Pembimbing
dr. Abu Bakar El Bahar Sp.P.,M.Kes
Oleh :
Aditya Sandhy Pratama
(09310269)
(09310128)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis drug induced sampai saat ini masih jarang terjadi di Indonesia. Ini
bisa terjadi diakibatkan oleh konsumsi obat obatan, vitamin, obat herbal, dan
makanan suplemen. Biasanya efek akan terjadi setelah mengkonsumsi obat dan
makanan tersebut setelah beberapa bulan, atau kelebihan dosis. Tuberkulosis di
Indonesia masih banyak dijumpai, termasuk juga bagi penderitanya yang masih anak
anak. Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu yang lama. Bila dosisnya
berlebihan dalam waktu yang lama, hati penderita sudah tidak mampu
memetabolisme obat obatan yang dikonsumsinya, maka dapat memicu terjadinya
hepatits drug induced.
Obat merupakan salah satu penyebab penting dari kerusakan hati. Lebih dari
900 jenis obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan
pada sel-sel hati, dan 2040% dari semua kejadian gagal hati fulminan diakibatkan
oleh obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah alasan
paling banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi
penggunaannya. Seorang dokter harus lebih peka dalam mengidentifikasi obat-obat
yang berhubungan dengan kerusakan hati karena dengan deteksi awal dapat
menurunkan beratnya tingkat hepatotoksisitas dari suatu obat apabila penggunaan
obat segera dihentikan. Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat
sangat bervariasi, mulai dari peningkatan enzimenzim hati yang tanpa gejala
(asimptomatik) sampai terjadinya gagal hati fulminan.1 Salah satu fungsi hati yang
penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang
masuk dari luar, misalnya obat.
Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah
diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan
melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih
mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal
sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup
besar pula untuk dirusak oleh obat. Kerusakan hati akibat obat ( Drugs Induced Liver
Injury ) pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadangkadang dapat berlangsung lama dan fatal.2 Di Amerika Serikat, kira-kira dari 2000
kasus terjadinya gagal hati akut (Acute Liver Failure), lebih dari 50%-nya
diakibatkan oleh obat (39% karena asetaminofen, 13% karena reaksi idiosinkrasi dari
pengobatan lain).1
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam
tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran
sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi
dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim
sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi
reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini,
dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. (Mehta, Nilesh, 2010)
Inducers
o
Phenobarbital
Phenytoin
Carbamazepine
Primidone
Ethanol
Glucocorticoids
Rifampin
Griseofulvin
Quinine
Inhibitors
o
Amiodarone
Cimetidine
Erythromycin
Grape fruit
Isoniazid
Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara
permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan
penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan hati
yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan
obat
mendefinisikan
atau
agen
kerusakan
non-infeksius
hati
sebagai
lainnya.3
FDA-CDER
peningkatan
level
(2001)
alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal, dan
peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas atas
nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari
batas
atas
nilai
normal
jika
berkaitan
dengan
peningkatan
alanine
Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara
parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang
lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati.1 Beberapa diantaranya seperti
pada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari Drug Induced
Liver Injury.
Tabel 1. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced
Liver Injury7
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang
mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya
adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine, Didanosine, Nepirapine,
Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti konvulsan seperti Asam Valproat
dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi Flutamide (3,3%),
Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate (3,0%) dan Cytarabine (2,9%), Antibiotik
(8,7%)
seperti
Trovafloxacin
(3,2%),
Sulfa/trimethoprim
(2,9%)
dan
D. Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein
transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis
hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena
gangguan
transport
pada
kanalikuli
yang
meghasilkan
translokasi
tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan
enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam
empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi
akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif
oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau
metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi
immunogen). (Bayupurnama, Putut, 2006)
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan
yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang
yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik
tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon
imun
terhadap
antigen,
kecepatan
pejamu
dan
E. Implikasi Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis
dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian
obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap.
(Bayupurnama, Putut, 2006)
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan
bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran
klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan
dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist,
sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui
perbedaannya. (Bayupurnama, Putut, 2006)
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan
pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap
dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat
harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati
dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab
berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak
sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik
secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis
hepatotoksisitas imbas obat. (Mehta, Nilesh, 2010)
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati
akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga
paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan
bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan
kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis
bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau
minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat
penyebab dihentikan pemakaiannya. (Mehta, Nilesh, 2010)
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin
yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang
berat. Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen
jejas
hepatosit
terutama
area
sentrilobular.
Konsentrasi
aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. (Mehta, Nilesh, 2010)
Gambar 4. Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI,yang
meliputi
metabolisme obat, kerusakan hepatosit,
aktivasi
sistem
imun
dan
menghasilkan terjadinya
kerusakan jaringan. CYP (Cytochrome
P450), IFN (Interferon), IL (Interleukin), NL
(Natural Killer Cell), NKT (Natural Killer T
Cell), danTNF (Tumor Necrosis Factor).10
2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada
anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance
menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan
menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap
yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi
pada wanita.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap
keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation
(hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat.
5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami
peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang,
beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi
dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan
enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV
yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko
untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian
pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi
dengan obat beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein.
Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal
8.
Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir
50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.
Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti
ini tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi
HIV serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap
tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB
di dunia. (Amin dan Asril, 2006)
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman
baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek
yang disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati
disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi
sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi
juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan
untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R),
Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol
(E)/
memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan
keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. (Kishore,
dkk, 2010)
virus
tingkat
hepatotoksisitas
gejala
menyebabkan hepatotoksisitas.
1. Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki
disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum
AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi
dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu
metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan
apabila
AST
meningkat
menjadi
lebih
dari
kali
nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang
menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis
lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15%
dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari
bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan
Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH.
Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg
per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi
pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian
hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per
hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada
pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada
anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi
retrospektif (14 dari 430 anak-anak). (Kishore, dkk, 2010)
2. Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum
pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah
ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan
memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan
transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15%
pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbukainduced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima
rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin.
Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang
menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan
sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini
tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
3. Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat
selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus
hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan
Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih
dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%)
terjadi pada kedua bulan terapi. (Kishore, dkk, 2010)
4. Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan
TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang
menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang
menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
5. Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
-
Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid
(H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu
perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila
klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga
paduan obat menjadi RHES.
8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk
rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010)
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai
300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg / hari
lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau
600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang
terjadi, lanjutkan.
Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
(Kishore, dkk, 2010)
pengobatan TB dan
sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko
seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan
kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan
akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang
menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat
dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera
jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual,
muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien
harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala
dan tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada
kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT,
AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk, 2010)
L. Kriteria
yang
Dapat
Digunakan
Untuk
Menentukan
Perkembangan
Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat
harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB
tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai
kadar transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).
Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan
dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang
perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval
menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang
paling akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan
terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan
intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:
Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain
harus dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4,
misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika
pasien melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa
PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah
karena kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini
adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis
dan juga merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika
pola kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme
diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar
tercantum di bawah ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai
berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak
adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir
(dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)
Daftar Pustaka
1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.
4) Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Tuberkulosis
Edisi
9.
Jakarta.
5) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta. EGC. 2007
12) www.wikipedia.org