Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya (Purnamasari D, 2014). Manifestasi utama mencakup

gangguan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein yang pada gilirannya

merangsang kondisi hiperglikemia (Manaf A, 2009).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi global DM

akan meningkat dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.

Berdasarkan data organisasi kesehatan international diabetes federation (IDF)

tahun 2013 Indonesia menempati urutan ke-7 terbesar dalam jumlah penderita

DM di dunia dengan jumlah penderita DM mencapai 8,5 juta orang dan sebanyak

4,8 juta orang meninggal akibat penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar

Amerika dikeluarkan untuk pengobatannya (Kemenkes, 2013).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan, Republik Indonesia pada tahun 2007, diketahui

bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun

di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 (14,7%) dan di daerah pedesaan

menduduki ranking ke-6 (5,8%) (Kemenkes, 2013).

5
6

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Pada tahun 1980-1985 WHO mengklasiikasikan diabates mielitus dalam

dua jenis yaitu insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan non insulin

dependent diabetes mellitus (NIDDM). Klasifikasi terbaru DM adalah dm tipe 1,

2, gestasional dan tipe spesifik lain (American Diabetes Association, 2016).

1. Diabetes melitus tipe 1 (diabetes juvenile), ditandai dengan

kerusakan selektif sel beta (sel B) dan defisinsi insulin yang parah

atau absolut yang disebabkan auto imun atau idiopatik. Biasanya

ditandai dengan kehadiran anti-asam glutamat dekarboksilase, sel islet

atau insulin antibodi yang mengidentifikasi proses autoimun yang

menyebabkan kerusakan sel beta.

2. Diabetes melitus tipe 2, bentuk yang lebih sering dijumpai, meliputi

sekitar 90% pasien yang menyandang diabetes. Insensitivitas jaringan

terhadap insulin (resistensi insulin) dan tidak adekuatnya respon sel β

pankreas terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan produksi

glukosa hati berlebihan dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh

jaringan.

3. Diabetes melitus tipe lain, disebabkan berbagai kausa spesifik lain

peningkatan kadar glukosa darah: kelainan genetik pada sel beta

pankreas, kelainan genetik pada aksi insulin, penyakit dari eksokin

pankreas, endokrinopati, karena induksi obat dan zat kimia, infeksi,

reaksi autoimun, sindrom yang disertai dengan DM.

4. Gestasional diabetes mellitus (GDM), terjadi pada wanita yang tidak

menderita DM sebelum kehamilannya. Hiperglikemia selama


7

kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Semua wanita

hamil harus menjalani skrining pada usia kehamilan 24 hingga 27

minggu untuk mendeteksi kemungkinan DM. Penatalaksanaan

pendahuluan mencakup modifikasi diet dan pemantauan kadar

glukosa darah. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada

wanita yang menderita DM gestational akan kembali normal. Banyak

wanita yang mengalami DM gestational ternyata dikemudian hari

menderita DM tipe 2 (Baynest H.W, 2015).

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 disebut juga diabetes yang diperantarai imun

dimana hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor imunologi

dimana pada akhirnya mengarah pada kerusakan sel β pankreas serta

defisiensi insulin. Massa sel β selanjutnya menurun dan sekresi insulin

menjadi semakin terganggu, meskipun toleransi glukosa normal

dipertahankan (Baynest H.W, 2015).

Diabetes melitus tipe 1 umumnya terjadi pada masa kanak-kanak dan

remaja, tetapi bisa terjadi pada usia berapapun, bahkan dalam dekade 8

dan 9 kehidupan. Kehancuran autoimun sel β memiliki beberapa

kecenderungan genetik dan juga terkait dengan faktor lingkungan yang

masih buruk. Walaupun pasien jarang obesitas ketika mereka hadir dengan

diabetes tipe ini, kehadiran obesitas tidak bertentangan dengan diagnosis.

Pasien-pasien ini juga rentan terhadap gangguan autoimun lainnya seperti

penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, vitiligo, celiac


8

sprue, hepatitis autoimun, myasthenia gravis, dan anemia pernisiosa

(Silbernagl S  Lang F, 2012).

(Silbernagl S  Lang F, 2012)


Gambar 2.1
Patofisiologi DM Tipe 1

Diabetes melitus yang tipe ini hanya 5-10% dari penderita DM.

Tanda dari penghancuran imun sel β termasuk autoantibodi sel islet,

autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi untuk GAD (GAD65), dan

autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2b. Diabetes melitus

tipe 1 ini, tingkat kehancuran sel β cukup bervariasi, menjadi cepat pada

beberapa individu (terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada orang

lain (terutama dewasa). Pada pasien, terutama anak-anak dan remaja, dapat

disertai ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit. Pada orang

dewasa, dapat mempertahankan fungsi sel β sisa yang cukup untuk

mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, namun pada akhirnya

menjadi tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk

ketoasidosis. Tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada

sekresi insulin sebagai manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C-

peptida di dalam plasma.


9

Beberapa bentuk DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang dikenal,

disebut dengan idiopatik diabetes. Beberapa pasien dengan diabetes ini

memiliki insulinopenia dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak

memiliki bukti autoimun (Silbernagl S  Lang F, 2012).

2. Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 atau bisa disebut juga dengan non insulin

dependent diabetes mellitus (NIDDM). Non insulin dependent diabetes

mellitus merupakan diabetes yang paling sering terjadi dan terdapat

defisiensi insulin relatif. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan

biasanya meningkat, tetapi organ target memiliki sensitivitas yang

berkurang terhadap insulin (Silbernagl S  Lang F, 2014).

Pasien NIDDM biasanya memiliki berat badan berlebih yang terjadi

karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak dan

aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan tersebut

meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah yang selanjutnya

akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Hal

tersebut dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin yang memaksa

beta pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin. Obesitas merupakan

pemicu yang penting namun bukan satu-satunya penyebab NIDDM,

karena faktor disposisi genetik meupakan faktor yang lebih penting.

Seringnya pelepasan insulin yang tidak pernah normal, maka beberapa gen

telah diidentifikasi sebagai gen yang meningkatkan terjadinya obesitas dan

NIDDM. Diantara beberapa faktor tersebut, kelainan genetik pada protein

yang memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi penggunaan


10

substrat. Oleh karena itu, jika faktor disposisi genetiknya kuat maka resiko

mengalami NIDDM dapat terjadi pada usia muda (Silbernagl S  Lang F,

2012).

Adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin mempengaruhi efek

insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada

metabolisme lemak dan protein tetap dipertahankan dengan baik. Dapat

disimpulkan NIDDM lebih cenderung menyebabkan hiperglikemia berat

tanpa disertai metabolisme lemak. Defisiensi insulin relatif juga dapat

disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor insulin atau transmisi

intrasel. Tanpa adanya disposisi genetik, diabetes dapat terjadi pada

perjalanan penyakit lain, seperti pankreatitis dengan kerusakan sel beta

atau kerusakan toksik pada sel beta. Diabetes melitus ditingkatkan oleh

peningkatan pelepasan hormon antagonis, diantaranya somatotropin,

glukokortikoid, epinefrin, progestogen dan choriomamotropin,

Adrenocorticotropic Hormon (ACTH), hormone thyroid dan glukagon.

Infeksi yang cukup berat dapat meningkatkan pelepasan beberapa hormon

yang telah disebutkan diatas sehingga meningkatkan manifestasi DM.

Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yag

disekresikan dapat menghabat pelepasan insulin (Silbernagl S  Lang F,

2012).
11

(Silbernagl S  Lang F, 2012)

Gambar 2.2
Patofisiologi DM Tipe 2

2.1.5 Diagnosis Diabetes Melitus

Penilaian diagnostik DM dilaksanakan pada pasien yang menunjukkan

gejala dan tanda penyakit DM, selain itu dilakukan pemeriksaan penyaring yang

bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai

risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil

pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti

dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).

Kriteria diagnosis DM menurut Ameican Diabetes Assoiation (ADA)

tahun 2016 adalah:

− HbA1c ≥ 6,5 % atau

− Kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) atau

− Kadar gula darah ≥ 200mg/dL (11,1 mmol/L) pada dua jam setelah

beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa atau


12

− Kadar gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

Diagnosis DM menurut konsensus pengendalian dan pencegahan DM tipe

2 di Indonesia tahun 2011 dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu :

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1

mmol/L) atau

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0

mmol/L) atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO dengan beban 75 gram ≥ 200

mg/dL (11,1 mmol/L) (Ndraha, 2014).

Tabel 2.1 Karakteristik DM Tipe 1 dan DM Tipe 2


DM Tipe 1 DM Tipe 2
Usia Anak-anak Remaja, dewasa
Onset Akut, severe Mild-severe
Sekresi insulin Sangat rendah Berubah-ubah
Insulin tergantung Permanen Sementara
Faktor resiko ras/etnik Semua ras (rendah di Asia) Afrika, Amerika, Asia
Pasifik

Genetik Poligenik Poligenik


Hubungan dengan Tidak Kuat
obesitas

Achantosis nigricans Tidak Ya


Autoimun Ya Tidak
(Loghamani E, 2005)
13

(Ndraha S, 2014)
Gambar 2.3
Alur Diagnostik pada Diabetes Melitus secara Klinis dan Laboratorium

2.1.6 Tatalaksana Diabetes Melitus

Dalam mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut perlu dilakukan

tatalaksana yang baik. Tatalaksana DM terdiri dari:

1. Edukasi

Edukasi pada pasien DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya

hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Diabetes melitus

tipe 1 terjadi dikarenakan oleh kelainan pada beta pankreas, sehingga

menyebabkan insulin tidak dapat diproduksi. Pemberdayaan

penyandang DM memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan

masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju

perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,

dibutuhkan edukasi (Ndraha S, 2014).


14

2. Terapi gizi medis

Perencanaan Makan Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari

penatalaksanaan DM secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah

keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,

petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). American diabetes

association menyebutkan bahwa perencanaan makan pada pasien DM

meliputi: memenuhi kebutuhan energi pada pasien DM, terpenuhinya

nutrisi yang optimal seperti vitamin dan mineral, mencapai dan

memelihara berat badan yang stabil, menghindari makanan yang

mengandung lemak, karena pada pasien DM jika serum lipid menurun

maka resiko komplikasi penyakit makrovaskuler akan menurun, serta

mencegah level glukosa darah naik, karena dapat mengurangi

komplikasi yang dapat ditimbulkan dari DM (Ndraha S, 2014).

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari - hari dan latihan jasmani secara teratur (3 - 4

kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu

pilar dalam pengelolaan DM. Kegiatan sehari - hari seperti berjalan

kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan.

Latihan jasmani juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki

sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa

darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang

bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan

berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan

status kesegaran jasmani. Pasien yang relatif sehat, intensitas latihan


15

jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat

komplikasi DM dapat dikurangi (Ndraha S, 2014).

4. Intervensi farmakologis

Pengobatan DM secara menyeluruh mencakup diet yang benar, olah

raga yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau suntikan

insulin. Pasien DM tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap

hari. Pasien DM tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat

antidiabetes secara oral atau tablet. Pasien DM memerlukan suntikan

insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin

dan tablet (Ndraha S, 2014).

5. Monitoring keton dan gula darah

Monitoring keton dan gula darah adalah pilar kelima yang dianjurkan

kepada pasien DM. Monitor level gula darah sendiri dapat mencegah

dan mendeteksi kemungkinan terjadinya hipoglikemia dan

hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat pilar diatas untuk

menurunkan resiko komplikasi dari DM (Smeltzer  Bare 2008).

2.2 Malondialdehid (MDA)

Malondialdehid (MDA) merupakan dialdehid tiga karbon reaktif yang

dapat diperoleh dari hidroksilasi pentosa, deoksiribosa, heksosa, beberapa asam

amino dan DNA. Senyawa ini dapat berinteraksi dengan thiol protein, gugus asam

amino, crosslink lipid dan protein, dan agregasi protein. Selain itu, dapat

dihasilkan alkenal seperti 4-hidroksialkenal dan senyawa alkanal (Retno, 2012).


16

(Winarsih, 2007)
Gambar 2.4
Proses pembentukan malondialdehid

MDA adalah suatu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui

derajat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid.

Peroksidasi lipid hasil dari radikal bebas ini akan selalu membentuk reaksi

berantai yang terus berlanjut sampai radikal bebas ini dihilangkan oleh radikal

bebas lain dan oleh sistem antioksidan primer dari tubuh. Antioksidan

bereaksi dengan antioksidan sehingga mengurangi kapasitas untuk

menimbulkan kerusakan (Retno, 2012).

Mekanisme kerusakan sel atau jaringan akibat serangan radikal bebas

yang paling awal diketahui dan terbanyak diteliti adalah peroksidasi lipid.

Peroksidasi lipid paling banyak terjadi di membran sel, terutama asam lemak

tidak jenuh yang merupakan komponen penting penyusun membran sel.

Pengukuran tingkat peroksidasi lipid diukur dengan mengukur produk

akhirnya, yaitu malondialdehyde (MDA), yang merupakan produk oksidasi

asam lemak tidakjenuh dan yang bersifat toksik terhadap sel. Pengukuran

kadar MDA merupakan pengukuran aktivitas radikal bebas secara tidak

langsung sebagai indikator stressoksidatif. Pengukuran ini dilakukan dengan

tes Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS test) (Powers and

Jackson, 2008).
17

2.3 Kamboja (Plumeria alba sp.)

2.3.1 Taksonomi Kamboja (Plumeria alba sp.)

Taksonomi bunga kamboja (Plumeria alba sp.):

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Gentianales

Famili : Apocynaceae

Genus : Plumeria

Spesies : Plumeria alba

(Choudhary M, Kumar V  Singh S, 2014).

(Brown SH, 2012)


Gambar 2.5
Bunga kamboja (Plumeria alba sp.)
18

2.3.2 Deskripsi Kamboja (Plumeria alba sp.)

Tanaman kamboja putih atau dikenal dengan frangipani (Plumeria alba

sp.) merupakan jenis tumbuhan berbunga yang berasal dari Amerika Tengah dan

Afrika. Kamboja merupakan jenis tanaman tropis yang tumbuh subur di dataran

rendah sampai ketinggian tanah 700 m (meter) di atas permukaan laut.

Kamboja memiliki tinggi rata-rata 4,5 m, daun kamboja berbentuk lanset

dengan ujung dan pangkal daun meruncing, berwarna hijau dan tebal, serta

tulang daunnya menonjol. Panjang daun berukuran 15-20 cm. Lebar daunnya

berkisar 6-12,5 cm. Bunga kamboja memiliki ukuran diameter 8-12 cm. Mahkota

bunga umumnya berjumlah lima helai dan memiliki wangi yang khas. Mahkota

bunga mempunyai corong dengan lingkar yang sempit dan sisi bagian dalamnya

berambut halus. Selain itu, ada mahkota yang berbentuk oval hingga bintang

warna mahkota sangat beragam mulai dari putih, merah, pink, hingga kuning.

Tangkai putik tanaman berukuran pendek dengan dasar bunga yang menonjol

sehingga menutupi tabung kelopak (Choudhary M, Kumar V  Singh S, 2014).

2.3.3 Kandungan Kamboja (Plumeria alba sp.)

Penelitian fitokimia yang dilakukan Nor MM, Susanti D  Omar MN,

2012 yang membandingkan kandungan senyawa aktif alkaloid, glycoside,

terpenoid, steroid, Phytosteol, phenolic, flavonoid, saponin, tanin pada masing-

masing bagian kamboja (Plumeria alba sp.) dalam pelarut etanol (tabel 2.2).
19

Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan Tiap Bagian Kamboja (Plumeria alba sp.)
Kandungan Bagian kamboja (Plumeria alba sp.)
fitokimia Bunga Daun Batang dan
Akar
Alkaloid +
+ -
Glycoside - - -
Trepenoids - - -
Steroid - + -
Phytosteol + + +
Phenolic + + +
Flavonoid + + +
Saponin + + +
Tanin + + +
Sumber : (Nor MM, Susanti D  Omar MN., 2012)

Berikut ini adalah hasil penilainan kandungan pada bunga kamboja

(Plumeia alba sp.) dapat dilihat pada, 2.3 dan 2.4 untuk jenis senyawa flavonoid.

Antioxidant Plumeria alba Standard


Model Flower Leaves Ascorbic
Aquoeus Ethanol Aquoeus Ethanol Acid
extract extract extract extract
Total 28.4 84.8 25.6 74.4 92
antioxidant
capacity (%)
Tabel 2.3 Kandungan Kamboja (Plumeria alba sp.) bunga dan daun
Sumber : (Nisha S  Prasanna G., 2014)

Tabel 2.4 Jenis Flavonoid Bunga Kamboja (Plumeria alba sp.)


Flavonid mg/100g
Catechin 102.87
Epicatechin 89.12
Rutin 22.51
Hisperedin 11.27
Narenigin 17.38
Quercetin 26.91
Hesperetin 21.18
Apigenin 8.17
Kaempferol 4.29
Diosmitin 2.51
(Dawod H.D, Hassan R.A  Fattah SMA, 2016)
20

2.3.4 Pengaruh Ekstrak Kamboja (Plumeria alba sp.) Terhadap Malondialdehide

Bunga kamboja (Plumeria alba sp.) merupakan tanaman yang memiliki

kandungan antioksidan dan mampu membantu proses regenerasi sel beta

pankreas. Kandungan fitokimia bunga kamboja (Plumeria alba sp.) yang

diekstrak menggunakan etanol menunjukkan adanya senyawa aktif alkaloid,

phytosteol, phenolic, flavonoid, saponin, tanin (Nor MM, Susanti D  Omar MN,

2012).

Kemampuan catechin, alkaloid, saponin, tanin sebagai antioksidan

sehingga mampu menghambat terjadinya kerusakan sel beta pankreas akibat

reaksi oksidasi. Mekanisme ini melalui dua jalur. Jalur pertama sebagai peredam

radikal bebas secara langsung dengan menyumbangkan atom hidrogennya dan

memutus rantai reaksi. Jalur kedua melalui chelating ion logam yang mengkatalis

reaksi oksidasi sebagai donor hidrogen (Hirunpanich V, Utaipat A  Phumala N

et.al.,2010;.Ghudhaib,2014).

(Yuhernita, 2011)
Gambar 2.6
(A) Struktur Flavonoid (B) Peredaman Dasar Radikal oleh Flavonoid

(Yuhernita, 2011)
Gambar 2.7
Pembentukan Kompleks Ion Logam oleh Flavonoid
21

(Yuhernita, 2011)
Gambar 2.8
Peredaman Radikal Bebas oleh Alkaloid

2.4 Aloksan

2.4.1. Definisi Aloksan

Aloksan merupakan analog dari glukosa yang dapat terakumulasi di sel β

pankreas melalui glucose transporter 2 (GLUT2) yang dapat menyebabkan

diabetes. Nama lain dari aloksan adalah 2,4,5,6-Tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-

pyrimidinetetrone. Aloksan memiliki rumus kimia C4H2N2O4 dan merupakan

turunan asam barbiturat. Aloksan termasuk asam lemah yang bersifat hidrofilik,

tidak stabil dan waktu paruh aloksan pada pH 7,4 dan suhu 37˚C adalah 1,5 menit.

(Lenzen, 2008)
Gambar 2.9
Struktur Kimia Aloksan

2.4.2. Fase Induksi Aloksan pada Tikus Putih

Aloksan memiliki bentuk molekul yang mirip dengan glukosa

(glukomimetik). Sehingga ketika aloksan diinduksikan ke tubuh tikus, maka

GLUT 2 pada sel β pankreas akan mengenali aloksan sebagai glukosa dan aloksan

akan dibawa menuju sitosol (Lenzen, 2008).


22

Aloksan yang berada di dalam sel beta pankreas akan mengalami proses

reduksi menjadi dialuric acid yang dapat direoksidasi menjadi aloksan kembali

(proses redoks). Proses tersebut akan mengakibatkan terbentuknya ROS (Reactive

Oxygen Species) dan radikal superoksida. Aktivitas radikal bebas yang mendapat

rangsangan akan memicu peningkatan konsentrasi kalsium sitosol kemudian

menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Senyawa aloksan terbukti memiliki

sifat sitotoksik spesifik pada sel beta pankreas serta membangkitkan gugus radikal

akibat peningkatan radikal bebas di dalam tubuh.

Proses mekanisme aloksan dalam menyebabkan diabetes akan melalui

empat fase. Fase pertama terjadi pada menit pertama dan berlangsung maksimal

sampai menit ke-30 setelah injeksi, pada fase ini terjadi hipoglikemia akut karena

struktur aloksan yang mirip dengan glukosa menyebabkan terjadinya peningkatan

Adenosina Triosfat (ATP) yang menghambat proses glukokinase dan

menyebabkan peningkatan insulin darah. Pada fase ini belum terdapat adanya

kerusakan dari sel beta pankreas. Fase kedua yaitu terjadi setelah satu jam pasca

injeksi aloksan dan berlangsung selama 2-4 jam, pada fase terjadi penurunan

sekresi insulin dan peningkatan kadar glukosa darah. Fase ketiga, terjadi 4-8 jam

setelah injeksi aloksan. Pada fase ini sel beta pankreas mengalami kerusakan sel

yaitu rupturnya membran sel, badan golgi, retikulum endoplasma dan kerusakan

mitokondria sehingga sel mengalami nekrosis dan kerusakan ini bersifat

iireversibel. Fase keempat, terjadi 24-48 jam setelah injeksi aloksan. Pada fase ini

terjadi degranulasi yang komplit dan tikus mengalami hiperglikemi (Ankur R 

Ali S, 2012).
23

2.4.3. Mekanisme Kerja Aloksan pada Malondialdehid

Aloksan menyebabkan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) yang

berasal dari O2, oksigen yang bermanfaat untuk pembentukan Adenosin Tri

Phospat (ATP) juga bersifat toksik menyebabkan kematian sel. Senyawa lain yang

dihasilkan ROS antara lain: superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (OH-) dan

hidrogen peroksida (H2O2) (Kumalasari 2005).

Reactive Oxygen Species (ROS) berbahaya bagi organ adalah radikalbebas

hidroksil (OH-) karena yang paling reaktif menyerang molekul biologis.

Pembentukan senyawa oksigen reaktif meningkatkan modifikasi lipid, DNA, dan

protein berbagai jaringan. Modifikasi molekuler ini mengakibatkan

ketidakseimbangan diantara antioksidan protektif (pertahanan antioksidan) dengan

peningkatan produksi radikal bebas. Hal ini merupakan awal stres oksidatif.

Dampak negatifnya pada membran sel, berupa reaksi rantai yang disebut

peroksidasi lipid. Akhir dari rantai reaksi ini adalah terputusnya rantai asam lemak

menjadi berbagai senyawa yang toksik terhadap sel, antara lain Malondialdehyde

(MDA), etana, dan pentana (Purnomo, 2000).

2.5 Tikus Coba

Menurut Adiyati PN (2011), hewan coba merupakan hewan yang

dikembang biakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering

digunakan pada berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini

dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang

biak, murah serta mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang

melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal).


24

(Adiyati PN, 2011)


Gambar 2.11
Tikus Putih (Rattus norvegicus strain wistar)

Tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) atau biasa dikenal dengan

nama lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian

barat (Sirois M, 2005). Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di

Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, dan Singapura (Adiyati PN, 2011). Tikus

Wistar saat ini menjadi salah satu yang strain tikus paling populer yang digunakan

untuk penelitian laboratorium. Hal ini ditandai oleh kepala lebar, telinga panjang,

dan memiliki panjang ekor yang selalu kurang dari panjang tubuhnya. Galur tikus

Sprague dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galur Wistar. Tikus

Wistar lebih aktif (agresif) daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley (Sirois

M, 2005).

2.5.1. Proses Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan suatu upaya penyusunan fisiologis atau adaptasi

dari suatu organsme terhadap lingkungan baru yang dimasukinya. Hal ini

didasarkan oleh kemampuan organisme untuk mengatur morfologi, perilaku, dan

jalur metabolisme biokimia di dalam tubuhnya untuk menyesuaikan dengan

lingkungan. Beberapa kondisi yang pada umumnya disesuaikan adalah suhu,

lingkungan, derajat keasaman, dan kadar oksigen. Proses penyesuaian ini

berlangsung dalam waktu yang cukup bervariasi tergantung dari jauhnya


25

perbedaan kondisi antara lingkunganbaru yang akan dihadapi, dapat berlangsung

beberapa hari sampai beberapa minggu (Ridwan E, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad N.O, Akolade J.O  Usman

L.A et al, (2012) pada tikus rattus novergicus strain wistar sebelum diinduksi

aloksan membutuhkan waktu aklimatisasi selama 1 minggu. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Zoua K, Batomayena B  Kossi M et al., (2014) yang berjudul

“Effects of Plumeria alba Roots Hydro Alcoholic Extract on some Parameters of

Type 2 Diabetes” melakukan aklimatisasi terhadap tikus rattus novergicus strain

wistar selama satu minggu sebelum diinduksi alloksan.

2.5.2. MDA Darah Tikus Putih (Rattus novergicus strain wistar)

Pengambilan darah tikus putih (Rattus novergicus strain wistar) dilakukan

setelah melakukan 16 jam puasa untuk melihat gula darah basal. Selain itu, gula

darah yang didapatkan lebih stabil dan juga bisa mengurangi bias oleh karena

faktor perancu seperti glukosa yang didapatkan dari makanan, bisa mengetahui

apakah fungsi beta pankreas untuk menghasilkan insulin masih baik atau tidak

(Kale V.P, Joshi G.S  Gohil P.B, 2009; Bowe JE, Franklin ZJ  Evans ACH, et

al., 2014). Nilai normal gula darah puasa 16 jam pada tikus putih (rattus

novergicus strain wistar) adalah (133.69 +/- 16.75) mg/dL (Kale V.P, Joshi G.S 

Gohil P.B, 2009).

Patofisiologi IDDM antara manusia dan tikus putih (Rattus norvegicus

strain wistar) memiliki kesamaan, di mana gen yang berkontribusi terhadap

penyakit ini sudah diyatakan hingga tingkat sel puncak haemopoietik, sehingga

tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) dapat digunakan dalam mempelajari

IDDM. Model tikus yang dibuat menjadi NIDDM paling banyak digunakan.
26

Berbagai kesamaan dengan kondisi diabetes pada manusia, seperti fakta bahwa

fenotip pada tikus juga tergantung pada latar belakang genetik, jenis kelamin dan

umur hewan. Tikus model NIDDM juga memberi kita kesempatan untuk

mempelajari mekanisme molekuler yang mengarah pada diabetes hingga tahapan

penyakit dari onset, perkembangannya dan komplikasinya (Chatzigeorgiou A,

Halapas A  Kalafatakis K et al., 2011). Tikus putih (Rattus norvegicus strain

wistar) dikatakan hiperglikemi jika kadar gula darah melebihi 175 mg/dl (Kumar

 Padhy, 2011).

Anda mungkin juga menyukai