Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data dari IDF mengenai prevalensi Diabetes Melitus bahwa
terdapat 483 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes pada
tahun 2019 atau setara dengan angka prevalensi sebesar 9,3% dari total penduduk
usia yang sama. Prevalesni diabetes diperkirakan meningkat seiring penambahan
umur penduduk menjadi 19,9% atau 111,2 juta orang pada umur 65-79 tahun.
Angka diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan
700 juta di tahun 2045. IDF memproyeksikan jumlah penderita diabetes pada
penduduk umur 20-79 tahun pada beberapa negara di dunia telah mengidentifikasi
10 negara dengan jumlah penderita tertinggi. Cina, India, dan Amerika Seriikat
menjadi urutan tiga teratas dengan jumlah penderita 116,4 juta, 77 juta, dan 31
juta. Indonesia sendiri berada di tingkat ke 7 diantara 10 negara dengan jumlah
penderita terbanyak, yaitu sebesar 10,7 juta. Indonesia menjasi satu-satunya
negara di Asia Tenggara pada daftar tersebut, sehingga dapat diperkirakan
besarnya kontribusi Indonesia terhadap prvalensi kasus Diabetes Melitus di Asia
Tenggara
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik
menahun yang di akibatkan oleh pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau
tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif.
Diabetes merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular di
dunia. Diabetes Melitus merupakan penyakit kelebihan glukosan dalam darah
(hiperglikemia) yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan
relatif insentivitas sel terhadap insulin. (Depkes, 2015).
Untuk penderita Diabets Melitus yang tidak terkontrol dengan baik dapat
menimbulkan komplikasi akut dan kronis seperti komplikasi makrovaskular,
hipoglikemia, dan hiperglikemia. Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar
gula darah melonjak secara tiba-tiba yang mana ditandai dengan poliuria,
polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah dan pandangan kabur.

1
Gejala-gejala awal penyakit diabetes mellitus seperti sering merasa haus
yang disertai dengan banyak buang air kecil hanya diperhatikan sebagai hal biasa
oleh masyarakat, setelah mengalami luka pada kaki, kelainan dalam aktivitas
berjalan atau kebutaan masyarakat baru menyadari bahwa dirinya terkena
penyakit diabetes mellitus. Diabetes mellitus bukan penyakit yang menakutkan
tetapi hanya perlu pengendalian penderita untuk dapat hidup dengan penyakit
diabetes mellitus. Diabetes mellitus apabila diremehkan dapat menyerang seluruh
anggota tubuh. Perawatan dan pengobatan diabetes mellitus yang tertib dan baik
dapat mencegah komplikasi.
Untuk itu dibutuhkan obat hipoglikemik untuk menurunkan kadar glukosa
darah pada penderita Diabetes Melitus. Obat hipoglikemik oral adalah obat
penurun glukosa darah yang diberi secara oral yang mana bekerja melalui
beberapa cara untuk menurunkan kadar glukosa darah. Salah satu terapi
farmakologi yang menjadi pilihan bagi penderita diabetes melitus adalah
glibenklamid dari golongan sulfonilurea dan metformin dari golongan biguanida.
Obat ini merupakan antidiabetika oral generasi ke-2 dengan khasiat
hipoglikemiknya yang kira-kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida. Resiko
hipo juga lebih besar dan lebih sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan
sulfonilurea lain yaitu dengan single dose pagi hari mampu menstimulir sekresi
insulin pada setiap pemasukan glukosa (Tjay dan Rahardja, 2015).
Berdasarkan uraian di atas yang telah dijelaskan secara eksplisit mengenai
Diabetes Melitus dan cara untuk mengatasi hiperglikemia pada penderita Diabetes
Melitus yang mana digunakan obat hipoglikemik seperti glibenklamid dan
metformin maka untuk itu perlu juga diujikan pada mencit apakah obat
glibenklamid dan metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah pada mencit
dengan cepat tanpa adanya efek samping.
1.2 Tujuan Percobaan
Agar dapat menganalisis efek obat hipoglikemik oral dengan melihat dan
mengamati serta menentukan jumlah penurunan kadar glukosa pada hewan uji
mencit (mus musculus) setelah pemberian obat antihiperglikemik oral.

2
1.3 Prinsip Percobaan
Efek obat hipoglikemik oral dapat diamati dengan membangdingkan kadar
glukosa darah mencit sebelum pemberian dan setelah pemberian obat
hipoglikemik oral.
1.4 Manfaat Percobaan
1. Bagi Peneliti
Dengan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan informasi
bagi peneliti tentang efek obat hipoglikemik oral pada mencit.
2. Bagi Masyarakat
Dengan hasil penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui informasi
tentang obat hipoglikemik yang dapat menurunkan kadar gula darah.
3. Bagi Universitas
Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
referensi untuk pengembangan pembelajaran dalam lingkungan Universitas
Negeri Gorontalo.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori
2.1.1 Definisi Hiperglikemia Dan Hipoglikemia
Hiperglikemia adalah kadar gula darah yang tinggi dengan nilai lebih dari
normal dikarenakan tubuh tidak memproduksi insulin atau insulin tidak bekerja
dengan baik (Hess-Fischl, 2016).
Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana
kadar glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena
ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan
yang digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis antara lain
penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan menjadi kabur dan gelap,
berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan terkadang sampai hilang
kesadaran (syok hipoglikemia) (Fowler, 2015).
Hipoglikemia merupakan penyakit yang disebabakan oleh kadar gula darah
(glukosa) yang rendah. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula
darah antara 70-110 mg/dL (Abata, 2015).
2.1.2 Definisi Diabetes Mellitus
Menurut Punthakee et al. (2018), Diabetes melitus adalah kelainan
metabolisme heterogen yang ditandai dengan adanya hiperglikemia akibat
gangguan sekresi insulin, aksi insulin yang rusak atau keduanya. Hiperglikemia
kronis dari diabetes dikaitkan dengan komplikasi mikrovaskular jangka panjang
yang relatif spesifik yang mempengaruhi mata, ginjal dan saraf, serta peningkatan
risiko penyakit kardiovaskular. Kriteria diagnostik untuk diabetes didasarkan pada
ambang batas glikemia yang berhubungan dengan penyakit mikrovaskular,
terutama retinopati.
Menurut World Health Organization (WHO) Diabetes Mellitus merupakan
penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang
dihasilkannya secara efektif (Kogilavani, 2017).

4
2.1.3 Klasifikasi Dan Etiologi Diabetes Mellitus
1. Diabetes Mellitus (DM) Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 terjadi akibat kegagalan sel β-pankreas dengan
defisiensi sekresi insulin "absolut". Hal ini paling sering disebabkan oleh
kerusakan imunemediasi sel β-pankreas, tetapi hal-hal lain yang tidak diketahui
juga dapat berkontribusi. Proses autoimun dimediasi oleh makrofag dan limfosit T
dengan autoantibodi yang bersirkulasi ke berbagai antigen sel β. Antibodi yang
paling sering terdeteksi pada dengan DM tipe 1 adalah ICA. Autoantibodi lain
dapat dibentuk menjadi insulin, asam glutamat dekarboksilase 65, tirosin fosfatase
IA-2 dan IA-2β dan ZnT8 (transporter seng 8). Antibodi ini umumnya dianggap
sebagai penanda penyakit daripada mediator penghancuran sel β. Gangguan
autoimun lainnya seperti Tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit
Addison, Vitiligo, dan Sariawan Celiac lebih sering terjadi pada pasien dengan
Diabetes Mellitus tipe 1 (Dipiro et al, 2015).
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM), dapat terjadi karena kerusakan progresif sekretorik insulin atau akibat
resistensi insulin (Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin
disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin). Diabetes Mellitus tipe 2 mengenai 90-95%
pasien dengan Diabetes Mellitus. Insidensi terjadi lebih umum pada usia di atas
30 tahun, berhubungan dengan obesitas, herediter dan faktor lingkungan. Diabetes
Mellitus tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Kogilavani, 2017).
a. Resistensi Insulin
Resistensi insulin umumnya terjadi pada orang-orang dengan berat badan
overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot,
lemak, dan hati sehingga pankreas harus memproduksi insulin lebih banyak.
Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak cukup dalam mengimbangi
peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan meningkat, pada
saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik. Secara molekuler beberapa faktor yang
diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada
5
protein kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan
fosforilasi serin dari protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase),
protein kinase C, dan mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR
(Insulin Receptor) (Decroli, 2019).
b. Kerusakan Sel β-pankreas
Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel
beta, diantaranya adalah teori glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan
amiloid. Efek hiperglikemia terhadap sel β-pankreas dapat muncul dalam
beberapa bentuk. Pertama adalah desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan
sementara sel β-pankreas yang dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang.
Keadaan ini akan kembali normal bila glukosa darah dinormalkan. Kedua adalah
ausnya sel β-pankreas yang merupakan kelainan yang masih reversibel dan terjadi
lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah kerusakan sel beta yang
menetap (Decroli, 2019).
Pada Diabetes Mellitus tipe 2, sel beta pancreas dengan hiperglikemia akan
memproduksi Reactive Oxygen Species (ROS). Peningkatan ROS yang berlebihan
akan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Hiperglikemia kronik merupakan
keadaan yang dapat menyebabkan berkurangnya sintesis dan sekresi insulin di
satu sisi dan merusak sel beta secara gradual (Decroli, 2019).
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga memegang peranan penting dalam terjadinya
penyakit DM tipe 2. Faktor lingkungan tersebut adalah adanya obesitas, banyak
makan, dan kurangnya aktivitas fisik (Decroli, 2019).
3. Gestasional (Diabetes Kehamilan)
Diabetes Mellitus tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya,
defek genetik pada fungsi sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik, pankreatitis dll.), penyakit metabolik
endokrin (cushing syndrome, akromegali dll.), infeksi (rubella congenital, CMV
dll), Universitas sindrom genetik lain dan karena disebabkan oleh obat atau zat
kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ)
(Kogilavani, 2017).
6
2.1.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja
secara optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya.
Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena
kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia,
virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada
kelenjar pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan
perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur
kadar glukosa darah dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
menstimulasi sel beta pankreas untuk mengsekresi insulin. Sel beta pankreas yang
tidak berfungsi secara optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin
menjadi penyebab kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta
pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik (Fatimah,
2015).
Menurut Padri, (2015) patofisiologi diabetes mellitus yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.1 Patofisiologi Diabetes Mellitus

7
2.1.5 Tanda Dan Gejala Diabetes Mellitus
Kadar gula darah adalah terjadinya suatu peningkatan setelah makan dan
mengalami penurunan di waktu pagi hari bangun tidur. Bila seseorang dikatakan
mengalami hipoglikemia apabila keadaan kadar gula dalam darah jauh diatas nilai
normal, sedangkan hipoglikemia suatu keadaan kondisi dimana seseorang
mengalami penurunan nilai gula dalam darah dibawah normal (Rudi 2015).
Kadar gula darah merupakan peningkatan glukosa dalam darah. Konsentrasi
terhadap gula darah atau peningkatan glukosa serum diatur secara ketat di dalam
tubuh. Glukosa dialirkan melalui darah merupakan sumber utama energi untuk
sel-sel tubuh. Nilai untuk kadar gula darah dalam darah bisa dihitung dengan
beberapa cara dan kriteria yang berbeda.
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosa DM (mg/dl)

Bukan Belum
DM
DM pasti DM
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-199 ≥200
darah sewaktu Plasma Kapiler <90 90-199 ≥200
(mg/dL)
Kadar Glukosa Plasma Vena <100 100-125 ≥126
darah puasa Plasma Kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dL
Sumber : (Brunner & Suddarth, 2016; Dipiro et al, 2015).
Sedangkan menurut Rudi (2013), hasil pemeriksaan kadar gula darah
dikatakan normal bila :
a. Gula darah sewaktu : < 110 mg/dL
b. Gula darah puasa : 70 – 110 mg/dL
c. Waktu tidur : 110 – 150 mg/dL
d. 1 jam setelah makan : < 160 mg/dL
e. 2 jam setelah makan : < 140 mg/dL
f. Pada wanita hamil : < 140 mg/dL

8
Gejala  penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya
tidak selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang
umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala
lain. Ada pula penderita diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun
sampai pada saat tertentu (Perkeni, 2015)
1. Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
a) Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan).
b) Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum).
c) Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing).
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus
meningkat, bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan
ini jumlah insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah (Perkeni,
2015).
2. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :
a. Banyak minum.
b. Banyak kencing.
c. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu
2-4 minggu).
d. Mudah lelah.
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri)
dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar
glukosa darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik,  gejala
dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi keluhan utama
penderita untuk berobat ke dokter (Perkeni, 2015)
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut
(mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa
bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini dikenal
dengan gejala kronik atau menahun (Perkeni, 2015)
9
Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah seperti
yang disebut dibawah ini (Perkeni, 2015)
a. Kesemutan.
b. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal pada kulit
telapak kaki, sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal atau kasur.
c. Kram.
d. Capai, pegal-pegal.
e. Mudah mengantuk.
f. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
g. Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita.
h. Gigi mudah goyah dan mudah lepas.
i. Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten, dan
Para ibu hamil sering mengalami gangguan atau kematian janin dalam
kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 3,5 kg.  
2.1.6 Penggolongan Diabetes Mellitus
1. Diabetes Mellitus Tipe I atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus).
Penyebab utama Diabetes Mellitus Tipe I adalah terjadinya kekurangan
hormon insulin pada proses penyerapan makanan. Fungsi utama hormon insulin
dalam menurunkan kadar glukosa secara alami dengan cara (Perkeni, 2015) :
a. Meningkatkan jumlah gula yang disipan didalam hati.
b. Merangsang sel-sel tubuh agar menyerap gula.
c. Mencegah hati mengeluarkan terlalu banyak gula.
Jika insulin berkurang, kadar gula didalam darah akan meningkat. Gula
dalam darah berasal dari makanan kita yang diolah secara kimiawi oleh hati.
Sebagian gula disimpan dan sebagian lagi digunakan untuk tenaga. Disinilah
fungsi hormone insulin sebagai “stabilizer” alami terhadap kadar glukosa dalam
darah. Jika terjadi gangguan sekresi (produksi) hormone insulin ataupun terjadi
gangguan pada proses penyerapan hormone insulin pada sel-sel darah maka
potensi terjadinya Diabetes Mellitus sangat besar sekali (Perkeni, 2015).

10
2. Diabetes Mellitus Tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus)
Jika pada Diabetes Mellitus Tipe I penyebab utamanya adalah dari
malfungsi kelenjar pankreas, maka pada Diabetes Mellitus Tipe II, gangguan
utama justru terjadi pada volume reseptor (penerima) hormon insulin, yakni sel-
sel darah. Dalam kondisi ini produktivitas hormone insulin bekerja dengan baik,
namun tidak terdukung oleh kuantitas volume reseptor yang cukup pada sel darah,
keadaan ini dikenal dengan resistensi insulin. Dibawah ini terdapat beberapa
fakor-faktor yang memiliki peranan penting terjadinya hal tersebut (Perkeni,
2015) :
a. Obesitas.
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat.
c. Kurang gerak badan (olahraga).
d. Faktor keturunan.
Diabetes Mellitus tidak menakutkan bila diketahui lebih awal. Gejala-gejala
yang timbul sangat tidak bijaksana untuk dibiarkan, karena justru akan
menjerumuskan kedalam komplikasi yang lebih fatal. Jika berlangsung menahun
kondisi penderita Diabetes Mellitus berpel uang besar menjadi ke toasidos is
ataupun hipoglikemia (Perkeni, 2015).
2.1.7 Faktor-faktor yang memicu terjadinya Diabetes Melitus
Menurut (Yuliasih dan Wirawanni, 2009), faktor-faktor yang memicu
terjadinya Diabetes Melitus antara lain :
1. Usia diatas 45 tahun
Pada orang-orang yang berumur fungsi organ tubuh semakin menurun, hal
ini diakibatkan aktivitas sel beta pankreas untuk menghasilkan insulin
menjadi berkurang dan sensitifitas sel-sel jaringan menurun sehingga tidak
menerima insulin.
2. Obesitas atau kegemukan
Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga
dapat memicu munculnya Diabetes Mellitus.

11
3. Pola makan
Pola yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian
masyarakat perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
tubuh dapat menjadi penyebab Diabetes Mellitus, misalnya makanan
gorengan yang mengandung nilai gizi yang minim.
4. Riwayat Diabetes Mellitus pada keluarga
Sekitar 15-20 % penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes
Mellitus) mempunyai riwayat keluarga Diabetes Mellitus, sedangkan
IDDM (Insulin Dependen Diabetes Mellitus) sebanyak 57% berasal dari
keluarga Diabetes Mellitus.
5. Kurangnya berolahraga atau beraktivitas
Olahraga dapat dilakukan 3-5 kali seminggu, kurang berolahraga dapat
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin dapat menurun sehingga dapat
mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang dapat menyebabkan
Diabetes Mellitus.
2.1.8 Golongan Obat Hipoglikemik
1. Golongan Sulfoniurea
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan sulfonilurea merupakan obat
pilihan untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan
kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea
bekerja dengan cara menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan,
menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai
akibat rangsangan glukosa.
Contoh obat sulfonilurea generasi pertama adalah asetoheksamida,
klorpropamida, tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan generasi kedua antara
lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikasida, glimepirida, dan glikuidon.
Obat golongan ini semuanya mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam
hal masa kerja, degradasi, dan aktivitas metabolitnya. Pada pemakaian
sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari
kemungkinan hipoglikemia. Untuk menghindari resiko hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan

12
hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang. Efek samping sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan
saraf. Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orang
tua karena risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, demikian juga glibenkamid.
Untuk orang tua dianjurkan preparat dengan waktu kerja pendek. Glikuidon juga
diberikan pada pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal atau hati ringan
(Wardani, 2016).
2. Golongan Meglitinida
Golongan Meglitinida terdiri dari nateglinide dan repaglinide bekerja seperti
sulfonilurea dengan menstimulasi sekresi insulin dari sel β-pankreas. Efek
samping akibat penggunaan short-acting insulin secretagogues adalah efek
hipoglikemi dan peningkatan berat badan. Namun resiko hipoglikemia yang
muncul lebih rendah daripada akibat penggunaan sulfonilurea (gliburid dan
glipizid) (Perkeni, 2015).
Penggunaan nateglinid dikontraindikasikan bagi pasien DM tipe 1, pasien
yang mengalami ketoasidosis dan hipersensitif terhadap obat ini Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati (Perkeni, 2015).
3. Golongan biguanid
Biguanid meningkatkan kepekaan reseptor insulin, sehingga absorbsi
glukosa di jaringan perifer meningkat dan menghambat glukoneogenesis dalam
hati dan meningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. Preparat yang ada
dan aman adalah metformin. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti
insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas
(Wardani, 2016).
Metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL
kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat
meningkatkan HDL kolesterol hingga 2% (Soegondo, 2004). Pada pemakaian
tunggal, metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20%
(Wardani, 2016).
13
Pada pasien dengan berat lebih, dapat dikombinasi dengan obat golongan
sulfonylurea. Kombinasi sulfonilurea dan metformin merupakan kombinasi yang
rasional karena cara kerja berbeda yang saling aditif. Efek samping yang sering
terjadi adalah nausea, muntah, kadang-kadang diare dan dapat menyebabkan
asidosis laktat. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia, misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok,
gagal jantung (Wardani, 2016).
4. Thiazolidindione
Thiazolidindione bekerja dengan mengikat pada peroxisome proliferator
activator receptor-γ (PPAR-γ), yang terutama ada pada sel lemak dan sel
vaskular. Thiazolidindione secara tidak langsung meningkatkan sensitivitas
insulin pada otot, liver, dan jaringan lemak. Thiazolidindione adalah obat
golongan baru yang mempunyai efek meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga
bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi
insulin tanpa menyebabkan hipoglikemi. Kegiatan farmakologisnya luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan
bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan
glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Kegiatan farmakologi
lainnya antara lain dapat menurunkan kadar trigliserida atau asam lemak bebas
dan mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas
untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Wardani, 2016).
Dua anggota dari golongan tersebut tersedia secara komersial adalah
rosiglitazon dan pioglitazon. Efek samping yang utama dari thiazolidindione
adalah udem, terutama pada pasien hipertensi dan congestive cardiac failure.
Thiazolidindione dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pasien yang menggunakan obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala. Thiazolidindione tidak digunakan sebagai obat tunggal (Wardani, 2016).

14
5. Golongan α-glukosidase-inhibitors
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α-glukosidase
di dalam saluran cerna. Sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi
monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan
absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga
memuncaknya kadar glukosa darah dihindarkan (Perkeni, 2015).
Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak
berpengaruh pada kadar insulin. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal
50 mg dan dinaikan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Efek sampingnya
adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare (Perkeni,
2015).
2.1.9 Hewan Uji
Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk suatu tujuan
penelitian tertentu dan umumnya menggunakan hewan laboratorium hingga
hewan ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam berbagai penelitian fisiologi,
biokimia, farmakologi, patologi, komporatif zoologi dan ekologi, juga dilakukan
untuk pengembangan obat-obatan, vaksin dan produk-produk khusus misalnya:
kosmetik, shampoo, dan pasta gigi (Jumrodah, 2016).
Hewan coba adalah hewan yang sengaja dipelihara untuk digunakan sebagai
hewan model yang berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan berbagai
macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Hewan
coba banyak digunakan sebagai penunjang dalam melakukan pengujian-pengujian
terhadap obat, vaksin, atau dalam penelitian biologi (Esmawatti, 2015).
Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek ataupun
model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik Penggunaan
Hewan. Oleh karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan laboratorium
pendidikan (praktikum) perlu selaras tata caranya dan memenuhi kriteria etika
penggunaan hewan percobaan. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tetap
harus dijaga hak-haknya yang dikenal sebagai Animal Welfare seperti yang
tercantum dalam five of freedom (Stevani, 2016).

15
Animal welfare dalam Bahasa Indonesia berarti kesejahteraan hewan.
Standar "yang baik" tentang kesejahteraan hewan sangat bervariasi antara konteks
yang berbeda. Standar ini berada di bawah review konstan dan diperdebatkan,
dibuat dan direvisi oleh komunitas kesejahteraan hewan, legislator dan akademisi
di seluruh dunia. Ilmu kesejahteraan hewan menggunakan berbagai langkah,
seperti umur panjang, penyakit, imunosupresi, perilaku, fisiologi, dan reproduksi,
meskipun ada perdebatan tentang yang mana dari indikator ini yang memberikan
informasi terbaik (Kadek, 2017).
Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomen-
dasikan penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai endpoint
klinis hewan. BCS merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam
menilai kondisi fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis
yang lebih baik daripada berat badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat
membedakan antara lemak tubuh atau simpanan otot. Berat badan hewan yang
kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya pertumbuhan tumor,
akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada kondisi normal
(misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan telah kehilangan berat badan
lebih dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai 3
(BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia segera. Dengan
demikian, BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan akurat untuk
kesehatan hewan dibandingkan kehilangan berat badan (Stevani, 2016).
Berikut cara menilai Body Condition Scoring (BCS) menurut Stevani
(2016):
BCS Nilai 1- Mencit kurus
Tulang-tulang tubuh sangat jelas kelihatan. Bilamana diraba,
tidak terasa adanya lemak atau daging. Tampak atas juga
kelihatan sekali bagian-bagian tubuhnya tidak berisi lemak
atau daging.

16
BCS Nilai 2- Mencit di bawah kondisi standart
Tikus tanpak kurus. Tulang-tulang masih kelihatan jelas,
namun bilamana diraba masih terasa adanya daging atau
lemak. Tampak atas sudah tidak terlalu berlekuk lekuk, agak
berisi. Tulang pelvic dorsal dapat langsung teraba.

BCS Nilai 3- Mencit dalam kondisi yang baik


Tubuhnya tidak tampak tonjolan tulang, namun bilamana
diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-tulang.
Tampak atas, biasanya sudah lebih lurus tampak berisi.
Tulang pelvic dorsal sedikit teraba.

BCS Nilai 4- Mencit di atas kondisi standart


Tidak tampak adanya tonjolan tulang-tulang dan bilamana
diraba agak sulit merasakan tulang karena tebalnya timbunan
lemak dan daging. hewan kelihaan berisi dan tampak juga
lipatan-lipatan lemak dibawah kulit.

BCS Nilai 5- Mencit obese


Sudah sangat sulit meraba tulang-tulang akibat timbunan
lemak dan daging yang sangat tebal.

Menurut Nugroho (2018), teknik pemberian obat atau sediaan tergantung


dari tujuan penelitian, macam, dan sifat sediaan. Pemberian obat atau sediaan
sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian, sehingga sangat perlu diketahui
teknik-tekniknya. Berikut ini akan diuraikan berbagai macam teknik pemberian
obat atau sediaan :
a) Pemberian secara oral
Percobaan dengan menggunakan hewan mencit atau tikus, pemberian obat
maupun sediaan dapat menggunakan teknik per oral. Pemberian obat secara oral
merupakan teknik paling umum dilakukan karena relatif mudah, praktis dan
murah. Namun ada beberapa kerugiannya yaitu: banyak faktor dapat
17
mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita dan adanya
interaksi dalam absorbsi di saluran cerna). Sifat absorbsi obat mempunyai sifat-
sifat tersendiri. Teknik pemberian secara oral ini sangat mudah dilakukan untuk
hewan uji seperti mencit atau tikus. Mencit atau tikus dipegang dengan cara yang
telah diuraikan bab sebelumnya, sehingga posisi hewan uji lurus. Suntikan oral
(kanul) dapat dimasukkan ke mulut hingga esophagus. Posisi suntikan berkanul
juga harus dalam posisi tegak lurus. Larutan obat atau sediaan dalam suntikan
berkanul ditempelkan pada langit-langit mulut atas mencit, kemudian dimasukkan
dengan hati-hati sampai ke esofagus dan cairan obat dimasukkan.
b) Subkutan
Pemberian obat atau sediaan secara subkutan pada mencit dapat dilakukan
di bagian bawah kulit daerah tengkuk (leher bagian atas). Teknik yang tepat
adalah mencubit kulit di leher bagian atas dan kemudian obat dapat diberikan
dengan suntikan dengan sudut 45 derajat. Bagian subkutan lain yang dapat
digunakan untuk pemberian obat atau sediaan adalah kulit abdomen. Sementara
itu jarum suntik yang digunakan untuk mencit dapat menggunakan alat suntik
(syringe dan jarumnya) berukuran 1 mL atau menyesuaikan.
c) Intravena
Teknik pemberian obat atau sediaan secara intravena pada mencit dan tikus
dilakukan dengan bantuan holder atau alat bantu pemegang hewan uji dan
diusahakan ada lubang untuk ekor. Sebelum penyuntikan, ekor dapat dimasukkan
ke dalam air hangat terlebih dahulu, dengan tujuan agar pembuluh vena ekor
mengembang (dilatasi) sehingga mempermudah dalam pemberian obat atau
sediaan.
d) Intraperitonial
Teknik intraperitonial sering dilakukan mencit. Saat penyuntikkan
berlangsung posisi kepala hewan uji harus lebih rendah dari bagian abdomen.
Cara tersebut dapat dilakukan dengan teknik menunggingkan hewan uji. Jarum
suntik kemudian disuntikkan dengan membentuk sudut 46 derajat dengan
abdomen, sementara posisi jarum agak menepi dari garis tengah agar tidak
menusuk organ dalam seperti hepar.
18
e) Intramuskular
Teknik pemberian obat dengan cara intramuskular (IM) merupakan teknik
pemberian sediaan atau obat melalui jaringan otot, umumnya di otot paha.
Kecepatan dan kelengkapan adsorpsi sediaan atau obat dipengaruhi oleh kelarutan
obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di otot deltoid atau vastus lateralis
daripada di bagian gluteus maksimus. Penyuntikan intramuskular juga dapat
dilakukan pada mencit atau tikus pada bagian musculus yang tebal yaitu bicep
femoris.
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol 70% (Dirjen POM, 2020; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Alkohol, etanol, ethylalkohol
Rumus molekul : C2H6O
Rumus struktur :

Berat molekul : 46,07 g/mol


Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak; bau khas rasa panas, mudah
terbakar dan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P.
Manfaat : Sebagai zat tambahan, juga dapat membunuh
kuman.
Kegunaan : Sebagai desinfektan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya,
ditempat sejuk jauh dari nyala api.

19
2.2.2 Aloksan (Geitner, 2014)
Nama Resmi : ALOKSAN MONOHIDRAT
Nama Lain : Aloksan
Rumus molekul : C4H2N2O4.H2O
Berat molekul. : 160,08 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Berbentuk bubuk dan berwarna kuning muda.


Kelarutan : Larut dalam air.
Manfaat : Peningkat kada glukosa darah.
Kegunaan : Sebagai penginduksi.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.3 Aquadest (Dirjen POM< 2020; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : AQUADESTILATA
Nama Lain : Aquadest, Air Suling
Rumus molekul : H2O
Berat molekul. : 18.02 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak


berasa.
Manfaat : Sebagai sumber mineral dari dalam tanah
Kegunaan : Sebagai pelarut.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
2.2.4 Na-CMC (Dirjem POM, 2020; Rowe, 2009 ; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : NATRIUM KARBOKSIMETIL SELULOSA

20
Nama Lain : Na-CMC, Carboxymethylcellulose-Natrium

Rumus molekul : C28H30Na8O27


Rumus struktur :

Berat molekul : 982.4 g/mol 


Pemerian : Serbuk granular; putih atau hampir putih; tidak
berbau
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%), eter
dan toluen;mudah terdispersi dalam air pada
berbagai suhu membentuk larutan koloid jernih.
Khasiat : Sebagai kontrol
Kegunaan : Sebagai bahan tambahan dalam berbagai formulasi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, pada suhu 40 derajat
2.3 Uraian Obat
2.3.1 Glibenklamid (FI VI, 2020 ; PIONAS, 2015 ; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : GLIBENKLAMID
Nama lain : Glibenklamida
Berat molekul : 494,0 g/mol
Rumus molekul :

Pemerian : Serbuk hablur; putih atau hamper putih.


Kelarutan : Agak sukar larut dalam metilen klorida;sukar larut
dalam etanol dan metanol; praktis tidak larut dalam
air.
Khasiat : Menurunkan kadar gula dalam darah
Indikasi : Diabetes melitus tipe 2
21
Kontraindikasi : Obat golongan Sulfonilurea sedapat mungkin
dihindari pada gangguan fungsi hati ; gagal ginjal
dan pada porfiria. Sulfonilurea sebaiknya tidak
digunakan pada ibu menyusui dan selama
kehamilan sebaiknya diganti dengan terapi insulin.
Sulfonilurea dikontraindikasikan jika terjadi
ketoasidosis
Efek samping : Umumnya ringan dan jarang, diantaranya
gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah,
diare dan konstipasi.
Interaksi obat : Peningkatan kadar Glibenklamid dalam darah jika
dikonsumsi bersama antijamur, seperti miconazole
dan fluconazole. Peningkatan efek hipoglikemia
dari glibenklamid jika dikonsumsi bersama obat
golongan MAOI, fenilbutazon, probenecid, ACE
inhibitor, penghambat Beta, atau antibiotik.
Dosis : Dosis awal 5 mg 1 kali sehari; segera setelah
makan pagi (dosis lanjut usia 2.5 mg, disesuaikan
berdasarkan respon: dosis maksimum 15 mg
sehari).
Onset : 15-60 menit (Rubenstein david et al, 2007)
Durasi : 15-24 jam (Rubenstein david et al, 2007)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2.3.2 Metformin Hidroklorida (FI VI, 2020 ; PIONAS, 2015 ; Pubchem, 2019)
Nama Resmi : METFORMIN HIDROKLORIDA
Nama lain : Metformin hydrochloride
Berat molekul : 165,6 g/mol
Rumus molekul :

22
Pemerian : Serbuk hablur; putih; tidak berbau atau hampir
tidak berbau; higrosopik.
Kelarutan : Mudah larut dalam air; praktis tidak larut dalam
aseton dan dalam metilen klorida, sukar larut
dalam etanol.
Khasiat : Menurunkan kadar gula dalam darah
Indikasi : Diabetes mellitus tipe 2, terutama untuk pasien
dengan berat badan berlebih (overweight), apabila
pengaturan diet dan olahraga saja tidak dapat
mengendalikan kadar gula darah. Metformin dapat
digunakan sebagai monoterapi atau dalam
kombinasi dengan obat antidiabetik lain atau
insulin (pasien dewasa), atau dengan insulin
(pasien remaja dan anak >10 tahun).
Kontra indikasi : Gangguan fungsi ginjal, ketoasidosis, hentikan bila
terjadi kondisi seperti hipoksia jaringan (sepsis,
kegagalan pernafasan, baru mengalami infark
miokardia, gangguan hati), menggunakan kontras
media yang mengandung iodin (jangan
menggunakan metformin sebelum fungsi ginjal
kembali normal) dan menggunakan anestesi umum
(hentikan metformin pada hari pembedahan dan
mulai kembali bila fungsi ginjal kembali normal),
wanita hamil dan menyusui.
Efek samping : Anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya
sementara), nyeri perut, rasa logam, asidosis laktat
(jarang, bila terjadi hentikan terapi), penurunan
penyerapan vitamin B12, eritema, pruritus,
urtikaria dan hepatitis.
Interaksi obat : Obat antiinflamasi nonsteroid dan antihipertensi,
efeknya meningkatkan risiko asidosis. Diuretik,
23
kortikosteroid, dan pil KB, efeknya meningkatkan
kadar gula darah dan menurunkan efektivitas
metformin. Insulin, efeknya meningkatkan risiko
kadar gula darah rendah atau hipoglikemia.
Dosis : Dosis ditentukan secara individu berdasarkan
manfaat dan tolerabilitas. Dewasa & anak > 10
tahun: dosis awal 500 mg setelah sarapan untuk
sekurang-kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg
setelah sarapan dan makan malam untuk sekurang-
kurangnya 1 minggu, kemudian 500 mg setelah
sarapan, setelah makan siang dan setelah makan
malam. Dosis maksimum 2 g sehari dalam dosis
terbagi.
Onset : Sekitar 3 jam (Faretz et al, 2014)
Durasi : Durasi kerja sampai 24 jam (Sukandar, 2009)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, simpan dalam suhu
ruang.
2.4 Uraian Hewan
2.4.1 Klasifikasi Mencit menurut Nugroho (2018)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae Gambar 2.4
Genus : Mus Mencit
(Mus musculus )
Species : Mus musculus
2.4.2 Morfologi dan Anatomi Mencit
Mencit termasuk dalam filum chordate yang artinya mempunyai chorda
dorsalis, batang syaraf dorsal tunggal dan mempunyai celah insang pada masa
embrionya dan tidak berfungsi sebagai alat pernapasan. Mencit dikelompokkan
dalam klassis mamalia. Seperti telah diketahui, mammalia adalah kelompok
24
hewan vertebrata yang menduduki tempat tertinggi dalam perkembangan hewan.
Nama mammalia merujuk pada ciri utama anggota mamalia yaitu adanya kelenjar
mamae atau kelenjar air susu yang dapat menghasilkan air susu (pada betina) yang
dapat diberikan ke keturunannya (Nugroho, 2018)
Mencit memiliki rambut yang berwarna keabu-abuan atau putih. Mencit
memliki mata berwarna merah atau hitam, kulit berpigmen dan memiliki warna
perut sedikit pucat. Mencit dewasa pada umur 35 hari dan memiliki waktu
kehamilan 19-21 hari. Mencit dapat melahirkan 6-15 ekor. Mencit jantan dan
betina siap melakukan kopulasi pada umur 8 minggu. Siklus estrus atau masa
birahi 4-5 hari dengan lama estrus 12-14 jam. Fase estrus dimulai antara pukul
16.00-22.00 WIB. Proses persetubuhan mencit jantan dan betina untuk tujuan
fertilisasi atau disebut dengan kopulasi terjadi pada saat estrus, dengan fertilisasi 2
jam setelah kopulasi (Bella Dheta, 2017).

25
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan tempat
Praktikum mengenai Efek obat Hipoglikemik Oral pada Hewan uji,
dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi, Fakultas Olahraga Dan Kesehatan,
Universitas Negeri Gorontalo pada hari senin, tanggal 1 November 2021 pukul
13.00-15.00 WITA.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang akan digunakan yaitu alat glukometer, batang
pengaduk, botol, dispo, gelas beaker, gelas ukur, gunting, lap halus, pot
salep, sonde oral, spidol, dan wadah.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang akan digunakan yaitu Alkohol 70%, Aquades,
aloksan, kapas, kertas perkamen, mencit, Na-CMC, tablet glibenklamid,
tablet metformin dan tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pembuatan Na CMC 1%
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang Na CMC sebanyak 1 gr
4. Dipanaskan air sebanyak 100 ml hingga mendidih
5. Dimasukkan Na CMC ke dalam gelas kimia
6. Ditambahkan 100 ml air panas
7. Diaduk hingga homogen
3.3.2 Pembuatan Aloksan
1. Ditimbang Aloksan sebanyak 3 g
2. Dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml lalu tambahkan 100 ml water for
injection
3. Diaduk campuran hingga larut

26
3.3.3 Perlakuan terhadap mencit
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat yang akan digunakan menggunakan alkohol 70%
3. Ditimbang berat badan mencit, dan dicatat
4. Ditimbang mencit yang akan digunakan dan dilakukan perhitungan dosis
5. Ditimbang obat glibenklamid sebanyak 0,01156 g dan obat metformin
sebanyak 0,0473
6. Dilarutkan obat kedalam larutan Na-CMC sebanyak 20 mL
7. Dicek kadar guka darah puasa mencit
8. Diinduksi dengan aloksan sebanyak 1 mL setelah 10 menit dicek kembali
kadar gula darah pada mencit
9. Diberikan obat glibenclamide dan metformin, dan dicek gula darah tiap 20
menit selama 1 jam
10. Dicatat hasil yang didapat

27
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Kadar Glukosa Dalam Darah Mencit gambar
Volume
Kadar Menit
Kelompok pemberian
Puasa Gula
20 40 60
(mL)
Diabetik

Kontrol
1 mL 84 211 215 225 220
(Na CMC)

Glibenklamid 1 mL 98 215 192 175 162

Metformin 1 mL 92 218 200 182 175

4.2 Perhitungan
a. suspensi Glibenklamid
Perhitungan dosis oral glibenklamid
Dosis lazim glibenklamid untuk manusia : 5 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g : Dosis Lazim × Faktor Koversi
5 mg × 0,0026 = 0,013 mg
30 g
Untuk mencit dengan berat 30 g : × 0,013 mg
20 g
0,0195 mg
Dosis yang diberikan dalam volume : 1 mL
Dibuat larutan persediaan sebanyak : 20 mL
20 mL
Jumlah Glibenklamid yang digunakan : × 0,0195 mg
1 mL

28
0,39 mg = 0,00039 g
0,00039 g
% kadar Glibenklamid : × 100 %
20 mL
0,00195 %
Berat 1 Tablet : 0,1445 g
0,0004 g
Berat Serbuk : × 0,1445 g
0,005 g
0,1156 g
b. suspensi metformin
Perhitungan dosis oral glibenklamid
Dosis lazim glibenklamid untuk manusia : 500 mg
Konversi dosis untuk mencit BB 20 g : Dosis Lazim × Faktor Koversi
500 mg × 0,0026 = 1,3 mg
25 g
Untuk mencit dengan berat 25 g : × 1,3 mg
20 g
1,625 mg
Dosis yang diberikan dalam volume : 1 mL
Dibuat larutan persediaan sebanyak : 20 mL
20 mL
Jumlah Glibenklamid yang digunakan : × 1,625 mg
1 mL
32,5 mg = 0,0325 g
0,0325 g
% kadar Glibenklamid : × 100 %
20 mL
0,1625 %
Berat 1 tablet : 0,7271 g
0,0325 g
Berat serbuk : × 0,7271 g
0,5 g
0,1156 g

4.3 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan dengan tujuan menganalisis berbagai efek
obat hipoglikemik oral yang diberikan kepada mencit dengan mengamati

29
penurunan kadar glukosa darah pada mencit Mus musculus, setelah pemberian
obat antihiperglikemik oral. Adapun obat yang digunakan yaitu Glibenclamide
dan Metformin. Untuk prinsip percobaannya Efek obat hipoglikemik oral dapat
diamati dengan membangdingkan kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian
dan setelah pemberian obat hipoglikemik oral.
Menurut Kemenkes RI (2014), bahwa hiperglikemia meurpakan suatu
kondisi ketika kadar glukosa darah meningkat melebihi batas normalnya.
Hiperglikemia menjadi salah satu gejala awal seseorang mengalami gangguan
metabolik yaitu diabetes melitus.
Untuk mengatasi kondisi hiperglikemia maka diperlukan obat
hipoglikemia oral. Menurut Anisya (2014), bahwa obat hiperglikemik oral dapat
diberikan sebagai alternatif terapi DMG, untuk obat hiperglikemik oral yang dapat
diberikan yaitu metformin dan glibenclamide.
Mekanisme kerja dari obat glibenklamid yaitu dengan cara menstimulasi
pengeluarann insulin dengan cara menghambat penempelan reseptor sulfonil urea
di sel β pulau langhears dan akhirnya menyebabkan adanya tegangan pembukaan
calsium chanel yang akhirnya terjadi peningkatan kalsium intra sel β (Wulan,
2016).
Mekanisme kerja obat metformin yaitu merangsang sel β pankreas untuk
melepaskan insulin yang terimpan sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang
masih mampu mensekresi insulin (Zaim, 2017)
Pada praktikum kali ini mencit di bagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok kontrol, kelompok suspensi glibenclamid, dan kelompok suspensi
metformin yang akan diberikan perlakuan, sebelum memberikan perlakuan
mencit terlebih dahulu dipuasakan sebagaimana menurut Febrina, M., (2019),
sebelum diberikan perlakuan, mencit dipuasakan terlebih dahulu 12-16 jam
sebelum perlakuan agar glukosa darah stabil dan tidak terdapat perubahan kadar
glukosa darah karena adanya asupan makanan.
Dilakukan penimbangan berat badan mencit apakah sudah memenuhi
persyaratn. Mrnurut Stevani, H (2016), mencit dalam kondisi baik terdapat pada
BCS nilai 3 dimana tubuh mencit tidak nampak tonjolan tulang, namun apabila

30
diraba cukup mudah merasakan adanya tulang-tulang tampak atasnya biasanya
sudah lebih kurus tampak berisi tulang pelvis dorsal atau tulang panggul sedikit
teraba. Ditimbang mencit yang akan digunakan. Tujuan dilakukan penimbangan
menurut Stevani (2016) untuk menentukan mencit yang digunakan telah
memenuhi standar. Setelah itu dibuat suspensi glibenklamid dan suspensi
metformin dengan menimbang masing masing sebanyak Campbell; (2016) secara
berurutan dan dilarutkan dalam 20 ml Na-CMC.
Mencit pertama dengan berat badan 29 g yaitu mencit yang
dikelompokan sebagai kelompok kontrol sebelum diinduksikan dengan
pengontrol Na-CMC, kadar aloksan (kadar puasa) diukur terlebih dahulu dan
menghasilkan 84 mg/dL. Kemudian dibiarkan 10 menit setelah itu diinduksikan
dengan aloksan lalu diukur kadar gula darahnya. Menurut Mugsita, (2015)
bahwa mencit yang diinduksi dengan larutan aloksan dapat menyebabkan
hiperglikemia, dengan kenaikan kadar gula darah 50%. Ditunggu beberapa saat,
lalu diinduksikan dengan Na-CMC sebanyak 1 ml. Alasan pemberian sebanyak 1
mL, karena menurut panduan praktikum farmakologi, untuk hewan coba seperti
mencit volume maksimum jalur pemberian secara oral adalah sebanyak 1 mL.
Terjadi perubahan kadar gula darah 211 mg/dL. Menurut Tambunan (2016),
alasan menggunakan Na-CMC karena biasanya mempunyai ph 7,0-8,5 pada
rentang 5-9 tidak terlalu berpengaruh terhadap tubuh mecit. Adapun tujuan dari
pemberian larutan kontrol Na-CMC yaitu sebagai pembanding
Mencit kedua dengan berat badan 30 g pada kelompok mencit yang
diberikan suspensi glibenclamid didapatkan kadar aloksan (kadar puasa)
sebanyak 98 mg/dL, diinduksikan dengan aloksan lalu diukur kadar
aloksannya. Ditunggu hingga 10 menit, dan di induksikan dengan obat
glibenklamid. Diukur dan menghasilkan 215 mg/dL. Setelah 20 menit kemudian
diukur kembali dan menghasilkan 192 mg/dL. Setelah 40 menit diukur kembali
gula darah dan di dapatkan hasilnya yaitu 175 mg/dL dan diukur lagi pada menit
ke 60 didapatkan hasilnya 162 mg/dL Terjadi penurunan kadar gula darah pada
mencit yang diberikan iduksi obat glibenklamid, hal ini dikarenakan
glibenklamid bekerja dengan cara menstimulasi pengeluaran insulin dengan cara

31
menghambat penempelan reseptor sulfonilurea di sel β pulau pangkears dan
akhirnya menyebabkan adanya tegangan pembukaan kalsium chanel yang
akhirnya terjadi peningkatan kalsium intra sel β (Akash MSH, 2017),
mekanisme kerja dari glibenklamid adalah dengan merangsang sekresi hormon
insulin dari granul sel-sel β langerhans pancreas.
Mencit ketiga dengan berat badan 25 g yang dikelompokan dalam
kelompok suspensi metformin didapatkan kadar gula darah puasa sebesar 92
mg/dL, diinduksikan dengan aloksan lalu diukur kadar gula darahnya dan
didapatkan hasil sebesar 215 mg/dL. Pada pemberian induksi aloksan terjadi
kenaikan gula darah yang tinggi. Menurut Mugsita, (2015) bahwa mencit yang
diinduksi dengan larutan aloksan dapat menyebabkan hiperglikemia, dengan
kenaikan kadar gula darah 50%. Ditunggu hingga 10 menit, dan di induksikan
dengan obat Metformin HCl mg yang telah dilarutkan kedalam Na-CMC
sebanyak 20 ml dan diambil sebanyak 1 ml lalu diinduksikan pada mencit. Pada
menit ke 20 setelah diberikan obat metformin kadar gula darah pada mencit
menurun yaitu 190 mg/dl, dan pada menit ke 40 kadar gula darah pada mencit
didaptkann yaitu 182 mg/dl dan pada menit ke 60 kadar gula darah didapatkan
175 mg/dL. Terjadinya penurunan kadar gula darah dikarenakan mencit
diberikan obat metformin dimana obat tersebut. Menurut Harvey (2018),
Metformin bekerja terutama dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati,
sebagian besar dengan menghambat glukoneogenesis.
Dari hasil yang didaptkan dapat disimpulkan obat yang paling efektif
menurunkan kadar gula darah jika dilihat dari penurunan gula darah mencit
didaptkan bahwa obat glibenklamid lebih efektif dalam menurukan gula darah hal
ini dikarenakan Menurut Gunawan S.G (2019), menyatakan bahwa Glibenklamid
merupakan obat pertama dari antidiabetika oral generasi kedua dengan khasiat
hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat dari pada tolbutamit, dimana
mekanisme kerja dari glibenklamid adalah dengan merangsang sekresi hormon
insulin dari granul sel-sel β langerhans pankreas. Sedangkan Metformin kerjanya
untuk menurunkan glukosa darah tidak tergantung pada adanya fungsi pankreatik
sel-sel B. Glukosa tidak menurun pada subjek normal setelah puasa satu malam

32
tetapi kadar glukosa darah pasca prandial mereka menurun selama pemberian
biguanid. Mekanisme kerja yang diusulkan adalah stimulasi glikolisis secara
langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah,
penurunan glukoneogenesis hati, melambatkan absorbsi glukosa dari saluran cerna
dengan peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit dan
penurunan kadar glukagon plasma (Katzung, 2015).
Adapun kemungkinan kesalahan yang terjadi yaitu kurangnya ketelitian
dalam membersihkan alat-alat sehingga bahan yang digunakan
terkontaminasi, adanya kesalahan dalam menimbang serta menentukan dosis
pemberian obat, adanya kesalahan dalam mempuasakan hewan uji, dan salah
melakukan perlakuan kepada mencit sehingga mencit merasa tersiksa.

33
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan:
1. efek obat glibenklamid dan metformin yang berikan secara oral pada
mencit memiliki efek hipoglikemik yang baik. Namun tingkat penurunan
kadar gula darah paling besar dicapai oleh obat glibenklamid. Hal ini
karena obat glibenklamid bekerja meningkatkan sekresi insulin sedangkan
metformin bekerja menurunkan kadar gula dalam darah tetapi menikatkan
glukosa pada jaringan perifer
2. Setelah pemberian obat antiglikemik terjadi penurunan gula darah yang
sangat signifikan, sebelum pemberian obat glibenklamid dan metformin
gula darah mencit berturut-turut yaitu 215 mg/dL dan 218 mg/dL. Setelah
diberikan obat glibenklamid terjadi penurunan gula darah mencit pada
menit ke 20, 40 dan 60 yaitu 192 mg/dL, 175 mg/dL dan 162 mg/dL
sedangkan pada pemberian obat metformin penurunan gula darah pada
menit ke 20, 40 dan 60 yaitu 200 mg/dL, 182 mg/dl dan 175 mg/dL.
5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk praktikan
Diharapkan kepada praktikan untuk lebih teliti dalam melakukan
pratikum, meningkatkan keaktifan dan lebih banyak belajar agar bias menguasai
materi
5.2.2 Saran untuk laboratorium
Diharapkan agar kedepannya laboratorium analisis farmasi dapat
menyediakan alat-alat untuk kebutuhan praktikum, sehingga praktikan tidak
kesulitan dalam melakukan praktikum.
5.2.3 Saran untuk jurusan
Diharapkan jurusan lebih meningkatkan sarana dan prasarana agar dapat
melakukan praktikum dengan nyaman.

34

Anda mungkin juga menyukai