Anda di halaman 1dari 28

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

TATALAKSANA PENYAKIT DIABETES MELLITUS


TEORI DAN KAJIAN KASUS

KELOMPOK 1 (B1-A)
A.A Istri Alit Putri Indradewi (162200001)
A. A. Sagung Dewi Pradnya Pramita (162200002)
I Gst Ayu Agung Kristina Dewi (162200003)
I Gst Putu Agus Anom (162200004)
I Made Yoghi Sudipa (162200005)
I Nyoman kerta Negara (162200006)
I Putu Mariawan (162200007)

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2018
DIABETES MELLITUS

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi diabetes mellitus.
2. Mengetahui patofisiologi diabetes mellitus.
3. Mengetahui tatalaksana diabetes mellitus (Farmakologi & Non-
Farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait diabetes mellitus secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
B. DASAR TEORI
1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang
secaragenetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnyatoleransi karbohidrat. Diabetes mellitus ditandai dengan
hiperglikemia puasa,aterosklerotik, mikroangiopati dan neuropati
(Price, 2012)Menurut Sherwood (2012), diabetes secara harfiah
artinya“mengalirkan”, yang menunjukkan pengeluaran urin dalam
jumlah besar.Mellitus artinya “manis”. Urin pasien DM terasa manis
kerena banyaknyaglukosa dalam urin.Diabetes melitus adalah
penyakit kronis yang bersifat progresif,dikarakteristikan oleh
ketidakmampuan tubuh untuk memetabolismekarbohidrat, lemak,
dan protein, yang mengarah kepada hiperglikemia (kadargula darah
yang tinggi) (Black, 2009)Menurut American Diabetes Association
(ADA) tahun 2010, Diabetesmelitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
World Health Organization (WHO)merumuskan bahwa DM merupakan
suatu kumpulan masalah anatomi dankimiawi dari sejumlah faktor
dimana didapati defisiensi insulin absolut ataurelatif dan gangguan
fungsi insulin.
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans
kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan
sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya (WHO, 2006).
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes
melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan
tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan
metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus
selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam plasma darah (john,
2006).
2. Klasifikasi Diabetes
DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar
glukosa darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM
tipe 2, DM dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (WHO, 2006)
a. Diabetes mellitus tipe I (karena destruksi sel beta akibat autoimun,
biasanya menyebabkan defisiensi insulin absolut)
Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes
mellitus tipe 1 terjadi karena kerusakan sel-sel beta pankreas untuk
memproduksi insulin. Hal ini terjadi karena adanya reaksi autoimun.
Menurut World Health Organization (WHO) Diabetes Mellitus Tipe
1 merupakan diabetes yang terjadi karena berkurangnya insulin
dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta pada pulau
langerhans. Hilangnya sel beta dikarenakan reaksi autoimun yang
salah sehingga menghancurkan sel beta di pankreas. Salah satu
gejala DM tipe 1 ini adalah buang air kecil yang terlalu sering.
Diabetes ini sering terjadi pada anak – anak.
DM tipe 1 dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi
autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang
menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa
dalam tubuh. Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai 80-90%
maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi
pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe
1 sebagian besar oleh karena proses autoimun dan sebagian kecil
non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga
disebut sebagai tipe 1 idiopathic, pada penderita ini ditemukan
insulinopenia tanpa adanya petanda imun dan mudah sekali
mengalami ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian besar (75% kasus)
terjadi sebelum usia 30 tahun dan DM tipe ini diperkirakan terjadi
sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada (Widjayanti, 2008).
b. Diabetes mellitus tipe II (kaena kehilangan sekresi insulin secara
progresif oleh sel beta, sering diakibatkan oleh resistensi insulin)
Diabetes melitus tipe 2 adalah hasil dari kerusakan
pengeluaraninsulin secara pogresif yang disertai dengan
resistensi insulin,biasanya berkaitan dengan obesitas (Black,
2009).DM tipe 2 merupakan diabetes dimana jumlah insulin
dalamtubuh memadai namun kurangnya jumlah reseptor
insulin dipermukaan sel menyebabkan insulin yang dapat masuk ke
dalam selhanya sedikit dan proses metabolism karbohidrat
terganggu sehinggakadar glukosa dan insulin tinggi. DM tipe II
mempunyai tingkatgenetic tinggi, 80-90% disebabkan keturunan
(ADA, 1997).WHO mendefinisikan DM tipe 2 sebagai tipe diabetes
yangbukan karena berkurangnya rasio insulin dalam darah,
melainkan karena kelainan metabolisme. Terjadi Hiperglisema
yaitubertambahnya atau melebihnya glukosa darah.DM tipe 2
merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenalsebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). BentukDM ini
bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin, defisiensiinsulin
relatif sampai defek sekresi insulin (John, 2006). Pada diabetesini
terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan
perifer(insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas
tidakmampu memproduksi insulin yang cukup untuk
mengkompensasiinsulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan
terjadinya defisiensiinsulin relatif. Kegemukan sering berhubungan
dengan kondisi ini.DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun.
Pada DM tipe 2terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh
reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal
sehingga penderita tidak tergantungpada pemberian insulin
(Widjayanti, 2008). Walaupun demikian padakelompok diabetes
melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler (John, 2006).
c. Gestational Diabetes Mellitus (GDM) (diabetes didiagnosis pada
trisemester kedua atau ketiga pada kehamilan yang tidak jelas,
diabetes sesaat sebelum kehamilan)
Diabetes tipe ini adalah diabetes yang timbul pada
saatkehamilan, yang diakibatkan oleh kombinasi dari kemampuan
reaksidan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup untuk
memenuhikebutuhan ekstra pada kehamilan. Resiko terjadinya
anomalikongenital berkaitan langsung dengan derajat hiperglikemia
pada saatdiagnosis ditegakkan. Pada diabetes melitus jenis ini,
insulin sulitbekerja karena beberapa hormon pada ibu hamil
memiliki efekmetabolik yang bertoleransi dengan glukosa (WHO,
2013).
DM dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus -
GDM) adalah kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin
resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada
umumnya mulaiditemukan pada kehamilan trimester kedua atau
ketiga (John, 2006). Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM,
kegemukan danglikosuria. GDM meningkatkan morbiditas
neonates, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia dan
makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi
insulin lebih besar sehinggamerangsang pertumbuhan bayi dan
makrosomia. Kasus GDM kira-kira 3-5% dari ibu hamil dan para
ibu tersebut meningkat risikonyauntuk menjadi DM di kehamilan
berikutnya (Widjayanti, 2008).
d. Diabetes Mellirtus Tipe lain
Diabetes melitus jenis ini, mungkin terjadi sebagai hasil dari
kerusakan genetik di fungsi sel beta, penyakit kelenjar
pancreas (misalnya sistik fibrosis), atau penyakit yang diinduksi
penggunaan obat – obatan (Black, 2009).
Pada DM jenis ini individu mengalami hiperglikemia
akibatkelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta),
endokrinopati (penyakit Cushing’s, akromegali), penggunaan obat
yang mengganggufungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang
mengganggu kerjainsulin (b-adrenergik) dan infeksi atau sindroma
genetik (Down’s,Klinefelter’s) (Widjayanti, 2008).
3. Etiologi dan Patofisiologi
Faktor – faktor resiko diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
a) Genetika Seseorang yang memiliki penyakit diabetes miletus
dapat menurunkan penyakit tersebut kepada anak - anaknya.
Anak penderita diabetes tipe 2 memiliki peluang menderita
DM 2 sebanyak 15%-30% risiko ketidakmampuan metabolism
karbohidrat secara normal.
b) Obesitas (berat badan ≥ 20% dari berat ideal) Obesitas yang terjadi
pada seseorang dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah sisi
reseptor insulin yang dapat bekerjadalam sel pada otot
skeletal dan jaringan lemak. Dengan terjadinya obesitas maka
akan merusak sel beta dalam memproduksi dan melepaskan
insulin, sehingga terjadi penumpukan gula darah.
c) Usia Semakin bertambah umur seseorang maka prevalensi DM
semakin meninggi. Biasanya DM dialami oleh orang-orang yang
telah berusia 30 tahun, yang mana telah mengalami perubahan
fisiologis, anatomi, dan biokimia. Salah satu yang mengalami
perubahan adalah sel beta penghasil insulin pada pankreas.
d) Hipertensi.
4. Etiologi dan Patofisiologi
Gambar 1. Etiologi Diabetes Mellitus (ADA, 2017)
a. Diabetes Mellistus Tipe I
Diabetes dimediasi oleh imun. Bentuk diabetes ini, yang
menyumbang hanya 5-10% dari mereka dengan diabetes, yang
sebelumnya dicakup oleh istilah diabetes tergantung insulin, diabetes
tipe 1, atau diabetes onset remaja, hasil dari destruksi autoimun seluler
dari β- sel pankreas. Penanda kerusakan kekebalan sel β termasuk
autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi ke
GAD (GAD65), dan autoantibodi ke tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2β.
Satu dan biasanya lebih dari autoantibodi ini hadir di 85-90% dari
individu ketika hiperglikemia puasa pada awalnya terdeteksi. Juga,
penyakit ini memiliki asosiasi HLA yang kuat, dengan keterkaitan
dengan gen DQA dan DQB, dan itu dipengaruhi oleh gen DRB. Alel
HLA-DR / DQ ini dapat menjadi predisposisi atau pelindung. Dalam
bentuk diabetes, tingkat kerusakan sel β cukup bervariasi, menjadi cepat
pada beberapa individu (terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada
orang lain (terutama orang dewasa). Beberapa pasien, terutama anak-
anak dan remaja, dapat hadir dengan ketoasidosis sebagai manifestasi
pertama dari penyakit ini. Lainnya memiliki hiperglikemia puasa
sederhana yang dapat dengan cepat berubah menjadi hiperglikemia
berat dan / atau ketoasidosis dengan adanya infeksi atau stres lainnya.
Yang lain lagi, terutama orang dewasa, dapat mempertahankan sisa
fungsi sel β yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama bertahun-
tahun; individu seperti itu akhirnya menjadi tergantung pada insulin
untuk bertahan hidup dan beresiko untuk ketoasidosis. Pada tahap
terakhir penyakit ini, ada sedikit atau tidak ada sekresi insulin, seperti
yang dimanifestasikan oleh tingkat rendah atau tidak terdeteksi dari
plasma C-peptida. Diabetes yang dimediasi oleh imun umumnya terjadi
pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi dapat terjadi pada usia berapa
pun, bahkan pada dekade ke 8 dan 9 kehidupan. Kerusakan autoimun
sel-β memiliki banyak predisposisi genetik dan juga terkait dengan
faktor lingkungan yang masih kurang didefinisikan. Meskipun pasien
jarang mengalami obesitas ketika mereka datang dengan diabetes tipe
ini, keberadaan obesitas tidak bertentangan dengan diagnosis. Pasien-
pasien ini juga rentan terhadap gangguan autoimun lain seperti penyakit
Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, vitiligo, celiac sprue,
hepatitis autoimun, myasthenia gravis, dan anemia pernisiosa.
Diabetes idiopatik. Beberapa bentuk diabetes tipe 1 tidak memiliki
etiologi yang diketahui. Beberapa dari pasien ini memiliki insulinopenia
permanen dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti
autoimunitas. Meskipun hanya sebagian kecil pasien dengan diabetes
tipe 1 jatuh ke dalam kategori ini, dari mereka yang melakukan,
sebagian besar adalah keturunan Afrika atau Asia. Individu dengan
bentuk diabetes ini menderita ketoasidosis episodik dan menunjukkan
berbagai tingkat kekurangan insulin di antara episode. Bentuk diabetes
ini sangat diwariskan, tidak memiliki bukti imunologi untuk
autoimunitas β-sel, dan tidak terkait dengan HLA. Persyaratan mutlak
untuk terapi penggantian insulin pada pasien yang terkena bisa datang
dan pergi. (ADA, 2017)
b. Diabetes Mellitus Tipe II
Ini bentuk diabetes, yang menyumbang ∼90-95% dari mereka
dengan diabetes, sebelumnya disebut sebagai diabetes tergantung non-
insulin, diabetes tipe 2, atau diabetes onset dewasa, meliputi individu
yang memiliki resistensi insulin dan biasanya memiliki relatif ( daripada
absolut) kekurangan insulin Setidaknya pada awalnya, dan seringkali
sepanjang hidup mereka, individu-individu ini tidak memerlukan
perawatan insulin untuk bertahan hidup. Mungkin ada banyak penyebab
berbeda dari bentuk diabetes ini. Meskipun etiologi spesifik tidak
diketahui, destruksi β-sel autoimun tidak terjadi, dan pasien tidak
memiliki salah satu penyebab lain diabetes yang tercantum di atas atau
di bawah.
Sebagian besar pasien dengan diabetes jenis ini mengalami obesitas,
dan obesitas itu sendiri menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin.
Pasien yang tidak obesitas dengan kriteria berat badan tradisional
mungkin memiliki persentase peningkatan lemak tubuh yang
terdistribusi secara luas di daerah perut. Ketoasidosis jarang terjadi
secara spontan pada diabetes tipe ini; bila dilihat, biasanya timbul dalam
kaitannya dengan stres penyakit lain seperti infeksi. Bentuk diabetes ini
sering tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun karena hiperglikemia
berkembang secara bertahap dan pada tahap awal sering tidak cukup
parah bagi pasien untuk melihat salah satu gejala klasik diabetes. Namun
demikian, pasien tersebut memiliki peningkatan risiko mengembangkan
komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Sedangkan pasien
dengan bentuk diabetes ini mungkin memiliki tingkat insulin yang
tampak normal atau meningkat, kadar glukosa darah yang lebih tinggi
pada pasien diabetes ini diharapkan akan menghasilkan nilai insulin
yang lebih tinggi jika fungsi sel beta mereka sudah normal. Dengan
demikian, sekresi insulin rusak pada pasien-pasien ini dan tidak cukup
untuk mengimbangi resistensi insulin. Resistensi insulin dapat
meningkat dengan penurunan berat badan dan / atau terapi farmakologi
hiperglikemia tetapi jarang dikembalikan ke normal. Risiko
mengembangkan bentuk diabetes ini meningkat seiring bertambahnya
usia, kegemukan, dan kurangnya aktivitas fisik. Ini terjadi lebih sering
pada wanita dengan GDM sebelumnya dan pada individu dengan
hipertensi atau dislipidemia, dan frekuensinya bervariasi dalam
subkelompok ras / etnis yang berbeda. Ini sering dikaitkan dengan
predisposisi genetik yang kuat, lebih dari itu adalah bentuk autoimun
diabetes tipe 1. Namun, genetika dari bentuk diabetes ini sangat
kompleks dan tidak terdefinisi dengan jelas.
c. Diabetes Mellitus Gestasional
Selama bertahun-tahun, GDM telah didefinisikan sebagai
intoleransi glukosa dengan onset atau pengakuan pertama selama
kehamilan. Meskipun sebagian besar kasus sembuh dengan persalinan,
definisi yang diterapkan apakah kondisi tetap bertahan setelah
kehamilan dan tidak mengecualikan kemungkinan bahwa intoleransi
glukosa yang tidak dikenali mungkin telah mendahului atau dimulai
bersamaan dengan kehamilan. Definisi ini memfasilitasi strategi yang
seragam untuk deteksi dan klasifikasi GDM, tetapi keterbatasannya
diakui selama bertahun-tahun. Karena epidemi obesitas dan diabetes
yang terus berlanjut telah menyebabkan lebih banyak diabetes tipe 2
pada wanita usia subur, jumlah wanita hamil dengan diabetes tipe 2 yang
tidak terdiagnosis telah meningkat.
Setelah diskusi di tahun 2008–2009, Asosiasi Internasional
Kelompok Studi Diabetes dan Kehamilan (IADPSG), sebuah kelompok
konsensus internasional dengan perwakilan dari berbagai organisasi
obstetri dan diabetes, termasuk American Diabetes Association (ADA),
merekomendasikan bahwa perempuan berisiko tinggi yang ditemukan
memiliki diabetes pada kunjungan prenatal awal mereka, menggunakan
kriteria standar. Menerima diagnosis terang-terangan, bukan kehamilan,
diabetes. Sekitar 7% dari seluruh kehamilan (mulai dari 1 hingga 14%,
tergantung pada populasi yang diteliti dan tes diagnostik yang
digunakan) dipersulit oleh GDM, menghasilkan lebih dari 200.000
kasus setiap tahunnya.
5. Diagnosis
Berdasarkan ADA, 2017 selama beberapa dekade, diagnosis
diabetes telah didasarkan pada kriteria glukosa, baik FPG atau OGTT
75-g. Pada tahun 1997, Komite Ahli pertama pada Diagnosis dan
Klasifikasi Diabetes Mellitus merevisi kriteria diagnostik,
menggunakan hubungan yang diamati antara tingkat FPG dan kehadiran
retinopati sebagai faktor kunci yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi ambang batas kadar glukosa. Komite memeriksa data
dari tiga penelitian epidemiologi cross-sectional yang menilai
retinopathy dengan fotografi fundus atau ophthalmoscopy langsung dan
glycemia yang diukur sebagai FPG, 2-h PG, dan A1C. Studi-studi ini
menunjukkan tingkat glikemik di bawah yang ada sedikit retinopati
umum dan di atas itu prevalensi retinopati meningkat secara linear. Desil
dari tiga ukuran di mana retinopati mulai meningkat adalah sama untuk
setiap ukuran dalam setiap populasi. Selain itu, nilai glikemik di atas
retinopati yang meningkat serupa di antara populasi. Analisis ini
membantu untuk menginformasikan titik potong diagnostik baru ≥126
mg / dl (7,0 mmol / l) untuk FPG dan mengkonfirmasi diagnostik jangka
panjang 2-h nilai PG ≥200 mg / dl (11,1 mmol / l).
A1C adalah penanda glikemia kronis yang banyak digunakan, yang
mencerminkan kadar glukosa darah rata-rata selama periode 2 hingga 3
bulan. Tes memainkan peran penting dalam manajemen pasien dengan
diabetes, karena berkorelasi baik dengan mikrovaskular dan, pada
tingkat yang lebih rendah, komplikasi makrovaskular dan secara luas
digunakan sebagai standar biomarker untuk kecukupan manajemen
glikemik. Komite Ahli sebelumnya belum merekomendasikan
penggunaan A1C untuk diagnosis diabetes, sebagian karena kurangnya
standarisasi pengujian. Namun, tes A1C sekarang sangat terstandarisasi
sehingga hasilnya dapat diterapkan secara seragam baik secara temporal
dan lintas populasi. Dalam laporan terbaru mereka, Komite Pakar
Internasional, setelah penelahaan yang luas terhadap bukti
epidemiologis yang sudah mapan dan muncul, merekomendasikan
penggunaan tes A1C untuk mendiagnosis diabetes, dengan ambang
≥6,5%, dan ADA menegaskan keputusan ini. Titik potong A1C
diagnostik dari 6,5% dikaitkan dengan titik infleksi untuk prevalensi
retinopati, seperti ambang diagnostik untuk FPG dan 2-h PG ( 3 ). Tes
diagnostik harus dilakukan dengan menggunakan metode yang
disertifikasi oleh National Glycohemoglobin Standardization Program
(NGSP) dan standar atau dapat dilacak ke tes referensi Uji Kontrol dan
Komplikasi Diabetes. Tes A1C point-of-care tidak cukup akurat pada
saat ini untuk digunakan untuk tujuan diagnostik.
Ada logika yang melekat untuk menggunakan penanda dysglycemia
yang lebih kronis dibandingkan akut, terutama karena A1C sudah
dikenal secara luas oleh dokter sebagai penanda kontrol glikemik. Selain
itu, A1C memiliki beberapa keuntungan terhadap FPG, termasuk
kenyamanan yang lebih besar, karena puasa tidak diperlukan, bukti
untuk menunjukkan stabilitas preanalytical yang lebih besar, dan
gangguan sehari-hari yang kurang selama periode stres dan penyakit.
Namun, keuntungan ini harus diimbangi dengan biaya yang lebih besar,
terbatasnya pengujian A1C di wilayah-wilayah tertentu di negara
berkembang, dan korelasi yang tidak lengkap antara A1C dan rata-rata
glukosa pada individu tertentu. Selain itu, A1C dapat menyesatkan pada
pasien dengan bentuk-bentuk anemia dan hemoglobinopathies tertentu,
yang mungkin juga memiliki distribusi etnis atau geografis yang unik.
Untuk pasien dengan hemoglobinopati tetapi pergantian sel darah merah
yang normal, seperti sifat sel sabit, tes A1C tanpa gangguan dari
hemoglobin abnormal harus digunakan. Untuk kondisi dengan
pergantian sel darah merah yang abnormal, seperti anemia akibat
hemolisis dan defisiensi zat besi, diagnosis diabetes harus menggunakan
kriteria glukosa secara eksklusif.
Kriteria glukosa yang ditetapkan untuk diagnosis diabetes tetap
valid. Ini termasuk FPG dan 2-h PG. Selain itu, pasien dengan
hiperglikemia berat seperti mereka yang datang dengan gejala
hiperglikemik klasik yang berat atau krisis hiperglikemik dapat terus
didiagnosis ketika glukosa plasma acak (atau kasual) ≥200 mg / dl (11,1
mmol / l) ditemukan. Sangat mungkin bahwa dalam kasus seperti itu
profesional perawatan kesehatan juga akan mengukur tes A1C sebagai
bagian dari penilaian awal tingkat keparahan diabetes dan bahwa akan
(dalam banyak kasus) berada di atas titik potong diagnostik untuk
diabetes. Namun, pada diabetes yang berkembang cepat, seperti
perkembangan diabetes tipe 1 pada beberapa anak, A1C mungkin tidak
meningkat secara signifikan meskipun diabetes terus terang.
Sama seperti ada kurang dari 100% kesesuaian antara FPG dan tes
PG 2-jam, tidak ada konkordansi penuh antara A1C dan tes berbasis
glukosa. Analisis data NHANES menunjukkan bahwa, dengan asumsi
skrining universal yang tidak terdiagnosis, titik potong A1C ≥6.5%
mengidentifikasi sepertiga lebih sedikit kasus diabetes yang tidak
terdiagnosis dibandingkan titik potong glukosa puasa ≥126 mg / dl (7,0
mmol / l) ( cdc situs web tbd). Namun, dalam prakteknya, sebagian besar
penduduk dengan diabetes tipe 2 tetap tidak menyadari kondisi mereka.
Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa sensitivitas A1C yang
lebih rendah pada titik potong yang ditentukan akan diimbangi oleh
kepraktisan tes yang lebih besar, dan bahwa aplikasi yang lebih luas dari
tes yang lebih nyaman (A1C) sebenarnya dapat meningkatkan jumlah
diagnosis yang dibuat.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih mengkarakterisasi
pasien yang status glikemiknya mungkin dikategorikan berbeda dengan
dua tes yang berbeda (misalnya, FPG dan A1C), diperoleh dalam
pendekatan temporal yang dekat. Ketidakseimbangan tersebut dapat
timbul dari variabilitas pengukuran, berubah seiring waktu, atau karena
A1C, FPG, dan glukosa postchallenge masing-masing mengukur proses
fisiologis yang berbeda. Dalam pengaturan peningkatan A1C tetapi
"nondiabetic" FPG, kemungkinan kadar glukosa postprandial yang lebih
besar atau peningkatan tingkat glycation untuk tingkat tertentu
hiperglikemia dapat hadir. Dalam skenario sebaliknya (tinggi FPG
namun A1C di bawah titik potong diabetes), peningkatan produksi
glukosa hati atau penurunan tingkat glikasi dapat hadir.
Seperti kebanyakan tes diagnostik, diagnosis hasil tes diabetes harus
diulang untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium, kecuali
diagnosisnya jelas berdasarkan klinis, seperti pasien dengan gejala
klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik. Lebih baik bahwa tes
yang sama diulang untuk konfirmasi, karena akan ada kemungkinan
yang lebih besar dari persetujuan dalam kasus ini. Sebagai contoh, jika
A1C adalah 7,0% dan hasil pengulangan adalah 6,8%, diagnosis
diabetes dikonfirmasi. Namun, ada skenario di mana hasil dari dua tes
yang berbeda (misalnya, FPG dan A1C) tersedia untuk pasien yang
sama. Dalam situasi ini, jika dua tes yang berbeda keduanya di atas
ambang diagnostik, diagnosis diabetes dikonfirmasi.
Di sisi lain, ketika dua tes yang berbeda tersedia dalam individu dan
hasilnya tidak sesuai, tes yang hasilnya di atas titik potong diagnostik
harus diulang, dan diagnosis dibuat berdasarkan tes yang dikonfirmasi.
Yaitu, jika seorang pasien memenuhi kriteria diabetes A1C (dua hasil
≥6,5%) tetapi bukan FPG (<126 mg / dl atau 7,0 mmol / l), atau
sebaliknya, orang itu harus dianggap menderita diabetes. Diakui, dalam
kebanyakan kasus, tes "nondiabetes" kemungkinan berada dalam
kisaran yang sangat dekat dengan ambang batas yang mendefinisikan
diabetes.
Karena ada variabilitas preanalitik dan analitik dari semua tes, juga
mungkin bahwa ketika tes yang hasilnya di atas ambang diagnostik
diulangi, nilai kedua akan berada di bawah titik potong diagnostik. Ini
paling mungkin untuk A1C, agak lebih mungkin untuk FPG, dan
kemungkinan besar untuk PG 2-h. Kecuali kesalahan laboratorium,
pasien tersebut cenderung memiliki hasil tes di dekat batas ambang
untuk diagnosis. Tenaga kesehatan profesional mungkin memilih untuk
mengikuti pasien secara dekat dan mengulangi pengujian dalam 3-6
bulan.
Keputusan tentang tes mana yang digunakan untuk menilai pasien
khusus untuk diabetes harus berada pada kebijaksanaan profesional
perawatan kesehatan, dengan mempertimbangkan ketersediaan dan
kepraktisan pengujian pasien individu atau kelompok pasien. Mungkin
lebih penting daripada tes diagnostik yang digunakan, adalah bahwa tes
untuk diabetes dilakukan ketika diindikasikan. Ada bukti yang
mengecilkan indikasi bahwa banyak pasien berisiko masih belum
menerima tes dan konseling yang memadai untuk penyakit yang
semakin umum ini, atau karena faktor risiko kardiovaskular yang sering
menyertainya. Kriteria diagnostik saat ini untuk diabetes dirangkum
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria untuk diagnosis diabetes (ADA,2017)

6. Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan teraoi diabetes mellitus mempunyai tujuan akhir
yaitu untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara
spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama yaitu:
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan
penatalaksanaan diabetes mellitus seperti pada gambar 1.

Gambar 2. Target terapi diabetes mellitus (ADA,2017)


Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes,
yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan
dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet
dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah
farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral,
atau kombinasi keduanya. Bersamaan dengan itu apapun langkah
penatalaksanaan yang diambil satu factor yang tak boleh di tinggalkan
adalah penyuluhan atau konseling pada penderita diabetes oleh para
praktisi kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli gizi maupun tenaga medis
lainnya (muchid, et al, 2005).
a. Terapi non Farmakologi
1) Pengaturan diet
2) Olahraga (menjaga berat badan)
3) Hindari merokok
Terapi non farmakologi berdasarkan The American Diabetes
Association (ADA, 2017) :
gambar 3. Terapi nonfarmakologi berdasarkan ADA, 2017
b. Terapi farmakologi
Tatalaksana terapi farmakologi dengan antihiperglikemik pada
diabetes mellitus tipe 2 menurut ADA, 2017 adalah sebagai
berikut :
gambar 4. Tatalaksana terapi dengan antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2
(ADA,2017)
gambar 5. Tatalaksana terapi pada pasien DM tipe 2 (ADA, 2017)
gambar 6. Terapi hipoglikemia (ADA, 2017)
C. Studi Kasus
Tabel 1. Data Pasien

Nama Pasien Ny. H.

Umur 70 Tahun

MRS 29 Desember 2014

Ruangan Bangsal XX

Berat Badan / Tinggi Badan 98 Kg / 163 cm

Riwayat Penyakit DM ±10 tahun (terkontrol), HT ±20 tahun


(terkontrol)

Tinggi / Berat Badan NA

Riwayat Alergi Obat Tidak ada riwayat alergi obat

Riwayat Penyakit Keluarga NA

Riwayat Sosial NA

Diagnosis MRS CKD stage 4, DM nefropati, HT, Febris

Pasien MRS tanggal 29/12/14 dengan keluhan panas sejak 2 hari yang lalu, membaik
kemudian kumat lagi (diatasi dengan minum paracetamol) sesak sejak 2 hari lalu, membaik
dan kumat lagi (diatasi dengan minum paracetamol). Pasien mual tetapi tidak muntah. Pasien
diketahui minum alkohol (-), merokok (-), minum jamu - jamuan saat tidak fit.
Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit terdahulu berupa DM dan Hipertensi. Di
rumah sakit pasien mendapatkan terapi seperti yang ditampilkan pada tabel 1. Berdasarkan
kasus diatas, akan di bahas lebih lanjut terapi pasien khusus dalam aspek kajian farmasi klinis
dengan menggunakan pendekatan analisis SOAP.
Tabel 2. Terapi yang diberikan saat dirawat di rumah sakit

Nama obat Desember 2014 Januari 2015

29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lasix inj 1-0-0 ✅ ✅ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖

Lasix inj 2-0-0 ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖

Lasix inj 1-0-0 ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅

Ranitidin tab 2 x 1 ✅ ✅ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖

Ondancentron inj 2 x 1 ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅

Omeprazole inj 2 x 1 ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅

Fucoidan tab 3 x 1 ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅

Captropil 25 mg tab 3 x 1 ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ➖ ➖ ➖ ➖

Candesartan TI 80 mg tab 1- ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅
0-0

Amoxicillin inj ✅ ✅ ✅ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖

Ciprofloxacin tab 2 x 1 ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖

Cefoperazone inj ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅

Cinam inj 3 x 1 ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅

Transfusi PRC ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ➖

Asam folat ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅

Paracetamol tab 3 x 1 KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP KP

NS atau RL ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅ ✅

Kidmin : futrolit (1:1) ➖ ✅ ✅ ✅ ✅ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖

Comafusin : ivelip ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ✅ ✅ ➖ ➖

Lactulosa syr 3 x CI ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ➖ ✅ ➖

Tabel 3. Tanda - tanda vital pasien


TTV Desember 2014 Januari 2015
29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9

BP(mmHg) 128/70 130/60 130/80 140/60 150/90 120/90 120/70 130/60 160/90 150/70 130/70 160/90
N(x/min) 88 86 72 88 80 82 80 84 80 80 88 80
o
Suhu( C) 36.8 36.5 37 37 36.3 37 37.5 37.6 36.6 38.5 38.7 36.6
RR(x/min) 20 26 20 20 20 20 20 20 20 22 22 20

Tabel 4. Kondisi Klinis Pasien

TTV Desember 2014 Januari 2015


29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Panas +++ +++ +++ ++ ++ - + + + + + -
Mual +++ ++ ++ + + + + + + + + +
Muntah - - - - - - - - - - - -
Sesak +++ +++ ++ ++ ++ + + + + + + +
Pusing - - +++ ++ + - - - - - - -
Nyeri perut +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ ++ ++
Batuk ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ + + + + +
Nyeru kencing - - - - - - ++ ++ - - - -
Udema perut +++ +++ +++ ++ ++ + + + + + + +
Susah BAB - - - - - - - - - + + -

Tabel 5. Tanda – tanda Laboratorium


Parameter Nilai Desember 2014 Januari 2015
Lab Normal
28 29 30 31 1 2 3 4 5 6 7

DARAH

WBC 4-10x103 13 26.6 24.9 16.7 16.7


u/µL
Trombosit 150-400 233
u/µL
HCT 37-54 26.2 25.6 25.4 24.6 24.6

Hb 11-16 8.7 8.5 8.3 7.8 7.8

Ureum 13-42 103

Cr 0.7-1.3 5.67 5.7 7

Glukosa 70-110 153 146


Na 135-145 138.7 113.7 131

K 3.5-5 4.65 4.67 4.66

Cl 95-108 114.8 112.3 105.6

BUN 10.24 57 81

Cholesterol <200 102

TG <150 142

Albumin 3.5-5.5 3

SGPT 0-35 13

SGOT 0-37 18

UA <7 7.7

URIN

Leukosit 0-1 lbp 10-


13
Eritrosit - 1-3

Protein - +

DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. & Hawks, Jane Hokanson. (2009). Medical-SurgicalNursing:Clinical
Management for Positive Outcomes. 8th ed.St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier.
John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru. CerminDunia
Kedokteran. 2006
Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem (6 ed.). (Terj.B. U. Pendit).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Widjayanti, A., Ratulangi, B.T. Pemeriksaan Laboratorium Penderita Diabetes.
World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group. WorldHealth
Organisation. Geneva-Switzerland.
American Diabetes Association (ADA), 2017, Standar of medical care in diabetes – 2017,
Diabetes care.
Muchid, a., Umar, F., Ginting, M. N., Basri, C., Wahyuni , R., Helmi, R. and istiqumah, S. N.
(2005) Pharmaceutical care untuk penyakit diabetes mellitus. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai