Anda di halaman 1dari 33

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI 1

“ANALISIS EFEK OBAT ANTIDIARE”

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mata Kuliah Farmakologi


Toksikologi 1 Jurusan Farmasi Fakultas Olahraga Dan Kesehatan

Oleh

SAMSUL BAHRI BADJEBER


821418017

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KE SEHATAN
JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI S1
2020
Lembar pengesahan

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI 1
“ANALISIS EFEK OBAT ANTIDIARE”

OLEH:
KELAS : A-S1 FARMASI 2018
KELOMPOK : 1V (EMPAT)
NAMA : SAMSUL BAHRI BADJEBER

Gorontalo, Meii 2020


NILAI
Mengetahui Asisten,

ZULFA AMALIA ASTUTI, S.Farm.


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kehendak-Nya Sehingga saya bisa menyelesaikan laporan praktikum
Farmakologi Toksikologi 1 dengan judul “Analisis Efek Obat Antidiare”. Saya
menyadari bahwa dalam penyelesaian laporan ini tercapai berkat bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya berterima kasih kepada asisten-asisten
Farmakologi Toksikologi 1 yang telah membimbing pada saat praktikum sampai
pembuatan laporan ini. Sehingga laporan praktikum ini dapat terselesaikan.
Tujuan pembuatan laporan praktikum ini untuk menunjang pengetahuan
kepada pembaca mengenai analisi efek oabt antidiare. Juga digunakan sebagai
pelengkap pelajaran dalam laboratorium Farmakologi Toksikologi 1.
Saya menyadari dalam penulisan laporan ini terdapat kekurangan. Untuk
itu saya memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurangan dalam
penulisan laporan praktikum ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Gorontalo, Mei 2020

Samsul Bahri Badjeber


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Tujuan.....................................................................................................2
1.3 Manfaat...................................................................................................2
1.4 Prinsip Percobaan...................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Dasar Teori.............................................................................................3
2.2 Uraian Hewan.........................................................................................9
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................15
3.1 Waktu dan tempat...................................................................................15
3.2 Alat dan Bahan.......................................................................................15
3.3 Cara Kerja...............................................................................................15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................17
4.1 Tabel Hasil Pengamatan.........................................................................17
4.2 Pembahasan............................................................................................18
BAB V PENUTUP.............................................................................................21
5.1 Kesimpulan.............................................................................................21
5.2 Saran.......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkembangnya ilmu pengetahuan memang tidak bisa di pungkiri apalagi di
bidang kesehatan terutama pada ilmu kefarmasian , Cabang Ilmu Farmasi, antara
lain farmasetika, teknologi farmasi, farmakologi, farmakologi klinik,
farmakognosi, biofarmasi, farmakinetika, farmakodinamika, farmakoterapi,
toksikologi, farmakoekonomi, farmasi fisika, kimia farmasi, biologi farmasi. dan
ditunjang ilmu-ilmu lainnya. Salah satu cabang ilmu farmasi yang penting untuk
diketahui adalah farmakologi dan toksikologi.
Farmakologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara obat
dengan makhluk hidup. Farmakologi berasal dan bahasa Yunani yaitu pharmakon
yang berarti senyawa bioaktif dan logos yang berarti ilmu. Farmakologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang obat yang meliputi sejarah,
sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek fisiologik dan
biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, biotransformasi, distribusi,
biotransformasi dan ekskresi, serta penggunaan obat untuk terapi dan untuk
penggunaan lainnya. Sedangkan obat itu sendiri merupakan suatu zat kimia selain
makanan yang mempengaruhi pengaruh terhadap atau dapat menimbulkan efek
pada organisme hidup. Sumber obat dapat berasal dari berbagai macam yaitu
tumbuhan (kurkumin), hewan (insulin), mineral (kaolin), mikroorganisme
(penisilin, streptomisin), sintesis (parasetamol, asam salisilat) dan bioteknologi
(eritromisin, interferon). Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan
limu farmakologi mengarah kepada interaksi obat dengan organisme hidup serta
aspek dari interaksi tersebut. Oleh karena itu, farmakologi juga didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup. Dalam
ilmu farmasi, farmakologi merupakan bagian yang penting bersama kelompok
ilmu yang lain yaitu kimia farmasi, biologi farmasi dan teknologi farmasi. Dan
bersama ilmu-ilmu tersebut telah terlibat dalam penemuan suatu obat baru baik
dari bahan alam misalnya tanaman ataupun sintesis.
Dalam ruang lingkup farmakologi toksikologi kita mempelajari bebagai
macam obat seperti obat untuk deman, diare, dan nyeri. Diare merupakan salah
satu masalah kesehatan utama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Angka
kematian akibat diare di Indonesia masih sekitar 7,4 %, sedangkan angka
kematian akibat diare persisten lebih tinggi yaitu 45%. Insiden penyakit diare
yang berkisar antara 200-374 dalam 1000 penduduk, dimana 60 - 70%
diantaranya anak-anak usia dibawah 5 tahun(1). Penyakit diare merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian dunia. Kebanyakan orang yang
meninggal akibat diare karena mengalami dehidrasi berat dan kehilangan cairan.
Diare sendiri didefinisikan sebagai buang air besar(defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu
buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari.
Mengingat bahwa diare merupakan penyakit yang sering terjadi pada
masyarakat di Indonesia, maka kami melakukan percobaan untuk menguji
efektivitas obat anti diare yang diberikan pada hewan uji mencit (Mus musculus)
dengan menggunkan 2 metode yaitu metode Transit in tesinal dan metode
proteksi.
1.2 Tujuan Percobaan
Mahasiswa mampu menganalisis bagaimana efektifitas obat antidiare yang
di berikan pada hewan uji mencit (Mus Musculus) yang disebabkan oleh Oleum
racini,
1.3 Prinsip percobaan
1. pada metode proteksi terhadap induksi oleum racini efek obat antidiare
dapat diamati dengan berkurangnya frekuensi defakasi dan berubahnya
konsentrasi feses menjadi lebih padat
2. pada metode transit in tesinal efek obat antidiare diamati dengan
membandingkan panjang jalur yang dilewati oleh marker norit antara
pilorus dan sepanjang usus halus
1.4 Manfaat Praktikum
Dapat memahami dan mempelajari pengaruh pemberian dan aktivitas obat
antidiare dari obat diapet, loperamide dan papaverin HCL pada hewan uji mencit
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare
2.1.1 Defenisi Diare
Diare yaitu buang air besar lembek atau cair, dapat bercampur darah atau
lender, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam, dan disertai
dengan muntah, demam, rasa tidak enak di perut dan menurunnya nafsu
makan (Kementrian Kesehatan RI, 2014 dalam Shaleh 2016).
Peningkatan frekuensi didefenisikan oleh tiga atau lebih buang air besar
per hari. Berat feses normal pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi
lemak dan gula, bervariasi dari 100 sampai 200 g/hari, sehingga berat feses
>200 g/hari dianggap diare, namun beberapa orang yang mengkonsumsi serat
memiliki berat feses 300 g/hari atau lebih dengan konsistensi feses normal,
tidak berarti diare. Kombinasi frekuensi, konsitensi feses, dan berat feses harus
diperhitungkan untuk menentukan diare (Navaneethan dan Giannella, 2011
dalam Shaleh 2016).
Kebanyakan kasus diare disebabkan gangguan transpor air dan elektrolit
di usus, secara mekanik diare dapat disebabkan oleh adanya peningkatan
tekanan osmotik didalam usus (sehingga menyebabkan retensi air didalam
lumen); sekresi elektrolit dan air yang berlebihan kedalam lumen usus;
eksudasi protein dan cairan dari mukosa; dan perubahan motilitas usus
sehingga mempercepat transit. Pada umunya terjadi berbagai proses yang
saling mempengaruhi, yang mengarah pada peningkatan volume dan berat
feses yang disertai persen kandungan air (Goodman & Gilman, 2012 dalam
Shaleh 2016).
2.1.2 Patofisiologi Diare
Proses terjadinya diare dipengaruhi dua hal pokok, konsistensi feses dan
motilitas usus, umumnya terjadi akibat pengaruh keduanya. Gangguan proses
mekanik dan enzimatik, disertai gangguan mukosa, yang akan mempengaruhi
pertukaran air dan elektrolit sehingga mempengaruhi konsistensi feses yang
terbentuk. Peristaltik saluran cerna yang teratur akan mengakibatkan proses
cerna secara enzimatik berjalan baik. Sedangkan peningkatan motilitas
berakibat terganggunya proses cerna secara enzimatik, yang akan
mempengaruhi pola defekasi (Mansjoer,2001 dalam Shaleh 2016).
Terdapat empat mekanisme patofisiologi yang mengganggu keseimbangan air
dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare (Sukandar,dkk 2008 dalam
Shaleh 2016), yaitu :
a. Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan absorpsi
natrium atau peningkatan sekresi klorida.
b. Perubahan motilitas usus.
c. Peningkatan osmolaritas luminal.
d. Peningkatan tekanan hidrostaltik jaringan
Mekanisme tersebut sebagai dasar pengolompokan diare secara klinik
(Sukandar,dkk 2008 dalam Shaleh 2016), yaitu:
a. Secretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip
(contoh: Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri)
meningkatkan sekresi atau menurunkan absorpsi air dan elektrolit
dalam jumlah besar.
b. Osmotik diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang
mempertahankan cairan intestinal.
c. Eksudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran
pencernaan yang mnegeluarkan mukus protein atau darah ke dalam
saluran pencernaan.
d. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di usus
halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri
yang berlebihan
2.1.3 Klasifikasi Diare
Banyak macam klasifikasi diare, diantaranya Mellinkoff yang
membaginya menurut gangguan faal dan Moses yang membaginya menurut
etiologinya (Hadi, 2002 dalam Shaleh 2016).
Menurut Hadi (2002) dalam Shaleh (2016), Klasifikasi diare
berdasarkan gangguan faal , yaitu sebagai berikut:
a. Dorongan di dalam usus normal yang terlalu cepat, yang dapat
disebabkan oleh rangsangan saraf yang abnormal yang biasanya terdapat
pada psychogenic diarrhea atau keracunan mecholyl dan pengaruh zat
kimia terhadap motilitas yang abnormal misalnya pada sindroma
karsinoid, penyakit Addison’s, dan Thirotoksikosis. Selain itu, biasa juga
disebabkan oleh iritasi pada intestin misalnya pada pemakaian oleum
ricini, kolitis ulserativa, perikolil abses, amebiasis, uremik kolitis, dan
lain-lain serta biasa juga oleh hilangnya simpanan dikolon misalnya
pada destruksi sphincterani, ileostomi, dan lain-lain.
b. Gangguan pencernaan makanan yang dapat disebabkan oleh hilangnya
fungsi reservoir dari lambung misalnya pada postgastrektomi yang
menimbulkan sindroma dumping, penyakit pankreas, insufisiensi
sepanjang intestin, serta kemungkinan adanya sekresi abnormal dari HCl
misalnya pada sindroma Zollinger Ellison.
c. Absorbsi abnormal pada pencernaan makanan, misalnya pada penyakit
hati, penyakit pada intestin, dan obstruksi mesentrik (pada
karsinomatosis atau pada TBC).
Sedangakan klasifikasi diare berdasarkan etiologinya atau
penyebabnya, yaitu sebagai berikut (Hadi, 2002 dalam Shaleh 2016):
a. Infeksi, misalnya pada infeksi oleh parasit (amebiasis, balantidiasis,
helmintiasis), infeksi oleh bakterial (basiler disentri, para cholera El Tor,
salmonellois, tuberculous, enterokolitis escheria coli, staphylococcus
enterokolitis), dan infeksi oleh enteroviral (virus gastroenteritis).
b. Keracunan makanan , misalnya karena toksin bakteri (botulisme,
enterotoksin staphylococcus) atau karena toksin yang dikeluarkan oleh
makanan itu sendiri.
c. Obat-obatan, misalnya post antibiotik diare yang dapat terjadi pada
penderita yang dirawat di rumah sakit dan mendapati terapi dengan antibiotika
yang lama sehingga bakteri sudah resisten terhadap antibiotika. Diare bisa juga
timbul secara sekunder karena dosis berlebihan dari quinidin, colchicin,
digitalis, reserpin, laktasif, dan obat-obatan lain lagi.
d. Diare yang etiologinya atau penyebabnya tidak pasti, misalnya
pseudomembranous enterocolitis.
e. Diare psikogenik
f. Keadaan lain yang berhubungan dengan diare kronis, misalnya pada
sindroma Zollinger Ellison, karsinoma dari pankreas dengan steatore,
pankreatitis kronis dengan steatore, tropical sprue, cirrhosis hepatis dengan
steatore, intestinal amylodosis, diabetes mellitus dengan neuropati dan
steatore, fistula gastrojejunokolik, gastroileostomi (iatrogenic), reseksi gaster
dengan atau tanpa vagotomi, enteritis regionalis, tuberculosis enteritis,
ileokolitis, kolitis ulserativa, divertikulitis dari kolon, pellagra, penyakit
Addison‟s, hiperthyroidi, alkoholisme, uremi, dan lain-lain.
Selain itu, ada pula pembagian diare berdasarkan mula dan lamanya,
yaitu sebagai berikut:
a Diare akut
Diare akut adalah diare yang jelas mulainya dan kemudian dapat
sembuh kembali dengan normal dalam waktu yang relatif singkat, dalam
beberapa jam sampai 7 atau 14 hari (Sulaiman, dkk 1990; Mansjoer, dkk 2001
dalam Shaleh 2016).
Infeksi merupakan penyebab utama diare akut, baik oleh bakteri,
parasit, maupun oleh virus. Penyebab lain dapat menimbulkan diare akut
adalah toksin dan obat, nutrisi enteral diikuti puasa yang berlangsung lama,
kemoterapi, impaksi fekal (overflow diarrhea), atau berbagai kondisi lain
(Mansjoer dkk, 2001 dalam Shaleh 2016).
Diare akibat infeksi terutama ditularkan secara oral. Hal ini
disebabakan oleh masukan makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja
ditambah dengan ekskresi yang buruk, makanan yang tidak matang, bahkan
yang disajikan tanpa dimasak. Penularannya adalah transmisi dari orang ke
orang melalui aerosolisasi (norwalk, rotavirus), tangan yang terkontaminasi
(clostridium difficile), atau melalui aktivitas seksual. Faktor penentu terjadinya
diare akut adalah faktor penyebab (agent) dan faktor pejamu (host). Faktor
pejamu adalah kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme, yaitu
faktor daya tahan tubuh atau lingkungan lumen saluran cerna, seperti
keasaaman lambung, motilitas usus. Faktor penyebab yang mempengaruhi
pathogenesis antara lain daya penetrasi yang merusak mukosa, kemampuan
memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan di usus, serta daya
lekat kuman yang nantinya akan membentuk koloni-koloni yang dapat
menginduksi diare (Mansjoer dkk, 2001 dalam Shaleh 2016).
b Diare kronik
Diare kronik berarti diare yang melebihi jangka waktu 15 hari sejak
awal diare (ini berlaku pada bayi dan anak) atau yang berlangsung lebih dari
tiga minggu sejak awal diare (ini berlaku pada ornag dewasa). Batasan waktu
tersebut semata-mata suatu kesepakatan, karena banyaknya usulan untuk
menentukan batas waktu diare kronik (Sulaiman dkk, 1990; Mansjoer dkk,
2001 dalam Shaleh 2016).
Diare kronik memiliki penyebab yang bervariasi dan tidak seluruhnya
diketahui. Untuk menentukan penyebabnya, banyak sarjana yang
mengemukakan pendapatnya. Di antaranya, ada yang membagi diare kronik
berdasarkan atas etiologi, atau berdasarkan atas lokasi anatomi. Kesulitan
lainnya adalah banyak macam bentuk diare yang penyebabnya dapat
menimbulkan kelainan tidak hanya di satu tempat saluran cerna saja. Sebagi
contoh adalah diare yang disebabkan oleh infeksi, dapat menyebabkan
kelainan sebagian besar dari saluran cerna yaitu menyebabkan kelainan di usus
halus dan usus besar. Kemungkinan lainnya yaitu timbulnya faktor yang dapat
menyertai dan mempengaruhinya, misalnya kelainan endokrin, faktor
defisiensi, faktor konstitusi, dan faktor nerologis, yang dapat mempengaruhi
kondisi penderita (Mansjoer dkk, 2001; Hadi, 2002 dalam Shaleh 2016).
2.1.4 Penanganan dan terapi diare
Terapi diare harus disesuakan dengan penyebabnya. Diare perjalanan dan
diare musim panas akut merupakan penyakit yang sembuh sendiri (self limiting
disease) dan tidak memerlukan penanganan dengan obat-obat khusus (Mutschler
1991 dalam Shaleh 2016).
Penanganan teraupetik yang terpenting adalah penggantian cairan dan
elektrolit secukupnya. Pada umumnya cukup diberikan limun yang
mengandung gula secara oral dengan penambahan garam dapur atau diberikan
larutan glukosa-elektrolit yang diminum (20 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g
NaHCO3, 1,5 g KCl, air ditambahkan hingga 1000 ml). Pada kehilangan
cairan dan elektrolit dalam jumlah besar, perlu diberi substitusi secara
parenteral (Mutschler 1991 dalam Shaleh 2016).
Secara umum, prinsip pengobatan diare yakni, temukan penyebab dan
obati penyebabnya (pengobatan kuasatif), tekan peristaltik, dan pengobatan
dampak diare (nyeri perut, dehidrasi, dan lain-lain) (Sutedjo,2008 dalam
Shaleh 2016).
Menurut Tan (2002) dalam Shaleh (2016), Adapun kelompok obat
yang sering digunakan pada diare, adalah :
a. Kemoterapeutika; untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri
penyebab diare, seperti antibiotika, sulfonamide, kinolon dan
furazolidon.
b. Obstipansia; untuk terapi simtomatis yang dapat menghentikan diare
dengan beberapa cara, yaitu :
1. Zat-zat penekan peristaltik, misalnya candu dan alkaloidanya,
derivatederivat petidin (difenoksilat dan loperamida) dan
antikolinergika (atropin, ekstrak belladonna). Zat-zat ini akan
memberikan lebih banyak waktu untuk resorbsi air dan elektrolit
oleh mukosa usus.
2. Adstringensia, misalnya asam samak (tannin) dan tannalbumin,
garamgaram bismuth, dan alumunium. Zat-zat ini mampu
menciutkan selaput lender.
3. Adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya
dapat menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun (toksin yang dihasilkan
oleh bakteri atau ada kalanya berasal dari makanan itu sendiri
(udang, ikan). Selain itu, zat-zat lendir yang menutupi selaput lender
usus dan luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung atau biasa
disebut mucilagines, contohnya seperti kaolin, peksin (suatu
karbohidrat yang terdapat antara lain dalam buah apel), dan garam-
garam bismuth serta alumunium.
b. Spasmolitika, misalnya papaverin dan oksifenonium. Zat-zat ini
dapat melepaskan kejang-kejang otot yang sering kali
mengakibatkan nyeri perut pada diare.

2.2 Uraian Bahan


2.2.1 Alkohol (Depkes, 1979) (Rowe et al, 2009) (Pratiwi, 2008)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Etanol, Alkohol, Ethyl alkohol
Rumus Molekul : C2H6O
Berat Molekul : 46,07g/mol
Rumus strukrur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna,mudah menguap, bau khas.


Kelarutan : Bercampur dengan air, praktis bercampur dengan
pelarut organik.
Kegunaan : Desinfektan dan antiseptik
Khasiat : Sebagai desinfektan (mencegah pertumbuhan dan
pencemaran jasad renik) pada benda mati.
Digunakan juga sebagai antiseptic untuk
menghambat mikroorganisme pada jaringan hidup
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.2 Aquadest (Depkes, 1979) (Pratiwi, 2008)
Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Air suling
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau dan


tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.3Loperamid (Depkes, 1995; Aulton, 2002)
Nama resmi : Loperamidi Hydrochloridum
Nama Lain : Loperamida Hidroklorida, Loperamid HCl
Rumus Molekul : C29H33ClN2O2HCl
Berat Molekul : 531,51 g/mol
Rumus strukrur :

Pemerian : Serbuk putih sampaia agak kuning, melebur pada


suhu lebih kurang 225o disertai peruraian.
Kelarutan : Mudah larut dalammetanol, dalam Isopropil
alkohol dan dalam kloroform, sukar larut dalam air
dan dalam asam encer.
Kegunaan : Sebagai obat diare
Khasiat : Loperamid-HCl digunakan untuk mengobati diare
akut non spesifik dan diare kronik yang disebabkan
oleh peradangan saluran pencernaan.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2.2.4 Efedrin (Depkes, 1995; Sweetman, 2009)
Nama resmi :Ephedrini Hydrochloridum
Nama Lain : Efedrina Hidroklorida, Efedrin HCl
Rumus Molekul : C9H13NO3 . HCl
Berat Molekul : 219,7 g/mol
Rumus strukrur :

Pemerian : Serbuk kristal atau granul, putih atau praktis


putih, sedikit berbau, perlahan – lahan
warnanya menjadi gelap jika terpapar udara
dan cahaya.
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, praktis tidak
larut dalam alkohol, eter, dan chloroform.akan
cepat mengalami perubahan warna menjadi
merah dengan adanya larutan Alkalis dan
larutan netral
Kegunaan : Sebagai obat diare
Khasiat : Syok Anafilaktik dan edema
Penyimpanan : Simpan pada tempat yang tertutup rapat dan
kering, terlindung dari cahaya
2.3 Uraian Hewan
2.2.1 Mencit (Mus musculus)
Klasifikasi Mencit (Mus musculus)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Class : Mamalia
Sub class : Theria
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Mencit (Mus musculus)
Sub family : Murinae
Genus : Mus
Species : Mus musculus
Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang
untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa bersih, kering
dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus dijaga
kisarannya antara 18 19ºC serta kelembaban udara antara 30-70 (Budhi Akbar,
2010) dalam (Buku Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang
Berpotensi Sebagai Bahan Altifertilasi.)
Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-
35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi
mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun jantan dapat
dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah anak
mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara 0,51,5 g (Budhi Akbar,
2010) dalam (Buku Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang
Berpotensi Sebagai Bahan Altifertilasi.)
Ciri lain mencit sebagai kelompok mamalia dan subklas theria adalah,
mempunyai daun telinga (pinna), tengkorak bersendi pada tulang atlas melalui
dua condyles occipitalis, gigigigi dijumpai ada hewan muda serta tua, eritrosit
tidak bernukleus, otak dengan 4 lobus opticus jumlah jari pada tiapkaki tidak
lebih dari 5, ginjal tipe metanephros dan bersifat vivipar. Sebagai anggota ordo
rodentia, mencit mempunyai ciriciri: jari-jari lima masing-masing bercakar,
gigi seri pada rahang atas hanya sepasang membentuk seperti pahat dan
tumbuh terus, tanpa taring, testes abdominal, plasenta tipe discoidal (Rudy
Angung Nugroho,2018) dalam (Buku Mengenal Mencit Sebagai Hewan
Laboratorium).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu batang pengaduk, beaker,
gelas ukur, hot plate, mixer, spoit oral dan timbangan berat badan.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan diantaranya alkohol 70%, aquadest, carboadsorben,
mencit yang memenuhi standar, Na-CMC, norit, oleum ricini, suspensi loperamid,
suspensi papaverin dan tisu.
3.2 Cara Kerja
3.3.1 Na-CMC
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang Na-CMC
4. Dibagi masing-masing mencit sebanyak 3 ekor
5. Ditandai dengan menggunakan spidol berwarna mencit yang sudah di bagi
6. Ditimbang berat dari mencit yang dipakai untuk diberikan Na-CMC
7. Dilakukan secara oral semua pemberian dengan volume pemberian 1
ml/20 g BB mencit.
8. Diamati dan dicatat jumlah feses yang keluar pada mencit
3.3.2 Metode Proteksi terhadap Diare
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70 %
3. Disiapakan mencit yang telah dikelompokkan menjadi 3 kelompok setiap
kelompok terdiri dari 2 ekor yang terdiri dari kelompok kontrol, kelompok
loperamid dan kelompok papaverin
4. Diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok, dimana kelompok 1
sebagai control diberikan larutan Na-CMC, kelompok 2 diberi suspensi
loperamid dan kelompok 3 diberi suspensi papaverin
5. Ditempatkan mencit dalam kandang khusus secara individual yang
beralaskan kertas saring yang diketahui bobotnya
6. Diberikan 0,01 ml oleum ricini tiap gram berat mencit yang diberikan
secara oral setelah 30 menit dari pemberian perlakuan.
7. Diamati respon yang terjadi pada mencit yang berupa jumlah defekasi,
konsistensi feses, bobot feses (pada kertas saring), onset dan durasi diare
3.3.3 Metode transit intestinal
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70 %
3. Ditimbang berat badan mencit lalu dicatat
4. Disiapkan mencit yang telah dikelompokkan menjadi 3 kelompok setiap
kelompok terdiri dari 2 ekor yang terdiri dari kelompok kontrol, kelompok
loperamid dan kelompok papaverin
5. Diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok, dimana kelompok 1
sebagai control diberikan larutan Na-CMC, kelompok 2 diberi suspensi
loperamid dan kelompok 3 diberi suspensi papaverin secara oral dengan
volume pemberian adalah 0,2 ml/30 g BB mencit
6. Diberi suspensi norit 5% setelah 30 menit sebanyak 0,2 ml/30 g BB
mencit, hewan dieuthanasia secara dislokasi tulang leher.
7. Dibedah mencit dan dikeluarkan usus secara hati-hati, sampai terenggang
dan diukur panjang usus yang dilalui marker norit mulai dari pirolus
sampai ujung akhir (berwarna hitam)
8. Diukur juga panjang seluruh usus dari pirolus sampai rectum dari masing-
masing hewan dan dihitung rasio normal jarak yang ditempuh marker
terhadap panjang usus seluruhnya.

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHSAN
4.1 Tabel Hasil Pengamatan

HewanUji Berat
Onset Konsistensi
Durasi kertas
Kelompok Vol.oral defakasi feses
Kode BB diare(menit) saring
(menit) Kode
(g)
Na CMC 1 31 0.21 ml Menit- 9 menit 1.8 g Lembek
38
Menit-
2 30 0.2 ml 11 menit 1.9 g Lembek
40
Menit-
1 29 0.19 ml 6 menit 2.6 g Padat
51
Loperamid
Menit-
2 30 0.2 ml 6 menit 2.68 g Padat
49
Menit-
1 31 0.21 ml 6 menit 2.8 g Padat
53
Papaverin
Menit-
2 29 0.19 ml 6 menit 2.8 g Padat
52

HewanUji Panjang
Panjang
Marker Selisi a b
Kelompok VolumePemberian Usus a)
Kode BB Norit b) (mm)
(mm)
(mm)
1 25 0.167 ml 0.63 mm 0.37 mm 0.26 mm
Na CMC
2 26 0.17 ml 0.73 mm 0.53 mm 0.2 mm
1 26 0.17 ml 0.57 mm 0.22 mm 0.35 mm
Loperamid
2 27 0.18 ml 0.63 mm 0.21 mm 0.42 mm
1 28 0.186 ml 0.73 mm 0.29 mm 0.44 mm
Papaverin
2 26 0.17 ml 0.53 mm 0.24 mm 0.29 mm

4.2 Pembahasan
Diare atau diarrhea merupakan kondisi rangsangan buang air  besar yang
terus menerus disertai keluarnya feses atau tinja yang kelebihan cairan, atau
memiliki kandungan air yang berlebih dari keadaan normal. Umumnya diare
menyerang balita dan anak-anak.  Namun tidak jarang orang dewasa juga bisa
terjangkit diare. Jenis  penyakit diare bergantung pada jenis klinik penyakitnya
(Anne, 2011).
Tujuan dari percobaan ini yaitu menganalisis bagaimana efektifitas obat
antidiare yang di berikan pada hewan uji mencit mus musculus yang disebabkan
oleh Oleum racini dengan menggunakan dua metode yaitu metode proteksi dan
metode transit intestinal. pada metode proteksi terhadap induksi oleum ricini efek
obat antidiare dapat diamati dengan berkurangnya frekuensi defaksi dan
berubahnya konsistensi fases menjadi lebih padat. Pada metode transit intestinal
efek obat antidiare diamati dengan membandingkan panjang jalur yang dilewati
oleh marker norif antara pylorus dan sepanjang usus halus . Marker yang
digunakan adalah norit 5% sebanyak 0,2 ml/30 gram BB mencit
Pada praktikum kali ini digunakan mencit sebagai hewan coba. Mencit (Mus
musculus) adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan didalam
laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah
ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan
bersembunyi (Malole, 1989). Mencit dibagi kedalam 3 kelompok, yang masing
masing kelompok terdiri 2 ekor mencit. Kelompok mencit terdiri dari kelompok
Na-CMC atau larutan aquadest sebagai kelompok kontrol, kelompok loperamid
yang akan diberi suspensi loperamid, dan kelompok papaverin yang akan diberi
suspensi papaverin yang merupakan obat antidiare. Sebelum hewan uji dilakukan
perlakuan mencit di puasakan selama 10 jam tetapi diberikan air minum.
Pada metode proteksi mencit diberikan 0,01 ml oleum ricini tiap gram berat
mencit diberikan secara oral. Oleum ricini digunakan sebagai penginduksi diare
tetapi sebelum itu mencit ditimbang terlebih dahulu. Oleum ricini merupakan
trigliserida dari asam risinoleat yang dapat terhidrolisis dalam usus oleh lipase
menjadi gliserin dan asam risinoleat.
Setelah diberikan penginduksi nyeri Oleum racini, mencit dibiarkan selama
30 menit agar penginduksi dapat bekerja untuk menghasilkan efek diare pada
mencit, setelah 30 menit diberikan pada masing-masing kelompok mencit akan
diberi perlakuan dari yang sudah dibagi, kelompok satu diberikan NaCMC
sebagai kelompok control, kelompok ke dua diberikan suspense loperamid, dan
kelompok ke tiga diberikan susensi papaverin. Pada metode ini akan mengamati
jumlah defaksi, konsistensi dari feses mencit, bobot feses, onset dan dirasi diare.
Berat mencit 22 gr diberi Na-CMC sebagai kontrol, mencit dengan berat 25 gr
diberi diapet dan mencit dengan berat 21 gr diberi obat oralit. Pemberian obat
diberikan melalui rute oral dan diamati selama 30 menit, agar obat obatan tersebut
dapat terabsorbsi secara sempurna ditubuh mencit.
Dapat diketahui mencit pada kelompok pertama pemberian NaCMC, pada
mencit pertama dengan BB mencit 31 gram, onset defaksi sampai 38 menit, durasi
diare 9 menit, dengan berat feses 1,8 gram tampak lembek. Dapat diketahui bahwa
kelompok ini tidak diberikan obat antidiare. mencit kedua, mencit memiliki BB
30 gram, onset drfaksi sampai menit 40, durasi 11 menit, dengan berat feses 1,9
gram tampak lembek. Mencit cukup merasakan diare yang berat.
Pada mencit kelompok ke dua dengan pemberian suspensi loperamid, pada
mencit pertama dengan BB mencit 29 gram, onset defaksi sampai 51 menit, durasi
diare 6 menit, dengan berat feses 2,6 gram tampak padat. Mencit kedua, mencit
memiliki BB 30 gram, onset drfaksi sampai menit 49, durasi 6 menit, dengan
berat feses 2,68 gram tampak padat.
Pada mencit kelompok ke tiga dengan pemberian suspensi papaverin, pada
mencit pertama dengan BB mencit 31 gram, onset defaksi sampai 53 menit, durasi
diare 6 menit, dengan berat feses 2,8 gram tampak padat. Mencit kedua, mencit
memiliki BB 29 gram, onset drfaksi sampai menit 52, durasi 6 menit, dengan
berat feses 2,8 gram tampak padat
Pada metode yang kedua, metode transit intestinal hal pertama yang
dilakukan adalah memisahkan mencit dan bagi menjadi 3 kelompok mencit yang
masing-masing kelompok mencit akan terdiri dari 2 ekor mencit. Kelompok
mencit terdiri dari, kelompok Na-CMC ysng akan diberikan larutan Na-CMC atau
larutan aquadest sebagai kelompok kontrol. Kelompok loperamid yang akan
diberikan suspensi loperamid dan kelompok papavein yang akan diberikan
suspensi paaverin. Yang diberikan secara oral dengan volume pemberian 0,2
ml/30 gram BB mencit.
Setelah 30 menit mencit diberi suspensi norit 5% sebanyak 0,2 ml/30 gram
BB mencit. Setelah semua diberi suspensi norit 5%, mencit dikorbankan secara
diskolasi tulang leher. Usus dikeluarkan secara hati-hati sampai teregang.
Kemudian dikur panjang usus yang dilalui marker norit mulai dari pylorus sampai
ujung akhir (berwarna hitam). Semakin kecil rasio usus maka dinyatakan
memberikan efek antidiare lebih baik. Rata-rata rasio usus yang didapatkan dari
hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelompok control memiliki persen rasio
yang lebih besar disbanding kelompok lainnya.
Pada kelompok mencit Na-CMC yang diberikan Na-cmc sebagai kontrol
menunjukkan aktivitas diare yang lebih banyak, karena Na-CMC tidak
mempunyai khasiat sebagai antidiare, sedangkan untuk obat diare menunjukkan
konsentrasi feces yang lebih lembek daripada obat diapet dengan berat feces lebih
berat oralit dari pada obat diapet. hal ini karena obat oralit diberikan untuk
mengganti cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat diare (Depkes RI,
2011).
Dari hasil metode proteksi, pengujian obat suspense loperamid dan suspense
papaverin memiliki kinerja baik dalam mengobati antidiare, dengan melihat dari
durasi diare yang pendek dan menghasilkan feses yang padat.
Adapun kemungkinan kesalahan pada saat praktikum yaitu, kurang tepatnya
pemberian obat pada mencit, kurang ketelitian praktikan membaca skala pada saat
pengukuran, dan kurang ketelitian pada saat penimbangan bahan.

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil percobaan, pengamatan dan perhitungan dapat
disimpulkan bahwa aktivitas obat anti diare yaitu dengan metode transit intestinal
dan metode prokteksi terhadap diare yang disebabkan oleh oleum riccini, efek
obat antidiare dapat di amati dengan berkurangnya frekuensi efekasi dan
berubahnya konsistensi feses menjadi lebih padat. Pada metode transit intestinal
efek obat antidiare diamati dengan membandingkan panjang jalur yang dilewati
oleh marker norit antara pylorus dan sepanjang usus halus.
5.2 Saran
5.2.1 Jurusan
Dalam kegiatan praktikum diharapkan agar jurusan lebih menyiapkan
dengan baik agar asisten dan praktikan dapat melakukan praktikum dengan
baik.dan praktikan dapat bekerja sama untuk kesuksesan kegiatan praktikum.
5.2.2 Asisten
Semoga selalu menjadi asisten yang semakin perhatian, tidak hanya kepada
praktikan yang ketinggalan informasi.semakin semangat dan tetap menjalani
hubungan baik dengan praktikan.
5.2.3 Praktikan
Untuk praktikan harus disiplin terhadap waktu kedatangan yang telah di
tentukan. Dan saling mengingatkan satu sama lain serta dapat membantu bekerja
sam sehingga praktikum dapat berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Adyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008.
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbit: Jakarta
Depkes R.I. 2014. Pedoman Pemberantas Penyakit Diare. Jakarta : Ditjen PPM
dan PL.
Goodman & Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Editor Joel. G.
Hardman & Lee E, Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman,
Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Hadi, Sujono. 2002. Asites Dalam Gastroenterologi. Bandung: Alumni.pp: 477-
486
Hadi, Sujono. 2002. Sirosis Hepatis Dalam Gastroenterologi. Bandung:
Alumni.pp:637-638
Masjoer Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUL
Mutschler, R., 1991. Dinamika Obat, Edisi V, 88. Penerbit ITB: Bandung
Navaneethan, U,dan Giannella, R. A. 2011. Definition, Epidemology,
Pathophysiology, Clinical Classification and Differential Diagnosis Of
Diarrhe. Dalam : Guandalini S, Vaziri H (eds). Diarrhea Diagnostic and
Therapeutic Advances. USA: Humana Press
Nugroho, Rudy Agung. 2018. Mengenal Mencit Sebagai Hewan Laaboratorium.
Samarinda: Mulawarman University Press.
Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.

Rowe, RC, et al. 2009. Hanbook Of Pharmaceutical Excipient 6th Ed. London:
Pharmaceutical Press.
LAMPIRAN-LAMPIRAM
Lampiran Diagram Alir
1. Metode Proteksi terhadap Diare

Mencit (Mus
musculus)

- Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan


- Dibersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70
%
- Disiapakan mencit yang telah dikelompokkan menjadi 3
kelompok setiap kelompok terdiri dari 2 ekor yang terdiri dari
kelompok kontrol, kelompok loperamid dan kelompok
papaverin
- Diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok, dimana
kelompok 1 sebagai control diberikan larutan Na-CMC,
kelompok 2 diberi suspensi loperamid dan kelompok 3 diberi
suspensi papaverin
- Ditempatkan mencit dalam kandang khusus secara individual
yang beralaskan kertas saring yang diketahui bobotnya
- Diberikan 0,01 ml oleum ricini tiap gram berat mencit yang
diberikan secara oral setelah 30 menit dari pemberian
perlakuan.
- Diamati respon yang terjadi pada mencit yang berupa jumlah
defekasi, konsistensi feses, bobot feses (pada kertas saring),
onset dan durasi diare
Hasil
2. Metode Transit Intestinal

Mencit (Mus
musculus)

- Disiapkan alat dan bahan yang akan digunaka


- Dibersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70 %
- Ditimbang berat badan mencit lalu dicatat
- Disiapakan mencit yang telah dikelompokkan menjadi 3 kelompok setiap
kelompok terdiri dari 2 ekor yang terdiri dari kelompok kontrol, kelompok
loperamid dan kelompok papaverin
- Diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok, dimana kelompok 1
sebagai control diberikan larutan Na-CMC, kelompok 2 diberi suspensi
loperamid dan kelompok 3 diberi suspensi papaverin secara oral dengan volume
pemberian adalah 0,2 ml/30 g BB mencit
- Diberi suspensi norit 5% setelah 30 menit sebanyak 0,2 ml/30 g BB mencit,
hewan dieuthanasia secara dislokasi tulang leher.
- Dibedah mencit dan dikeluarkan usus secara hati-hati, sampai terenggang dan
diukur panjang usus yang dilalui marker norit mulai dari pirolus sampai ujung
akhir (berwarna hitam)
- Diukur juga panjang seluruh usus dari pirolus sampai rectum dari masing-masing
hewan dan dihitung rasio normal jarak yang ditempuh marker terhadap panjang
usus seluruhnya.

Hasil

Anda mungkin juga menyukai