Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI I

“CARA MENGANESTESI DAN MENGORBANKAN HEWAN COBA”

Oleh :

Helma Chika Oktaviani 19930001

Yessi Eriana Meilya Ningrum 19930002

Farhan Ardhiansyah Alwi 19930004

Muhammad Misbahul Munir 19930005

Riski Akbar Sarbiandie 19930007

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI I


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Anestesi adalah keadaan ketidaksadaran yang diinduksi pada hewan. Anestesi diperlukan
terutama sebelum hewan itu dibedah, ada tiga tahapan anestesi yaitu analgesia (penghilang rasa
sakit), amnesia (hilangnya memori) dan imobilisasi. Obat yang digunakan untuk mencapai
anestesi biasanya memiliki efek yang berbeda-beda. Beberapa obat dapat digunakan secara
individual untuk mencapai semua komponen anastesi, lainnya hanya dapat bersifat analgesik
atau sedatif dan dapat digunakan secara individual atau dalam kombinasi dengan obat lain untuk
mencapai anestesi penuh.

Percobaan dengan hewan biasanya akan berakhir dengan mematikan hewan tersebut, baik
karena akan diambil organ in vitro nya selama atau pada akhir percobaan (misalnya pengamatan
histologi paru), untuk menilai bagaimana efek obat (misalnya efek toksik obat), atau karena
hewan tersebut mengalami penderitaan atau sakit dan cacat yang tidak mungkin sembuh lagi.

2.2 TUJUAN PRAKTIKUM

1. Melakukan anestesi dan euthanasia pada hewan coba yang memenuhi syarat
2. Mengamati stadium anestesi yang terjadi melalui parameterparameter antara lain respon
nyeri, lebar pupil, jenis pernapasan, frekuensi jantung dan tonus otot.
3. Menjelaskan stadium-stadium anestesi
BAB II

DASAR TEORI

2.1 ANATESI
Anestesi atau disebut dengan keadaan tidak peka terhadap rasa sakit, sangat
berguna untuk melakukan suatu tindak pembedahan karena agar hewan tidak menderita
dan demi efisiensi kerja, karena hewan menjadi diam sehingga suatu tindak pembedahan
dapat dikerjakan dengan lancar dan aman.
Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu “An” yang berarti tidak dan “Aesthesis” yang
berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesia berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau
sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa
rasa tetapi bersifat sementara dan akan kembali kepada keadaan semula, karena hanya
merupakan penekanan kepada fungsi atau aktivitas jaringan syaraf baik lokal maupun
umum (Sudisma dkk, 2006).
Tujuan penggunaan anestesi pada dasarnya adalah untuk membuat agar hewan tidak
merasakan rasa sakit atau tidak sanggup bergerak. Anelgesia yang memadai (analgesia)
adalah sebuah syarat mutlakuntuk teknik pembedahan dalam menyelesaikan tujuan dilakukan
pembedahan (Sudisma, 2006).
Anestesi umumnya digunakan untuk pereda rasa nyeri dalam dunia kedokteran
terutama dalam Ilmu bedah. Anestesi umumnya diklasifikasikan berdasarkan rute
penggunaannya, yaitu 1) Topikal misalnya kutaneus atau membran mukosa; 2) Injeksi
seperti intravena, subkutan, intramuskular, dan intraperitoneal; 3) Gastrointestial secara oral
atau rektal; dan 4) Respirasi atau inhalai melalui saluran nafas (Tranquilli dkk., 2007). Dalam
Anestesiologi dikenal trias anestesi “ The Triad of Anesthesia”, yaitu Sedasi (kehilangan
kesadaran), Analgesia (mengurangi rasa sakit), dan Relaksasi otot (Latief dkk., 2002).
Anestesi yang baik adalah Anestesi yang dapat memenuhi 3 kriteria tersebut.
1. Sedasi
Mengukur pupil dan respon terhadap cahaya. Apabila cahaya terang
dipantulka pada pupil hewan yang normal, pupil akan merespon dengan konstriksi
sehingga diameternya akan lebih kecil dari normal. Apabila hewan
ditempatnya pada daerah yang gelap, pupil akan terdilatasi sehingga
diameternya akan lebih besar. Apabila pupil kiri dipantulka cahaya secara
langsung, akan terjadi konstruksi, begitu juga sebaliknya. Terjadinya respon
sedasi pada hewan ditandai dengan hilangnya respon palpebral dan hilangnya
respon pupil (Sudisma dkk, 2006).
2. Relaksasi
Reflek adalah tanda yang paling awal digunakan untuk menentukan
kedalaman anestesi umum. Dikombinasikandengan tanda-tanda vital yang
lainnya dapat digunakan untuk menentukan hewan dalam keadaan sehat atau
aman selama periode anestesi.Salah satu syarat anestesi umum adalah terjadinya
relaksasi, yaitu suatu keadaan berkurangatau hilangnya ketegangan otot (Sudisma
dkk, 2006). Pasien yang sudah terkena anestesi umum, biasanya akan tertidur
dengan otot yang berelaksasi (Rani dkk 2015). Terjadinya respon relaksasi
pada hewan ditandai dengan lemasnya rahang bawah (Sudisma dkk, 2006).
3. Analgesia
Tanda-tanda anestesi umum telah bekerja adalah hilangnya koordinasi
anggota gerak, hilangnya rasa sakit atau respon syaraf perasa. Salah satu
syarat Anestesi umum adalah terjadinya nalgesia, yaitu suatu keadaan
hilangnya sensibillitas terhadap rasa nyeri. Terjadinya analgesia pada hewan
ditandai dengan hilangnya respon nyeri apabila dilakukan ransangan cubit
(Sudisma dkk, 2006).
Pengaruh obat anestesi menimbulkan efek trias anestesi, pasien akan mengalami
keadaan tidak sadar, reflek-reflek proteksi menghilag akibat mati rasa dan kelumpuhan otot
rangka termasuk otot perafasan. Di samping pengaruh trias anestesi tersebut pasien juga
menderita manipulasi bedah, mulai dari derajat ringaan sampai berat. Sehigga pada
keadaan demikia pasien sangat memerlukan tindakan bantuan kehidupan selama prosedur
anestesi/diagnostik (Mangku dkk., 2010; Rani dkk., 2012). Tanda-tanda anestesi umum telah
bekerja adalah hilangnya koordinasi anggota gerak, hilangnya respon syaraf perasa dan
pendengaran, hilangnya tonus otot, terdepresnya medulla oblongata sebagai pusat respirasi
dan vosomotor, bila terjadi overdosis hewan akan mati.
Stadium anestesi umum sangat perlu dipahami bagi operator dalam
menjalankan operasi, karena dengan memonitor tahapan stadium operasi akan berjalan
lancar dan aman. Namun tidak semua anestesi umum dapat menunjukkan tahapan stadium ini,
hanya anestesi inhalasi menggunakan eter akan lebih nyata teramati pada stadium anestesi
ini (Sudisma dkk, 2006).
Proses kerja anestesi umum melewati beberapa stadium yaitu :
1. Staduim I (Stadium Analgesia/eksitasi bebas/stadium induksi)
2. Stadium II (Stadium eksitasi tidak bebas/stadium induksi)
3. Stadium III (Stadium operasi), terjadi dari 3 tingkat/plae : plane (dengkal),
Pale 2 (medium), dan plane 3 (dalam)
4. Stadium IV (Stadium over dosis).
2.2 EUTANASIA
Eutanasia berasal dari bahasa Greek, yaitu eu = baik dan thanatos = kematian
sehingga arti kata eutanasia adalah kematian yang baik. Tandanya adalah kehilangan
kesadaran secara cepat diikuti dengan berhentinya detak jantung dan pernafasan serta
hilangnya fungsi otak (Javma, 2001). Berdasarkan Avma (2013), eutanasia diartikan sebagai
menghilangkan rasa sakit serta kematian yang mudah pada penderita yang sangat menderita
atau penyakit yang berat. Menurut Franson (2004) eutanasia adalah kematian yang manusiawi,
Rietveld (2003) menyatakan bahwa tujuan euthanasia adalah meminimalkan kesakitan dan
ketidak nyamanan pada hewan.
Tikus dan mencit merupakan hewan rodensia banyak digunakan dalam penelitian. Tikus
sebagai “mouse model” sangat cocok untuk penelitian penyakit pada manusia dengan adanya
kesamaan organisasi DNA dan ekspresi gen dimana 98% gen manusia memiliki gen yang
sebanding dengan gen tikus. Tikus juga memiliki kesamaan dengan manusia dalam sistem
reproduksi, sistem syaraf, penyakit (kanker, diabetes) dan bahkan kecemasan (Malole dan
Pramono, 1989).
Metode dalam euthanasia umumnya adalah sebagai berikut :
A. Cervical dislocation (pemutaran leher)
Prosedur cervical dislocation adalah otak dipisahkan dari tulang belakang pada
hewan berukuran kecil, kemudian hewan digenggam di dasar tengkorak dengan
satu tangandan di dasar leher dengan tangan yang lain, dan menarik dengan cepat
dan tegas ke arah yang berlawanan dengan kuat. Metode ini tidak diperbolehkan
untuk meng-euthanasia kelinci atau rodensia dengan BB > 1 kg, anjing,
kucing, ternak potong (Franson, 2004). Teknik ini sangat efektif, cepat, murah
dan efek terhadap tes diagnostic sangat rendah dan juga banyak digunakan dalam
metode penelitian farmakologi.

B. Decapitation (perusakan otak lewat leher)


Dilakukan dengan jalan memotong kepala hewan dengan menggunakan
peralatan tajam dengan tujuan untuk memutus kepekaan saraf tulang
belakang. Hewan yang diperbolehkan untuk di ekapitasi sama dengan pada
cervical dislocation ( Isbago, 1992).
C. Stunning & exsanguinations (removal blood)
Dilakukan dengan jalan merusak bagian tengah tengkorak agar hewan
menjadi tidak sadar diikuti penyembelihan untuk mengeluarkan darah dengan
memotong pembuluh darah utama di bagian leher. Teknik ini sangat cocok
untuk diterapkan pada hewan potong serta hanya bisa dioperasikan apabila
tesedia agnostik pada otak tidak diperlukan (Isbago, 1992).
D. Captive bolt atau gunshot
Merupakan metode yang umum dipergunakan dirumah potong hewan utamanya
kuda, ruminansia dan babi.Pelaksanaannya memerlukan seorang ahli agar
tercapai kematian yang manusiawi selain untuk keamanan.
E. Euthanasia Kimia
Yaitu memasukkan agen toksin kedalam tubuh dengan suntikan atau inhalasi.
Prosedur inhalasi hanya boleh dilakukan oleh operator yang telah mendapat
ijin untuk menggunakan bahan kimia karena material yang akan digunakan sangat
berbahaya bagi manusia.
BAB III

METODE KERJA

3.1 Metode Euthanasia

Menurut Franson metode dasar euthanasia terbagi menjadi euthanasia fisik dan euthanasia kimia.

3.1.1 Euthanasia Fisik terdiri dari :

a. Cervical dislocation (pemutaran leher).

merupakan metode euthanasia untuk burung, hewan dengan bobot <125 gr,
kelinci dan rodensia dengan BB 125 gr – 1 kg. Hewan yang akan dimatikan harus dalam
keadaan telah dianaestesi dan tidak boleh dilakukan pada hewan dalam keadaan sadar.
Metode ini tidak diperbolehkan untuk meng-euthanasia kelinci atau rodensia dengan BB
> 1 kg, anjing, kucing, ternak potong Teknik ini sangat efektif, cepat, murah dan efek
terhadap tes diagnostik sangat rendah.

b. Decapitation (perusakan otak lewat leher).

Decapitation dilakukan dengan jalan memotong kepala hewan dengan


menggunakan peralatan tajam dengan tujuan untuk memutus kepekaan saraf tulang
belakang. Hewan yang diperbolehkan untuk di-decapitation sama dengan pada cervical
dislocation.

c. Stunning & exsanguinations (removal blood).

dilakukan dengan jalan merusak bagian tengah tengkorak agar hewan menjadi
tidak sadar diikuti penyembelihan untuk mengeluarkan darah dengan memotong
pembuluh darah utama di bagian leher. Teknik ini sangat cocok untuk diterapkan pada
hewan potong serta hanya bisa dioperasikan apabila tes diagnostik pada otak tidak
diperlukan.

d. Captive bolt atau gunshot.

merupakan metode yang umum dipergunakan di rumah potong hewan utamanya


kuda, ruminansia dan babi. Hewan dimatikan dengan jalan menembak langsung
kepalanya apabila otaknya diperlukan untuk tes diagnostik maka penembakan dilakukan
di leher.Pelaksanaannya memerlukan seorang ahli agar tercapai kematian yang
manusiawi selain untuk keamanan.

3.1.2 Euthanasia Kimia

yaitu memasukkan agen toksin kedala tubuh dengan suntikan atau inhalasi.
Prosedur inhalasi hanya boleh dilakukan oleh operator yang telah mendapat ijin untuk
menggunakan bahan kimia karena material yang akan digunakan sangat berbahaya bagi
manusia. Inhalasi ditujukan untuk membuat hewan dengan bobot < 7kg. Agen inhalasi
yang dipilih harus menjadikan hewan tidak sadar secara cepat. Adapun agen yang
diperbolehkan adalah halothane, enflurane, methoxyflurane, nitrous oxide karena
nonflammable dan nonexplosive.carbondioxide, derivat barbiturat, magnesium sulfat,
KCl. Sedangkan agen inhalassi yang tidak boleh ddipergunakan adalah Chloroform, gas
hydrogen sianida, CO, Chloral hidrat, striknin. Meskipun demikian pada kenyataannya
CO, chloroform maupun ether masih tetap dipergunakan terutama apabila jumlah hewan
yang akan dieuthasia banyak. Eutanasia kimia umum dilakukan untuk euthanasia burung
mencit atau tikus dalam jumlah banyak dengan jalan meletakkan hewan pada kotak yang
tertutup plastik yang dialiri gas CO2 secara bertahap. Agen inhalasi juga bisa dicelupkan
dan diletakkan di dalam kotak sampai hewan tidak sadar dan mati apabila fasilitas di
bawah ini tidak tersedia. Inhalasi dosis lethal umum diberikan pada hewan peliharaan
yang sudah tua yang menderita sakit. Prosedur ini apabila titerapkan pada hewan
percobaan kemungkinan besar akan mempengaruhi hasil akhir penelitian serta karkasnya
tidak bisa dikonsumsi

● Pelaksanaan Euthanasia pada Hewan.

Euthanasia atau mercy killing mempunyai prosedur yang berbeda apabila


diterapkan pada hewan kesayangan, penderita penyakit zoonosis dan hewan liar.Hewan
Kesayangan

- Euthanasia pada hewan kesayangan

Euthanasia atau suntik mati pada hewan kesayangan bisa dilakukan apabila ada
permintaan dari pemilik bahwa hewan tersebut sudah sangat menderita dan pemilik sudah
tidak sanggup merawatnya. Pada kasus seperti ini, petugas harus menjelaskan pada
pemilik mengenai metode yang akan digunakan serta efek yang akan dirasakaan oleh
hewan tersebut apabila pemilik berkeinginan untuk menyaksikan proses euthanasia
dengan demikian pemilik tidak akan mengalami trauma. Proses menjadi lebih mudah
apabila pemilik menyerahkan sepenuhnya kepada petugas karena efek psikologis dari
petugas tidak akan muncul. Pemilik umumnya memiliki ikatan emosional yang sangat
kental dengan hewan kesayangannya seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth Severino.
Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk tetap merawat hewan tersebut sampai
kematian menjemput secara alamiah. Apabila hewan tersebut setelah diobservasi ternyata
menderita penyakit yang bersifat zoonosis seperti rabies dengan alasan mengganggu
keselamatan manusia maka pemilik harus merelakan hewannya dieuthanasia. Solusi yang
perlu dilakukan para pemilik hewan kesayangan adalah dengan melakukan pemeriksaan
rutin dengan demikian euthanasia akibat kecerobohan pemilik bisa dihindari.Hewan yang
Tertular Penyakit Menular (zoonosis)

- Euthanasia pada hewa yang tertular penyakit

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, hewan yang diduga tertular penyakit


yang bersifat zoonosis harus langsung dimusnahkan. Meskipun demikian panduan
pelaksanaan tetap harus ditegakkan karena hewan tersebut masih dalam kesadaran penuh.
Kasus penyakit anthrax, hewan tidak boleh dipotong atau jangan sampai mengeluarkan
darah karena spora bakteri yang terdapat di darah apabila kontak langsung dengan udara
akan menjadi sangat aktif. Penanganan kasus ini harus hati-hati karena hewan dalam
keadaan sadar maka sebelum dibakar hewan harus dianaesthesi dengan dosis lethal
sehingga hewan tidak merasakan stress dan rasa sakit saat meregang nyawa.
Permasalahan menjadi sangat sulit apabila penyakittersebut menyerang pada populasi
hewan yang padat. Oleh karena itu, pemerintah setempat lebih memilih untuk
menyatakan daerah tertular sebagai daerah tertutup bagi lalulintas hewan. Keputusan ini
menjadi solusi yang terbaik sampai observasi dan penanganan kasus selesai atau
terkendali.
- Satwa Liar

Prosedur pemusnahan satwa liar tidak melalui pemberian anestetik ataupun


sedatif tetapi dengan meminimalkan efek visual, auditory dan stimulasi gerakan karena
pemanfaatkan dua prosedur terdahulu terbukti tidak efektif. Penembakan boleh dilakukan
langsung pada kepala atau leher sehingga hanya petugas yang benar-benar ahli yang
diperbolehkan untuk melaksanakan. Euthanasia pada satwa liar biasanya dilakukan
apabila hewan tersebut menjadi sangat tidak terkendali sehingga membahayakan manusia
atau terjadi over populasi.

Pelaksanaannya menjadi lebih mudah karena saat ini satwa liar telah terlokalisir
sehingga pengawasannya menjadi lebih mudah. Euthanasia pada hewan kesayangan,
penderita penyakit zoonosis maupun satwa liar meskipun secara etik diperbolehkan akan
tetapi harus tetap diperhatikan pelaksanaannya. Prosedurnya harus selalu diperbaiki
utamanya untuk mengurangi efek ketakutan dan rasa sakit terutama pada saat euthasia
dilakukan di tempat yang berbeda dengan habitat hewan tersebut. Selain hal tersebut,
petugas yang trampil dan terlatih akan sangat bermanfaat dalam mengurangi penderitaan
hewan.

3.2 Tahap-tahap Anestesi

3.2.1 Menurut The American Society of Anesthesiologists (2009).

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu: Stadium I (stadium induksi atau eksitasi
volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya
kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil,
dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi
eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur,
inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III
(pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu: Plane I yang ditandai dengan
pernafasan yang teratur dan terhentinyaanggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-
abdominal, refleks pedal masih ada, bolamata bergerak-gerak, palpebra, conjuctiva dan
kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata
ventro medial semua ototmengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai
dengan respirasi regular dan abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut
relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis), ditandai dengan
paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran
seperti mata ikan karena terhentinya sekresi air mata.

3.2.2 Cara meng-anatesi Mencit

Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk anestesi adalah:

● Eter

Eter dapat digunakan untuk anestesi waktu singkat. eter diletakkan diatas kapas
dan dimasukkan dalam suatu wadah tertutup kedap, kemudian hewan ditempatkan dalam
wadah terebut dan ditutup. Didalam menggunakan eter sebaiknya anda menggunakan
masker untuk mencegah anda menghirup uap eter tesebut. Saat hewan sudah kehilangan
kesadaran, hewan dikeluarkan dan siap dibedah. Penambahan selanjutnya untuk menjaga
kedalam anastesi dapat diberikan dengan bantuan kapas yang dibasahi dengan obat
tersebut.

● EUTHANASIA MENCIT DENGAN CARA FISIK

Cara fisik dilakukan dengan dislokasi leher. Proses dislokasi dilakukan dengan cara:

1. Ekor mencit dipegang dan kemudian ditempatkan pada permukaan yang bisa

dijangkaunya, biarkan mencit meregangkan badannya.

2. Saat mencit meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu


penahan,misalnya pensil atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri.
3. Ekornya ditarik dengan tangan kanan dengan keras, sehingga lehernya akan
terdislokasi dan mencit akan terbunuh.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 ANATES

Stadium anestesi memiliki tanda-tanda klinis dari anestesi yaitu : paralise otot yang
,meningkat secara progresif (otot mata, intercostalis, diafragma), dan hilangnya respon reflek
secara progresif (Yuswana, 2005).

Menurut Mangku (2010) Stadium dalam anestesi umum terbagi menjadi 4 stadium yaitu :
1) Stadium 1
Merupakan stadium analgesia yang dimulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran.
2) Stadium 2
Mulai dari hilangnya kesadaran dan ditandai dengan pernafasan yang irregular, pupil
melebar dengan reflek cahaya, pergerakan bola mata, tidak teratur, lakrimasi, tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak mata.
3) Stadium 3
Mulai dari akhir stadium 2 dimana pernafasan mulai teratur dibagi menjadi 4 plana yaitu
plana 1, plana 2, plana 3, dan plana 4.
4) Stadium 4
Mulia dari kegagalan pernafasan yang kemudian akan di ikuti dengan kegagalan
sirkulasi.
Ada berbagai macam obat yang berbeda di ruang anestesi yang digunakan secara regular,
jarang sekali digunakan sendirian atau bersamaan dengan obat lain. Pengetahuan tentang agen,
terutama farmakologi dan alasan pemberian adalah esensial untuk mengerti seni dari anestesi.
Sebagian besar obat anestesi mempunai efek depresi miokard.
Obat anestesi dapat digunakan untuk induksi anestesi, pemeliharaan anestesi atau sedasi
tergantung dari dosis yang diberikan. Dapat diberikan intravena sebagai cairan atau gas sebagai
inhalasi. Untuk sebagian besar kasus intravena (IV) digunakan untuk induksi dan agen inhalasi
digunakan untuk pemeliharaan, (Keat, 2013).
Menurut Soerasdi (2010) Obat – obat yang digunakan dalam anestesi umum ialah :
A. Obat anestesi intravena
1) Atropine sulfatMidazolam
2) Pethidin
3) Fentanyl
4) Atracurium besilate
5) Rocuronium bromide
6) Propofol
7) Ketamin HCL
8) Prostigmin

B. obat anestesi inhalasi


1) Nitrous Oxide
2) Halothane
3) Isoflurane
4) Sevoflurane

Konsep Terjadinya Kecelakaan Pada Anestesia


Lebih dari empat dekade terdapat tiga konsep utama yang mendasari timbulnya suatu kejadian
kritis yang berujung pada kecelakaan adalah :
1 Kesalahan Manusiawi
Manusia sering membuat kesalahan, dan kesalahan yang dianggap “manusiawi” disini
adalah kekeliruan perencanaan karena adanya penyebab kurangnya pengetahuan sehingga
timbul kegagalan bereaksi terhadap suatu kondisi yang diluar kebiasaan atau hukum yang
dianut. Selain itu juga termasuk disini adalah kesalahan pelaksanaan yang biasanya akibat
ketidakjelasan instruksi. Juga kesalahan karena kegagalan ingatan. Ada pendapat yang
beranggapan bahwa untuk meningkatkan keamanan dalam anestesia secara efektif adalah
dengan menghilangkan “kesalahan manusiawi” ini, walaupun hal ini tidak mungkin
karena kesalahan adalah karakteristik yang normal untuk manusia. (Morgan, 2006)
2 Faktor Manusia
Disini adalah keadaan dimana timbulnya suatu kejadian kritis karena kegagalan bereaksi
terhadap informasi yang timbul. Faktor manusia yang banyak diteliti adalah “kelelahan”.
Dikatakan bahwa “tidak ada seorang anestesiolog yang dapat diwajibkan melakukan
suatu rutinitas yang panjang keesokan harinya bila sepanjang malam sebelumnya ia
terjaga/bertugas”. Faktor lainya adalah ketergesa-gesaan, kurang hati-hati, kurang
perhatian, faktor usia, komunikasi yang buruk dengan tim, faktor visual, faktor mental
dan fisik, ketakutan sampai faktor kurangnya konsentrasi karena masalah pribadi.
(Morgan, 2006)

3 Faktor lainya yang berperan


Dalam anestesi, faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya suatu kejadian
kritis atau bahkan kematian diantaranya adalah faktor pasien, operasi dan anestesia.
Dipandang dalam suatu sistem yang kompleks, antara manusia dan teknologi seperti
anestesi, terdapat dua katagori kegagalan : aktif dan laten. Kegagalan aktif melibatkan
reaksi dari operator (anestesiolog) pada suatu sistem yang kompleks dimana ia bekerja.
Sedangkan kegagalan laten, adalah suatu kegagalan yang sudah ada dalam sistem itu
sendiri. (Morgan, 2006)

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan untuk anestesi umum digunakan hewan coba kelinci yang sehat.
1.Pilihlah kelinci yang cukup besar dan sehat. Sebelum melakukan percobaan periksa/
amati dan catatlah :
a. Keadaan pernafasan : frekuensi, dalamnya pernafasan, teratur atau tidak, jenis
pernafasan (dada atau perut)
b. Keadaan mata : lebar pupil(mm), reflek kornea, konjungtiva, pergerakan mata
c. Keadaan otot/ pergerakan : keadaan gerakan, tonus otot bergaris
d. Keadaan saliva : saliva banyak atau sedikit
e. Rasa nyeri : keadaan rasa nyeri (dengan mencubit telinga)
f. lain-lain : muntah, rhonki, warna telinga.
2. Setelah parameter dicatat, percobaan dapat dimulai. Dipasangkan corong anestesi
(mouth cap) pada moncong kelinci dengan baik dan mulailah meneteskan eter dengan
kecepatan kira-kira 60 tetes per menit.
3. Catatlah waktu:
Mulai meneteskan eter, tanda-tanda tiap stadium, dan keadaan dimana hewan coba sudah
berada dalam anestesi yang cukup untuk melakukan operasi.
4. Bila keadaan terakhir ini sudah tercapai (stadium of anesthesia) pertahankanlah
keadaan ini untuk beberapa saat (5 menit), dan perhatikan/ periksalah keadaan binatang
coba (seperti diatas) tanpa menambah eter lagi. Kemudian biarkan kelinci bangun/ sadar
kembali dan catatlah waktunya.
5. Selama percobaan catatlah hal-hal yang perlu dan perhatikanlah keadaan tiap-tiap
stadium. Hitunglah jumlah eter yang digunakan.

Dalam percobaan Anestesi Eter Pada Hewan Coba Kelinci memperoleh beberapa stadium
yang berbeda dari menit per menit sesuai dengan pengamatan berdasarkan frekuensi pernapasan,
irama, jenis pernapasan, lebar pupil kanan, lebar pupil kiri, refleks kornea, keadaan saliva, warna
telinga, rasa nyeri, stadium, perbesaran mata. Cara kerja dalam perlakuan yang ada yaitu
pemasangan corong pada mulit kelinci dengan penetesan tetes per tetes melewati mulut tabung
untuk perlakuan secara manusia pada hewan coba karena saat pengorbanan hewan coba kita
harus memperlakukan sesuai dengan prosedur yang baik. Ketika eter tidak diberikan tetes per
tetes maka akan memperoleh hal yang fatal pada kelinci tersebut. Dietyl eter merupakan cairan
tidak berwarna, mudah menguap, berbau, mengiritasi saluran pernapasan, mudah terbakar, dan
mudah meledak, sehingga harus hati-hati dalam penggunaannya.
Pemberian eter tiap menit untuk mempertahankan kelinci agar tidak terbangun agar bisa
cepat untuk anestesi pembedahan. Selang beberapa menit kelinci setelah tertidu mengalami
beberapa kali bangun dikarena yang digunakan untuk anestesi yaitu dietyl eter, sebagai anestesi
umum. Karena anestesi umum hanya memberikan hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia
berdasarkan pendalaman pembiusaan
Anastesi yang kami lakukan pada praktikum kali ini adalah anastesi (Inhalasi) yang
merupakan jenis anastesi umum. Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh
tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan
sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan sensorik pada
syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem syaraf pusat (SSP) secara
reversibel. Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran
reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang
ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya
respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta
hilangnya kesadaran (unconsciousness).

4.2 EUTANASIA

Euthunasi berasal dari bahasa yunani, dari akar kata “eu” yang artinya baik, tanpa
penderitaan, dan “tanathos” yang artinya mati. Jadi “euthunasia” artinya mati dengan baik, atau
mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita (Adi,2004). Secara harfiah
Euthunasia terdiri dari dua kata: eu dan thanasia. Eu berarti “baik”, dan thanasia berarti “mati”.
Euthunaia berarti mati secara baik, atau mati secara secara tenang. Biasanya, penderita yang
melakukan euthanasia seperti ini telah menderita sakit berat. Di negeri-negeri di mana hukum
telah membolehkan seseorang melakukan euthanasia, penderita yang tidak kuat lagi menahan
sakitnya yang telah lama, meminta diberi kesempatan oleh dokter untuk mati (Adji,2006).
Euthanasia atau euthanatos yang diterjemahkan secara bebas sebagai mati dengan baik tanpa
penderitaan. Kematian ini ditujukan kepada mereka yang secara medis tidak lagi mempunyai
harapan untuk sembuh dan penyakitnya telah membuat pasien menderita, sedangkan batas waktu
penderitaan itu tidak jelas sampai berapa lama lagi. Oleh karena itu, untuk alasan kemanusiaan
dan belas kasih yang besar maka seseorang dapat memilih untuk mengakhiri penderitaannya
dengan cara ini (Ali,2012).

Euthunasia dapat dibedakan menjadi beberapa macam, sesuai dengan dari mana sudut
pandangnya atau cara melihatnya:.

1. Euthunasia dilihat dari cara dilaksanakannya Dilihat dari cara pelaksanaannya, euthunasia
dibedakan menjadi:

1) Euthanasia pasif

Euthunasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia (Simorangking dan
Prasetyo,2004).

2)Euthanasia Aktif

Euthunasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif
oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia (Shomad,2010).

Metode Euthanasia pada hewan di jabarkan menjadi lima macam:

1. Pemutaran Leher
merupakan metode euthanasia untuk burung, hewan dengan bobot 1 kg, anjing,
kucing, ternak potong Teknik ini sangat efektif, cepat, murah dan efek terhadap tes
diagnostik sangat rendah.
2. Perusak Otak lewat leher
Decapitation dilakukan dengan jalan memotong kepala hewan dengan menggunakan
peralatan tajam dengan tujuan untuk memutus kepekaan saraf tulang belakang.
Hewan yang diperbolehkan untuk di-decapitation sama dengan pada cervical
dislocation.
3. Stunning & Exsanguination
dilakukan dengan jalan merusak bagian tengah tengkorak agar hewan menjadi tidak
sadar diikuti penyembelihan untuk mengeluarkan darah dengan memotong pembuluh
darah utama di bagian leher. Teknik ini sangat cocok untuk diterapkan pada hewan
potong serta hanya bisa dioperasikan apabila tes diagnostik pada otak tidak
diperlukan.
4. Captive Bolt
merupakan metode yang umum dipergunakan di rumah potong hewan utamanya
kuda, ruminansia dan babi. Hewan dimatikan dengan jalan menembak langsung
kepalanya apabila otaknya diperlukan untuk tes diagnostik maka penembakan
dilakukan di leher. Pelaksanaannya memerlukan seorang ahli agar tercapai kematian
yang manusiawi selain untuk keamanan
5. Euthanasia Kima
yaitu memasukkan agen toksin kedala tubuh dengan suntikan atau inhalasi. Prosedur
inhalasi hanya boleh dilakukan oleh operator yang telah mendapat ijin untuk
menggunakan bahan kimia karena material yang akan digunakan sangat berbahaya
bagi manusia. Inhalasi ditujukan untuk membuat hewan dengan bobot < 7kg. Agen
inhalasi yang dipilih harus menjadikan hewan tidak sadar secara cepat. Adapun agen
yang diperbolehkan adalah halothane, enflurane, methoxyflurane, nitrous oxide
karena nonflammable dan nonexplosive.carbondioxide, derivat barbiturat, magnesium
sulfat, KCl. Sedangkan agen inhalassi yang tidak boleh dipergunakan adalah
Chloroform, gas hydrogen sianida, CO, Chloral hidrat, striknin. Meskipun demikian
pada kenyataannya CO, chloroform maupun ether masih tetap dipergunakan terutama
apabila jumlah hewan yang akan dieuthasia banyak. Eutanasia kimia umum dilakukan
untuk euthanasia burung mencit atau tikus dalam jumlah banyak dengan jalan
meletakkan hewan pada kotak yang tertutup plastik yang dialiri gas CO2 secara
bertahap. Agen inhalasi juga bisa dicelupkan dan diletakkan di dalam kotak sampai
hewan tidak sadar dan mati apabila fasilitas di bawah ini tidak tersedia. Inhalasi dosis
lethal umum diberikan pada hewan peliharaan yang sudah tua yang menderita sakit.
Prosedur ini apabila titerapkan pada hewan percobaan kemungkinan besar akan
mempengaruhi hasil akhir penelitian serta karkasnya tidak bisa dikonsumsi.
Untuk sebuah percobaan maka harus memperhatikan aturan-aturan dalam percobaan
hewan coba,salah satu hewan cobanya adalah seekor mencit.Syarat hewan coba yang
memenuhi untuk dikorbankan sebagai berikut :
1. Jika suatu hewan telah kehilangan Berat Badan(BB) lebih dari 200%.
2. Penurunan perilaku Eksplorasi
3. Keenganan untuk bergerak
4. Postur membungkuk
5. Rambut berdiri
6. Dehidrasi sedang hingga berat
7. Dan nyeri tak henti-hentinya misalkan distress Vokalisasi

Alat yang digunakan untuk mengeuthanasi sebagai berikut:Tongkat kecil/bolpoint

Cara Kerjanya sebagai berikut :

1. Tenangkan Mencit terlebih dahulu


2. Pegang ekor mencit dengan tangan kiri
3. Tekan bagian leher mencit dengan tongkat
4. Tarik perlahan ekor hingga hilang tulang belakang mencit remuk

Dislokasi leher Mencit dan Tikus :

1. Ekor dan tengkuk mencit dipegang kuat hingga tidak ada pemberontakan
2. Lalu,leher dan ekor ditarik kuat dalam sekali hentak
3. Lepaskan mencit,setelah dikonfirmasi mati

\
BAB V

KESIMPULAN

Dalam percobaan Anestesi Eter Pada Hewan Coba Kelinci memperoleh beberapa stadium
yang berbeda dari menit per menit sesuai dengan pengamatan berdasarkan frekuensi pernapasan,
irama, jenis pernapasan, lebar pupil kanan, lebar pupil kiri, refleks kornea, keadaan saliva, warna
telinga, rasa nyeri, stadium, perbesaran mata.

Jadi “euthunasia” artinya mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau mati
cepat tanpa derita.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto, metodologi penelitian sosial dan hukum (cet. 1; Jakarta: Granit, 2004).
Adji, Oemar Seno, Hukum Pidana Pengembangan (Jakarta: Erlangga, 1985).
AVMA. 2013. Guidelines for the Euthanasia of Animals. Schaumburg: American Veterinary
Medical Association.
Isbagio, D, 1992. Euthanasia pada Hewan Percobaan. Media Litbangkes. 2 (1): 18-24.
Latief, S.A. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi 2. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI.
Longnecker D, Brown D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. McGraw Hill:USA, 2008. Bab
3, hlm 20-37.
Malole,M.B.M., Pramono C.S.U., 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium.Bogor: PAU Pangan dan Gizi, IPB.
Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An.(2010). Buku Ajar Ilmu Anestesi dan
Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks
Morgan G, Mikhail M, Murray M. Clinical Anesthesiologi, Edisi 4. Lange medical
books/McGraw Hill:USA, 2006. Bab 46, hlm 959-978
Shomad, Abd., Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Kencana Media Pranata Group, 2010).
Simorangking Dan Prasetyo, Kamus Hukum (Cet. VIII; Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Sudisma, I.G.N., G. A.G. Pemayun., A.A.G.J. Wardhita., I.W. Gorda. 2006. Ilmu Bedah
Veteriner dan Teknik Operasi Edisi I. Pelawa Sari. Denpasar.
Tranquilli,W.J.etal (2007). Veterinary Anesthesia and Analgesia, Edisi ke-4. Ames: Blackwel.
Yuswana. (2005). Tehnik Anestesi Farmakologi Obat-Obat Anestesi dan Obat-Obat Bantuan
Dalam Anestesi dan Emergencies. Jakarta : EGC
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia (Cet. 1; Jakarta: Sinar
Grafika, 2006).

Anda mungkin juga menyukai