Disusun oleh :
Kelas A
FAKULTAS FARMASI
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin menjadi lebih
banyak frekuensi dan kuantitasnya. Jika pada peningkatan ekskresi air terjadi juga ekskresi
garam garam, maka diuretika ini disebut natriuretika atau saluretika.
Diuretik lengkung henle bekerja di sel-sel tubuli dengan merintangi transport Cl dan
reabsorbsi Na sehingga pengeluaran K dan air diperbanyak. Furosemid merupakan obat
diuretik kuat, terutama diberikan pada penderita hipertensi. Pada pemberian secara oral,
hanya sekitar 60% obat yang terabsorpsi.
Diuretik golongan tiazid bekerja dengan menghambat transport NaCl dalam distal
convoluted tubule (DTC). Korteks ginjal mempunyai reseptor yang berafinits tinggi mengikat
tiazid yang terdapat di DTC.
Diuretik hemat kalium adalah senyawa yang mempunyai aktivitas natriuretik ringan
dan dapat menurunkan sekresi ion H dan K . Senyawa tersebut bekerja pada tubulus distalis
dengan memblokir penukaran Na dengan H dan K , menyebabkan retensi K dan
meningkatkan sekresi Na dan air. Aktivitas diuretiknya relatif lemah, biasanya diberikan
bersama-sama dengan diuretik tiazida.
BAB III
ALAT, BAHAN, DAN METODE KERJA
Kel Tikus ke BB
I 250 g
I
II 280 g
V 250 g
III
VI 260 g
Perhitungan :
Kelompok 1 : CMC Na 1 %
1. Tikus dengan berat badan 250 g volume yang diberikan sebanyak 0,5 ml secara Per
Oral
2. Tikus dengan berat badan 280 g volume yang diberikan sebanyak 0,5 ml secara Per
Oral
Kelompok 1 : CMC Na 1%
1. Persentase volume kumulatif urine yang diekskresikan:
Volume urine yang diekskresikan dalam waktu 2 jam
¿ x 100 %
Volume air yang diberikan per oral
2,9 ml
¿ x 100 %
5 ml
¿ 0,58 %
Pada praktikum kali ini, akan diamati efek dari obat-obatan diuretic terhadap tikus
yang diuji. Obat diuretic yang digunakan adalah furosemide dan spironolakton dan sebagai
perbandingan digunakan cmc na. untuk cmc na tidak perlu dihitung karena plasebo atau tidak
memberikan efek diuretic. Cmc na diberikan secara oral sebanyak 0,5 ml. sebelum praktik,
selama 12-16 jam tikus dipuasakan tidak diberikan makan hanya diberikan minum. Sebelum
pemberian obat, tikus diberikan air hangat sebanyak 5 ml secara oral meggunakan spuit 3 ml.
pemberian air hangat dilakukan untuk membuat tikus memiliki rasa ingin pipis.
Tikus uji dibagi menjadi 3 kelompok untuk membandingkan efek yang diberikan
oleh obat furosemide, spironolakton dan cmc na. Masing-masing kelompok terdiri dari 2
tikus. Obat diberikan secara peroral. Setelah itu tikus diletakkan dalam kandang atau wadah
diuresis yang ada corong untuk mengalirkan urin tikus. Wadah ditutup agar tikus tidak
kemana-mana. Efek diuretic diamati selama 120 menit. Urin yang keluar ditampung dan
dimasukkan ke dalam gelas ukur. Kemudian amati frekuensi diuresisnya.
Pada kelompok 1 tikus pertama dengan berat 250 g diberikan cmc na sebanyak 0,5
ml secara oral. Setelah diamati selama 120 menit, pada menit ke 40 urin keluar sebanyak 1
ml. kemudian pada menit ke 50 tikus mengeluarkan urin sebanyak 0,6 ml. pada menit ke 61
urin yang dikeluarkan sebanyak 0,3 ml. pada menit ke 94 urin yang dikeluarkan sebanyak 0,8
ml dan pada menit ke 120, urin yang dikeluarkan tikus sebanyak 0,2 ml. total urin yang
dikeluarkan oleh tikus pertama sebanyak 2,9 ml dengan potensi diuretiknya sebesar 58%.
Pada tikus kedua dengan berat 280 g diberikan cmc na sebanyak 0,5 ml secara oral. Setelah
diamati selama 120 menit, pada menit ke 36 urin keluar sebanyak 0,5 ml. kemudian pada
menit ke 49 tikus mengeluarkan urin sebanyak 0,2 ml. pada menit ke75 urin yang dikeluarkan
sebanyak 0,5 ml. pada menit ke 88 urin yang dikeluarkan sebanyak 0,7 ml. lalu dimenit ke
100 tikus kembali mengeluarkan urin sebanyak 0,5 ml dan pada menit ke 120, urin yang
dikeluarkan tikus sebanyak 0,2 ml. efek diuresis pada cmc na dalam 120 menit hanya
menghasilkan 2,6 ml urin dan memiliki potensi diuretika sebesar 52%. Cmc na bukanlah obat
yang memberikan efek diuretic karena potensi diuretic yang dimiliki hanya sebesar 52-58%
dari volume air yang diberikan dan tidak lebih dari 75%. Urin yang dikeluarkan tikus paling
banyak hanya 1 ml, itu disebabkan karena cmc na bukanlah obat diuretic yang dapat
memperbanyak keluarnya urin.
Pada kelompok 2 tikus pertama dengan berat 230 g diberikan furosemide 0,04%
sebanyak 1,035 ml secara oral. Setelah diamati selama 120 menit, pada menit ke 36 urin
keluar sebanyak 1 ml. kemudian pada menit ke 52 tikus mengeluarkan urin sebanyak 0,8 ml.
pada menit ke 67 urin yang dikeluarkan sebanyak 0,5 ml. pada menit ke 75 urin yang
dikeluarkan sebanyak 1,2 ml. tikus kembali mengeluarkan urin dimenit ke 84 sebanyak 1 ml.
di menit ke 96 dikeluarkan urin sebanyak 1 ml. pada menit ke 110 tikus kembali
mengeluarkan urin sebanyak 1,8 ml dan di menit 119 dikeluarkan urin sebanyak 2 ml. efek
diuresis pada furosemid dalam 120 menit menghasilkan 9,3 ml urin dan memiliki potensi
diuretika sebesar 186%. Tikus kedua dengan berat 279 g diberikan furosemide 0,04%
sebanyak 1,215 ml secara oral. Setelah diamati selama 120 menit, pada menit ke 39 urin
keluar sebanyak 1 ml. kemudian pada menit ke 50 tikus mengeluarkan urin sebanyak 0,5 ml.
pada menit ke 74 urin yang dikeluarkan sebanyak 0,8 ml. pada menit ke 89 urin yang
dikeluarkan sebanyak 1,5 ml. tikus kembali mengeluarkan urin dimenit ke 106 sebanyak 2
ml. dan di menit 120 dikeluarkan urin sebanyak 2,8 ml. efek diuresis pada furosemid dalam
120 menit menghasilkan 8,6 ml urin dan memiliki potensi diuretika sebesar 172%.
Pertanyaan tambahan :
1. Apa tujuan dilakukan pengujian efek diuretik?
2. Bagaimana mekanisme farmakologi obat yang digunakan dalam pengamatan sehingga
dapat memberikan efek diuresis pada tikus?
3. Berdasarkan hasil pada tabel pengamatan, tentukanlah efek diuretika pada masing-
masing sediaan uji (CMC-Na, Furosemide, dan Spironolakton) tersebut apakah positif
atau negatif memiliki efek diuretika!
4. Intepretasikan data hasil percobaan berdasarkan tabel pengamatan dan bandingkan
dengan teori yang ada !
Jawaban :
1. Tujuan dilakukannya pengujian efek diuretik ini adalah untuk mengetahui efek diuretik
dari obat furosemide dan spironolakton.
2. Mekanisme kerja furosemide, bekerja pada lapisan tebal loop henle ascenden di nefron
dengan mekanisme kerja menghambat transport aktif klorida ke kanal Na – K - 2Cl
yang akan menurunkan reabsorbsi natrium dan klorida sehingga menyebabkan
natriuresis dan klirens air bebas. Sementara mekanisme kerja spironolakton adalah
memblok ikatan aldosterone pada reseptor sitoplasma sehingga meningkatkan ekskresi
natrium dan menurunkan sekresi kalium.
3. Berdasarkan tabel pembahasan, obat cmc na memberikan hasil negatif tidak memiliki
efek diuretika. Sedangkan obat furosemide dan spironolakton memiliki hasil positif
memiliki efek diuretika.
4. Berdasarkan tabel percobaan, volume urin yang dihasilkan furosemide lebih banyak
dari spironolakton dan cmc na. volume urin yang dihasilkan spironolakton lebih banyak
daric mc na. itu karena cmc na tidak memberikan efek diuretic. Furosemide merupakan
diuretika yang kuat sedangkan spironolakton merupakan diuretika hemat kalium.
Sehingga volume urin yang dihasilkan oleh furosemide lebih banyak. Sementara cmc
na merupakan plasebo yang tidak memiliki efek diuretika.
BAB V
KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa furosemide merupakan diuretic
kuat yang menghasilkan efek diuretika dengan menghasilkan volume urin terbanyak.
Spironolakton merupakan diuretic yang hemat kalium. Furosemide dan spironolakton
memberikan efek diuretika kepada tikus yang diuji. Sementara cmc na tidak memberikan
efek diuretika kepada tikus yang diuji karena obat cmc na merupaka plasebo dan digunakan
hanya sebagai pembanding efek diuretika dipengujian kali ini.
Pada praktikum kali ini, volume urin kumulatif yang dihasilkan furosemide sekitar
8,6 – 9,3 ml. dengan potensi diuretika sebesar 172 – 186 % dari jumlah air yang berikan.
Volume urin kumulatif yang dihasilkan spironolakton sekitar 5,3 – 5,5 ml. dengan potensi
diuretika sebesar 110 – 146 % dari jumlah air yang diberikan. Sedangkan pada cmc na,
menghasilkan volume urin kumulatif sekitar 2,6-2,9 ml. dengan potensi diuretika sebesar 52-
58% dari jumlah air yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aryani, Silvia. 2015. Perbandingan metode suspense crushing suspension method dan
simple suspension method terhadap penurunan kadar spironolakton. Jakarta.
Ika dan Dzakwan. 2015. Uji Aktivitas Diuretik Ekstrak Daun Matoa (Pometia pinnata)
pada Tikus Jantan Galur Wistar Diuretic Activity of Pometia pinnata Leaves in Wistar
Male Rats. Surakarta.
Maulidza, muhaiminul. 2018. Uji aktivitas ekstrak etanol 70% daun zaitun sebagai
diuretik pada tikus putih jantan galur sprague-dawley. Jakarta.
Taint, ellies, dkk. 2005. Ketersediaan hayati dispersi padat furosemid dengan
polietilenglikol 4000 (PEG 4000) pada kelinci jantan. Yogyakarta.
Tim penyusun. 2018. Petujuk dan Paket Materi Praktikum Farmakologi. Institut Sains
dan Teknologi Nasional : Jakarta.
Yulinah, Elin, dkk. 2015. Efek Diuretik Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus
sabdariffa Linn.) pada Tikus Wistar Jantan”. Bandung.