PERCOBAAN I
UJI ANTI INFLAMASI
Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. I Putu Gede Darmayasa (192001)
2. I Wayan Sumerta (192002)
3. Fefi Anjarwati (192003)
4. Dewa Ayu Sintya (192004)
5. Arienta Yugi Priantimy.A (192005)
6. Luh De Sri Antari Dewi (192006)
7. Ni Made Wismaya Putri (192007)
Inflamasi atau radang merupakan indikator dari sistem kekebalan tubuh melawan
suatu penyakit, berfungsi menghancurkan, mengurangi, serta melokalisasi agen
pencedera maupun jaringan yang cedera. Ciri peradangan akut meliputi edema,
kemerahan, panas, dan nyeri. Pada proses radang akut disebabkan oleh pelepasan
berbagai macam mediator kimia, seperti produk leukosit, protease plasma, amina
vasoaktif, dan metabolit asam arakhidonat. Ketika inflamasi terjadi, sel darah putih
mengaktifkan sistem imun. Sel darah putih menginduksi aktivasi limfosit T yang
diteruskan hingga monosit dan makrofag juga ikut teraktivasi. Hal ini menyebabkan
tersekresinya sitokin proinflamatorik, tumor necrosis factor-a, dan interleukin(Mia
Audina dkk.,2018)
Terdapat beberapa obat – obat yang beredar dikalangan masyarakat untuk
mengurangi inflamasi yaitu seperti deksametasone, Aspirin, dan Celecoxib.
Deksametason digunakan untuk mengobati berbagai kondisi inflamasi dan autoimun,
seperti rheumatoid arthritis dan bronkospasme.Salah satu efek dari deksametason
adalah meningkatkan glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa dari protein
sehingga beresiko meningkatkan gula darah(Abdulrohman.,2014).Aspirin merupakan
golongan obat antiinflamasi non steroid (AINS) yang memiliki efek analgesik,
antipiretik, dan antiinflamasi. Indikasinya yaitu nyeri (ringan-sedang).(Sumarno
dkk.,2019).Celecoxib adalah Obat yang bekerja selektif menghambat enzim COX-2
yang berperan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin, mediator utama
proses inflamasi(Handoko A.dkk,2011).
Percobaan ini dilakukan untuk membandingkan antara obat dexamethasone,
asetosal dan celecoxib, mana yang memiliki efek antiinflamasi yang paling baik
terhadap hewan uji yaitu tikus.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana perbandingan efek antiinflamasi beberapa obat dengan metode induksi
udem pada kaki tikus.
C. TUJUAN PERCOBAAN
Mampu membandingkan efek antiinflamasi beberapa obat dengan metode induksi
udem pada kaki tikus.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Inflamasi adalah proses respon terhadap cedera jaringan dan infeksi. Ketika
proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-elemen
darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera
jaringan atauinfeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan
dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya
pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan. Lima
ciri khas dari inflamasi, dikenal sebagai tanda-tanda utama inflamasi, adalah kemerahan
(rubor), panas (kalor), pembengkakan (edema), nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi
(Function laesa) (Kee, J.L, 1996).
Pengobatan inflamasi mencakup dua aspek, yang pertama adalah meredakan
nyeri yang seringkali menjadi gejala dan yang kedua adalah upaya penghentian proses
kerusakan jaringan. Pengobatan inflamasi dapat menggunakan obat antiinflamasi
nonsteroid (AINS) dan obat golongan steroid yang dapat meredakan reaksi inflamasi
dengan baik tetapi dalam penggunaan jangka panjang akan memberikan efek samping.
Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid dalam jangka panjang akan memberikan efek
berupa gangguan saluran cerna seperti ulser lambung, gangguan fungsi ginjal dan
induksi kehamilan. Penggunaan obat golongan steroid dalam jangka panjang akan
menurunkan respon imun tubuh terhadap infeksi, osteoporosis, moonface, serta
hipertensi (Goodman, 2003).
Karagenan merupakan suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari rumput laut
merah Irlandia (Chondrus crispus). Karagenan berperan dalam pembentukan udem
dalam model inflamasi akut (Singh,2008). Karagenan merupakan suatu zat asing
(antigen) yang bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang
seperti histamin sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap
antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya (Necas, 2013).
Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan turunan selulosa yang memiliki peran
penting dan berguna sebagai agen pengemulsi, agen pensuspensi dan sebagai pengikat
dalam pembuatan tablet (binder). Oleh karena itu, CMC telah banyak digunakan di
banyak bidang industri seperti tekstil, obat-obatan, makanan, elemen listrik, dan
pembuatan kertas, Berdasarkan kegunaannya yang luas, CMC menjadi salah satu
senyawa yang banyak diteliti dan diminati dalam berbagai industri.
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang
mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat. Pemberian deksametason akan menekan
pembentukan bradikinin dan juga pelepasan neuropeptida dari ujung-ujung saraf, hal
tersebut dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan yang mengalami proses
inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin oleh deksametason akan menghasilkan
efek analgesia melalui penghambatan sintesis enzim cyclooksigenasedi jaringan perifer
tubuh. Deksametason dengan nama kimia 9-fluoro-11β,17,21-trihidroksi-16α-
metilpregna-1,4-diena-3,20-dion, memiliki rumus molekul C22H29FO5dan berat
molekul 392,5 g/mol (Morris dkk., 2008). Deksametason merupakan serbuk kristal
berwarna putih atau hampir putih, tidak berbau, stabil di udara, melebur pada suhu
250°C disertai peruraian (Bravo dkk., 2010).
Aspirin merupakan golongan obat antiinflamasi non steroid (AINS) yang
memiliki efek analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Indikasinya yaitu nyeri (ringan-
sedang), anti platelet pada terapi kardiovaskular dan stroke, rheumatoid artritis,
osteoarthritis, dan gout.3,4,5. Mekanisme kerja dari aspirin yaitu menghambat enzim
siklooksigenase (COX) terutama siklooksigenase-1 (COX-1) sehingga terjadi
penghambatan biosintesis prostaglandin dan tromboksan dari asam arakhidonat(Nur
Hasanah dkk.,2015)
Celecoxib adalah obat yang bekerja selektif menghambat enzim COX-2 yang
berperan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin, mediator utama proses
inflamasi. Jika sintesa prostaglandin dihambat, proses inflamasi akan terhambat
sehingga mengurangi nyeri. Obat ini tidak menghambat COX-1, sehingga tidak akan
menggangu pembentukan platelet dan tidak menimbulkan gangguan lambung yang
biasa terjadi pada penggunaan AINS non selektif (Handoko A.dkk,2011).
E. HIPOTESIS PERCOBAAN
Cara kerja obat anti inflamasi Dexamethason memiliki efek yang lebih baik
dibandingkan Asetosal dan Celecoxibe dalam menurun kan volume udem pada kaki
tikus yang telah diinjeksikan karagenan.
F. METODOLOGI 7. Timbangan digital
a. Alat ,bahan dan hewan uji 8. Spuit oral (sonde)
Alat : 9. Spuit injeksi (needle 26 G)
1. Mortir dan stamfer 10. Syringe
2. Gelas beaker 11. Kandang hewan uji dan tutup
3. Batang pengaduk 12. Penangas air atau kompor
4. Magnetic stirrer listrik
5. Labu takar
6. Kertas timbang
Bahan :
1. Akuades
2. CMC-Na
3. Karagenan
4. NaCl 0,9% steril
5. Tablet/serbuk deksamethasone
6. Tablet / serbukasetosal
7. Kapsul celecoxib
8. Alcohol 70%
9. K
apas
Hewan
uji :
- Tikus putih dengan
berat sekitar
150–
250gram.
Prosedur Kerja :
Timbang masing-masing dari berat tikus kemudian tandai dan letakan pada wadah
a. Perhitungan Dosis
1) Deksamethason
o Dosis lazim pada manusia BB 60kg : 0,25-3 mg (Dosis yang dipilih adalah
0,5mg)
=
AED HED x
AED =x,
/
( )
Jumlah tablet =
( )
Jumlah tablet = .
.
() ()
Volume injeksi =
()
. . /
Volume injeksi =
./
. . /
Volume injeksi = ./
() ()
Volume injeksi =
()
. . /
Volume injeksi = ./
2) Asetosal
o Dosis lazim pada manusia BB 60kg : 600-1500 mg ( Dosis yang dipilih adalah
600 mg
AED = HED x
AED = x
/
( )
Jumlah tablet =
( )
Jumlah tablet =
. . /
Volume injeksi = /
. . /
Volume injeksi =
/
. . /
Volume injeksi =
/
3) Celecoxib
o Dosis lazim pada manusia BB 60kg : 100-200 mg ( Dosis yang dipilih adalah
100mg)
=
AED HED x
AED =x
/
Jumlah tablet = ()
()
Jumlah tablet =
() ()
Volume injeksi =
()
. , /
Volume injeksi =
,/
. , /
Volume injeksi =
, /
. , /
Volume injeksi =
, /
4) CMC-Na
o Konsentrasi CMC-Na 1% b/v = 1gr/100ml = 10mg/ml
o Volume pemberian per-oral pada tikus 0,75-5mg/kg ( dipilih 1ml/kg) Pemberian
CMC-Na secara oral pada tikus :
i. BB 0,125 kg = 0,125 kg x 1ml/kg = 0,125ml
ii. BB 0,131 kg = 0,131 kg x 1ml/kg =
0,131ml
iii. BB 0,110 kg = 0,110 kg x 1ml/kg = 0,11 ml
iv. Total penggunaan CMC-Na = 0,366ml
o Larutan CMC-Na yang akan dibuat sebanyak 5ml. CMCNA yang dibutuhkan =
10mg/ml x 50 ml = 500 mg. Aquades yang ditambahkan ad 50 ml
5) Karagenan
o Konsentrasi karagenan 1% b/v = 1gr/100ml = 10mg/ml Karagenan yang akan di
injeksikan sebanyak 5mg.
2 0,28 0,02
3 0,45 -0,02
ẋ 0,313 0,017 ẋ= ẋ=
SD= SD=
2) Dexamethasone 4) Celecoxib
1) 1,67 – 1,1 = 0,57 1) 1,6 – 1,17 = 0,43
2) 1,49 – 0,98 = 0,51 2) 1,64 – 1 = 0,64
3) 1,7 – 1,23 = 0,47 3) 1,75 – 1,1 = 0,65
, , ,
Rata-rata = , , ,
= 0.517 Rata-rata = = 0,573
CMC Na
CMC Na →merupakan control negatif
,
Rata-rata × = - 27 %
3. x 100% = - 49% SD =
,
,
Rata-rata ×= - 46%
SD = Celecoxib
,
1. x 100% = - 12 %
,
,
2. x 100% = - 13 %
,
,
3. x 100% = - 9 %
,
Rata-rata × = - 11 %
SD =
H. PEMBAHASAN
Metode yang digunakan untuk membandingkan efek antiinflamasi dalam percobaan ini
adalah metode induksi udem pada kaki tikus yang menggunakan larutan karagenin 1% b/v
sebagai pembentukan udem. Karagenin adalah suatu polisakarida sulfat yang berasal dari
tanaman Chondrus Crispus. Pembentukan udem oleh karagenin tidak menyebabkan
kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur akan
berkurang dan setelah 24 jam menghitung tanpa meninggalkan bekas.
Praktikum dimulai dengan menimbang bobot tikus dan diberikan tanda pada masing-
masing tikus. Setelah diketahui BB tikus maka dilakukan perhitungan volume pemberian.
Tiap tikus dari masing-masing kelompok diukur volume normal kaki tikus secara konsisten
pada bagian belakang dengan dicelupkan ke dalam cairan raksa pada alat plestimometer.
Kemudian, di injeksikan larutan karagenin 1% b/v sebanyak untuk dosis 5mg secara
intraplantar pada kaki tikus semua kelompok. Setelah 15 menit, ukur kembali kaki tikus yang
telah diberi perlakuan. Selanjutnya, kepada masing-masing kelompok uji diberi perlakuan
secara per oral dengan ketentuan, kelompok I sebagai control negatif diberikan larutan CMC
Na sesuai perhitungan. Kelompok II, III, IV diberikan masing – masing obat dexamethasone,
asetosal, dan celecoxib sesuai dengan perhitungan. Setelah 15 menit, perubahan volume
cairan dicatat. Pengukuran dilakukan setiap 15 menit selama 90 menit.
Hasil praktikum dilihat dari tabel 1, dimana kelompok I diberikan control negatif yaitu
CMC Na. Menurut literatur tikus yang diberikan CMC Na seharusnya mengalami
peningkatan volume udem, peningkatan udem disebabkan karena tidak adanya obat
antiinflamasi di dalam tubuh tikus sehingga proses peradangan tidak terhambat. Hasil
praktikum kami tidak sesuai dengan literatur. Tabel 1 menjelaskan bahwa volume udem kaki
pada 3 tikus mengalami penurunan udema pada menit ke 75. Hasil praktikum kami tidak
sesuai dengan literatur, disebabkan karena cara pemberian subplantar karagenin pada telapak
kaki tikus yang masih salah sehingga karagenin yang bertindak sebagai penginduksi
inflamasi tidak bekerja dengan baik dan cepat pada telapak kaki tikus, kesalahan lain pada
saat pencelupan kaki tikus ke dalam alat pletismograf, volume air raksa ada yang hilang
dikarenakan kaki tikus bergerak-gerak. Volume tersebut tidak dihitung sehingga
menyebabkan kekeliruan dalam pembacaan tinggi cairan. Selain itu, hal ini disebabkan
karena sebelum penyuntikan praktikan belum menandai kaki tikus sehingga dalam
pencelupan kaki tikus terjadi perbedaan kedalaman (ada yang tidak terlalu dalam
mencelupkan kaki tikus ke cairan). Kemungkinan lainnya juga bisa disebabkan karena
pembacaan tinggi air raksa yang tidak tepat oleh praktikan dan juga seharusnya tidak ada
nilai negative pada hasil perhitungan persentase peradangan karena ini menandakan bahwa
volume awal (Vo) yang dipakai bukanlah volume yang sebenarnya yang kemungkinan
disebabkan oleh tidak tepatnya pengukuran cairan volume udem kaki tikus.
Hasil praktikum dilihat dari tabel 1, dimana kelompok II, III, dan IV diberikan kontrol
positif yaitu obat antinflmasi (dexametasone, acetosal dan celecoxib). Hasil praktikum pada
kelompok tikus yang diberikan obat dexametasone dapat dilihat pada tabel 1, efek penurunan
udem terjadi pada menit ke-60, sedangkan menurut literature onset dexamethasone hanya
dalam beberapa menit sampai setengah jam, tergantung pada indikasi dan rute administrasi.
Sedangkan durasi pada dexamethasone berlangsung selama 36 – 54 jam. Onset
dexametashone pada literature yang kami dapatkan yaitu 30-60 menit sedangkan pada
praktikum yang kami lakukan onset penurunan udema terjadi pada menit ke 60. Onset obat
dexamethasone pada jurnal dan praktikum yang kami lakukan hampir sama, dengan
mengalami penurunan volume udema pada menit ke 60.
Sedangkan onset pada asetosal secara per oral 15 menit dan durasi berlansung selama
4-6 jam dari literatur yang kami gunakan dan hasil praktikum yang kami lakukan onset
kerjanya berbeda tidak sesuai dengan literatur yang seharusnya menunjukan efek penurunan
udema pada kaki tikus pada menit 15,sedangkan yang kami dapatkan itu penurunan pada
volume udema kaki tikus baru terlihat pada menit ke 60 berdasarkan dari data tabel 1. Yang
menyebabkan hasil atara literatur dan hasil praktikum berbeda, kemungkinan di sebabkan
karena tikus yang kami gunakan untuk praktikum mengalami stress dan pemberian obat
pada tikusnya masih dalam keadaan stress yang mengakibatkan efek obat atau onset obat
terjadi pada menit ke 60 pada saat tikus sudah mulai tenang. Dan baru muncul terjadinya
penurunan volume udema pada kaki tikus .
Dan onset pada celexocib secara per oral mencapai konsentrasi puncaknya dalam
waktu 3 jam dengan durasi 11 jam.( finkel.at .all 2009) Dari literature yang kami gunakan
dan hasil praktikum yang kami lakukan onset kerjanya berbeda tidak sesui dengan literatur
yang seharusnya menunjukan efek enurunan udema pada kaki tikus pada menit 180
sedangkan yang kami dapatkan itu penurunana pada volume udem kaki tikus terlihat pada
menit ke 90 berdasarkan dari tablel 1,yang menyebabkan hasil onset penurunan volume
udem Antara literature dan hasil pada praktikum berbeda yaitu onset yang terjadi lebih
cepat pada praktikum di bandingkan pada literature,mungkin disebabkan oleh keadaan tikus
yang kami gunakan dalam keadaan yang tidak stes dan jumlah pemberian dosis obatnya tepat.
Hasil percobaan dari tabel 2 menjelaskan dexametasone menurunkan rata volume
udem sebesar 46 %, di bandingkan 2 obat lainnya dexametasone memiliki efek yang sangat
kuat. Hasil percobaan kami sesaui dengan literature, yaitu deksametason termasuk ke
golongan obat anti inflamasi kortikosteroid yaitu long acting glukokortikoid, obat ini
memiliki aktivitas antiinflamasi sebesar 30 (Katzung, 2012). Disisi lain efek antiinflamasi
yang poten dari dexametasone berasal dari mekanisme kerjanya yaitu dexamethasone
menghambat pelepasan asam arakidonat, modulasi substansi yang berasal dari metabolisme
asam arakidonat dan pengurangan jumlah 5-HT3. Deksametason juga menghambat sintesis
enzim siklooksigenasi 1 dan 2 akan menekan produksi prostaglandin yang berfungsi sebagai
mediator inflamasi dan nyeri pada kaki hewan uji.
Hasil praktikum pada klp tikus yang diberikan acetosal dan celocoxib (tabel 2),
acetosal rata menurunkan volume udem sebesar 27% sedangkan celecoxib menurunkan rata
volume udem 11 %. Hasil praktikum kami di dapatkan bahwa asetosal lebih baik dalam
menurunkan volume udem , tetapi menutrut literature celexocib lebih baik dalam
menurunkan volume udem .
Celecoxib adalah obat golongan COX-2 inhibitor (coxib) merupakan suatu inhibitor
kompetitif bekerja dengan cara obat yang menyerupai substrat tersebut berikatan dengan
enzim COX-2 sehingga tidak terbentuk prostasiklin dan prostaglandin yang merupakan suatu
mediator nyeri. Obat ini bekerja selektif menghambat COX-2 saja , dimana COX-2
merupakan pusat mediator inflamasi sehingga efek anti inflamasi celexocib lebih baik dari
acetosal (Marpaung dkk.,2011).
Rochman, Muhamad Abdul. 2014. Jurnal Media Medika Muda Pengaruh Induksi
Ketamin Dosis2 mg/Kgbb danDeksametason Dosis 0,2 Mg/Kgbb Intravena
Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar. Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Rahmadanita, Fathia Faza,. Sumarno. Kajian Pustaka Efek Samping Aspirin: Aspirin-
Exacerbated Respiratory Disease (AERD). Pharmaceutical Journal Of
Indonesia. 2019;5(1):4-7.
Handoko, A; dkk. Perbandingan Kekuatan Biomekanik Penyembuhan Fraktur Tibia
Wista Pada Pemberian Ibuprofen dan Celecoxib.The Journal of Indonesian
Orthopaedic. 2011; 39(2): 101-102.
Audina, Mia,.Yuliet,. Khaerati, Khildah.Efektivitas Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun
Sumambu (Hyptis Capitata Jacq) Pada Tikus putih Jantan (Rattus Norvegicus L.)
Yang Diinduksi Dengan Karagenan. Biocelebes. 2018; 12(2): 17-23.
Erlangga, M. Erias,. Sitanggang, Ruli Herman,. Bisri, Tatang. Perbandingan Pemberian
Deksametason 10 mg dengan 15 mg Intravena sebagai Adjuvan Analgetik
terhadap Skala Nyeri Pascabedah pada Pasien yang Dilakukan Radikal
Mastektomi Termodifikasi.Jurnal Anestesi Perioperatif. 2015; 3(3): 146 – 154.
Sugiarti, Lilis,.Hutagaol, Ricson P. Analisis Senyawa Golongan Kortikosteroid Sintetik
(Deksametason Dan Prednison) Dalam Jamusecara Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT).Analisis Senyawa Golongan Kortikosteroid Sintetik. 2012; 2(1):
1 – 11.
Agustina, Irenne. 2015. UJI ANTIINFLAMASI. Purwokerto. Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.
Wahyudi, Van Discaveri,. Gunardi. Daya Analgetik Ekstrak Daun Alpukat (Persea
gratissima, Gaerin F) terhadap Mencit Balb /C dengan Metode Induksi Nyeri
Secara Kimia. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi Journal of Scientific and Applied
Chemistry. 2008; 11(1): 6 – 10.
Marpaung, Blondina. The Role Of Celecoxib In Inflammatory Pain. Proceeding Book
Rheumatology. 2011; Hal 104 -113.
Nuzul Wahyuning Diyah. Docking molekul dan sintesis turunan asam benzoil salisilat
tersubstitusi klor sebagai penghambat siklooksiginase-2. Berkala ilmiah kimia
farmasi. 2014 ; Vol 3 No 2 Hal 7-15.
Siti Nadhira Indah Putri Isngadi. 2018. Evaluasi Penggunaan Obat NSAID Pada Pasien
Osteoarthritis Rawat Jalan di RS TNI AD Robert Wolter mongisidi manado.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Maulana
Maliki Ibrahim Malang.