anak anak 5-8mg/kg bb/hari. Sedangkan untuk injeksi baik IM/IV 50-200mg dan bila perlu
diulang setelah 6 jam.

Pada hasil percobaan, ini, kami memfokuskan pada rute pemberian obat. Hal ini
dimaksudkan untuk menguji apakah dengan merubah rute pemberian obat, suatu obat dapat
memberikan efek yang sama pada setiap individu. Hal ini penting mengingat banyaknya jenis
obat yang beredar dengan cara penggunaan yang berbeda beda untuk menghasilkan efek yang
berbeda pula. Dengan pengetahuan dasar ini diharapkan dapat membantu dalam pemilihan jenis
dan cara pemnggunaan obat sehinga hasil yang diberikan menjadi maksimal.

Pada percobaan ini kami menggunakan tikus dengan berat badan yang berbeda-beda
untuk mendapatkan efek obat yang berbeda pula, hasil yang kami dapat jika diurutkan dari yang
tercepat hingga terlambat terlihat adalah rute pemberian obat dengan cara intravena,
intramuscular, intraperinoteal, subkutan, dan oral. Hal ini dikarenakan rute pemberian obat
secara intavena berhubungan dengan pembuluh darah langsung, oleh karena itu rute pemberian
ini cepat memberikan efek.

Selain itu faktor individual juga dapat mempengaruhi efek obat. Setiap orang dapat
memberikan respons yang berbeda terhadap suatu obat yang sama, hal ini tergantung pada
kepekaan masing-masing individu dalam menerima respon obat tersebut. Perbedaan respons ini
bisaberefek besar sekali, karena untuk setiap obat selalu ada individu yang rentan, sehingga
walaupun dengan dosis rendah sekali efek terapeutik suatu obat sudah dapat terlihat jelas.
Sebaliknya, ada pula individu yang hanya memberikan efek dalam dosis yang amat tinggi. Hal
ini menjadi dasar pertimbangan mengapa dosis obat yang diberikan pada suatu pasien dengan
hasil baik, namun tidak berpengaruh pada pasien lain, meskipun kondisi tubuh dan dosisnya
sama.

Hasil dari percobaan ini diketahui bahwa penggunaan rute secara intravena adalah cara
paling cepat bagi obat untuk dapat meberikan efek, hal ini didukung dengan teori bahwa
penggunaan obat secacra intravena dapat nghasilkan efek yang cepat karena dengan cara ini obat
dapat langsug berada pada peredaran darah tanpa perlu mengalami proses absorbsi. Hal ini juga
yang membedakan pemberian secara intravena dengan pemberian dengan cara lain.

Sednagkan pemberian secara intramuscular, intraperitonial dan subcutan masing masing


memberikan efek yang berbeda, pada pemberian secara intramuscular obat dapat diserap dengan
cepat dan berkala yang disebabkan banyaknya vaskularisasi aliran darah disekitar tempat
penyuntikan. Intra peritoneal memngkinkan obat masuk kedalam sirkulasi sistemik secara cepat,
hal ini di karenakan rongga peritoneum memiliki permukaan absorbs yang luas. Sedangkan pada
subkutan obat yang digunakan hanya berkisar 1-2 ml dan hanya ditujuan untuk obat yang tidak
mengiritasi jaringan.

Penggunaan perorral dianggap paling aman, namun dengan reaksi yang paling lambat
jika dibandingkan dengan lainnya. Hal ini di sebabkan obat harus melewati system
gastroinstentinal sebelum akhirnya dapat doserap oleh pembuluh darah dan diedarkan dalam
tubuh.

18
BAB VI

KESIMPULAN

Kesinpuan yang dapat kami peroleh dari percobaan ini adalah


1. Rute pemberian obat dapat melalui oral, intravena, intramuscular, intraperitonial, dan
subkutan, maupun cara lain.
2. Pada percobaan ini dihasilkan urutan efektifitas obat dari yang tertinggi hingga yang
terrendah yaitu intravena (IV), intramuscular (IM), intraperitonial (IP), subcutan
(SC), dan oral
3. Pada percobaan ini diketahui bahwa pemberian melalui intravena menghasilkan efek
tercepat dibandingkan rute lainnya, hal ini disebabkan obat tidak perlu mengalami
proses absorbs dan dapat masuk langsung melalui aliran darah yang kemudian
berefek pada individu.
4. Sedangkan pemberian oral menghasilkan efek yang lebih lambat, hal ini disebabkan
obat harus mengalami proses penceraan di gastroinstetina sehingga memperlambat
obat memberikan efek.
5. Masing masing pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri seperti
penggunaan oral memiliki absorbs yang lambat namun dapat digunakan oleh siapa
saja tanpa menggunakan tenaga ahli, sedangkan intravena dan intramuscular
memberikan efek yang cepat namun perlu bantuan tenaga ahli untuk
menggunakannya selain itu resiko infeksi juga dapat meningkat. Sedangkan
intraperitonial dan subcutan meski memiliki efek yang sama seperti intravena dan
intramuscular namun memiliki harga yang cukup tinggi.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
PENGARUH VARIASI BIOLOGIK
TERHADAP DOSIS OBAT
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan
aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini
kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan
metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan
kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak
efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain
faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-
faktor lain.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal

I.3 Prinsip Percobaan

Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada tiap-tiap
individu disebabkan karena adanya variasi biologi yang mempengaruhi respons tubuh
terhadap obat.
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat

1. Faktor Genetik atau Keturunan

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam
kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan
terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.

Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui n-


asetilasi. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada perbedaan
kemampuan asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo merupakan
asetilator cepat, sedang orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator lambat. Waktu
paruh isoniazid pada asetilator cepat bervariasi antara 45-80 menit, dan pada asetilator
lambat antara 140-200 menit.

Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim N-asetil
transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh lebih besar
dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat tergantung pada
kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat diekskresikan dalam bentuk
asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat mempunyai masa kerja pendek dan
memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar. Pada asetilator lambat, kemungkinan
terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki lebih besar, misalnya neuritis perifer.
Hidralazin, Prokainamid dan Dapson juga menunjukkan asetilasi yang berbeda secara
genetik. Factor genetik juga berpengaruh ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin,
fenilbutazon, dan nortriptilin.

2. Perbedaan Spesies dan Galur

Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang cukup
besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolik atau
pebedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.

Contoh : Fenilasetat, pada manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine, sedang
pada kelinci dan tikus terkonjugasi pada glisin saja. Asam benzoate, pada bebek
diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan pada anjing diekskresikan sebagai asam
hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot mengalami deaminasi oksidatif,
sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol, pada kucing terkonjugasi
dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan asam glukuronat, karena kucing
mengandung lebih sedikit enzim glukuronil transferase. Fenitoin, pada manusia
mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-orto-hidroksifenitoin.

3. Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama
baik pada tikus betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata memetabolisis
beberapa obat dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus jantan. Contoh : N-
demetilasi aminopirin, oksidasi heksobarbital, dan glukuronidasi O-aminofenol. Hal ini
menunjukkan bahwa selain perbedaan jenis kelamin, metabolisme juga tergantung pada
macam substrat.

Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati
menunjukkan bahwa rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata berhubungan
dengan aktivitas anabolik dan tidak berhubungan dengan efek androgenik. Pada manusia
baru sedikit yang diketehui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap
proses metabolisme obat.

Contoh : nikotin dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.

4. Perbedaan Umur

Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang
diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka terhadap obat.
Contoh pengaruh umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital, bila diberikan pada
tikus yang baru lahir dengan dosis 10 mg/kg berat badan, menyebabkan tikus tertidur
selama 6 jam, sedang pada pemberian dengan dosis yang sama pada tikus dewasa hanya
menyebabkan tertidur kurang dari lima menit. Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir
mempunyai waktu paruh enam jam, sedang pada orang dewasa delapan jam. Hal ini
disebabkan kemampuan bayi untuk metabolisme oksidatif masih rendah. Kloramfenikol,
pemberian pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan sindrom bayi kelabu. Hal ini
disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relatif
sedikit, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikol rendah, akibatnya terjadi
penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Bayi yang
baru lahir mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative sedikit.
Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi pada
proses konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan hemoglobin
dengan obat-obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis terkumpul pada
jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan.

5. Penghambatan enzim Metabolisme


23
Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu senyawa yang
menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat,
memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan
toksisitas.

Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat menghambat


enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid, sehingga menyebabkan
kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan isonizid, dapat menghambat
enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin, dan para-amino salisilat,
sehingga kadar obat dalam serum darah meningkat dan meningkat pula toksisitasnya.
Fenilbutazon, secara stereoselektif dapat menghambat metabolisme (S)-warfarin,
sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka,
terjadi perdarahan yang hebat.

6. Induksi enzim metabolism

Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa obat
dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan bukan karena
perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan. Peningkatan
aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau prases induksi enzim mempercepat
proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma, sehingga efek
farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Contoh :
Fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan metabolisme
warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Oleh karena itu, penderita yang diobati
dengan warfarin dan akan diberi fenobarbital, maka dosis warfarin harus disesuaikan
(diperbesar). Rokok mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon, seperti benzo(a)piren,
yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga meningkatkan
oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin, dan profoksifen.
Contoh : waktu paruh teofilin pada perokok = 4,1 jam, sedang pada orang yang tidak
merokok = 7,2 jam. Fenobarbital, dapat meningkatkan metabolisme griseofulvin,
kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen, dan obat
kontrasepsi oral. Fenitoin, dapat meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol,
nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral. Fenilbutazon, dapat meningkatkan metabolisme
aminopirin dan kortisol. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat
karena dapat meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif. Contoh
induksi enzim sitokrom P-450 oleh fenobarbital akan meningkatkan oksidasi
asetaminofen, sehingga pembentukan metabolit reaktif imidokuinon meningkat dan efek
hepatotoksisitasnya menjadi lebih besar.

7. Faktor Lain-Lain

24
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan,
keadaan kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat
oleh protein plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan patologis hati, misal
kanker hati. (Siswandono, 1995)

Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat

Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons


suatu obat. Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu
obat. Sesungguhnya, respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang
sama diberikan pada saat yang berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang,
individu menunjukkan respons obat yang tidak umum atau respons idiosinkratik obat,
suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar pasien. Respon-respon idiosinkratik
biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam metabolisme obat atau oleh
mekanisme imunologik, termasuk reaksi-reaksi alergik.

Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting secara
klinik: seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif terhadap
suatu obat dalam hal intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan menurun atau
meningkat bila dibandingkan dengan efek yang tampak pada mayoritas individu-
individu. Kemampuan merespons biasanya menurun sebagai akibat dari pemberian
obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu keadaan toleran yang relative
pada efek-efek obat.

Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan


terhadap kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu
seorang pasien pada waktu yang berbeda.

a. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor

Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang


relevan, perbedaan-perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan
mengubah respons klinik. Perbedaan-perbedaan tertentu dapat diprediksi
berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan penyakit, fungsi hati dan
ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari perbedaan-
perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri
yang fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.

b. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen

Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons terhadap


antagonis-antagonis farmakologik.

25
c. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor

Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-perubahan


dalam kemampuan memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan atau
penurunan jumlah situs reseptor atau oleh perubahan-perubahan efisiensi
mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor distal. Dalam beberapa
hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu
sel atau jaringan yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan
oleh agonis endogen. Ketika antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang
meningkat dapat menimbulkan respon yang berlebih-lebihan pada konsentrasi-
konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah reseptor yang
diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.

d. Perubahan-Perubahan dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor


Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor,
respon yang tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional
proses-proses biokimia di dalam sel yang merespons dan meregulasi secara
fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)

Faktor-faktor lain

Interaksi obat

Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.

Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena
obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer),
misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus
menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai
reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.

26
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi
pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.

Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi)
yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi
terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat untuk
penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavalabilitas antara 10-
20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.

Pengaruh lingkungan

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap


obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya
(makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam
asap rokok meninduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya
teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan
demikian mengurangi respons penderita.( Tanu, 2007;hal 828-829 )

Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah
pengobatan tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang
diinginkan (gambaran gejala suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang
mencerminkan perubahan pada situasi psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien
apakah itu terkait atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu
tentang diagnosis dan tentang nilai terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan
seorang dokter yang merawat haruslah seorang yang ramah, kompeten, dapat dan
dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat sehingga
mengoptimalkan proses penyembuhan.

Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi


genting seperti pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika
berlangsungnya pertempuran, hanya untuk penglaman sakit parah pada
keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok, yang disebabkan oleh
tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).

27
28
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat
k. Kawat kandang
l. Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
m. Timbangan
n. Stopwatch
o. Spidol
p. Koran
q. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
r. Sarung tangan & Masker
s. Beaker Glass
Bahan
t. Kapas
u. Alkohol
v. Diazepam 5mg/ml
w. Tikus Putih Jantan 3 ekor
x. Aqua Pro Injeksi
III.2 Prosedur Kerja
1. Tikus jantan putih ditimbang
2. Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
3. Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi
dari kepala
4. Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
5. Diamati kelakuan tikus setelah disuntikkan, catat waktu nya saat timbul efek dan hilang
efek. Lakukan hal yang sama pada tikus ke II dan III.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Setelah penyuntikan obat, masing-masing tikus ditempatkan dalam kadang dan amati
efeknya setelah 45 menit, catat waktu timbul setiap efek.
Sesuai dengan efek yang diamati, masing-masing tikus dikelompokkan sebagai berikut :
- Sangat resisten : tidak ada efek.
- Resisten : tikus tidak tidur, tetapi mengalami ataksia.
- Efek sesuai : tidak tidur, tetapi tegak kalau diberi rangsangan nyeri.
- Peka : tidur, tidak tegak meskipun diberi rangsang nyeri.
- Sangat peka : mati.

Hewan : tikus putih ; jantan ;usia dua bulan

Berat Badan tikus : (309g),(298),(306g)

Obat yang digunakan : Phenobarbital 50mg/ml (2tikus)

NaCl 0,9% (1tikus)

Pengamatan
Hewan Obat Dosis CP Keterangan
Sebelum Sesudah

Tikus 1 Phenobarbital 0,5ml IP Aktif Hipnotik Peka

Tikus 2 Phenobarbital 0,45ml IP Aktif Mati Sangat Peka

Tikus 3 NaCl 0,5ml IP Aktif Tidak ada efek Sangat Resisten


BAB V

PEMBAHASAN

Pada percobaan variasi biologi, dilakukan menggunakan tiga tikus jantan putih. Obat
yang digunakan adalah Phenobarbital dengan dosis 50mg/kgBB melalui Interperitonial.
Fenobarbital merupakan golongan obat hipnotik sedative yang mempengaruhi syaraf pusat.

Berdasarkan hasil percobaan, terdapat perbedaan efek farmakologi pada beberapa tikus
yang diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada tikus yang diberikan fenobarbital melalui rute
inteperitonial memberikan efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian fenobarbital melalui
intramuscular dan rektal.

Pengamatan selama 45 menit dapat di jelaskan bahwa pada percobaan tikus 1 dengan
menyuntikan phenobarbital 0,5ml dengan cara intraperitonial, adalah Peka dimana tikus
tertidur tetapi bila di beri rangsangan nyeri tidak tegak. Pada percobaan tikus 2 dengan berat
badan 298gram dan menyuntikan phenobarbital 0,45ml dengan cara IP adalah hasil
pengamatannya Sangat peka dimna tikus pada saat masuk menit ke 5 reaksinya begitu cepat,
tikus kolaps serta tangan dan kakinya terlihat kaku, memasuki menit ke 10 tikus langsung mati.
Pada percobaan tikus 3 dimana percobaan ini hanya sebagai blanko atau pembanding saja
dengan menyuntikan NaCl 0,5ml dengan cara IP, hasil pengamatan yang kami dapat adalah
Sangat resisten dimana tikus masih aktif dan tidak ada reaksi sama sekali setelah disuntikan
NaCl selama 45 menit.

Variasi biologi menyatakan perbedaan besarnya respon diantara individu berbeda dalam
suatu populasi yang diberi obat dengan dosis sama. Efek obat pada individu yang berlainan tidak
pernah sama, demikian juga efek obat yang diberikan pada individu yang sama pada waktu yang
berlainan. Variasi biologi juga menunjukan bahwa untuk mendapatkan suatu intensitas efek yang
sama pada individu-individu yang berlainan , diperlukan dosis obat yang berbeda-beda.

Variasi biologi akan memberikan efek farmakologi yang berbeda kepada dua atau lebih
individu berbeda dengan usia , jenis kelamin , dan bobot badan yang sama akan berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Hal ini karena setiap individu memiliki karakteristik yang
berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini pula yang menyebabkan perbedaan pada respon
terhadap suatu obat dengan dosis tertentu. Perbedaan tersebut disebabkan karena metabolisme
obat, jumlah reseptor obat yang ada pada tubuh pengguna, jumlah enzim yang dimiliki pengguna
,keadaan emosi , dan perbedaan jenis makanan yang dikonsumsi serta banyak hal lainnya
berbeda pada setiap individu.
BAB VI

KESIMPULAN

Terdapat perbedaan efek farmakologi yang dipengaruhi oleh variasi biologi terhadap
dosis obat dengan rute pemberian obat yang diberikan kepada beberapa tikus.
Besarnya respon obat terhadap beberapa tikus berbeda-beda, faktor yang
mempengaruhinya adalah : usia, jenis kelamin, bobot badan, metabolisme tubuh, serta
makanan yang di berikan
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
PENGARUH VARIASI KELAMIN
TERHADAP DOSIS OBAT
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan
aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini
kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan
metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan
kemungkinan meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan
menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak
efektif pada dosis normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain
faktor genetik atau keturunan, perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin,
perbedaan umur, penghambatan enzim metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-
faktor lain.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui pengaruh variasi kelamin terhadap dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan dengan rute pemberian intraperitoneal

I.3 Prinsip Percobaan

Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada tiap-tiap
individu disebabkan karena adanya variasi kelamin yang mempengaruhi respons tubuh
terhadap obat.
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

a. CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

Oral : dimakan /diminum

Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

Rektal, Vaginal, Uretral

Lokal, Topikal, Transdermal

Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

b. FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

1. Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

2. Berat badan

3. Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

4. Ras : slow & fast acetylator

5. Toleransi

6. Obesitas

7. Sensitivitas

8. Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

9. Kehamilan

10. Laktasi

11. Circadian rhythm


BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat
y. Kawat kandang
z. Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
aa. Timbangan
bb. Stopwatch
cc. Spidol
dd. Koran
ee. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
ff. Sarung tangan & Masker
gg. Beaker Glass
hh. Botol Kaca
Bahan
ii. Kapas
jj. Alkohol
kk. Phenobarbital 50mg/ml
ll. Mencit Putih Jantan 3 ekor
mm. Mencit Putih Betina 3 ekor
nn. Aqua Pro Injeksi
III.2 Prosedur Kerja
Sebelum di suntik masing-masing mencit diamati selama 10 menit kelakuan normal nya.
Lalu di suntikan pada bagian perut tikus dengn cara hewan di pegang punggung nya
sehingga kulit abdomen nya menjadi tegang pada saat penyuntikan posisi kepala mencit
lebih rendah pada bagian posisi abdomen nya. Jarum di suntikan dengan membentuk 10 0
dengan abdomen nya agak menepi dari garis tengah, setelah obat di suntikan, masing-
masing mencit di tempatkan kembali ke dalam bejana kaca dan di amati sampai mencit
hiper aktif kembali
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Data percobaan

Bobot mencit jantan 1 = 42,9 g

= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,27885 mg

Bobot mencit jantan 2 = 47,1 g

= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,30615 mg

Bobot mencit jantan 3 = 45,1 g

= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,29315 mg

Bobot mencit betina 1 = 26,3 g


= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,17095 mg

Bobot mencit betina 2 = 34,9 g

= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,22685 mg

Bobot mencit betina 3 = 31,3 g

= = 50 mg X 0,0026 = 0,13

BB = X 0,13 = 0,20345 mg

38
Pengamatan

1. untuk tiap mencit dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek
yang muncul, lama berlangsungnya efek.

Hewan Jenis Berat Cara Obat Dosis Waktu dan


kelamin pemberian Pengamatan

Mencit Jantan 47,1 g IP Phenobarbital 0,30615 ml 10.15 waktu


suntik

10.25
memberi
efek

Mencit Betina 31,3 g IP Phenobarbital 0,20345ml 10.20 waktu


suntik

10.25
memberi
efek
BAB V

PEMBAHASAN

Pemberian obat secara intraperitoneal yaitu dengan cara Mencit dipegang dan diposisikan
telentang, pada penyuntikan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dari
abdomen yaitu, pada daerah yang menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena
kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena penyuntikan pada hati.

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan adalah faktor internal dan
faktor eksternal. Adapun faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi
variasi biologic (usia dan jenis kelamin) pada usia hewan semakin muda maka semakin cepat
reaksi yang ditimbulkan, ras dan sifat genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh dan luas
permukaan tubuh. Factor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan meliputi suplai
oksigen, pemeliharaan lingkungan fisologik (keadaan kandang,suasana asing atau baru,
pengalaman hewan dalam pemberian obat, keadaan rangan tempat hidup seperti sush,
kelembaban, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), pemeliharaan keutuhan
struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan (Adnan, 2013) .
BAB VI

KESIMPULAN

Dari hasil percobaan yang telah diamati ternyata kesimpulannya jenis kelamin tidak terlalu
berpengaruh terhadap kecepatan efek obat yang digunakan dalam percobaan terhadap mencit,
tetapi ada beberapa obat yang factor tersebut sangat berpengaruh pada kecepatan efek obat
terhadap mencit contohnya: obat golongan hormone (progesterone).
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
DOSIS OBAT DAN RESPON

42
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sebagai mahasiswa farmasi sedah seharusnya kita mengetahui dosis suatu obat yang akan
diberikan kepada pasien. Dosis obat adalah jumlah atau ukuran yang diharapakan dapat
menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan. Tujuan dari
penetapan dosis obat ini adalah untuk mendapatkan efek terapeutis dari suatu obat. Hampir
semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek toksik dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan kematian. Hal yang menjadi latar belakang materi ini adalah agar kita
mengetaui kaitan atara peningkatan dosis terhadap respon yang diberikan.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Memperoleh gambaran bagaimana merancang experiment untuk memperoleh DE 50 dan


DL 50.

2. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasinya

I.3 Prinsip Percobaan

1. Dosis respon obat

Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang
diberikan juga ditingkatkan.

2. Indeks terapi

a. Yaitu perbandingan antara DE50 dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan efek pada
50% dari jumlah binatang dan dosis yang mematikan 50% dari jumlah binatang

b. Indeks terapi merupakan ukuran keamanan untuk menentukan dosis obat

43
BAB II
DASAR TEORI

Dosis dan respon pasien berhubungan erat dengan potensi relative farmakologis dan efikasi
maksimal obat dalam kaitannya dengan efak terapefik yang di harapkan. Adapun respon dosis
sangat dipengaruhi oleh :

1. Dosis yang di berikan.

2. Penurunan / kenaikkan tekanan darah.

3. Kondisi jantung.

4. Tingkat metabolisme dan ekskresi.

Respon obat masing masing individu berbeda beda. Respon idiosinkratik biasanya
disebabakan oleh perbedaana genetic pada metabolism obat / mekanisme -mekanisme
munologik, termasuk rasa alergi. Empat mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan
merespon suatu obat:

1. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor.

2. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen.

3. Perubahan dalam jumlah / fungsi reseptor reseptor.

4. Perubahan perubahan dalam komponen respondastal dari seseptor

Macam-macam dosis obat:

Dosis toksik, yaitu dosis yang menimbulkan gejala keracunan.


Dosis minimal, yaitu dosis yang paling kecil yang masih mempunyai efek terapeutik.
Dosis maksimal,yaitu dosis terbesar yang mempunyai efek terapeutik, tanpa gejala/ efek
toksik.
Dosis terapeutik, yaitu dosis diantara dosis minimal dan maksimal yang dapat
memberikan efek menyembuhkan/terapeutik. Dosis ini dipengaruhi oleh Umur, Berat
badan, jenis kelamin, waktu pemberian obat, cara pemberian obat.
(Dewi, 2010

Ada pula beberapa istilah yang berhubungan dengan dosis:

KONSENTRASI DAN RESPON OBAT

44
Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis.
Namun, dengan meningkatnya dosis penigkatan respon menurun. Pada akhirnya, tercapailah
dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada system ideal atau system in vitro
hubungan antara konsentrasi obat dan efek obat digambarkan dengan kurva hiperbolik pada
EC50, di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C, Emaks adalah respons maksimal
yang dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah konsentrasi obat yang menghasilkan 50% efek
maksimal.

Hubungan dosis dan respons bertingkat

1. Efikasi (efficacy)
Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi tergantung pada
jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan
dalam menghasilkan suatu kerja seluler.
2. Potensi
Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran berapa bannyak
obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah dosis yang
dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat tersebut.Potensi paling
sering dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50% dari respon maksimal
(ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan ED50 yang
lebih besar.
3. Slope kurva dosis-respons
Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang
curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu
perubahan yang besar. (Katzung, 1989)

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu (ED50) disebut juga dosis terapi
median. Dosis letal median adalah dosis yang emnimbulkan kematian pada 50% individu ,
sedangkan TD50 adalah dosis toksik 50% (Ganiswara, 1995).

Variabel Hubungan dosis-intensitas efek obat

Kurva sederhana yang menunjukkan hubungan dosis-intensitas efek obat selallu mempunyai
4 variabel karakteristik, yaitu: potensi, kecuraman (Slope), efek maksimal, dan variasi
individual

45
a. Potensi: menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan
oleh kadar obat yang mencapai reseptor.
b. Efek maksimal/efektivitas: respon maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika
diberikan pada dosis yang tinggi
c. Slope: menunjukkan batasan keamanan obat.
d. Variasi biologic: variasi antar individu dalam besarnya respons terhadap dosis obat yang
sama pada populasi yang sama. (Farmakologi dan Terapi, 2007)

INDEKS TERAPI

Obat mempunyai respon farmasetik sepanjang masih adanya dosis obat yang terkandung
dalam obat dan berada dalam margin/ batas keamanan obat. Beberapa obat mempunyai batas
terapi yang luas. Ini menunjukkan bahwa pasien dapat diberikan dengan range tingkat dosis
yang lebar tanpa terjadi efek toksik. Obat lainnya mempunyai batas terapi yang sempit
dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan atau bahkan efek toksik ( Yesi, 2009 ).

Dosis yang memberikan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis
efektif median ( ED 50 ). Dosis letal median ( LD 50 ) adalah dosis yang menimbulkan
kematian pada 50% individu, sedangkan TD 50 adalah dosis toksik pada 50% individu
( Departemen Farmakologik dan Terapeutik, 2007 ).

Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan racun dengan dosis
yang menghasilkan respon klinis yang diinginkan atau efektif dalam populasi individu.

Dimana: TD50 adalah dosis obat yang menyebabkan respon beracun di 50% dari populasi
dan ED50 adalah dosis terapi obat yang efektif dalam 50% dari populasi.

Baik ED50 dan TD50 dihitung dari kurva dosis respon quantal, yang merupakan frekuensi
yang masing-masing dosis obat memunculkan efek respon atau beracun yang diinginkan
dalam populasi.

46
Ada beberapa karakteristik penting dari kurva dosis-respons quantal (lihat gambar di atas)
yang patut dicatat:

a. Dosis obat dalam plasma diplot dalam sumbu horisontal sedangkan persentase individu
(hewan atau manusia) yang menanggapi atau menunjukkan efek toksik direpresentasikan
dalam sumbu vertikal.
b. Beberapa contoh respon positif meliputi: bantuan, sakit kepala untuk obat antimigraine,
peningkatan denyut jantung minimal 20 bpm untuk stimulan jantung, atau 10 jatuh
mmHg pada tekanan darah diastolik untuk antihipertensi.
c. Data diperoleh dari suatu populasi. Tidak seperti grafik dosis-respons dinilai, data untuk
kurva dosis-respons quantal diperoleh dari banyak individu.( Guzman, 2011 )

Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan efek terapi (respon positif) dalam 50% dari populasi
adalah ED50 tersebut.

Dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek toksik di 50% dari populasi dikaji adalah TD50
tersebut. Untuk studi hewan, LD50 adalah dosis yang dapat menyebabkan kematian 50% dari
populasi ( Guzman, 2011)

47
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat
oo. Kawat kandang
pp. Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
qq. Timbangan
rr. Stopwatch
ss. Spidol
tt. Koran
uu. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
vv. Sarung tangan & Masker
ww. Beaker Glass
xx. Kapas
Bahan
yy. Alkohol
zz. Na. Tiopental larutan 0,35% dan 0,7%, dosis 35mg/kg bb
aaa. Mencit Putih Jantan bobot badan rata-rata 18-22 gr
bbb. Aqua Pro Injeksi

III.2 Prosedur Kerja

1. Hewan dibagi enam kelompok, msing-masing kelompok dengan 2 ekor mencit.


2. Tandai masing-masing mencit hingga mudah dikenali
3. Dosis yang digunakan lazimnya meningkat dengan factor perkalian 2 (untuk obat
tertentu dapat dengan factor perkalian yang berbeda

48
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

(Dosis obat dan respon)

Hewan : Mencit jantan 5 ekor (1 blanko)

Berat Badan : - Mencit 1: 45,8 g - Mencit 4: 42 g

- Mencit 2: 29,9 g - Mencit 5: 35,1g

- Mencit 3: 38,9 g

Obat : - Phenobarbital 50mg/ml (Mencit 1-4)

- Nacl 0,9% (Mencit 5/blanko)

Data Konversi : Manusia Mencit (0,0026)

Perhitungan dosis:

Phenobarbital 50mg/ml 0.0026 x 50 mg/ml = 0,13 mg/ml

- Mencit 1

244,0 198,2 = 45,8 g

Volume yang di ambil: 0,29 ml

- Mencit 2

228,1 198,2 = 29,9 g

Volume yang di ambil: 0,19 ml

- Mencit 3

237,1 198,2 = 38,9 g


49
Volume yang di ambil 0,25 ml

- Mencit 4

239,6 198,2 = 42 g

Volume yang di ambil 0,3 ml

- Mencit 5 (Blanko)

Disuntikkan NaCl 0,9% = 0,5 ml

Tabel Pengamatan :

Hewan Obat CP Dosis Sedasi Hpnotik Anestesi

Mencit 1 Phenobarbital IV 0,29 mg Menit ke-5 Menit ke-7 Menit ke-15

Mencit 2 Phenobarbital IV 0,19 mg Menit ke-15 Menit ke-20

Mencit 3 Phenobarbital IV 0,25 mg Menit ke-10 Menit ke-20

Mencit 4 Phenobarbital IV 0,3 mg Mati dalam


jangka
waktu 30
detik

Mencit 5 Phenobarbital IV 0,5 mg Blanko Blanko Blanko

50
BAB V

PEMBAHASAN

Dilakukan pemberian secara intravena yaitu obat yang diinjeksikan melalui vena pada
ekor mencit menggunakan jarum. Mencit dimasukkan ke dalam wadah penahan tertutup dengan
ekornya menjulur ke luar. Ekor di celupkan ke dalam air hangat (40-50 oC) untuk mendilatasi
vena guna mempermudah penyuntikkan (atau ekor dapat diusap dengan alcohol). Dengan
pemberian secara intravena ini diharapkan efek yang cukup cepat, kerena langsung menembus
membrane pembuluh darah dan masuk ke pembuluh darah. Hewan uji diamati apakah timbul
efek atau tidak. Timbulnya efek ditandai dengan hilangnya reflek balik badan. Dipilih obat
phenobarbital karena bersifat sedative sehingga efek dapat diamati. Pada mencit ke 1 timbul efek
dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan hewan uji lainnya, karena dosis yang lebih
tinggi. Pada dosis kecil sangat lama untuk menimbulkan efek karena jumlah reseptor yang ada
lebih banyak dari jumlah obat sehingga efek timbul sangat lama. Dari data pengamatan dari
kelompok kami yang tidur atau menerima efek di semua mencit berbeda. Hal ini disebabkan
karena kadar biologis dan ketahanan mencit berbeda- beda terhadap obat dengan dosis
pemberian yang sama. Pada percobaan phenobarbital yang diberikan tidak mengalami induksi
enzim karena hanya sekali diberikan atau tidak berulang- ulang.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
HIPNOTIKA & SEDATIVA
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem saraf
lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga
disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem
saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang
(medula spinalis).

Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik
misalnya hipnotik sedativ. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi menjadi obat
depresan saraf pusat yaitu anastetik umum, hipnotik sedativ, psikotropik, antikonvulsi,
analgetik, antipiretik, inflamasi, perangsang susunan saraf pusat.

Dalam percobaan ini mahasiswa farmasi diharapkan mampu untuk mengetahui dan
memahami bagaimana efek farmakologi obat depresan saraf pusat dimana dalam
percobaan ini mahasiswa mengamati anastetik umum dan hipnotik sedativ yang diujikan
pada hewan coba mencit (Mus musculus).

Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk
diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa
farmasi dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf
pusat. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya percobaan ini.

I.2 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui dan memahami efek dari obat golongan barbiturat dengan jangka
waktu kerja yang berbeda pada hewan tikus putih.

I.3 Prinsip Percobaan

Obat obat kelompok barbiturate termasuk yang bekerja depresan umum, berarti
nekerja depresif terhadap sejumlah besar fungsi dan organ organ system tubuh, tidak terbatas
hanya pada system saraf pusat, sama halnya dengan anastetika umum dan anastetika lokal ,
efek barbiturate pun tidak spesifik, dan reversible. Manifestasi efek depresinya mungkin
sekali tidak didasarkan pada mekanisme kerja yang sama. Variasi dan substituent pada
molekul barbiturate berpengaruh pada daya larut obat obta ini dalam lemak, yang
mempengaruhi pula secara langsung kecepatan muncul efek, jangka waktu berlangsung efek,
kecepatan biotransformasi, redistribusi, jenis efek dan toksisitas senyawa barbiturate.
BAB II

DASAR TEORI

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan serta
terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan
stimulus eksternal dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan saraf pusat dan
susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon) dan medula spinalis
(sumsum tulang belakang)

Anastetik umum adalah senyawa obat yang dapat menimbulkan anastesi (an=tanpa,
aesthesis=perasaan) atau narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum yang bersifat reversible
dari banyak pusat sistem saraf pusat, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan, agak
mirip dengan pingsan.

Anastetik umum digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi serta
menimbulkan relaksasi pada pembedahan. Tahap-tahap anastesi antara lain:

1. Analgesia

Kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria (rasa nyaman) yang
disertai impian-impian yang menyerupai halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida
memberikan analgesia yang baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental
tahap berikutnya.

2. Eksitasi

Kesadarn hilang dan terjadi kegelisahan (=tahap edukasi).

3. Anestesi

Pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur (pernapasan perut),
gerakan bola mata dan reflex bola mata hilang, otot lemas.

4. Pelumpuhan sumsum tulang

Kerja jantung dan pernapasan berhenti. Tahap ini harus dihindari.

Anastetik umum merupakan depresan sistem saraf pusat, dibedakan menjadi anastetik
inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anastetik parenteral. Pada percobaan
hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap dan anastetik parenteral.

Efek anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch respon,
yaitu dengan menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda misalnya pensil. Jika
mencit tidak bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh anastetik. Selain itu pasivitas juga
dapat mengindikasikan pengaruh anastesi. Pasivitas yaitu mengukur respon mencit bila
diletakkan pada posisi yang tidak normal, misalnya mencit yang normal akan menggerakkan
kepala dan anggota badan lainnya dalam usaha melarikan diri, kemudian hal yang sama tetapi
dalam posisi berdiri, mencit normal akan meronta-ronta. Mencit yang diam kemungkinan
karena terpengaruh oleh senyawa anastetik. Uji neurologik yang lain berkaitan dengan
anastetik ialah uji ringhting refles.

Mekanisme terjadinya anesthesia sampai sekarang belum jelas meskipun dalam


bidang fisiologi SSP dan susunan saraf perifer terdapat kemajuan hebat sehingga timbul
berbagai teori berdasarkan sifat obat anestetik,misalnya penurunan transmisi sinaps,
penurunan konsumsi oksigen dan penurunan aktivitas listrik SSP.

Hipnotik atau obat tidur (hypnos=tidur), adalah suatu senyawa yang bila diberikan
pada malam hari dalam dosis terapi, dapat mempertinggi keinginan fisiologis normal untuk
tidur, mempermudah dan menyebabkan tidur. Bila senyawa ini diberikan untuk dosis yang
lebih rendah pada siang hari dengan tujuan menenangkan, maka disebut sedativa (obat
pereda). Perbedaannya dengan psikotropika ialah hipnotik-sedativ pada dosis yang benar
akan menyebabkan pembiusan total sedangkan psikotropika tidak. Persamaannya yaitu
menyebabkan ketagihan.

Tidur adalah kebutuhan suatu makhluk hidup untuk menghindarkan dari pengaruh
yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Pusat tidur di otak mengatur fungsi fisiologis ini.
Pada waktu terjadi miosis, bronkokontriksi, sirkulasi darah lambat, stimulasi peristaltik dan
sekresi saluran cerna.

Tidur normal terdiri dari 2 jenis:

1. Tidur tenang : (Slow wafe, NREM = Non Rapid Eye Movement), (ortodoks) yang
berciri irama jantung, tekanan darah, pernapasan teratur, otot kendor tanpa
gerakan otot muka atau mata.

2. Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau paradoksal, cirinya otak memperlihatkan
aktivitas listrik (EEG=Electro encephalogram), seperti pada orang dalam keadaan
bangun dan aktif, gerakan mata cepat. Jantung, tekanan darah dan pernapasan naik
turun naik, aliran darah ke otak bertambah, ereksi, mimpi.

Istilah anesthesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa
sakit. Anesthesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. anesthesia lokal, yaitu hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran

b. anesthesia umum, yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Anesthesia
yang dilakukan dahulu oleh orang Mesir menggunakan narkotik, orang Cina
menggunakanCanabis indica, dan pemukulan kepala dengan tongkat kayu untuk
menghilangkan kesadaran.

Golongan obat hipnotik-sedatif yaitu:

1. Benzodiazepine

Contohnya: Klordiazepin, Klorozepat, Diazepam, Lorazepam, Oksazepam,


Temazepam
55
2. Barbiturat

Contohnya: Amobarbital, Aprobarbital, Barbital, Heksobarbital, Kemital,


Mefobarbital, Bupabarbital

Hipnotik lainnya contohnya: kloral hidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, meprobamat

Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam sistem saraf pusat sama dengan sistem
saraf otonom. Misalnya transmisi informasi dalam sistem saraf pusat dan perifer keduanya
menyangkut lepasnya neurotransmitter yang melintas pada celah sinaptik untuk kemudian
terikat pada reseptor spesifik neuron postsinaptik. Dalam pengenalan neurotransmitter oleh
membran reseptor neuron postsinaptik memberikan perubahan intraseluler.

Pada sebagian besar sinaps sistem saraf pusat, reseptor tergabung dalam saluran ion,
mengikat neurotransmitter ke reseptor membran postsinaptik sehingga dapat membuka
saluran ion secara cepat dan sesaat. Saluran yang terbuka ini kemungkinan ion didalam dan
luar membran sel mengalir kearah konsentrasi yang lebih kecil. Perubahan komposisi dibalik
membran neuron akan mengubah potensial postsinaptik, menghasilkan depolarisasi atau
hiperpolarisasi membran postsinaptik, yang tergantung pada ion tertentu yang bergerak dan
arah dari gerakan itu.

Gangguan neurotransmisi yang dapat diobati dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
yang disebabkan oleh terlalu banyaknya neurotransmisi dan oleh terlalu sedikitnya
neurotransmisi.

Neurotransmisi yang terlalu banyak disebabkan oeh:

a. Sekelompok neuron yang terlalu mudah dirangsang yang bekerja tanpa adanya
stimulus yang sesuai, misalnya gangguan kejang, terapi diarahkan pada pengurangan
otomatisitas sel sel ini.

b. Terlalu banyak molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor


pascasinaptik. Terapi meliputi pemberian antagonis yang memblokir reseptor
reseptor pascasinaptik.

c. Terlalu sedikit molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor


pascasinaptik, misalnya parkinson. Beberapa strategi pengobatan yang meningkatkan
neurotransmisi, meliputi obat obatan yang menyebabkan pelepasan neurotransmitter
dari terminal prasinaptik, dan prekursor neurotransmitter yang diambil kedalam
neuron prasinaptik dan dimetabolisme menjadi molekul neurotransmitter aktif.

Neurotransmitter otak terdiri dari:

Norepinefrin

Dopamin

5-Hidroksitriptamin
56
Asetilkolin

Asam gamma amino butirat (GABA)

Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan
sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah
banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang
memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Secara kimia, barbiturat merupakan
derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil
reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat

Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi
dapat dicapai, mulaidari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas
barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat
dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur
fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh
golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi
umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya
fenobarbital.

Pada SSP

Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama
kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya
terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak
semuanya melalui GABA sebagai mediator.

Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi
transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai
kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis
GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP
yang berat.

Pada susunan saraf perifer

Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi


eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah
setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.

Pada pernafasan

57
Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis.
Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan,
sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan
dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2)
hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan
laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur
nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru
berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan
O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.

Pada Sistem Kardiovaskular

Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system
kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang
ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat
dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada
intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat
depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat
vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.

Farmakokinetik

Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan
menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas
dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam
lemak; tiopental yang terbesar.
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan
menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang
kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna
didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi
ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam
bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia. Faktor yang
mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal
terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang
mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi
hampir pada semua obat golongan barbiturat.

Indikasi

Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek
terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan
benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang
digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.

58
Tiopental

1. Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.

2. Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).

3. Sedasi pada analgesik regional

4. Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus

Fenobarbital

1. Untuk menghilangkan ansietas

2. Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)

3. Untuk sedatif dan hipnotik

Kontra Indikasi

Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal,
hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita
psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi
pada penderita usia lanjut.

Efek Samping

Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat
terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa
vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat
bertambah berat. Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat
(terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada
depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada
penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri,
dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium. Alergi, Reaksi alergi terutama
terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas dapat timbul, terutama
dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan
fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.
Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat
MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.

59
60
BAB III

PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


Alat
1. spuit
2. Timbangan
3. Spidol
4. Stopwatch
Bahan
1. Tikus putih jantan
2. NaCl Fisiologis
3. Phenobarbital

3.2 Prosedur Kerja


1. Berikan 2 ekor tikus putih phenobarbital secara intravena
2. Berikan 1 ekor tikus yang lainnya NaCl fisiologis secara intravena
3. Amati efek yang terjadi, dan simpulkan mula dan lama kerja kedua barbiturate
tersebut.
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

4.1 PERHITUNGAN

A. TABEL KONVERSI

Dosis Factor konversi

Mencit 0,0026 20 gram

Tikus 0,018 200 gram

Kelinci 0,07 1,5 kilogram

B. DOSIS

Phenobarbital yang digunakan : 50 mg/ml

Dosis tikus :

Konversi = 0,018 x 50mg/ml = 0,9 ml

- Tikus 1 (Berat 97 gram)

- Tikus 2 (Berat 96,4 gram)

- Tikus 3 (Berat 155,4 gram)

C. Pengamatan

Tabel Pengamatan

Hewan Waktu
Obat Dosis obat Pengamatan
Percobaan timbul efek

Tikus 1 Phenobarbital 0,4 ml 00:04:00 Tikus mulai tenang


00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative

Tingkah laku tikus mulai


00:60:00
berkurang dan lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:30:00
hipnotik

Efek hipnotika memasuki


02:00:00
fase anastesi

Tikus 2 Phenobarbital 0,4 ml 00:04:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative

Tingkah laku tikus mulai


00:60:00
berkurang dan lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:30:00
hipnotik

Efek hipnotika memasuki


02:00:00
fase anastesi

Tikus 3 Phenobarbital 0,7 ml 00:03:00 Tikus mulai tenang

00:10:00 Tikus lebih tenang

Mulai memasuki efek


00:30:00
sedative

Tingkah laku tikus mulai


00:50:00
berkurang dan lebih lemas

Mulai memasuki efek


01:20:00
hipnotik

Efek hipnotika memasuki


02:00:00
fase anastesi

BAB V
PEMBAHASAN

63
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang
realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran, keadaan
anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan
aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan. Obat
hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang
menyerupai tidur fisiologis.
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan saraf lainnya
didalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan.

Dalam percobaan ini praktikan dapat memahami obat-obat apa saja yang merangsang
atau bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi
menjadi obat depresan saraf pusat, yaitu anastetik umum (memblokir rasa sakit), hipnotik
sedativ (menyebabkan tidur), psikotropik (menghilangkan rasa sakit), opioid. Analgetik
antipiretik antiinflamasi dan perangsang susunan saraf pusat. Anastetik umum merupakan
depresan SSP, dibedakan menjadi anastetik inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap
dan anestetik menguap dan anestetik parental. Pada percobaan hewan dalam farmakologi
yang digunakan hanya anastetik menguap dan anastetik parental.

Percobaan kali ini ingin diketahui bagaimana kerja dan efek suatu obat pada sistem
saraf pusat. Mekanisme kerja dari anestetik umum adalah bahwa anestetik umum merupakan
keadaan depresi umum yang sifatnya reversible dari banyak pusat SSP, dimana seluruh
perasaan dan kesadaran ditiadakan yang agak mirip dengan pingsan. Anastetik umum ini
digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi serta menimbulkan relaksasi
pada pembedahan.
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat dengan zat aktif phenobarbital
kadar 50 mg. Pada saat praktikum obat ini dibagi menjadi beberapa dosis (3 dosis berbeda)
untuk mengetahui perbedaan onset dan durasi kerja dari phenobarbital .
Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa pada tikus mengalami fase anastesi setelah
hipnotik dikeranakan kesalahan perhitungan dosis di saat praktikum berlangsung. Seharusnya
setelah mengalami efek hipnotika tingkah laku tikus akan kembali normal.

64
BAB V
KESIMPULAN
Perbedaan kadar dalam pengobatan, dalam hal ini hipnotik-sedativ, mempengaruhi daya
kerja obat. Namun demikian perlu diperhatikan juga tempat pemberiannya, karena berbeda
tempat pemberian obat, berbeda pula onset dan durasi kerjanya.
PERTANYAAN

Coba rumuskan hubungan antara perbedaan-perbedaan jangka waktu kerja berbagai


barbiturat ini dengan penggunaan praktis di klinik.
Jawab :
Nama internasional Lama kerja Dosis hipnotik
rata-rata (g)

Obat penghantar tidur


Sekobarbital Singkat sampai sedang 0,1-0,2
Obat penghantar tidur
dan memperpanjang tidur
Vinilbital Sedang 0,15
Aprobarbital Sedang 0,1-0,2
Sekbutabarbital Sedang 0,1-0,2
Pentobarbital Sedang 0,1-0,2
Heptabarbital Sedang 0,1-0,2
Siklobarbital Sedang (lama) 0,1-0,2
Fenobarbital Lama 0,1-0,3
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
DIURETIKA
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Seluruh sel-sel tubuh terendam dalam suatu cairan yang disebut cairan intestinal, yang
bertindak sebagai lingkungan dalam dari sel-sel. Oleh sebab itu volume dan komposisi
cairan intestial harus tetap dalam berad batas-batas yang tertentu agar sel-sel dapat
berfungsi dengan normal. Perubahan dari volume dan komposisi cairan nintestial dapat
menimbulkan kelainan fungsi tubuh. Kelainan volume cairan vaskuler akan menganggu
fungsi kardiovaskuler, sedang perubahan komposisi cairan intestitial akan menganggu
fungsi.

Terdapat banyak keadaan keadaan yang dapat mengganggu volume dan komposisi
cairan tubuh tersebut, antara lain ingesti (pemasukan) air atau defripasi (hilangnya) air,
ingesti atau defrivasi elektrolit, kelebihan asam atau alkali, produk metabolisme atau
pemberian bahan-bahan toksik.

Jadi jelas harus terdapat suatu regulasi aktif untuk mempetahankan lingkungan agar tetap
konstan, terutama dalam menghadapi faktor yang dapat mengganggu kestabilan volume
dan komposisi cairan interistitial

I.2 Tujuan Percobaan

1. Untuk mengetahui efek dari obat diuretik pada hewan percobaan.

2. Untuk mengetahui volume urin yang dihasilkan oleh hewan akibat pemberian obat
diuretik.

3. Untuk mengetahui mekanisme kerja dari obat diuretik

I.3 Prinsip Percobaan

Penentuan efek farmakologi dari obat obat diuretik yaitu furosemid terhadap tikus yang
setelah diberikan air per oral, berupa pengamatan terhadap frekwensi urinasi dan volume
urinasi setiap interval waktu 20 menit selama 3 jam.
BAB II

DASAR TEORI

Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih banyak.
Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau
natriuretika (diuretika dalam arti sempit). (Mutschler,1991)

Walaupun kerja nya pada ginjal,diuretika bukan obat ginjal,artinya senyawa ini tidak dapat
memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,demikian juga pada pasien insufisiensi
ginjal jika diperlukan dialysis,tidak dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini.
Beberapa diuertika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin
dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga memperburuk insufisiensi
ginjal. (Mutschler,1991)

Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui kerja
langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya zat-zat
yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin), memperbesar volume darah
(dekstran), atau merintangi sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).

Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan semua
zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana semuanya melintasi saringan ginjal
kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.

Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh. Ginjal
merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni keseimbangan dinamis
antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan volume total dan susunan cairan
ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah ion Na+, yang untuk sebagian besar
terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di plasma darah.

MEKANISME KERJA OBAT DIURETIK

Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorbsi natrium, sehingga


pengeluaranya lewat kemih- dan demikian juga dari air-diperbanyak. Obat-obat ini bekerja
khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni di :

a. Tubuli proksimal, ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang disini


direabsorbsi secara aktif untuk kurang lebih 70%, antara lain ion-Na+ dan air, begitu
pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara proporsional, maka
susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika
osmosis (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan merintangi reabsorbsi air dan juga
natrium.

b. Lengkungan henle. Dibagian menaik dari Henles loop ini k,l. 25% bsorbsi pasif dari
Na+ dan K+ tetapi tanpa hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika
lengkungan seperti furosemida, bumetamida dan etakrinat, bekerja terutama di sini
dengan merintangi transpor Cl- dan demikian reabsorbsi Na+. pengeluaran K+dan air
juga diperbanyak.

c. Tubuli distal. Dibagian pertama segmen ini, Na+ direabsorbsi secara aktif pula tanpa
air hingga filtrat menjadi lebih cair dan lebih hipotonis.sentawa
thiazidadan klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksreksi
Na+ dan Cl sebesar 5-10%. Dibagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan
ion K + atau NH4+; proses ini dikendalikan oleh hormon anak-ginjal
aldosteron antagonis aldosteron (spirolacton) dan zat-zat penghemat kalium
(amilorida, triateren) bertitik kerja disini dengan mengekibatkan ekskresi Na+ (5%)
dan retensi- K+.

d. Saluran pengumpul. Hormon antidiuretika ADH (vasoprin) dari hipofisis bertitik kerja
disini dengan jalan memengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.
(mariska syafri ; 2011)

PENGGOLONGAN OBAT DIURETIK

Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :

1. Diuretik osmotic

Tempat Dan Cara Kerja : Tubuli Proksimal penghambatan reabsorbsi natrium dan air
melalui daya osmotiknya. Ansa Henle penghambatan reasorbsi natrium dan air oleh
karena hiperosmolaritas daerah medula menurun. Penghambatan reasorbsi natrium
dan air akibat adanya kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat
diekskresi oeh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan
isosorbid.

2. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara
menghambat reabsorpsi bikarbonat.

Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan


meatzolamid.

3. Diuretik golongan tiazid

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal
dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida.

Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid, hidroklorotiazid,


hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid,
klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.

4. Diuretik hemat kalium


70
Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan
duktus koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara
langsung (triamteren dan amilorida).

Yang tergolong dalam kelompok ini adalah: antagonis aldosteron. triamterenc.


amilorid.

5. Diuretik kuat

Tempat Dan Cara Kerja : Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden
pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium,
kalium, dan klorida. Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid
dan bumetamid.

6. Xantin

Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulansianya paa fungsi
jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh
meningkatnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus. Namun semua derivat
xantin ini rupanya juga berefek langsung pada tubuli ginjal, yaitu menyebabkan
peningkatan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan yang nyata pada
perubahan urin. Efek diuresis ini hanya sedikit dipengaruhi oleh keseimbangan asam-
basa, tetapi mengalami potensiasi bila diberikan bersama penghambat karbonik
anhidrase.Diantara kelompok xantin, theofilin memperlihatkan efek diuresis yang
paling kuat.

TOKSISITAS DIURETIK

Pada pengobatan hipertensi, sebagian besar efek samping yang lazim terjadi adalah
deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh banyak pasien ,
hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan digitalis, pasien dengan aritmia
kronis, pada infarktus miokardium akut atau disfungsi ventrikel kiri. Kehilangan kalium
diimbangi dengan reabsorpsi natrium. Oleh karenanya ,pembatasan asupan natrium dapat
meminimalkan kehilangan kalium. Diuretik glukosa, dan peningkatan konsentrasi lemak
serum. Diuretik dapat meningkatkan konsentrasi uric acid dan menyebabkan terjadinya gout
(pirai). Penggunaan dosis rendah dapat meminimalkan efek metabolik yang tidak diinginkan
tanpa mengganggu efek antihipertensinya. (Katzung, 1986).

71
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat

- Spuite 1 cc

- Kapas

- Timbangan tikus

- Sonde oral

- Kandang khusus untuk pengamatan

- Tabung berskala untuk penampungan urin

- Gelas ukur

Bahan

- Tikus putih jantan 6 ekor

- Aqua Pro Injeksi

- Furosemid Na 10 mg/ml

- Alkohol

- NaCl 0,9 %

III.2 Prosedur Kerja

1. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I kelompok uji dan kelompok II adalah

kelompok kontrol. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 tikus.

2. Masing masing tikus diberikan air per oral sebanyak 5ml/kg bb

3. Suntikan furosemid pada tikus kelompok pertama secara IP dengan dosis yang telah
di tentukan.

4. Suntikan NaCl 0,9 % pada tikus kelompok II sebagai kontrol, perhitungan sama
seperti furosemid.

5. Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang
didesain untuk mengumpulkan urine tanpa kontaminasi feses selama 3 jam.

6. Waktu mulai munculnya efek, frekuensi urinasi dan volume urin yang diekresikan
dicatat pada table.
7. Hitung presentase volume urin kumulatif selama 3 jam terhadap volume air yang
berikan secara oral.

73
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Perhitungan Dosis:

1. Diketahui : Furosemid 10 mg

Faktor konversi manusia Tikus BB tikus 200 gr = 0,018

Dosis Obat untuk tikus (Furosemid Na)

Sediaan yang ada 10 mg/ml

KELOMPOK I

Tikus I

88,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,07 mg/ml

= 0,07 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,007 ml x 10 = 0,07 ml

Tikus II

85,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,08 mg/ml

= 0,08 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,008 ml x 10 = 0,08 ml

Tikus III

118,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,106 mg/ml

= 0,106 / 10 mg/ml x 1 ml = 0,007 ml x 10 = 0,1 ml

KELOMPOK II

Tikus I

113,6 gr/200 gr x 0.18 = 0,102 ml, dibulatkan menjadi 0,1 ml

Tikus II

115,4 gr/200 gr x 0.18 = 0,103 ml, dibulatkan menjadi 0,1 ml

Tikus III

135,4 gr/200 gr x 0.18 = 0,12 ml

Presentase volume kumulatif urin yang di ekskresikan dalam waktu 3 jam:


Rumus % = vol urin yang dieksresikan dalam waktu 3 jam/ volume air yang diberi per
oral x 100 %

Tikus kel. I : 4 ml/5 ml x 100% = 80 %

Tikus kel II : 0,6 ml/5 ml x 100 % = 12 %

HASIL PENGAMATAN

KELOMPOL I WAKTU FREKUENSI VOLUME %

Tikus I 11.21 Wib - 4 ml 80 %

Tikus II 11.21 Wib - 4 ml 80 %

Tikus III 11.21 Wib - 4 ml 80 %

KELOMPOK II WAKTU FREKUENSI VOLUME %

Tikus I 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

Tikus II 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

Tikus III 11.21 Wib - 0,6 ml 12 %

75
BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan diuretic dengan menggunakan


obat Furosemid dan tikus sebagai hewan ujinya. Diuretik sendiri berfungsi sebagai obat yang
dapat menambah kecepatan pembentukan urien. Dengan kata lain adalah berfungsi
membuat pruduksi urine meningkat. Hal ini dilakukan dengan maksud mencuci atau
membilas ginjal dari dari zat zat berbahaya.

Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan selama 16 jam tetapi tetap di
beri minum ini untuk mencegah sebelum diberikan obat untuk menghilangkan factor
makanan. Namun walaupun demikian faktor variasi biologis dari hewan tidak dapat di
hilangkan sehingga factor ini relative dapat mempengaruhi hasil.

Tikus 1 diberi furosemid dengan dosis 0,5 mg/kgBB sedangkan tikus 2 diberi furosemid
dengan dosis 0,5 mg/kgBB. Sebelum diberi obat, tikus terlebih dahulu diberi air hangat
menggunakan sonde. Tujuan nya adalah untuk membantu mempercepat atau memperbanyak
urin yang dikeluarkan. Setelah masing- masing tikus disuntikkan, tikus langsung dimasukkan
ke sebuah tempat yaitu kandang metabolisme. Masing masing tikus diletakkan pada
kandang yang berbeda. Kemudian urine tersebut di tampung menggunakan gelas
ukur. Setelah itu urin yang telah ditambung menggunakan gelas ukur tersebut diukur dan
dicatat berapa banyak keluarnya. Masing masing urin tikus diukur dengan selang waktu 20
menit selama 3 jam.

Dari hasil data pengamatan dapat ditarik kesimpulan bahwa tikus kesatu presentase kumulatif
urin yang dieksresikan lebih tinggi dari pada tikus kedua. Tetapi berdasarkan jumlah
konsentrasi dosis obat seharusnya tikus kedua lebih banyak mengeluarkan urine dari pada.
konsentrasi dosis obat untuk tikus kesatu, karena tikus kedua diberikan dosis yang lebih besar
maka dosis yang lebih besar berpengaruh terhadap kerja obat didalam tubuh.

Setelah dilihat dari prosedur kerjanya pada tikus kedua ditemukan bahwa pada saat
penyuntikkan obat kepada tikus, tikus tersebut terus bergerak saat dipegang oleh salah satu
pratikan sehingga mengakibatkan pratikan yang bertugas menyuntikan obat merasa takut dan
pada waktu obat disuntikan ke tikus obat tidak masuk secara maksimal. Karena obat tidak
tersuntik secara maksimal dari jumlah obat yang seharusnya disuntikkan maka efek dari obat
tersebut tidak efektif, dan mengakibatkan tikus kedua mengeluarkan urin lebih sedikit dari
tikus kesatu. Dan kemungkinan lain efek dari stressnya tikus menyebabkan efek dari obat
tersebut tidak menunjukkan keadaan yang seharusnya.
BAB VI

KESIMPULAN

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.. Diuretik
dapat di golongkan menjadi beberapa golongan : diuretik kuat, diuretik hemat kalium,
diuretik golongan tiazid, golongan penghambat enzim karbonik anhidrase, diuretik osmotic.
Furosemid, adalah sebuah obat yang digunakan untuk meningkatkan produksi urin. Fungsi
utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi
normal.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
EFEK OBAT PADA MEMBRAN DAN
KULIT MUKOSA
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat yang diberikan melalui kulit dan membrane mukosa pada prinsipnya
menimbulkan efek local. Pemberian topical dilakukan dengan mengoleskannya di suatu
daerah kulit, memasang balutan lembab, merendam bagian tubuh dengan larutan, atau
menyediakan air mandi yang dicampur obat. Efek sistemik timbul. Selain dikemas dalam
bentuk untuk diminum atau diinjeksikan , berbagai jenis obat dikemas dalam bentuk obat
luar seperti lotion, liniment, pasta dan bubuk yang biasanya dipakai untuk pengobatan
ganggaun dermatologis misalnya gatal-gatal , kulit kering, infeksi dan lain-lain.Obat
topical juga dikemas dalam bentuk obat tetes (instilasi) yang dipakai untuk tetes mata,
telinga, atau hidung serta dalam bentuk untuk irigasi baik mata, telinga, hidung, vagina,
maupun rectum.Dalam memberikan pengobatan kita sebagai tenaga kesehatan harus
mengingat dan memahami prinsip dengan benar agar kita dapat terhindar dari kesalahan
dalam memberikan obat, namun ada sebaiknya kita mengetahui peran masing-masing
profesi yang terkait dengan upaya pengobatan

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mahasiswa dapat memperkirakan bentuk manifestasi efek lokal dari berbagai obat
terhadap kulit dan membran mukosa berdasarkan cara-cara kerja masing-masingnya,
serta mengapresiasikan penerapan ini dalam situasi praktis.
2. Menyadari sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membran mukosa dari
berbagai obat yang bekerja secara lokal.
3. Dapat mengapresiasikan peran pelarut terhadap intensitas kerja fenol dan dapat
mengajukan kemungkinan pemanfaatan ini dalam situasi praktis
4. Dapat merumuskan persyaratan-persyaratan farmakologi untuk obat-obat yang secara
local
I.3 Prinsip Percobaan

1. Zat zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecahkan ikatan S-S
pada keratin kulit, sehingga bulu mudah rusak dan gugur
2. Zat-zat korosif bekerja dengan cara oksidasi, mengendapkan protein kulit, sehingga
kulit/membrane mukosa akan rusak.
3. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula, karena
koefisien partisi yang berbeda-beda dalam berbagai pelarutdan juga karena
permeabilitas kulit akan mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan
4. Zat-zat yang bersifat adstringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein,
sehingga permeabilitas sel sel pada kulit/membran mukosa yang dikenainya menjadi
turun, dengan akibat menurunnya sensitivitas dibagian tersebur.
BAB II

DASAR TEORI

Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan (Ansel, 1985). Sedangkan
menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu
bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan
diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk
memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.

Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang
juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh. Berdasarkan efek obat yang diberikan obat
kepada tubuh, maka obat dibagi menjadi:

1. Obat yang berefek sistemik adalah obat yang memberi pengaruh pada tubuh yang
bersifat menyeluruh (sistemik) dan menggunakan sistem saraf sebagai perantara. Obat
ini akan bekerja jika senyawa obat yang ditentukan bertemu dengan reseptor yang
spesifik.

2. Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan obat yang mempunyai pengaruh
pada tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang diberikan obat. Contoh obat ini
adalah obat-obat yang bersifat anestesi lokal ataupun transdermal.

Berbagai produk obat yang bersifat lokal dibuat bertujuan untuk menghilangkan
segala sensasi yang tidak menyenangkan pada bagian yang spesifik di tubuh. Beberapa
contoh dari produk tersebut bersifat anastetik ataupun obat-obat yang diberikan secara
transdermal.

Anastetika lokal atau yang dikenal dengan zat penghilang rasa setempat adalah obat
yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf ke SSP dan
dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau
dingin.

Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari daun suatu
tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah tahun 1892, perkembangan
anastetik meningkat pesat hingga ditemukan prokain dan benzokain, dan derivat-derivat
lainnya seperti tetrakain dan cinchokain.

Anastesi bekerja dengan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan tranmisi


impuls melalui sel saraf dan ujungnya. Anastetik lokal juga dapat menghambat penerusan
impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas sel saraf untuk ion natrium.

Beberapa kireteria yang harus dipenuhi suatu jenis obat yang digunakan sebagai anestetika
lokal

a. Tidak merangsang jaringan


b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf

c. Toksisitas sistemik rendah.

d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lender

e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut dalam
air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan (sterilisasi).

Selain anestesi, obat-obatan yang digunakan melalui transdermal pun mayoritas


menggunakan prinsip efek lokal yang hanya mengobati/mencegah rasa yang tidak nyaman
pada bagian yang diolesi/ditempelkan obat.

Transdermal merupakan salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan
farmasi/obat berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan kulit,
namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (trans = lewat,
dermal = kulit)

Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu bersentuhan
dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa-senyawa kaustik, misalnya pada
saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas atau uap pada saluran napas.
Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada sel-sel hidup.

Cara penggunaan obat yang memberi efek lokal adalah:

a. Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan alat
seperti : inhaler, nebulizeer atau aerosol.

b. Penggunaan obat pada mukosa seperti: mata, telinga, hidung, vagina, dengan obat
tetes, dsb.

c. Penggunaan pada kulit dengan salep, krim, lotion, dsb.

82
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat

- Alat-alat bedah

- Batang pengaduk

- Kertas saring

- Wadah kaca

- Pipet tetes

Bahan

Veet Cream

Larutan Raksa (II) klorida (HgCl2) 5%

Larutan fenol 5%

Larutan Tingtur Iod

Larutan K2S 20%

Gliserin

Etanol

Aquades

Minyak lemak

Larutan tannin 1%

III.2 Prosedur Kerja

1. Efek menggugurkan bulu

Tikus yang sudah dikorbankan, diambil kulitnya dan dipotong-potong, masing-


masing berukuran 1 cm x 1 cm dan letakkan di kertas saring.

Catat bau asli dari zat-zat yang digunakan

Keatas potongan kulit tersebut, teteskan larutan-larutan obat yang digunakan

Setelah beberapa menit, dengan batang pengaduk dilihat adakah bulu yang
gugur.
Catatlah hasil yang diperoleh dari pengujian.

2. Efek korosif

Usus tikus diambil dan dipotong-potong 5 cm, letakkan diatas kertas saring yang
lembab dan diteteskan dengan cairan-cairan obat. Sebelum digunakan, usus
dicuci dahulu dari kotoran dan posisikan bagian dalam yang terkena tetesan
cairan korosif.

Sediakan juga potongan kulit tikus yang baru diambil dan direndam selama 15
menit dalam cairan-cairan obat.

Amatilah kerusakan yang terjadi.

3. Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut

Wadah kaca yang telah disiapkan diisi dengan larutan-larutan fenol.

Serentak dicelupkan empat jari tangan selama 5 menit kedalam wadah kaca
yang masing-masing berisi fenol 5% + aquades, fenol 5% + etanol, fenol 5% +
gliserin, dan fenol 5% + minyak lemak.

Rasakan sensasi yang terjadi, jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, segera jari
diangkat dan dibilas dengan etanol.

4. Efek astringen

Mulut dibilas dengan larutan tanin 1%

Rasakan sensasi yang terjadi didalam mulut.

84
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

1. Efek menggugurkan bulu

Percobaan Bahan Percobaan


Larutan Obat Efek diamati
diberikan pada
Bau awal Kaustik/gugur Efek lainnya
kulit
bulu (waktu)

Larutan K2S Khas Diamati Tidak ada


20% menyengat selama 30
menit, tidak
gugur bulu
keseluruhan
namun saat
10 s, bulu
bulu halus
ada sedikit
yang rontok

NaOH 20% Berbau Diamati Bulu berubah


khas selama 30 warna kuning
Gugur Bulu Kulit Tikus menit, tidak kecoklatan
gugur bulu
keseluruhan
namun saat
10 s, bulu
bulu halus
ada sedikit
yang rontok

Veet Cream Bau 15 menit Tidak ada


menyengat dioleskan ke
kulit tikus,
dan dapat di
kerok dengan
mudah bulu-
bulunya

2. Efek Korosif
Percobaan Bahan Percobaan Larutan obat Pengamatan
diberikan pada usus Sifat korosif Kerusakan pada jaringan

- Usus mengkerut

- Warna usus memutih


Larutan raksa (II)

klorida 5% - Cairan terabsorbsi
(tekstur terlihat
kering)

- Usus menjadi kering


dan mengkarut
Korosif Usus Tikus
NaOH 20% - Usus melunak

- Warna usus menjadi


bening

- Tidak ada perubahan


Tingtur Iod -
apapun

- Tidak ada perubahan


apapun
AgNO3 1% -

86
Percobaan Bahan Percobaan Larutan obat Pengamatan
diberikan pada usus Sifat korosif Kerusakan pada jaringan

- Jaringan mati
Larutan raksa (II)
- Urat-urat tidak
klorida 5%
nampak

- - Kulit melunak
Korosif Kulit Tikus NaOH 20%
(ke Iritasi) - Kulit memerah

- Tidak ada perubahan


Tingtur Iod -
apapun

AgNO3 1% - Kulit habis

3. Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut

Bahan Jari tangan dicelupkan pada beaker


Percobaan Pengamatan
percobaan glass yang telah diisi oleh

Jari tangan terasa


panas, perih, keriput
Larutan Fenol 5% dalam air
dan berwarna putih
setelah 3 menit

Terasa dingin diawal


dan terasa tebal
Larutan Fenol 5% dalam etanol
Fenol dalam setelah jari diangkat
berbagai Jari tangan (5menit)
pelarut Jari tangan terasa
Larutan Fenol 5% dalam gliserin
tebal, panas setelah 1
25%
menit 1 detik

Setelah jari tangan


Larutan Fenol 5% dalam minyak dikeluarkan terasa
lemak sedikit panas
(5menit)

4. Efek Adstringen
Larutan obat Pengamatan ( Secara
Percobaan Bahan percobaan
dikumur pada mulut Teori)

Setelah kumur
kumur, dimulut
Efek adstringen Mulut untuk kumur Tannin 1% rasanya sepat,
mukosa mulut
menjadi terasa tebal.

88
BAB V

PEMBAHASAN

Tikus yang digunakan dalam praktikum dilakukan pengorbanan terlebih dahulu.


pengorbanan dapat dilakukan dengan cara anastesi lokal maupun dengan cara dislokasi lokal.
Anastesi lokal dilakukan dengan cara memasukkan tikus kedalam toples yang telah
dijenuhkan dengan larutan eter dan tertutup, tunggu hingga tikus dalam keadaan mati. Selain
anastesi lokal, dislokasi lokal juga dapat digunakan dengan cara memisahkan/menghambat
pengaliran darah ke otak dengan merenggangkan bagian-bagian tulang belakang dari tikus.

Tikus yang sudah dikorbankan kemudian dikuliti (ambil kulitnya) sesuai dengan
keperluan, baik dari segi jumlah maupun ukurannya. Selain kulit, bagian usus dari tikus juga
digunakan dengan cara membelah usus tikus dan membersihkan dari sisa kotoran yang ada di
usus. Kulit dan usus yang sudah ada tadi di letakkan diatas kertas saring dan mulailah dengan
pengujian yang sudah ditentukan.

Pada pengujian efek menggugurkan bulu, hasil uji menunjukkan adanya kerontokan
bulu setelah diberikan larutan natrium hidroksida 20% namun agak lama, pada mulanya
hanya sedikit yang rontok. Pada teorinya hal ini terjadi karena garam natrium hidroksida
bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada keratin kulit, sehingga bulu akan rusak dan
gugur. Namun pada praktikum pemberian NaOH tidak terlalu ampuh dalam menggugurkan
bulu, hal ini dapat disebabkan oleh :

1. Reagen expired

2. Reagen kontaminasi

3. Reagen telah terbentuk reaksi garam

Pada pemberian Larutan K2S Diamati selama 30 menit, tidak gugur bulu keseluruhan
namun saat 10 s, bulu bulu halus ada sedikit yang rontok. Pada pemberian Veet Cream 15
menit dioleskan ke kulit tikus, dan dapat di kerok dengan mudah bulu-bulunya. Dari ketiga
reagen disimpulkan untuk menggugurkan bulu dengan mudah baiknya menggunakan Veet
Cream, lalu NaOH kemudian K2S sebagai urutan paling baik hingga kurang baik dalam
menggugurkan bulu.

Pada pengujian efek korosif, beberapa hasil yang dapat diamati adalah:

- HgCl2 pada usus menyebabkan : Membuat usus mengkerut, warna usus memutih cairan
terabsorbsi (tekstur terlihat kering)

- NaOH 20% pada usus menyebabkan : Usus menjadi kering dan mengkarut, usus
melunak dan warna usus menjadi bening

- Tingtur Iod pada usus menyebabkan : Tidak ada perubahan apapun

- AgNO3 1% pada usus menyebabkan : Tidak ada perubahan apapun


Maka dapat disimpulkan bahwa HgCl2 merupakan reagen yang paling korosif

Pada pengujian efek lokal fenol 5%, hasil/efek yang ditimbulkan sangat tergantung pada
campuran yang digunakan. Berikut hasil yang diperoleh:

- Larutan Fenol 5% dalam air menyebabkan : Jari tangan terasa panas, perih, keriput dan
berwarna putih setelah 3 menit

- Larutan Fenol 5% dalam etanol menyebabkan: Terasa dingin diawal dan terasa tebal
setelah jari diangkat (5menit)

- Larutan Fenol 5% dalam gliserin 25 menyebabkan: Jari tangan terasa tebal, panas
setelah 1 menit 1 detik

- Larutan Fenol 5% dalam minyak lemak menyebabkan: Setelah jari tangan dikeluarkan
terasa sedikit panas (5menit)

Efek astringen dilakukan dengan mengkumurkan kedalam mulut. Kita ketahui bahwa
astringen sangat banyak ditemukan pada tanaman yang memiliki rasa kelat-pahit. Seperti
gambir, sirih, teh, dan lain sebagainya. Namun karena saat praktikum larutan tannin habiss,
maka data yang kami tampilkan merupakan data teori/ teori menurut text book.

90
BAB VI

KESIMPULAN

Obat yang berefek non-sistemik (lokal) merupakan obat yang mempunyai pengaruh
pada tubuh bersifat lokal atau pada daerah yang diberikan obat. Contoh obat ini adalah obat-
obat yang bersifat anestesi lokal ataupun transdermal. Beberapa efek dari obat lokal yang
dapat ditemui adalah menggugurkan bulu, korosif, dan astringen. Tingkat pengguguran bulu
tergantung kepada kadar dan jenis dari larutan yang digunakan Semakin tinggi kadar suatu
zat yang bersifat menggugurkan bulu, maka akan semakin mendekati tingkat korosif. Sama
halnya dengan efek menggugurkan bulu. Larutan yang bersifat korosif pun beraneka ragam,
dan menghasilkan mekanisme efek yang berbeda-beda, tergantung kepada kekuatan korosif
yang dikandungnya. Astringen merupakan salah satu efek dari efek lokal obat yang
mekanisme kerjanya di mulut. Senyawa ini banyak ditemukan pada gambir, teh, dan
tumbuhan lain yang memiliki rasa kelat hingga kepahitan.

91
PEMBAHASAN SOAL

1. Apakah ada perbedaan bau yang jelas dari obat-obat yang bersifat menggugurkan bulu
sebelum dan sesudah digunakan?

Jawab : Ada

2. Apakah mungkin suatu obat bekerja korosif tanpa menghilangkan bulu dan sebaliknya?

Jawab :

Hal itu mungkin saja terjadi, namun kemungkinannya hanya sedikit sekali. Obat yang
bekerja korosif akan mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/ membran mukosa akan
menjadi rusak. Hal juga akan berpengaruh pada organ rambut. Rambut merupakan
struktur protein yang kompleks, yang terdiri dari bermacam-macam jenis.

3. Sebutkan obat-obat lain yang mempunyai efek lokal lain dari yang telah dilakukan
eksperimen dari berbagai landasan kerja masing-masing.

Jawab: Argentum nitricum dan berbagai asam ( asam triklorasetat, asam laktat, asam
kromat).

4. Sebutkan menurut saudara beberapa persyaratan yang sebaiknya dipenuhi obat atau
sediaan farmasi untuk dapat digunakan sebagai obat berefek lokal agar menjamin
keamanan pemakainya!

Jawab: Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu dapat bersatu dengan kulit, obat
tersebut memiliki derajat kelarutan yang baik dalam minyak dan air yang penting untuk
efektivitas absorpsi perkutan, obat tersebut tidak menimbulkan toksik.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
ANASTESI LOKAL PERMUKAAN
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja
merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP)
dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau
rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat
kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua
organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal
mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular
dan semua jaringan otot

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mengtahui aktivitas anestetika lokal suatu obat.


2. Mengetahui gejala-gejala terjadinya anestetika lokal yang ditimbulkan oleh anestetika
lokal permukaan.

I.3 Prinsip Percobaan

Anastetika lokal ialah obat yang mnghambat konduksi saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anastetika lokal
seperti kokain dan ester ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan
lidokain. Asastesi lokal permukaan tercapai ketika anastetika lokal ditempatkan didaerah
yang ingin dianastesi. Anastetika lokal diberikan dengan berbagai teknik pemberian, seperti;
anastesi permukaan, anastesi spinal, anastesi mukosa.
BAB II

DASAR TEORI

Menurut cara pemakaian anestesi lokal dibedakan menjadi:

1. Anestesi permukaan.

Anestetika local digunakan pada mukosa atau permukaan luka dan berdifusi
ke organ akhir sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada epidermis yang utuh
(tidak terluka) maka anestetika local hampir tidak bekhasiat karena tidak mampu
menembus lapisan tanduk.

2. Anestesi Infiltrasi.

Anestetika local disuntikkan ke dalam jaringan, termasuk juga diisikan ke


dalam jaringan. Dengan demikian selain organ ujung sensorik, juga batang-batang
saraf kecil dihambat.

3. Anestesi Konduksi

Anestetika local disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran
rangsang pada tempat ini diblok. Bentuk khusus dari anestesi konduksi ini adalah
anestesi spinal, anestesi peridural, dan anestesi paravertebral.

4. Anestesi Regional Intravena dalam daerah anggota badan

Sebelum penyuntikan anestetika local, aliran darah ke dalam dan ke luar


dihentikan dengan mengikat dengan ban pengukur tekanan darah dan selanjutnya
anestetika local yang disuntikkan berdifusi ke luar dari vena dan menuju ke jaringan
di sekitarnya dan dalam waktu 10-15 menit menimbulkan anestesi.

Salah satu obat anastetika local dari golongan amida. Lidokain terdiri dari satu
gugus lipofilik (biasanya merupakan suatu cincin aromatik) yang dihubungkan suatu
rantai perantara (jenis amid) dengan suatu gugus yang mudah mengion (amin tersier).
Dalam penerapan terapeutik, mereka umumnya disediakan dalam bentuk garam agar
lebih mudah larut dan stabil. Didalam tubuh mereka biasanya dalam bentuk basa tak
bermuatan atau sebagai suatu kation. Perbandingan relative dari dua bentuk ini
ditentukan oleh harga pKa nya dan pH cairan tubuh, sesuai dengan persamaan
Henderson-Hasselbalch.3

Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap


prokain dan juga epinefrin. Biasanya Lidokain digunakan untuk anestesi permukaan
dalam bentuk salep, krim dan gel. Efek samping Lidokain biasanya berkaitan dengan
efeknya terhadap SSP misalnya kantuk, pusing, paraestesia, gangguan mental, koma,
dan seizure.

Cara Kerja
Isyarat dalam serabut saraf dihantarkan melalui impuls listrik yang terbentuk pada
awalnya di setiap membran sel syaraf. Setiap membran sel syaraf ( demikian juga semua
membran sel tubuh lainnya ) mempunyai potensial listrik sebesar -90 mV pada keadaan
istirahat. Potensial listrik ini terbentuk karena adanya perbedaan konsentrasi ion natrium di
dalam dan di luar membran sel, dimana konsentrasi di luar membran ( 142 mEq/L) lebih
besar daripada di dalam membran sel ( 14 mEq/L), sementara konsentrasi anionnya sama
( 150 mEq/L). Keadaan ini menyebabkan suasana di dalam membran sel lebih negatif
ketimbang di luar. Pada saat timbulnya rangsangan terhadap sel syaraf ( baik rangsangan
kimia, fisik maupun listrik ) membran sel menjadi lebih permeabel terhadap ion natrium
sehingga terjadi aliran ion natrium dari luar ke dalam sel melalui kanal natrium. Hal ini
menimbulkan situasi dimana konsentrasi ion natrium di dalam membran sekarang menjadi
lebih besar ketimbang di luar membran sel dan menyebabkan potensial listrik berubah dari
-90mV menjadi +45mV. Perubahan ini disebut dengan peristiwa depolarisasi. Impuls listrik
inilah yang nantinya menghantarkan isyarat sepanjang serabut syaraf.

Obat anestetik lokal berikatan dengan reseptor khusus di kanal natrium sehingga
menimbulkan blokade yang mencegah aliran natrium. Hal ini lebih lanjut mencegah
terjadinya perubahan potensial listrik yang artinya juga mencegah timbulnya impuls listrik
sehingga hantaran isyarat tidak terjadi.

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI

Sifat ideal yang diinginkan dari sebuah obat anestesik lokal :

1. Tidak mengiritasi

2. Tidak merusak jaringan saraf secara permanen.

3. Batas keamanan harus lebar

4. Mula kerja harus sesingkat mungkin, masa kerja harus cukup lama

5. Harus larut dalam air stabil dalam larutan

6. Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

KEUNTUNGAN :

a. Kesadaran (+)

b. Gangguan fisiologis rendah

c. Angka morbiditas rendah

d. Penderita bisa pulang sendiri

e. Relatif mudah
96
f. Tidak perlu tenaga tambahan

g. Biaya relatif kecil

h. Tidak perlu puasa

KERUGIAN :

Tidak dapat digunakan pada:

a. penderita dengan rasa takut tinggi

b. Penderita yang tidak kooperatif (anak-anak, retardasi mental)

c. Jaringan yang mengalami peradangan akut

d. Penderita pecandu alkohol

e. Prosedur pembedahan yang luas

97
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat

- Gunting

- Pipet tetes

- Aplikator

- Stopwatch

Bahan

Kelinci dewasa dan sehat

Larutan Lidocain HCl 2%

Larutan Tetrakain

III.2 Prosedur Kerja

1. Gunting bulu mata kelinci, agar tidak mengganggu aplikator

2. Teteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan anastetika lokal lidokain 0,5ml pada
mata kanan dan larutan Tetrakain pada mata kiri

3. Tutup masing masing kelopak mata selama 1 menit

4. Catat ada atau tidaknya reflek mata setiap 5 menit, dengan menggunakan aplikator
tiap kali pada permukaan kornea.
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Hewan Mata Obat yang diteteskan Pengamatan pada menit ke..

0 = Mata me-merah

5= Mata masih tertutup (+) Refleks

10= Mata terbuka (-) tidak merespon

15= Mata terbuka (-) tidak merespon


Kanan Lidocain
20= Mata terbuka (-) tidak merespon

30= Mata terbuka (-) tidak merespon

45= Sudah hilang efek lidokain (+)

60= Sangat merespon (+)


Kelinci
0 = merespon (+)

5= Mata terbuka (-) tidak merespon

10= Mata terbuka (-) tidak merespon

15= Mata terbuka (-) tidak merespon


Kiri Tetrakain TM
20= Mata terbuka (-) tidak merespon

30= Mata terbuka (-) tidak merespon

45= Sudah hilang efek prodokain (+)

60= merespon (+)


BAB V

PEMBAHASAN

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan anastesi permukaan dengan


menggunakan obat anastetik lokal yaitu Lidocain dan larutan Prokain dan kelinci sebagai
hewan ujinya. Obat diteteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan anastetika lokal
Lidokain 0,5ml pada mata kanan dan Prokain pada mata kiri.

Pada hasil pengamatan, pada mata kanan diteteskan lidocain mempunyai efek
anastetik lokal, efek obat mulai bekerja pada menit ke 10 dan efek Lidocain mulai hilang
pada menit ke 45. Sedangkan pada Tetrakain efek obat bekerja pada menit ke 5 dan hilang
pada menit ke 45.

Lidokain merupakan derivate-asetanilida termasuk kelompok amida dan merupakan


obat pilihan utama untuk untuk anastesia permukaan ataupun filtrasi. Zat ini digunakan pada
selaput lendir dan kulit untuk nyeri,perasaan terbakar dan gatal. Dibandingkan prokain,
khasiatnya lebih kuat dan lebih cepat kerjanya ( setelah beebrapa menit ) juga bertahan lebih
lama.

Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Pada pemberian intravena, zat ini
10 kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain. Obat ini digunakan untuk segala macam
anestesia, untuk pemakaian topilak pada mata digunakan larutan tetrakain 0.5%, untuk
hidung dan tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis total 10-20mg. Tetrakain
memerlukan dosis yang besar dan mula kerjanya lambat, dimetabolisme lambat sehingga
berpotensi toksik. Namun bila diperlukan masa kerja yang panjang anestesia spinal,
digunakan tetrakain.

BAB VI

KESIMPULAN

Pada dasarnya, anestesi terbagi dua menjadi anestesi lokal dan anestesi umum. Akan
tetapi, anestesi lokal lebih sering digunakan karena memiliki tingkat keselamatan yang lebih
tinggi daripada anestesi umum. Anestetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf
bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada
tiap bagian susunan saraf.

Salah satu contoh obat anestesi lokal yang sering digunakan adalah lidokain. Lidokain
diberikan secara suntikan dan cepat diabsorbsi oleh saluran pernapasan maupun saluran
cerna. Dan sebagaimana obat yang memiliki kandungan zat kimia, lidokain pun tak lepas dari
efek samping, yang di antaranya adalah mengantuk, pusing, parestesia, kedutan otot,
gangguan mental, dan koma.

101
Pertanyaan

1. Jelaskan kokain sebagai anastetika lokal

Jawab: anestetikum dari kelompok ester ini berkhasiat vasokontriksi dan bekerjanya
lebih lama, mungkin karena merintangi re-uptake noradrenalin di ujung neuron
adrenergic sehingga kadarnya di daerah reseptor meningkat. Selain itu , kokain juga
memiliki efek simpatomimetik sentral dan perifer.

Daya kerja stimulasinya terhadap SSP (cortex) menimbulkan beberapa gejala, seperti
gelisah, ketegangan , konvulsi, eufori, dan meningkatnya kapasitas dan tenaga
sehingga tahan lama untuk bekerja lama karena hilangnya perasaan lelah.
Penggunaannya hanya untuk anestesia permukaan pada pembedahan di hidung,
tenggorok, telinga atau mata. Penggunaannya sebagai tetes mata sudah di tinggalkan
berhubung resiko akan cacat kornea dan sifat midriasisnya. Penggunaannya yang
terlalu sering dengan konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan necrosis (mati jaringan)
akibat vasokontriksi setempat.

2. Jelaskan penggolongan kimia dari anastetika lokal

Jawab: Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut :

a. Senyawa ester

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis.
Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami
metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: tetrakain,
benzokain, kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip.

b. Senyawa amida

Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan


prilokain.

c. Lainnya

Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran

3. Sebutkan anastetika lokal yang dapat digunakan sebagai anastetika permukaan

Jawab: Kokain, Lidocain, Benzokain, Pramokain

4. Keburukan apa yang dapat terjadi bila permukaan kornea dianastesi untuk periode
waktu yang lama? Jelaskan!

Jawab: Kebutaan
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
EFEK ANESTETIKA LOKAL
METODE REGNIER

[Type text]
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar
yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja
merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP)
dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau
rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat
kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua
organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal
mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular
dan semua jaringan otot

I.2 Tujuan percobaan :

1. Mengenal tiga teknik (Anestesi permukaan, mukosa /metoda regnier, konduksi) untuk
menyebabkan anestesi lokal pada beberapa hewan percobaan.
2. Memahami faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat dan potensi
anestetika lokal.
3. Mengenal berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anestetika lokal
4. Menghubungkan potensi kerja Anestetika lokal dengan manifestasi gejala toksisitasnya
serta pendekatan rasional untuk mengatasi toksisitas anestetika.

I.3 Prinsip percobaan


Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks okuler (mata
berkedip). Apabila mata di teteskan anestetika lokal, refleks okuler timbul setelah beberapa
kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja anestetika dan besarnya sentuhan
yang diberikan. Tidak adanya refleks okuler setelah kornea disentuh 100 kali dianggap
sebagai tanda adanya anestesi total.

[Type text]
BAB II
DASAR TEORI

Anestetika lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetika lokal menghilangkan keterangsan dari organ
akhir yang menghantarkan nyeri dan menghilangkan kemungkinan pengahantaran dari serabut
saraf sensibel secara bolak-balik pada tempat tertentu sebagai akibat dari rasa sensasi nyeri
hilang untuk sementara hilang. Kerja Anestetika lokal pada ujung saraf sensorik tidak spesifik.
Hanya kepekaan berbagai struktur yang dirangsang berbeda. Misalnya, fungsi motorik tidak
terhenti dengan dosis umum untuk anestetika lokal terutama karena serabut saraf motorik
mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut sensorik.

Oleh karena itu efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter serabut saraf maka
mula-mula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis yang lebih besar serabut saraf
motorik dihambat.

Cara Kerja

Mekanisme kerja anestetika lokal yang terkenal ialah bahwa obat ini menurunkan ketelapan
membran terhadap kation, khususnya ion Natrium. Menurunnya ketelapan membrane
mempunyai arti yang sama dengan suatu penurunan keterangsangan termasuk juga pada
konsentrasi anestetika local yang tinggi tidak dapat terangsang sama sekali dan serabut saraf,
karena suatu rangsang hanya dapat terjadi atau dapat dihanmtarkan jika terjadi gangguan
potensial istirahat membran akibat suatu kenaikan mendadak dari ketelapan terhadap Natrium.
Blokade saluran ion, khususnya saluran Natrium, akibat anestetika local terjadi menurut
mekanisme berikut : semua anestetika local tersimpan dalam membran sel karena sifat lipofilnya
dan melalui ekspansi membrane yang tak spesifik menutup saluran Natrium. Disamping itu pada
anestetika lokal basa terjadi juga reaksi dengan reseptor terjadi pada sisi dalam membran.

Sifat-sifat dari anestetika lokal yang ideal, yaitu :

- Tidak mengiritasi dan merusak jaringan saraf secara permanen.


- Toksisitas sistemisnya rendah.
- Efektif pada penyuntikan dan penggunaan lokal
- Mula kerja dan daya kerjanya singkat untuk jangka waktu yang lama.
- Larut dalam air dengan menghasilkan larutan yang stabil dan tahan pemanasan (proses
sterilisasi)

Metode Regnier
Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks okuler (mata berkedip).
Apabila mata di teteskan anestetika lokal, refleks okuler timbul setelah beberapa kali kornea
disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja anestetika dan besarnya sentuhan yang diberikan.

[Type text]
Tidak adanya refleks okuler setelah kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda adanya
anestesi total.

[Type text]
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat
- Gunting
- Pipet tetes
- Aplikator
- Stopwatch
Bahan
Kelinci dewasa dan sehat
Larutan Lidocain HCl 2%
Larutan Tetracain 2%

III.2 Prosedur Kerja

1. Kelinci ditempatkan ke dalam kotaknya 1 jam sebelurn percobaan dimulai. Gunting bulu
matanya, kemudian periksa refleks normal dari ke dua kornea dengan sentuhan misai
secara tegak lurus.
2. Pada waktu t=0, teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji ke dalam mata kelinci.
Percobaan ini diulangi setelah 1 menit (gunakan stopwatch).
3. Pada menit ke 8, dengan bantuan misai diperiksa refleks mata, yaitu dengan
menyentuhkan misai tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak 100 kali dengan
kecepatan yang sama. Jangan terlalu keras menyentuhnya dan ritme harus diatur. Apabila
sampai 100 x tidak ada refleks (kelopak mata tettutup), maka dicatat angka 100 untuk
repon negatif. Tetapi jika sebelum 100 kali sudah ada refleks, maka yang dicatat adalah
respon negatif sebelum mencapai angka 100.
4. Perlakuan yang sama diulang pada menit-menit ke: 15; 20; 25; 30; 40; 50; dan 60. Jika
sebelum menit-menit yang ke 60 pada sentuhan pertama sudah ada refleks, maka menit-
menit yang tersisa diberi angka satu.
5. Setelah percobaan di atas selesai, mata sebelahnya diperlakukan seperti ad 4, tetapi hanya
diteteskan larutan fisiologis.
6. Jumlah respon negatif disnuat dalam sebuah tabel dan dimulai dan menit ke 8. Jumlah
tersebut menunjukkan angka regnier. dimana anestesi lokal rnencapai angka regnier 800.
sedangkan angka regnier minimal angka 13.
7. Hitunglah/jumlahkan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negatif. Apabila pada
sekali sentuhan teijadi refleks kornea, maka angka yang dicatat adalah 1. Hitung angka
rata-rata yang diberikan untuk masing-masing larutan yang diperoleh pada 8 kali
pemeriksaan refleks kornea.

[Type text]
[Type text]
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Obat Jumlah sentuhan memberi reflex berkedip pada mata di menit ke.
Hewa yang di
Mata 0 8 15 20 25 30 40 50 6
n berika
n

Kana Lidokai 9 27 16 32 52 20 22 16 2
n n 2% sentuh sentuh sentuh sentuh sentuh sentuh sentuha sentuha s
tidak n n n
0,5 ml ada Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
kedipan ada ada ada ada ada Tidak Tidak T
kedipan kedipa kedipan kedipan kedipan ada ada a
n kedipan kedipan k

Kelinc
i Kiri Tetraka Berkedi 4 berkedi 7 3 8 16 3 5
in p sentuhan p sentuha sentuha sentuha sentuha sentuha s
n n n Tidak n n n
0,5 ml Tidak ada
ada Tidak Tidak kedipan Tidak Tidak T
kedipan ada ada ada ada a
kedipan kedipan kedipan kedipan k

[Type text]
[Type text]
BAB V

PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan, ternyata tetrakain memberikan efek anestetika lokal cepat dan memiliki
kekuatan kerja yang lebih kuat jika dibandingkan prokain. Berdasarkan teori, tetrakain berkhasiat
sekitar 10 kali lebih kuat dari pada prokain, akan tetapi juga 10 kali lebih toksik daripada
prokain(Dinamika Obat,1999)

Maka hasil percobaan sesuai dengan teori bahwa tetrakain menimbulkan efek anestetika cepat
dan memiliki kekuatan kerja yang lebih kuat dibandingkan lidokain .

[Type text]
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan

Terdapat beberapa macam obat anestetika lokal, masing-masing obat memiliki kekuatan kerja
dan toksisitas yang berbeda. Sebagai contoh perbandingan antara tetrakain dan prokain, dimana
tetrakain berkhasiat sekitar 10 kali lebih kuat daripada prokain akan tetapi juga 10 kali ltebih
toksik daripada prokain.

VI.2 Saran

Saya berharap, adanya suatu perpustakaan khusus farmakologi dan makin ditingkatkan dalam
menyediakan sarana dan prasarana dalam laboratorium farmakologi.

[Type text]
Jawaban pertanyaan

1) Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya?
2) Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dan cahaya langsung. jelaskan!
3) Sebutkan anestetika lokal mata yang digunakan, selain pada percobaan ini!
Jawab
1) Larutan obat mata harus dibuat isotonis dengan cairan mata, dosis dalam larutan obat
mata harus tepat/ sesuai, larutan obat mata harus steril, perhatikan cara penggunaan
larutan obat mata maka penggunaan harus diteteskan ke dalam kantong konyungtiva,
perhatikan pula toksisitas bahan obat, kebutuhan akan dapar, kebutuhan pengawet dan
sterilisasi.
2) karena cahaya dapat mempengaruhi reflek okuler mata kelinci, jadi mata kelinci harus
terlindung dari cahaya langsung sehingga benar-benar hanya sentuhan dari misai yang
yang mempengaruhi reflek okuler mata kelinci.
3) Mepivakain Hcl, Piperokain Hcl, Tetrakain, Prokain Hcl, Pilokain Hcl, Efineprin
bitartrat.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
ANASTESI KONDUKSI
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong
natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf,
jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf
diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh
kerusakan struktur saraf. Anestetik lokal menghilangkan penghantaran saraf ketika
digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi tepat. Bekerja pada
sebagian Sistem Saraf Pusat (SSP) dan setiap serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada
ujung saraf sensorik tidak spesifik. Hanya kepekaan berbagai struktur yang dapat
dirangsang berbeda. Serabut saraf motorik mempunyai diameter yang lebih besar
daripada serabut sensorik. Oleh karena itu, efek anestetika lokal menurun dengan
kenaikan diameter serabut saraf, maka mula-mula serabut saraf sensorik dihambat dan
baru pada dosis lebih besar serabut saraf motorik dihambat.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mengenal tiga teknik untuk mencapai anestetika lokal pada berbagai hewan
percobaan
2. Memahami faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat dan
potensi anestetika lokal
3. Mengenal berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anestetika lokal
4. Dapat mengkaitkan daya kerja anestetika lokal dengan menifestasi gejala keracunan
serta pendekatan rasional untuk mengatasi keracunan

I.3 Prinsip Percobaan

Anastetika Konduksi adalah Anestetika local yang disuntikkan di sekitar saraf tertentu
yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan.
BAB II

DASAR TEORI

Anestesia konduksi (juga di sebut blockade-saraf perifer), yaitu injeksi di tulang


belakang pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf, hingga tercapai anesthesia dari suatu
daerah yang lebih luas, terutama pada operasi lengan atau kaki, juga bahu. Lagi pula
digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat. Pada anestesi konduksi, Anestetika lokal yang
di suntikan di sekitar saraf tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini
diputuskan. Bentuk khusus dari anestesi konduksi ini adalah anestesi spinal, anestesi epidural
dan anestesi kaudal.
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat
Spuit 1 dan 3 ml
Klem/Pinset ekor
Silinder khusus mencit
Timbangan
Spidol
Stopwatch
Bahan
Mencit jantan 3 ekor
Tetracain
NaCl Fisiologis
Lidokain

III.2 Prosedur Kerja

1. Semua mencit dicoba dulu respon haffner (ekor mencit dijepit dan dilihat angkat
ekor atau menit bersuara) dan hanya dipilih hewan hewan yang member respon
haffner negatif, artinya hewan mengangkat ekor/bersuara
2. Hewan hewan dikelompokkan dan ditimbang dan diberi tanda
3. Mencit dimasukkan kedalam silinder (kotak penahan mencit) dan hanya ekornya
yang dikeluarkan. Jumlah silinder disesuaikan dengan jumlah mencit dari satu
kelompok
4. Ekor mencit kemudian dijepit pada jarak 0,5cm dari pangkal ekor. Manifestasi rasa
nyeri ditunjukkan dengan refleks gerakan tubuh mencit atau dengan suara kesakitan.
Respon demikian dicatat sebagai haffner negatif.
5. Pada waktu t =0, masing masing mencit dari kelompok yang sama disuntik.
Pehacain divena ekor, kelompok control hanya disuntik larutan pembawanya
dengan cara penyuntikkan yang sama.
6. Setalah waktu t=10 menit, masing masing mencit diperiksa respon haffner; dan
selanjutnya dilakukan hal yang sama pada t=15 dan 20 menit. Hasil pengamatan
dicatat dalam sebuah tabel!
118
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Perhitungan Konfersi Mencit :

1. Mencit ke-1 (BB= 43,7 g)


Tetracain = 20 mg/ml

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,113 ml

2. Mencit ke-2 (BB= 35,5 g)


NaCl = 20 mg

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,0923 ml

3. Mencit ke-3 (BB= 40,5 g)


Lidocain = 20 mg/ml

x 0,0026 = 0,052 mg

x 0,052 mg = 0,1053 ml

Dosis Pemakaian pada mencit :

a. Mencit 1 : x 1 ml = 0,00565

Pengenceran 10 Kalinya
Tetracain : 0,00565 x 10 = 0,056 = 0,06 ml
NaCl ad 10 ml

b. Mencit 2 : x 1 ml = 0,0046

NaCl : 0,0046 x 10 = 0,046 = 0,05 ml

c. Mencit 3 : x 1 ml = 0,0052

Pengenceran 10 Kalinya
Lidocain : 0,0052 x 10 = 0,052 = 0,05 ml
NaCl ad 10 ml
Pengamatan:

Cara Respon Haffner pada waktu t= menit


Hewan Obat
pemberian
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Tetracain Iv + + + + + + + + + + + - -

Mencit NaCl Iv + + + + + + + + + + + + +

Lidocain Iv + + + + + + + + - - - - -

Keterangan :

(+) : Menandakan masih adanya respon

(-) : Menandakan sudah tidak ada respon (Sudah teranastesi)

PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan ternyata Lidocain memiliki efek anastesi yang lebih cepat.
Teknik pemberian anastesi konduksi disuntikkan di sekitar saraf tertentu yang dituju atau
injeksi tulang belakang, yaitu pada suatu tempat berkumpulnya banyak saraf hingga tercapai
anastesi dari suatu daerah yang lebih luas.

120
BAB VI

KESIMPULAN

Anestesi konduksi merupakan teknik anestetika lokal yang di suntikan di sekitar saraf
tertentu yang dituju dan hantaran rangsang pada tempat ini diputuskan. Terdapat bermacam-
macam obat anestesi yang dapat digunakan dengan teknik anestesi konduksi, dimana masing-
masing obat memiliki kekuatan kerja, toksisitas, kecepatan absorpsi yang berbeda-beda.
Lidocain adalah anastetik lokal yang kuat dan lebih cepat yang digunakan secara luas dengan
pemberian topikal dan suntik. Anestesi konduksi (penyaluran saraf) yaitu dengan
penyuntikan di suatu tempat dimana banyak saraf terkumpul, sehingga mencapai anestesia
dari suatu daerah yang luas, misal pada pergelangan tangan atau kaki, juga untuk mengurangi
nyeri yg hebat.
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
ANASTESI LOKAL INFILTRASI
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Anestesi infiltrasi adalah anestesi yang bertujuan untuk menimbulkan anestesi ujung saraf
melalui injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan
hilangnya rasa dikulit dan jaringan yang terletak lebih dalam misalnya daerah kecil dikulit
atau gusi (pencabutan gigi).

Anastesi ini sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang bawah.
Mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-anak cukup dalam
karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu kompak.

I.2 Tujuan Percobaan

3. Mengtahui aktivitas anestetika lokal suatu obat.


4. Mengetahui gejala-gejala terjadinya anestetika lokal yang ditimbulkan oleh anestetika
lokal infiltrasi.

I.3 Prinsip Percobaan

Obat anastetika lokal yang disuntikkan kedalam jaringan akan mengakibatkan kehilangan
sensasi pada struktur sekitarnya.

123
BAB II

DASAR TEORI

Teknik Anestesi

Ada dua teknik anestesi lokal yang memberikan hasil yang baik, yaitu blok dan infiltrasi. Kedua
cara ini masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.

1. Blok

Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi di area tertentu dimana saraf yang
mempersarafinya diblok agar rangsang nyeri tidak dilanjutkan. Jadi dengan teknik blok,
anestesi dilakukan di proksimal daerah operasi. Pada daerah operasinya dapat juga
ditambahkan anestesi infiltrasi. Penguasaan anatomis persarafan sangat penting
diketahui.

Keuntungan:

Keberhasilan cukup tinggi

Area yang teranestesi relatif bisa lebih luas dibandingkan dengan anestesi
infiltrasi

Obat yang dipakai lebih sedikit sehingga menurunkan toksisitas

Kerugian

Teknik lebih rumit

Penyuntikan tergantung daerah operasi

Tidak semua daerah operasi dapat dilakukan tindakan anestesi ini

Cedera saraf permanen

2. Infiltrasi

Dilakukan penyuntikan di sekitar area operasi. Suntikan dilakukan di daerah subkutis.


Teknik yang berkembang saat ini adalah field blok, yaitu menginfiltrasi suatu area
dengan terget operasi ditengahnya. Setelah seluruh pinggir area diinfiltrasi, area tepat
diatas insisi diinfiltrasi lagi. Jarak antara pinggir daerah yang diinfiltrasi dengan target
operasi tidak melebihi 2 cm. Jika lebih maka kemungkinan masih ada impuls saraf yang
tidak terblok. Jika memang masa yang akan operasi cukup besar, kemungkinan
diperlukan infiltrasi beberapa lingkaran, agar area yang diinfiltrasi menjadi luas.

124
Kedalaman infiltrasi tergantung dari jenis operasi. Jika masa yang diambil cukup dalam,
maka perlu juga dilakukan infiltrasi lebih dalam, bahkan sampai otot atau periosteum.

Teknik infiltrasi

1. Masukan jarum di salah satu sudut area operasi.

2. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari kulit)
sambil obat dikeluarkan.

3. Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarum dicabut sambil obat dikeluarkan.

4. Masukan jarum di sudut yang bersebrangan dengan sudut tadi

5. Arahkan ke area kanan, aspirasi, jarum dicabut (tetapi tidak sampai lepas dari kulit)
sambil obat dikeluarkan

6. Jarum dibelokan ke arah kiri, aspirasi, jarumdicabut sambil obat dikeluarkan.

7. Lanjutkan penyuntikan ketiga tepat diatas garis yang akan diinsisi

8. Masase

9. Cek dengan menjepitkan pinset

Komplikasi Tindakan Anestesi

1. Hematom

Terjadi karena pecahnya pembuluh darah ketika anestesi yang kemudian darah
berkumpul di submukosa sehingga menimbulkan benjolan. Hematom ini dapat terus
membesar atau berhenti tergantung dari besarnya pembuluh darah yang terkena. Pada
pembuluh darah kecil biasanya hematom tidak membesar karena platelet plug sudah
cukup untuk menghentikan kebocoran tadi. Jika terjadi hematom, kita evaluasi beberapa
saat apakah hematom itu terus membesar atau tetap. Jika terus membesar, kita harus
berusaha mencari pembuluh darah yang pecah dan mengikatnya kemudian membuang
bekuan darah yang terkumpul. Tetapi jika hematom tidak membesar hanya diperlukan
membuang masa hematomnya saja.

2. Udem

Disebabkan terlalu banyaknya obat anestesi yang diberikan sehingga obat tersebut
berkumpul dalam jaringan ikat longgar mukosa dan sub mukosa. Hal ini akan
mempersulit ketika melakukan penjahitan. Udem akibat anestesi ini diabsorpsi dalam 24
jam

125
3. Syok Anafilaktik

Syok anafilaksis disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas type I. Terjadi vasodilatasi


perifer sehingga terjadi pengumpulan darah di perifer. Akibatnya terjadi penurunan
venous return sehingga cardiac output pun menurun.

126
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat

- Gunting

- Pisau cukur

- Spuit 1 ml

- Spidol

- Peniti

Bahan

Kelinci dewasa dan sehat

Larutan lidocain

III.2 Prosedur Kerja

1. Belah bulu punggung kelinci menjadi dua bagian, sisi kanan yang akan di suntik larutan
lidocain, dan sisi satunya sebagai blanko.

2. Gunting bulu kelinci pada kedua sisi punggungnya dan cukur hingga bersih kulitnya
(hindari terjadinya luka).

3. Buat daerah penyuntikkan dengan spidol dengan jarak minimal 3 cm

4. Uji getaran otot dengan memberikan sentuhan ringan pada daerah penyuntikkan dengan
peniti, setiap kali enam sentuhan

5. Suntikkan larutan diatas pada daerah penyuntikkan secara intrakutan

6. Lakukan uji getaran setelah penyuntikkan

7. Catat data pengamatannya!

127
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Getaran otot punggung kelinci


dengan 6sentuhan setiap kali
Bagian yang Obat yang Cara
Hewan dengan peniti pada
disuntiikan disuntikkan pemberian
waktu.menit setelah
pemberian obat

0= ++

5= +

10= -

15= -
Punggung kanan Lidocain IC
20= -

25= -

30= -

0= ++
Kelinci 5= ++

10= +

15= +

20= +
Punggung kiri NaCl IC
25= +

30= +

Keterangan :

128
- Tidak ada respon

+ Mulai ada respon

++ Respon/nyeri

Jumlah pemberian obat:

- Lidocain = 0,06 ml dalam 2%

- NaCl = 0,2 ml dalam 0,9 %

129
BAB V

PEMBAHASAN

Lidokain adalah derivat asetanilida yang merupakan obat pilihan utama untuk anestesi
permukaan maupun infiltrasi. Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas
dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama, dan
lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain ialah obat anestesi lokal yang
banyak digunakan dalam bidang kedokteran oleh karena mempunyai efek kerja yang lebih cepat
dan bekerja lebih stabil dibandingkan dengan obat-obat anestesi lokal lainnya. Obat ini
mempunyai kemampuan untuk menghambat konduksi di sepanjang serabut saraf secara
reversibel, baik serabut saraf sensorik, motorik, maupun otonom. Kerja obat tersebut dapat
dipakai secara klinis untuk menyekat rasa sakit atau impuls vasokonstriktor menuju daerah tubuh
tertentu. Lidokain mampu melewati sawar darah otak dan diserap secara cepat dari tempat
injeksi. Dalam hepar, lidokain diubah menjadi metabolit yang lebih larut dalam air dan
disekresikan ke dalam urin. Absorbsi dari lidokain dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
tempat injeksi, dosis obat, adanya vasokonstriktor, ikatan obat, jaringan, dan karakter
fisikokimianya.

Pada percobaan kali ini, punggung kelinci bagian kanan disuntikkan obat anastesi lidocain,
punggung bagian kiri sebagai balnko disuntikkan obat NaCl, berdasarkan data pengamatan
lidocain lah yang mempunyai efek obat yang cepat namun pada percobaan ini. Dan pada
punggung kiri yang disuntikkkan NaCl tidak memberikan efek anastesi sama sekali.

Pada percobaan kali ini mungkin dipengfaruhi dari factor biologis dan factor eksternal hewan
percobaan sehingga mempengaruhi efek kerja dan lama waktu kerja obat tersebut. Seperti berat
badan, cara menyuntikkan, lokasi penyuntikkan, dan tingkat stress dari hewan percobaan
tersebut.

130
BAB VI

KESIMPULAN

Anestesi Infiltrasi bertujuan untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui injeksi pada atau
sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan
jaringan yang terletak lebih dalam, misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada pencabutan
gigi).

131
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI
KOLINERGIK PADA AIR LIUR

132
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif,
sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
kesimbangan fungsi fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh kesadaran dan
kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf- syaraf, ganglion-ganglion dan
jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ
dalam, otot- otot polos. Meskipun tata penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat
belum diketahui secara sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi menerima
bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan
hubungan dengan neurofektor dengan pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang
dikenal dengan istilah neurohumor-transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi
fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau
memodifikasi aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut
syaraf otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.

I.2 Tujuan Percobaan

Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada kelnjar ludah
I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian zat kholinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan


hipersalivasi, yang dapat diinhibisi oleh zat antikholinergik. Eksperimen ini dapat
digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi efek zat kholinergik pada neuroefektor
dan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai antagonisme. Hewan
yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.

133
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

c. CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

Oral : dimakan /diminum

Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

Rektal, Vaginal, Uretral

Lokal, Topikal, Transdermal

Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

d. FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

12. Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

13. Berat badan

14. Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

15. Ras : slow & fast acetylator

16. Toleransi

17. Obesitas

18. Sensitivitas

19. Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

20. Kehamilan

21. Laktasi

22. Circadian rhythm

134
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat
ccc. Suntikan (Alat suntik & Jarum Suntik)
ddd. Stopwatch
eee. Koran
fff. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
ggg. Sarung tangan & Masker
hhh. Beaker Glass
iii. Corong
Bahan
jjj. Kapas
kkk. Alkohol
lll. Atropine sulfas, Pilokarpin, fenobarbital
mmm. Kelinci
nnn. Aqua Pro Injeksi
III.2 Prosedur Kerja
Pengaruh obat otono pada kelenjar ludah
Sedasikan kelinci dengan fenobarbital secara IM, catat munculnya saliva selama 5 menit,
tampung dan ukur volume saliva. Suntikan atropin sulfat secara IV denagan dosis 0,25
mg/kg BB. Catat munculnya saliva selama 5 menit, tampung dan ukur volume saliva.

135
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Data percobaan

Berat kelinci : 2,4 kg

Faktor konversi kelinci


Manusia ~ kelinci BB kelinci 1,5 kg ~ 0,07

Perhitungan dosis
Phenobarbital
Rute pemberian : IV
BB kelinci 1,5kg 0,07
50mg/ml 0,07 50 mg/ml = 3,5 mg/ml

Pilokarpine
Rute pemberian : IM
20 mg/ml 0,07 20 mg/ml = 1,4 mg/ml

Atropin sulfas
Rute pemberian : IV
10 mg/ml 0,07 10 mg/ml = 0,7 mg/ml

136
=

Pengamatan

2. untuk kelinci dicatat saat pemberian obat, saat mulai berbagai efek , tipe-tipe efek
yang muncul, lama berlangsungnya efek.

HEWAN OBAT DOSIS WAKTU PENGAMATAN

Kelinci Phenobarbital 0,112 5 menit Normal, tenang

Kelinci pilokarpine 0,112 5 menit Mengeluarkan


saliva

Kelinci Atropin sulfas 0,112 8 menit Kembali normal


tidak lagi
mengeluarkan
saliva

137
BAB V

PEMBAHASAN

Semakin besar bobot hewan percobaan, maka volume pemberian obat semakin besar.
Pilokarpin sebagai zat klinergik yang dapat meningkatkan sekresi saliva. Atropin sebagai zat
antikolinergik mampu menginhibisi hipersaliva pada hewan percobaan. Semakin tinggi dosis
atropin yang diberikan terhadap hewan percobaan, semakin sedikit saliva yang dikeluarkan oleh
hewan percobaan tersebut

138
BAB VI

KESIMPULAN

Pilokarpin dapat berkhasiat sebagai obat kholinergik karena dapat menyebabkan efek
saliva sedangkan atropin sulfas berkhasiat sebagai antikholinergik karena dapat efek
menghentikan efek saliva pada kelinci percobaan tersebut.

139
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
EFEK OBAT KOLINERGIK DAN ANTI
KOLINERGIK PADA MATA

140
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif,
sistem syaraf visera atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur
kesimbangan fungsi fungsi intern tubuh yang berada diluar pengaruh kesadaran dan
kemauan. Sistem syaraf ini terdiri atas serabut syaraf- syaraf, ganglion-ganglion dan
jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, organ-organ
dalam, otot- otot polos. Meskipun tata penghantaran impuls syaraf di sistem syaraf pusat
belum diketahui secara sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi menerima
bahwa impuls syaraf dihantar oleh serabut syaraf melintasi kebanyakan sinaps dan
hubungan dengan neurofektor dengan pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang
dikenal dengan istilah neurohumor-transmitor. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi
fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya untuk meniru atau
memodifikasi aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut
syaraf otonom diganglion atau sel-sel (organ-organ) detektor.

I.2 Tujuan Percobaan

Mampu menjelaskan efek kholinergik dan anti kholinergik pada kelnjar ludah
I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian zat kholinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan


hipersalivasi, yang dapat diinhibisi oleh zat antikholinergik. Eksperimen ini dapat
digunakan sebagai landasan untuk mengevaluasi efek zat kholinergik pada neuroefektor
dan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai antagonisme. Hewan
yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.

141
BAB II

DASAR TEORI

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

e. CARA PEMBERIAN OBAT KEPADA PENDERITA

Oral : dimakan /diminum

Parenteral : subkutan, intramuskular, intravena, intra peritoneal, dsb

Rektal, Vaginal, Uretral

Lokal, Topikal, Transdermal

Lain-lain : sublingual, intrabukal, dsb

f. FAKTOR / KARAKTERISTIK PENDERITA

23. Umur : neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric

24. Berat badan

25. Jenis kelamin (untuk obat gol. Hormon)

26. Ras : slow & fast acetylator

27. Toleransi

28. Obesitas

29. Sensitivitas

30. Keadaan pato-fisiologi : gangguan hati, ginjal, kelainan sal. Pencernaan

31. Kehamilan

32. Laktasi

33. Circadian rhythm

142
BAB III

PERCOBAAN

BAHAN DAN ALAT

Hewan Percobaan Kelinci

Obat dan Dosisnya Larutan pilokarpin HCl 3%

Larutan atropine sulfat 2%

Alat yang digunakan Pipet tetes; alat pengukur diameter pupil


mata ; senter

PROSEDUR

1. Siapkan kelinci
2. Amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada cahaya suram dan pada penyinaran
dengan senter. Bandingkan
3. Teteskan :
- Pada mata kiri Pilokarpin HCl 3% sebanyak 3 tetes
4. Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
5. Ukur diameter kornea mata kiri setelah 15 menit
6. Mata kiri terjadi miosis kuat, segera teteskan atropin sulfat 2% sebanyak 3 tetes
7. Tunggu 15 menit, amati setiap 5 menit dan catat hasil pengamatan
8. Ukur kembali diameter masing-masing kornea mata.

143
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

PENGAMATAN

Diameter kornea mata Kelinci

Kelinci Cahaya suram Cahaya senter

Mata kanan 1,2cm 0,8cm

Mata kiri 1cm 0,7cm

Daerah Diameter kornea mata


Hewan pemberian Obat Keterangan
obat 0 5 10 15

Kelinci Mata kiri Pilokarpin HCl 3% 0,7cm 0,7cm 0,6cm 0,3cm Miosis Kuat

Atropin sulfat 2% 0,3cm 0,3cm 0,3cm 0,8cm Midriasis

144
BAB V

PEMBAHASAN

Percobaan ini yang digunakan hanya pada satu mata saja di karenakan ada satu zat aktif
yang tidak tersedia di laboratorium yaitu larutan fisostigmin, jadi yang kami amati hanya larutan
pilokarpin HCl 3% dan Atropin sulfat 2%, setelah diamati 15 menit pada masing-masing obat
terjadi reaksi pada pupil mata, untuk pilokarpin HCl 3% bekerja sebagai kholinergik miosis
dimana pupil mata mengecil, hasil pengamatan pada pupil mata yang kami dapat selama 15
menit adalah 0,3cm. Atropin Sulfat 2% bekerja sebagai Antikholinergik yaitu menimbulkan
midriasis dimana pupil mata menjadi membesar, pengamatan yang kami dapat pada atropin
sulfat ini adalah 0,8cm pada menit ke 15. Kedua obat ini bekerja antagonis atau berlawanan. Jadi
percobaan ini sesuai dengan teori yang ada, dimana pilokarpin bekerja sebagai kholinergik dan
atropin sebagai antikholinergik pada syaraf otonom.

145
BAB VI

KESIMPULAN

1. Pilokarpin merupakan obat kolinergik dan memberikan efek kolinergik


2. Atropine merupakan obat antikolinergik dan memberikan efek antikolinergik

146
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI
EFEK OBAT PADA SALURAN CERNA

147
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Tujuan Percobaan

Mengetahui sejauh mana aktivitas obat anti diare dapat menghambat diare dengan
metode uji antidiare yaitu metode transit intestinal.

I.2 Prinsip Percobaan

Aktivitas obat yang dapat memperlambat peristaltik usus dengan mengukur rasio normal
jarak yang ditempuh marker terhadap panjang usus sepenuhnya.

148
BAB II

DASAR TEORI

KONSTIPASI
Konstipasi adalah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras. Otot polos usus
yang lumpuh misalnya pada megakolon congenital dan gangguan refleks defekasi
(konstipasi habitual). Sedangkan obstipassi adalah kesulitan defekasi karena adanya
obstruksi intra / ekstra lumen usus, misalnya karsinoma kolon sigmoid. Faktor
penyebab konstipasi adalah psikis, misalnya akibat perubahan kondisi kakus,
perubahan kebiasaan defekasi pada anak, perubahan situasi misalnya dalam
perjalanan / gangguan emosi, misalnya pada keadaan depresi mental - penyakit,
misalnya hemoroid sebagai akibat kegagalan relaksasi sfingter nyari, miksuden dan
skletoderma, kelemahan otot punggung / abdomen pada kehamilan multipar dan obat,
misalnya opium, antikolinergik, penghambatan ganglion, klonidin, antasida
aluminium dan kalsium.
Mekanisme pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan, karena
kompleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kolon transport air dan
elektrolit, dapat dijelaskan antara lain:

1. Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat
massa konsistensi dan transit tinja bertambah.
2. Pencahar bekerja langsung ataupun tidak langsung terhadap mukosa kolon dalam
menurunkan (absorpsi) air dan NaCl, mungkin dengan mekanisme seperti pada
pencahar osmotik.
3. Pencahar dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorpsi
garam dan selanjutnya mengurangi waktu transit tinja.

Contoh obat pencahar adalah:


Pencahar rangsang : minyak jarak
Pencahar garam : magnesium sulfat
Pencahar pembentuk massa : metil selulosa
Pencahar emolien : paraffin cair

LAKSANSIA OSMOTIK

Karena air dapat diabsorpsi dengan mudah, maka tak dapat disunakan sebagai
laksansia. Akan tetapi jika ditambahkan garam yang sulit diabsorpsi, sesuai dengan

149
tekanan osmotik garam ini, pada penggunaan larutan normotoni, absorpsi air dari
usus akan diperkecil, sedangkan pada pemasukan larutan hipertoni, air akan
dibebaskan ke dalam lumen usus dan dengan demikian pengosongan feses dalam
jumlah besar dapat tercapai. Saat mulai kerja tergantung kepada jumlah dan
konsentrasi larutan garam : pada larutan hipertoni waktu relatif lama sampai air cukup
banyak yang masuk ke lumen usus sehingga pengosongan dapat dimulai biasanya
sekitar 10-12 jam. Pada larutan normotoni atau hipotoni, kerja sudah mulai dalam
waktu beberapa jam saja. Mengingat akibat bahaya dehidrasi, harus dihindari larutan
hipertoni.
Laksansia garam : magnesium sulfat ( garam pahit ) dan natrium sitrat ( garam
glauber), natrium fosfat dan natrium sitrat. Yang paling banyak digunakan adalah
garam pahit dan garam glauber. GARAM MAGNESIUM (MgSO4 = garam inggris)
Obat yang termasuk didalam golongan laksansia osmotik mekanisme kerjanya
dalam usus berdasarkan penarikan air ( osmosis ) dari bahan makanan karena tiga
perempat dari dosis oral tidak diserap, akibatnya adalah pembesaran volume usus dan
meningkatnya peristaltik di usus halus dan usus besar di samping melunakkan
tinja.merupakan senyawa yang mudah diabsorpsi melalui usus kira-kira 15-30 % dan
diekskresikan melalui ginjal. Dari dosis di serap oleh usus yang dapat mengakibatkan
kadar magnesium dalam darah terlampau tinggi, khususnya bila fungsi ginjal kurang
baik. Oleh karena itu garam inggris jangan digunakan untuk jangka waktu yang lama.
Boleh digunakan selama kehamilan, obat ini masuk ke dalam air susu ibu.

NaCl FISIOLOGIK
Obat ini merupakan cairan yang isotonus terhadap cairan tubuh sehingga tidak
menghasilkan efek apa-apa. Biasanya digunakan untuk membandingkan efek yang
dihasilkan oleh suatu obat pada hewan percobaan. NaCl ini menghasilkan efek yang
tidak begitu berarti didalam tubuh serta penggunaannya tidak dipermasalahkan.
Penyalahgunaan pencahar yang banyak terjadi dimasyarakat dengan alasan
menjaga kesehatan sama sekali tidak rasional karena akan menurunkan sensitivitas
mukosa, sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsangan fisiogik. Penggunaan
pencahar secara kronik dapat menyebabkan diare dengan akibat kehilangan air dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Disamping itu dapat pula terjadi kelemahan otot
rangka, berat badan menurun dan paralisis otot palos. Pengeluaran kalsium terlalu
banyak dapat menimbulkan osteomalasia.

150
BAB III

PERCOBAAN

Bahan danAlat

1. Tikus putih jantan


2. Larutan Pentobarbital Natrium 4%
3. Larutan magnesium sulfat 25%,3% dan 0,2%
4. Natrium klorida fisiologik
5. Spuit 1ml atau 2ml
6. Gunting benang steril
7. Kaca arloji
8. Pipet tetes
9. Kleenex
10. Jarum bedah

Prosedur

1. Tikus dipuaskan makan selama 24 jam, minum tetap diberikan.


2. Tikus dibius dengan pentobarbital Na 40 mg/kg bb secarara ip.
3. Usus dipamerkan melalui toreahn ventral sagital, usus jangan sampai terluka,
selama pembedahan da percobaan usus harus basahi dengan NaCI fisiologik.
4. Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pilorus, ikat usus dengan benang steril pada jarak
lebih kurang 8 cm, hingga diperoleh tiga segmen terpisah. Pengikatan jangan
sampe menganggu aliran darah usus.
5. Suntikan berturut-turut kedalam segmen masing-masing larutan 1 ml (MgSO4
25% NaCI 0,9 % dan MgSO4 0,2%)
6. Tempatkan kembali usus ke dalam rongga abdomen dan jahit kembali otot dan
kulit perut tikus. Basaahi terus jahitan dengan NaCI fisiologis.
7. Setelah 2 jam, buka jahitan dan isi tiap segmen usus dikeluarkan dan catat volume
yang diperoleh.
8. Tabelkan hasil-hasil eksperimen dan diskusikan pengaruh masing-masing larutan
terhadap retensi cairan.

151
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Perhitungan dan Dosis

Faktor konversi : Manusia > Tikus, BB Tikus 200gram > 0.018

Perhitungan dosis Fenobarbital


Tara timbangan : 198.5
Berat tikus : 291

= 291- 198.5 = 92.5


= 92.5/200 x 0.9 = 0.416
= 0.416/50 x 1ml = 0.0083 ml
Diencerkan x10 = 0.08, karena ingin efek anestesi dix 2= 0.16
Jadi, fenobarbital yang disuntikan 0.16ml

MgSO4 25% = 25/100 X 50ML = 12.5 gram /50 ml


MgSO4 0,2% = 0,2/100 X 1OOML = 0.2gram/100ml

152
BAB V

PEMBAHASAN

Di era yang serba modern ini, manusia sering di tuntut untuk dapat memenuhi berbagai
macam tugas sekaligus di waktu yang bersamaan. Hal ini berakibat pada menurunnya waktu
luang, diantaranya adalah waktu istirahat yang pendek sehingga tidak jarang manusia modern
sekarang lebih memilih untuk memilih makanan cepat saji yang menfandung banyak
karbohidrat, lemak, dan protein namun miskin serat. Hal ini dapat memicu berbagai masalah
kesehatan yang dapat berakibat fatal dikemudian hari.

Masalah yang paling sering timbul dari kondisi kurang serat adalah konstipasi dimana
tubuh mengalami kesulitan defekasi tinja yang mengeras, otot polos yang lumpuh atau masalah
lainnya. Hal ini di perparah dengan kurangnya konsumsi air putih dan olahraga. Sehingga
sebagian orang menggunakan obat pencahar untuk mengatasi masalah ini. Padahal penggunaan
obat pencahar yang sembarangan dapat merugikan si pengguna karena dapat menyebabkan
ketergantungan, pendarahan anus, gas berlebih pada saluran cerna dan efek lainnya.
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan efek garam pada saluran cerna dan tikus
sebagai hewan ujinya. Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipuasakan selama 24
jam. Tikus disuntikkan secara ip dengan Pentobarbital 0.16 ml, setelah itu tikus dibiarkan sampai
tidak sadar. Kemudian tikus diletakan diatas kayu dengan kondisi masing-masing kaki diikat,
setelah itu dilakukan pembedahan pada jarak 2.5cm dari piloris, usus diikat dengan benang steril
pada jarak kurang lebih 8 cm , hingga diperoleh tiga segmen terpisah. Setelah itu disuntikan
berturut-turut ke dalam masing-masing segmen larutan 1ml ( mgso4 24%, nacl 0,9% dan mgso4
0,2%) pada saat percobaan usus terus dibasahi dengan larutan Nacl fisiologik. Setelah selesai
disuntikan usus ditempatkan kembali pada rongga abdomen, pada jam 10.39 tikus mulai dijait
kembali dan terus dibasahi Nacl fisiologik,, pada jam 10.45 tikus sudah selesai dijahit. Sebelum
2 jam setelah tikus dijahit , tikus tersebut MATI.

153
BAB VI

KESIMPULAN

Setelah dilihat dari prosedur kerjanya penyebab tikus tersebut mati adalah peralatan yang
kurang steril, terlalu banyak tangan yang melakukan proses pembedahan tersebut dan usus tikus
terlalu lama diluar badannya sehingga resiko infeksi meningkat

154
DAFTAR PUSTAKA

Bisono. Operasi Kecil. Jakarta: EGC. 2003.p. 24-29


Boulton TB, Colin EB. Anestesiologi. Jakarta: EGC; 1994.p.108-133
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI

Dobron, Michael B. Penuntun Praktis anestesi.Jakarta: EGC. 1994.p. 89-103


Harvey, Richard A dan Champe, Pamela P.Farmakologi. Edisi IV.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran

Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC, 1997


Karakata S, Bob Bachsinar. Bedah Minor. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates; 1996

Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104.
Raharhja, Drs Kirana dan Drs Tan Hoan Tjay. Obat obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo

Sabiston. Buku Ajar Ilmu Bedah.bagian I. Jakarta: EGC. 1995.


Stringer, Janet L.Konsep Dasar Farmakologi.Edisi III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Schrock TR. Ilmu Bedah. Edisi 7. Jakarta: EGC; 1995.p.113-119.


Sjamsuhidayat R, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC:2004.p.247-
253.
Syarif, Amin. dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta. Gaya Baru. 2007

155

Anda mungkin juga menyukai