Anda di halaman 1dari 18

BAB II

LANDASAN TEORI

1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) ialah penyakit gangguan metabolik yang disebabkan oleh
ketidakcukupan produksi insulin oleh sel beta pankreas atau ketidakmampuan tubuh
menggunakan insulin yang telah dihasilkan secara efektif (Kemenkes, 2014). Menurut
PERKENI (2015) DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.

2. Epidemiologi
Pada tahun 2012 angka kejadian DM didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa,
dimana proporsi kejadian DM tipe 2 adalah 95 persen dari populasi dunia yang menderita
DM dan hanya 5 persen dari jumlah tersebut yang menderita DM tipe 1. Hasil Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar
sampai 57 persen. Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-
laki.Wanita lebih berisiko mengidap DM karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar.

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan
dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang
dapat diubah. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, bahwa DM
berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi:
a. riwayat keluarga dengan DM (first degree relative)
b. umur ≥45 tahun
c. etnis
d. riwayat melahirkan bayi dengan beratbadan lahir bayi >4000 gr
e. riwayat pernah menderita DM gestasional
f. riwayat lahir dengan beratbadan rendah (<2500 gr)
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :

a. obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2


b. lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki
c. kurangnya aktivitas fisik
d. hipertensi
e. dislipidemia
f. diet tidak sehat.

4. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA
2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:
a. Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas dikarenakan
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
yang dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau
tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang
merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena
terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap
kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin.
Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa
bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami
desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan
karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan
mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering
terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
c. Diabetes Mellitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi
sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik
endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
d. Diabetes Mellitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang
menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (PERKENI, 2015)

5. Patofisiologi
Patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.
Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Disamping resistensi insulin, pada
penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa
hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β
Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan
demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak
absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi
pemberian insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar
20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-
sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.

Gambar 1. Patogenesis DM tipe 2 (Yan Yu, 2013)

6. Manifestasi Klinis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
 Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

7. Kriteria Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Gambar 2. Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2015)


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2 jam<140mg/dl
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan
glukosa plasma puasa<100mg/dl
3. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%
8. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis DM dapat dilakukan tes Gula Darah Sewaktu
(GDS), Gula Darah Puasa (GDP), dan pemeriksaan kadar Hba1c.

Tabel 2. Diagnosis DM (PERKENI, 2015)


Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM yaitu:
a. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2 )
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
1. Aktivitas fisik yang kurang.
2. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
3. Kelompok ras/etnis tertentu.
4. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
5. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
6. HDL 250 mg/dL.
7. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
8. Riwayat prediabetes.
9. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
10. Riwayat penyakit kardiovaskular.
b. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko diatas
Gambar 3. Tata cara melakukan Tes Toleransi Glukosa Oral (WHO, 1994)

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO,
maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

Tabel 3. Hasil pemeriksaan kadar glukosa pada kapiler (PERKENI, 2015)

9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.
Berikut adalah tata laksana umum yang harus dikuasai dalam pengelolaan pasien DM :

a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan
secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien
penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya,
mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri,


perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan
aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak

b. Terapi Gizi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak
20%-25%, protein 10%-20%, natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat
sekitar 25g/hari.
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama
kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti
berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan
sensitifitas insulin.
d. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain :
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama
adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
a. Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR
30- 60 ml/menit/1,73 m2).
b. Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti
yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan
ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
a. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa
tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73 m2 ,
gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek
samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan
gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnyadiberikan dengan dosis
kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar
glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin.
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja
mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

Tabel 4. Golongan Obat Hipoglikemi Oral (Perkeni, 2015)

2. Obat Antihiperglikemia Suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis Hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)


- Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
- Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan
kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin)
Efek samping terapi insulin :

- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya


hipoglikemia
- Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
Cara penyuntikan insulin:

- Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit


(subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap
cubitan permukaan kulit
- Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip
- Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara
insulin kerja pendek dan insulin kerja menengah, dengan
perbandingan dosis yang tertentu, namun bila tidak terdapat
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran
sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.
- Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin
harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi
tempat suntik.
- Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan
jarumnya sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun
dapat dipakai 2-3 kali oleh penyandang diabetes yang sama,
sejauh sterilitas penyimpanan terjamin. Penyuntikan insulin
dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum suntik
setiap kali dipakai, meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh
penyandang diabetes yang samaasal sterilitas dapat dijaga.
- Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah
unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari
semprit) harus diperhatikan, dan dianjurkan memakai
konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100
(artinya 100 unit/ml).
- Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai
kesamping, kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah
deltoid), kedua paha bagian luar.
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan
insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat
pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek
penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk
indikasi menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas.
Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan
sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat
ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk
golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan
Lixisenatide. Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide)
telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg
dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2
mg setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang
diharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis
harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja
Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali sehari secara
subkutan.

Tabel 5. Keuntungan dan kerugian farmakoterapi pasien DM


10. Komplikasi
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di
Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD),
nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness. Sejak ditemukan banyak obat
untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka
kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan
hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama.
Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali
adalah:
a. Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang
belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf
otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya
terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan
berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan
menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka
yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan
melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke
saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic
neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau
menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim.
Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.
Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar 3% s/d
65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada
pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0%
dan dalam penelitian pada populasi berkisar 13.1% s/d 45.0%.
b. Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil
yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak
berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam
sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh
tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,
sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar.Semakin lama
seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka
penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita
diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf. Prevalensi
mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6% pada populasi
klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien
DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2.5% s/d
57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%. Prevalensi
overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada populasi
klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM
tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan
dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.
c. Kerusakan mata (Retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab utama
kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu:
1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang
sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2)
katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga
menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah
yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga
merusak saraf mata. Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8%
s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada
populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi
d. Penyakit jantung koroner (PJK)
Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak
di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke
otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak
bisa terjadi. Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1
dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam
penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung koroner
berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan
Diabetes tipe 2.6 Stroke Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2)
berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian
pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3%
dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.
e. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat
memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko
serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga
terkena hipertensi.
f. Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan
Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat
pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut
pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes
berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami
kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau
neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah
mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
g. Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan orang
biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes
memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.
h. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa
darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran
pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi,
gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi
yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan
menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi.Ini
adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan
gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang
diminum.
i. Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi
masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi.
Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki,
kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak
sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.
11. Prognosis
Kadar glukosa darah harus dijaga agar selalu optimal tidak berlebihan ataupun
kekurangan pencegahan/penanganan komplikasi yang cepat dapat menurunkan
angka mortilitas dari penyakit ini.

Anda mungkin juga menyukai