Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

“PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIINFLAMASI”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas praktikum mata kuliah Farmakologi sistem organ

Dosen Pembimbing :

Nur Rahayuningsih, M.Si., Apt

Maritsa Nurfatwa, M.Si., Apt

Disusun Oleh :

Kelompok VI

Kiki Vidia Amelia 31117167

Mochamad Fajar Deliaz 31117174

Nida Nadiatul Hayati 31117179

Nur Sofy Lestari 31117180

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA

2019
A. TUJUAN
1. Untuk menentukan perbedaan volume kaki tikus untuk setiap jam pengukuran
hewan uji.
2. Menghitung persentase kenaikan volume kaki dengan membandingkan terhadap
volume dasar penyuntikan & menghitung persentase rata rata setiap kelompok uji.
B. PRINSIP
1. Subkutan pada telapak kaki belakang tikus menyebabkan udem yang dapat
diinhibisi oleh obat antiimflamasi yang dibeikan sebelumnya.
2. Volume udem diterima dengan alat plestigmometer dan dibandingkan terhadap
udem yang diberikan obat.
3. Aktivitas obat antiimflamasi disetujui dari persentase yang diberikan terhadap
pembentukan udem.
C. DASAR TEORI

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, Zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi tubuh atau . Organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan
lengkap,proses peradangan biasanya reda. Namun, kadang kadang inflamasi tidak bisa
dicetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung sari, atau oleh suatu respon imun,
seperti asma atau artistis rematoid. Pada kasus seperti ini, Reaksi pertahanan tubuh mereka
sendiri mungkin menyebabakan luka-luka jaringan progresif, dan obat-obat anti inflamasi atau
imunosupresi mungkin dipergunakan untuk memodulasi proses peradangan. Inflamasi
dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawidari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator
kimiawi spesifik berpariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin
dan 5- hidroksitritamin , lipid seperti prostagladin, peptida kecil, seperti bradikinin dan peptida
besar seperti interleukin. Penemuan yang luas diantaranya mediator kimiawi telah
menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti-inflamasi dapat mempengaruhi
kerja mediator utama yang penting untuk satu tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses
inflamasi yang penting pada satu tipe inflamasi yang melibatkan mediator target obat (Mycek,
M.J.,2001).

Penyebab-penyebab peradangan banyak dan bervariasi, dan penting untuk memahami


bahwa peradangan dan infeksi tidak sinonim dengan demikian infeksi (adanya mikroorganisme
hidup di dalam jaringan) hanya merupakan salah satu penyebab peradangan. Peradangan dapat
terjadi dengan mudah dalam keadaan yang benar-benar steril. Karena banyaknya keadaan yang
mengakibatkan peradangan (Price dan Wilson, 2005).
Banyak obat – obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat sintesis salah satu
mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin yaitu (Mycek, 2001 ) :
Asam arakidonat , suatu asam lemak 20 karbon adalah prekursor utama prostaglandin dan
senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam komponen fosfolipid membran sel,
terutama fosfotidil inositol dan kompleks lipid lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan dari
jaringan fosfolipid oleh kerja fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Melalui suatu proses
yang dikontrol oleh hormon dan rangsangan lainnya.
1. Jalan siklo-oksigenase
Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin
disintesis melalui jalan siklo – oksigenase. Telah diketahui dua siklo-oksigenase : COX-1 dan
COX-2 Yang pertama bersifat ada dimana – mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua
diinduksi dalam respon terhadap rangsangan inflamasi.
2. Jalan lipoksigenase
Jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat untuk membentuk
HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang
dikorvensi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETES) atau menjadi leukotrien atau
lipoksin, tergantung pada jaringan.
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang
mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke
mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan
ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut
(Abrams, 2005).
Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu :
a) Glukokortikoid (golongan steroidal) yaitu antiinflamasi steroid.
Anti inflamasi steroid memiliki efek pada konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer
serta penghambatan aktivitas fosfolipase. Contohnya golongan predinison.
b) NSAIDs (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs ) juga dikenal dengan AINS (Anti Inflamasi Non
Steroid).
NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak lipoksigenase.(Tjay
dan Raharja, 2007).
Obat ini efektif untuk peradangan lain akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan), juga
misalnya setelah pembedahan, atau pada memar akibat olahraga. Obat ini dipakai pula untuk
mencegah pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi.
Selanjutnya, NSAIDs juga digunakan untuk kolik saluran empedu dan kemih serta keluhan
tulang pinggang dan nyeri haid (dysmenorroe). Akhirnya, NSAIDs juga berguna untuk myeri
kanker akibat metastase tulang. Yang banyak digunakan untuk kasus ini adalah zat-zat dengan
efek samping relative sedikit, yakni ibuprofen, naproksen, dan diklofenak (T.H. Tjay dan K.
Rahardja, 2002).
Obat kortikosteroid anti-inflamasi, seperti kortisol dan prednisone menghambat pengaktifan
fosfolipase A2 dengan menyebabkan sintesis protein inhibitor yang disebut lipokortin. Lipokortin
menghambat aktifitas fosfolipase sehingga membatasi produksi PG. Preparat steroid juga
mengganggu fungsi limfosit sehingga produksi IL menjadi lebih sedikit. Keadaan ini mengurangi
komunikasi antar limfosit dan proliferasi limfosit. Oleh karena itu, pasien yang menggunakan
steroid dalam jangka panjang lebih rentang terkena infeksi (Chang dan Daly, 2009).

Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi non steroid ini fokus pada penghambatan isoenzim COX-1
(cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim cyclooxygenase ini memiliki peran dalam
mendorong proses pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Untuk Anda
ketahui prostaglandin merupakan molekul penting dalam proses pembawaan pesan trauma menuju
sensor otak dan saraf pada proses inflamasi (radang).Biasanya bersamaan dengan inflamasi atau
peradangan, akan muncul demam dalam berbagai skala. Demam ini adalah reaksi alami tubuh
terhadap peningkatan kerja sistem imunitas dalam melawan peradangan. Pada dasarnya ini adalah
reaksi adaptasi karena proses kinerja imunitas yang meningkat akan mendorong peningkatan atau
induksi suhu tubuh. Obat NSAID akan bekerja dengan cara memengaruhi hipotalamus dalam
merespon sinyal dari interleukin dalam menginduksi suhu tubuh. Ini juga berkaitan dengan fungsi
NSAID dalam menekan produksi prostaglandin. Biasanya cara yang dilakukan untuk menjalankan
fungsi anti piretik adalah dengan mendorong aliran darah menuju perifer dan memicu tubuh
berkeringat untuk mengadaptasi suhu tubuh tinggi kembali turun.

Obat anti inflamasi juga ada yang bergolongan steroid. Obat ini merupakan anti inflamasi yang
dangat kuat karena obat-obatan ini menghambat enzim phospolipase A2 sehingga tidak akan
terbentuk asam arakidonat, dengan tidak terbentuknya asam arakidonat maka prostaglandin (COX-
2) juga tidak akan terbentuk. Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki struktur
kimia tertentu yang memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana yang dihasilkan
secara alami oleh korteks adrenal tubuh yang dikenal dengan senyawa kortikosteroid. Kortikosteroid
sendiri berdasarkan aktifitasnya dibedakan menjadi glukotiroid dan mineralokortikoid.
Glukokortikoid memiliki peranan dalam metabolisme glukosa (kortisol atau hidrokortisol) sedangkan
meineralokortikoid memiliki fungsi retensi garam. Dalam masyarakat obat-obatan ini sudah banyak
dijual bebas contohnya antara lain deksametason, prednison, dan betametason. Kortikosteroid
bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Obat anti inflamasi steroid dapat
menyebabkan terhambatnya ATP sehingga pertumbuhan otot dapat terhambat
D. Alat dan Bahan
a. Hewan percobaan

Tikus putih dengan bobot badan 100 – 200 gram ,


dipuasakan selama 18 jam

b. Alat
No Alat gambar
1 Kain lap

2 Neraca digital

3 Jangka sorong

4 Plethysmometer
5 Wadah toples

6 Spuit 1 ml

7 Sonde oral

8 Spidol

9 Stopwatch

c. Bahan
 Karagenan 1%
 Larutan PGA 3%
 Na diklofenak 50mg
 Aqua pro injeksi
 Bahan Alam
E. Prosedur Kerja

No Step Dokumentasi
1 Masing-masing tikus dikelompokan dan ditimbang
berat badannya dan berikan tanda pengenal untuk
setiap tikus dalam kelompok

2 Dengan bantuan spidol berikan tanda batas pada kaki


belakang kiri untuk setip tikus agar pemasukan kaki
ke dalam air raksa setiap kali selalu sama

3 Pada tahap pendahuluan volume kaki tikus di ukur


dan dinyatakan sebagai volume dasar untuk setiap
tikus. Pada setiap kali pengukuran volume supaya
diperiksa tinggi cairan pada alat dan dicatat sebelum
dan sesudah pengukuran jangan sampai ada air raksa
yang tertumpah. Volume sebagai volume awal Vo

4 Ukur diameter kaki tikus dengan jangka sorong,


sebagai Do
5 Masing-masing kelompok diberikan sediaan uji
secara per oral, diamkan selama 1 jam.

6 Tikus di induksi secara subplantar dengan 0,1 ml


larutan karagenan , diamkan selama 30 menit.

7 Lakukan kembali pengukuran dengan


plethysmometer sebagai Vt

8 Ukur kembali diameter kaki yang sudah diinduksi


karagenan, sebagai Dt

9 Pengukuran dilakukan setiap 1 jam , 1½ jam , 2 jam,


3 jam, dan 3½ jam .Catat perbedaan volume kaki
untuk setiap jam pengukuran
10 Hasil-hasil pengamatan supaya dimuat dalam tabel
untuk setiap kelompok. Tabel harus memuat
persentase kenaikan volume kaki setiap jam untuk
masing-masing tikus. Perhitungan persentase
kenaikan volume kaki dilakukan dengan
membandingkan terhadap volume dasar sebelum
penyuntikan.
11 Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentse
rata-rata dan bandingkan persentase yang diperoleh
kelompok yang diberi obat terhadap kelompok
kontrol pada jam yang sama.

12 Perhitungan dilakukan untuk pengukuran –


pengukuran setelah 1 jam, 2 jam, 3 jam setelah
penyuntikan karagenan
13. Aktivitas antiinflamasi ditunjukan oleh
kemampuannya mengurangi udem yang di induksi
pada telapak kaki hewn percobaan. Persentase radang
yang terjadi diukur dengan menggunakan rumus
𝑉𝑡−𝑉𝑜
% Radang = x 100%
𝑉𝑜

Ket :
Vt = volume telapak kaki pada waktu t
Vo = Volume telapak kaki pada waktu 0

Efek antiinflamasi di evaluasi berdasarkan rumus


sebagai berikut :
𝐴−𝐵
% Inhibisi radang = X 100%
𝐵
Ket :
A = persen radang rata-rata kelompok kontrol
B = persen radang rata-rata kelompok zat uji
HASIL PENGAMATAN
Penguji Tikus Do Rata- Dt30 Rata- Vo Rata- Vt30 Rata- %
an (mm) rata (mm) rata (mL) rata (mL) rata Radan
Kelomp g
ok Rata-
rata

Kontrol 1 0,45 0,51 0,575 0,5725 0,021 0,01925 0,027 0,02775 44,155%
(+)

2 0,545 0,58 0,0175 0,0285


Kontrol 1 1,045 1,0725 1,03 1,0625 0,215 0,2125 0,205 0,1312 -42%
(-)
2 1,1 1,095 0,21 0,0375
Dosis 1 0,65 0,625 2,7 2,65 0,35 0,35 0,15 0,15 -57%
Uji I
6,25 mg
2 0,6 2,6 0,35 0,15
Dosis 1 0,385 0,5275 0,65 0,6275 0,0225 0,025 0,08 0,105 320%
Uji II
12,5 mg
2 0,67 0,605 0,0275 0,21
Dosis 1 0,48 0,5 0,615 0,6625 0,0465 0,7557 0,0625 0,0625 140%
Uji III
25 mg
2 0,52 0,71 0,265 0,0625

𝑉𝑡30 −𝑉0
% Radang30 = x 100%
𝑉0

0,02775−0,01925
% Radang Kontrol (+) = × 100% = 44,155%
0,01925

0,0212−0,2125
% Radang Kontrol (-) = × 100% = -42%
0,2125

0,15−0,35
% Radang Dosis Uji I = × 100% = 57%
0,35

0,105−0,025
% Radang Dosis Uji II = × 100% = 320%
0,025

0,0625−0,1557
% Radang Dosis Uji III = × 100% = 140%
0,1357

Rata- rata % radang kelompok uji 134,3 %


𝐴−𝐵
%Inhibisi Radang = × 100%
𝐴

44,155−134,3
% Inhibisi Radang (+) = × 100% = -2,04%
44,155

−42−134,3
% Inhibisi Radang (-) = × 100% = -4.1976%
−42

57−134,3
% Inhibisi Radang Dosis Uji I = × 100% = 106,5%
57
320−134,3
% Inhibisi Radang Dosis Uji II = × 100% = - 0,5803%
320

140−134,3
% Inhibisi Radang Dosis Uji III = × 100% = 0.0407%
140

F. PEMBAHASAN
Pada praktikum Farmakologi Sistem Organ kali ini yaitu pengujian antiinflamasi
dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas farmakologi Na. Diklofenat dan karagenan
1% yang digunakan sebagai inisiator terjadinya inflamasi tersebut. Tikus yang
digunakan dalam percobaan ini berjumlah dua ekor tiap kelompok dengan perlakuan
yang masing-masing berbeda.
Percobaan ini menggunakan alat pletismograf untuk mengidentifikasikan terjadinya
inflamasi pada kaki belakang sebelah kiri tikus, dengan pengukuran presentase
besarnya radang pembengkakan. Caranya tikus diberi sediaan Na. Diklofenat yang
sudah dilarutkan dengan PGA 1% secara oral kemudian beberapa waktu kemudian
diberi perlakuan diinduksi secara subplantar larutan karagenan 1%, sediaan tersebut
diberikan sesuai dengan perhitungan berat badan tikus. Penggunaan Na. Diklofenat
sebagai obat antiinflamasi sedangkan karagenan 1% berfungsi sebagai senyawa iritan
menginduksi terjadinya cedera sel melalui pelepasan mediator yang mengawali proses
inflamasi. Pada saat terjadi pelepasan mediator inflamasi terjadi udem maksimal dan
bertahan beberapa jam. Efek yang ditimbulkan dari pemberian karagenan pada tikus
adalah terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus setelah
diukur dengan alat pletismometer. Udem yang disebabkan induksi karagenan bertahan
selama 6 jam dan berangsur berkurang dalam waktu 24 jam.
Mekanisme kerja farmakologinya adalah menginhibisi sintesis prostagladin.
Na.diklofenat menginhibisi sintesis prostagladin di dalam jaringan tubuh dengan
menginhibisi siklooksigenase: sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2, telah diidentifikasikan dengan mengkatalis/memecah
formasi/bentuk dari prostagladin di dalam jalur asam arakidonat.

G. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa efek yang
ditunjukan dengan semakin besarnya nilai % efektivitas, yang berarti suatu sediaan
yang diujikan mampu menghambat udem yang terbentuk akibat induksi karagenan.
Bahwa volume udem control positif mempunyai nilai palng kecil.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Tan Hoan Tjay & Drs. Kirana Raharja, 2007, Obat-Obat Penting, Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.

Universitas Indonesia, 2007 , Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Jakarta

MU Neal, 2005, di Glace Farmakologi Medis, edisi v, Erlangga, Jakarta

Thomas B Boulton & Coln E.Blogg, 1994, Anestesi edisi x, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai