Anda di halaman 1dari 29

BACA PUSTAKA

DIVISI ALERGI & IMUNOLOGI

PENYAKIT LUPUS AKIBAT OBAT


Drug-Induced Lupus Eritromatosus (DILE)
A.Husni Esa Darussalam
Departement Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin/ RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar

PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erytematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronik


yang melibatkan beberapa sistem organ, dan dapat berujung pada morbiditas yang
bermakna bahkan kematian.1 SLE merupakan penyakit autoimun multiorgan yang
memiliki karakteristik yaitu adanya kemerahan (flare-up) serta remisi. Etiologi
dan manifestasi klinis dari SLE beragam pada tiap pasien, begitu pula dengan
komplikasi dan outcome klinis nya. Penyakit ini juga melibatkan interaksi antara
genetik, hormon dan faktor lingkungan.2
Lupus erythematosus yang diinduksi obat Drug-Induced Lupus
Eritromatosus (DILE) adalah kelainan autoimun yang manifestasi klinisnya dapat
berupa artralgia, mialgia, kelelahan, dan serositis. Drug-Induced Lupus
Eritromatosus (DILE) terjadi oleh karena pajanan obat yang lama, biasanya
berbulan-bulan setelah mengkonsumsu obat. Obat yang paling umum yang
menyebabkan DILE adalah hydralazine, procainamide, isoniazid, minocycline,
diltiazem dan inhibitor TNF.
Obat-obatan juga dapat menyebabkan subakut kulit lupus erythematous
(DISCLE) subakut, yang memiliki temuan kulit dominan. Obat klasik yang
terkait dengan DISCLE adalah hidroklorotiazid. Obat-obatan yang berisiko tinggi
untuk menginduksi DISCLE termasuk terbinafine (rasio odds 53), antagonis TNF
(OR 8), anti-epilepsi (OR 3.4), dan proton pump inhibitor (PPI) (OR 2.9). Obat

1
lain yang secara klasik dikaitkan dengan DISCLE termasuk NSAID, calcium
channesl blockers (CaCB), dan ACE inhibitor. Obat-obatan yang dapat
menyebabkan DiSCLE dan DLE termasuk terbinafine, antagonis TNF, dan anti-
epilepsi. [4] [5]

Drug-Induced Lupus Eritromatosus (DILE) berbeda secara klinis dari SLE. DILE
cenderung memiliki kerusakan organ akhir lebih sedikit daripada SLE, dan
keterlibatan sistem saraf pusat dan ginjal (SSP) jarang terjadi. Beberapa obat yang
menyebabkan lupus yang diinduksi oleh obat adalah pengecualian penting:
hydralazine, penicillamine, dan penghambat TNF-alpha biasanya melibatkan
ginjal sementara minocycline telah dikaitkan dengan peningkatan keterlibatan
hati. Temuan kulit juga kurang umum pada DILE dibandingkan dengan SLE, dan
DILE cenderung kurang fotosensitif daripada SLE dengan pengecualian obat yang
diketahui menyebabkan fotosensitifitas, seperti thiazide diuretik yang diinduksi
lupus eritematosa subakut. Selain itu, DILE biasanya menunjukkan insiden
purpura dan eritema nodosum yang lebih tinggi dan memiliki insiden Raynaud
yang lebih rendah dibandingkan SLE. [6]

yang mengancam nyawa. Karena itu pendekatan diagnosis yang tepat


merupakan hal yang sangat penting. Dalam referat ini akan dibahas mengenai
epidemiologi, klasifikasi, mekanisme, diagnosis dan tatalaksana DILI (Mehta,
dkk. 2010).

DEFINISI
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan
hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh pajanan
obat zat sintetik, tanaman, ataupun zat kimia asing lainnya yang dapat dibuktikan
tanpa adanya penyebab lain dari merupakan kerusakan hati. Food and Drug
Administration- Center for Drug Evaluation and Research (2001) mendefinisikan
kerusakan hati sebagai peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT/SGPT)

2
lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal, dan peningkatan kadar alkali
phosphatase lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal, atau peningkatan
kadar total bilirubin lebih dari dua kali batas atas nilai normal jika berkaitan
dengan peningkatan alanine aminotransferase atau alkaliphospatase (Kapolwitz,
2004; Bayupurnama, 2010).

EPIDEMIOLOGI
DILI merupakan penyebab kelainan hati yang sangat jarang pada anak.
Insiden kelainan hati akibat obat (drug-induced liver injury/DILI) diperikirakan
sebesar 14 – 19 per 100.000 orang. Namun, insiden masih diragukan karena masih
banyak kasus DILI yang tidak dilaporkan. DILI telah dilaporkan menyebabkan
gagal hari akut, dimana 14% kasus penyebabnya adalah acetaminophen dan obat
lainnya hanya sebesar 5% dalam penelitian serial terbesar yang dilakukan oleh
the Pediatric Acute Liver Failure Study Group. Sebagian besar kasusu yang
dilaporkan berhubungan dengan penggunaan antibiotik dan antikonvulsi. Kasus
DILI telah dilaporkan menyebabkan gagal hati fulminan yang menyebabkan
kematian sebanyak 13 – 30%. WHO melaporkan penggunaan acetaminophen
merupakan penyebab DILI terbanyak yaitu 16.9% dikuti dengan penggunaan obat
anti HIV (stavudin, didanosine, nevirapine, zidovudin) sebanyak 16.8%.
(Meleston dkk, 2011; Squires dkk, 2006; Murray, 2008)

PATOFISIOLOGI KELAINAN HATI AKIBAT OBAT


Metabolisme Obat Di Hati
Metabolisme toksin dan obat pada hati dikatalisis oleh tiga kelas enzim:
Oksidoreduktase, hydrolase, dan transferase. Ada dua jenis reaksi yang terjadi,
pertama pembentukan hidroksil, karboksil atau amino pada molekul obat, dan
kedua adalah proses konjugasi obat. Proses pertama adalah reaksi oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis sehingga obat mudah dikonjugasi. Konjugasi biasanya akan

3
menghasilkan glukoronida. Yang memegang peranan dalam metabolisme ini
adalah sitokrom P450. Reaksi fase 2 (reaksi konjugasi), disini zat yang polar
meliputi asetat, asam amino, sulfat, asam glukuronat, dan glutation berikatan
secara kovalen dengan obat. Reaksi fase 2 ini kadang bekerja sebagai substrat obat
yang telah dimetabolisme lewat fase 1 dan reaksi ini akan meningkatkan kelarutan
obat. Banyak zat yang dapat langsung mengalami metabolisme tipe 2 tanpa
mengalami reaksi tipe 1. Seperti yang didiskusikan sebelumnya reaksi tipe 1
mengakibatkan pembentukan metabolit yang lebih aktif secara kimia dan
mengakibatkan kerusakan sel. Fungsi fase 2 adalah melemahkan produk
metabolisme reaksi tipe 1 ini dengan pengikatan bahan yang polar (contoh:
glutation), atau dapat juga hasil metabolisme obat induk pada reaksi tipe 1
(Kaplowitz dkk, 2007; Schiodt VF, Lee WM, 2003)

Gambar 1. Metabolisme obat (Smith, 2015)

Sitokrom P450
Enzim sitokrom P450 disebut juga P-450 atau CYPs (diucapkan sips)
terletak di retikulum endoplasmik merupakan keluarga enzim metabolisme tipe 1
yang paling penting, terdapat sekitar 10 famili gen yang mengatur enzim ini pada
mamalia. Isoenzim P-450 yang sangat penting dalam metabolisme obat berasal
dari famili 1, 2 dan 3 dinamakan CYP1, CYP2, CYP38,10 ,dan subfamily yang
ditandai oleh huruf kapital. Setiap subfamily pada umumnya memiliki banyak
jenis yang ditandai dengan angka arab biasanya menggambarkan urutan dimana

4
ditemukan. Sitokrom 450 adalah hemoprotein yang banyak terdapat di hati.
Metabolismenya sendiri mempunyai peranan terhadap produksi bilirubin.
Sitokrom C reduktase adalah suatu flavoprotein. Enzim ini memberikan elektron
kepada sitokrom P450 dan akan menghasilkan reduksi dari sitokrom P450 serta
menghasilkan sitokrom P450 oksidasi, oksidasi obat, dan H 20. Tiga hal penting
dalam sistem P-450 yang berhubungan dengan hepatitis imbas obat adalah: (a)
Heterogenitas genetik, yang memainkan peran penting dalam jenis produk enzim
yang dihasilkan. (b) Variasi pada aktivitas spesifik enzim P-450, variasi ini
bergantung kepada penginduksi ataupun penghambat enzim seperti yang telah
dijelaskan di atas. (c) Inhibisi Kompetitif, obat-obatan yang memiliki spesifiksitas
yang sama untuk biotransformasi dapat secara kompetitif mengurangi
biotransformasinya. Hal ini dapat mengakibatkan akumulasi obat dalam darah
maupun jaringan yang dimetabolisme oleh P-450. Contoh: orang yang
mendapatkan terapi imunosupresan siklosporin dan obat jamur ketokonazol akan
mengalami akumulasi siklosporin karena ketokonazole menginhibisi kerja P-450-
3A (Kaplowitz, 2007).

Mekanisme DILI
Terdapat dua mekanisme terpisah pada kelainan hati akibat obat yaitu:

1. Hepatotoksisitas langsung

Mekanisme kejadian DILI untuk beberapa jenis obat telah diketahui


sampai pada tingkat molekuler. Mekanisme terjadinya kerusakan hati yang telah
diketahui adalah (Schiodt VF, Lee WM, 2009; Lee WM, 2003):

a. Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan
gangguan aktin dimana terjadi kegagalan perakitan benang-benang aktin
dipermukaan hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport
Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat
mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan

5
gangguan pompa transport, sehingga menghambat eksresi bilirubin
menyebabkan kolestasis.
c. Aktivasi sel T sitolitik
Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen,
mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifase.
d. Apoptosis hepatosit
Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor FAS TNF α menyebabkan
berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel
terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria
Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada α-
oksidasi (mempengaruhi produksi energy dengan cara menghambat
sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide adenine
flavine, yang menyebabkan menurunnya produksi ATP) dan enzim rantai
respirasi.
f. Kerusakan duktus billiaris
Metabolit racun yang di eksresikan di empedu dapat menyebabkan
kerusakan epitel ductus billiaris.

6
Gambar 2. Mekanisme Hepatotoksisitas (Lee VM, 2003)
2. Efek samping obat (idiosinkrasi).

Kerusakan hati idiosinkrasi hanya terjadi pada sebagian kecil pengguna


obat. Penyebabnya adalah kerentanan pasien terhadap obat yang digunakan, bukan
karena efek toksik. Reaksi idiosinkrasi obat terjadi karena reaksi imunologis
(hipersensitivitas) atau metabolik. Pada idiosinkrasi metabolik terjadi karena
adanya metabolisme obat yang menyimpang pada orang yang bersangkutan yang
menyebabkan kelainan hati. Reaksi hipersensitivitas diduga timbul pada anak
dengan demam, ruam, dan eosinofilik serta secara histologis ditemukan inflamasi
hati eosinofilik atau granulomatosa (Robert, 1991; Colon , 1990; Rosalina I,
2015).

Kerusakan hati karena idiosinkrasi metabolik adalah kecenderungan


pengguna obat tersebut. Karena kecenderungan pengguna obat tersebut
memproduksi metabolik toksik lebih banyak dari pengguna obat pada umumnya.

7
Idiosinkrasi imunologis bergantung pada metabolit aktif yang dihasilkan yang
dapat berperan sebagai hapten. Konversi obat menjadi metabolik toksik dapat
berupa radikal bebeas, radikal bebas, radikal elektrofilik, atau oksigen teraktivasi.
Adanya radikal bebeas berlebihan ini akan mengakibatkan kerusakan peroksidasi
pada membran lipid. Pembentukan radikal elektrofilik akan terikat secara kovalen
pada molekul membran sel dan akan menganggu fungsi serta menyebabkan sel
menjadi nekrosis. Metabolik elektrofilik juga dianggap dapat terikat secara
kovalen dengan protein dan memproduksi neo-antigen yang menyebabkan reaksi
idiosinkrasi imunologis (Robert, 1991; Colon , 1990; Rosalina I, 2015).

Gambar 3. Mekanisme seluler drug induced liver injury

Tabel. 1 Perbedaan karakteristik antara efek toksik langsung (hepatotoksik) dan


efek idiosinkrasi

8
FAKTOR RISIKO KELAINAN HATI OLEH OBAT
 Faktor Host (Kaplowitz, 2007):
o Usia : Peningkatan usia meningkatkan risiko kerusakan hati,
kecuali pada penggunaan asam valproat dan eritomisin dominan
menyebabkan hepatotoksisitas pada anak .
o Ras : beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras
tertentu, misalnya: ras kulit hitam akan lebih rentan terhadap
toksisitas isoniazid
o Jenis Kelamin: lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-
laki, mekanismenya belum diketahui
o Malnutrisi: berkaitan rendahnya simpanan glutation
o Obesitas
o Diabetes melitus : berkaitan dengan rendahnya simpanan glutation.
o Faktor genetik: perbedaan genetik pada enzim sitokrom p450
menyebabkan reaksi abnormal pada obat, termasuk reaksi
idiosinkratik.
o Penyakit hepar : berkaitan dengan berkurangnya enzim sitokrom
p45.

9
 Faktor lingkungan (Kaplowitz, 2007):
o Merokok
o Konsumsi alkohol
o Episode terjadinya infeksi dan inflamasi
 Faktor yang berkaitan dengan obat yang digunakan (Kaplowitz, 2007)
o Formulasi obat : obat long-acting lebih menyebabkan kerusakan
hati dibandingkan dengan obat-obatan short acting
o Dosis perhari
o Interaksi obat dan penggunaan lebih dari satu macam obat,
misalnya pada penggunaan isoniazid dengan rifampisin dan
pirazinamid secara bersamaan akan meningkatkan efek
hepatotoksik dibanding jika hanya menggunakan isoniazid saja.

Tabel. 2 Faktor risiko kelainan hati akibat obat


OBAT FAKTOR RISIKO
Parasetamol Penggunaan alkohol jangka lama, puasa,
penggunaan fenobarbital dan isoniazid
Diklofenat Jenis kelamin wanita, osteoartritis, cytokine
polymorphisms (interleukin 4 dan interleukin
10)
Eritomisin Usia muda
Halotan Obesitas
Isoniazid HBV, HCV, HIV, alkohol, usia tua, jenis
kelamin wanita, rifampisin, N-acetyltransferase
2 dan polimorfisme CYPE1 .
Metotreksat Penggunaan alkohol jangka panjang, obesitas,
diabetes melitus, hepatitis kronik
Asam valproat Usia muda, penggunaan obat antiepilepsi
Troglitazon dan tacrin polimorfisme Glutation S-transferase
Flucloxacilin HLA-B 5701

Sumber: verma et.al, 2009

10
KLASIFIKASI

Kelainan hati akibat obat dapat diklasifikasikan berdasarkan (Marpaung B,


1990) :

1. Lamanya penyakit berlangsung yaitu akut dalam waktu beberapa hari atau
minggu, subakut dalam beberapa minggu atau bulan tetapi kurang dari tiga
bulan, dan kronik jika lebih dari tiga bulan.
2. Tipe kerusakan parenkim dan biochemical pattern of injury yaitu : (a).
hepatoseluler (peningkatan ALT), (b). kolestasis (peningkatan ALP dan
ALT), dan (c). campuran (peningkatan ALP dan bilirubin total) (Tabel 3)
3. Mekanisme terjadinya kerusakan hati yaitu reaksi yang dapat diduga yaitu
toksisitas intrinsik akibat melampui dosis toksis, dan reaksi yang tidak
terduga dan terjadi akibat idiosinkrasi/imunoalergik. Mekanisme kerusakan
hati akibat reaksi idiosinkrasi dapat dibedakan lagi menjadi reaksi imun yaitu
reaksi hipersensitivitas atau alergi obat, dan mekanisme terbentuknya produk
metabolit toksik melalui metabolisme anaerob atau idiosinkrasi metabolik.
Pada umumnya reaksi hipersensitivitas memberikan gambaran klinis berupa
demam, ruam kulit, arthralgia, eosinophilia atau sindroma Steven-Johnson.
Apabila pemberian obat tersebut terulang kembali (rechallenge) maka gejala
akan timbul lebih dini dan lebih berat. Contohnya adalah reaksi akibat
pemberian nitrofurantoin atau halotan. Obat yang menimbulkan idiosinkrasi
metabolik tidak menyebabkan gejala tipe alergik tetapi bermanifestasi sebagai
hepatitis akut.

Tabel 3. Klasifikasi kelainan hati akibat obat berdasarkan biochemical pattern of


injury

Tipe Profil fungsi Prognosis Jenis obat


enzimatik
Hepatoselular ALT ≥ 3 ULN Prognosis Aspirin, allopurinol, amidarone,
ALT/ALP ≥ 5 lebih berat ciprofloxacin, isonizid, ketokonazol,
losartan, metotrexat, nevirapine, NSAIDs,

11
parasetamol, protease inhibitor, pirazinamid,
rifampisin, risperidon, sertraline, statins,
asam valproat, venlafaxine
Kolestasis ALP ≥ 2 ULN Lebih Chlorpromazine, clopidrogel,
ALT/ ALP ≤ 2 cenderung amoxicilin/clavulanic acid, kotrimoksazol,
Peningkatan billirubin menjadi efavirens, eritromicin, nevirapine,
penyakit kontrasepsi oral, fenotizin, terbinafin
kronik
Campuran ALT > 3 ULN dan Lebih Amitriptilin, azatrioprin, cyclosporin,
ALP > 2 ULN cenderung carbamazepin, clindamisin, kotrimoksazol,
ALT/ALP antara 2 - 5 menjadi enalapril, eritomicin, phenobarbital, fenitoin,
penyakit sulfonamid, trazodone, verapamil
kronik
ALT = alanine aminotransferase, ULN= Upper limit of normal; ALP = Alkaline phosphatase.

Dikutip dari: US Gastroenterol Hepatol Rev.Authir manuscript: available in PMC 2011 dan
Navvaro VJ, sennior JR. Drug-related Hepatotoxicity N Engl J Med 2006:16;354(7):731-739.

Klasifikasi lainnya yang dikemukakan oleh Farrel dkk mengkategorikan


bentuk kelainan hati yang mungkin terjadi akibat obat antara lain (Tabel 4):

Tabel 4. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan

Type Kelainan AST/ALT AP Kolesterol Keterangan


I Nekrosis sel hati +4 +1 N/- Hepatitis-like
II Steatosis +2 +1 N/- Asimptomatik
Kolestasis:
- Hepatoseluler +1 +3 +2
III Obstruksi,
tergantung dosis
- Kanalikuli +1 +1 N/+

IV Kelainan vaskular +1 +1 N/+ Trombotik


Hipertensi portal dan
V Fibrosis +1 +1 N/-
sirosis
VI Granulomatosa +1 +1 N Asimptomatik
VII Neoplasma Bervariasi Jarang pada anak

Keterangan: (+) meningkat, (-) turun, N= Normal

12
Sumber : Farrel, 1990

Obat-obat yang tergolong hepatotoksik dapat dilihat dalam tabel 4 berikut


yang disusun menurut abjad, namun pada makalah ini yang dibahas secara khusus
adalah obat-obat yang banyak dipakai dan sering menyebabkan kelainan hati pada
anak.

Tabel 5. Daftar obat hepatotoksik

Nama obat Kelainan Nama obat Kelainan


Asetaminofen I, III Isoniazid I
Asetohexamin I Ketokonazol I
Allopurinol I, IV Levodopa I
Aminocaprooic acid I Majijuana I
Amidaron I, V Melarsoprol I
Amithiozine I, V Mephenitoin I, III
Ampicilin I Meprobamat I, III, V
Androgen III Mercaptopurine I
Amitriptilin I Methotrexat I, VI
Anabolic steroid III,IV Methoxyflurane I
Antimony potasium I Methyldopa I
Arsenic V Mithramycin III
Aspirin I, II Nafcilin I
Azothioprin I, IV Nicotinic acid III, IV
BCG I, V Nialamid I
Benoxaprofen I, III Nitrofurantoin I, III
Benzyl alkohol I, III Noertiptylin I
Carbamazepin I, III, V Oxacyllin I
Carbason I Papaverin I
Carisoprodol I Paraaminosalicilic-a I
Cephalothin I Penicillin I

13
Chlorambucil I,III,V Phenacemide I
Chloramphenicol I Phenazoppyridin I
Chloroform I Phenelzin I,III
Chlorothiazid I, III Phenobarbital I, VI
Chlorpromazin III Phenothiazin I
Chlorpropamide I, III Phenilbutazon VI
Chlorthalidone I, III Probenezid VI
Cimetidin III Procainamid III
Cinchopen I Procarbasin III
Clindamycin I Prochlorperazin III
Clometasin I, III Promethasin I, III
Coumarin I Prophoxypen I
Cyclopospamide I Propilthiourasil I
Cyclopropane I Pyrazinamid I
Dantrolene I Quinacrin I
Dapson I Quinidine I
Demecolcine III Ranitidin I
Diazepam I, III Rifampisin I
Diphenilhidatoin I Stilbamidin I, III
Disopyramin I Streptomycin I, III
Disulfiran I Sulfa I
Enfluran I Sulindae III
Erytromycin I, III Tapazol I
Estrogen I, II, III Testoteron III, V
Ecthlorvynol III Tetrasiklin III
Ethionamide I Thiabendazol III
Ethotion I Thioguanin I, V
Fluroxene I Thioridazin I, III
Gold I Ticrinafen I, III
Griseovulvine III Tolbutamid I

14
Halotan I Total parenteral nutrisi I
Hycantone I Triaclyoleoandromycin I
Imipramin III Trifluoferazin I
Indometasin I Trimeprazin III
Iodine I Trimethadion I, VII
Iodipamide I Trimetoprisulfameto I, II, III
Iopanoic acid I Urethan I
Iproniazid I Valproat I
Isocarboxazid I Zaxazolamin I
Sumber: Farrel. 1990.

Aspirin

Hepatotoksik bergantung dengan dosis dan obat dan biasanya terjadi pada
pemberian dosis tinggi pada arthritis rheumatoid juvenil. Robert (1991)
melaporkan 10% kasus anak dengan demam rematik akut yang mendapat aspirin.
Pada anak perempuan lebih sering pada anak laki-laki (Farrel, 1990; Robert EA,
1991).

Hepatotoksisitas karena aspirin ditandai oleh kadar aspirin dalam serum


yang melebihi 25 mg/dl dan sering meningkatkan kadar enzim transaminase.
Kadar aspartat aminotransferase dan/atau alanin aminotrasferase meningkat dan
timbul eosinofilia. Adanya bentuk kelainan seperti hepatitis, anoreksia, mual,
muntah, dan nyeri perut, dan hepatomegali. Pada kasus overdosis dan progresif
terjadi ikterus dan pada biopsi terlihat infiltrasi sel mononuklear dan sel-sel
nekrosis. Dengan mikroskop elektron terlihat mitokondria edem (Farrel, 1990;
Robert EA, 1991).

15
Asetaminofen

Asetaminofen (parasetamol) merupakan derivat para-amino-fenol yang


mempunyai efek antipiretik dan analgetik, sering dipakai untuk anak.
Hepatotoksik dapat terjadi dengan pemberian dosis tinggi sehingga dapat
menimbulkan kerusakan hati (Robert EA, 1991; Poley, 1993).

Kerusakan hati akibat asetaminofen disebabkan oleh suatu metabolitnya


N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) yang sangat reaktif. Pada keadaan
normal produk reaktif ini dengan cepat berikatan dengan glutation di hati
sehingga menjadi bahan yang tidak toksik. Akan tetapi pada keadaan kelebihan
dosis produksi NAPQI yang bertambah dan tidak sebanding dengan kadar
glutation, NAPQI berikatan membentuk makromolekul dengan sel hati yang
mengakibatkan nekrosis sel hati (Robert EA, 1991; Poley, 1993).

Dosis toksik terjadi bila pemakaiannya lebih dari 160 mg/kgBB/hari.


Namun pada individu yang sama, dosis toksik dapat terjadi pada pemakaian dalam
batas dosis terapi. Hal ini berhubungan dengan menurunnya kadar glutation pada
keadaan kelaparan dan kurang gizi dan dapat juga terjadi pada penggunaan
alkohol. Dikatakan bahwa pada anak berusia di bawah 12 tahun, sifat hepatotoksik
dari asetaminofen berkurang jika dibandingkan dengan anak yang lebih besar. Hal
ini disebabkan karena kadar sitokrom P-450 yang rendah sehingga metabolisme
asetaminofen juga berkurang (Robert EA, 1991; Poley, 1993).

Isoniazid

Isoniazid menyebabkan kira-kira 7% kelainan hati pada anak. Hal ini


jarang terjadi pada bayi dan insiden akan meningkatkan dengan bertambahnya
usia. Diakatakan bahwa INH dapat menyebabkan hepatitis pada pemakaian lama.
Kira-kira 10% - 20% kasus akan mengalami gangguan fungsi hati pada
pemakaian lama dengan dosis 10 mg/kgBB/hari sedangkan dengan dosis 3 -5
mg/kgBB/hari angka ini akan turun hingga 2%. Efek toksik obat ini disebabkan
oleh metabolisme asetilat menjadi asetil isonoazid dan asetil hidralazin (Robert
EA, 1991; Poley, 1993).

16
Menurut Sherlock (1993) hal tersebut di atas kemungkinan disebabkan
reaksi imunologis namun tidak dijumpai adanya manifestasi alergi. Kombinasi
isoniazid dengan obat seperti rifampisin, obat anestesi, dan alkohol menambah
resiko terjadinya toksisitas (Sherlock, 1993; Olson, 1994).

Peningkatan kadar transaminase dalam serum sering didapatkan dalam 8


minggu pertama pengobatan dengan isoniazid secara terus menerus. Hal ini
biasanya tanpa gejala, oleh karena itu pemeriksaan transaminase serum sebagai
monitor perlu sebelum dimulai dan 4 minggu berikutnya setelah pengobatan
dengan isoniazid. Bila didapatkan hasil yang meningkat maka pemeriksaan
ditingkatkan menjadi setiap minggu dan bila didapatkan hasil yang meningkat
maka pemeriksaan ditingkatkan menjadi setiap minggu dan bila cenderung
meningkat hingga akan menimbulkan terjadinya resiko maka pengobatan harus
dihentikan (Sherlock, 1993; Olson, 1994).

Rifampisin

Rifampisin diekskresi melalui saluran empedu. Obat ini dapat


menyebabkan hiperbillirubinemia, baik terkonjungasi maupun yang tak
terkonjungasi. Rifampisin biasanya dikombinasikan dengan INH untuk digunakan
pada penderita tuberculosis, dan keduanya bersifat hepatotoksik. Mekanismenya
tidak diketahui, kemungkinan melalui induksi enzim (Sherlock, 1993; Robert,
1991).

Metotreksat

Efek hepatotoksik dari metotreksat sama seperti pada dewasa dimana pada
dosis rendah dan pemakaian lama biasanya menyebabkan kelainan berupa
steatosis dan fibrosis. Tetapi pada pemakaian dosis tinggi pada pengobatan kanker
dapat mengakibatkan hepatitis akut. Mekanisme hepatotoksik meotreksat tidak
diketahui. Sangat berhubungan dengan dosis dan lama pemakaian (Sherlock,
1993; Robert, 1991).

Kloramfenikol

17
Kloramfenikol dalam beberapa kasus dilaporkan dapat menyebabkan
ikterus yang berhubungan dengan nekrosis sel hati. Mekanisme terjadinya tidak
jelas, tetapi dikatakan kerusakan hati bersamaan dengan terjadinya kerusakan
sumsum tulang (Sherlock, 1993; Robert, 1991).

Ampisilin

Nekrosis sel hati akibat rifampisin telah dilaporkan pada 1 kasus, terjadi
setelah 15 hari pengobatan dengan ditandai adanya ruam dan eosinofilia dan
berakhir fatal (Sherlock, 1993).

MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis

Gejala klinis kelainan hati akibat obat, antara lain (Tajiri K, Shimizu Y,
2008; Chughlay dkk, 2015, Chalasani dkk, 2014).

- Badan lemas
- Nafsu makan menurun
- Mual
- Muntah
- Nyeri perut atau nyeri perut kanan atas
- Ikterus
- Gambaran hipersensitivitas obat, seperti: demam dan rash.
- Urin seperti teh
- Diare

Karakteristik gambaran klinis kelainan hati akibat obat yang dimediasi


reaksi imun dan non imun

18
Tabel 7. Perbedaan karakteristik kelainan hati akibat obat yang dimediasi rekasi imun
dan non imun.

Karakteristik Immune mediated Non-immune mediated


(alergi) (non-alergik)
Laten periode 1 – 6 minggu 1 bulan – 1 tahun
Demam, rash, eosinofillia Ya Jarang
Berkaitan dengan dosis Tidak Mungkin

Sumber: Verma, 2009.

Gambaran klinis kelainan hati akibat obat yang paling mudah adalah
kerusakan hepatoseluler akut dan kolestasis intrahepatik (liat tabel 8).

 Kerusakan hepatoseluler akut sering berkaitan dengan gejala :


o Badan lemas, nyeri perut, ikterus, nafsu makan menurun, nausea
(mual), muntah, diare, dan urin seperti teh.
o Kadar alanin aminotransferase meningkat tajam dengan
peningkatan minimal kadar alkalifosfatase.
o Kombinasi ikterus gangguan fungsi hati (ditandai dengan
meningkatnya prothrombin time [PT] atau activated partial
thromboplastin time [APTT] serta ensefalopati mengindikasikan
gangguan hati berat.

Perkembangan gejala-gejala diatas kurang dari 26 minggu


merupakan ciri khas gangguan fungsi akut pada pasien tanpa sirosis
sebelumnya. Sindrom hepatoseluler akut mempunyai prognosis buruk bila
tidak dilakukan transplantasi hati.

 Penyakit kolestasis hati ditandai dengan ikterus dan gatal-gatal, dengan


kadar alkalifosfatase meningkat tajam di awal. Penyembuhan umumnya
sempurna tetapi membutuhkan waktu beberapa minggu atau bulan.

Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis biasanya ditemukan (Tajiri K, Shimizu Y, 2008;


Chughlay dkk, 2015, Chalasani dkk, 2014):

19
- Ikterus,
- Hepatomegali,
- Ascites,
- Spider naervi,
- Erithema palmar,
- Rash (ruam).

Pemeriksan Penunjang

Kelainan hati akibat obat dapat terlihat pada pemeriksaan laboratorium


berupa adanya abnormalitas tes fungsi hati yang merefleksikan penyebab dasar
(tipe) dari kelainan hepar. Pemeriksaan penunjang tersebut antara lain (Tajiri K,
Shimizu Y, 2008; Chughlay dkk, 2015, Chalasani dkk, 2014):

 Darah rutin (termasuk: eosinofil)


 Kimia darah : Aspartat aminotransferase (AST), Alanine aminotransferase
(ALT), Lactat dehydrogenase, ϒ-glutamil transpeptidase (ϒ-GTP),
Alkaline phosphatase (ALP), Total bilirubin (termasuk: bilirubin direct
and inderect), Albumin, Choline esterase (Cho), Total Kolesterol
 Coagulation test : Prothrombine time, INR
 Tes serologis: IgG, IgM, IgA, anti-nuclear antibody (ANA), Anti-
mitochondrial antibody (AMA or M2)
 Serologis virus: IgM Anti-HA, HbsAg, HCV-Ab, HDV-Ab, HEV, IgM
EBV, IgM-CMV
 Pemeriksaan pencitraan : Ultrasonography (USG) abdomen

Tabel 8. Gambaran Klinis, Laboratoris awal dan histopatologis kolestasis ekstrahepatik


dan intrahepatik
Gambaran Kolestasis ekstrahepatik Kolestasis intrahepatik
Batu empedu, primary Obat-obatan, hepatitis A,B,C,
sclerosis cholangitis, hepatitis akibat alkohol, total
Penyebab tersering
keganasan, pancreatitis kronik parenteral nutrition, sirosis
billiaris

20
Gambaran Klinis
Berat badan lahir (gram) 3.200 2.700
Warna tinja (% akolik) 79 26
Usia saat tinja akolik (hari) 16 30
Ukuran abnormal atau
konsistensi hepar (%)
Biopsi
- Fibrosis portal (% positif) 94 47

- Proliferasi duktus biliaris


86 30
(% positif)
- Trombus billiaris
63 1
intraportal (% positif)
Laboratorium
Billirubin total (mg/dl) 10.2 ± 4.5 12.1 ± 9.6
Billirubin direk (mg/dl) 6.2 ± 2.6 8.0 ± 6.8
SGOT < 5 x normal >10 x normal / > 800 U/L
SGPT < 5 x normal >10 x normal / 800 U/L
ϒ-GT >5 x normal < 5 x normal atau normal
Sumber: Moyer & Balistreri, 1991 ; Whitington, 1996

DIAGNOSIS

Diagnosis kelainan hati akibat obat berdasarkan International Consensus


Criteria:

1. Waktu antara mulai minum obat sampai gejala reaksi nyata muncul
umumnya 5 – 90 hari
2. Reaksi sesudah penghentian obat berupa penurunan enzim hati paling
tidak 50% dari konsentrasi diatas batas normal terjadi dalam 8 hari
3. Penyebab lain gangguan fungsi hati harus didsingkirkan dengan
pemeriksaan teliti termasuk infeksi hepatitis karena virus, bakteri, alkohol,
hepatitis autoimun, penyakit traktus billiaris, dan gangguan hemodinamik
4. Dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama,
setidaknya kenaikan dua kali lipat kadar enzim hati.

21
Kunci untuk mendiagnosis DILI adalah (1) waktu pajanan ke onset
munculnya gejala, (2) gejala klinik yang dapat muncul berupa perasaan lemas,
mual-muntah, nyeri perut sebelah kanan dan lain-lain (3) waktu dan lamanya
penyembuhan (4) faktor resiko spesifik (5)menyingkirkan penyebab lain
kerusakan hati, (6) adanya laporan sebelumnya tentang reaksi kerusakan hati
akibat pemakaian obat tersebut (7) diagnosis DILI dapat diperkuat dengan
melakukan uji coba dengan pemberian obat yang sama pada beberapa kasus
(rechalengge) (8) dilakukan pemeriksaan biopsi hati, walaupun keseluruhan
elemen ini tidak harus selalu tersedia semua atau terkadang ada yang tidak sesuai
(Furhoff AK, 1978).

Terdapat beberapa metode diagnostik yang digunakan untuk membantu di


dalam mendiagnosis DILI diantaranya adalah The Naranjo Adverst Drug Reaction
Probabillity Scale (NARDPS) yang digunakan untuk menilai reaksi efek samping
obat, The Council for International Organization of Medical Sciences or Roussel
Uclaf Causality Assesment Method (CIOM/RUCAM), Maria and Victorino
(M&V), dan di Jepang terdapat skala diagnostik yang digunakan untuk
mendiagnosis DILI berdasarkan kriteria CIOMS/RUCAM dengan menambahkan
“Drug-lymphocyte stimulation test” (DLST) yang disebut Digestie Disease Week
Japan (DDW-J). Skala DDW-J telah dilaporkan mempunyai sensitivitas yang
lebih tinggi bila dibandingkan CIOMS/RUCAM (93,8%:77,8%) pada analisis
terhadap 127 pasien di Jepang. Bagaimanapun, skala ini harus dievaluasi pada
pasien non-Jepang untuk melihat efektivitas penggunaannya secara universal.
Diantara semua kriteria yang ada, CIOMS/RUCAM merupakan metode
diagnostik yang sering digunakan dan menjadi metode standar untuk diagnosis
DILI (Tajiri K, Shimizu Y, 2008; GarcÍA-CortÉS M, Lucena MI, Pachkoria K, et
al. 2008)

Tabel 9. Skala kriteria CIOMS/RUCAM Scale

22
Sumber: Tajiri K, Shimizu Y, 2008.

TATALAKSANA

Pada drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus. Umumnya sembuh
spontan bila obat dihentikan. Tatalaksananya antara lain menghentikan
penggunaan obat, terapi supportif dan terapi simptomatik, serta monitoring
adanya acute liver failure. Setelah dihentikan penggunaan obat, kelainan hati akan
mengalami penyembuhan pada kebanyakan kasus (Rosalina I, 2015).

Penggunaan glukokortikoid untuk untuk menekan gejala sistemik yang


berkaitan dengan hipersensitivitas atau reaksi alergi, mengingat reaksi inflamasi
juga berperan dalam kejadian hepatotoksisitas akibat obat, tetapi masih
kontroversial. Asam ursodeoxycholic acid (UDCA) dosis 13 – 15 mg/kgBB untuk
kelainan hati tipe kolestatik, penggunaannya masih kontroversial. Antioksidan
juga dapat digunakan sebagai terapi untuk beberapa kasus kelainan hepar akibat
obat yang berat antara lain: N-acetylcysteine (NAC) dalam 16 jam pertama setelah

23
dosis toksik merupakan terapi pilihan untuk overdosis parasetamol dapat
menimimalkan kerusakan hati dan mencegah penyakit hati yang fatal pada hampir
semua pasien. Dosis inisial NAC oral adalah 140 mg/kgBB dilanjutkan 70
mg/kgBB setiap 4 jam sampai dengan 16 jam berikutnya. Penggunaan NAC pada
kelainan hati akibat obat non parasetamol masih tidak jelas serta tidak
direkomendasikan pada anak dengan kelainan hati akibat obat yang dapat
menyebabkan acute liver injury. Pada penelitian Randomised controlled trial pada
177 pasien non-paracetamol induced liver, setelah 72 jam penggunaan NAC
intravena tidak memberikan perbaikan dibandingkan dengan plasebo (Chalasani
dkk, 2014; Tajiri dkk, 2008; Verma, 2009; Leise dkk, 2014; Terneus MV, 2007 ).

Kelainan hati akibat obat yang berat memerlukan penanganan ahli


hepatologi dan adanya tanda awal dari gagal hati (INR>1.5, adanya asites, serta
ensefalopati) merupakan indikasi untuk dilakukan transplantasi hepar. Kriteria
yang digunakan untuk transplantasi hepar pada pasien kelainan hati akibat obat
dikembangkan oleh King’s College, London (tabel.2) yang memiliki sensitivitas
yang rendah (27%) tetapi spesifitas yang tinggi (90%) (Verma, 2009).
Tabel 10. Kriteria King’s College untuk transplantasi hepar pada acute live failure

Parasetamol Non-parasetamol
 pH<7.3 setelah resusitasi cairan atau PT > 100 detik (INR >6.5) (dengan ensefalopati)
 Kadar laktat arteri >3.5 mmol pada 4 jm atau beberapa kondisi dibawah ini:
atau 1. Usia < 11 tahun atau > 40 tahun
 Kadar laktat arteri > 3.0 mmol/l pada 12 2. Etiologinya hepatitis non-A/nonB,
jam atau penggunaan halotan yang menginduksi
 PT > 100 detik (INR >6.5) hepatitis atau reaksi idiosinkratik obat
 Serum kreatinin >300 mmol/l (3.4 mg/dl) 3. Durasi ikterus > 7 hari sebelum onset
 Ensefalopati grade III dan IV ensefalopati
4. PT > 50 detik (INR>3.5)
5. Kadar serum billirubin > 17 mg/dl (300
µmol/l)

Diadaptasi dari O’grady.et al and Bernal, et al (Verma, 2009).

24
PROGNOSIS

Umumnya prognosis baik, tetapi pada nekrosis hati yang masif sering
berakibat kegagalan hati sehingga prognosis menjadi buruk (Rosalina I, 2015).

Prognosis penyakit ini bergantung pada derajat kerusakan hati. Sebuah


studi prospektif yang dilakukan di Amerika pada tahun 1998-2001 menyimpulkan
bahwa prognosis survival rate pada keseluruhan pasien (termasuk mereka yang
menerima transpalantasi hati) sebanyak 72%. Kejadian gagal hati akut pada pasien
DILI ditentukan oleh etiologi, derajat ensefalopati hepatik, dan komplikasi seperti
infeksi. Prognosis gagal hati akut untuk reaksi idiosinkratik obat buruk dengan
angka mortalitas lebih dari 80% (Kaplowitz, 2004; Schiff, 2007)

PENCEGAHAN

Diantara obat-obatan yang secara intrisik bersifat toksik terhadap hati,


hanya asetaminofen, garam emas dan aspirin yang menyebabkan kerusakan akut
karena dosis berlebihan (Marino G dkk, 2001).

Hepatotoksisitas asetaminofen umumnya terjadi karena percobaan bunuh


diri, tetapi meningkat pula laporan kasus baik pada dewasa atau anak yang secara
tidak sengaja menggunakan dosis obat berlebih. Asetaminofen umumnya dapat
dibeli dalam jumlah banyak sebagai obat bebas. Untuk mencegah kemungkinan
toksisitas karena obat ini, di Inggris mulai september 1998 penjualan
asetaminofen dibatasi sampai 8 g sekali pembelian, menggunakan blister yang
berisi 16 tablet 500 mg. Hal ini dapat menurunkan 21% kejadian hepatotoksisitas
karena asetaminofen dan menurunkan 64% kasus berat di Royal Free Hospital.
Perbaikan label ternyata juga menurunkan kecelakaan akibat asetaminofen pada
anak karena menggunakan dosis dewasa (Marino G dkk, 2001; Lewis, 2000).

Kita ketahui belum ada antidot spesifik untuk kerusakan hati yang
disebabkan oleh alergi obat atau idiosinkrasi metabolik, karena itu pencegahan
dalam hal ini sangat penting. Bila timbul manifestasi klinis penyakit hati pada

25
anak menggunakan obat yang diketahui dapat menimbulkan kerusakan hati, maka
obat tersebut perlu segera dihentikan (Marino G dkk, 2001).

ALOGARITMA DALAM MENGEVALUASI PASIEN YANG DIDUGA


MENGALAMI KELAINAN HATI AKIBAT OBAT

Ikterus atau gejala kerusakan hati lain

Adanya pemakaian obat-obatan

Anamnesis: riwayat pemakaian obat-obatan, herbal, dan penggunaaan


suplemen, riwayat transfusi darah, riwayat kontak hepatitis

Pemeriksaan Fisis: Ikterus, hepatomegali, ascites, spider naervi, erithema palmar,


rash (ruam)

Periksa Laboratorium: Total bilirubin (termasuk: bilirubin direct and inderect), Albumin, SGOT,
SGPT , Total Kolesterol, Prothrombin Time, INR, alkalifosfatase (ALP), Alanine aminotransferase
(ALT), differential count (eosinofil)

26
Kolestasis intrahepatik Kolestasis ekstrahepatik
(Liat tabel 8)
(Liat tabel 8)

Ya
Bukan drug induced liver injury
- Sinkirkan: hepatitis virus,
mononukleosis infeksiosa,
TORCH

Suspected drug induced liver injury

DAFTAR PUSTAKA

1. Kamphuis DMLaS. Systemic Lupus Erythematosus in Children and


Adolescents. Pediatr Clin North Am. 2012;59(2):345-364.
2. Ilias MI AJ, Ismail NZ, Rostenberghe HV, Rahman AA. Pediatric
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Manifestations and Outcomes in a
Tertiary Hospital. Lupus Open Access. 2017;2:123.
3.

27
4.
5.
6.
7.
8. Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Billiary system; ed.ke-9.
London: Blackwell Scientific Publication. 1993; 322-51.
9. Mehta, et.al. Drug Induced Hepatotoxicity. 2010. (Accessed 2 Februari 2017,
at: http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview).
10. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Buku Ajar Ilmu penyakit
Dalam Jilid 1 edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK-UI; 2010: 473-76.
11. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology; Edisi ke-2. Chicago; Year
Book Medical Publishers. 1990; 65-72.
12. Marpaung B. Obat dan Penyakit Hati Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta:
infomedika; 1990:241-5.
13. Robert EA, Spielberg SP. Drug-Induced Hepatotoxic Children. Dalam:
Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease;
ed.ke-3, Philadelphia: B.C.Decker. 1991; 898-912.
14. Poley JR. Effect of Drug on the Liver. Dalam; Gracey M, Burke V, eds.
Pediatric Gastroenterology and Hepatology; edisi ke-3. London Blackwell
Scientific Publication. 1993; 726-30.
15. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam:
Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, editor.
Pediatric gastrointestinal disease. Edisi ke-1. Philadelphia: BC Decker Inc;
1991.h. 835-48.
16. Whitington PF. Chonic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996;
43: 1-26.
17. Furhoff AK. Adverse reactions with methyldopa—a decade’s reports. Acta
Med Scand 1978;203:425-8.
18. GarcÍA-CortÉS M, Lucena MI, Pachkoria K, et al. Evaluation of Naranjo
Adverse Drug Reactions Probability Scale in causality assessment of drug-
induced liver injury. Alimentary Pharmacology & Therapeutics 2008;27:780-
9
19. Chalasani et.al. ACG Clinical Guidline: The Diagnosis and Management of
Idiosyncratic Drug-Induced Liver Injury. Am J Gastroenterol advance online
publication. 2014.
20. Terneus MV, Kiningham KK, Carpenter AB, Sullivan SB, Valentovic MA.
Comparison of S-adenosyl-l-methionine and N-acetylcysteine protective
effects on acetaminophen hepatic toxicity. JPET. 2007; 320:1-9.

21. Chughlay et.al. A Clinical Approach to drug-induced liver injury. In: Current
allergy & clinical immunology. 2015:28.p.252-55.
22. Verma et.al. Diagnosis, Management and prevention of drug-induced liver
injury. Bmj Journal. 2009;58: 1555 – 1564.

28
23. Leise et al. Drug-Induced Liver Injury. Mayo Clin Proc. 2014;89(1):95-106.
24. Farrel GC. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Bayless TM, eds. Current
Therapy in Gastroenterology and liver Disease; Edisi ke-3, Philadelphia; BC
Decker, 1990; 460-4.
25. Lee WM. Drug-Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med. 2003;349:474-85.
26. Fisher et al. Drug-Induced Liver Injury. Arch Pathol Lab Med. 2015;139:876-
887.
27. Marino G, Zimmerman HJ, Lewis JH. Manajement of drug-induced liver
disease. Current Gastroenterol Report. 2001;3:38-48.
28. Lewis JH. Drug-Induced Liver disease. Curr Opin Gastroenterol
2002;18:307-13.
29. Neil Kaplowitz. Drug-Induced Liver Injury. Clinical Infectious Disease.
Infectious Disease Society of America. 2004;38(Supll 2):544-8.
30. Tajiri K, Shimizu Y. Practical guidelines for diagnosis and early management
of drug-induced liver injury. World Journal of Gatroenterology.
2008;14(44):6774-6785.

29

Anda mungkin juga menyukai