Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH PATOFISIOLOGI

(Diabetes Mellitus Tipe 1 dan 2, Hipoglikemia, GDM,


Diabetes Nefropati)

Disusun oleh :
1. Rini Puji Astuti 1022181040
2. Tika Nur Octaviani 1022181052

FAKULTAS KESEHATAN PRODI : S1 GIZI


UNIVERSITAS MH.THAMRIN
2020
DIABETES MELLITUS

I. Definisi Penyakit
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun telatif.
Diabetes Mellitus atau kencing manis merupakan penyakit menahun
dimana kadar glukosa darah menimbun dan melebihi nilai normal.
Tipe I Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) adalah
penyakit hiperglikemia akibat ketidakabsolutan insulin, pengidap penyakit
itu harus mendapat insulin pengganti. IDDM disebabkan oleh destruksi
autoimun karena infeksi, biasanya virus dan atau respons autoimun secara
genetik pada orang yang terkena.
Tipe II Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi
insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangkum
pengambilan glukosa oleh gangguan perifer dan untuk menghambat
produksi oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin
ini sepenuhnya.

II. Etiologi
 Diabetes Mellitus Tipe I
DM dengan insulin dapat terjadi baik pada pasien DM tipe 1
maupun tipe 2. DM tipe 1 terjadi akibat penghancuran autoimun
dimediasi sel T dari sel ꞵ pulau Langerhans pada pankreas yang
mengarah pada ketidakmampuan memproduksi insulin (defisiensi
absolut). Etiologi nyata dari DM tipe 1 tersebut rumit dan masih tidak
dapat dipahami secara saksama (Bilous dan Donelly, 2014).
Selain disebabkan oleh autoimun, salah satu etiologi DM tipe 1
adalah karena faktor genetik. Kerentanan genetik terhadap DM tipe 1
berhubungan erat dengan HLA (human leucocyte antigen) yang
terletak dalam area major histocompatibility complex (MHC) pada
lengan pendek kromosom 6 (sekarang dinamakan lokus IDDM 1)
(Bilous and Donelly, 2014). DM tipe 1 dapat terjadi pada segala usia,
tetapi biasanya dialami oleh anak-anak atau orang dewasa berusia <40
tahun. DM tipe 1 pada awalnya dikenal dengan diabetes bergantung
insulin/insulin dependent diabetes. Diabetes tipe ini diakibatkan oleh
kekurangan produksi insulin oleh sel ꞵ pankreas. DM tipe 1
disebabkan oleh destruksi sel ꞵ. umumnya menjurus ke arah
defisiensi insulin absolut (bisa melalui proses Imunologik
(otoimunologik) dan idiopatik) (PERKENI 2011)
 Diabetes Mellitus Tipe II
DM Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, dan
juga lebih banyak jumlah penderitanya dibandingkan dengan DM tipe
1. Etiologi DM tipe 2 melibatkan banyak faktor yang belum
sepenuhnya jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan merupakan
faktor yang berkontribusi cukup besar dalam menyebabkan terjadinya
DM tipe 2. Adapun yang termasuk di dalamnya antara lain obesitas,
diet tinggi lemak, tinggi natrium dan rendah serat, serta kurang
aktivitas fisik (Micha, dkk., 2017, Radzeviciene & Ostrauskas, 2017;
Wang, dkk.2016)
Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi utama. Hasil
penelitian terhadap hewan coba menunjukkan adanya hubungan andra
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen
yang merupakan faktor predisposisi untuk DM tipe 2 (Malik & Hu,
2012). Etiologi ini berbeda dengan DM tipe 1, pada tahap awal
penderita DM tipe 2 umumnya dapat deteksi jumlah insulin yang
cukup di dalam darahnya, di samping kadar glukosa darah yang juga
tinggi. Pada DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespons insulin secara normal.
III. Epidemiologi
Menurut data organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia
(PERSI) tahun 2008, Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam
jumlah penderita diabetes mellitus di dunia. Pada 2006, jumlah
penyandang diabetes di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari jumlah itu,
baru 50% penderita yang sadar mengidap, dan sekitar 30% di antaranya
melakukan pengobatan secara teratur. Menurut beberapa penelitian
epidemiologi, prevalensi diabetes di Indonesia berkisar 1,5% sampai 2,3%,
kecuali di Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1 % (PERSI,
2008).
 Diabetes Mellitus Tipe I
Data pasien DM dengan insulin biasanya terkait dengan pasien dm
tipe 1.penyakit DM tipe 1 disebabkan oleh adanya kekurangan
produksi insulin di dalam tubuh sebagai akibat dari destruksi sek beta
pancreas (batubara tridayaet al; 2010). Penelitian epidemiologi dari
CDC pada tahun 2011 menunjukkan sekitar 1 juta populasi di
Amerika menderita DM tipe 1. Kejadian DM tipe 1 di Asia lebih
rendah dibandingkan dengan di USA. Data di Indonesia menunjukkan
pada tahun 2011, ada 720 pasien anak dengan DM tipe 1 (Batubara,
Tridaya et al,2010).
 Diabetes Mellitus Tipe II
Hasil penelitian epidemiologi menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2
di berbagai penjuru dunia. Diprediksi terjadi kenaikan jumlah
penderita DM di Indonesia oleh WHO dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Kejadian DM tipe 2 pada
laki-laki lebih rendah daripada perempuan. Perempuan lebih beresiko
menderita DM karena secara fisik mempunyai peluang peningkatan
indeks massa tubuh. Karena proporsi kejadian DM tipe 2 adalah 95%
dari populasi dunia yang menderita DM dan hanya 5% dari jumlah
tersebut menderita DM tipe 1.
IV. Gejala Klinis
a. Gejala Akut Diabetes Mellitus
 Poliuria (Banyak Kencing)
 Polidipsi (Banyak Minum)
 Polifagi (Banyak Makan)
b. Gejala Kronis Diabetes Mellitus
 Kerusakan Ginjal
 Serangan Stroke
 Serangan Jantung Koroner
 Kematian Mendadak
 Kebutaan
 Kulit Terasa Panas

1. Gejala DM tipe 1 muncul secara tiba-tiba pada saat usia anak-anak,


sebagai kelainan genetika sehingga tubuh tidak memproduksi insulin
dengan baik.
 Sering kencing dan jumlah yang banyak
 Terus menerus timbul rasa haus dan lapar
 Berat badan turun, penderita semakin kurus
 Penglihatan kabur
 Meningkatkan kadar gula dalam darah dan air seni
2. Gejala DM tipe 2 biasanya terjadi pada mereka yang telah berusia di
atas 40 tahun. Meskipun saat ini prevalenisnya pada remaja dan anak-
anak semakin tinggi.
 Gangguan Penglihatan
 Gatal-gatal dan Bisul
 Gangguan saraf tepi (perifer) Berupa kesemutan
 Rasa tebal pada kulit
 Keputihan pada penderita perempuan, akibat daya tahan yang
turun.

V. Pencegahan
1. Diabetes Mellitus Tipe I
Upaya pencegahan pada Diabetes Mellitus Tipe I antara lain :
 Menjalanin pengobatan intensif jika terdapat anggota keluarga
yang mengidap diabetes tipe 1.
 Menjalanin tes DNA untuk mengetahui adanya gen pembawa atau
penyakit Diabetes Mellitus tipe I.
2. Diabetes Mellitus Tipe II
Risiko terkena Diabetes Mellitus tipe 2 dapat dikurangi dengan
menerapkan pola hidup sehat. Selain untuk menurunkan risiko,
menerapkan pola hidup sehat juga dapat mencegah komplikasi DM
Tipe 2. Beberapa upaya yang dapat dilakukan meliputi :
 Mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Pilih makanan yang
tinggi serat dan rendah lemak serta kalori.
 Rutin berolahraga. Lakukan olahraga 30 menit setiap hari,
misalnya bersepeda atau berenang.
 Jaga berat badan. Menjaga berat badan ideal sesuai dengan
indeks massa tubuh (IMT)

VI. Diagnosa
Diagnosa diabetes mellitus ditegakkan dengan pemeriksaan kadar
gula darah. Pemeriksaan ini dilakukan dua kali dengan waktu yang
berbeda. Namun, untuk orang yang memiliki gejala diabetes yang jelas,
pemeriksaan cukup dilakukan satu kali. Beberapa pemeriksaan yang rutin
dilakukan adalah :
 Kadar HbA1C : untuk menilai rata-rata kadar glukosa darah
selama dua sampai 3 bulan terakhir. Nilai normalnya adalah <6,5%
 Kadar gula darah sewaktu : diukur tanpa puasa terlebih dahulu.
Dinyakatan diabetes jika nilai >200 mg/dl disertai gejala diabetes
yang jelas
 Kadar gula darah puasa : diukur setelah berpuasa selama 8 jam.
Nilai normalnya adalah <126 mg/dl
 Tes toleransi glukosa oral : diukur dua jam setelah minum larutan
gula. Nilai normalnya adalah <140 mg/dl

VII. Terapi Farmakologi


1. Diabetes Mellitus Tipe I
a. Terapi insulin, diberikan dalam bentuk suntikan, pena insulin,
maupun pompa insulin. Pemberian terapi insulin bervariasi pada
setiap orang. Beberapa pasien diabetes melitus tipe 1 mungkin
membutuhkan suntikan insulin sehari, sementara yang lainnya
bisa tiga sampai empat kali suntik dalam satu hari untuk menekan
munculnya gejala. Lamanya pasien diabetes tipe 1 menjalani
terapi insulin juga akan berbeda, tergantung kebutuhan serta
kondisi masing-masing orang.
b. Obat-obatan tertentu, Pengobatan DM tipe 1 juga sering kali
digabungkan dengan beberapa jenis obat-obatan tertentu untuk
membantu mengendalikan gula darah Anda serta mencegah
terjadinya komplikasi lain. Berikut ini beberapa obat diabetes
yang sering diresepkan oleh dokter:
 Metformin
 Pramlintide
 Aspirin
 Obat tekanan darah tinggi, seperti ACE inhibitor dan
angiotensin II receptor blockers (ARB)
 Obat penurun kolesterol

2. Diabetes Mellitus Tipe II


Beberapa obat yang dapat digunakan untuk menangani diabetes tipe 2
meliputi:
 Metformin, untuk mengurangi produksi gula pada hati.
 Meglitinide dan sulfonylurea, untuk merangsang kerja pankreas
agar memproduksi insulin lebih banyak. Contoh obat meglitinide
adalah nateglinide, dan contoh obat sulfonylurea adalah
glibenclamide.
 DPP-4, untuk meningkatkan produksi insulin dan mengurangi
produksi gula oleh hati. Contoh obat ini adalah sitagliptin.
 GLP-1 receptor agonist. Obat dapat memperlambat proses
pencernaan makanan, terutama yang mengandung gula, sekaligus
menurunkan kadar gula dalam darah. Contohnya exenatide.
 SGLT2 inhibitor. Obat ini bekerja dengan cara memengaruhi
ginjal membuang lebih banyak gula. Contohnya dapagliflozin.

Terapi Non Farmakologi


1. Diabetes Mellitus Tipe I
 Gaya hidup sehat. Selain melakukan terapi insulin dan rajin
minum obat diabetes, Sebaiknya menerapkan gaya hidup sehat
untuk membantu mengendalikan gula darah. Gaya hidup sehat
meliputi pengaturan pola makan, memperbanyak aktivitas fisik
maupun olahraga, dan berhenti merokok. Selain itu harus
merawat kaki dan memeriksakan mata secara berkala untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Diabetes Mellitus Tipe II
 Diet dan berolahraga. Metode ini perlu dilakukan untuk
menangani diabetes, termasuk tipe 2. Selain menurunkan kadar
gula dalam darah, menerapkan pola hidup sehat dengan rutin
berolahraga dan mengonsumsi makanan bergizi seimbang juga
dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi penyakit.
Disarankan mengonsumsi makanan yang kaya akan serat dan
rendah lemak. Konsultasikan lebih lanjut dengan dokter mengenai
jenis makanan yang baik untuk dikonsumsi, dan tipe olahraga
beserta frekuensinya yang dianjurkan. Ketentuan pola makan dan
olahraga pada tiap orang dapat berbeda, sesuai kondisi tubuh.

VIII. Patogenesa
1. Diabetes Mellitus Tipe I
Diabetes Mellitus Tipe 1 berkembang sebagai akibat dari factor
Genetik, Lingkungan dan Faktor Imunologi yang menghancurkan sel-
sel ꞵ pancreas. Gejala DM tidak akan muncul pada seorang individu
hingga 80% sel ꞵ pankrean dihancurkan. Umumnya berkembang dari
masa anak-anak dan berma-nifestasi saat remaja yang kemudian
berproges seiring bertambahnya umur. DM tipe ini sangat bergantung
dengan terapi insulin karena tidak mendapatkan insulin penderita akan
mengalami kompilkasi metabolic serius berupa ketoasidosis dan
koma.
2. Diabetes Mellitus Tipe II
Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi
kunci dari berkembangnya DM Tipe 2. Obesitas, terutama tipe sentral,
sering ditemukan pada penderita DM Tipe 2. Pada tahap awal,
toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel ꞵ pancreas
mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Ketika
resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik terus terjadi,
pancreas tidak mampu mempertahankan keadaan hiperinsulinemia
tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan toleransi glukosa, yang ditandai
dengan peningkatan glukosa darah setelah makan. Setelah itu,
penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hati
berlanjut pada diabetes berat dengan hiperglikemia saat puasa dan
kegagalan sel ꞵ.

IX. Patofisiologi
1. Diabetes Mellitus Tipe I
Penghancuran autoimun sel ß pankreas menyebabkan defisiensi
sekresi insulin yang menyebabkan gangguan metabolik Selain
berkurangnya sekresi insulin fungsi sel α pankreas juga abnormal
sehingga pada penderita DM tipe I mengalami sekresi glukagon yang
berlebih. Biasanya, hiperglikemia menyebabkan sekresi dragon
berkurang, tetapi pada penderita DM tipe 1, sekresi glukagon tidak
ditekan oleh hiperglikemia. Hasilnya, jumlah glukagon yang tidak
tepat menyebabkan efek metabolik yang memburuk akibat defisiensi
insulin. Meskipun defisiensi Insulin adalah kelainan utama pada DM
tipe 1 Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol
dan peningkatan kadar asam lemak
Bebas di dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa
pada jaringan perifer seperti otot rangka. Hal ini mengganggu
penggunaan glukosa dan defisiensi insulin juga menurunkan ekspresi
sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target untuk merespons
secara normal terhadap insulin seperti glukokinase di hati dan glukosa
transporter GLUT kelas 4 pada jaringan adiposa (Baynest 2015).
2. Diabetes Mellitus Tipe II
Resistensi insulin pada otot dan hati serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologikerusakan sentral dari DM
tipe 2.Kegagalan sel ꞵ pada DM tipe 2 diketahui terjadi lebih dini dan
lebih berat daripada sebelumnya. Otot, hati, sel beta dan organ lain
seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal
(defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin) ikut
berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe2 (Perkeni, 2015). DM tipe 2 pada tahap awal
perkembangannya tidak disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan
jumlah insulin dalam tubuh mencukupi kebutuhan (normal), tetapi
disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal (Fitriyani, 2012).
Penderita DM tipe 2 juga mengalami produksi glukosa hepatik
secara berlebihan tetapi tidak terjadi kerusakan pada sel-sel beta
langerhans seperti pada DM tipe 1. Keadaan defisiensi insulin pada
penderita DM tipe 2 umumnya hanya bersifat relatif. Defisiensi
insulin akan terjadi seiring dengan perkembangan DM tipe 2. Sel-sel
beta langerhans akan menunjukkan gangguan sekresi insulin fase
pertama yang berarti sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin. Perkembangan DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik
akan menyebabkan kerusakan sel-sel beta langerhans pada tahap
selanjutnya. Kerusakan sel-sel beta langerhans secara progresif dapat
menyebabkan keadaan defisiensi insulin sehingga penderita
membutuhkan insulin endogen. Resistensi insulin dan defisiensi
insulin adalah 2 penyebab yang sering ditemukan pada penderita DM
tipe 2 (Fitriyani, 2012).
X. Pathway

DM TIPE I (IDDM) DM TIPE II (NIDDM)


REAKSI AUTOIMUN IDIOPATIK, USIA,
GENETIK, GAYA HIDUP, dll.

SEL β PANKREAS JUMLAH SEL β PANKREAS


HANCUR MENURUN

DEFISIENSI INSULIN

KATABOLISME
HIPERGLIKEMIA LIPOLISIS MENINGKAT
PROTEIN MENINGKAT

GLUKOSURIA STARVASI
PENURUNAN
BERAT BADAN
DIURESIS POLIPAGI
OSMOSIS POLIURIA

GLUKONEOGENESIS
KEHILANGAN
CAIRAN HIPOTONIK GLISEROL ASAM
LEMAK BEBAS
SORBITOL MENINGKAT

KEHILANGAN
POLIDIPSI ELEKTROLIT RETINOPATI

KETOGENESIS

HIPEROSMOLARITAS

KETONURIA
KETOASIDOSIS

KEMATIAN COMA
XI. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa Darah : Darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada
darah vena, serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode
dengan deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode tanpa
deproteinisasi.
2. Glukosa urin : 95% glukosa direabsorbsi tubulus, bila glukosa darah
> 160 – 180% maka sekresi dalam urine akan naik secara
eksponensial,
3. Benda keton dalam urine : bahan urine segar karena asam
asetoasetat cepat diderboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai
Natroprusid. 3-hidrosibutirat tidak terdeteksi
4. Pemeriksaan lain : fungsi ginjal (Ureum, Creatinin) lemak darah
(kolesterol, HDL, LDL, trigeserid) fungsi hati, antibody anti sel insula
langerhans.

XII. Prognosa
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Penghancuran autoimun sel ꞵ pankreas menyebabkan
defisiensi sekresi insulin yang menyebabkan gangguan metabolik.
Selain berkurangnya sekresi insulin, fungsi sel α pankreas juga
abnormal sehingga pada penderita DM tipe 1 mengalami sekresi
glukagon yang berlebih. Biasanya, hiperglikemia menyebabkan
sekresi pokagon berkurang, tetapi pada penderita DM tipe 1, sekresi
glukagon tidak dekan oleh hiperglikemia. Hasilnya, jumlah glukagon
yang tidak tepat menyebabkan efek metabolik yang memburuk akibat
defisiensi insulin. Meskipun defisiensi insulin adalah kelainan utama
pada DM tipe 1. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak
terkontrol dan peningkatan kadar asam lemak
Bebas di dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa
pada jaringan perifer seperti otot rangka. Hal ini mengganggu
penggunaan glukosa dan defisiensi insulin juga menurunkan ekspresi
sejumlah gen yang diperlukan untuk jaringan target untuk merespons
secara normal terhadap insulin seperti glukokinase di hati dan glukosa
transporter GLUT kelas 4 pada jaringan adiposa (Baynest, 2015)
2. Diabetes Mellitus Tipe II
Prognosis DM bergantung pada tipe DM yaitu tipe 1 atau 2,
dan keparahan penyakit serta komplikasi yang menyertai. Komplikasi
dapat muncul 10-20 tahun sejak onset penyakit atau sering kali sekitar
4-7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Prognosis menjadi lebih
buruk jika penderita merokok, menderita hipertensi dan
hiperkolesterolemia. Pada penderita DM yang terkontrol kadar
glukosa darah dan tekanan darahnya, berhubungan dengan penurunan
risiko kematian akibat DM sebesar 32%, menurunkan risiko terjadinya
stroke sebesar 46, penyakit jantung sebesar 56%, dan risiko
komplikasi mikrovaskuler sekitar 37%. Kematian penderita DM tipe-2
diperkirakan hampir 75% akibat penyakit jantung dan 15% akibat
stroke (Flaws et al, 2002; Triplitt, dkk. 2005).

XIII. Komplikasi
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus Tipe 1 dapat menyebabkan sejumlah
komplikasi berbahaya, antara lain:
 Hipoglikemia. kondisi kadar gula darah yang terlalu rendah.
Komplikasi ini dipicu oleh suntik insulin yang terlalu banyak
 Hiperglikemia. kondisi kadar gula yang terlalu tinggi. Kondisi
ini dapat terjadi akibat porsi makan yang terlalu banyak atau
kurangnya dosis insulin.
 Kerusakan ginjal (nefropati). Kadar gula tinggi dapat merusak
sistem penyaringan pada ginjal.
 Kerusakan mata. Diabetes dapat meningkatkan risiko katarak
dan glaukoma.
2. Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes Mellitus Tipe II dapat menyebabkan sejumlah
komplikasi, antara lain:
 Penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti serangan
jantung, dan stroke.
 Kerusakan saraf (neuropati diabetik). Kondisi ini sering
terjadi pada kaki, dengan gejala yang muncul dapat berupa mati
rasa hingga nyeri.
 Kerusakan ginjal (nefropati diabetik). Kerusakaan yang parah
dapat menyebabkan gagal ginjal. Jika diabetes dibiarkan dalam
waktu yang lama, kerusakan ginjal bisa mencapai stadium akhir.
 Gangguan kulit, seperti lebih mudah terjangkit infeksi bakteri
maupun virus.
HIPOGLIKEMIA

I. Definisi Penyakit
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang
disebabkan penurunan glukosa darah <60 mg/dl. Otak merupakan organ
yang sangat peka terhadap kadar gula darah yang rendah karena glukosa
merupakan sumber energi otak yang utama.
Hipoglikemia adalah didefinisikan berdasarkan kadar glukosa
serum adalah sebagai berikut :
 <50 mg/dl pada laki-laki
 <45 mg/dl pada wanita
 <40 mg/dl pada bayi dan anak – anak
Hipoglikemia merupakan salah satu kompliksi yang dapat terjadi pada
diabetes mellitus, terutama karena terapi insulin. Pasien diabetes
tergantung insulin (IDDM) mungkin suatu saat akan menerima insulin
yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk
mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi
hipoglikemia.
Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya. Bila
sering terjadi atau terjadi dalam waktu lama, dapat menyebabkan
kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian.
Adapun batasan Hipoglikemia adalah :
a. Hipoglikemia Murni : Ada gejala hipoglikemi, glukosa darah
< 60 mg/dl.
b. Reaksi Hipoglikemi : Gejala hipoglikemi bila gula darah turun
mendadak. Misalnya dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl.
c. Koma Hipoglikemi : Koma akibat gula darah <30 mg/dl.
d. Hipoglikemi Reaktif : Gejala Hipoglikemi yang terjadi 3-5 jam
sesudah makan.

II. Etiologi
1. Penyebab hipoglikemia pada orang dengan diabetes
Hipoglikemia adalah kondisi yang terjadi ketika kadar gula
darah (glukosa) turun terlalu rendah. Ada beberapa alasan mengapa
hal tersebut dapat terjadi, yang paling umum adalah efek samping obat
yang digunakan untuk mengobati diabetes.
 Menggunakan insulin dengan dosis normal, tetapi tubuh
kekurangan asupan karbohidrat, akibat terlalu banyak
melakukan aktivitas fisik, tidak cukup mengonsumsi makanan
yang mengandung karbohidrat, lupa makan, atau menunda
makan.
 Menggunakan suntikan insulin pada pengidap diabetes tipe 1
yang melebihi dosis atau terlalu banyak menggunakan obat-
obatan oral, seperti golongan sulphonylurea, pada pengidap
diabetes tipe 2 yang dapat memicu pelepasan insulin
berlebihan.
2. Penyebab hipoglikemia pada orang non-diabetes
Beberapa penyebab hipoglikemia pada orang yang tidak memiliki
diabetes di antaranya:
 Obat-obatan. Mengonsumsi obat-obatan diabetes tanpa
sengaja bisa menyebabkan penurunan gula darah.
Mengonsumsi obat antibiotik golongan sulfa juga bisa jadi
penyebab hipoglikemia, terutama pada anak-anak atau orang
dengan gagal ginjal.
 Minum alkohol berlebihan. Terlalu banyak mengonsumsi
alkohol saat perut kosong dapat menghambat organ hati untuk
melepaskan glukosa yang tersimpan ke dalam aliran darah.
Akibatnya, terjadilah penurunan kadar gula darah.
 Kondisi medis tertentu. Penyakit hati dan ginjal dapat
menjadi penyebab hipoglikemia. Selain itu, gangguan makan
anoreksia nervosa juga dapat menjadi penyebab hipoglikemia.
karena, gangguan makan ini dapat menyebabkan 
glukoneogenesis, yaitu penipisan zat yang dibutuhkan tubuh
untuk menghasilakan glukosa. Akibatnya, terjadilah gula darah
rendah.
 Produksi insulin yang berlebih oleh pankreas. Tumor
pankreas, obesitas, dan makan karbohidrat terlalu banyak,
dapat menyebabkan tubuh memproduksi insulin dalam jumlah
yang berlebih. Hal ini menyebabkan penurunan gula darah.
 Puasa. Hipoglikemia bisa terjadi ketika dalam keadaan puasa,
telat makan, atau tidak makan sama sekali dalam seharian.
 Setelah makan makanan manis. Jika makan makanan yang
terlalu manis atau terlalu banyak mengandung karbohidrat
(makanan yang nilai indeks glikemiknya tinggi), kadar gula
darah akan meningkat terlalu tinggi sehingga hormon insulin
banyak dikeluarkan. Akibatnya, penurunan gula darah akan
terjadi dalam waktu yang singkat dan penurunannya bisa
cukup drastis.

III. Epidemiologi
Data Epidemiologi global menunjukkan hipoglikemia lebih sering
terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) dibandingkan pasien
diabetes mellitus tipe 2 (T2DM). Data terbatas di Indonesia mengungkap
bahwa terdapat kemungkinan kaitan antara pemantauan glukosa yang
buruk dengan tingginya insidens hipoglikemia. Insidens hipoglikemia
berat (hipoglikemia yang memerlukan pertolongan orang lain dalam
memberikan karbohidrat, glukagon, atau tindakan pertolongan lainnya)
pada pasien T1DM jauh melampaui insidens serupa pada pasien T2DM
yang mendapat terapi insulin. Terkait penggunaan insulin, tingkat kejadian
hipoglikemia berat lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan terapi
insulin intensif dibandingkan terapi insulin konvensional. Studi Diabetes
Control and Complication Trial (DCCT) mengungkap bahwa proporsi
hipoglikemia berat pada pasien yang mendapatkan terapi insulin
konvensional dibandingkan terapi insulin intensif.
Data epidemiologi di Indonesia tentang hipoglikemia pada
populasi diabetik masih terbatas. Sebuah penelitian potong lintang tentang
prevalensi komplikasi akut dan kronik T2DM di Bali melaporkan bahwa
prevalensi hipoglikemia pada 106 partisipan penelitian mencapai 17%.
Kejadian hipoglikemia juga lebih banyak dialami pada pasien T2DM yang
mendapat terapi insulin dibandingkan yang mendapat obat diabetes oral
maupun modifikasi diet saja. Penelitian potong lintang lainnya pada
populasi pasien anak dan remaja dengan T1DM melaporkan bahwa
insidens hipoglikemia di Indonesia cukup tinggi, yakni mencapai 76
kejadian per 100 pasien-tahun. Angka ini bahkan jauh lebih tinggi
daripada insidens hipoglikemia berat pada populasi dewasa di negara
maju. Tingginya kejadian hipoglikemia pada populasi anak dan remaja
dengan T1DM di Indonesia mungkin berkaitan dengan rendahnya proporsi
pasien yang melakukan pemeriksaan HbA1c rutin (21%) dan kurangnya
praktik pemantauan glukosa darah mandiri.

IV. Gejala klinis


1. Hipoglikemia Ringan (Kadar glukosa darah 50-60 mg/dl)
Rasa mual, lapar, gelisah, berkeringat dingin, kulit basah, tangan
berkeringat, rasa gatal di sekeliling mulut, rasa kebas di ujung jari dan
bibir gemetar, jantung berdebar-debar.
2. Hipoglikemia Sedang (Kadar glukosa darah di bawah 50 mg/dl)
Rasa cemas, lemah, pucat, bingung, cara berbicara yang abnormal,
sulit berpikir, dan berkonsentrasi, mata kabur, kepala terasa ringan,
sakit kepala, sulit berbicara dan mengantuk.
3. Hipoglikemia Berat (Kadar glukosa darah di bawah 35 mg/dl)
Gejala saraf berupa kejang, koma (kesadaran menurun) dan
hipotermia (suhu rendah)

V. Pencegahan
Pencegahan penyakit Hipoglikemia dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain :
1. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemia, penanganan
sementara, dan hal lain yang harus dilakukan.
2. Jangan melewatkan atau menunda makan. Gula darah bisa menurun
jika secara dramatis mengubah waktu dan jumlah makanan yang di
makan. Akibatnya, akan lebih sulit untuk mengendalikan kadar gula
darah.
3. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang di konsumsi,
tentang : dosis, waktu mengonsumsi, efek samping.
4. Rutin cek gula darah. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan
jika gula darah berada dalam kisaran yang normal.
5. Selalu siap sedia stok camilan sehat bergizi. Pilih sumber makanan
tinggi protein dan karbohidrat (seperti biskuit gandum oles selai
kacang atau keju batangan. biskuit) untuk membantu meningkatkan
kadar gula darah sebelum menurun terlalu rendah.
6. Hindari minum alkohol secara berlebihan. Alkohol dapat
memengaruhi kemampuan tubuh untuk melepaskan glukosa. Oleh
sebab itu, tidak dianjurkan untuk minum alkohol secara berlebihan.
Apalagi jika perut dalam keadaan kosong (belum makan).

VI. Diagnosa
Dicurigai adanya hipoglikemia maka pemeriksaan urin harus
segera dilakukan. Bila pada pemeriksaan pertama ternyata mengandung
glukosa, maka beberapa saat kemudian pemeriksaan harus diulang. Bila
memang ada hipoglikemia maka pemeriksaan pada kedua kalinya akan
didapat hasil negatif atau akan mengandung glukosa jauh lebih sedikit
dibanding pemeriksaan pertama. Ketonuria biasanya tidak ditemukan tapi
adanya ketonuria bukan merupakan kontraindikasi untuk diagnosis
hipoglikemia. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar
gula darah. Bila terdapat kadar glukosa darah dibawah 50 mg per 100 ml
maka diagnosa telah terbukti.
Karena itu pada umunya sebagai dasar diagnosis dipakai Trias Whipple :
1. Hipoglikemia dengan gejala-gejala saraf pusat, psikiatrik atau
vasomotorik.
2. Penentuan kadar glukosa darah berulang ditemukan kurang dari
50mg%.
3. Gejala – gejala akan menghilang dengan pemberian glukosa.

VII. Terapi Farmakologi


1. Keadaan Sadar : Berikan larutan gula melalui mulut. Jumlah
karbohidrat yang diberikan tergantung berat ringan nya
Hipoglikemia. Dapat diberikan 10-30 gram glukosa.
2. Keadaan Tidak Sadar : terapi terbaik ialah pemberian glukosa
intravena sebanyak 10-50 ml. yang mengandung glukosa 40-50%.
Dapat diberikan suntikan glucagon 1-2 mg intra muscular atau
epinefrin 0,5 ml dalam larutan 1/1000 subkutan.
3. Pada keadaan yang meragukan apakah Hipoglikemia atau
Hiperglikemia, maka sebaiknya diberikan larutan glukosa 50%
secara intravena. Cara ini tidak merugikan penderita dengan
hiperglikemia sedangkan pada hipoglikemia akan sangat berguna.
Terapi Non Farmakolgi
1. Sering Mengonsumsi Makanan
Terapi non farmakologi penyakit hipoglikemia yang pertama adalah
dengan mengatur pola makan sesering mungkin. tidak perlu
mengkonsumsi banyak makanan sekaligus dalam waktu yang singkat
agar perut selalu terisi, akan tetapi cukup dengan mengusahakan
makan cemilan ringan. Makan cemilan dalam jangka waktu kurang
dari 3 jam. Karena setelah 3 jam, makanan yang ada di perut telah
diolah habis.

2. Menerapkan Diet Seimbang


Caranya adalah dengan tetap memperhatikan asupan nutrisi untuk
tubuh dan melakukan olahraga secara rutin untuk membakar kalori.
Diet terbaik hipoglikemia usahakan untuk menghindari makanan
yang banyak mengandung protein tinggi, terutama untuk protein
hewan, bisa diganti menu makanan tersebut dengan protein dari
tumbuh-tumbuhan seperti, tempe, tahu, dll. 

VIII. Patogenesa
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh
berlebihan. Terkadang kondisi berlebihan ini merupakan sebuah kondisi
yang terjadi setelah melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu,
hipoglikemia dapat terjadi karena memproduksi insulin dari pankreas.
Ketika terdapat tumor pankreas. Setelah hipoglikemia terjadi, efek yang
paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan dan stimulasi massif
dari saraf simpatik yang menyebabkan berkeringat dan tremor.

IX. Patofisiologi
(Price 2006) mengutarakan bahwa hipoglikemia terjadi karena
ketidakmampuan hati memproduksi glukosa yang dapat disebabkan karena
penurunan bahan pembentuk glukosa, penyakit hati atau
ketidakseimbangan hormonal. Pada pasien Hipoglikemi, terdapat deficit
sel ꞵ Langerhans, pengeluaran kedua hormone pengatur insulin dan
glucagon benar-benar terputus. Respon Epinerfin terhadap Hipoglikemi
juga semakin melemah. Frekuensi hipoglikemi berat, menurunkan batas
glukosa sampai ke tingkat plasma glukosa yang paling rendah.
Kombinasi dari ketiadaan glukosa dan respon epinefin yang lemah
dapat menyebabkan gejala klinis ketidaksempurnaan pengaturan glukosa
yang meningkatkan resiko hipoglikemi berat. Penurunan respon epinefrin
pada hipoglikemi adalah sebuah tanda dari lemahnya respon saraf otonom
yang dapat menyebabkan gejala klinis ketidaksadaran pada hipoglikemi
(Shafiee, 2012).
Selain itu, pada pasien dengan hipoglikemi terjadi kematian
jaringan yang disebabkan karena kekurangan oksigen pada jaringan
tersebut yang bahkan dapat mengancam kehidupan. Keadaan ini terjadi
karena adanya gangguan pada Hematologi / Hemoglobin yang berperan
sebagai transport oksigen. Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen
tambahan dari luar ke paru melalui saluran pernafasan dengan
menggunakan alat sesuai kebutuhan (Narsih, 2007).

X. Pathway

Pasca
makan
Obat-Obatan
Puasa

Hiperinsuli
n
Contohnya insulin, Turunnya Produksi
alkohol, dan glukosa dan
Pengosongan Sulfonylurea Penggunaan glukosa
lambung yang berlebih
yang cepat

Produksi glukosa
Pengeluaran insulin tidak seimbbang
yang berlebihan dan
dengan kebutuhan
penyerapan glukosa
yang kurang
Tidak seimbang
insulin dan glukosa Hipoglikemia

XI. Pemeriksaan Penunjang


1. Gula darah puasa
Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa (sebelum diberi
glukosa 75 gram oral) dan nilai normalnya antara 70-110 mg/dl
2. Gula darah 2 jam post prandial
Diperiksa 2 jam setelah diberi glukosa dengan nilai normal <140
mg/dl per 2 jam
3. HbA1c (Hemoglobin A1c)
Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh
kadar gula darah yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat
mengontrol hasil tes dalam waktu 2-3 bulan. HbA1c menunjukkan
kadar hemoglobin terglikosilasi yang pada orang normal antara 4-6%.
Semakin tinggi maka akan menunjukkan bahwa orang tersebut
menderita DM dan beresiko terjadinya komplikasi.

XII. Prognosa
Pada sebuah penelitian populasi yang melibatkan lebih dari 45.000
partisipan ditemukan bahwa hipoglikemia secara signifikan berkaitan
dengan peningkatan risiko kematian 30 hari dan 1 tahun pasca kejadian
hipoglikemia.
Selain itu, pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit, hipoglikemia
spontan berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Sebuah kohort
retrospektif pada pasien dengan dan tanpa diabetes yang menerima
perawatan di ruang rawat dewasa menunjukkan bahwa angka mortalitas
lebih tinggi pada pasien dengan hipoglikemia spontan.
Manajemen glukosa intensif yang menargetkan konsentrasi HbA1c
lebih rendah berkaitan dengan penurunan tingkat komplikasi
mikrovaskuler pada diabetes, namun berkaitan dengan sejumlah
komplikasi termasuk hipoglikemia. Risiko ini juga tampak lebih tinggi
pada pasien dengan riwayat diabetes lama, gangguan kognitif, dan
ketidaksadaran hipoglikemia. Konsekuensi dari hipoglikemia berat antara
lain peningkatan risiko aritmia jantung, kejadian kardiovaskular mayor
dan kematian akibat penyakit jantung.

XIII. Komplikasi
Semua komplikasi Hipoglikemia dapat dihubungkan dengan
kelainan pada sistem saraf pusat.
1. Sakit kepala (yang kadang-kadang dapat berlangsung berat) dan
muntah.
2. Gangguan otak yang bersifat menetap adalah Parkinsonisme,
Afasia, Epilepsi dan Skizofrenia
3. Pada anak – anak yang sering mendapat serangan reaksi
hipoglikemik dapat menyebabkan menghilangnya fungsi
intelegensia.
Diabetes Mellitus Gestational

I. Definisi Penyakit
Diabetes Mellitus Gestational adalah gangguan toleransi
karbohidrat yng mengakibatkan kadar gula darah meningkat dan
pertama kali di ketahui pada saat hamil. GDM dapat disembuhkan,
namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa
kehamilan. Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani
dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang
ibu. Resiko yang dapat di alami oleh bayi meliputi makrosomia
(berat bayi yang tinggi/di atas normal), penyakit jantung bawaan
dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan
hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin
dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan.

II. Etiologi
Menurut kapita selekta jilid 3 2006 yaitu :
1. Faktor autoimun setelah infeksi mumps, rubella dancoxsakie
B4
2. Obesitas atau gemuk, perubahan gaya hidup yang tidak sehat
dari pola makan
3. Herediter, sebagai pewaris sifat dari induknya yang turun ke
keturunannya secara biologi mealui gen (DNA)
4. Riwaat melahirkan bayi dengan BB lebih dari 4 kg, pancreas
janin mulai menyereksi insulin pada usia genetasi 10 sampai 14
minggu.
5. Riwayat abrtus yang berulang-ulang, berhubungan dengan
control glikemia yang buruk pada saat konsepsi dan pada
minggu awal kehamilan
6. Usia mulai tua, seiring bertambahnya umur kekebalan tubuh
juga menurun.

III. Epidemiologi
menurut american diabetes association (ADA) tahun 2000, diabetes
gestasional terjadi 7% pada kehamilan setiap tahunnya. Pada ibu
hamil dengan riwayat keluarga diabetes mellitus , prevalensi
deabetes gestasional sebesar 5,1%

IV. Gejala klinis


1. Poliuri (banyak kencing)
Hal ini di sebabkan oleh glukosa darah meningkat sampai
melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi
osmotic dieresis yang mana gula banyak menari cairan dan
elektrolit sehingga pasien mengeluh banyak kencing.
2. Polidipsi ( banyak minum)
Hal ini di sebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan
cairan terlalu banyak karena poliuri, sehingga untuk
mengimbangi pasien banyak minum.
3. Polifagi (banyak makan)
Hal ini di sebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel
sehingga mengalami lapar,jadi untuk memenuhinya pasien
akan terus makan, akan tetapi walaupun pasien banyak makan
tetap saja makanan itu akan berada di pembuluh darah yang
mengakibatkan :
a. Penurunan berat badan
b. Kesemutan dan gatal
c. Pandangan kabur
d. Pruritus pada wanita
e. Lemes, mudah letih, dan kurang tenaga
Hal ini di sebabkan habisnya glikogen yang di lebur jadi
glukosa, maka maka tubuh berusaha mendapatkan peleburan
zat-zat dari bagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein,
karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh akan memecah
cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di
jaringan otot dan lemak.

V. Pencegahan
a. Penerapan pola hidup sehat dari semenjak sebelum hamil
contohnya pengaturan diet, perbanyak konsumsi serat (buah &
sayur), selalu aktif (olahraga)
b. Penurunan berat badan bila overweight/obesitas
c. Persiapan kehamilan yang baik
d. Menjaga peningkatan berat badan.

VI. Diagnosa
Tes untuk gestational diabetes biasanya di lakaukan 24
hingga 28 minggu kehamilan. Beberapa wanita di uji lebih awal
jika mereka beresiko tinggi. Pertama-tama menjalani tes skrining
glukosa dimana mereka minum larutan gula, dan kadar gula darah
mereka di uji satu jam kemudian. Jika kadar darah lebih tinggi dari
biasanya mereka akan menjalani tes ke sua yang di sebut toleransi
glukosa ( menurut national institute of health)
Untuk mempersiapkan tes toleransi glukosa, ibu harus
berpuasa semalam sebelum kunjungan ke dokter. Darahnya di
ambil sebelum tes dan dalam interval 60 menit selama dua higga
jam setelah dia minum larutan glukosa tinggi untuk mengukur
bagaimana kadar glikosa darah dan insulin berubah seiring waktu
Jika seseorang wanita didiagnosis dengan diabetes gestasional, tes
toleransi glukosa biasanya di lakukan lagi sekitar enam hingga 12
minggu setelah wanita melahirkan dan kemudian setiap tiga tahun
untuk mengidentifikasi intoleransi glukosa yang tersisa.

VII. Terapi
- Terapi nutrisi medis (pengaturan diet)
- Aktivitas fisik
- Mejaga berat badan

VIII. Patogenesa (pathway)

Kehamilan

Meningkatnya eksresi hormon

Meningkatnya suplai asam amino dan glukosa

Hipoglekemia

Bayi lahir sangat besar, persalian sulit, bayi hipoglekemia

IX. Patofisiologi
Menurut purwaningsih (2010), patofisiologi diabetes
melitus gestasional adanya kehamilan menyebabkan terjadinya
perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang
pemasukan makanan bagi janin serta persiapan menyusuri, glukosa
dapat berdifusi secara tepat melelui plasenta kepada janin, sehingga
kadar dalam kadar dalam darah janin hampir menyerupai pada
kadar darah ibu. Metabolisme karbohidrat selama kehamilan
karena insulin yang berlebihan masih banyak di butuhkan sejalan
dengan perkembangan kehamilan (MITAYANI,2009)
Progesterone menyebabkan jarngan ibu risesten terhadap
insulin dan menghasilkan enzim yang di sebut insulinase.
Pangkreas tidak dapat di produksi insulin secara adekuat maka
akan timbul suatu keadaan yang di sebut hiperglikemia. Kebutuhan
insulin meningkat sehigga mencapai tiga kali normal. Hal ini di
sebabkan diabetic dalam kehamilan.

X. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaa penunjang yang perlu dilakukan adalah :
 pemeriksaan kadar gula darah

XI. Prognosa
Kehamilan kedua dalam waktu 1 tahun dari kehamilan
sebelumnya yang mempunyai GDM memiliki tingkat kekambuhan
yang tinggi. Wanita didiagnosa dengan GDM memiliki
peningkatan resiko terkena diabetes melitus di masa depan, karena
mempunyai antibodi yang terkait dengan diabetes.

XII. Komplikasi
a. Ibu
- Preeklamsia atau eklamsia
- Komplikasi proses persalinan
- Resiko DM tipe 2 di kemudian hari
b. Anak
- Makrosomia ( ukuran bayi besar)
- Distosia bahu
- Hiperbilirubinemia (kuning setelah lahir)
- Kelainan kongentinal
- Hipoglekemia
- hipoklasemia

DIABETES NEFROPATI

I. Definisi Penyakit
Nefropari diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler
ginjal, mempunyai hubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat
atau intoleransi glukosa (Diabetes mellitus). Pada umumnya , nefropati
diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes melitus
yang di tandai dengan albuminuria menetap ( < 300 mg / 24 jam atau >
200 µ g/ menit) minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai
6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan
peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau
penyakit kardiovaskuler ( Butama,2011)

II. Etiologi
Bahwa faktor-faktor etiologi dapat timbul pada penderita nefropati
diabetik yaitu kadar gula darah yang kurang terkendali,faktor keturunan
(genetik), terjadi kelainan hemodinamik (tekanan intraglomerulus
meningkat, aliran darah ginjal, laju filtrasi meningkat), hipertensi sistemik,
sindroma meabolik(sindrom resistensi insulin), peradangan,permeabilitas
pembuluh darah berubah, protein/lemak/karbohidrat mengalami kelainan
metabolisme,dan hiperlipidemia. Menurut Hendromarto (2009)

III. Epidemiologi
Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1 dan
tipe 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar dibanding
tipe 1 karena jumlah pasien diabetes tipe 2 lebih banyak di banding tipe 1.
Insidensi nefropati diabetik terutama banyak terjadi pada ras kulit hitam
dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi di banding dengan ras kulit
putih. Sementara itu tidak ada perbedaan yang begitu signifikan kejadian
nefropati diabetik antara pria dan wanita (Batuma,2011)
Di amerika,nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab
keatian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan
penyebab kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular.
Prognosis yang buruk akan muncul apabila terjadi prognesi nefropati
diabetik dan memburuknya fungsi ginjal yang cepat sehingga
menyebabkan mortalitas 70-100 kali lebih tinggi dari pada populasi
normal. Bahkan dengan upaya di analisa kelangsungan hidupnya pun
masih randah yaitu sepertiga pasien meninggal dalam satu tahun setelah di
mulai di analisa. Pasien nefropati diabetik yang menjalani terapi
penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3 kali lebih tinggi di banding pasien
nondiabetik dengan penyakit ginjal stadium akhir (Eppens, 2006)

IV. Gejala klinis


a. Frekuensi buang air kecil meningkat atau sebaliknya
b. Gatal-gatal
c. Hilang nafsu makan
d. Insomia
e. Mata bengkak
f. Mual dan muntah
g. Pembengkakan pada tangan dan tungkai
h. Sulit berkonsentrasi
i. Urine berbusa

V. Pencegahan
Menjaga kadar gula darah dan tekanan darah tinggi dalam kadar
terkontrol dengan baik, mempertahankan berat badan yang dehat, tidak
merokok dan minum alkohol.aktivitas fisik di sarankan rutin sekitar 3-4
kali per minggu. Pola makan juga harus di jaga sesuai diet deabetes, yakni
rendah karbohidrat.

VI. Diagnosa
Untuk mencari diagnosis nefropati diabetes akibat DM 1 dan DM
tipe 2 harus di cari menifestasi klinis maupun laboratorium yang menujang
penyakit dasarnya.
Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada
pasien DM tipe 1 maupun tipe 2. Pada enderita DM tipe 1 di lakukan
pemeriksaan setelah 5 tahun di diagnosa menderita DM, sedangkan
penderita DM tipe 2 dimana onset penyakit tidak bisa di tentukan maka
pemeriksaan harus dmulai daat diagnosis DM di tegakkan.

VII. Terapi Farmakologi


Nefropati diabetik tidak dapat di obati, namun perkembangannya dapat
di cegah agar tidak semakin parah. Pengobatan yang di lakukan bertujuan
mengendalikan kadar gula darah dan tekanan darah tinggi, metode
pengobatan meliputi pemberian obat-obatan, seperti :
- Obat penghambat enzim pengubah angiotesin (ACE inhibitor) atau
ARB (angiotensin II receptor blocer) untuk menurunkan darah tinggi
sekaligus menahan bocornya albumin ke urine.
- Obat penurun kolesterol, seperti statin, untuk menangani kolesterol
tinggi.
- Insulin untuk menurunkan kadar gula.
Terapi Non Farmakologi
Selain pemberian obat-obatan pasien harus menjalani pola makan
sehat atau lebih ketat, di antaranya dengan membatasi asupan protein,
mengurangi asupan sodium, membatasi makanan tinggi kalsium.

VIII. Patogenesa
IX. Pathway
X. Patofisiologi
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hipertensi. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan
dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM)
yang merangsang reabsorbsi tumbuler natrium, akan menyebabkan volume
ekstra sel meningkat, terjadilah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole
eferen, lebih sensitif terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole
aferen, dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa diabetes
yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiper filtrsi
glomerus

XI. Pemeriksaan penunjang


a. Tes BUN (blood urea nitrogen)
b. Tes kreatinin
c. Tes LFG ( laju filtrasi glomerulus
d. Tes urine mikroalbuminuria
e. Biopsi ginjal

XII. Prognosa
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes nefropat tidak
dapat di terangkan dengan pasti. Pengaruh lingkungan, pengaruh
genetik, faktor metabolik, dan hemodinamik berpengaruh terhadap
terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringn ginjal sebagai
dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-
hiperfiltrasi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan
pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penabalan membran
basal glomelurus, ekspansi, mesagial glomelurus yang akhirnya
menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen
dan serta fibrosis tobulo interstitial. Berbagai faktor berperan
terjadinya kelainan tersebut peningkatan glukosa yang menahun
(glukotoksisitas) pada penderita yang menyerupai predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama di tambah faktor lainnya dapat
menimbulkan nefropati.

XIII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat berkembang secara bertahap dalam hitungan
bulan atau tahun, antara lain:
a. Luka terbuka pada kaki
b. Anemia atau kekurangan sel darah merah
c. Kenaikan kadar kalium dalam darah secara mendadak
d. Retensi cairan yang dapat memicu perkembangan di tangan, kaki,atau
paru-paru.
KATA KUNCI
DAFTAR PUSTAKA

Handayani, Dian dan Supariasa, I Dewa Nyoman. 2019. Asuhan Gizi Klinik.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Irianto, Koes. 2004. Epidemiologi Penyakit Menular Dan Tidak Menular
Panduan Klinis. Bandung: Alfabeta
Soeparman. 1993. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Kedua. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Sabella, Rifdah. 2010. Libas Diabetes dengan terapi herbal buah dan sayuran.
Klaten : Galmas Publisher
Fransisca,Kristiana. 2012. Awas Pankreas Rusak Penyebab Diabetes. Jakarta :
Penerbit Cerdas Sehat
Widharto. 2018. Kencing Manis(Diabetes). Jakarta : PT Sunda Kelapa Pustaka

Anda mungkin juga menyukai