1 DIABETES MELITUS
1.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama yang khas, yakni urin yang berasa
manis dalam jumlah yang besar. Istilah diabetes berasal dari Bahasa Yunani yang berarti siphon,
ketika tubuh menjadi suatu saluran untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan, dan mellitus dari
Bahasa Yunani dan Latin yang berarti madu (Bilous & Donelly, 2014).
1
1.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena sebetulnya insulin tersedia, tetapi tidak bekerja
dengan baik dimana insulin yang ada tidak mampu memasukkan glukosa dari peredaran darah
untuk ke dalam sel-sel tubuh yang memerlukannya sehingga glukosa dalam darah tetap tinggi
yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2010).
Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DMT2 secara genetik adalah
resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas. Resistensi insulin merupakan kondisi umum
bagi orang-orang dengan berat badan overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara
optimal di sel otot, lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk
memproduksi insulin lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat
guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan
meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada DMT2
semakin merusak sel beta di satu sisi dan memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga
penyakit DMT2 semakin progresif (Decroli, 2019).
Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya konsentrasi insulin yang lebih tinggi
dari normal yang dibutuhkan untuk mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat seluler,
resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari
pre reseptor, reseptor, dan post reseptor (Decroli, 2019)
Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas dan
peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi hiperglikemia kronik dengan segala
dampaknya. Hiperglikemia kronik juga berdampak memperburuk disfungsi sel beta pankreas
(Decroli, 2019).
Sebelum diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas dapat memproduksi insulin
secukupnya untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin. Pada saat diagnosis DMT2
ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat untuk
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta pankreas
yang normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti
dengan jaringan amiloid, akibatnya produksi insulin mengalami penurunan sedemikian rupa,
sehingga secara klinis DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin secara absolut
(Decroli, 2019).
2
1.1.4 Manifestasi Klinik Diabetes Melitus
Mayoritas pasien dengan DM tipe 2 tidak menunjukkan gejala atau hanya mengalami
kelelahan ringan pada saat diagnosis. Banyak pasien yang kebetulan didiagnosis menderita DM
tipe 2 berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium rutin (misalnya, glukosa plasma atau A1C)
atau perkembangan komplikasi (misalnya, infark miokard, stroke, gangguan ginjal). Kebanyakan
pasien dengan DM tipe 2 memiliki berat badan berlebih atau obesitas (Dipiro, 2020)
Pada pasien dengan DM tipe 1 biasanya memiliki gejala klinis berupa polidipsi,
poliuriam polifagia, BB turun, jiperglikemia (≥ 200 mg/dL), ketonemia, dan glukosuria. Pasien
dengan DM tipe 1 cenderung cepat menjurus ke dalam ketoasidosis disertai dengan prognosis
yang kurang baik sehingga pasien dengan dugaan DM tipe 1 harus segera dirawat inap
(Homenta, 2012).
3
Tanda utama diabetes tipe 1 adalah kerusakan selektif sel beta (sel B) dan defisiensi
insulin yang parah atau absolut. Diabetes tipe 1 dibagi lebih lanjut menjadi kausa imun dan kausa
idiopatik. Bentuk imun adalah bentuk tersering diabetes tipe 1. Meskipun kebanyakan pasien
berusia kurang dari 30 tahun saat didiagnosis, awitan dapat terjadi kapan saja. Diabetes tipe 1
dijumpai pada semua kelompok etnik, tetapi insidens tertinggi adalah pada orang dari Eropa
utara dan dari Sardinia. Kerentanan tampaknya melibatkan suatu keterkaitan genetik multifaktor,
tetapi hanya 10-15% dari pasien memperlihatkan riwayat keluarga yang positif. Untuk orang
dengan diabetes tipe 1, terapi sulih insulin dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan. Insulin
farmakologik diberikan melalui injeksi ke jaringan subkutis dengan menggunakan alat injeksi
manual atau suatu pompa insulin yang secara kontinu menginfuskan insulin di bawah kulit
(Kennedy, 2012).
4
kisaran normal danterjadi gangguan status mental atau penurunan kesadaran. Diperlukan
penanganan medis segera dan rehidrasi (Kennedy, 2012).
5
ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).
Tabel 2.2 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes.
HbA1 Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
c (%)
puasa (mg/dL) setelag TTGO (mg/dL)
6
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥ 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
7
penderita DM dan pemeriksaan secara reguler diharapkan akan mengurangi kejadian komplikasi
berupa ulkus diabetik, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya rawat dan kecacatan.Oleh
karena itu perlu peningkatan pemahanan mengenai diagnosis UKD yang kemudian dilanjutkan
dengan penatalaksanaan yang optimal. Penatalaksanaan UKD yang optimal memerlukan
pendekatan multidisiplin, seperti ahli bedah, ahli endokrin, ahli patologi klinik, ahli
mikrobiologi, ahli gizi, ahli rehabilitasi medik dan perawat mahir kaki (Decroli, 2019).
8
Komplikasi makrovaskular yang sering pada penderita DMT2 adalah penyakit arteri
koroner, penyakit arteri perifer, dan penyakit pembuluh arteri karotis. DMT2 merupakan faktor
risiko utama dari penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab kematian terbanyak pada
penderita DMT2 (Decroli, 2019).
Hampir 50% total kematian pada DMT2 adalah karena CVD. CVD meningkatkan risiko
kematian hampir tiga kali lipat pada pasien DMT2. Diabetes dan CVD merupakan kombinasi
penyakit yang sering dan merupakan keadaan serius. Dengan demikian, diagnosis dan
penatalaksanaan harus dilakukan dengan tepat (Decroli, 2019).
9
Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan fungsi hati dan ginjal) (PERKENI, 2019)
b. Meglitinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonilurea, namun
berbeda lokasi reseptor, dengan hasil akhir berupa penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah hipoglikemia. Obat golongan glinid sudah tidak
tersedia di Indonesia (PERKENI, 2019).
Repalignid memiliki awitan kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek
puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah dicerna, tetapi dengan masa kerja 4-7 jam. Obat
ini dibersihkan di hati oleh CYP3A4 dengan waktu-paruh plasma 1 jam. Kerena awitannya
10
yang cepat, repaglinid diindikasikan untuk digunakan dalam mengontrol lonjakan glukosa
pasca-makan. Obat perlu diminum tepat sebelum setiap makan dengan dosis 0,25-4 mg
(maksimal 16 mg/hari); hipoglikemia dapat timbul jika makan tertunda atau terlewatkan
atau kandungan karbohidratnya kurang memadai. Obat ini perlu digunakan dengan hati-hati
pada orang dengan gangguan ginjal atau hati. Repaglinid telah disetujui sebagai monoterapi
atau dalam kombinasi dengan biguanid. Tidak terdapat sulfur di dalam struktur di dalam
strukturnya sehingga repaglinid dapat digunakam pada pengidap diabetes tipe 2 yang alergi
terhadap sulfur atau sulfonilurea (Kennedy, 2012).
c. Turunan D-Fenilalanin
Nateglinid, suatu turunan D-fenilalanin, adalah secretagogue insulin terbaru
yang tersedia secara Minis. Natelignid merangsang pelepasan insulin yang sangat cepat
dan sesaat dari sel beta melalui penutupan saluran peka-ATP. Obat ini juga secara
parsial memulihkan pelepasan insulin inisial sebagai respons terhadap tes toleransi
glukosa intravena. Hal ini mungkin merupakan keunggulan signifikan obat ini karena
diabetes tipe 2 berkaitan dengan hilangnya respons insulin awal ini. Pulihnya sekresi
insulin yang lebih normal mungkin menekan pengeluaran glukagon pada awal makan
dan menyebabkan berkurangnya produksi glukosa emdogen atau oleh hati. Natelignid
mungkin memiliki peran khusus dalam pengobatan orang dengan hiperglikemia pasca-
makan, tetapi obat ini hampir tidak berefek pada kadar glukosa puasa atau semalam.
Natelignid efektif jika diberikan tersendiri atau dalam kombinasi dengan obat oral non-
secretagogue (misalnya metformin) (Kennedy, 2012).
11
Sumber : Kennedy, 2012.
Natelignid diminum tepat sebelum makan. Obat ini diserap dalam 20 menit
setelah pemberian oral dengan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak kurang dari 1
jam dan dimetabolisasi di hati oleh CYP2C9 dan Cyp3A4 dengan waktu-paruh sekitar
1 jam. Masa kerja keseluruhan adalah sekitar 4 jam. Natelignid memperkuat respons
sekretorik insulin terhadap pemberian glukosa, tetapi efeknya jauh berkurang pada
keadaan normoglikemia. Insidens hipoglikemia pada pemberian natelignid mungkin
yang terendah dari semua secretagogue, dan obat ini memiliki keunggulan, yaitu aman
bagi mereka yang fungsi ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).
2. Biguanid
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 60 ml/menit/1,73 m 2).
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan LFG < 30 mL/menit/1,73 m 2,
adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA
fungsional class III-IV). Efek samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran
pencernaan seperti dispepsia, diare, dan lain-lain (PERKENI, 2019).
Metformin memiliki waktu-paruh 1,5-3 jam, tidak terikat ke protein plasma, tidak
dimetabolisasi, dan diekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif. Akibat blokade
glukoneogenesis oleh metformin, obat ini dapat mengganggu metabolisme asam laktat oleh hati.
12
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, biguanid dapat menumpuk sehingga meningkatkan
risiko asidosis laktat, yang tampaknya merupakan suatu penyulit terkait-dosis keunggulan,
yaitu aman bagi mereka yang fungsi ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).
Biguianid dianjurkan sebagai terapi lini pertama untuk diabetes tipe 2. Karena
merupakan obat hemat-insulin dan tidak meningkatkan berat badan atau memicu hipoglikemia,
metformin jelas menawarkan keunggulan dibandingkan dengan insulin atau sulfonilurea dalam
mengobati hiperglikemia pada para pasien tersebut. UKPDS melaporkan bahwa terapi
metformin menurunkan risiko penyakit makrovaskular maupun mikrovaskular; hal ini berbeda
dari terapi lain, yang hanya memodifikasi morbiditas mikrovaskular. Biguanid juga
diindikasikan untuk digunakan dalam kombinasi dengan secretagogue insulin atau
tiazolidinedion pada pasien diabetes tipe 2 yang kurang berespon terhadap monoterapi.
Metformin berguna dalam mencegah diabetes tipe 2; Diabetes Prevention Program
menyimpulkan bahwa metformin efektif dalam mencegah awitan baru diabetes tipe 2 pada
orang berusia pertengahan dengan obesitas serta gangguan toleransi glukosa dan hiperglikemia
puasa. Yang menarik adalah bahwa metformin tidak mencegah diabetes pada orang pradiabetes
yang lebih langsing dan lebih tua keunggulan, yaitu aman bagi mereka yang fungsi
ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).
Dosis metformin adalah dari 500 mg hingga maksimal 2,55 g per hari, dengan anjuran
pemakaian dosis terendah yang masih efektif. Bergantung pada apakah kelainan primernya
adalah hiperglikemia puasa atau hiperglikemia pasca-makan, terapi metformin dapat dimulai
sebagai dosis sekali sehari saat tidur atau sebelum makan. Jadwal lazim untuk hiperglikemia
puasa adalah dimulai dengan satu tablet 500 mg sebelum tidur malam selama seminggu atau
lebih. Jika hal ini dapat ditoleransi tanpa gangguan pencernaan dan jika hiperglikemianya
menetap, dapat ditambahkan tablet 500 mg kedua bersama dengan makan malam. Jika
diperlukan peningkatan dosis lebih lanjut, dapat ditambahkan 1 tablet 500 mg bersama sarapan
atau makan siang, atau dapat diresepkan tablet yang lebih besar
(850 mg) dua kali sehari atau bahkan tiga kali sehari (dosis anjuran maksimal) jika dibutuhkan.
Dosis harus selalu dibagi karena ingesti lebih dari 1000 mg sekaligus biasanya memicu efek
samping pencernaan yang signifikan keunggulan, yaitu aman bagi mereka yang fungsi
ginjalnya sangat kurang (Kennedy, 2012).
13
3. Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR- gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidinedion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA fungsional class
III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah pioglitazone (PERKENI, 2019).
14
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase di saluran
pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam usus halus. Penghambat
glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan LFG ≤ 30 ml/min/1,73 m2, gangguan faal
hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa
bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat
golongan ini adalah acarbose (PERKENI, 2019).
Akarbosa dan miglitol adalah inhibitor kompetitif α-glukosidase usus serta mengurangi
penyimpangan kadar glukosa pasca-makan dengan menunda pencernaan dan penyerapan tepung
dan disakarida. Hanya monosakarida, seperti glukosa dan fruktosa, yang dapat diangkut keluar
dari lumen usus dan masuk ke aliran darah. Tepung kompleks, oligosakarida, dan disakarida
harus diuraikan menjadi masing-masing monosakarida sebelum diserap di duodenum dan
jejunum atas. Pencernaan ini dipermudah oleh enzim-enzim usus, termasuk α-amilase dan α-
glukosidase pankreas yang melekat ke lapisan perbatasan (brush border) sel usus (Kennedy,
2012).
Monoterapi dengan obat-obat ini dilaporkan berkaitan dengan penurunan sedang (0,5-
1%) kadar glikohemoglobin dan penurunan 20-25 mg/dL kadar glukosa puasa. Ke duanya telah
disetujui oleh FDA untuk digunakan pada orang dengan diabetes tipe 2 sebagai monoterapi dan
dalam kombinasi dengan sulfonilurea, efek glikemiknya bersifat aditif. Akarbosa dan miglitol
diminum dalam dosis 25-100 mg tepat sebelum suapan pertama setiap makan; terapi perlu
dimulai dengan dosis terendah dan dititrasi secara perlahan ke dosis yang lebih tinggi, dan pada
setiap makan jumlah tepung dan disakarida seyogianya tetap (Kennedy, 2012).
15
5. Sekuestran Asam Empedu
Kolesevelam hidroklorida, yang semula dikembangkan sebagai sekuestran asam empedu
dan obat penurun kolesterol, kini disetujui sebagai obat antihiperglikemia pada orang dengan
diabetes tipe 2 yang sedang mendapat obat lain atau tidak berhasil mengontrol secara adekuat
penyakit mereka dengan diet dan olahraga. Mekanisme kerja pasti belum diketahui, tetapi
mungkin melibatkan interupsi sirkulasi enterohepatik dan berkurangnya pengaktifan reseptor
farnesoid X (FXR). FXR adalan reseptor nukleus dengan efek multipel pada metabolisme
kolesterol, glukosa, dan asam empedu. Asam empedu adalah ligan alami FXR. Selain itu, obat
ini mungkin mengganggu penyerapan glukosa (Kennedy, 2012).
Kolesevelam diberikan sebagai pil atau suspensi oral dalam dosis 1875 mg dua kali
sehari atau 3750 mg sekali sehari. Obat ini tidak diserap secara sistemik atau dimodifikasi dan
dikeluarkan secara utuh di tinja. Dalam uji obat ini menurunkan konsentrasi hemoglobin A1c,
(HbA1c) sekitar 0,5% dan kolesterol LDL sebesar 15% atau lebih. Efek samping mencakup
adanya keluhan pencernaan (konstipasi, salah dalam mencerna, flatus). Obat ini dapat
mengganggu penyerapan banyak obat lain, termasuk vitamin larut lemak, gliburid, levotiroksin,
dan kontrasepsi oral, serta jangan digunakan pada pasien dengan hipertrigliseridemia, riwayat
pankreatitis akibat hipertrigliseridemia, atau penyakit esofagus, lambung, atau usus (Kennedy,
2012).
16
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam golongan ini
adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin (PERKENI,
2019).
Sifat farmakokinetik dan dosis obat antidabetik turunan penghambat DPP-4
dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.7 Dosis obat antidiabetik turunan penghambat DPP-4
Ketersediaan Waktu Masa Ekskresi
hayati oral Paro Kerj urin
Nama
Dosis (%) (Jam) a (%)
Obat
(Jam
)
Sitaglipin 100 mg 1 dd 87 12 12,4 79
Vildaglipin 50 mg 1-2 dd 85 3 - 85
Saxaglipin 5 mg 1 dd - - 24 75
Linagliptin 5 mg 1 dd 30 - 100 5
Sumber: Siswandono, 2016.
a. Vildagliptin
Kadar darah maksimum dicapai dalam waktu 1,75 jam, dapat dalam bentul
terapi tunggal atau kombinasi dengan metformin. Dosis: 25 mg 1-2 dd
(PERKENI, 2019).
b. Linaglipitin
Linagliptin adalah obat yang paling baru dikenalkan dalam kelas ini dan tampaknya
memiliki sifat serupa dengan sitagliptin dan saxagliptin. Obat ini telah disetujui untuk
digunakan sebagai monoterapi dan dalam kombinasi dengan metformin, glimepirid, dan
pioglitazon (Kennedy, 2012).
c. Saxagliptin
Saxagliptin diberikan per oral dengan dosis 2,5-5 mg per hari. Obat ini mencapai
konsentrasi maksimal dalam 2 jam (4 jam untuk metabolit-metabolit aktifnya). Obat ini
hanya sedikit yang terikat ke protein dan mengalami metabolisme di hati oleh
CYP3A4/5. Metabolit utama bersifat aktif, dan ekskresi adalah melalui ginjal dan hati.
17
Waktu-paruh plasma terminal adalah 2,5 jam untuk saxagliptin dan 3,1 jam untuk
metabolit aktifnya. Dianjurkan penyesuaian dosis untuk orang dengan gangguan ginjal
dan jika digunakan bersama dengan inhibitor kuat CYP3A4/5, misalnya obat antivirus,
antijamur, dan antibakteri tertentu. Saxagliptin telah disetujui sebagai monoterapi dan
dalam kombinasi dengan biguanid, sulfonilurea, dan Tzd. (Kennedy, 2012).
d. Sitagliptin
Sitagliptin memiliki ketersediaan-hayati oral lebih dari 85%, mencapai konsentrasi
puncak dalam 1-4 jam, dan memiliki waktuparuh sekitar 12 jam. Obat ini terutama (87%)
diekskresikan di urin sebagian oleh sekresi aktif obat di tubulus. Metabolisme hati
terbatas dan terutama diperantarai oleh isoform sitokrom CYP3A4 dan, dengan tingkat
yang lebih rendah, oleh CYP2C8. Metabolit yang dihasilkan hampir tidak memiliki
aktivitas. Dosis lazim adalah 100 mg per oral sekali sehari. Sitagliptin telah diteliti
sebagai monoterapi dan dalam kombinasi dengan metformin, sulfonilurea, dan Tzd.
Terapi dengan sitagliptin menghasilkan penurunan HbA1c, antara 0,5% dan 1,0%
(Kennedy, 2012).
18
Thiazolidinedione Meningkatkan Edema 0,5 – 1,4%
sensitifitas terhadap
insulin
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik 0,4 – 1,2%
insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik 0,5 – 1,0%
insulin hipoglikemia
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5 – 0,8%
Alfa-Glukosidase glukosa lembek
Penghambat Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5 – 0,9%
DPP-4 insulin dan
menghambat sekrsi
glukagon
Penghambat Menghambat Infeksi saluran kemih 0,5 – 0,9%
SGLT-2 reabsorbsi glukosa di dan genital
tubulus distal
Sumber: PERKENI, 2019
C. Insulin
Terapi Insulin DM tipe 1 terjadi karena ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin oleh
sel β pankreas, sehingga pada tipe ini penderita sangat tergantung dengan pemberian insulin.
Sementara pada DM tipe 2 umumnya tanpa insulin (Price & Wilson, 2003). Insulin eksogen
digunakan untuk meniru pola normal fisiologis tubuh sehingga dapat melakukan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak (Dipiro dkk., 2008).
19
BAB II
PEMBAHASAN
20
2.1 Hasil Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
2.1.1 Hasil Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda vital
Parameter Nilai Normal H-1 H-2 Keterangan
Suhu (oC) 36,5-37,5 38,7 38,4 Suhu tubuh pasien diatas normal selama di rawat RS yang menunjukkan reaksi tubuh terhadap adanya infeksi
yang belum teratasi dengan baik.
Nadi (x/menit) 80-100 90 96 Nadi pasien menunjukkan hasil normal
TD (mmHg) 120/80 90/70 70/60 Tekanan darah pasien menunjukkan hasil normal
GCS Eye- 365 365 GCS pasien menurun.
verbmotoric Eye (3) : dengan rangsang suara, dilakukan dengan menyuruh pasien untuk membuka mata),
(456) Verbal (6) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas,
Motoric (5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri
RR (x/menit) 18-24 25 30 Frekuensi nafas pasien diatas nilai normal
2. Data Laboratorium
Tanggal
DATA Normal Keterangan
H-1 H-2
Menurun karna adanya anemia, pendarahan, hemolisis
Hb 12,3 – 15,7 g/dL 10,8 g/dL -
Terjadinya komplikasi kronik DM dimana adanya gangguan fungsi ginjal
Leukosit 3.200 – 10.000 16.000/mm3 - Leukosit merupakan sel yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh yang
sangat tanggap terhadap agen infeksi penyakit. Leukosit tinggi (hitung sel darah
putih yang tinggi) umumnya berarti tubuh sedang melawan infeksi (SightOLO,
2021)
Trombosit 170 – 380 x 103 /mm3 350.000/mm3 - Trombosit berperan untuk menghentikan perdarahan saat terjadi luka atau
kerusakan di pembuluh darah.
GDS < 200 mg/dL 279 mg/dL 225 mg/dL Berdasarkan PERKERNI 2019 mengenai kriteria penegakan diagnosis DM tipe
GDP < 126 mg/dL 201 mg/dL 200 mg/dL 2 adalah kadar gula darah sewaktu (kapan saja, tanpa mempertimbangkan
makan terakhir) ≥ 200mg/dl dan kadar gula darah puasa (tidak ada asupan
kalori selama paling sedikit 8 jam) ≥ 126mg/dl. Hasil yang ditunjukan melebihi
batas normal yang menunjukan pasien DM tipe 2.
Diproduksi di hati, penting dalam tekanan osmotik intravascular. Kadar
Albumin 3,3 – 4,8 g/dL 3,4 g/dL -
Albumin pasien normal
Pada umumnya rendahnya sodium disebabkan oleh kelebihan cairan (ex.
Natrium 135-145 mmol/L 132 mg/dL -
Meningkatnya kadar hormon antidiuretik) dan di atasi dengan restriksi air
Kalium 3,5 – 5 mmol/L 3,5 mg/dL - Hasil yang ditujukkan kadar kalium pasien masuk kedalam rentang normal
1
Berguna dalam keseimbangan elektolit, kadar klorida menurun karena
Klorida 95 – 105 mmol/L 93 mg/dL - pencernaan kehilangan cairan yang kayak akan Cl (muntah, diare, GI suction,
overdiuresis)
IgM S.Thypy 6 - Antibodi fase akut yang muncul akibat adanya infeksi S.Thypy
O (1/320) Tes widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah
H (1/320) dimatikan) dengan aglutinin O dan H yang merupakan antibodi spesifik
Widal -
PA (negative) terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia. Titer O 1/320
PB (1/80) menyokong kuat diagnosis demam tifoid
2
2.5 ANALISIS SOAP
Tabel analisis SOAP
Problem Medis : Demam Tifoid
Subyektif :
Lemah, pucat, makan dan minum sedikit, lidah pasien kotor dan kaki kanan terasa nyeri
Obyektif :
T 38,7C (H-1) dan T 38,4C (H-2)
IgM S.Thypy 6
Widal O (1/320), H (1/320), PA (negative), PB (1/80)
Assesment Plan Monitoring
Terapi
Monitoring
Nama Dosis yang Indikasi dan Interaksi Penyelesaian
Dosis Pustaka Obat
DRP Efektivitas dan
Obat digunakan pasien Mekanisme Obat DRP
ESO
Metronida Dosis lazim Metronidazol
Indikasi : Penggunaan Perlu ESO:
zol adalah 500 mg Antiprotozoa metronidazol ditambahkan mual, diare,
iv 3x500 mg
tiga kali sehari per nitroimidazol secara tunggal antibiotik yang stomatitis, dan
oral atau intravena yang juga memiliki pada luka gangren memiliki neuropati perifer
(30 mg/kg/hari) aktivitas antibakteri kurang efektif spektrum pada pada pemakaian
(Katzung, dkk., poten terhadap karena bakteri aerob agar jangka-panjang.
2012) anaerob (Katzung, metronidazol infeksi dapat
dkk., 2012) merupakan diatasi
antibiotik yang
Mekanisme : hanya selektif
Metronidazol terhadap bakteri
secara selektif anaerob,
diserap oleh bakteri sedangkan infeksi
aerob dan protozoa pada luka gangren
sensitif. terjadi akibat
Jika telah diserap polimikrobial yaitu
3
oleh anaerob, obat bakteri anaerob
ini secara dan bakteri aerob
nonenzimatis
tereduksi dengan
bereaksi terhadap
feredoksin
tereduksi (Katzung,
dkk., 2012)
Monitoring
Dosis yang Indikasi dan Interaksi Penyelesaian
Nama Obat Dosis Pustaka DRP Efektivitas
digunakan pasien Mekanisme Obat Obat DRP
dan ESO
4
NaCl Dosis yang 1000cc/24 jam (iv) Indikasi : - - - Monitoring
dianjurkan 500 ml- Natrium klorida
diindikasikan untuk efektivitas:
3 liter/jam
kehilangan natrium · Nilai TD,
yang dapat timbul HR, RR,
dari keadaan seperti Suhu dan
gastroenteritis, tanda vital
ketoadosis diabetik, lainnya
ileus dan asites.
Batasi asupan pada · Tetes per
gangguan fungsi menit cairan
ginjal, gagal infus
jantung, hipertensi,
udem perifer dan
paru-paru (Pionas,
2022).
5
2.7 DRP, PLAN DAN MONITORING
6
2.8 ASUHAN KEFARMASIAN
7
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Bilous Rudi dan Richard Donelly. (2014). Buku Pegangan Diabetes. Edisi ke 4. Jakarta: Bumi
Medika.
Brunner & Suddarth. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 12 volume 1.
Jakarta : EGC.
Decroli, Eva. (2019). Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas
Penyakit Dalam.
DiPiro, Joseph T., et al. 2020. Pharmacotheraphy: A Pathophysiologic Approach Eleventh
edition. USA: McGraw Hill.
Homenta, H. 2012. Diabetes mellitus tipe i dan penerapan terapi insulin flexibel pada anak dan
remaja. diajukan pada forum komunikasi ilmiah (fki) lab./smf ilmu kesehatan anak fk
unair/rsud dr. soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. 1–17.
Katzung, Bertram G. (2012). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
Kennedy, M. S. N. (2012). „Pancreatic Hormones & Antidiabetic Drugs‟, in Katzung, B.G.,
Masters, S.B., and Trevor, A.J., Basic & Clinical Pharmacology. Edisi ke 12. New
York : The McGraw-Hill Companies. Section VII, Chapter 41.
PERKENI. (2021). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Jakarta: PERKENI.
PERKENI. (2019). Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PB PERKENI
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Rian, Saputro. 2014. Studi Penggunaan Metronidazol pada Pasien DM Gangren (Penelitian di
Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo). Malang: Universitas Muhamadiyah Malang