Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II

PERCOBAAN IV

“UJI TOKSISITAS AKUT”

KELOMPOK IV D3 FARMSI 2019

ANGGOTA:

1. NI WAYAN ESSA FERNANDA P (192023)


2. I GST NGURAH PT PREMA C P (192024)
3. NI MADE AYU WULAN ANITA G (192025)
4. NI KADEK DEDE NOVITA D (192026)
5. NI KOMANG AYU JULIANTARI (192027)
6. NI LUH AYU CANDRA WIDNYANI (192028)
7. NI PUTU NOVI CANTIKA DEWI (192029)
8. NI MADE AYU DIAH PUSPANI (192030)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FARMASI


SEKOLAH TINGGI FARMASI MAHAGANESHA
2021-2022
A. JUDUL PERCOBAAN
Percobaan 4. Uji Toksisitas Akut

B. TUJUAN PERCOBAAN
Mengevaluasi manifestasi gejala toksisitas akut pada hewan uji yang dipejankan senyawa
kimia atau obat dengan dosis berdasarkan nilai LD50.

C. SENYAWA YANG DIUJI TOKSISITASNYA


1. Sifat fisika kimia atropin sulfat
Atropin berasal dari alkaloid belladonna, atropin adalah gabungan L-isomer dan
D-isomer hiosiamina. Rumus kimia atropin adalah C17H23NO3. Dengan berat
molekul 289,38 g/mol. Hidrolisis terjadi pada pH minimal 3,5. Atropin bila
dipanaskan akan mengeluarkan asap nitrogen oksida yang beracun. Konstanta
disosiasi asam atau pKa-nya (ukuran ketahanan terhadap asam) adalah 9,8.

Pemerian Atropin adalah obat berbentuk bubuk kristal berwarna putih


atau kristal berbentuk seperti jarum yang tidak berbau dan
berasa pahit.

Kelarutan Sangat mudah larut dalam air; mudah larut dalam etanol,
terlebih dalam etanol mendidih, mudah larut dalam gliserin.

Titik leleh 118,5 °C

Titik lebur Tidak lebih rendah dari 187o ; lakukan penetapan setelah
dikeringkan pada suhu 120o selama 4 jam.

(Catatan: Atropin Sulfat anhidrat bersifat higroskopis, setelah


dikeringkan segera masukkan ke dalam pipa kapiler; dan
segera lakukan penetapan suhu lebur).

Penyimpanan Atropin sensitif terhadap cahaya, sebaiknya disimpan


pada suhu ruang, dan jangan sampai membeku (penyimpanan
tidak dibawah suhu 29 °C).
2. Farmakodinamik atropin sulfat
Atropin digunakan untuk mengatasi kontraksi atau kejang otot pada
perut, kandung kemih, usus, dan saluran empedu. Obat ini juga digunakan untuk
mengatasi kolitis, divertikulitis, irritable bowel syndrome, mengurangi produksi
cairan tubuh seperti asam lambung, mengurangi produksi air
liur dan keringat berlebih, stabilisasi denyut jantung selama proses operasi, dan
digunakan untuk mengobati keracunan pestisida golongan organofosfat.

3. Farmakokinetik atropin sulfat

Absorsi Alkaloid alami dan hampir semua obat muskarinik


tersier bisa di absorpsi dengan baik melalui usus dan
melewati membran konjuctiva, tetapi senyawa dalam
bentuk kuartener kurang larut dalam lemak dan sulit di
absorpsi.
Distrubusi Atropin dan obat tersier setelah diabsorpsi
didistribusikan secara luas. Kadar mencapai SSP dalam
waktu 30 menit-1 jam
Metabolisme dan Dimetabolisme di hati. Atropin menghilangkan dengan
eksresi cepat dari darah setelah obat diberikan, dengan waktu
paruh 2 jam, sekitar 60% dari dosis yang diberikan akan
dieksresi tanpa diubah di dalam urine, sedang sebagian
sisanya terdapat dalam urine sebagai hasil hidrolisis dan
konjugasi. Efek pada iris dan otot silier bertahan sampai
72 jam atau lebih.

4. Mekanisme kerja atropin sulfat


Atropin sulfat merupakan golongan obat antagonis reseptor muskarinik, bekerja
dengan cara berikatan pada reseptor muskarinik sehingga mencegah ACh (asetilkolin)
mengikat dan mengaktifkan reseptor. Dengan memblokir aksi ACh, antagonis
reseptor muskarinik sangat efektif memblokir efek aktivitas saraf vagal
5. Dosis dari atropin sulfat
Berdasarkan farmakope Indonesia edisi III hal 961

Dosis lazim dewasa Dosis maksimum dewasa


Sekali Sehari Sekali Sehari
0,25mg – 0,5mg - 1mg 3mg

6. Efek samping dari atropine sulfat


1. Pada mata yaitu midriasis (dilatasi pupil), tidak bereaksi terhadap cahaya dan
siklopegia
2. Pada sistem kemih mengurangi keadaan hipermotilitas kandung kemih. dipakai
untuk kasus enuresis
3. Pada gastrointestinal (GI) yaitu Antispasmodik, motilitas (gerakan usus)
dikurangi, mempercepat penyembuhan ulkus peptikum
4. Pada kardiovaskuler dengan dosis rendah efek bradikardia, dosis tinggi, efek
takikardia.
5. Sekresi kelenjar saliva, kelenjar keringat dan kelenjar air mata juga terganggu.
Hambatan sekresi pada kelenjar keringat menyebabkan suhu tubuh meningkat.

D. PEMBAWA OBAT
Pelarut yang digunakan hanya Aquadest

E. HEWAN UJI
Tikus putih (Rattus norvegicus) betina galur Wistar atau Sprague-Dawley dipilih dengan
berat ±150 – 250 gram. Jumlah tikus yang digunakan 8 ekor dan usia tikus ±6-12 bulan
Hewan coba diberikan pakan normal konsentrat dan minum air serta ditempat pada
kandang yang bersih.

F. KONDISI UJI
Pada percobaan ini terdapat 2 kelompok uji yaitu kelompok kontrol yang diberikan
aqudest 5 ml/kg, dan kelompok obat yang diberikan atropin sulfat secara peroral setengah
dosis LD50. Bentuk sediaan yang dipejankan kepada tikus berbentuk larutan yang
diberikan melalui rute peroral. LD50 atropin sulfat yaitu 750 mg/kgBB, karena dosis
pemberian senyawa uji sejumlah setengah dari LD50, maka dosis atropin sulfat untuk ½
LD50 adalah 375 mg/kg BB. Larutan atropin sulfat yang digunakan memiliki konsentrasi
adalah 75 mg/ml.
Perhitungan dosis dan volume pemberian:
a. Kelompok 1 kontrol aquadest

Berat badan kelompok


kontrol (aquadest)
152 g (0,152 kg)
155 g (0,155 kg)
162 g (0,162 kg)
157 g(0,157 kg)

Aquadest (P.O) 5 ml/kg


Volume pemberian
1. BB 0,152 kg = 5 ml/kg x 0,152 kg
= 0,76 ml
2. BB 0,155 kg = 5 ml/kg x 0,155 kg
= 0,78 ml
3. BB 0,162 kg = 5 ml/kg x 0,162 kg
= 0,81 ml
4. BB 0,157 kg = 5 ml/kg x 0,157 kg
= 0,79 ml

b. Kelompok 2 atropin sulfat


Perhitungan LD50 Atropin Sulfat dengan metode Weil
Diketahui:

Tingkatan dosis Jumlah tikus yang Jumlah kematian


diuji tikus
250 mg/kg 6 0
750 mg/kg 6 3
2.250 mg/kg 6 6
6.750 mg/kg 6 6

Rumus : Log M = Log D + d (f+1)

M : LD50

D : dosis terkecil yang diberikan = 250 mg/kg

d : log kelipatan dosis = log 3

r-values : 0, 3, 6, 6

f : suatu faktor (tabel Weil ) = 0,00000

k : 4-1 = 3

n : jumlah hewan tiap tingkatan dosis = 6

Penyelesaisan :

Log LD50 = Log D + d (f+1)

= Log 250 + Log 3 (0,00000 +1 )

= 2,398 + 0,477 . 1

= 2,875

LD50 = Antilog 2,875 = 749,89 mg/kg = 750mg/kg

Perhitungan dosis dan volume pemberian atropin sulfat

Berat badan kelompok obat


(Atropin sulfat)
166 g (0,166 kg)
165 g (0,165 kg)
164 g (0,164 kg)
163 g (0.163 kg)
Atropin Sulfat

 LD50 Atropin sulfat = 750 mg/kg

½ LD50 Atropin sulfat = 375 mg/kg

 Konsentrasi larutan = 7,5 % b/v


= 7500 mg / 100 ml
= 75 mg/ml
 Volume injeksi

Rumus = Vol injeksi (ml) =

BB Tikus ( kg ) x Dosis Tikus ( mgkg )


mg
konsentrasilaru tan ( )
0,166 kg xml375 mg/kg
1. BB tikus 0,166 kg =
75 mg/ml
= 0,83 ml

0,165 kg x 375 mg/kg


2. BB tikus 0,165 kg =
75 mg/ml
= 0,83 ml

0,164 kg x 375 mg/kg


3. BB tikus 0,164 kg =
75 mg/ml
= 0,82 ml
0,163 kg x 375 mg/kg
4. BB tikus 0,163 kg =
75 mg/ml
= 0,82 ml

 Jumlah obat = 75 mg/kg x 5 ml


= 350 mg
Jadi untuk membuat 5 ml larutan dibutuhkan atropin sulfat sebanyak 350 mg
350 mg
 Jumlah tablet = = 750 tablet
0,5 mg

G. HASIL PERCOBAAN
Tabel 1. Volume pemberian

Kelompok uji Replikasi Berat badan Volume


(gram) pemberian
(ml)
Kontrol I 152 0,76
(aquadest) II 155 0,78
III 162 0.81
IV 157 0,79
Atropin sulfat I 166 0,83
II 165 0,83
III 164 0,82
IV 163 0,82

Tabel 2. Onset dan gejala toksik yang muncul dari pemberian atropin sulfat
Hewan uji 1 (166g) Hewan uji 2 (165g)
Onset Gejala toksik yang Onset Gejala toksik yang
gejala terjadi gejala terjadi
(menit) (menit)
0-30 Tidak timbul gejala 0-30 Tidak timbul gejala
35 Mata berair 40 Midriasis
45 Penurunan aktivitas 48 Penurunan aktivitas
(diam) (diam)
65 Edema 68 Somnolence
76 Diare 80 Mata berair
100 Hiper urinasi 92 Diare
117 Somnolence 114 Kehilangan kesadaran

Hewan uji 3 (164g) Hewan uji 4 (163g)


Onset Gejala toksik yang Onset gejala Gejala toksik yang
gejala terjadi (menit) terjadi
(menit)
0-30 Tidak timbul gejala 0-30 Tidak timbul gejala
42 Penurunan aktivitas 34 Somnolence
(diam)
54 Midriasis 47 Mata berair
64 Kulit kemerahan 63 Diare
85 Diare 74 Penurunan aktivitas
(diam)
95 Hiper urinasi 100 Somnolence
117 Kehilangan 114 Kematian
kesadaran

H. PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI HASIL


Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk menetapkan potensi toksisitas
akut LD50, menilai gejala toksik, dan spektrum efek toksik dengan memberikan suatu
senyawa pada hewan uji dengan dosis tunggal serta dilakukan pengamatan selama 24 jam
(Chinedu et al., 2013). Metode yang digunakan untuk uji yang dilakukan adalah metode
uji toksisitas akut oral dengan mengelompokkan beberapa kelompok dosis yang
ditetapkan yaitu 250 mg/kg, 750 mg/kg, 2.250 mg/kg, dan 6.750 mg/kg BB tikus dengan
6 hewan uji pada tiap tingkatan dosisnya. Uji pendahuluan dilakukan sebelum uji utama
untuk menentukan dosis awal dengan satu hewan uji pada tiap dosis. Metode ini
memberikan informasi mengenai senyawa berbahaya (hazardous) dan senyawa tersebut
dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dari Globally Harmonised System (GHS).
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih. Hewan ini dipilih karena murah mudah
didapat, dan mudah ditangani.
Praktikum uji toksisitas akut bertujuan agar mahasiswa dapat mengevaluasi
manifestasi gejala toksisitas akut pada hewan uji yang dipejankan senyawa kimia atau
obat dengan dosis berdasarkan nilai LD50. Adapun obat yang digunakan adalah Atropin
Sulfat. Atropin Sulfat merupakan obat golongan antikolinergik yang mempunyai
mekanisme memblok reseptor muskarinik (Saputri, dan Dewi Saryani, 2016). Obat
antikolinergik bekerja pada reseptor muskarinik dalam sistem saraf pusat dan perifer
dengan menghambat respon asetilkolin secara kompetitif (Kersten, 2014).
Pada praktikum ini menggunakan Kelompok kontrol yang diberikan aquadest
dengan volume pemberian sesuai dengan berat badan. Hewan uji pada kelompok ini tidak
menimbulkan gejala toksik apapun, karena berfungsi sebagai kontrol negatif yang
dijadikan pembanding untuk melihat efek toksik yang timbul pada kelompok obat atropin
sulfat yang menggunakan aquadest sebagai pelarutnya.
Pengamatan uji toksisitas akut dilakukan selama 120 menit setelah pemberian
obat dengan mengamati gejala-gejala toksik yang muncul. Hasil pengamatan pada uji
toksisitas akut ini dapat dilihat pada tabel. Jika dilihat dari pengamatan klinis pada okuler
gejala toksik yang terjadi yaitu mata berair pada hewan uji 1 pada menit ke-35 , hewan
uji 2 pada menit ke-80 dan hewan uji 4 pada menit ke-47 sedangkan hewan uji 3 tidak
terjadi gejala toksik mata berair. Untuk gejala toksik midriasis pada tikus 2 terjadi menit
ke- 40 dan tikus 3 dimenit ke- 54 , sedangkan pada tikus 1 dan 2 tidak mengalami
midriasis. Menurut Literatur Midriasis adalah dilatasi pupil, dapat terjadi karena faktor
fisiologis dan nonfisiologis. Penyebab midriasis non fisiologis adalah suatu penyakit,
trauma atau penggunaan obat-obatan. Terdapat 2 jenis otot yang mengatur perubahan
ukuran dari iris yaitu sfingter iris dan iris dilator. Sfingter iris dipersarafi oleh
parasimpatis dan iris dilator dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Stimulasi simpatis dari
reseptor adrenergik menyebabkan kontraksi otot radial sehingga pupil menjadi dilatasi.
Stimulasi parasimpatis menyebabkan kontraksi otot sirkular (melingkar) sehingga pupil
konstriksi (menyempit). (Shirzadi K, Amirdehi R.A., Makateb A., Sharaki K.,
Khosravifard K., 2015).
Pada aktivitas motorik perubahan frekuensi dan kebiasaan gerakan terjadi gejala
penurunan aktivitas yaitu gejala toksik yang terjadi adalah penurunan aktivitas (diam)
pada tikus 1 terjadi dimenit ke- 45, tikus 2 dimenit ke -48, tikus 3 dimenit ke-42 , dan
pada tikus ke 4 yaitu pada menit ke-74. Dan mengalami somnolence pada tikus 1 dimenit
ke-117 , tikus 2 dimenit ke-68 dan tikus 4 dimenit ke-34 dan 100. Sedangkan pada tikus
ke 3 tidak mengalami somnolence. Somnolence yaitu keadaan mengantuk dan cenderung
tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban
secara verbal, namun mudah tertidur kembali (Singhal, 2014).
Pengamatan klinis pada kulit terjadi edema pada tikus 1 pada menit ke-65
sedangkan tikus 2, 3, dan 4 tidak mengalami edema. Edema merupakan pembengkakan
lokal yang dihasilkan oleh cairan dan beberapa sel yang berpindah dari aliran darah ke
jaringan interstitial (Robbins et al, 2015). Edema adalah salah satu tanda adanya
inflamasi. Untuk gejala toksik kulit kemerahan terjadi pada tikus 3 dimenit ke-64
sedangkan pada tikus 1, 2, dan 4 tidak menimbulkan gejala. Kemerahan pada kulit dapat
disebabkan oleh peningkatan jumlah hemoglobin jenuh, peningkatan diameter atau
jumlah sebenarnya dari kapiler kulit, atau kombinasi dari faktor-faktor ini (Wolff et al,
2008). Kemerahan pada kulit dapat terjadi karena iritasi kulit, alergi, dan bakteri.
(Djuanda & Sularsito, 2007).
Pada tanda gastrointestinal (GI) terjadi gejala diare pada tikus 1 dimenit ke-76 ,
tikus 2 dimenit ke-92, tikus 3 dimenit ke-63. Diare didefinisikan sebagai peningkatan
volume atau fluiditas feses, perubahan konsistensi, dan peningkatan frekuensi buang air
besar. WHO mendefinisikan diare sebagai bagian dari feses yang cair atau berair
setidaknya tiga kali dalam jangka waktu 24 jam (Thapar et al., 2004). Gangguan motilitas
usus yang mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan
air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa
(asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih),
hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah (Zein dkk, 2004). Untuk gejala toksik hiper
urinasi terjadi pada tikus 1 dimenit ke-100, dan tikus 3 pada menit ke-95 , sedangkan
tikus 2 dan 4 tidak mengalami hiper urinasi. Hiper urinasi adalah keadaan dimana terjadi
pengeluaran urine (air seni) yang berlebihan
Gejala toksik berupa hilang kesadaran terjadi pada 2 hewan uji yaitu tikus 2
dimenit ke-114 dan tikus 3 pada menit ke-117 sedangkan pada tikus 4 mengalami
kematian pada menit ke-114

REKAPITULASI EFEK TOKSIK YANG PALING SERING TERJADI


4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
) re e r i a
m a nc ra
i s is as an em an an
di
a Di le be ria rin dar
Ed rah ati
s( no a id r u s a e m
a m at M pe ke em Ke
ti vit So M Hi g tk
ak an li
Hi
l Ku
an
run
nu
Pe

Tabel gejala toksik dan organ yang terlibat

Sistem organ yang Gejala toksik


terlibat
SSP, indra, Penurunan aktivitas (diam)
neuromuscular ,otonom
Gastrointestinal Diare
Pusat tidur SSP Somnolence (kelihatan mengantuk)
Okuler (otonom) Mata berair
Okuler (otonom) Midriasis
Gastrointestinal Hiper urinasi
SSP Hilang kesadaran
Kulit Edema
Kulit Kulit kemerahan
SSP Kematian

Dari grafik dan tabel diatas dapat dilihat seberapa sering gejala toksik tersebut
terjadi pada hewan uji dan organ apa saja yang terlibat. Berikut merupakan urutan dari
gejala toksik yang sering muncul hingga gejala yang jarang muncul pada hewan uji:

1. Penurunan aktivitas (diam) terjadi pada keempat hewan uji


2. Diare terjadi pada keempat hewan uji
3. Somnolence terjadi pada hewan uji 1, 2, dan 4 (terjadi 2 kali)
4. Mata berari terjadi pada hewan uji 1, 2, dan 4
5. Midriasis terjadi pada hewan uji 2 dan 3
6. Hiper urinasi terjadi pada hewan uji 1 dan 3
7. Hilang kesadaran terjadi pada hewan uji 2 dan 3
8. Edema hanya terjadi pada hewan uji 1
9. Kulit kemerahan hanya terjadi pada hewan uji 3
10. Kematian hanya terjadi pada hewan uji 4

rekapitulasi toksisitas dari yang tercepat ke terlambat

114

100
117
74
95
63
85 114
47 64 92
34 54 80
68
42 117
48 100
40 65 76
35 45
0

hewan uji 4 hewan uji 3 hewan uji 2 hewan uji 1


Dari grafik diatas menunjukkan bahwa, onset gejala toksik tercepat terjadi pada
hewan uji ke-4 dengan gejala awal yang timbul berupa somnolence pada menit ke-34
hingga pada menit ke-114 menimbulkan kematian pada hewan uji. Sedangkan yang
menunjukkan onset gejala toksik terlambat yaitu pada hewan uji ke-3 dengan gejala awal
yang timbul berupa penurunan aktivitas (diam) pada menit ke-42 hingga pada menit ke
117 menimbulkan hilangnya kesadaran pada hewan uji.

Tabel perbandingan dosis atropin sulfat

Dosis lazim dewasa Dosis maksimum dewasa Dosis pada


Sekali Sehari Sekali Sehari
percobaan
0,25mg – - 1mg 3mg 375mg/kg
0,5mg

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dosis yang diberikan pada hewan uji sangat
jauh berbeda dengan dosis lazim dan dosis maksimum dari atropin sulfat. Hal ini
menandakan bahwa dosis pemberian atropin sulfat pada percobaan sudah cukup tinggi
untuk memberikan efek atau gejala toksik yang terjadi, seperti pada hasil pengamatan
yang telah dilakukan hingga berakibat pada kematian hewan uji.
I. KESIMPULAN
Dari reaksi yang ditimbulkan oleh hewan uji dapat disimpulkan bahwa pemberian
obat Atropin Sulfat pada tikus putih (Rattus norvegicus) betina memberikan beberapa
efek toksisitas, yaitu pada oculer (mata berair dan midriasis), aktivitas motorik perubahan
frekuensi dan kebiasaan (somnolence, dan penurunan aktivitas (diam), pada kulit (edema
dan kulit kemerahan), pada tanda gastrointestinal (diare dan hiperurinasi), dan
menyebabkan kehilangan kesadaran dan kematian.

J. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(2007). Farmakologi & Terapi. Edisi 5. Jakarta.
Djuanda S, dan Sularsito SA. 2007. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda A(Ed.), Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke- 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Katzung B.G., Masters S.B., and Trevor A.J. (2012). Basic & Clinical Pharmacology.
San Francisco: Mc Grew Hill Companies Inc.
Kersten H, Wyller TB. 2014. Anticholinergic Drug Burden in Older People’s Brain -How
well is it Measured. Basic Clin Pharmacol Toxicol; 114(2):151-159
Mycek, Mary J., et al. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. EGC. Jakarta
Saputri, Fadlina Chany dan Dewi Sriyani. 2016. Pengaruh Pemberian Minyak Atsiri
Daun Kemangi (Ocimum americanum L.) Terhadap ~ Motilitas Usus Mencit
Putih Jantan. Vol.3 Nomor 1. Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
Shirzadi K, Amirdehi RA, Makateb A, Sharaki K, Khosravifard K. 2015. Studying the
Effect of Tropicamide Various Concentrations on Routine Dilation of the Pupil.
Biomed. & Pharmacol; Vol. 8(2), 885-889.
Singhal NS, Josephson SA. 2014. A Practical Approach to Neurologic Evaluation in The
Intensive Care Unit. J Crit Care; 29(4): 627-33.
Thapar, N & Sanderson, I., 2004. Diarrhoea in children: an interface between developing
and developed countries. The Lanced; Vol. 363, p.641.

Anda mungkin juga menyukai