Anda di halaman 1dari 37

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KAYU MANIS

(Cinnamomum burmannii) TERHADAP NEUROPATI DIABETIK PADA


TIKUS WISTAR HIPERGLIKEMI HASIL INDUKSI ALOKSAN

SKRIPSI

Oleh :
Budiono
NIM 112010101053

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan endokrin yang ditandai
dengan hiperglikemia dan perubahan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein.
Hal ini disebabkan oleh kekurangan produksi insulin oleh sel beta pankreas dan
penurunan sensitivitas insulin (Bisht & Sisodia, 2011). Data WHO menyebutkan
pasien diabetes melitus pada tahun 2011 dengan usia lebih dari 20 tahun mencapai
366 juta orang. Sedangkan Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan
prevalensi diabetes tertinggi di bawah China, India, USA, Brazil, Rusia dan
Meksiko (Unwin et al., 2012).
Komplikasi dari hiperglikemia dibagi menjadi komplikasi makrovaskuler
seperti penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah perifer dan
komplikasi mikrovaskuler seperti nefropati diabetik, neuropati, dan retinopati
(Fowler, 2008). Neuropati adalah komplikasi yang paling umum dari diabetes
melitus (DM), hal ini terjadi pada 60% pasien dan mempengaruhi kualitas hidup.
Gejala klinis yang terkait dengan neuropati diabetik antara lain hiperalgesia,
parestesia dan nyeri spontan yang dapat menjalar dari jari kaki ke kaki hingga
tungkai dan dapat juga terjadi pada jari-jari dan tangan (Farmer et al., 2012).
Penanganan diabetes melitus meliputi pembatasan kalori, olahraga teratur,
gaya hidup, dan pemberian antidiabetes oral, tetapi penggunaan klinis obat
antidiabetes biasanya disertai dengan efek samping seperti perut tidak nyaman,
hipoglikemia berat, asidosis laktat, dan edema perifer (Niu, 2014). Oleh karena
itu, pencarian antidiabetes baru dengan efektivitas yang lebih baik dan efek
samping yang lebih rendah terus dikembangkan, diantaranya melalui efek
antidiabetes dari beberapa tanaman obat yang telah didukung oleh hasil dari
percobaan hewan ataupun uji klinis (Ghorbani et al., 2013). Pengobatan alternatif
dengan menggunakan tanaman tradisional telah menunjukkan efek hipoglikemik
dan penurunan resiko terhadap komplikasi sekunder dari diabetes seperti
kerusakan ginjal, stress oksidatif, dan fatty liver (Juarez Rojop et al., 2012).

Diabetes melitus dikaitkan dengan komplikasi jangka panjang berupa


nyeri perifer, dimana keluhan yang muncul berupa nyeri spontan, alodinia, dan
hiperalgesi. Hasil studi terhadap pasien neuropati diabetik menunjukkan bahwa
tingkat nyeri yang dirasakan berhubungan dengan kadar glukosa darah yang tidak
terkontrol dan perubahan biokimia akut dalam jaringan saraf muncul akibat
hiperglikemi berkepanjangan dan hal ini beresiko terhadap perkembangan dari
neuropati diabetik. Terdapat empat mekanisme yang terlibat dalam kerusakan
pembuluh darah akibat hiperglikemi yaitu peningkatan polyol pathway,
peningkatan advance glycation end-product (AGE) formation, aktivasi protein
kinase C (PKC), dan peningkatan hexosamine pathway. Penelitian klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa reactive oxygen species (ROS) memainkan
peran penting dalam patofisiologi nyeri neuropati diabetik (Morani and
Bodhankar,

2007).

mempertahankan

Pada

sistem

kondisi

tersebut,

perlindungan

tubuh

antioksidan
melalui

seluler

efek

gagal

penghambat

pembentukan radikal bebas sehingga diperlukan antioksidan eksogen untuk


meredam kerusakan oksidatif (Kaleem, 2006).
Salah satu tanaman obat yang memiliki efek hipoglikemi dan antioksidan
antara lain kayu manis (Cinnamomum burmannii). Sebenarnya bubuk kayu manis
dari kulit spesies Cinnamomum telah lama digunakan dalam obat-obatan di Cina
sebagai antidiabetes (Cheng et al., 2012). Hasil studi lain oleh Mahmood et al.
(2011) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kayu manis dengan dosis 200
mg/kgBB dan 400 mg/kgBB memberikan hasil yang signifikan terhadap
penurunan kadar glukosa tikus yang diinduksi aloksan. Penelitian ini juga
didukung oleh hasil studi Khan et al. (2014) yang menyatakan bahwa pemberian
ekstrak kayu manis dosis 200 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB mampu menurunkan
kadar glukosa darah tikus. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Alusinsing et al. (2014) menyatakan bahwa ekstrak etanol 80% kulit batang kayu
manis memiliki efek menurunkan kadar gula darah pada tikus wistar jantan yang
diinduksi

sukrosa.

Pada

kulit

kayu

manis

(Cinnamomum

zeylanicum)

menghasilkan minyak atsiri yang berfungsi sebagai antioksidan (El-Baroty, 2010),


studi lainnya menunujukkan bahwa ekstrak kulit kayu manis (Cinnamomum

burmannii) mampu menghambat lipopolisakarida dan memiliki peran sebagai


antioksidan (Al-Dhubiab, 2012). Hal ini didukung studi yang dilakukan oleh
Azima (2004) bahwa aktivitas antioksidan ekstrak etanol kayu manis
(Cinnamomum burmannii) lebih tinggi dibanding dengan antioksidan -tokoferol
yang terkandung dalam vitamin E. Sedangkan efek kayu manis (Cinnamomum
burmannii) terhadap komplikasi diabetes melitus belum pernah dilakukan
penelitian.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengetahui efek
pemberian ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum burmannii) terhadap
neuropati diabetik pada tikus wistar hiperglikemi hasil induksi aloksan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut: bagaimana efek pemberian ekstrak etanol kayu manis
(Cinnamomum burmannii) terhadap neuropati diabetik pada tikus wistar
hiperglikemi hasil induksi aloksan.

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk

mengetahui

efek

pemberian

ekstrak

etanol

kayu

manis

(Cinnamomum burmannii) terhadap neuropati diabetik pada tikus wistar


hiperglikemi hasil induksi aloksan.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Ilmiah
Sebagai informasi ilmiah mengenai potensi ekstrak etanol kayu manis
terhadap komplikasi diabetes melitus berupa neuropati diabetik.
1.4.2 Manfaat Praktis
Dapat digunakan sebagai dasar pengembangan antidiabetik di masa
mendatang.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus adalah suatu penyakit karena tubuh tidak mampu
mengendalikan

jumlah

glukosa

dalam

aliran

darah.

Ini

menyebabkan

hiperglikemia, suatu keadaan gula darah yang tinggi sudah membahayakan.


Faktor utama pada diabetes melitus ialah insulin, suatu hormon yang dihasilkan
oleh kelompok sel beta di pankreas. Insulin memberi sinyal kepada sel tubuh agar
menyerap glukosa. Insulin, bekerja dengan hormon pankreas lain yang disebut
glukagon yang juga mengendalikan jumlah glukosa dalam darah. Apabila tubuh
menghasilkan terlampau sedikit insulin atau jika sel tubuh tidak menanggapi
insulin dengan tepat terjadilah diabetes. Diabetes biasanya dapat dikendalikan
dengan makanan yang rendah kadar gulanya, obat antidiabetes maupun suntikan
insulin secara teratur. Diabetes melitus dapat menyebabkan komplikasi seperti
kebutaan dan stroke (Setiabudi, 2008).
2.1.2 Epidemiologi
Data WHO menyebutkan pasien diabetes melitus pada tahun 2011 dengan
usia lebih dari 20 tahun mencapai 366 juta orang. Sedangkan Indonesia
merupakan negara urutan ke-7 dengan prevalensi diabetes tertinggi di bawah
China, India, USA, Brazil, Rusia dan Meksiko (Unwin et al., 2012). DM lebih
banyak ditemukan pada wanita dibanding pria serta pada golongan tingkat
pendidikan dan status sosial yang rendah. Kelompok usia terbanyak DM adalah
55-64 tahun yaitu 13.5%. Beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor resiko
DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya konsumsi
sayur dan buah-buahan (Riskesdas, 2007).
2.1.3 Etiologi
Penyebab diabetes melitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti,
kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang
peranan penting. Berdasarkan penyebabnya, diabetes melitus dibagi dua, yaitu:
a. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)

Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) sering terjadi pada usia


sebelum 30 tahun, disebut juga juvenille diabetes yang ditandai dengan adanya
meningkatnya kadar glukosa darah dalam tubuh atau hiperglikemia (Bare &
Suzanne, 2002). Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus
IDDM. Oleh karena itu insidensi lebih tinggi akibat adanya infeksi virus (dari
lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh
lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM (Bare &
Suzanne, 2002). Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulaupulau
langerhans pankreas yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula
akibat respon autoimun, dimana antibodi sendiri akan menyerang sel beta
pankreas. Faktor herediter juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit
ini (Bare & Suzanne, 2002).
b. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) terjadi akibat
penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan
jumlah produksi insulin. Resistensi insulin adalah berkurangnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Dalam hal ini, sel tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya, sehingga terjadi defisiensi relatif
insulin. Kondisi ini menyebabkan sel mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal.
Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe 2 atau Non Insulin
Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) (Bare & Suzanne, 2002).
2.1.4 Manifestasi Klinis
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membran dalam
sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau

hiperosmolaritas menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau


cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari
hiperosmolaritas dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotik (poliuria) (Bare &
Suzanne, 2002).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler
menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel.
Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi
menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia) (Bare &
Suzanne, 2002).
c. Polifagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar
insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa
lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan. (Bare
& Suzanne, 2002).
d. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan
cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan
menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan
secara otomatis (Bare & Suzanne, 2002).
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi-komplikasi pada diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
1) Komplikasi yang bersifat akut
a) Koma hipoglikemi
Koma hipoglikemi terjadi karena pemakaian obat-obat diabetik yang
melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah.
Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi untuk masuk ke dalam sel
b) Ketoasidosis diabetik
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari sumber
alternatif untuk memperoleh energi sel, jika tidak ada glukosa maka benda-benda

keton yang digunakan oleh sel. Kondisi ini akan mengakibatkan penumpukan
residu

pembongkaran

benda-benda

keton

yang

berlebihan

yang

dapat

mengakibatkan asidosis.
c) Hiperosmolar non ketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan ekstrasel
karena banyak dieksresi melalui urin.
2) Komplikasi Kronis (Menahun)
a) Makroangiopati
Mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh
darah tepi, pembuluh darah otak, perubahan pada pembuluh darah besar dapat
mengalami

aterosklerosis

sering

terjadi

pada

NIDDM.

Komplikasi

makroangiopati adalah penyakit vaskular otak, penyakit ateri coroner, dan


penyakit vaskuler perifer.
b) Mikroangiopati
Mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetik dan nefropati diabetik.
Perubahan-perubahan mikrovaskuler yang ditandai dengan penebalan dan
kerusakan membrane diantara jaringan dan pembuluh darah sekitar. Terjadi pada
penderita IDDM yang terjadi neuropati, nefropati, dan retinopati.
c) Neuropati
Akumulasi sorbitol di dalam jaringan dan pembuluh metabolik
mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf menurun kehilangan sensori
mengakibatkan penurunan persepsi nyeri.
d) Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru, gingivitis dan infeksi saluran
kemih.
e) Kaki diabetik
Perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati menyebabkan
perubahan pada ekstremitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan
sirkulasi, infeksi, gangren, penurunan sensasi, dan hilangnya fungsi saraf sensorik
dapat menunjang terjadinya trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang
mengakibatkan gangren (Purnyami et al., 2011).

2.2 Neuropati Diabetik


Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus (Boulton,
2005). Studi epidemiologik menunjukkan bahwa dengan tidak terkontrolnya kadar
gula maka akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati,
seperti halnya ulkus kaki dan amputasi. Suatu kenaikan kadar HbA1c 2%
mempunyai resiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu 4
tahun. Polineuropati diabetik menggambarkan keterlibatan banyak saraf tepi dan
distribusinya umumnya bilateral simetris meliputi gangguan sensorik, motorik
maupun otonom (Sjahrir, 2006). Pada pasien diabetes melitus tipe 2, 59%
menunjukkan berbagai neuropati, 45% diantaranya menderita polineuropati
diabetik (Aswin, 2004). Gejala yang mudah dikenal adalah kelainan yang sifatnya
simetris (Sjahrir, 2006). Gangguan sensorik selalu lebih nyata dibanding kelainan
motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Ditandai dengan hilangnya akson
dan serabut saraf terpanjang terkena terlebih dulu. Umumnya gejala nyeri,
parastesi dan hilang rasa muncul pada malam hari. Khas diawali dari jari kaki
berjalan ke proksimal tungkai. Seiring memberatnya penyakit jari tangan dan
lengan terkena sehingga memberi gambaran hand gloves stocking. Kelainan ini
dapat mengenai saraf sensoris, motor dan fungsi otonomik dengan bermacammacam derajat tingkat, dengan predominan terutama disfungsi sensoris (Sadeli,
2008). Kelemahan otot-otot tungkai dan penurunan reflek lutut dan tumit terjadi
lebih lambat. Adanya nyeri dan menurunnya rasa terhadap temperatur melibatkan
serabut sarabut saraf kecil (small fiber neuropathy) dan merupakan predisposisi
terjadinya ulkus kaki. Gangguan propioseptif, rasa getar dan gaya berjalan
(sensory ataxia gait) menunjukkan keterlibatan serabut saraf ukuran besar (large
fiber neuropathy). Disfungsi otonom yang timbul adalah adanya anhidrosis, atonia
kandung kencing dan pupil reaksi lambat. Awitan gejala perlahan sebagai gejala
negatif dan atau positif. Serabut saraf berukuran besar dan kecil terkena walaupun
manifestasi dini yang muncul mungkin dari serabut kecil (Bansal, 2006).
Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi
terjadinya neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang belum diketahui

sepenuhnya. Faktor-faktor etiologi neuropati diabetika diduga adalah vaskular,


berkenaan dengan metabolisme, neurotrofik dan imunologik. Studi terbaru
menunjukkan adanya kecenderungan suatu multifaktorial patogenesis yang terjadi
pada neuropati diabetik (Ametov, 2003). Stres oksidatif terjadi dalam sebuah
sistem seluler saat produksi dari radikal bebas melampaui kapasitas antioksidan
dari sistem tersebut. Jika antioksidan seluler tidak memindahkan radikal bebas,
radikal bebas tersebut menyerang dan merusak protein, lipid dan asam nukleat.
Oksidasi produk radikal bebas menurunkan aktifitas biologi, membuat hilangnya
energi metabolisme, sinyal sel, transport, dan fungsi-fungsi utama lainnya. Hasil
produknya juga membuat degradasi proteosome, kemudian dapat menurunkan
fungsi seluler. Akumulasi dari beberapa kerusakan membuat sel mati melalui
nekrotisasi atau mekanisme apoptosis. Hiperglikemik kronis menyebabkan stres
oksidatif pada jaringan cenderung pada komplikasi pasien dengan diabetes.
Metabolisme glukosa yang berlebihan menghasilkan radikal bebas (Vincent et al.,
2004). Beberapa jenis radikal bebas di produksi secara normal di dalam tubuh
untuk menjalankan beberapa fungsi spesifik. Superoxide, hydrogen peroxide
(H2O2), dan nitric oxide (NO) adalah tiga diantara radikal bebas ROS yang
penting untuk fisiologi normal, tetapi juga dipercaya mempercepat proses penuaan
dan memediasi degenerasi selular pada keadaan sakit.
Ketidakseimbangan radikal bebas dan antioksidan akan menyebabkan
terjadinya stress oksidatif yang berakibat pada kerusakan jaringan atau endotel.
Stres oksidatif merupakan modulator penting pada perkembangan komplikasi
DM. Beberapa bukti penelitian ilmiah menunjukkan bahwa didapatkan
peningkatan kadar basal dari produksi radikal bebas dan penurunan anti-oksidan
yang memburuk seiring dengan peningkatan glukosa plasma sehingga terjadilah
suatu keadaan stres oksidatif (Vincent et al., 2004). Peningkatan glukosa intrasel
juga berperan dalam proses patologis. Glukosa dapat bereaksi dengan Reactive
Oxygen Species (ROS) dan akan membentuk karbonil. Karbonil bereaksi dengan
protein atau lemak akan menyebabkan pembentukan glikosidasi atau liposidasi.
Selain itu glukosa dapat juga membentuk karbonil secara langsung dengan protein
dan membentuk Advanced glycation end products (AGEs) yang berperan dalam

10

stress oksidatif dan dapat menyebabkan kerusakan sel. Peningkatan glukosa


intrasel juga akan meningkatkan glikolisis dan aktivasi Tricarboxylic acid (TCA)
sehingga menyababkan ketidakseimbangan transport elektron ke mitokondria dan
mempercepat produksi superoxide. Superoxide adalah radikal bebas yang sangat
reaktif dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Superoxide juga berperan
dalam aktivasi protein kinase C (PKC) dengan cara merangsang sintesa
diacylglycerol (Dubby et al., 2004). Peningkatan produksi superoxide pada
mitokondria selama kondisi hiperglikemia menyebabkan peningkatan stress
oksidatif. Selama hiperglikemia rasio antara nicotiamide adenine dinucleotide
phosphal hyrolase (NADPH)/NAD+ menurun karena kelebihan penggunaan
NADPH untuk mengurangi pembentukan glukosa menjadi sorbitol. Sebagai
konsekuensinya NADPH tersedia untuk mempertahankan anti oksidan GSH pada
pengurangan dari katalisator oleh GSH reductase juga meningkatakan stress
oksidatif. Peningkatan AGEs dan pengikatan AGE pada reseptornya (RAGE) juga
meningkatkan stress oksidatif. Peningkatan formasi diacylglycerol (DAG) pada
jalur PKC menimbulkan stress oksidatif lewat aktivasi bebas PKC dari NADPH
oxidase (Srivastata, 2005).
Mekanisme yang menyebabkan stres oksidatif pada hiperglikemik kronik
dan perkembangan neuropati telah diperiksa pada model dengan binatang. Stres
oksidatif ini dihubungkan dengan perkembangan apoptosis pada neuron dan
menyokong sel glia sehingga dapat disatukan dengan mekanisme lainyang
berperan dalam kerusakan sistem saraf pada diabetes. Pada binatang percobaan
dampak terjadinya stres oksidatif pada sel glia akan menyebabkan proses
demielinisasi dimana hal ini diterangkan dengan adanya penurunan kecepatan
hantar saraf dan manifestasinya berupa timbulnya gejala nyeri sedangkan pada
neuron akan mengakibatkan aksonopati, penurunan kapasitas regenerasi dari
akson sehingga dapat menimbulkan gejala negatif pada neuropati diabetika perifer
(Dobretsov et al., 2007). Oleh karena itu dibutuhkan antioksidan dari luar tubuh
terutama antioksidan alami yang terdapat dalam berbagai jenis tanaman untuk
menghambat reaksi oksidasi sehingga jumlah radikal bebas menjadi berkurang
(Sriram et al., 2011).

11

2.3 Aloksan
Aloksan (ALS) (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone)
adalah suatu substrat yang secara struktural merupakan derivat pirimidin
sederhana (Lenzen, 2008). Nama ALS diperoleh dari penggabungan kata allantoin
dan oksalurea atau asam oksalurik, allantoin adalah produk asam urat yang
diekskresikan oleh janin dalam alantois dan asam oksalurik diturunkan dari asam
oksalat dan urea yang ditemukan dalam air seni (Rohilla and Ali, 2012). Aloksan
merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi binatang percobaan
untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) secara cepat.
Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada
binatang percobaan. Tikus hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan
120-150 mg/kgBB. Aloksan dapat menyebabkan diabetes melitus tergantung
insulin pada binatang tersebut (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip
dengan Diabetes Melitus tipe 1 pada manusia (Yuriska, 2009). Mekanisme kerja
aloksan diawali dengan ambilan aloksan ke dalam sel-sel pankreas dan
kecepatan ambilan ini akan menentukan sifat diabetogenik aloksan. Ambilan ini
juga dapat terjadi pada hati atau jaringan lain, tetapi jaringan tersebut relatif lebih
resisten dibanding pada sel-sel pankreas. Sifat inilah yang melindungi jaringan
terhadap toksisitas aloksan (Amma, 2009).

Gambar 2.3 Struktur Molekul ALS

Pemberian ALS dengan dosis 120 mg/kg bb pada tikus jantan strain Wistar
secara intra peritoneal selama 5 hari mampu meningkatkan kadar glukosa darah
puasa (Sharma et al., 2010; Chitra et al., 2010). Pemberian ALS pada mencit
jantan (Mus musculus) strain Swiss albino dengan dosis 150 mg/kgBB dalam

12

larutan 0,9% NaCl secara intra peritoneal mampu menyebabkan keadaan


hiperglikemia pada hewan coba selama 5 hari (Sharma and Garg, 2008) sampai
satu minggu setelah penyuntikan (Sharma et al., 2010). Studiawan dan Santosa
(2005) menyatakan, pemberian ALS dengan dosis 100 mg/kg bb mencit jantan
galur Wistar setiap 4 hari sekali selama 8 hari menunjukkan kenaikan kadar
glukosa darah hewan coba yang berarti. Pemberian aloksan pada tikus wistar
jantan dengan dosis tunggal 120 mg/kgBB dalam larutan NaCl 0,9% mampu
menaikkan kadar glukosa darah setelah 48 jam injeksi aloksan dan menimbulkan
komplikasi berupa neuropati diabetik yang ditunjukkan dengan perubahan
signifikan pada tingkah laku hewan coba (Morani and Bodhankar, 2007).

2.4 Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)


Kayu manis adalah tanaman yang banyak digunakan sebagai rempahrempah dan obat herbal di seluruh dunia. Komponen aktif berupa polifenol
terdapat pada kulit kayu manis dapat berfungsi sebagai antioksidan dalam
melawan bahaya radikal bebas dalam membran sel. Senyawa polifenol memiliki
kemampuan sebagai scavenger radikal bebas dengan cara mendonasikan satu
elektron yang tidak berpasangan atau atom H + dalam radikal bebas sehingga
reaksi oksidasi berantai pembentukan radikal bebas akan berhenti karena terjadi
hambatan produksi lipid peroxide (Mudgal et al., 2010). Menurut Rohmah (2010)
kayu manis mengandung cynamaldehide, eugenol, dan senyawa lain seperti
flavanoid, tanin, triter-penoid, dan saponin, cinnamaldehyde merupakan turunan
dari senyawa polifenol yang bersifat sebagai antioksidan dan ekstrak kulit kayu
manis mengandung komponen cinnamaldehyde sebesar 90,9 %. Struktur molekul
dari cynnamaldehyde ditampilkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur Molekul Cynnamaldehyde

13

Antioksidan mampu menurunkan stress oksidatif. Hal ini dapat


menimbulkan efek protektif terhadap sel beta pankreas dan meningkatkan
sensitivitas insulin. Antioksidan memiliki mekanisme dalam penghambatan
fosfodiesterase sehingga kadar cAMP dalam sel- pankreas meningkat
menyebabkan sekresi insulin oleh (Panjuantiningrum, 2009). Anderson et al.
(2004) menyatakan, pada ekstrak etanol Cinnamon terdapat komponen utama
yang disebut dengan procyanidins yang memiliki aktivitas biologi mirip insulin.
Ekstrak kayu manis mengaktivasi sintesis glikogen, peningkatan pengangkutan
glukosa dan mengaktivasi reseptor kinase insulin. Pemberian ekstrak kulit kayu
manis (Cinnamomum burmannii) mampu menghambat lipopolisakarida dan
memiliki peran sebagai antioksidan (El-Dhubiab, 2012). Pemberian ekstrak kayu
manis yang mengandung cinnamaldehyde dengan dosis 5-20 mg/kg/hari
menurunkan glukosa darah dan meningkatkan insulin pada tikus yang diinduksi
streptozotosin (Iyer et al., 2009. Soni and Bhatnagar (2009) menyatakan,
konsumsi 2 gram bubuk kayu manis (Cinnamomum cassia) pada pria dewasa
penderita DM tipe 2 selama 40 hari menurunkan kadar glukosa darah puasa
sebesar 18,87 %. Pemberian bubuk kayu manis pada tikus wistar dengan diabetes
melitus tipe 2 mampu menurunkan kadar LDL (Soemardini, 2011), pemberian
minuman serbuk kayu manis selama 7 hari mampu menurunkan kadar kolesterol
total darah pada tikus (Vanessa et al., 2013). Berdasarkan hasil studi Hardiyani
(2013) menunjukkan bahwa pemberian seduhan bubuk kayu manis dosis 0,73
mg/gBB selama 7 hari dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit yang
diinduksi aloksan.

14

2.5 Kerangka Konseptual Penelitian


Ekstrak Etanol Kayu Manis
(Cinnamomum burmanii)

Aloksan

Polifenol

Sel Beta Pankreas rusak

Cynamaldehide dan
cinnamic acid

Hiperglikemia

Antioksidan eksogen

Stres oksidatif

Komplikasi

Radical scavenger

(Neuropati Diabetik)

Menyumbangakan satu
elektron tidak berpasangan

Respon nyeri tikus

Aloksan merupakan substrat yang secara struktural merupakan derivat


pirimidin sederhana bersifat toksik selektif terhadap sel beta pankreas yang
memproduksi insulin sehingga produksi insulin menurun dan kadar glukosa tikus
meningkat sehingga terjadi diabetes melitus yang menyebabkan terjadinya stres

15

oksidatif yang mengarah pada komplikasi berupa neuropati diabetik. Ekstrak


etanol kayu manis (Cinnamomum burmannii) diduga memiliki efek antioksidan
berupa senyawa polifenol yang terdiri dari cynamaldehide dan cinnamic acid yang
berperan sebagai radical scavenger dengan menyumbangkan satu elektron tidak
berpasangan dalam radikal bebas sehingga menghambat pembentukan radikal
bebas dalam tubuh. Akibatnya kadar glukosa darah tikus akan menurun dan
sekaligus memberikan efek terhadap komplikasi berupa neuropati diabetik yang
ditunjukkan melalui respon nyeri tikus meningkat.

2.6 Hipotesis Penelitian


Terdapat efek pemberian ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum
burmannii) terhadap neuropati diabetik tikus wistar hiperglikemi hasil induksi
aloksan.

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah true experimental design dengan rancangan
penelitian Pre Test-Post Test Control Group Design.

3.2 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian Pre Test-Post Test
Control Group Design. Penilaian dilakukan pada saat pre test saat tikus belum
mendapatkan perlakuan apapun dan saat post test yaitu setelah mendapat
perlakuan berupa pemberian ekstrak etanol kayu manis. Hasil penelitian
dibandingkan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Secara
sistematis rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

K(-)

Aquabidest

D1

P1

D6, G6

K(+)

Aloksan

D2

P2

D7, G7

K1

Aloksan

D3

P3

D8, G8

K2

Aloksan

D4

P4

D9, G9

K3

Aloksan

D5

P5

D10, G10

Keterangan :
P

: Populasi

: Randomisasi

K(-) : Kelompok kontrol negatif


K(+) : Kelompok kontrol positif
K1 : Kelompok perlakuan 1
K2 : Kelompok perlakuan 2
K3 : Kelompok perlakuan 3
D1 : Data kadar glukosa darah kelompok kontrol negatif setelah pemberian
aquabidest

17

D2 : Data kadar glukosa darah kelompok kontrol positif setelah pemberian


aloksan 100 mg/kgBB
D3 : Data kadar glukosa darah kelompok perlakuan 1 setelah pemberian
aloksan 100 mg/kgBB
D4 : Data kadar glukosa darah kelompok perlakuan 2 setelah pemberian
aloksan 100 mg/kgBB
D5 : Data kadar glukosa darah kelompok perlakuan 3 setelah pemberian
aloksan 100 mg/kgBB
P1 : Perlakuan terhadap kelompok kontrol negatif (pemberian aquades)
P2 : Perlakuan terhadap kelompok kontrol positif (pemberian aquades)
P3 : Perlakuan terhadap kelompok perlakuan 1 (pemberian ekstrak etanol kayu
manis 200 mg/kgBB)
P4 : Perlakuan terhadap kelompok perlakuan 2 (pemberian ekstrak etanol kayu
manis 400 mg/kgBB)
P5 : Perlakuan terhadap kelompok perlakuan 3 (pemberian ekstrak etanol kayu
manis 600 mg/kgBB)
D6 : Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol negatif setelah
perlakuan
D7 : Data kadar glukosa darah puasa kelompok kontrol positif setelah
perlakuan
D8 : Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 1 setelah perlakuan
D9 : Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 2 setelah perlakuan
D10 : Data kadar glukosa darah puasa kelompok perlakuan 3 setelah perlakuan
G6 : Respon geliatan tikus wistar kelompok kontrol negatif
G7 : Respon geliatan tikus wistar kelompok kontrol positif
G8 : Respon geliatan tikus wistar kelompok perlakuan 1
G9 : Respon geliatan tikus wistar kelompok perlakuan 2
G10 : Respon geliatan tikus wistar kelompok perlakuan 3

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi

18

Populasi pada penelitian ini adalah Tikus Wistar Jantan yang diperoleh
dari peternak tikus yang ada di Malang.
3.3.2 Sampel Penelitian
Pada penelitian ini terdapat kriteria inklusi dan ekslusi yang bertujuan
untuk menentukan dapat tidaknya sampel tersebut digunakan. Kriteria inklusi
sampel penelitian meliputi: Rattus novergicus galur wistar jantan, tikus sehat
(bergerak aktif), umur 2-3 bulan, berat badan rata-rata 150-200 gram. Sedangkan
kriteria ekslusi meliputi tikus yang sakit, mati sebelum proses randomisasi, dan
tikus dengan kadar glukosa darah puasa kurang dari 180 mg/dl setelah induksi
aloksan.
3.3.3 Jumlah Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini diambil dengan teknik random
sederhana (simple random sampling) dari populasi tikus wistar jantan yang
kemudian akan dibagi menjadi 5 kelompok. Jumlah sampel ditentukan
berdasarkan rumus Federer, yaitu:
(t-1) (r-1) 15
(t-1) (r-1) 15
(5-1) (r-1) 15
4 (r-1) 15
r 4,75 5
Pada rumus tersebut, t adalah jumlah perlakuan dan r adalah banyaknya
replikasi setiap kelompok perlakuan. Jadi sampel yang digunakan pada penelitian
ini adalah 5 ekor tikus untuk 5 kelompok sehingga jumlah sampel yang digunakan
adalah 25 ekor tikus wistar.

3.4 Variabel Penelitian


3.3.1 Variabel Bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah dosis pemberian ekstrak etanol kayu
manis (Cinnamomum burmannii) pada tikus wistar.
3.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat adalah neuropati diabetik.

19

3.3.3 Variabel Terkendali:


1. Usia tikus
2. Jenis kelamin (jantan)
3. Berat badan tikus
4. Dosis aloksan
5. Waktu dan lama perlakuan
6. Pemeliharaan tikus

3.5 Definisi Operasional


3.5.1 Kayu manis (Cinnamomum burmannii)
Kayu manis (Cinnamomum burmannii) yang digunakan adalah bubuk
kayu manis yang diekstrak menggunakan etanol 80%. Ekstrak etanol kayu manis
ini diberikan setiap hari kepada tikus peroral melalui sonde lambung pada
kelompok perlakuan pertama, kedua, dan ketiga dengan dosis masing-masing 200
mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB selama 7 hari.
3.5.2 Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik merupakan kerusakan saraf sebagai komplikasi dari
diabetes melitus. Kerusakan saraf dapat diketahui dengan melakukan pengamatan
terhadap respon nyeri yang dinilai dengan melihat reaksi geliatan dari tikus yang
berupa menjilat telapak kaki atau melompat di dalam hot cold plate.
3.5.3 Usia Tikus
Ditentukan berkisar 2-3 bulan karena pada umur tersebut hewan coba telah
matur.
3.5.4 Jenis Kelamin Tikus
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus wistar
jantan karena relatif lebih kuat dan tidak terganggu oleh kehamilan.
3.5.5 Aloksan
Dosis aloksan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 mg/kgBB
secara intravena. Setelah 48 jam induksi aloksan, kadar glukosa darah puasa tikus
diukur dan tikus dengan diabetes melitus (KGD > 180 mg/dl) digunakan untuk
perlakuan selanjutnya (Singh, 2008).

20

3.5.6 Waktu dan Lama Perlakuan


Perlakuan dilakukan pada saat hewan coba tenang atau telah diaklimatisasi
selama 1 minggu.
3.5.7 Pemeliharaan dan Perlakuan Hewan Coba
Pemeliharaan dan perawatan hewan coba di sebuah kandang berukuran 45
x 30 x 20 cm dan beralaskan sekam kering. Pada kandang kontrol negatif berisi 5
ekor hewan coba, kontrol positif berisi 5 ekor hewan coba, dan kandang perlakuan
1, 2, dan 3 masing-masing berisi 5 ekor hewan coba dengan pemberian makanan
pellet dan minum berupa aquades secara ad libitum pada semua kandang.
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa awal tikus sebelum perlakuan dilakukan
pada hari ketujuh setelah dipuasakan selama 6 jam. Pemberian aloksan dilakukan
pada hari kesepuluh setelah hewan coba dipuasakan selama 4 jam, tikus wistar
diinduksi dengan dosis 100 mg/kgBB secara intravena pada kandang kontrol
positif, perlakuan 1, 2, dan 3, sedangkan pada kandang kontrol negatif diberikan
aquabidest. Setelah pemberian aloksan, kadar glukosa darah tikus diukur setiap
hari menggunakan blood glucose test strip sampai dinyatakan tikus mengalami
diabetes (KGD >180 mg/dl), kemudian pada kandang perlakuan 1, 2, dan 3
diberikan ekstrak etanol kayu manis dengan dosis masing-masing 200 mg/kgBB,
400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB peroral melalui sonde lambung selama 7 hari.
Neuropati diabetik pada hewan coba dinilai melalui pengamatan respon nyeri
tikus dengan memasukkan tikus ke dalam hot cold plate dengan suhu diatur
konstan 55 1 oC pada hari 1, 3, 5, dan 7 saat pemberian ekstrak etanol kayu
manis. Setelah pemberian ekstrak etanol kayu manis selama 7 hari, kadar glukosa
darah puasa tikus kembali diukur pada hari kedua puluh.

3.6 Alat dan Bahan Penelitian


3.6.1 Alat Penelitian
1. Kandang hewan coba
2. Wadah makanan hewan coba
3. Botol minuman hewan coba

21

4. Kawat kasa untuk tutup kandang


5. Sekam untuk alas kandang
6. Timbangan analitik
7. Alat sonde lambung
8. spuit 6 cc
9. Beaker gelas
10. Blood glucose test strip
11. Hot-cold plate
12. Stopwatch
3.6.2 Bahan Penelitian
1. Tikus wistar jantan
2. Alkohol 70%
3. Aquabidest
4. Aquades
5. Aloksan
6. Dextrose 5%
7. Ekstrak etanol kayu manis

3.7 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, Laboratorium Biologi dan
Laboratorium Biomedik Fakultas Farmasi Universitas Jember. Waktu pelaksanaan
adalah bulan Oktober 2014.

3.8 Prosedur Penelitian


3.8.1 Adaptasi Hewan Coba
Sebelum penelitian dimulai, tikus wistar diadaptasikan terlebih dahulu
selama tujuh hari di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Jember. Makanan dalam bentuk pellet dan minuman
berupa aquades diberikan secara ad libitum pada semua kandang.
3.8.2 Pembagian Kelompok dan Pengukuran Kadar Glukosa Awal Hewan Coba

22

Hewan coba yang telah diaklimatisasi akan dirandomisasi menjadi 5


kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus, diantaranya 2
kelompok kontrol yaitu kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif
serta 3 kelompok perlakuan, yaitu kelompok perlakuan 1, 2, dan 3. Pada hari
keenam setelah dilakukan randomisasi, hewan coba dipuasakan selama 6 jam
kemudian pada hari ketujuh diukur kadar glukosa darah puasa dengan memotong
pembuluh darah ekor tikus 5 mm dari ujung yang sebelumnya sudah dibersihkan
dengan alkohol 70%. Tetesan darah diteteskan pada blood glucose strip, 10 detik
kemudian angka pada glukometer menunjukkan kadar glukosa darah puasa tikus,
setelah itu ekor tikus diberi povidin iodine untuk mempercepat penyembuhan
luka. Kadar glukosa darah puasa normal pada tikus memiliki rentang antara 50135 mg/dl (Braslasu, 2007).
3.8.3 Perlakuan Hewan Coba
a. Pemaparan Aloksan
Dua hari setelah pemeriksaan kadar glukosa darah awal, tikus kembali
dipuasakan selama 4 jam dengan tujuan mengosongkan lambung, kemudian K(+),
K1, K2, dan K3 diinduksi aloksan dengan dosis 100 mg/kgBB dengan pelarut
aquabidest secara intravena. Perhitungan dosis ALS dapat dilihat pada lampiran.
Kelompok kontrol negatif diberi aquabidest secara intravena. Setelah induksi
aloksan, hewan coba dipuasakan selama 6 jam kemudian diukur kadar glukosa
darah puasa dengan memotong pembuluh darah ekor tikus 5 mm dari ujung yang
sebelumnya sudah dibersihkan dengan alkohol 70%. Tetesan darah diteteskan
pada blood glucose strip, 10 detik kemudian angka pada glukometer menunjukkan
kadar glukosa darah puasa tikus, setelah itu ekor tikus diberi povidin iodine untuk
mempercepat penyembuhan luka. Pengukuran kadar glukosa darah puasa
dilakukan setiap hari sampai hewan coba dinyatakan diabetes, hewan coba dengan
kadar glukosa darah puasa lebih besar dari 180 mg/dl digunakan untuk perlakuan
selanjutnya (Singh, 2008).
b. Pemberian Ekstrak Kayu Manis
Tikus hiperglikemi pada kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 diberi ekstrak
etanol kayu manis secara peroral melalui sonde lambung selama 7 hari dengan

23

volume pemberian masing-masing 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600


mg/kgBB, sedangkan kelompok kontrol negatif dan kontrol positif diberikan
aquades.
3.8.4 Pemeriksaan Respon Rasa Nyeri Hewan Coba
Respon rasa nyeri pada tikus wistar dilakukan dengan cara pengukuran
hiperalgesia dengan rangsangan panas (thermal stimulus) menggunakan metode
Hot Plate Test yaitu dengan memasukkan tikus ke dalam hot cold plate dengan
suhu diatur konstan 55 1 oC kemudian diamati respon geliatan tikus pertama kali
yang berupa menjilat telapak kaki atau melompat dan dicatat waktunya
menggunakan stopwatch sebagai hasil pengukuran. Pengukuran dilakukan pada
hari ke-1, ke-3, ke-5, dan ke-7 bersamaan dengan pemberian ekstrak etanol kayu
manis.

3.9 Analisis Data


Data yang diperoleh diolah dan dilihat distribusi datanya normal atau tidak
dengan uji Shapiro-Wilk. Bila distribusi datanya normal dan varians datanya
sama, kemudian diuji beda dengan menggunakan statistik parametrik One Way
Anova, jika P < 0,05 dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Bila distribusi datanya tidak
normal atau varians data tidak sama, maka ditansformasi. Jika setelah
ditransformasi tetap didapatkan distribusi data yang tidak normal atau tidak sama,
maka dilakukan uji beda menggunakan statistik non parametrik Kruskal-Wallis,
jika didapat P < 0,05 dilanjutkan dengan uji Post Hoc (Mann Whitney test).
a. Jika P < 0,05; maka ada perbedaan yang bermakna
b. Jika P > 0,05; maka tidak ada perbedaan yang bermakna

3.10 Etika Penelitian


Telah didapatkan Ethical Clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

24

3.11 Alur Penelitian


25 ekor tikus wistar
Aklimatisasi

H 1-7

Randomisasi
Cek kadar glukosa darah puasa awal

H7

H 10

K(-)
Pemberian Aquabides
0,2 ml

K(+)
Pemberian Aloksan
100 mg/kgBB

K1
Pemberian Aloksan
100 mg/kgBB

K2
Pemberian Aloksan
100 mg/kgBB

K3
Pemberian Aloksan
100 mg/kgBB

H 12

Cek kadar
glukosa darah

Cek kadar
glukosa darah

Cek kadar
glukosa darah

Cek kadar
glukosa darah

Cek kadar
glukosa darah

Pemberian ekstrak
etanol kayu manis
200 mg/kgBB

Pemberian ekstrak
etanol kayu manis
400 mg/kgBB

Pemberian ekstrak
etanol kayu manis
600 mg/kgBB

H 13-19

H 13, 15,
17, 19
H 20

Aquades 1 ml

Tikus dimasukkan ke dalam hot cold plate


Diamati geliatan respon nyeri tikus
Cek kadar glukosa darah setelah 7 hari terapi
Analisis Data
Hasil

25

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Ekstraksi Kayu Manis
Kayu manis yang digunakan adalah serbuk dari kulit kayu manis
(Cinnamomum burmannii) yang diperoleh dari PT. Materia Medica Kabupaten
Batu, Malang. Proses ekstraksi bahan yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 80%. Serbuk kayu manis
ditimbang sebanyak 159 gram, kemudian direndam dengan 660 mL etanol 80%
selama 3 hari. Selanjutnya ekstrak disaring menggunakan kertas saring dan
diperoleh filtrat. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan menggunakan rotatory
evaporator pada suhu 50oC dan dilanjutkan dengan pengentalan menggunakan
waterbath sehingga menghasilkan ekstrak kental sebanyak 66 gram.
4.1.2 Pembuatan Tikus Model Hiperglikemi
Setelah aklimatisasi dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa
awal pada masing-masing kelompok. Kelompok K(+), P1, P2, dan P3 diinduksi
aloksan dengan dosis 100 mg/kgBB yang dilarutkan aquabides secara intravena
melalui vena ekor tikus, kemudian diberikan minum berupa larutan glukosa 5%
(D5) pada tempat minum tikus selama 24 jam pasca induksi aloksan. Sedangkan
kelompok K(-) diinduksi aquabides secara intravena melalui vena ekor tikus.
Setelah 48 jam induksi aloksan, kadar glukosa darah puasa diukur dengan
glukometer. Hewan coba dengan kadar glukosa darah puasa > 180 mg/dl
digunakan untuk perlakuan selanjutnya (Bimo et al., 2013 dan Hardiyani, 2013).
Data kadar glukosa darah puasa sebelum induksi aloksan dan setelah
induksi aloksan dapat dilihat pada Lampiran B. Rata-rata kadar glukosa darah
tikus berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1

26

Tabel 4.1 Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Induksi
Aloksan
Kelompok
Kontrol (-)
Kontrol (+)
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3

KGDP sebelum
mg/dl
117,2
117,2
99,6
104
107

KGDP setelah
mg/dl
118,2
401,2
382
476
429,8

Berdasarkan data rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan sesudah
induksi aloksan tersebut dapat digambarkan melalui grafik yang ditunjukkan
pada Gambar 4.1

rata-rata kadar glukosa darah puasa


(mg/dl)

500

476

450

429.8
401.2
382

400
350

K(-)

300

K(+)

250

P1

200
150
100
50

P2

117.2
117.2
104

118.2

P3

99.6
107

0
Hari ke-1

hari

Hari ke-3

Gambar 4.1 Grafik Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Sesudah
Induksi ALS
Berdasarkan data, menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah
puasa tikus sebelum induksi aloksan pada seluruh kelompok dibawah 126 mg/dl
(Barik et al., 2008). Hal ini menunjukkan bahwa sebelum diinduksi aloksan
seluruh tikus memiliki kadar glukosa darah normal. Setelah induksi aloksan
terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada seluruh kelompok lebih dari 180
mg/dl (Bimo et al., 2013 dan Hardiyani, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa
induksi aloksan mampu menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah.

27

4.1.3 Perlakuan pada Hewan Coba


Sampel penelitian yaitu 25 ekor tikus Wistar jantan yang diberikan
perlakuan sesuai kelompok masing-masing selama 7 hari dan diukur neuropati
diabetik hewan coba menggunakan metode thermal hyperalgesia yaitu dengan
menilai respon nyeri tikus yang dilakukan pada hari ke-1, ke-3, ke-5, dan ke-7
selama perlakuan. Pada hari ke-8 masing-masing kelompok perlakuan diperiksa
kadar glukosa darah puasa setelah pemberian ekstrak kayu manis. Data kadar
glukosa darah puasa dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada lampiran C.
Rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan setelah pemberian ekstrak kayu
manis berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rata-rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Pemberian
Ekstrak Kayu Manis
Kelompok
KGDP sebelum
KGDP setelah
mg/dl
mg/dl
Kontrol (-)
118,2
106,6
Kontrol (+)
401,2
482,4
Perlakuan 1
382
239
Perlakuan 2
476
297
Perlakuan 3
429,8
287,8
Berdasarkan data rata-rata kadar glukosa darah puasa sebelum dan
setelah pemberian ekstrak kayu manis tersebut dapat digambarkan secara
histogram yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.

rata-rata KGDP (mg/dl)

600
482.4

500

401.2
400

476
420.8

382
297

300

287.8

239

200
118.2 106.6
100

Rata-rata
KGDP setelah
induksi ALS

rata-rata
KGDP setelah
pemberian
ekstrak kayu
manis

K(-)

K(+)

P1
P2
kelompok perlakuan

P3

Gambar 4.2 Grafik Rata-Rata Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Sesudah
Pemberian Ekstrak Kayu Manis

28

Data neuropati diabetik yang berupa respon nyeri tikus dari masingmasing kelompok dapat dilihat pada Lampiran C. Rata-rata respon nyeri tikus
berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Rata-rata Respon Nyeri Tikus Kelompok Perlakuan
Kelompok

Sebelum induksi

Setelah induksi

(detik SD)

(detik SD)
Hari ke-1

Hari ke-3

Hari ke-5

Hari ke-7

K(+)

5,64 1,08

3,72 0,31

3,28 0,29

3,66 0,29

3,34 0,23

K(-)

5,08 0,71

5,04 0,56

4,58 0,28

4,72 0,26

4,86 0,45

P1

5,34 0,72

3,38 0,20

4,24 0,16

4,28 0,21

4,48 0,21

P2

5,18 0,67

3,64 0,35

3,76 0,49

4,44 0,52

4,56 0,20

P3

4,82 0,36

3,38 0,21

3,76 0,28

4,16 0,36

4,68 0,63

Berdasarkan data rata-rata neuropati diabetik tersebut dapat digambarkan


melalui grafik yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.

Rata-Rata Neuropati Diabetik (detik)

6
5.64
5.5
5

5.34
5.18
5.08

5.04

4.82
4.5

4.86

4.72

4.58

4.44
4.24

4.28
4.16

3.72
3.76
3.76

3.64

3.5

4.68
4.56
4.48

3.66
3.38

3.34

3.28

3
Sebelum Induksi

Hari 1
K(+)

Hari 3
K(-)

P1

Hari 5
P2

Hari 7
P3

Gambar 4.3 Grafik Nilai Rata-Rata Respon Nyeri Tikus Kelompok Perlakuan

29

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa nilai rata-rata respon nyeri tikus
sebelum induksi aloksan masing-masing kelompok yaitu K(+) 5,64 detik, K(-)
5,08 detik, P1 5,34 detik, P2 5,18 detik, dan P3 4,82 detik. Data sebelum induksi
aloksan menunjukkan respon nyeri tikus normal. Nilai rata-rata respon nyeri tikus
setelah induksi aloksan pada hari ke-1 pada masing-masing kelompok yaitu K(+)
3,72, detik, K(-) 5,04 detik, P1 3,38 detik, P2 3,64 detik, dan P3 3,38 detik. Pada
hari ke-3 K(+) 3,28 detik, K(-) 4,58 detik, P1 4,24 detik, P2 3,76 detik, dan P3 3,76
detik. Respon nyeri tikus pada hari ke-5 K(+) 3,66 detik, K(-) 4,72 detik, P1 4,28
detik, P2 4,44 detik, dan P3 4,16 detik. Pada hari ke-7 K(+) 3,34 detik, K(-) 4,86
detik, P1 4,48 detik, P2 4,56 detik, dan P3 4,68 detik. Nilai rata-rata respon nyeri
tikus pada hari ke-7 menunjukkan bahwa kelompok P1, P2, dan P3 memiliki nilai
yang hampir sama dengan kelompok K(-) dan berbeda dengan kelompok K(+).

4.1.4 Analisis Data


Data neuropati diabetik tiap-tiap kelompok pada hari ke-1, ke-3, ke-5, dan
ke-7 dianalisis normalitas dan homogenitasnya. Data dikatakan terdistribusi
secara normal dan homogen jika memiliki signifikansi lebih dari 0,05. Uji
normalitas yang digunakan pada analisis data penelitian ini adalah uji Shapiro
Wilk karena sampel yang digunakan kecil ( 50). Hasil uji normalitas dan
homogenitas dapat dilihat pada Lampiran E. Hasil uji normalitas dan homogenitas
memiliki signifikansi lebih besar dari 0,05. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat
disimpulkan bahwa distribusi kelima kelompok data adalah normal dan tidak ada
perbedaan varians antara kelompok data yang dibandingkan/ varians data adalah
sama.
Data yang memiliki distribusi normal dan homogenitas dianalisis dengan
menggunakan metode One Way Anova (Analysis of Variance). Derajat
kemaknaan yang dipakai adalah 95% (=0,05) karena didasari adanya faktorfaktor biologis pada tikus yang mempengaruhi hasil. Nilai signifikansi yang lebih
kecil dari 0,05 menunjukkan adanya perbedaan signifikan antar kelompok
perlakuan. Hasil uji One Way Anova dapat dilihat pada Lampiran E. Berdasarkan
hasil uji One Way Anova diperoleh nilai p=0,000 yang artinya paling tidak

30

terdapat perbedaan neuropati diabetik yang signifikan antara kelima kelompok


perlakuan.
Hasil

analisis

One

Way

ANOVA

dilanjutkan

dengan

analisis

menggunakan LSD (Least Significantly Difference) untuk mengetahui adanya


perbedaan secara signifikan antar kelompok perlakuan. Hasil Uji One Way
ANOVA yang dilanjutkan dengan LSD dapat dilihat pada lampiran E. Secara
singkat, hasil analisis neuropati diabetik dengan uji LSD pada hari ke-1, ke-3, ke5, dan ke-7 dapat dilihat pada tabel 4.4, tabel 4.5, tabel 4.6, dan tabel 4.7.
Tabel 4.4 Hasil LSD Neuropati Diabetik pada Hari ke-1

K(+)

K(-)

Dosis
200 (P1)

Dosis
400 (P2)

Dosis 600
(P3)

K(+)

NS

NS

NS

K(-)

Dosis 200 (P1)

NS

NS

NS

Dosis 400 (P2)

NS

NS

Dosis 600 (P3)

NS

NS

Kelompok
Perlakuan

NS
NS

Keterangan:
* : berbeda secara bermakna
NS: non significant; tidak berbeda secara bermakna

Dari data hasil uji LSD neuropati diabetik hari ke-1 menunjukkan
bahwa kelompok K(+) berbeda signifikan dengan kelompok K(-), tetapi
tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan kelompok c. K(-) berbeda
signifikan dengan K(+), kelompok kelompok P1, P2, dan P3. Neuropati
diabetik antara kelompok P1, P2, dan P3 tidak terdapat perbedaan yang
signifikan.

31

Tabel 4.5 Hasil LSD Neuropati Diabetik pada Hari ke-3

Kelompok
Perlakuan

Dosis
200 (P1)

Dosis
400 (P2)

Dosis 600
(P3)

K(+)

K(-)

K(+)

K(-)

NS

NS

NS

Dosis 200 (P1)

NS

Dosis 400 (P2)

Dosis 600 (P3)

NS
NS

Keterangan:
* : berbeda secara bermakna
NS: non significant; tidak berbeda secara bermakna

Dari data hasil uji LSD neuropati diabetik hari ke-3 menunjukkan
bahwa K(+) berbeda signifikan dengan K(-) dan kelompok P1, P2, dan P3.
K(-) berbeda signifikan dengan K(+), tetapi tidak ada perbedaan signifikan
antara kelompok P1, P2, dan P3. Terdapat perbedaan signifikan antara
kelompok P1, P2, dan P3, tetapi antara kelompok P2 dan P3 tidak terdapat
perbedaan yang signifikan.

Tabel 4.6 Hasil LSD Neuropati Diabetik pada Hari ke-5

Kelompok
Perlakuan

Dosis
200 (P1)

Dosis
400 (P2)

Dosis 600
(P3)

K(+)

K(-)

K(+)

K(-)

NS

NS

Dosis 200 (P1)

NS

NS

NS

Dosis 400 (P2)

NS

NS

Dosis 600 (P3)

NS

NS
NS

Keterangan:
* : berbeda secara bermakna
NS: non significant; tidak berbeda secara bermakna

Dari data hasil uji LSD neuropati diabetik hari ke-5 menunjukkan
bahwa K(+) berbeda signifikan dengan K(-) dan kelompok P1, P2, dan P3.

32

K(-) berbeda signifikan dengan K(+) dan kelompok P3, tetapi tidak ada
perbedaan signifikan antara kelompok P1 dan P2.
Tabel 4.7 Hasil LSD Neuropati Diabetik pada Hari ke-7

Kelompok
Perlakuan

K(+)

K(+)

K(-)
*

Dosis
200 (P1)

Dosis
400 (P2)

Dosis
600 (P3)

NS

NS

NS

NS

NS

K(-)

Dosis 200 (P1)

NS

Dosis 400 (P2)

NS

NS

Dosis 600 (P3)

NS

NS

NS
NS

Keterangan:
* : berbeda secara bermakna
NS: non significant; tidak berbeda secara bermakna

Dari data hasil uji LSD neuropati diabetik hari ke-7 menunjukkan
bahwa K(+) berbeda signifikan dengan K(-) dan kelompok P1, P2, dan P3.
K(-) berbeda signifikan dengan K(+), tetapi tidak ada perbedaan signifikan
antara kelompok P1, P2, dan P3. Neuropati diabetik antara kelompok P1, P2,
dan P3 tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

4.2 Pembahasan
Hasil uji One Way Anova untuk neuropati diabetik menunjukkan
signifikansi 0,000 (p<0,05) yang berarti terdapat perbedaan secara bermakna
neuropati diabetik antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Selanjutnya,
uji hipotesis dapat dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc dengan metode LSD.
Hasil uji ini pada hari ke-1 belum menunjukkan adanya peningkatan respon tikus
dengan pemberian terapi ekstrak etanol kayu manis dosis 200 mg/kgBB, 400
mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB. Pada hari ke-3 mulai terlihat adanya peningkatan
respon tikus pada terapi pemberian ekstrak etanol kayu manis dosis 200 mg/kgBB
sedangkan pada dosis 400 mg/kgBB dan dosis 600 mg/kgBB belum terlihat
adanya peningkatan. Pada hari ke-5 terjadi peningkatan respon tikus pada terapi

33

pemberian ekstrak etanol kayu manis dosis 200 mg/kgBB dan dosis 400 mg/kgBB
sedangkan pada dosis 600 mg/kgBB belum menunjukkan adanya peningkatan.
Pada hari ke-7 terjadi peningkatan respon tikus pada terapi pemberian ekstrak
etanol kayu manis dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol kayu manis dengan
dosis 200 mg/kgBB memberikan efek peningkatan respon tikus dengan jangka
waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan pemberian dosis 400 mg/kgBB
dan 600 mg/kgBB serta terapi pemberian ekstrak etanol kayu manis dengan tiga
variasi dosis tersebut dapat mengatasi stres oksidatif yang terjadi pada neuropati
diabetik.
Stres oksidatif yang ditandai dengan peningkatan radikal bebas menjadi
masalah pada diabetes melitus dengan komplikasi kronis berupa neuropati
diabetik karena menyebabkan kerusakan sel-sel saraf dan diduga berhubungan
dengan peningkatan superoksida.
Senyawa antioksidan yang terdapat pada kayu manis (Cinnamomum
burmannii) adalah polifenol dimana antioksidan tersebut didapatkan pada ekstrak
etanol kayu manis. Kandungan polifenol dalam kulit kayu manis yang berupa
sinamaldehid adalah sebesar 65-80% (Vangalapati, 2012). Hal ini juga didukung
studi yang dilakukan oleh Azima 2004 bahwa aktivitas antioksidan ekstrak etanol
kayu manis (Cinnamomum burmannii) lebih tinggi dibanding dengan antioksidan
-tokoferol yang terkandung dalam vitamin E. Mekanisme antioksidan kayu
manis adalah melalui donor atom hidrogen dari gugus hidroksil sehingga
menghentikan reaksi oksidasi berantai pembentukan radikal bebas (Bimo, 2013).
Senyawa antioksidan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mencegah kerusakan
oksidatif pada sel-sel saraf yang dilakukan dengan menguji thermal hyperalgesi
hewan coba.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan rata-rata respon nyeri tikus
neuropati diabetik pada kelompok kontrol negatif hari ke-1, ke-3, ke-5, dan ke-7
adalah 5,04 detik, 4,58 detik, 4,73 detik, 4,86 detik. Apabila dibandingkan dengan
kelompok kontrol positif yang diinduksi aloksan 100 mg/kgBB menunjukkan
adanya penurunan respon nyeri tikus. Rata-rata respon nyeri tikus pada kelompok

34

kontrol positif adalah 3,72 detik, 3,28 detik, 3,66 detik, 3,34 detik. Nilai
signifikansi antara kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol positif
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (0,000). Dari uraian diatas,
respon nyeri kelompok kontrol positif lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa aloksan yang diinduksikan
membuat tikus hiperglikemi dan menyebabkan komplikasi berupa neuropati
diabetik akibat penumpukan radikal bebas dalam sel-sel saraf.
Kelompok kontrol positif apabila dibandingkan dengan kelompok
perlakuan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB tidak memiliki
perbedaan yang signifikan pada hari ke-1 terapi pemberian ekstrak etanol kayu
manis dimana nilai signifikan kedua kelompok sebesar (>0,05). Nilai rata-rata
respon nyeri tikus pada kelompok kontrol positif adalah 3,72 detik, sedangkan
pada kelompok perlakuan dosis 200 mg/kgBB, dosis 400 mg/kgBB, dan dosis 600
mg/kgBB yaitu masing-masing sebesar 3,38 detik, 3,64 detik, dan 3,38 detik.
Sebaliknya perbandingan antara kelompok kontrol positif dengan kelompok
perlakuan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB pada hari ke-3,
ke-5, dan ke-7 memiliki perbedaan yang signifikan. Nilai signifikan kedua
kelompok sebesar 0,000 (<0,05). Tikus yang diberikan ekstrak etanol kayu
manis dengan dosis 200 mg/kgBB memiliki rata-rata respon nyeri 4,24 detik pada
hari ketiga, 4,28 detik pada hari kelima, dan 4,48 detik pada hari ketujuh. Tikus
yang diberikan ekstrak etanol kayu manis dengan dosis 400 mg/kgBB memiliki
rata-rata respon 4,44 detik pada hari kelima dan 4,56 detik pada hari ketujuh.
Tikus yang diberikan ekstrak etanol kayu manis dengan dosis 600 mg/kgBB
memiliki rata-rata respon 4,68 detik pada hari ketujuh. Data tersebut menunjukkan
bahwa ekstrak etanol kayu manis belum memberikan efek terhadap tikus
neuropati diabetik pada hari ke-1, tetapi mampu meningkatkan respon nyeri tikus
neuropati diabetik secara signifikan pada hari ke-3, ke-5, dan ke-7. Hal ini
disebabkan karena rantai radikal bebas pada sel-sel saraf akibat diabetes melitus
mampu diputus oleh ekstrak etanol kayu manis yang berperan sebagai radical
scavenger melalui donor atom hidrogen dari gugus hidroksil flavonoid sehingga

35

menghasilkan radikal stabil dan mencegah kerusakan sel-sel saraf akibat stress
oksidatif (Bimo, 2013).
Kelompok kontrol negatif apabila dibandingkan dengan kelompok
perlakuan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB memiliki
perbedaan yang signifikan pada hari ke-1 pemberian terapi ekstrak etanol kayu
manis. Nilai signifikan kedua kelompok sebesar 0,000 (<0,05). Sedangkan
kelompok kontrol negatif apabila dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis
200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB tidak memiliki perbedaan
signifikan pada hari ke-7 pemberian terapi ekstrak etanol kayu manis. Rata-rata
respon nyeri tikus kelompok kontrol negatif adalah 4,86 detik dan kelompok
perlakuan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB dan 600 mg/kgBB masing-masing
sebesar 4,48 detik, 4,56 detik, dan 4,68 detik. Nilai signifikansi antara kedua
kelompok tersebut adalah (>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
eskstrak etanol kayu manis dengan dosis 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB dan 600
mg/kgBB memberikan efek terhadap tikus hiperglikemi dengan komplikasi
neuropati diabetik dimana ekstrak kayu manis memiliki kandungan antioksidan
berupa polifenol dengan mengurangi stres oksidatif yang terjadi pada sel-sel saraf.
Dari data-data di atas, diketahui bahwa ekstrak etanol kayu manis
memiliki efek sebagai antioksidan dengan mampu meningkatkan respon tikus
wistar neuropati diabetik. Kandungan antioksidan pada ekstrak etanol kayu manis
berpotensi melindungi sel-sel saraf dari kerusakan oksidatif. Senyawa polifenol
yang bertindak sebagai antioksidan akan bekerja dengan cara mentransfer atom
hidrogen atau donor elektron sehingga terbentuk senyawa yang stabil dan tidak
reaktif. Jika telah terbentuk senyawa yang tidak reaktif maka senyawa radikal
bebas tidak lagi bereaksi dengan sel-sel saraf dan dapat mempertahankan nutrisi
dari sel-sel saraf sehingga dapat menimimalkan kerusakan pada sel-sel saraf
akibat neuropati diabetik.

36

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Terdapat efek pada respon nyeri tikus neuropati diabetik setelah pemberian
terapi ekstrak etanol kayu manis pada tikus wistar jantan yang diinduksi
aloksan.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji efektifitas ekstrak etanol
kayu manis (Cinnamomum burmannii) terhadap neuropati diabetik.

2.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh lamanya


pemberian ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum burmannii) terhadap
neuroapti diabetik.

3.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek kombinasi antara


ekstrak etanol kayu manis (Cinnamomum burmannii) dan obat antidibetik
oral sebagai terapi pada neuropati diabetik.

Anda mungkin juga menyukai