PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
a. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
“onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus
kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002).
b. Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang
lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat
dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang
sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil
partikel, semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002).
c. Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi,
determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi
penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
d. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput
otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut)
(Anonim, 1995).
e. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan
karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor
dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi
dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).Intinya absorpsi dari obat
mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan
baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).
II.2 Diazepam
Pada umumnya, semua senyawa benzodiazepin memiliki daya kerja yaitu
khasiat anksiolitis, sedatif hipnotis, antikonvuslif dan daya relaksasi otot. Keuntunga
obat ini dibandingkan dengan barbital dan otot tidur lainnya adalah tidak atau hampir
tidak merintangi tidur. Dulu, obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi
ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu,
seperti cepatnya menidurkan, serta memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay,
2002)
Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum dalam
WHO Essential List of Medicines Edisi 19 (WHO, 2015), Daftar Obat Esensial
Nasional (Kemenkes RI, 2015a) serta Formularium Nasional (Kemenkes RI, 2015b),
ketersediaannya harus terpenuhi di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan.Akses mendapatkan kesehatan termasuk mendapatkan obat esensial
merupakan hak asasi manusia, sehingga menjadi kewajiban pemerintah untuk
menjamin ketersediaannya di fasiltas pelayanan kesehatan
Penggunaan diazepam dikontrol secara nasional dan global. Secara nasional
penggunaan diazepam diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, sedangkan secara global melalui Convention on Psychotropic
Substance of 1971, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1997 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971. Pengaturan tersebut bertujuan
untuk menjamin ketersediaannya guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan
serta mencegah terjadinya penyalahgunaan.
Diazepam diindikasikan untuk terapi kecemasan (ansietas) dalam penggunaan
jangka lama, karena mempunyai masa kerja panjang (Finkel et al., 2009). Selain itu
juga sebagai sedatif dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa
cemas. Selain sebagai antiansietas, diazepam digunakan sebagai hipnotik,
antikonvulsi, pelemas otot dan induksi anastesi (Katzung et al., 2012). Diazepam
juga digunakan untuk preeklampsia dan eklampsia yang diberikan secara intravena
dengan dosis 10 mg (Kemenkes RI, 2007). Untuk itu ketersediaan yang memadai
sesuai kebutuhan medis harus terpenuhi di semua tingkatan fasilitas kesehatan.
Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI; data penduduk
Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014; nilai S-DDD diazepam
sebagai ansiolitik (10,00 mg) yang diambil dari Technical Report Psychotropic
INCB tahun 2014.
Menghitung kebutuhan diazepam untuk penderita gangguan jiwa berdasarkan
rerata prevalensi penderita gangguan jiwa di Indonesia 1,7 permil hasil Riset
Kesehatan Daerah tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013).
BAB III
METODELOGI
1. Tabel Dosis
IV.2. Pembahasan
terhadap onset dan durasi. Dari percobaan kali ini diharapkan dapat mengetahui
intramuskular (i.m) dan subkutan dan untuk menyatakan onset dan durasi obat
berdasarkan rute yang diberikan. Waktu onset yaitu waktu yang diperlukan obat
mulai dari proses pemberian obat sampai tmenimbulkan sirkulasi sistemik dan
menimbulkan efek. Sedangkan waktu durasi adalah waktu yang diperlukan obat
mulai memberikan efek sampai hilangnya efek. Peralatan dan bahan yang
dibutuhkan pada praktikum kali ini adalah jarum berujung tumpul (untuk peroral)
atau sonde, timbangan, kotak kaca untuk perlakuan dan beaker glass. Bahan yang
kecemasan, insomnia kejang-kejang gejala putus alkohol akut, serta sebagai obat
panjang, biasanya dokter meresepkan obat ini untuk jangka pendek. Obat ini bisa
ini. Setelah mengonsumsi diazepam, efek obat ini bisa bertahan selama beberapa
Dalam percobaan ini, hewan uji yang digunakan adalah 5 ekor tikus.
biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan uji yang digunakan pada
percobaan ini adalah tikus (Rattus rattus ). Alasan digunakannya tikus sebagai
hewan uji percobaan ini antara lainMemiliki sistem fisiologis yang mirip dengan
menimbang bobot tikus untuk menetapkan kadar yang sesuai bagi tikus agar tidak
over dosis. Hal ini dilakukan karena setiap cara pemberian obat memiliki volume
maksimum masing-masing dan berbeda satu sama lain. Semakin panjang rute
penggunaan suatu obat, maka semakin kecil konsentrasi obat yang mencapai sel
didapat berat tikus putih 1 sampai dengan 5 berturut- turut sebesar 160gram, 180
Pada tikus 1 diberikan secara oral, tikus 2 secara intravena, tikus 3 secara
secara intramuskular, tikus 4 secara subkutan dan tikus 5 sebagai kontrol negatif
karena menggunakan aquadest yang tidak mempunyai efek sedatif. Supaya obat
yang diberikan tidak over dosis atau tidak mencapai KEM (Kadar Efektif
dihitung dengan metode body mass equivalence (BME). Hasil kali dosis dan
konversi dosis manusia ke tikus (gram). Pada percobaan digunakan dosis sebesar
Pada percobaan didapati jumlah dosis untuk tikus 160 gram adalah 0,24 ml
sedangkan pada tikus 180 gram sebesar 0,27 ml. Setelah itu diambil sebanyak
volume maksimal larutan yang dibutuhkan untuk diberikan ke hewan uji. Dan
tikus tersebut mulai tertidur sampai tikus tersebut mulai bangun kembali. Pada
tikus 1, perlakuan secara oral dengan waktu pemberian obat sampai waktu
waktunya 10 menit dan waktu terbangunnya setelah selang waktu 6 menit. Pada
pemberian obat sampai waktu tertidurnya selang waktunya 6 menit dan waktu
subkutan obat diazepam diinjeksikan dengan waktu pemberian obat sampai waktu
menit. Pada tikus 5 tidak memilki efek tidur karena aquadest sebagai kontrol
negatif. Waktu onset dapat dilihat dari waktunya obat pemberian ke waktu tikus
mulai tidur. Selang waktu durasi dilihat dari waktu tidurnya tikus ke waktu tikus
mulai bangun.
Dari hasil pengamatan tersebut, diperoleh onset dan durasi yang berbeda.
Waktu onset yang paling cepat dari percobaan kami adalah intramuskular, oral,
intravena dan subkutan. Hal ini tidak sesuai dengan literatur atau bertolak
belakang seharusnya intravena lah yang merupakan cara pemberian obat yang
paling cepat di absorbsi, karna cara intravena yaitu cara pemberian obat langsung
masuk kepembuluh darah, sehingga cara ini tentu saja lebih cepat memberikan
efek karena tidak melalui proses absorbsi dulu untuk masuk kesistem sistemik
dari pada cara-cara injeksi yang lain. Sedangkan cara intramuscular
merupakan cara pemberian obat yang melalui paha bagian atas dan terdapat
banyak lapisan kulit sehingga untuk menghasilkan efek atau dapat terabsorbsi
lama. Kesalahan ini terjadi oleh beberapa pengaruh atau aspek misalnya berat
badan yang tidak ditimbang dan pemberiaan obat rata menggunakan dosis yang
sama, begitu juga hasil durasi yang tidak sesuai. Untuk durasinya paling cepat
hilang secara intravena dan yang efeknya paling lama itu intramuskular. Hal ini
tidak sesuai dengan teori karena teori durasi yang paling cepat adalah pemberian
obat intraperitonial, sedangkan yang paling lambat adalah pemberian obat per
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan,
sebagai berikut :
1. Secara garis besar yaitu empat dari lima kelompok menunjukkan pemberian obat
dengan cara intravena lebih cepat daripada cara-cara lainnya dalam hal
menimbulkan efek.
2. Tiga dari lima kelompok membuktikan pemberian dengan cara intramuscular
memiliki durasi yang lama.
3. Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan dari
pada dosis awal yang diberikan.
4. Secara umum berbagai cara pemberian (p.o, i.m, i.v, i.p) pada hasil percobaan
tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf nyata 95% (p < 0,05).
V.2 Saran
Agar praktikum berjalan lancar hendaknya ada bimbingan khusus dari para
asisten mengenai prosedur kerja dan alat serta bahan yang akan digunakan sehingga
praktikan tidak lagi bolak-balik ruang praktikum hanya sekedar mangambil alat dan
lainnya.
Mari kita bersama-sama menciptakan suasana praktikum yang menyenangkan.
Karena hanya dengan belajar yang menyenangkan semua dapat menangkap materi
dengan optimal.
Daftar Pustaka
Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press.
Katzung, Bertram. G., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika,
Jakarta.
Katzug, Bertam. G., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik . Jakarta : Salemba
Medika.
Tjay, T, H. dan Rahardja K., 2002, Obat-Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta :
Penerbit Elex Media Komputindo
LAMPIRAN