LAPORAN PRAKTIKUM
Oleh
DEWA GEDE SUJANA
821418061
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
4.1 Hasil....................................................................................................15
4.2 Pembahasan.........................................................................................16
BAB V PENUTUP........................................................................................17
5.1 Kesimpulan.........................................................................................17
5.2 Saran...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan, sebagai mahasiswa farmasi sudah seharusnya mengetahui
hal-hal yang berkaitan dengan obat baik dari segi farmasetik, farmakodinamik,
farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi dan toksikologinya.
Farmakologi sebagai ilmu yang berbeda dari ilmu lain secara umum pada
keterkaitan yang erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik sangat sulit
mengerti farmakologi tanpa pengetahuan tentang fisiologi tubuh, biokimia,
dan ilmu kedokteran klinik. Jadi, farmakologi adalah ilmu yang
mengintegrasikan ilmu kedokteran dasar dan menjembatani ilmu praklinik dan
klinik. Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu cara
membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat.
Toksikologi berkembang luas di bidang kimia, kedokteran hewan,
kedokteran dasar klinik, pertanian, perikanan, industry, etimologi hokum dan
lingkungan. Perkembangan ini memungkinkan terjadinya reaksi dalam tubuh
dan dalam jumlah yang kecil. Beberapa macam keracunan telah diketahui
terjadi berdasarkan kelainan genetic, gejala keracunan dan tindakan untuk
mengatasinya berbeda-beda.
Dalam cabang ilmu ini juga dipelajari cara pencegahan, pengenalan,
dan penanggulangan kasus-kasus keracunan. Biofarmasi adalah bagian ilmu
yang meneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek terapeutiknya.
Farmakologi terbagi menjadi 2 subdisiplin, yaitu: 1. farmakokinetik ialah apa
yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk hidup, yaitu absorbsi
(A), distribusi (D), metabolisme atau biotransformasi (M), dan ekskresi (E); 2.
farmakodinamik merupakan pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau
makhluk hidup.
Obat juga merupakan suatu zat kimia selain makanan yang
mempengaruhi pengaruh terhadap atau dapat menimbulkan efek pada
organisme hidup. Sumber obat dapat berasal dari berbagai macam yaitu
tumbuhan (kurkumin), hewan (insulin), mineral (kaolin), mikroorganisme
(penisilin, streptomisin), sintesis (parasetamol, asam salisilat) dan
bioteknologi (eritromisin, interferon).
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmu
farmakologi mengarah kepada interaksi obat dengan organisme hidup serta
aspek dari interaksi tersebut. Oleh karena itu, farmakologi juga didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup.
Pada praktikum kali ini kita menggunakan mencit sebagai hewan coba
yang dapat digunakan dalam suatu penelitian, yang harus dipilih mana yang
sesuai dan dapat diberikan gambaran tujuan yang akan dipakai. Hewan
sebagai modek atau samara percobaan harus memenuhi persyaratan-
persyaratannya yaitu persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang
memadai dalam pengelolaannya, faktor ekonomis, mudah dan tidaknya
diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologi yang mirip dengan
manusia.
Mencit (Mus Musculus) merupakan salah satu hewan mamalia yang
memiliki habitat yang berada disekitar manusia. Mencit memiliki ukuran
tubuh sekitar 65-95 mm dan ekornya memiliki panjang 60-105 mm. tubuh
mencit dilapisi rambut yang berwarna putih bersih hingga kecokelatan
sehingga keberadaannya cukup mudah dideteksi.
Mencit termasuk salah satu hewan hewan modek yang banyak dipilih
untuk sebuah penelitian. Dimana penggunaan mencit dalam berbagai
penelitian khususnya bidang biomedik dan neurobiology dikarenakan mencit
memiliki karakteristik genetic yang tidak berbeda jauh dari manusia. Selain itu
mencit merupakan hewan yang mudah ditangani dan merupakan hewan
fotofobik, cenderung berkumpul dengan sesamanya dan bersembunyi.
Karakter genetic ini dapat diuji melalui fisiologi, anatomi, dan metabolism
serta perilaku yang ditunjukkan oleh mencit tersebut (Your Genome, 2017).
1.2. Rumusan masalah
1. Bagaimana cara mengukur tingkat kesehatan hewan uji mencit (mus
musculus) dengan metode BCS (Body Condition Scoring).
2. Bagaimana cara mengetahui hewan uji yang baik digunakan untuk
praktikum
1.3. Tujuan Percobaan
1. Untuk mengukur tingkat kesehatan hewan uji mencit (Mus musculus)
dengan metode BCS (Body Condition Scoring).
2. Untuk mengetahui cara memilih hewan uji yang baik digunakan untuk
praktikum
1.4. Prinsip Percobaan
1. Pengukuran kesehatan mencit dengan meraba bagian tulang sacroillac
(tulang antara tulang belakang hingga ke tulang kemaluan) dengan
menggunakan jari dan mencocokannya dengan nilai BCS (Body Condition
Scoring).
2. Dapat memegang mencit dengan baik dan benar sesuai dengan peraturan
agar hewan tidak dapat melukai peneliti.
1.5. Manfaat praktikum
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara mengukur tingkat kesehatan hewan uji
mencit (mus musculus) dengan metode BCS (Body Condition Scoring).
2. Mahasiswa dapat mengetahui hewan uji yang baik digunakan untuk
praktikum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian fafmakologi dan toksikologi
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa
terhadap sel hidup. Lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu
kedokteran senyawa tersebut disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan
yang mendasari manfaat dan resiko penggunaan obat. Karena itu dikatakan
farmakologi merupakan seni menimbang (the art of weighing). Obat didefinisikan
sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis
penyakit gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat
seseorang infertile atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan hewan
coba. Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu
cara membuat memformulasi menyimpan dan menyediakan obat (Marjono, 2011).
Pada dasarnya hewan percobaan dapat merupakan suatu kunci dalam
mengembangkan suatu penelitian dan telah banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan
khususnya pengetahuan tentang berbagai macam penyakit seperti: malaria,
filarisis, demam berdarah, tbc, gangguan jiwa dan semacam bentuk kanker
(Sulaksono, 2016).
Hewan coba/ hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan
yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologic. Hewan pecobaan
digunakan untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia.
Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak
puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional
bahkan internasional, dalam rangka keselamatan untuk manusia didunia adalah
adanya deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang
menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya dilakukan percobaan
pada hewan, sebelumpercobaan dibidang biomedis maupun riset lainnya
dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas
hewan percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang
program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian biomedis
(Sulaksono, 2012).
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya,di mana
faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang
terlihat/karakteristik hewan percobaan,maka ada 4 golongan hewan,yaitu :
1). Terlihat hewan liar
2). Hewan yang konvensional,yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka
3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistim barrier (tertutup)
4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman,yaitu hewan yang
dipelihara dengan sistem isolator.
Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan
dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan semakin meningkat cara
pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan de
mikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar,
hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah
maupun hewan yang bebas kuman (Stevani,2016).
4.2 Pembahasan
Pada praktikum pemilihan hewan uji coba yaitu mencit dilakukan metode
penelitian kondisi tubuh atau Body Condition Scoring (BCS). Body Condition Score
(BCS) adalah nilai kondisi tubuh yang didasarkan pada estimasi visual timbunan
lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung, tulang rusuk dan
pinggul (sulaksono, 2016).
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah alat pelindung diri (baju
lab,hansdkun, masker), kandang mencit, timbangan (neraca analitik) dan sarung
tangan.
Dilakukan pemilihan hewan coba dengan mengukur tingkat kesehatan hewan
uji (mencit) dengan menggunakan metode BCS (Body Condition Scoring).
Bodycondition Scoring (BCS) adalah metode pemberian nilai kondisi tubuh ternak
baik secara visual maupun dengan perabaan pada timbunan lemak tubuh dibawah
kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan pinggul (Sulisoriniat al., 2007). Hal
pertama yang dilakukan yaitu menimbang berat badan mencit. Menurut Smith &
Mangkoewidjojo (1988) mengatakan bahwa bobot berat badan mencit dewasa
berkisar 18-35 gram dengan umur 35 hari.
Pertama-tama kami menyiapkan 1 ekor mencit, lalu kami letakkan mencit
tersebut di atas kandang yang terbuat dari kawat, kami biarkan mencit agar mereka
merasa tenang, setelah itu kami amati kondisi tulang belakang mencit hingga tulang
dekat kemaluan (bokong), dan secara perlahan-lahan kami meraba tulang pelvic
dorsal. Terakhir kami menimbang berat badan mencit dan hasil timbangan yaitu 18,5
gr Mencit ini termasuk pada BCS nilai 3 karena dari 3 berdasarkan percobaan mencit
dalam kondisi baik. Namun, pada saat diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-
tulang, sedangkan menurut Malole Pramono (1989) BCS nilai 3 berdasarkan
perabaan mencit dalam kondisi standar tidak tampak tonjolan tulang, namun bila
mana diraba cukup mudah dirasakan adanya tulang-tulang. Tampak atas, biasanya
sudah lebih lurus tampak berisi dan tulang pelvic dorsal sedikit teraba.
Kemudian pada penelitian ke II, dengan berat badan yaitu 21,6 gr dengan hasil
pengamatan BCS nilai 3 berdasarkan perabaan mencit kondisi standar, Tubuh mencit
tidak tampak tonjolan tulang, akan tetapi saat diraba cukup mudah merasakan adaya
tulang-tulang
Pada penelitian mencit yang ke III dengan berat badan 33,5 gr dengan hasil
pengamatan BCS nilai 4 berdasarkan perabaan mencit dalam kondisi obesitas, Sudah
sangat sulit meraba tulang-tulang, saat diraba dagingnya sangat tebal
Pada mencit yang ke IV dengan berat 12,1 gr dimana kondisi mencit dalam
kondisi kurus, Saat diraba, tidak terasa adanya lemak atau daging. Jika dilihat, tampak
atas juga kelihatan sekali bagian-bagian tubuhnya tidak berisi daging
Pada mencit yang ke V dengan berat 30,4 gr dimana kondisi mencit diatas
kondisi standart, Nampak jelas lipatan-lipatan lemak, hewan kelihataan berisi, saat
diraba agak sulit merasakan tulang karena timbunan lemak atau daging.
Cara memegang mencit yang baik dan benar yaitu, Mencit dapat dipegang
dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan menjangkau /
mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu
jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor
dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan
kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi
perlakuan. Menurut Kemenkumham (2014), hewan coba sebagai makhluk hidup
dapat merasakan nyeri seperti halnya manusia sehingga perlu diperlakukan dengan
baik. Oleh karena itu, pengunaan hewan coba sebagai obyek percobaan seharusnya
menerapkan replacement, reduction, dan refinement.
Hubungan bobot badan mencit dengan Body Condition Scoring (BCS) yaitu,
dalam mengukur nilai BCS dari hewan uji mencit, maka dapat diketahui berat standar
mencit yang layak digunakan dalam praktikum di tingkat BCS nilai 3 berkisar antara
20 garm hingga 30 gram dimana dikatakan pengukuran BCS lebih efektif
dibandingkan dengan bobot badan. Menurut Hendra Stevani (2016), Body Condition
Scoring adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh baik secara visual. BCS
merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai kondisi fisik
hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis yang lebih baik daripada
berat badan.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Untuk mendapatkan penelitian ilmiah yang baik, maka semua aspek dalam
protocol penelitian harus direncanakan dengan seksama, termasuk dalam
pemilihan hewan percobaan, penting untuk memastikan bahwa penggunaan
hewan percobaan merupakan pilihan terakhir dimana tidak terdapat cara lain
yang bisa menggantikannya.
3. BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai
kondisi fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis yang
lebih baik dari pada berat badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat
membedakan antara lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan hewan yang
kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan tumor,
akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada kondisi normal
(misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan telah kehilangan berat badan
lebih dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3
(BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukan euthanasia segera. Dengan
demikian, BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan akurat untuk
kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat badan. Nilai BCS yang kurang
dari 2 biasanya akan dianggap sebagai titik akhir klinis. Endpoint klinis lain
juga dapat dilaporkan seperti penurunan perilaku eksplorasi, keengganan
untukbergerak (penurunanpenggerak / mobilitas), posturmem bungkuk,
piloereksi (rambut berdiri), dehidrasi sedang hingga berat (mata cekung, lesu),
nyeri tak henti-hentinya (misalnya distress vokalisasi).
5.2 Saran
5.2.1 Untuk Jurusan
Diharapkan agar dapat melengkapi fasilitisnya berupa alat-alat dan bahan-bahan
yang menunjang dalam proses praktikum, agar praktikum yang dilaksanakan dapat
berjalan dengan lancar.
5.2.2 Untuk Asisten
Diharapkan agar kerja sama antara asisten dengan praktikan lebih ditingkatkan
dengan banyak member wawasan tentang larutan. Asisten dan praktikan diharapkan
tidak ada missed communication selama proses praktikum agar hubungan asisten dan
praktikan diharapkan selalu terjaga keharmonisannya agar dapat tercipta suasana
kerja sama yang baik.
5.2.3 Untuk Praktikan
Praktikan diharapkan dipraktikum selanjutnya bisa melaksanakan praktikum
lebih baik lagi dan tidak membuatkan kesalahan dalam menghitung dosis obat yang
diminta. Selain itu, berhati-hatilah dalam mencampur obat dan juga didalam
praktikum keseriusan diutamakan.
DAFTAR PUTAKA
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2014. Undang-
undang nomor 8 tahun 2009. Peraturan tahun 2009.
Setiabudy, Rianto. 2010. Farmakologi dan Terapi Edisi 5 (cetak ulang dengan
perbaikan). Jakarta: Gaya Baru.
Sunaryo, Wilmana. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit FK UI:
224-33
Syahrin, A. 2006. Kesan ekstrak etanol andrographis Paniculata (burm. F.) Nees ke
atas Tikus betina diabetik aruhan streptozotosin. Malaysia: Universiti Sains
Malaysia.
1. Diagram Alir
a. Cara memegang mencit
Mencit
Hasil
Mencit
Hasil
-
Lampiran jurnal