Anda di halaman 1dari 28

1.

1 DIABETES MELITUS
1.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama yang khas, yakni urin yang berasa
manis dalam jumlah yang besar. Istilah diabetes berasal dari Bahasa Yunani yang berarti siphon,
ketika tubuh menjadi suatu saluran untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan, dan mellitus dari
Bahasa Yunani dan Latin yang berarti madu (Bilous & Donelly, 2014).

1.1.2 Etiologi Diabetes Melitus


Faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2 adalah :
a. Usia
Resiko terjadinya diabetes tipe 2 meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Resistensi
insulin mulai terjadi pada usia 45 tahun dan cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun.
Hal ini terjadi karena orang-orang diusia ini cenderung kurang bergerak, kehilangan massa
otot, dan bertambah berat badan. Selain itu, proses penuaan juga mengakibatkan penurunan
fungsi sel beta pankreas sebagai penghasil insulin (Brunner & Suddarth, 2015).
b. Obesitas
Memiliki kelebihan berat badan merupakan faktor resiko utama untuk diabetes tipe 2. Sekitar
80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas
terhadap peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh
tubuh termasuk di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitive (Soegondo, 2010).
c. Riwayat Keluarga
Pada pasien-pasien dengan DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat.
Indeks untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Resiko berkembangnya DM
tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik
adalah yang paling kuat (Price dan Wilson, 2012).
d. Kelompok etnik
Meskipun masih belum jelas mengapa, kebanyakan orang dari suatu ras termasuk ras hitam,
hispanik, Indian Amerika dan Asia-Amerika lebih cenderung memiliki resiko terhadap DM
tipe 2 dibandingkan ras kulit putih (Brunner dan Suddarth, 2015).

1
1.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena sebetulnya insulin tersedia, tetapi tidak bekerja
dengan baik dimana insulin yang ada tidak mampu memasukkan glukosa dari peredaran darah
untuk ke dalam sel-sel tubuh yang memerlukannya sehingga glukosa dalam darah tetap tinggi
yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2010).
Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DMT2 secara genetik adalah
resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas. Resistensi insulin merupakan kondisi umum
bagi orang-orang dengan berat badan overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara
optimal di sel otot, lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk
memproduksi insulin lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat
guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan
meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada DMT2
semakin merusak sel beta di satu sisi dan memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga
penyakit DMT2 semakin progresif (Decroli, 2019).
Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya konsentrasi insulin yang lebih tinggi
dari normal yang dibutuhkan untuk mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat seluler,
resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari
pre reseptor, reseptor, dan post reseptor (Decroli, 2019)
Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas dan
peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi hiperglikemia kronik dengan segala
dampaknya. Hiperglikemia kronik juga berdampak memperburuk disfungsi sel beta pankreas
(Decroli, 2019).
Sebelum diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas dapat memproduksi insulin
secukupnya untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin. Pada saat diagnosis DMT2
ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat untuk
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta pankreas
yang normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti
dengan jaringan amiloid, akibatnya produksi insulin mengalami penurunan sedemikian rupa,
sehingga secara klinis DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin secara absolut
(Decroli, 2019).

2
1.1.4 Manifestasi Klinik Diabetes Melitus

Mayoritas pasien dengan DM tipe 2 tidak menunjukkan gejala atau hanya mengalami
kelelahan ringan pada saat diagnosis. Banyak pasien yang kebetulan didiagnosis menderita DM
tipe 2 berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium rutin (misalnya, glukosa plasma atau A1C)
atau perkembangan komplikasi (misalnya, infark miokard, stroke, gangguan ginjal). Kebanyakan
pasien dengan DM tipe 2 memiliki berat badan berlebih atau obesitas (Dipiro, 2020)
Pada pasien dengan DM tipe 1 biasanya memiliki gejala klinis berupa polidipsi,
poliuriam polifagia, BB turun, jiperglikemia (≥ 200 mg/dL), ketonemia, dan glukosuria. Pasien
dengan DM tipe 1 cenderung cepat menjurus ke dalam ketoasidosis disertai dengan prognosis
yang kurang baik sehingga pasien dengan dugaan DM tipe 1 harus segera dirawat inap
(Homenta, 2012).

Tanda dan gejala penyakit diabetes mellitus dapat berupa : (Dipiro,2020)


 Sering kencing (Poliuria)
 Cepat Lapar (Polifagia)
 Sering Haus (Polidipsi)
 Berat Badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas
 Gatal di daerah genitalia
 Luka sulit sembuh
 Penglihatan kabur
 Mudah mengantuk

1.1.5 Klasifikasi Diabetes Melitus


Diabetes melitus didefinisikan sebagai peningkatan glukosa darah yang berkaitan dengan
tidak ada atau kurang memadainya sekresi insulin pankreas, dengan atau tanpa gangguan efek
insulin. Keadaan penyakit yang mendasari diagnosis diabetes melitus kini diklasifikasikan ke
dalam empat kategori: tipe 1, diabetes dependen-insulin; tipe 2, diabetes non-dependen-insulin;
tipe 3, yang lain; dan tipe 4, diabetes melitus gestasional (Kennedy, 2012).

a. Diabetes Melitus Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM)

3
Tanda utama diabetes tipe 1 adalah kerusakan selektif sel beta (sel B) dan defisiensi
insulin yang parah atau absolut. Diabetes tipe 1 dibagi lebih lanjut menjadi kausa imun dan kausa
idiopatik. Bentuk imun adalah bentuk tersering diabetes tipe 1. Meskipun kebanyakan pasien
berusia kurang dari 30 tahun saat didiagnosis, awitan dapat terjadi kapan saja. Diabetes tipe 1
dijumpai pada semua kelompok etnik, tetapi insidens tertinggi adalah pada orang dari Eropa
utara dan dari Sardinia. Kerentanan tampaknya melibatkan suatu keterkaitan genetik multifaktor,
tetapi hanya 10-15% dari pasien memperlihatkan riwayat keluarga yang positif. Untuk orang
dengan diabetes tipe 1, terapi sulih insulin dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan. Insulin
farmakologik diberikan melalui injeksi ke jaringan subkutis dengan menggunakan alat injeksi
manual atau suatu pompa insulin yang secara kontinu menginfuskan insulin di bawah kulit
(Kennedy, 2012).

b. Diabetes Melitus Tipe 2 (Non Insulin Dependent Mellitus/NIDDM)


Diabetes tipe 2 ditandai oleh resistensi jaringan terhadap efek insulin dikombinasikan
dengan defisiensi relatif sekresi insulin. Seorang pasien mungkin lebih mengalami resistensi atau
defisiensi sel beta yang lebih besar, dan kelainannya mungkin ringan atau parah. Meskipun pada
para pasien ini insulin diproduksi di sel-sel beta, jumlahnya kurang memadai untuk mengatasi
resistensi, dan glukosa darah meningkat. Terganggunya efek insulin juga memengaruhi
metabolisme lemak sehingga terjadi peningkatan fluks asam lemak dan kadar trigliserida serta
penurunan lipoprotein berdensitas tinggi (HDL) (Kennedy, 2012).
Orang dengan diabetes tipe 2 mungkin tidak memerlukan insulin untuk bertahan hidup,
tetapi 30% atau lebih akan mendapat manfaat dari pemberian insulin untuk mengontrol glukosa
darah mereka. Besar kemungkinan bahwa 10-20% orang yang semula didiagnosis diabetes tipe 2
sebenarnya mengidap tipe 1 dan tipe 2 atau tipe 1 progresif lambat yang dinamai diabetes
autoimun laten pada dewasa (latent autoimmune diabetes of adults, LADA), dan mereka
akhirnya memerlukan terapi sulih insulin (Kennedy, 2012).
Meskipun orang dengan diabetes tipe 2 biasanya tidak mengalami ketosis, dapat terjadi
ketoasidosis akibat stres seperti infeksi atau pemakaian obat yang meningkatkan resistensi, mis.
kortikosteroid. Dehidrasi pada orang dengan diabetes tipe 2 yang tidak diobati atau kurang
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya kondisi mengancam nyawa yang disebut koma
hiperosmolar non-ketotik. Pada keadaan ini, glukosa darah dapat meningkat 6-20 kali daripada

4
kisaran normal danterjadi gangguan status mental atau penurunan kesadaran. Diperlukan
penanganan medis segera dan rehidrasi (Kennedy, 2012).

c. Diabetes Melitus Saat Kehamilan


Diabetes gestasional (gestational diabetes, GD) didefinisikan sebagai setiap kelainan
dalam kadar glukosa yang diketahui pertama kali sewaktu kehamilan. Diabetes gestasional
didiagnosis pada sekitar 7% dari semua kehamilan di AS. Selama kehamilan, plasenta dan
hormon-hormon plasenta menciptakan suatu resistensi insulin yang paling nyata pada trimester
terakhir. Penilaian risiko untuk diabetes disarankan dimulai sejak kunjungan pranatal pertama.
Wanita berisiko tinggi perlu segera menjalani pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan penyaring
dapat ditunda bagi wanita berisiko rendah sampai usia gestasi 24 sampai 28 minggu (Kennedy,
2012).

d. Diabetes Tipe Spesifik Lain


Diabetes tipe spesifik lain merupakan diabetes yang disebabkan oleh sindroma diabetes
monogenik, penyakit eksokrin pankreas, dan dapat disebabkan oleh obat atau zat kimia
(PERKENI,2019).

1.1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium Diabetes Melitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria (PERKENI, 2019).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: (PERKENI, 2019).
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak

5
ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).

Sumber: PERKENI, 2019

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PERKENI, 2019).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam < 140 mg/dL;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140 – 199 mg/dL dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dL
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c
yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4%.

Tabel 2.2 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes.
HbA1 Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
c (%)
puasa (mg/dL) setelag TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥ 6,5 ≥126 ≥ 200


Pre-Diabetes 5,7 – 6,4 100 – 125 140 – 199
Normal < 5,7 70 – 99 70 – 139

Sumber: PERKENI, 2019

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus


Tipe 2 (DM tipe 2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu: (PERKENI, 2019).
2. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥ 23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).

6
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥ 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.

3. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.


Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO,
maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM.

1.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus


Diabetes melitus sering menyebabkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular terutama didasari oleh karena adanya resistensi insulin, sedangkan
komplikasi mikrovaskular lebih disebabkan oleh hiperglikemia kronik. Kerusakan vaskular ini
diawali dengan terjadinya disfungsi endotel akibat proses glikosilasi dan stres oksidatif pada sel
endotel (Decroli, 2019).
1. Ulkus Kaki Diabetik
Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan salah satu komplikasi kronik dari DMT2 yang
sering ditemui.UKD adalah penyakit pada kaki penderita diabetes dengan karakteristik adanya
neuropati sensorik, motorik, otonom dan atau gangguan pembuluh darah tungkai. UKD
merupakan salah satu penyebab utama penderita diabetes dirawat di rumah sakit. Ulkus, infeksi,
gangren, amputasi, dan kematian merupakan komplikasi yang serius dan memerlukan biaya yang
tidak sedikit dan perawatan yang lebih lama. Amputasi merupakan konsekuensi yang serius dari
UKD. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun setelah amputasi, dan sebanyak 37%
akan meninggal 3 tahun pasca amputasi. Bila dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang
adekuat akan dapat mengurangi kejadian tindakan amputasi. Perhatian yang lebih pada kaki

7
penderita DM dan pemeriksaan secara reguler diharapkan akan mengurangi kejadian komplikasi
berupa ulkus diabetik, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya rawat dan kecacatan.Oleh
karena itu perlu peningkatan pemahanan mengenai diagnosis UKD yang kemudian dilanjutkan
dengan penatalaksanaan yang optimal. Penatalaksanaan UKD yang optimal memerlukan
pendekatan multidisiplin, seperti ahli bedah, ahli endokrin, ahli patologi klinik, ahli
mikrobiologi, ahli gizi, ahli rehabilitasi medik dan perawat mahir kaki (Decroli, 2019).

2. Komplikasi Diabetes Melitus Pada Ginjal


Pada dekade terakhir, penyakit ginjal diabetes (PGD) menjadi penyebab utama penyakit
ginjal tahap akhir. Penyakit ginjal diabetes dialami oleh hampir sepertiga pasien yang menderita
diabetes. Pasien diabetes yang menjalani hemodialisis memiliki angka survival yang buruk
dengan mortalitas 5 tahun sebanyak 70% (Decroli, 2019).
PGD terjadi sebagai akibat interaksi antara faktor hemodinamik dan metabolik. Faktor
hemodinamik berkontribusi dalam perkembangan PGD melalui peningkatan tekanan sistemik
dan intraglomerular, yang akan mengaktivasi jalur hormon vasoaktif seperti Renin Angiotensin
System (RAS) dan endotelin. Faktor hemodinamik akan meningkatkan intracellular second
messengers seperti Protein Kinase C (PKC), Mitogen-Activated Protein (MAP kinase), NF-κβ
dan bermacam GF seperti sitokin prosklerotik, TGF-β, Permeability Enhancing Growth Factor
(PEGF) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) (Decroli, 2019).
Kondisi hiperglikemia dan produksi mediator humoral, sitokin dan bermacam growth
factor menyebabkan perubahan struktur ginjal, seperti peningkatan deposisi matrik mesangial
dan perubahan fungsi seperti peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus.
Selanjutnya, perkembangan dan progresifitas PGD dipengaruhi oleh berbagai macam perubahan
metabolik yang diinduksi oleh hiperglikemia dan gangguan hemodinamik (Decroli, 2019).

3. Komplikasi Diabetes Melitus Pada Jantung


Terdapat hubungan erat antara hiperglikemia, resistensi insulin, dan penyakit vaskuler.
Pada DMT2, adanya resistensi insulin dan hiperglikemia kronik dapat mencetuskan inflamasi,
stres oksidatif, dan gangguan availabilitas nitrit oksida endotel vaskuler. Kerusakan endotel akan
menyebabkan terbentuknya lesi aterosklerosis koroner yang kemudian berujung pada penyakit
kardiovaskuler (CVD) (Decroli, 2019).

8
Komplikasi makrovaskular yang sering pada penderita DMT2 adalah penyakit arteri
koroner, penyakit arteri perifer, dan penyakit pembuluh arteri karotis. DMT2 merupakan faktor
risiko utama dari penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab kematian terbanyak pada
penderita DMT2 (Decroli, 2019).
Hampir 50% total kematian pada DMT2 adalah karena CVD. CVD meningkatkan risiko
kematian hampir tiga kali lipat pada pasien DMT2. Diabetes dan CVD merupakan kombinasi
penyakit yang sering dan merupakan keadaan serius. Dengan demikian, diagnosis dan
penatalaksanaan harus dilakukan dengan tepat (Decroli, 2019).

1.1.8 Tata Laksana Terapi Diabetes Melitus


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terdapat tujuh kategori obat antidiabetes untuk mengobati
pasien dengan diabetes tipe 2 yaitu secrestagogues insulin (sulfonulurea, meglitinid,
turunan D-fenilalanin), biguanid, tiazolidinedion, inhibitor α-glukosidase, terapi
berbasis inkretin, penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2 inhibitor)
dan sekuestran pengikat asam empedu.

a. Terapi Antidiabetik Oral Tunggal


Terapi tunggal yaitu dengan memberikan hanya satu jenis obat saja. Intervensi
farmakologiditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan peraturan
makanan dan latihan jasmani.

b. Terapi Antidiabetik Oral Kombinasi


Terapi kombinasi yaitu dengan memberikan kombinasi dua atau tiga kelompok
antidabetik oral jika dengan antidabetik oral tunggal sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai. Dapat juga menggunakan kombinasi antidabetik oral dengan insulin apabila
ada kegagalan pemakaian antidabetik oral baik tunggal maupun kombinasi.

Berikut adalah obat antididabetik oral:

1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)


a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

9
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal) (PERKENI, 2019)

Tabel 2.4 Golongan Sulfonilurea

Sumber : Kennedy, 2012.

b. Meglitinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, namun
berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak
tersedia di Indonesia (PERKENI, 2019).
Repalignid memiliki awitan kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek
puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah dicerna, tetapi dengan masa kerja 4-7 jam. Obat
ini dibersihkan di hati oleh CYP3A4 dengan waktu-paruh plasma 1 jam. Kerena awitannya

10
yang cepat, repaglinid diindikasikan untuk digunakan dalam mengontrol lonjakan glukosa
pasca-makan. Obat perlu diminum tepat sebelum setiap makan dengan dosis 0,25-4 mg
(maksimal 16 mg/hari); hipoglikemia dapat timbul jika makan tertunda atau terlewatkan
atau kandungan karbohidratnya kurang memadai. Obat ini perlu digunakan dengan hati-hati
pada orang dengan gangguan ginjal atau hati. Repaglinid telah disetujui sebagai monoterapi
atau dalam kombinasi dengan biguanid. Tidak terdapat sulfur di dalam struktur di dalam
strukturnya sehingga repaglinid dapat digunakam pada pengidap diabetes tipe 2 yang alergi
terhadap sulfur atau sulfonilurea (Kennedy, 2012).

c. Turunan D-Fenilalanin
Nateglinid, suatu turunan D-fenilalanin, adalah secretagogue insulin terbaru
yang tersedia secara Minis. Natelignid merangsang pelepasan insulin yang sangat cepat
dan sesaat dari sel beta melalui penutupan saluran peka-ATP. Obat ini juga secara
parsial memulihkan pelepasan insulin inisial sebagai respons terhadap tes toleransi
glukosa intravena. Hal ini mungkin merupakan keunggulan signifikan obat ini karena
diabetes tipe 2 berkaitan dengan hilangnya respons insulin awal ini. Pulihnya sekresi
insulin yang lebih normal mungkin menekan pengeluaran glukagon pada awal makan
dan menyebabkan berkurangnya produksi glukosa emdogen atau oleh hati. Natelignid
mungkin memiliki peran khusus dalam pengobatan orang dengan hiperglikemia pasca-
makan, tetapi obat ini hampir tidak berefek pada kadar glukosa puasa atau semalam.
Natelignid efektif jika diberikan tersendiri atau dalam kombinasi dengan obat oral non-
secretagogue (misalnya metformin) (Kennedy, 2012).

Tabel 2.5 Secretagogue insulin lainnya

11
Sumber : Kennedy, 2012.

Natelignid diminum tepat sebelum makan. Obat ini diserap dalam 20 menit
setelah pemberian oral dengan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak kurang dari 1
jam dan dimetabolisasi di hati oleh CYP2C9 dan Cyp3A4 dengan waktu-paruh sekitar
1 jam. Masa kerja keseluruhan adalah sekitar 4 jam. Natelignid memperkuat respons
sekretorik insulin terhadap pemberian glukosa, tetapi efeknya jauh berkurang pada
keadaan normoglikemia. Insidens hipoglikemia pada pemberian natelignid mungkin
yang terendah dari semua secretagogue, dan obat ini memiliki keunggulan, yaitu aman
bagi mereka yang fungsi ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).

2. Biguanid
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin

diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/1,73 m 2).

Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan LFG < 30 mL/menit/1,73 m 2,
adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA
fungsional class III-IV). Efek samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran
pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain (PERKENI, 2019).
Metformin memiliki waktu-paruh 1,5-3 jam, tidak terikat ke protein plasma, tidak
dimetabolisasi, dan diekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif. Akibat blokade
glukoneogenesis oleh metformin, obat ini dapat mengganggu metabolisme asam laktat oleh hati.

12
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, biguanid dapat menumpuk sehingga meningkatkan
risiko asidosis laktat, yang tampaknya merupakan suatu penyulit terkait-dosis keunggulan,
yaitu aman bagi mereka yang fungsi ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).
Biguianid dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk diabetes tipe 2. Karena
merupakan obat hemat-insulin dan tidak meningkatkan berat badan atau memicu hipoglikemia,
metformin jelas menawarkan keunggulan dibandingkan dengan insulin atau sulfonilurea dalam
mengobati hiperglikemia pada para pasien tersebut. UKPDS melaporkan bahwa terapi
metformin menurunkan risiko penyakit makrovaskular maupun mikrovaskular; hal ini berbeda
dari terapi lain, yang hanya memodifikasi morbiditas mikrovaskular. Biguanid juga
diindikasikan untuk digunakan dalam kombinasi dengan secretagogue insulin atau
tiazolidinedion pada pasien diabetes tipe 2 yang kurang berespon terhadap monoterapi.
Metformin berguna dalam mencegah diabetes tipe 2; Diabetes Prevention Program
menyimpulkan bahwa metformin efektif dalam mencegah awitan baru diabetes tipe 2 pada
orang berusia pertengahan dengan obesitas serta gangguan toleransi glukosa dan hiperglikemia
puasa. Yang menarik adalah bahwa metformin tidak mencegah diabetes pada orang pradiabetes
yang lebih langsing dan lebih tua keunggulan, yaitu aman bagi mereka yang fungsi
ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).
Dosis metformin adalah dari 500 mg hingga maksimal 2,55 g per hari, dengan anjuran
pemakaian dosis terendah yang masih efektif. Bergantung pada apakah kelainan primernya
adalah hiperglikemia puasa atau hiperglikemia pasca-makan, terapi metformin dapat dimulai
sebagai dosis sekali sehari saat tidur atau sebelum makan. Jadwal lazim untuk hiperglikemia
puasa adalah dimulai dengan satu tablet 500 mg sebelum tidur malam selama seminggu atau
lebih. Jika hal ini dapat ditoleransi tanpa gangguan pencernaan dan jika hiperglikemianya
menetap, dapat ditambahkan tablet 500 mg kedua bersama dengan makan malam. Jika
diperlukan peningkatan dosis lebih lanjut, dapat ditambahkan 1 tablet 500 mg bersama sarapan
atau makan siang, atau dapat diresepkan tablet yang lebih besar
(850 mg) dua kali sehari atau bahkan tiga kali sehari (dosis anjuran maksimal) jika dibutuhkan.
Dosis harus selalu dibagi karena ingesti lebih dari 1000 mg sekaligus biasanya memicu efek
samping pencernaan yang signifikan keunggulan, yaitu aman bagi mereka yang fungsi
ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).

13
3. Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA fungsional class
III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah pioglitazone (PERKENI, 2019).

Tabel 2.5 Tiazolidinedion

Sumber: (Kennedy, 2012).

Tiazolidinedion bermanfaat dalam mencegah diabetes tipe 2. The Diabetes Prevention


Trial melaporkan penurunan 75% angka insiden diabetes pada pemberian troglitazon kepada
pasien pradiabetes. Studi lain melaporkan bahwa terapi troglitazon secara bermakna menurunkan
kekambuhan diabetes melitus pada wanita Hispanik berisiko tinggi dengan riwayat diabetes
gestasional (Kennedy, 2012).
Meskipun obat-obat ini sangat efektif, efek samping penambahan berat, gagal jantung
kongestif, demineralisasi dan peningkatan fraktur tulang pada wanita; kemungkinan (untuk
rosiglitazon) perburukan status kardiovaskular; dan risiko onkogenik yang belum jelas berpotensi
mengurangi popularitas obat ini dan pemakaiannya di masa depan (Kennedy, 2012).

4. Penghambat Alfa Glukosidase

14
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di saluran
pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus halus. Penghambat

glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30 ml/min/1,73 m2, gangguan faal
hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat
golongan ini adalah acarbose (PERKENI, 2019).
Akarbosa dan miglitol adalah inhibitor kompetitif α-glukosidase usus serta mengurangi
penyimpangan kadar glukosa pasca-makan dengan menunda pencernaan dan penyerapan tepung
dan disakarida. Hanya monosakarida, seperti glukosa dan fruktosa, yang dapat diangkut keluar
dari lumen usus dan masuk ke aliran darah. Tepung kompleks, oligosakarida, dan disakarida
harus diuraikan menjadi masing-masing monosakarida sebelum diserap di duodenum dan
jejunum atas. Pencernaan ini dipermudah oleh enzim-enzim usus, termasuk α-amilase dan α-
glukosidase pankreas yang melekat ke lapisan perbatasan (brush border) sel usus (Kennedy,
2012).

Tabel 2.6 Inhibitors Alfa-Glukosidase

Sumber: (Kennedy, 2012).

Monoterapi dengan obat-obat ini dilaporkan berkaitan dengan penurunan sedang (0,5-
1%) kadar glikohemoglobin dan penurunan 20-25 mg/dL kadar glukosa puasa. Ke duanya telah
disetujui oleh FDA untuk digunakan pada orang dengan diabetes tipe 2 sebagai monoterapi dan
dalam kombinasi dengan sulfonilurea, efek glikemiknya bersifat aditif. Akarbosa dan miglitol
diminum dalam dosis 25-100 mg tepat sebelum suapan pertama setiap makan; terapi perlu
dimulai dengan dosis terendah dan dititrasi secara perlahan ke dosis yang lebih tinggi, dan pada
setiap makan jumlah tepung dan disakarida seyogianya tetap (Kennedy, 2012).

15
5. Sekuestran Asam Empedu
Kolesevelam hidroklorida, yang semula dikembangkan sebagai sekuestran asam empedu
dan obat penurun kolesterol, kini disetujui sebagai obat antihiperglikemia pada orang dengan
diabetes tipe 2 yang sedang mendapat obat lain atau tidak berhasil mengontrol secara adekuat
penyakit mereka dengan diet dan olahraga. Mekanisme kerja pasti belum diketahui, tetapi
mungkin melibatkan interupsi sirkulasi enterohepatik dan berkurangnya pengaktifan reseptor
farnesoid X (FXR). FXR adalan reseptor nukleus dengan efek multipel pada metabolisme
kolesterol, glukosa, dan asam empedu. Asam empedu adalah ligan alami FXR. Selain itu, obat
ini mungkin mengganggu penyerapan glukosa (Kennedy, 2012).
Kolesevelam diberikan sebagai pil atau suspensi oral dalam dosis 1875 mg dua kali
sehari atau 3750 mg sekali sehari. Obat ini tidak diserap secara sistemik atau dimodifikasi dan
dikeluarkan secara utuh di tinja. Dalam uji obat ini menurunkan konsentrasi hemoglobin A1c,
(HbA1c) sekitar 0,5% dan kolesterol LDL sebesar 15% atau lebih. Efek samping mencakup
adanya keluhan pencernaan (konstipasi, salah dalam mencerna, flatus). Obat ini dapat
mengganggu penyerapan banyak obat lain, termasuk vitamin larut lemak, gliburid, levotiroksin,
dan kontrasepsi oral, serta jangan digunakan pada pasien dengan hipertrigliseridemia, riwayat
pankreatitis akibat hipertrigliseridemia, atau penyakit esofagus, lambung, atau usus (Kennedy,
2012).

6. Penghambat enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)


Dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) adalah suatu serin protease, yang didistribusikan
secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam amino dari peptida yang
mengandung alanin atau prolin di posisi kedua peptida N-terminal. Enzim DPP-4
terekspresikan di berbagai organ tubuh, termasuk di usus dan membran brush border
ginjal, di hepatosit, endotelium vaskuler dari kapiler villi, dan dalam bentuk larut
dalam plasma. Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4
sehingga akan mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses inhibisi
ini akan mempertahankan kadar GLP-1 dan glucose-dependent insulinotropic
polypeptide (GIP`) dalam bentuk aktif di sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki
toleransi glukosa, meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon.

16
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam golongan ini
adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin (PERKENI,
2019).
Sifat farmakokinetik dan dosis obat antidabetik turunan penghambat DPP-4
dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.7 Dosis obat antidiabetik turunan penghambat DPP-4
Ketersediaan Waktu Masa Ekskresi
hayati oral Paro Kerj urin
Nama
Dosis (%) (Jam) a (%)
Obat
(Jam
)
Sitaglipin 100 mg 1 dd 87 12 12,4 79
Vildaglipin 50 mg 1-2 dd 85 3 - 85
Saxaglipin 5 mg 1 dd - - 24 75
Linagliptin 5 mg 1 dd 30 - 100 5
Sumber: Siswandono, 2016.

a. Vildagliptin
Kadar darah maksimum dicapai dalam waktu 1,75 jam, dapat dalam bentul
terapi tunggal atau kombinasi dengan metformin. Dosis: 25 mg 1-2 dd
(PERKENI, 2019).

b. Linaglipitin
Linagliptin adalah obat yang paling baru dikenalkan dalam kelas ini dan tampaknya
memiliki sifat serupa dengan sitagliptin dan saxagliptin. Obat ini telah disetujui untuk
digunakan sebagai monoterapi dan dalam kombinasi dengan metformin, glimepirid, dan
pioglitazon (Kennedy, 2012).

c. Saxagliptin
Saxagliptin diberikan per oral dengan dosis 2,5-5 mg per hari. Obat ini mencapai
konsentrasi maksimal dalam 2 jam (4 jam untuk metabolit-metabolit aktifnya). Obat ini
hanya sedikit yang terikat ke protein dan mengalami metabolisme di hati oleh
CYP3A4/5. Metabolit utama bersifat aktif, dan ekskresi adalah melalui ginjal dan hati.

17
Waktu-paruh plasma terminal adalah 2,5 jam untuk saxagliptin dan 3,1 jam untuk
metabolit aktifnya. Dianjurkan penyesuaian dosis untuk orang dengan gangguan ginjal
dan jika digunakan bersama dengan inhibitor kuat CYP3A4/5, misalnya obat antivirus,
antijamur, dan antibakteri tertentu. Saxagliptin telah disetujui sebagai monoterapi dan
dalam kombinasi dengan biguanid, sulfonilurea, dan Tzd. (Kennedy, 2012).

d. Sitagliptin
Sitagliptin memiliki ketersediaan-hayati oral lebih dari 85%, mencapai konsentrasi
puncak dalam 1-4 jam, dan memiliki waktuparuh sekitar 12 jam. Obat ini terutama (87%)
diekskresikan di urin sebagian oleh sekresi aktif obat di tubulus. Metabolisme hati
terbatas dan terutama diperantarai oleh isoform sitokrom CYP3A4 dan, dengan tingkat
yang lebih rendah, oleh CYP2C8. Metabolit yang dihasilkan hampir tidak memiliki
aktivitas. Dosis lazim adalah 100 mg per oral sekali sehari. Sitagliptin telah diteliti
sebagai monoterapi dan dalam kombinasi dengan metformin, sulfonilurea, dan Tzd.
Terapi dengan sitagliptin menghasilkan penurunan HbA1c, antara 0,5% dan 1,0%
(Kennedy, 2012).

7. Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2 inhibitor)


Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus
proksimal dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan ini
mempunyai manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek samping
yang dapat terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran kencing dan genital.
Pada penyandang DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian
dosis, dan tidak diperkenankan bila LFG kurang dari 45 ml/menit. Hati-hati karena
dapat mencetuskan ketoasidosis.

Tabel 2.8 Profil Obat Antihiperglikemia Oral yang Tersedia di Indonesia


Efek Samping Penurunan
Golongan Obat Cara Kerja Utama
Utama HbA1c
Metformin Menurunkan produksi Dispepsia, diare, 1,0 – 1,3%
glukosa hati dan asidosis laktat
meningkatkan
sensitifitas terhadap
insulin

18
Thiazolidinedione Meningkatkan Edema 0,5 – 1,4%
sensitifitas terhadap
insulin
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik 0,4 – 1,2%
insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik 0,5 – 1,0%
insulin hipoglikemia
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5 – 0,8%
Alfa-Glukosidase glukosa lembek
Penghambat Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5 – 0,9%
DPP-4 insulin dan
menghambat sekrsi
glukagon
Penghambat Menghambat Infeksi saluran kemih 0,5 – 0,9%
SGLT-2 reabsorbsi glukosa di dan genital
tubulus distal
Sumber: PERKENI, 2019

C. Insulin
Terapi Insulin DM tipe 1 terjadi karena ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin oleh
sel β pankreas, sehingga pada tipe ini penderita sangat tergantung dengan pemberian insulin.
Sementara pada DM tipe 2 umumnya tanpa insulin (Price & Wilson, 2003). Insulin eksogen
digunakan untuk meniru pola normal fisiologis tubuh sehingga dapat melakukan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak (Dipiro dkk., 2008).

1.1.9 Monitoring Diabetes Melitus


Pengobatan diabetes mellitus baik farmakologi mauapun non farmakologi yang
bertujuan untuk memantau kadar gula dalam darah meliputi : (F.Y, Widodo, 2014)
1. Target untuk glukosa darah puasa antara 72-125 mg/dl, dan 2 jam setelah makan
antara 90-180 mg/d
2. Kadar HbA1c/A1C <6,5%
3. Tekanan darah <130/80 mmHg
4. Kadar Kolesterol LDL <100 mg/dl, kolesterol HDL > 40 mg/dl pada pria dan >50
mg/dl pada wanita dan trigliserida <150 mg/dl
5. Albumin Kreatinin Ratio <30 ug/mg kreatinin eGFR >60 ml/min
6. Transaminase hati harus dalam batas normal
7. Pemeriksaan mata dan neurologis berkala

19
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PROFIL PASIEN


Tabel 2.1 Profil Pasien
Nama Pasien/ umur Tn. YT/ 57 Tahun
Berat Badan 54 Kg
Alamat -
Keluhan Utama Masuk IGD dalam kondisi lemah, kulit pucat, demam
naik turun selama 3 hari, hanya mau sedikit makanan
sudah 2 hari hari ini terkadang dimuntahkan, minum
hanya sedikit, terdapat luka menghitam pada kaki
kanan pasien dan terasa nyeri serta lidah pasien kotor
Tanggal MRS-KRS -
Diagnosa Demam Tifoid + DM + Foot Ulcer + Sepsis
Riwayat Penyakit DM (5 tahun) tidak terkontrol
Riwayat Pengobatan -

2.1 CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

Tabel 2.2 Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Perkembangan Pasien (Data Subyektif dan Obyektif)


H-1 Pemeriksaan Fisik:
TTV H-1 : TD 90/70, Nadi 90x/menit, RR 25x/menit, T 38,7C, GCS 365
Data Laboratorium:
Leukosit 16.000/mm3, Hb 10,8 g/dL, Trombosit 350.000/mm3, GDS 279
mg/dL, GDP 201 mg/dL, Na 132 mg/dL, K 3,5 mg/dL, Cl 93 mg/dL, Alb
3,4 g/dL, IgM S. Thypy 6, Widal  O (1/320), H (1/320), PA (negative),
PB (1/80)
H-2 Pemeriksaan Fisik:
TTV H-2 : TD 70/60, Nadi 96x/menit, RR 30x/menit, T 38,4C, GCS 365
Data Laboratorium:
GDS 225 mg/dL, GDP 200 mg/dL

20
2.1 Hasil Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
2.1.1 Hasil Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda vital
Parameter Nilai Normal H-1 H-2 Keterangan
Suhu (oC) 36,5-37,5 38,7 38,4 Suhu tubuh pasien diatas normal selama di rawat RS yang menunjukkan reaksi tubuh terhadap adanya infeksi
yang belum teratasi dengan baik.
Nadi (x/menit) 80-100 90 96 Nadi pasien menunjukkan hasil normal
TD (mmHg) 120/80 90/70 70/60 Tekanan darah pasien menunjukkan hasil normal
GCS Eye- 365 365 GCS pasien menurun.
verbmotoric Eye (3) : dengan rangsang suara, dilakukan dengan menyuruh pasien untuk membuka mata),
(456) Verbal (6) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas,
Motoric (5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri
RR (x/menit) 18-24 25 30 Frekuensi nafas pasien diatas nilai normal

2. Data Laboratorium
Tanggal
DATA Normal Keterangan
H-1 H-2
Menurun karna adanya anemia, pendarahan, hemolisis
Hb 12,3 – 15,7 g/dL 10,8 g/dL -
Terjadinya komplikasi kronik DM dimana adanya gangguan fungsi ginjal
Leukosit 3.200 – 10.000 16.000/mm3 - Leukosit merupakan sel yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh yang
sangat tanggap terhadap agen infeksi penyakit. Leukosit tinggi (hitung sel darah
putih yang tinggi) umumnya berarti tubuh sedang melawan infeksi (SightOLO,
2021)
Trombosit 170 – 380 x 103 /mm3 350.000/mm3 - Trombosit berperan untuk menghentikan perdarahan saat terjadi luka atau
kerusakan di pembuluh darah.
GDS < 200 mg/dL 279 mg/dL 225 mg/dL Berdasarkan PERKERNI 2019 mengenai kriteria penegakan diagnosis DM tipe
GDP < 126 mg/dL 201 mg/dL 200 mg/dL 2 adalah kadar gula darah sewaktu (kapan saja, tanpa mempertimbangkan
makan terakhir) ≥ 200mg/dl dan kadar gula darah puasa (tidak ada asupan
kalori selama paling sedikit 8 jam) ≥ 126mg/dl. Hasil yang ditunjukan melebihi
batas normal yang menunjukan pasien DM tipe 2.
Diproduksi di hati, penting dalam tekanan osmotik intravascular. Kadar
Albumin 3,3 – 4,8 g/dL 3,4 g/dL -
Albumin pasien normal
Pada umumnya rendahnya sodium disebabkan oleh kelebihan cairan (ex.
Natrium 135-145 mmol/L 132 mg/dL -
Meningkatnya kadar hormon antidiuretik) dan di atasi dengan restriksi air
Kalium 3,5 – 5 mmol/L 3,5 mg/dL - Hasil yang ditujukkan kadar kalium pasien masuk kedalam rentang normal

1
Berguna dalam keseimbangan elektolit, kadar klorida menurun karena
Klorida 95 – 105 mmol/L 93 mg/dL - pencernaan kehilangan cairan yang kayak akan Cl (muntah, diare, GI suction,
overdiuresis)
IgM S.Thypy 6 - Antibodi fase akut yang muncul akibat adanya infeksi S.Thypy
O (1/320) Tes widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah
H (1/320) dimatikan) dengan aglutinin O dan H yang merupakan antibodi spesifik
Widal -
PA (negative) terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia. Titer O 1/320
PB (1/80) menyokong kuat diagnosis demam tifoid

2.4 TERAPI OBAT


Tanggal
Nama Obat Dosis & rute
H-1 H-2
D5 ½ NS 1000 cc/24 jam (iv) √ √
Ranitidin 2 x 50 mg (iv) √ √
Metamizole Na 3 x 500 mg (iv) √ √
Vicillin 2 x 1 gram (iv) √ √
Metronidazol 3 x 500 mg (iv) √ √
Metformin 3 x 500 mg (po) √ √
Humulin N 2 x 5 IU (sc) √
Norepineprin 30 mcg/menit (iv) √
NaCl 1000cc/24 jam (iv) √

2
2.5 ANALISIS SOAP
Tabel analisis SOAP
Problem Medis : Demam Tifoid
Subyektif :
Lemah, pucat, makan dan minum sedikit, lidah pasien kotor dan kaki kanan terasa nyeri
Obyektif :
T 38,7C (H-1) dan T 38,4C (H-2)
IgM S.Thypy 6
Widal  O (1/320), H (1/320), PA (negative), PB (1/80)
Assesment Plan Monitoring
Terapi
Monitoring
Nama Dosis yang Indikasi dan Interaksi Penyelesaian
Dosis Pustaka Obat
DRP Efektivitas dan
Obat digunakan pasien Mekanisme Obat DRP
ESO
Metronida Dosis lazim Metronidazol
Indikasi : Penggunaan Perlu ESO:
zol adalah 500 mg Antiprotozoa metronidazol ditambahkan mual, diare,
iv 3x500 mg
tiga kali sehari per nitroimidazol secara tunggal antibiotik yang stomatitis, dan
oral atau intravena yang juga memiliki pada luka gangren memiliki neuropati perifer
(30 mg/kg/hari) aktivitas antibakteri kurang efektif spektrum pada pada pemakaian
(Katzung, dkk., poten terhadap karena bakteri aerob agar jangka-panjang.
2012) anaerob (Katzung, metronidazol infeksi dapat
dkk., 2012) merupakan diatasi
antibiotik yang
Mekanisme : hanya selektif
Metronidazol terhadap bakteri
secara selektif anaerob,
diserap oleh bakteri sedangkan infeksi
aerob dan protozoa pada luka gangren
sensitif. terjadi akibat
Jika telah diserap polimikrobial yaitu

3
oleh anaerob, obat bakteri anaerob
ini secara dan bakteri aerob
nonenzimatis
tereduksi dengan
bereaksi terhadap
feredoksin
tereduksi (Katzung,
dkk., 2012)

Alasan pemilihan obat:


Metronidazol merupakan antibiotik yang memiliki spektrum pada bakteri anaerob yang merupakan pilihan awal yang sering diberikan sebagai terapi
tambahan pada luka gengren (Rian, 2014).
Evidence Based Medicine :
Pola penggunan metronidazol tunggal sebanyak 9 pasien (9.4%) dengan dosis dan rute terbanyak adalah 3x500mg secara IV Drip, penggunaan
metronidazol secara tunggal pada luka gangren kurang efektif karena metronidazol merupakan antibiotik yang hanya selektif terhadap bakteri anaerob,
sedangkan infeksi pada luka gangren terjadi akibat polimikrobial yaitu bakteri anaerob dan bakteri aerob sehingga perlu ditambahkan antibiotik yang
memiliki spektrum pada bakteri aerob agar infeksi dapat diatasi. (Rian, 2014).

Problem Medis : Lain-lain

Assesment Terapi Plan Monitoring

Monitoring
Dosis yang Indikasi dan Interaksi Penyelesaian
Nama Obat Dosis Pustaka DRP Efektivitas
digunakan pasien Mekanisme Obat Obat DRP
dan ESO

4
NaCl Dosis yang 1000cc/24 jam (iv) Indikasi : - - - Monitoring
dianjurkan 500 ml- Natrium klorida
diindikasikan untuk efektivitas:
3 liter/jam
kehilangan natrium · Nilai TD,
yang dapat timbul HR, RR,
dari keadaan seperti Suhu dan
gastroenteritis, tanda vital
ketoadosis diabetik, lainnya
ileus dan asites.
Batasi asupan pada · Tetes per
gangguan fungsi menit cairan
ginjal, gagal infus
jantung, hipertensi,
udem perifer dan
paru-paru (Pionas,
2022).

2.6 RANGKUMAN DRP


Tabel 2.6 Daftar Pengobatan Pasien dan Drug Related Problem

Nama Obat Tipe DRP Jenis DRP


Potensial Aktual B1 B2 B3 B4 B5 B6a B6b B7 B8a B8b
Metronidazol iv √ - √
NaCl iv

5
2.7 DRP, PLAN DAN MONITORING

Nama Obat DRP Plan Monitoring


Metronidazol Penggunaan metronidazol secara perlu ditambahkan antibiotik yang Monitoring infeksi
tunggal pada luka gangren kurang memiliki spektrum pada bakteri aerob Monitoring Trombosit dan
efektif karena metronidazol agar infeksi dapat diatasi leukosit
merupakan antibiotik yang hanya
selektif terhadap bakteri anaerob,
sedangkan infeksi pada luka gangren
terjadi akibat polimikrobial
NaCl iv - Pemberian terapi sesuai dan selanjutnya Kadar Natrium dan Klorida
tetap diberikan untuk mengontrol kadar
elektrolit terutama kadar natrium pada
pasien

6
2.8 ASUHAN KEFARMASIAN

Tabel 2.9 Asuhan Kefarmasian

Nama Obat Kegunaan Waktu/Cara Pemakaian Monitoring


Metronidazol iv Antibiotik Diberikan 3 kali sehari 500 mg yang melalui Monitoring infeksi
suntikan infus Monitoring Trombosit dan leukosit
NaCl iv Larutan elektrolit Dosis yang dianjurkan 500 ml-3 liter/jam Kadar elektrolit tubuh yaitu Na, Cl
Dosis yang digunakan 1000cc/24 jam

7
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Bilous Rudi dan Richard Donelly. (2014). Buku Pegangan Diabetes. Edisi ke 4. Jakarta: Bumi
Medika.
Brunner & Suddarth. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12 volume 1.
Jakarta : EGC.
Decroli, Eva. (2019). Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas
Penyakit Dalam.
DiPiro, Joseph T., et al. 2020. Pharmacotheraphy: A Pathophysiologic Approach Eleventh
edition. USA: McGraw Hill.
Homenta, H. 2012. Diabetes mellitus tipe i dan penerapan terapi insulin flexibel pada anak dan
remaja. diajukan pada forum komunikasi ilmiah (fki) lab./smf ilmu kesehatan anak fk
unair/rsud dr. soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. 1–17.
Katzung, Bertram G. (2012). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
Kennedy, M. S. N. (2012). „Pancreatic Hormones & Antidiabetic Drugs‟, in Katzung, B.G.,
Masters, S.B., and Trevor, A.J., Basic & Clinical Pharmacology. Edisi ke 12. New
York : The McGraw-Hill Companies. Section VII, Chapter 41.
PERKENI. (2021). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Jakarta: PERKENI.
PERKENI. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PB PERKENI
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Rian, Saputro. 2014. Studi Penggunaan Metronidazol pada Pasien DM Gangren (Penelitian di
Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo). Malang: Universitas Muhamadiyah Malang

Anda mungkin juga menyukai