Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

TATALAKSANA PENYAKIT DRUG INDUCE LIVER DISEASE


(DILI)
TEORI DAN KAJIAN KASUS

KELAS B1-A
KELOMPOK 1 :
A.A Istri Alit Putri Indradewi (162200001)
A. A. Sagung Dewi Pradnya Pramita (162200002)
I Gst Ayu Agung Kristina Dewi (162200003)
I Gst Putu Agus Anom (162200004)
I Made Yoghi Sudipa (162200005)
I Nyoman Kerta Negara (162200006)
I Putu Mariawan (162200007)

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2018
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Drug Induced Liver Diseases
2. Mengetahui patofisiologi dan mekanisme Drug Induced Liver Diseases
3. Mengetahui tatalaksana terapi Drug Induced Liver Diseases (farmakologi dan
non-farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait Drug Induced Liver Diseases secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.

B. DASAR TEORI
1) Definisi Drug Induced Liver Diseases
Cedera hati yang diinduksi obat (DILI) didefinisikan sebagai cedera hati yang
disebabkan oleh paparan obat atau agen beracun non-infeksius, dan ini terkait dengan
berbagai tingkat disfungsi organ. Kenaikan tingkat alanine-amino-transferase (ALT)
dan alkalin fosfatase (ALP) merupakan penanda kerusakan jaringan yang andal
sementara peningkatan total bilirubin (TB), penurunan kadar protein dan albumin
plasmatic dan munculnya koagulopati (peningkatan waktu prothrombin dan Rasio
Normalisasi Internasional), merupakan indikasi dari disfungsi hati.(Marrone et al.,
2017)
Gangguan hati yang diinduksi obat idiopatik (DILI) dapat menyebabkan ikterus,
gagal hati, atau bahkan kematian. Antimikroba, suplemen herbal dan makanan adalah
salah satu kelas terapi yang paling umum untuk menyebabkan DILI di dunia Barat.
(Chalasani et al., 2014)

Tabel 1 Definisi DILI dianjurkan dalam pengaturan South Africa (Chalasani et al.,
2014)
2) Klasifikasi
I. HEPATOCELLULAR INJURY
Cedera hepatoseluler ditandai dengan peningkatan yang signifikan
aminotransferase dalam serum yang biasanya mendahului peningkatan kadar
bilirubin total dan tingkat alkalin fosfatase. Cedera hepatoseluler dapat
menyebabkan hepatitis fulminan dengan tingkat kelangsungan hidup 20%. Untuk
pasien dengan kombinasi cedera hepatoseluler dan ikterus, terdapat tingkat
mortalitas 10%. Acarbose, allopurinol, fluoxetine, dan losartan mampu
menyebabkan cedera hepatoseluler. Cedera hepatoseluler dapat dibagi lagi oleh
pola histologis spesifik dan presentasi klinis. Nekrosis Centrolobular,
steatohepatitis (steatonecrosis), fosfolipidosis, dan nekrosis hepatoseluler umum
masing-masing dapat diidentifikasi oleh hasil biopsi tertentu dan perbedaan halus
dalam presentasi klinis.(Dipiro et al., 2008)

II. CENTROLOBULAR NECROSIS


Nekrosis Centrolobular sering berhubungan dengan dosis, reaksi sekunder yang
dapat diprediksi terhadap obat-obatan seperti acetaminophen; Namun, itu juga dapat
dikaitkan dengan reaksi idiosynkratik, seperti yang disebabkan oleh halotan anestesi
dan juga disebut hepatotoksisitas langsung atau terkait metabolit, nekrosis
centrolobular biasanya merupakan hasil dari produksi metabolit beracun (Gambar 1).
Kerusakan menyebar keluar dari tengah lobus hati.(Dipiro et al., 2008)
Pasien yang menderita nekrosis centrolobular cenderung terdapat salah satu dari
dua cara, tergantung pada sejauh mana nekrosis. Reaksi obat ringan, yang melibatkan
hanya sejumlah kecil jaringan hati parenkim, dapat dideteksi sebagai peningkatan
asimtomatik dalam serum aminotransferase. Jika reaksi didiagnosis pada tahap ini,
sebagian besar pasien akan pulih dengan sirosis minimal dan dengan demikian dapat
meminimalkan gangguan hati kronis. Bentuk-bentuk nekrosis centrolobular yang
lebih berat disertai dengan mual, muntah, nyeri perut bagian atas, dan ikterus.(Dipiro
et al., 2008)
Gambar 1 Diagram umum biotransformasi.(Dipiro et al., 2008)
(1) Obat ini secara aktif diangkut ke dalam hepatosit oleh transportasi anion organic
pompa, protein transmembran.
(2) Metabolit (obat) berinteraksi dengan salah satu dari sejumlah enzim, yang paling
umum adalah CYP2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4. enzim ini diatur oleh reseptor
xenobiotik DNA komplementer. Reseptor xenobiotik pada gilirannya diregulasi oleh
obat lain, perubahan katabolisme kolesterol, dan asam empedu.
(3) Hasil langsung dari aksi fase I enzim ini adalah produksi metabolit yang tidak stabil.
(4) Metabolit yang tidak stabil kemudian bereaksi dengan glukuronidase, berbagai
transferase, atau hidroksilase untuk membentuk metabolit terkonjugasi. aktivitas
enzim ini dipengaruhi oleh kondisi nutrisi pasien dan polimorfisme genetik, yang
menyebabkan variasi dalam risiko individu untuk toksisitas.
(5) Metabolit terkonjugasi dikeluarkan dari hepatosit oleh pompa ekspor membran
kanalikuli, Protein ini beraktivitas pada polimorfisme genetik juga, mengarah ke
beberapa pasien yang memiliki peningkatan risiko toksisitas.
(6) Jika tidak dapat membentuk konjugat, metabolit yang tidak stabil dapat berpartisipasi
dalam reaksi oksidatif yang merusak lipid, protein, atau bahkan DNA.
(7) Sebagai alternatif, metabolit yang tidak stabil dapat membentuk ikatan kovalen yang
merusak dengan anion atau kation yang tersedia. (SNP, menunjukkan poin dalam
proses ini yang dipengaruhi oleh satu polimorfisme nukleotida individu.)

III. STEATOHEPATITIS
Steatohepatitis (juga dikenal sebagai steatonecrosis) adalah jenis khusus nekrosis
akut yang dihasilkan dari akumulasi asam lemak di hepatosit. Obat atau metabolitnya
yang menyebabkan steatonecrosis dengan mempengaruhi oksidasi asam lemak dalam
mitokondria hepatosit (lihat Gambar 1). Vesikula hepatik menjadi membesar dengan
asam lemak, akhirnya mengganggu homeostasis dari hepatosit. Biopsi hati ditandai
dengan infiltrasi masif oleh leukosit polimorfonuklear, degenerasi hepatosit, dan
keberadaan tubuh Mallory. (Dipiro et al., 2008)

IV. PHOSPHOLIPIDOSIS
Fosfolipidosis adalah akumulasi fosfolipid, bukan asam lemak. Biasanya
fosfolipidosis berkembang pada pasien yang dirawat selama lebih dari 1 tahun.
Pasien ditandai dengan aminotransferase tinggi atau hepatomegali; penyakit kuning
jarang terjadi.(Dipiro et al., 2008)

V. GENERALIZED HEPATOCELLULAR NECROSIS


Generalized Hepatocellular Necrosis meniru perubahan yang terkait dengan
hepatitis virus yang lebih umum. Permulaan gejala biasanya tertunda sebanyak satu
minggu atau lebih setelah terpapar toksin. Bioaktivasi penting untuk toxic hepatitis
untuk berkembang, tetapi mungkin bukan penyebab langsung kerusakan. Banyak
obat yang terkait dengan toxic hepatitis menghasilkan metabolit yang tidak secara
inheren beracun bagi hati. Sebaliknya, bertindak sebagai haptens, mengikat protein
sel tertentu dan menginduksi reaksi autoimun (lihat Gambar 1).(Dipiro et al., 2008)

VI. TOXIC CIRRHOSIS


Efek parut dari hepatitis di hati mengarah pada perkembangan sirosis. Beberapa
obat cenderung menyebabkan kasus hepatitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.
Hepatitis ringan dapat dengan mudah disalahartikan sebagai infeksi virus umum yang
lebih rutin. Jika obat atau agen yang diduga sebagai penyebab tidak dihentikan,
kerusakan ini akan terus berlanjut. Pasien akhirnya tidak ditandai dengan hepatitis,
tetapi dengan sirosis. Metotreksat menyebabkan fibrosis periportal pada sebagian
besar pasien yang mengalami hepatotoksisitas.(Dipiro et al., 2008)

VII. CHOLESTATIC INJURY


Pola kedua kerusakan hati adalah cedera yang terutama melibatkan sistem
kanalikuli empedu dan dikenal sebagai cedera kolestatik. Pada penyakit kolestatik,
gangguan filamen aktin subseluler di sekitar kanalikuli mencegah pergerakan empedu
melalui sistem kanalikuli. Ketidakmampuan hati untuk mengeluarkan empedu
menyebabkan akumulasi intrahepatik asam empedu beracun dan produk ekskresi.
Meskipun jarang, beberapa pasien mengalami destruksi progresif dari cholangiocytes
yang mengarah ke sindrom saluran empedu yang hilang.(Dipiro et al., 2008)
Kolestasis yang diinduksi obat dapat terjadi sebagai gangguan akut (misalnya,
kolestasis dengan atau tanpa hepatitis dan kolestasis dengan cedera saluran empedu)
atau sebagai gangguan kronis (misalnya, menghilangnya sindrom saluran empedu,
sklerosis kolangitis, dan kolelitiasis). Namun, bentuk umum dari obat-induced
cholestasis adalah cholestasis dengan hepatitis. Sebagian besar pasien dengan
gangguan akut ini muncul dengan mual, malaise, ikterus, dan pruritus. Peningkatan
kadar serum alkalin fosfatase lebih menonjol dan biasanya mendahului peningkatan
enzim hati lainnya dalam serum. Pada pemeriksaan histologis, peradangan portal dan
nekrosis hepatosit dicatat. Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2
kali ULN R≤ 2.(Dipiro et al., 2008)

VIII. MIXED HEPATOCELLULAR AND CHOLESTATIC INJURY


Pola terakhir kerusakan hati adalah kombinasi dari dua pola sebelumnya.
Presentasi ini bisa menjadi hasil dari tiga proses yang berbeda. Pada beberapa pasien,
cedera dapat dimulai sebagai hepatoselular (atau kolestasis) dan hanya menyebar
begitu cepat sehingga pada saat pasien datang untuk diagnosis dan pengobatan,
semua area hati terpengaruh. Tipe campuran didefiniskan sebgai peningkatan ALT >
2 kali ULN 2 < R < 5. Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering
berkembang menjadi penyakit kronin dari pada tipe hepatoseluler.(Dipiro et al.,
2008)

IX. LIVER VASCULAR DISORDERS


Lesi fokal di venula hati, sinusoid, dan vena porta terjadi dengan berbagai obat.
Obat yang paling umum terkait adalah agen sitotoksik yang digunakan untuk
mengobati kanker, alkaloid pyrrolizidine, dan hormon seks. Nekrosis terpusat sering
terjadi dan dapat menyebabkan sirosis. Azathioprine dan teh herbal yang
mengandung comfrey (sumber alkaloid pyrrolizidine) berhubungan dengan
perkembangan penyakit venoocclusive (Dipiro et al., 2008)
Tabel 2 Pola Jejas Hati dan Obat-Obat Penyebab (Fontana et al., 2009)

Drug Induced Liver Diseases Network (DILIN) mengembangkan system penilaian


untuk menentukan derajat Drug Induced Liver Diseases berdasarkan gejala, ikterik,
membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda gagal hati dan kematian atau
membutuhkan transplatasi hati. (Fontana et al., 2009)

Tabel 3 derajat berat DILI berdasarkan DILIN (Fontana et al., 2009)


3) Etiologi, Faktor Resiko dan Patofisiologi
I. Etiologi
DILI adalah salah satu penyebab utama gagal hati akut di AS, menyumbang
13% kasus gagal hati akut; peristiwa ini menimbulkan tantangan besar untuk
pengembangan dan keamanan obat. Antimikroba dan agen untuk sistem saraf pusat
adalah penyebab paling umum dari DILI dan makanan kesehatan atau suplemen
diet 7% kasus DILI di AS. Di Korea, kejadian ekstrapolasi tahunan dari kasus rawat
inap di rumah sakit universitas dihitung menjadi 12 / 100.000 orang / tahun.
Distribusi usia bervariasi, dengan kelompok usia <20, 20-29, 30-39, 40-49, 50-59,
dan ≥60 mewakili 1,3%, 8,1%, 16,4%, 27,5%, 21,8%, dan 24,8% kasus, masing-
masing. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam etiologi antara kelompok usia
(Gambar 2). (Suk & Kim, 2012)
Lingkungan medis Korea memberikan kasus yang sangat menarik dalam
studi DILI karena Pengobatan Oriental telah diterima secara luas sebagai alternatif
pengobatan modern. Selain itu, banyak 'obat tradisional' yang dianggap aman dan
alami, sering digunakan tanpa peraturan atau saran ahli dalam perawatan berbagai
kondisi. Oleh karena itu, banyak orang Korea sering terkena 'herbal' dan 'obat
tradisional' yang dapat mengarah ke DILI; situasi serupa ditemukan di negara-
negara Asia lainnya. 'Obat herbal' adalah penyebab utama DILI di Korea. Statistik
ini melihat relevansi DILI sebagai salah satu masalah kesehatan utama di Korea.
Sayangnya, di Korea dan negara Asia lainnya, ada data prospektif terbatas
mengenai epidemiologi dan perjalanan klinis DILI, serta beban sosial dan
mortalitas pasien dengan kondisi ini. (Suk & Kim, 2012)

Gambar 2 insiden DILI berdasarkan umur (Suk & Kim, 2012)

Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara parenteral
dari Sejumlah obat farmakologi dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis
obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada
sel-sel hati. Beberapa diantaranya seperti pada tabel dibawah ini merupakan
penyebab paling sring dari Drug Induced Liver Diseases. (Suk & Kim, 2012)
Penelitian yang dilakukan oleh kazuto Tajiri and yukihiro shimizu dijepang
mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Diseases diantaranya
adalah acetaminophen (16,9 % ), anti-HIV seperti stabudine, didanosine, nepirapine,
zidovudine (26,8 %), troglitazone (11,7%), anti kinvulsan seperti asam valporat dan
phenytoin ( 10,3 %), antikanker (12,3%) yang meliputi flutamide (3.3%)
cyclophosphamide (3.1%), methotrexate (3%) dan sytrabine (2.9%), antibiotic (8,7
%) seperti trovafloxacin (3,2 %), sulfa/trimetphoprim (2,9 %) dan claritromyx]cin
(2,8%), anestesi seperti halothane (4,8 %), obat anti tuberkolosis, isoniazid (3,2 %)
Diklofenak (3,1%) dan oxycodone (3,1 %). (Tajiri & Shimizu, 2008)

II. Faktor Resiko


a) Penyakit hati yang sudah ada sebelumnya
Penyakit hati yang sudah ada sebelumnya dapat meningkatkan risiko
mengembangkan kerusakan hati yang disebabkan obat dengan agen seperti
methotrexate, agen sitotoksik, aspirin dan sodium valproate. Secara umum, pasien
dengan penyakit hati lebih mungkin menderita ADR. Riwayat medis DILI
sebelumnya dari obat apa pun telah terbukti menjadi prediktor DILI masa depan
dari obat lain.(Walker & Whittlesea, 2012)

b) Usia
Secara umum usia lanjut berada pada peningkatan risiko ADR. Ada beberapa
alasan untuk ini, termasuk tingkat pemajanan yang lebih tinggi dan penurunan
metabolisme. Cedera hati yang diinduksi oleh obat lebih mungkin terjadi pada
pasien usia lanjut dibandingkan pada mereka yang berusia di bawah 35 tahun.
Demikian pula, hepatitis halotan dan isoniazid atau klorpromazin hepatotoksisitas
lebih mungkin pada pasien di atas usia 40 tahun. Tingkat keparahan reaksi juga
tampak meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada mereka yang berusia
di atas 60 tahun. Toksisitas sodium valproate, di sisi lain, menunjukkan
peningkatan risiko mengembangkan hepatotoksisitas serius atau fatal pada
mereka di bawah 3 tahun, dengan risiko menurun seiring bertambahnya usia.
Aspirin adalah contoh obat lain yang menyebabkan hepatotoksisitas, khususnya
pada anak-anak. (Walker & Whittlesea, 2012)
Sindrom Reye pada anak-anak telah dikaitkan dengan penggunaan aspirin
setelah penyakit virus; itu mengancam jiwa dan terkait dengan koma, kejang dan
gagal hati. Gambaran kolestasis DILI lebih umum pada pasien yang lebih tua dan
kerusakan hepatoseluler umumnya lebih umum pada pasien yang lebih muda.
(Walker & Whittlesea, 2012)

c) Jenis kelamin
Frekuensi hepatotoksisitas yang diinduksi oleh obat dianggap lebih umum
pada wanita dibandingkan pria, terutama dengan halotan, isoniazid, flukloksasilin,
klorpromazin, eritromisin, dan nitrofurantoin. Namun, bukti dari serangkaian
lebih dari 600 kasus DILI baru-baru ini menemukan bahwa jenis kelamin
perempuan bukan merupakan faktor risiko. Ada bukti lemah dari perbedaan jenis
kelamin dalam toksisitas sodium valproate, menjadi lebih umum pada anak laki-
laki sebelum pubertas dan pada wanita setelah pubertas. Ikterus kolestatik yang
terkait dengan co-amoxiclav telah dilaporkan lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan. (Walker & Whittlesea, 2012)

d) Genetika
Perbedaan genetik yang mempengaruhi kemampuan individu untuk
memetabolisme obat-obatan tertentu dapat menjadi predisposisi DILI. Misalnya,
kedua asetilator cepat dan lambat mungkin lebih rentan terhadap kerusakan hati
yang diinduksi oleh isoniazid. Pandangan konvensional adalah bahwa asetilator
cepat beresiko meningkatkan reaksi beracun karena transformasi asetilhidrazin
oleh sitokrom P450 menjadi metabolit reaktif; penelitian lain menunjukkan
asetilasi yang lambat dapat mengakibatkan toksisitas karena pembentukan
hidrazin, yang beracun dalam dirinya sendiri. Ketika memulai, pemantauan
isoniazid dari LFT direkomendasikan setiap bulan selama 3 bulan pertama, karena
toksisitas paling mungkin terjadi pada awal terapi. Cedera yang disebabkan oleh
Halothane telah dilaporkan untuk beberapa anggota keluarga. (Walker &
Whittlesea, 2012)
Diperkirakan bahwa kecenderungan genetik untuk bentuk-bentuk alergi obat
hipersensitivitas bisa menjadi faktor dalam beberapa jenis penyakit hati..
Memiliki HLA haptotype ini memberikan peningkatan kerentanan hingga 80 kali
lipat ke luka hati dengan flukloksasilin. (Walker & Whittlesea, 2012)

e) Induksi enzim
Alkohol, rifampicin dan obat lain yang menyebabkan sitokrom P450
isoenzim 2El mempotensiasi risiko hepatotoksisitas dengan obat lain seperti
parasetamol, isoniazid dan halotan. Namun, peran alkohol sebagai faktor risiko
DILI tidak jelas dan konsumsi alkohol akut dan kronis mungkin memiliki efek
yang berbeda. (Walker & Whittlesea, 2012)
Terapi bersamaan dengan antikonvulsan lain, khususnya fenitoin dan
fenobarbital, merupakan faktor risiko toksisitas dengan natrium valproat, di mana
90% kasus cedera hati dikaitkan dengan terapi kombinasi. (Walker & Whittlesea,
2012)

f) Polifarmasi
Contoh khas ini terlihat dengan NSAID. Risiko penyakit hati dengan NSAID
biasanya sangat rendah tetapi meningkat ketika NSAID digunakan dengan obat-
obatan hepatotoksik lainnya. (Walker & Whittlesea, 2012)

g) Penyakit serentak dan kehamilan


Penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya, diabetes, kehamilan dan nutrisi
yang buruk semuanya dapat mempengaruhi kemampuan hati untuk
memetabolisme obat secara efektif dan dapat menempatkan pasien pada risiko
mengembangkan kerusakan hati.. (Walker & Whittlesea, 2012)

III. Patofisiologi
Obat-obatan dapat menyebabkan beragam cedera hati akut atau kronis. Sebagian
besar kasus DILI adalah hasil dari respons metabolik idiosinkratik atau reaksi yang
tidak terduga terhadap obat, meskipun patogenesisnya belum jelas.(Suk & Kim, 2012)
Sebuah model kerja tiga langkah dari mekanisme DILI. Menurut model ini, obat-
obatan atau metabolitnya pertama-tama menyebabkan tekanan sel langsung (jalur
intrinsik), memicu reaksi kekebalan (jalur ekstrinsik), dan / atau langsung merusak
fungsi mitokondria. Kedua, 'serangan awal' ini dapat menyebabkan transisi
permeabilitas mitokondria, langkah ketiga dapat memulai kematian sel apoptosis atau
nekrotik, tergantung pada ketersediaan adenosine triphosphate. Beberapa mekanisme
amplifikasi dapat memainkan peran penting dalam kemunculan idiosynkratik DILI.
Model kerja ini merupakan penyerderhaan dari mekanisme DILI yang kompleks (Gbr.
2)(Suk & Kim, 2012)
Gambar 3 mekanisme DILI (Suk & Kim, 2012)

Hati menghilangkan bahan kimia lipofilik, termasuk obat-obatan, dan membuat


biotransformasi menjadi metabolit yang larut dalam air yang kemudian diekskresikan.
Proses ini melibatkan sitokrom P450 (fase 1), konjugasi (fase 2) dan transportasi (fase
3). Ekspresi enzim dan transporter yang terlibat dalam penanganan hepatik obat berada
di bawah kendali faktor transkripsi seperti reseptor X dan reseptor androstane
konstitutif. Selain itu, polimorfisme dari fase 1, 2 dan 3 gen dan faktor transkripsi ini
mempengaruhi aktivitas dan ekspresi mereka dalam menanggapi faktor-faktor
lingkungan. (Suk & Kim, 2012)
Setelah paparan, bagian beracun menginduksi jenis stres atau gangguan
fungsional. Mitokondria salah satu target paling penting dari gangguan ini. Nekrosis
seluler bergantung pada hilangnya fungsi mitokondria yang cepat, sedangkan pada
superoksida dismutase model positif, troglitazone menginduksi hilangnya fungsi
mitokondria yang lebih lambat. Ini paling baik dipahami sebagai fenomena ambang di
mana mitokondria memiliki cadangan besar. Ketika cukup kehilangan DNA
mitokondria, atau modifikasi protein transportasi elektron mitokondria terakumulasi,
stres oksidatif dari peningkatan spesies oksigen reaktif menguasai pertahanan
antioksidan. (Suk & Kim, 2012)
Konsep penting dalam DILI adalah adaptasi. Ini adalah situasi di mana cedera
berbalik dengan kelanjutan obat. Sejumlah tanggapan dapat memediasi adaptasi.
Perubahan dalam fase 1, 2 atau 3 dapat meredam paparan hepatosit terhadap bahan
kimia beracun. Stres oksidatif yang diinduksi oleh bahan kimia beracun atau efeknya
pada mitokondria dapat mengaktifkan nukleus faktor eritroid, faktor transkripsi yang
mengaktifkan ekspresi gen antioksidan. Kerusakan mitokondria menginduksi
mitokondria biogenesis, dan stres retikulum endoplasma menginduksi respon adaptif
untuk memodulasi stress (Suk & Kim, 2012)
Secara patofisiologiik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati
dibekdakan atas dua golongan yaitu hepatoksin yang predictable dan yang
unpredictable. (Setiabudy.1979)
a) Predictale drug reaction (intrinsi ): merupakan obat yang dapat dipastikan selalu
menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan
dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel
hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan
metabolism atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung
merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya
ialah karbontetra klorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang
merusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya
paracetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin.
Tetrasiklin, etanoldan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi
lemak pada sel hati. Paracetamol menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid
kontrapsepsi dan steroid yang mengalami alkilasi ada atom C-17 menimbulkan
ikterus akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula
menimbulkan icterus karena memperngaruhi konjugasi dan transporbilirubin
dalam hati. (Setiabudy.1979)
b) Unpredictable drug reactions/idiosyncratic drug reactions: kerusakan hati yang
timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas intriksi dari obat, tetapi karena
adanya rekasi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari
kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan
dan biasanya hanya terjdai pada sejumlah kecil orang yang rentan.
(Setiabudy.1979)
Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat
dibedakan dalam 2 golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena
kelainan metabolisme. (Setiabudy.1979)

4) Diagnosis
Diagnosis DILI adalah diagnosis eksklusi. Riwayat klinis, waktu terpapar obat
dan perjalanan kerusakan hati merupakan poin penting dalam evaluasi subjek dengan
dugaan cedera hati yang diinduksi obat. Biasanya, manifestasi DILI dilihat dalam
enam bulan setelah dimulainya obat, meskipun ada beberapa pengecualian. Aspek
kunci dalam penilaian DILI yang dicurigai adalah pengecualian penyebab DILI
lainnya, dan pola biokimia presentasi dapat membantu dalam proses diagnostik
(Tabel 2). (Marrone et al., 2017)
Menurut American College of Gastroenterology (AGA) guidelines, dalam
kerusakan hati hepatoseluler, kondisi pertama yang dikecualikan adalah hepatitis
virus akut (HAV, HBV, HCV, HEV, CMV, EBV, dan HSV), hepatitis autoimun
(AIH), penyakit hati vaskular (sindrom Budd-Chiari, cedera hati iskemik) dan
penyakit Wilson. Mengenai AIH, perlu dicatat bahwa beberapa obat, seperti
minocycline dan nitrofurantoin, dapat menginduksi bentuk DILI yang khas, sangat
mirip dengan AIH idiopatik; oleh karena itu, diagnosis banding bisa sulit. Menurut
pedoman AASLD, kasus sulit ini tetap merupakan indikasi untuk biopsi hati.
(Marrone et al., 2017)
Dalam pola kolestatik, kondisi pertama yang dikecualikan adalah obstruksi
bilier. Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan termasuk gizi parenteral dan sepsis.
Penyakit autoimun bilier seperti primary biliary cholangitis (PBC) dan primary
sclerosing cholangitis (PSC) dapat diselidiki dengan mencari autoantibodi spesifik
(AMA dan p-ANCA) dan dengan biopsi hati di PBC atau teknik pencitraan yang
tepat dalam kasus PSC. (Marrone et al., 2017)
Pencitraan hati juga dapat mengungkapkan penyakit hati infiltratif fatty liver
desease (NAFLD / NASH). Diagnosis banding juga mencakup hemochromatosis dan
defisiensi α-1-antitripsin, yang dapat dikecualikan dalam menilai parameter
metabolisme zat besi dan aktivitas enzimatik serum, (Marrone et al., 2017)
Setelah penyebab kerusakan lain yang mungkin dikecualikan, perlu untuk
menentukan hubungan kausal antara obat yang terlibat dan cedera hati yang diamati.
(Marrone et al., 2017)
Di antara parameter yang dipertimbangkan dalam penilaian kausalitas, perhatian
khusus harus diberikan dalam menentukan kriteria waktu (pemberian obat harus
mendahului perkembangan cedera hati), de-challenge (perbaikan kerusakan hati
setelah penghentian obat) dan re-challenge (manifestasi kerusakan baru, biasanya
dengan latensi pendek dan lebih besar, pada administrasi ulang obat). (Marrone et
al., 2017)
Onset DILI setelah pemberian obat dapat bervariasi, dari beberapa hari hingga
bahkan lebih dari satu tahun, mendeteksi obat yang terlibat dapat sangat sulit,
terutama di polifarmakoterapi. penelitian tentang literatur ilmiah tentang laporan
kasus atau pengalaman klinis serupa dapat membantu membuat diagnosis yang
benar. (Marrone et al., 2017)
Banyak sistem skor telah diusulkan untuk penilaian kausalitas DILI. Antara lain,
Metode Penilaian Kausalitas Ufaf Roussel (RUCAM), skala Maria dan Victorino (M
& V) dan skala probabilitas Naranjo adalah yang paling banyak digunakan dan
diterima secara luas. (Marrone et al., 2017)
RUCAM mungkin yang paling akurat dan dapat digunakan. Ini
mempertimbangkan pola biokimia kerusakan, waktu onset dan jalannya kerusakan,
faktor risiko, data literatur polypharmacotherapy tentang hepatotoksisitas yang
dicurigai obat dan efek "re-chellange" ketika diterapkan. (Marrone et al., 2017)
M & V dikembangkan untuk meningkatkan kinerja RUCAM. Jika dibandingkan
dengan RUCAM, tampaknya lebih mudah, bahkan kurang akurat. Skala Naranjo
tidak spesifik untuk reaksi merugikan hati tetapi paling cepat digunakan dalam
penilaian reaksi obat yang merugikan. Penelitian prospektif DILIN membandingkan
skor RUCAM dan penilaian pendapat ahli. Evaluasi ahli menunjukkan tingkat yang
lebih tinggi daripada skor RUCAM tetapi keduanya menunjukkan variabilitas yang
cukup besar antar (Tabel 4). (Marrone et al., 2017)
Para penulis ini telah mengusulkan metode penilaian kausalitas baru berdasarkan
skor RUCAM yang akan mampu memberikan bobot probabilitas yang berbeda
berdasarkan jumlah laporan kasus. Oleh karena itu, jelas bahwa alat-alat baru dan
lebih dapat diandalkan diperlukan untuk meningkatkan diagnosis DILI. (Marrone et
al., 2017)
Tabel 4 Metode untuk diagnosis DILI (Marrone et al., 2017)
Gambar4 diagram diagnosis DILI (Kullak-Ublick et al., 2017)
Tabel 5 metode RUCAM (Chalasani et al., 2014)
Gambar5 skor RUCAM (Kullak-Ublick et al., 2017)

Gambar 6 nilai R untuk DILI (Vélez, Muñoz, & Germán, 2016)

5) Penatalaksanaan
Terapi efek hepatotoksik diri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai.
Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada
bukti penelitian klinis dengan kontro. Demikian juga ursodiol pada keadaan kolestatik.
Pada obat-obatan tertentu seperti amoksisilin, asam klavunamat dan fenitoin
berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa
munggu sudah pengobatan dihentikan dan perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih
seperti sediakala. Prognosis gagal hati akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk,
dengan angka mortalitias lebih dari 80 %. (Benvie.2009)
Dalam sebagian besar kasus, pasien akan membaik ketika obat tersebut dapat
dihentikan. Namun, telah ditemukan bahwa beberapa pasien mengalami peningkatan
bahkan tanpa suspensi. Untuk alasan ini, perlu menghubungkan keparahan gambaran
klinis dengan pentingnya penggunaan obat. Meskipun tidak ada kriteria definitif untuk
penangguhan obat, berikut ini telah diusulkan untuk kasus DILI yang dicurigai
kolestatik karena hubungannya dengan kerusakan hati. (Vélez et al., 2016)
• Bilirubin lebih dari tiga kali ULN.
• INR lebih dari 1,5.

pertimbangan untuk penarikan obat pada kasus DILI adalah : (Vélez et al., 2016)
• ALT atau AST> 8 kali ULN
• ALT atau AST> 5 kali batas atas normal selama lebih dari 2 minggu.
• ALT atau AST> 3 kali ULN dengan bilirubin total> 2 kali batas atas normal atau
dengan INR> 1,5.
• ALT atau AST> 3 kali ULN dengan kelelahan, mual, muntah, nyeri perut di
kuadran kanan atas, demam, ruam dan / atau eosinofilia> 5%.
Overdosis asetaminofen harus ditangani segera dengan pemberian N-asetilsistein
(NAC). Untuk orang dewasa yang menelan asetaminofen kurang dari 24 jam sebelum ke
rumah sakit, dosis awal NAC sebesar 140 mg/ kgBB harus diberikan, dilanjutkan 70
mg/kgBB setiap 4 jam, sebanyak 17 dosis, dimulai 4 jam setelah dosis awal diberikan.10
Asam ursodeoksikolat dapat diberikan pada DILI tipe kolestatik dengan dosis 20-30 mg/
kgBB/hari dalam dua dosis terbagi. Apabila timbul rasa gatal yang hebat, dapat diberikan
kolestiramin, tetapi obat ini harus diberikan pada waktu yang berbeda dengan saat
pemberian asam ursodeoksikolat dan obatobat lain karena kolestiramin akan mengikat
dan menghalangi penyerapan obat lain. Kolestiramin disarankan diberikan pada pagi hari
ketika terjadi regenerasi maksimal biliary pool (Bonkovsky,2006)
Gambar 6 Algoritma penatalaksanaan DILI(Vélez et al., 2016)
Tabel 6 Management TB-DILI (Jong et al., 2013)
C. ALAT DAN BAHAN
ALAT BAHAN
1. Form SOAP 1. Text book (Dipiro, Koda Kimble, DIH).
2. Form medication record. 2. Data nilai normal laboraturium.
3. Catatan minum obat. 3. Evidence terkait (journal, systematic
4. Kalkulator scientific. review, meta analysis).
5. Laptop dan koneksi internet.

D. STUDI KASUS
Nama pasien Ny. S
Umur 54 tahun
MRS 18 februari 2016
Ruangan Bangsal XX
Berat badan/tnggi badan 52 kg/154 cm
Riwayat penyakit TB control
Tinggi/berat badan NA
Riwayat alergi obat Tidak ada riwayat alergi obat
Riwayat penyakit keluarga NA
Riwayat sosial NA
Diagnosis MRS DILI dan TB paru relaps
Pasien wanita, 54 tahun dengan keluhan sejak 1 minggu lalu mengalami jaundice
sebelum masuk rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus. Pasien mengeluhkan adanya
batuk berdahak warna kuning yan sudah semakin membaik dan hipertiroid. Riwayat
demam, keringat malam, hemoptoisis, BAK kemerahan dan penurunan TB paru dan
mendapat OAT (tablet dan injeksi), dan 2 minggu kemudian muncul jaundice, 2 tahun
yang lalu pasien juga sudah pernah mendapatkan OAT (tablet) dannsudah dinyatakan
sembuh oleh dokter.
Pada tand vital dijumpai TD 120/80 mmHg, nadi 80x/menit t/v cukup, pernapasn
18x/menit dan suhu 36.5 C. BB pasien 52 kg dengan TB 154 cm (IMT 21.93) kesan
normowheight. Pemeriksaan fisik dijumpai sklera ikterik dan pada thorax ronki basah di
seluruh lapangan paru kiri.
Labotarium dijumpai kesan leukositosis (15.150/mm3), hiperbiliribinemia (bilirubin
total 8.9 mg/dl), peningkatan ALP (173 U/L) dengan SGOT (35 U/L) dan SGPT (35 U/L)
yang normal. HBsAg dan inti HCV nonreaktif. Kesan foto Thorax PA adalah TB paru
aktif
Terapi yang diterima pasien OAT terdiri dari INH, Rifampisin, dan Ethambutol
selama 2 bulan ( Fase inisial), diikuti INH dan Rifampisin selama 7 bulan ( fase lanjutan)
dan pasien menerima terapi PTU 3x3 tab.
Pasien didiagnosis sebagi DILI dan TB paru relaps, OAT distop sementara. Tiga hari
kemudian dilakukan pemeriksaan ulangan labotarium didapatkan perbaikan kadar
bilirubin total 2,6 mg/dL, bilirubin direk 1,98 mg/dL, kadar ALP 300,56, SGOT 26,92
U/L, SGPT 31,2 U/L. lalu tiga hari berikutnya dimonitoring kembali tes fungsi hati
dimana SGOT, 30,53 U/L, SG{T 24,26 U/L, ALP 107 U/L, bilirubin total 1,80 mg/dL,
bilirubin direk 1,27 mg/dL/
Berdasarkan kasus diatas, akan dibahas lebih lanjut terpi pasien khusus dalam aspek
kajian farmasi klinis dengan menggunakan pendekatan analsisi SOAP.
E. LAMPIRAN
1. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE

Ny. :S
Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS : 18 februari 2016
Usia : 54 tahun Tgl. KRS :-
Tinggi badan : 154 cm Ruangan : XX
Berat badan : 52 kg
BMI : 21.93

Presenting Complaint
Pasien dengan keluhan sejak 1 minggu lalu mengalami jaundice sebelum masuk
rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus. Pasien mengeluhkan adanya batuk
berdahak warna kuning yan sudah semakin membaik dan hipertiroid. Riwayat demam,
keringat malam, hemoptoisis, BAK kemerahan dan penurunan TB paru dan mendapat
OAT (tablet dan injeksi), dan 2 minggu kemudian muncul jaundice, 2 tahun yang lalu
pasien juga sudah pernah mendapatkan OAT (tablet) dannsudah dinyatakan sembuh
oleh dokter.

Diagnosa kerja :
DILI-TB dan TB paru relaps

Diagnosa banding :
Tidak ada

 Relevant Past Medical History:


TB paru

Drug Allergies:
Tidak ada
Tanda-tanda Vital tgl tgl tgl tgl tgl tgl
Tekanan darah (mmHg) 120/80
Nadi ( x/menit) 80
Suhu (0C) 36.5
RR ( x/menit) 18

Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
digunakan (literatur)
INH +
5 mg/ kg (PO/IM)/hari,
Rifampisin +
tidak melebihi 300
1 INH TB paru Ethambutol
mg/hari
digunakan
(Medscape,2018)
selama 2 bulan
INH +
10 mg/kg/hari PO tidak
rifampisin
2 Rifampisin TB paru melebihi 600
digunakan
mg/hari(Medscape,2018)
selama 7 bulan
INH +
Rifampisin + Untuk berat badan 40-
3 Ethambutol TB paru Ethambutol 55 kg 800 mg PO
digunakan (Medscape,2018)
selama 2 bulan
300-450 mg/hari PO
maintance= 100-
4 PTU antitiroid 3 kali 3 tablet
500/hari
(Medscape,2018)

LABORATORY TEST
Test (normal range) tgl tgl tgl
WBC (4000-10000/mm3)
Hb (L: 13-17 g/dL)
RBC (4-6x106/mm3)
Hct (L:40-54%)
PLT (150000-450000/mm3)
Gula darah puasa (76-110 mg/dL)
Gula darah 2 jam PP (90-130
mg/dL)
Total Kolesterol serum
LDL
HDL
TG
Uric acid (L:3,4-7 mg/dL)
Albumin (3,5-5,0 g/dL)
SGOT (0-35 u/L) 35 24,92 30,53
SGPT (0-37 u/L) 35 31,2 24,26
BUN (10-24 mg/dL)
Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl)
Natrium (135-15 mEq/L)
Kalium (3,5-5,0 mEq/L)
Biliruin total (mg/dL) 8,9 2,6 1,8
Bilirubin direk (mg/dL) 1,98 1,27
Bilirubin indirek
HbsAg Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
TSH Serum
T4 bebas
Total T3
CBC
T4 total
Uptake resin T3
Index tiroksin bebas
Leukosit (mm3) 15.150
ALP (U/L) 173 300,56 107

Further Information Jawaban


No Alasan
Required
4 tab 4 ADT, streptomysin
1000 mg inj>> 56 hari
Berapa dosis OAT yang 4 tab 4 ADT >> 28 hari
Untuk menentukan tata
1. digunakan dan obat apa yang 4 tab 2 ADT , 4 tab
laksana terapi
digunakan? etambutol >> 20 minggu
Penggunaan seminggu 3
kali
Untuk menentukan tata (-) merokok , (+) alcohol
2. Bagaimana lifestyle pasien?
laksana terapi sehari segelas (5 %)
TSH = 0,2 mUI/L
Untuk menentukan tata T3= 400 ng/dL
Bagaimana labotary test seprti
3. laksana terapi T4 total= 20 mcg/dL
TSH, T3, T4 total, T4 bebas?
T4 bebas = 3 ng/dL
INR = 2
Untuk menentukan tata Tidak ada
4 Riwayat alergi obat ?
laksana terapi
Untuk menentukan tata Tidak ada
5 Riwayat penyakit hati?
laksana terapi

Problem List (Actual Problem)


Medical Pharmaceutical
1 DILI-TB 1
2 TB paru relaps 2
3 Hipertiroid 3
4 Nausea 4
5 Vomitus 4
6 Jaundice 4
7 Batuk berdahak 7
PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)
Pasien dengan keluhan sejak 1 minggu lalu mengalami jaundice sebelum masuk
rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus. Pasien mengeluhkan adanya batuk
berdahak warna kuning yan sudah semakin membaik dan hipertiroid. Riwayat demam,
keringat malam, hemoptoisis, BAK kemerahan dan penurunan TB paru dan mendapat
OAT (tablet dan injeksi), dan 2 minggu kemudian muncul jaundice, 2 tahun yang lalu
pasien juga sudah pernah mendapatkan OAT (tablet) dannsudah dinyatakan sembuh
oleh dokter.
- Objective (signs)
1. Tanda tanda vital
Tanda-tanda Vital tgl
Tekanan darah 120/80
Nadi 80
Suhu 36.5
RR 18

2. tes labotarium

Tes labotarium

SGOT (0-35 u/L) 35 24,92 30,53


SGPT (0-37 u/L) 35 31,2 24,26
Biliruin total (mg/dL) 8,9 2,6 1,8
Bilirubin direk 1,27
1,98
(mg/dL)
HbsAg Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
Leukosit (mm3) 15.150
ALP (U/L) 173 300,56 107

3. diagnosis
DILI dan TB paru relaps

4. pemeriksaan fisik
sklera ikterik dan pada thorax ronki basah di seluruh lapangan paru kiri.
Assesment (with evidence)

1. Berdasarkan FIR obat dan dosis yang digunakan pasien sebelumnya adalah :
a) 4 tab 4 ADT dan streptomysin 1000 mg injeksi selama 56 hari
b) 4 tab 4 ADT selama 28 hari
c) 4 tab 2 ADT , 4 tab etambutol selama20 minggu
d) Penggunaan seminggu 3 kali sehari
2. Berdasarkan FIR lifestya pasien adalah :
a) Pasien tidak merokok
b) Pasien meminum alcohol segelas sehari dengan kadar alcohol 5 %
3. Berdasarkan FIR tes labotarium tambahan :
a) TSH = 0,2 mUI/L
b) T3= 400 ng/dL
c) T4 total= 20 mcg/dL
d) T4 bebas = 3 ng/dL
e) INR = 2
4. Berdasarkan tes labotarium yang sudah ada dan ditambahkan tes labotarium
dalam FIR tipe DILI yang dialami pasien adalah tipe kolestatis karena
berdasarkan algoritma (Vélez et al., 2016) adanya gejala yang berhubungan
dengan kerusanakan hati seperti jaundice atau bilirubin total lebih 3 kali diatas
batas atas normal atau INR diatas 1,5 kali diatas batas normal. Pada kasus ini
pasien mengalami jaundice dan bilirubin total lebih 3 kali diatas batas normal
(0,3 -1,9 mg/dL) yaitu 8,9 mg/dL sehingga tipe DILI pada pasien ini adalah
tipe Kolestasis.
5. Peningkatan bilirubin dan jaundice diakibatkan karena adanyan kombinasi
OAT yaitu Rifampicin, INH dan PZA. Kombinasi OAT tersebut lebih
hepatotoksik daripada rifampicin tunggal maupun INH tunggal (Abidin,
Keliat, & Zubir, n.d.) (Ramappa & Aithal, 2013) sehingga terapi sebaiknya
dihentikan pada saja salah satunya misalnya rifampisin atau INH. Pada sebiah
penelitian rifampicin lebih dipilih untuk dihentikan dan hanya melanjutkan 3
KDT yaitu ethambutol, INH, streptomycin selama 2 bulan dan INH +
ethambutol selama 10 bulan (Ramappa & Aithal, 2013)
6. Pada kasus TB paru relaps dilakukan pemberian levofloksasin untuk tambhan
untuk KDT (Ho & Yu, n.d.)
7. Pada penggunaan obat PTU, obat dihentikan, pada sebuah penelitian
menemukan insiden yang sangat tinggi dari peningkatan nilai transaminase
dengan PTU dibandingkan dengan methimazole. Hepatotoksisitas yang
diinduksi oleh methimazole biasanya berkembang dalam beberapa minggu
pertama konsumsi obat dengan perkiraan kejadian 0,1- 0,2%.(Heidari,
Niknahad, Jamshidzadeh, & Abdoli, 2014) Sehingga untuk pengobatan
hipertiroid dilanjutkan setelah ada perbaikan pada organ hati.
Plan (including primary care implications)

Terapi farmakologi
Prpblem/medical Intervensi Bentuk dosis keterangan
sediaan
DILI-TB ethambutol Tablet 250 mg Ethambutol +INH +
INH Tablet 300 mg streptomycin selama
Streptomycin Injeksi 1,5 gr 2 bulan,
INH + ethambutol
selama 10 bulan

TB paru relaps levofloksasin Tablet 300


mg/hari
Hipetiroid metimazole Tablet 15mg/hari
PO setiap 8
jam

Terapi non farmakologi


Hentikan minum alkohol
Makan makanan yang bergizi sseperti sayur-sayuran
Monitoring

Medical/problem Intervensi Monitoring Efek samping


DILI-TB INH ALP, jaundice Neuropati perifer,
psikosis toksik,
gangguan fungsi
hati, kejang (RI,
2014)
Streptomycin Flu syndrome,
gangguan
gastrointestinal,
urine berwarna
merah, gangguan
fungsi hati,
trombositopeni,
demam, skin rash,
sesak nafas, anemia
hemolitik(RI, 2014)
Ethambutol Gangguan
penglihatan, buta
warna, neuritis
perifer(RI, 2014)
TB paru relaps levofloxacin Pemeriksaan dahak Mual, muntah, sakit
secara mikroskopis kepala, sulit tidur,
(sewaktu dan pagi) rupture tendon(RI,
2014)
Hipertiroid metimazole TSH, T3, T4 total, Vertigo aplastic
T4 bebas anemia,
agranulocytosis
(Medscape,2018)

Catatan :
1. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.. Untuk
memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji
dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (RI, 2014)
2. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan
apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif,
pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila
hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan
selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir
pengobatan. (RI, 2014)
2. Form Medication Record

Nama Pasien Tanggal Waktu Nama Obat Dosis Obat Alergi Obat dan Tanda
Diberikan Obat Pemberian Obat Reaksi Alergi Tangan
Apoteker
INH 250 mg Tidak ada KN

Ethambutol 300 mg Tidak ada


Pagi
S 18 februari 2016
streptomyxin 1,5 gr Tidak ada

Levofloxacin 300 mg Tidak ada


Pagi,siang,malam methimazole 5 mg Tidak ada
3. Form Medication Reminder

Nama Pasien : S Dokter Pemeriksa : Dr, KKN, Sppd


Umur : 54 tahun Apoteker : KN, S.Farm., Apt

Bulan / Tahun
Nama Wakt
(Tanggal Pemberian Obat)
Obat u
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

INH Pagi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Siang

Sore

Mala
m

Ethambut Pagi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ol
Siang

Sore

Mala
m

Pagi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
streptomy Siang
cin
mala
m

Levofloxa Pagi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
cin
Siang

mala
m

methimaz Pagi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ole
Siang √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

mala √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
m
F. KESIMPULAN
1. Cedera hati yang diinduksi obat (DILI) didefinisikan sebagai cedera hati
yang disebabkan oleh paparan obat atau agen beracun non-infeksius, dan
ini terkait dengan berbagai tingkat disfungsi organ.
2. Secara patofisiologiik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati
dibekdakan atas dua golongan yaitu hepatoksin yang predictable dan yang
unpredictable
3. Terapi efek hepatotoksik diri dari penghentian segera obat-obatan yang
dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid,
meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontro. Demikian juga
ursodiol pada keadaan kolestatik.
4. Pada Kasus obat-obat yang akan digunakan adalah
a) Ethambutol, INH, Streptomycin untuk pengobatan TB-DILI
dengan memantau kadar ALP dan jaundice
b) Levofloksasin untuk pengobatan TB paru relaps dengan memantau
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis (sewaktu dan pagi)
c) Metimazole untuk pengobatan Hipertiroid dengan memantau TSH,
T3, T4 total, T4 bebas
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A., Keliat, E. N., & Zubir, Z. (n.d.). DRUG INDUCED LIVER INJURY
TIPE KOLESTASIS AKIBAT RIFAMPISIN, 1–11.

Bonkovsky HL. Drug-induced liver injury. In: Boyer, TD, Teresa LW, Michael PM,
editors. Zakim and Boyer’s hepatology: A textbook of liver disease. 5th ed.
USA: Elsevier; 2006. p. 503-38.

Benvie. Hepatoksisitas Obat. 2009. tersedia pada http://doctorology.net/?p=31.


Diakses pada tanngal 6 juli 2018

Chalasani, N. P., Hayashi, P. H., Bonkovsky, H. L., Navarro, V. J., Lee, W. M., &
Fontana, R. J. (2014). ACG Clinical Guideline: The Diagnosis and
Management of Idiosyncratic Drug-Induced Liver Injury. The American
Journal of Gastroenterology, 109(7), 950–966.
https://doi.org/10.1038/ajg.2014.131

Dipiro, J. T., L.Talbert, R., C.yee, G., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L. M.
(2008). Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach seventh edition.

Fontana, R. J., Watkins, P. B., Bonkovsky, H. L., Chalasani, N., Davern, T.,
Serrano, J., & Rochon, J. (2009). Drug-induced liver injury network (DILIN)
prospective study: Rationale, design and conduct. Drug Safety, 32(1), 55–68.
https://doi.org/10.2165/00002018-200932010-00005

Heidari, R., Niknahad, H., Jamshidzadeh, A., & Abdoli, N. (2014). Factors
affecting drug-induced liver injury: antithyroid drugs as instances. Clinical
and Molecular Hepatology, 20(3), 237.
https://doi.org/10.3350/cmh.2014.20.3.237

Ho, C., & Yu, C. (n.d.). The Safety of Levofloxacin in Tuberculosis Treatment
Including Drug-induced Hepatotoxicity, (7), 25–31.

Jong, E., Conradie, F., Berhanu, R., Black, A., John, M.-A., Meintjes, G., &
Menezes, C. (2013). Consensus statement: Management of drug-induced liver
injury in HIV-positive patients treated for TB. Southern African Journal of
HIV Medicine, 14(3), 113. https://doi.org/10.7196/sajhivmed.976

Kullak-Ublick, G. A., Andrade, R. J., Merz, M., End, P., Benesic, A., Gerbes, A.
L., & Aithal, G. P. (2017). Drug-induced liver injury: Recent advances in
diagnosis and risk assessment. Gut, 66(6), 1154–1164.
https://doi.org/10.1136/gutjnl-2016-313369

Marrone, G., Vaccaro, F. G., Biolato, M., Miele, L., Liguori, A., Araneo, C., …
Grieco, A. (2017). Drug-induced liver injury 2017: the diagnosis is not easy
but always to keep in mind. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences, 21(1 Suppl), 122–134.

Ramappa, V., & Aithal, G. P. (2013). Hepatotoxicity Related to Anti-tuberculosis


Drugs: Mechanisms and Management. Journal of Clinical and Experimental
Hepatology, 3(1), 37–49. https://doi.org/10.1016/j.jceh.2012.12.001

RI, K. K. (2014). PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS.


Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.

Suk, K. T., & Kim, D. J. (2012). Drug-induced liver injury : present and future,
249–257.

Tajiri, K., & Shimizu, Y. (2008). Practical guidelines for diagnosis and early
management of drug-induced liver injury. World Journal of Gastroenterology,
14(44), 6774–6785. https://doi.org/10.3748/wjg.14.6774

Vélez, L., Muñoz, N., & Germán, O. (2016). Hepatotoxicidad: patrón colestásico
inducido por fármacos. Revista Colombiana de Gastroenterologia, 31(1), 36–
47. Retrieved from
http://www.scielo.org.co/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0120-
99572016000100006&lang=pt

Walker, R., & Whittlesea, C. (2012). Clinical pharmacy and therapeutics. Trends
in Pharmacological Sciences (Vol. 16). https://doi.org/10.1016/S0165-
6147(00)88981-6

Anda mungkin juga menyukai