Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

DRUG INDUCE HEPATITIS

Pembimbing
dr. Abu Bakar El Bahar Sp.P.,M.Kes

Oleh :
Aditya Sandhy Pratama

(09310269)

Rina Fatimah Nurillah

(09310128)

UMF ILMU PARU RSUD CIAMIS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALAHAYATI 2014

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hepatitis drug induced sampai saat ini masih jarang terjadi di Indonesia. Ini
bisa terjadi diakibatkan oleh konsumsi obat obatan, vitamin, obat herbal, dan
makanan suplemen. Biasanya efek akan terjadi setelah mengkonsumsi obat dan
makanan tersebut setelah beberapa bulan, atau kelebihan dosis. Tuberkulosis di
Indonesia masih banyak dijumpai, termasuk juga bagi penderitanya yang masih anak
anak. Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu yang lama. Bila dosisnya
berlebihan dalam waktu yang lama, hati penderita sudah tidak mampu
memetabolisme obat obatan yang dikonsumsinya, maka dapat memicu terjadinya
hepatits drug induced.
Obat merupakan salah satu penyebab penting dari kerusakan hati. Lebih dari
900 jenis obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan
pada sel-sel hati, dan 2040% dari semua kejadian gagal hati fulminan diakibatkan
oleh obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah alasan
paling banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi
penggunaannya. Seorang dokter harus lebih peka dalam mengidentifikasi obat-obat
yang berhubungan dengan kerusakan hati karena dengan deteksi awal dapat
menurunkan beratnya tingkat hepatotoksisitas dari suatu obat apabila penggunaan
obat segera dihentikan. Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat

sangat bervariasi, mulai dari peningkatan enzimenzim hati yang tanpa gejala
(asimptomatik) sampai terjadinya gagal hati fulminan.1 Salah satu fungsi hati yang
penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang
masuk dari luar, misalnya obat.
Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah
diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan
melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih
mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal
sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup
besar pula untuk dirusak oleh obat. Kerusakan hati akibat obat ( Drugs Induced Liver
Injury ) pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadangkadang dapat berlangsung lama dan fatal.2 Di Amerika Serikat, kira-kira dari 2000
kasus terjadinya gagal hati akut (Acute Liver Failure), lebih dari 50%-nya
diakibatkan oleh obat (39% karena asetaminofen, 13% karena reaksi idiosinkrasi dari
pengobatan lain).1
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam
tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran
sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi
dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim
sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi
reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini,
dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. (Mehta, Nilesh, 2010)

Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam


retikulum endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan
sangat reaktif. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh
lebih beracun daripada substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati.
Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-benzoquinon-imina (NAPQI),
bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI bertanggung
jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan. (Mehta, Nilesh, 2010)
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka
dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang
paling penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme
banyak obat. Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat satu
sama lain, sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi dan
menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam ataupun
di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam amino, sulfat,
glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu,
sementara ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang
menginduksi dan menghambat sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:

Inducers
o

Phenobarbital

Phenytoin

Carbamazepine

Primidone

Ethanol

Glucocorticoids

Rifampin

Griseofulvin

Quinine

Omeprazole - Induces P-450 1A2

Inhibitors
o

Amiodarone

Cimetidine

Erythromycin

Grape fruit

Isoniazid

Ketoconazole (Mehta, Nilesh, 2010)

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara
permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan
penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat

bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial


yang hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi,
tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik
pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000
pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat.
Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan
paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya
termasuk lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut. (Bayupurnama, Putut, 2006)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan hati
yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan

obat

mendefinisikan

atau

agen

kerusakan

non-infeksius
hati

sebagai

lainnya.3

FDA-CDER

peningkatan

level

(2001)
alanine

aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal, dan
peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas atas
nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari
batas

atas

nilai

normal

jika

berkaitan

aminotransferase atau alkaline phosphatase.3

dengan

peningkatan

alanine

Gambar 1. Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe


kerusakan yang terjadi pada hati4
B. Epidemiologi
Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar tidak
diketahui dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian prospektif pada populasi
yang berhubungan dengan kerusakan hati yang diakibatkan oleh obat masih relatif
rendah. Angka kejadian DILI pada populasi umum diperkirakan 12 kasus per
100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukan tersier kira-kira terdapat 1,2% hingga
6,6% kasus penyakit hati akut yang diakibatkan oleh DILI. Sedangkan estimasi
insiden DILI adalah 14 per 100.000 pasien per tahun pada penelitian prospektif
yang dilakukan di Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih tinggi dari ratarata yang dilaporkan oleh penelitian lain.5 Laporan terbaru mengindikasikan
bahwa DILI terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam.7
DILI adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang serius.
Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek sehari-hari.6

Di negara-negara barat, penyebab mayoritas DILI adalah obat antibiotik,


antikonvulsan dan agen psikotropika.5 Laporan lain menyebutkan bahwa
Asetaminofen merupakan penyebab utama DILI di negara-negara barat. 7 Di
Amerika Serikat, amoksisilin/klavulanat, INH, nitrofurantoin dan florokuinolons
adalah penyebab DILI yang terbanyak. Perbedaan diantara penelitian di AS dan
Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di dalam penggunaan obat-obat yang
diterima di masing-masing negara dan kebiasaan di dalam meresepkan obat. Di
negara Asia, herbal dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari DILI.
Herbal dan suplement diet baru-baru ini menyebabkan kurang dari 10% kasus
DILI di negara-negara barat.5
C.

Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara
parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang
lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati.1 Beberapa diantaranya seperti
pada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari Drug Induced
Liver Injury.
Tabel 1. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced
Liver Injury7

Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang
mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya
adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine, Didanosine, Nepirapine,
Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti konvulsan seperti Asam Valproat
dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi Flutamide (3,3%),
Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate (3,0%) dan Cytarabine (2,9%), Antibiotik
(8,7%)

seperti

Trovafloxacin

(3,2%),

Sulfa/trimethoprim

(2,9%)

dan

Clarithromycin (2,8%), Anestesi seperti Halothane (4,8%), Obat Anti-tuberculosis,


Isoniazid (3,2%), Diklofenak (3,1%) dan Oxycodone (3,1%).6
Tabel 2. Perubahan terpenting dari morfologi hati yang diakibatkan oleh
beberapa obat dan kimia yang digunakan.8

D. Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein
transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis
hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena

gangguan

transport

pada

kanalikuli

yang

meghasilkan

translokasi

fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan


sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi
hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat
dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks
obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan
sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon
imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat

tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan
enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam
empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi
akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif
oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau
metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi
immunogen). (Bayupurnama, Putut, 2006)
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan
yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang
yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik
tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon
imun
terhadap
antigen,
kecepatan
pejamu

memetabolisme penyebab). (Bayupurnama, Putut, 2006)

dan

Gambar 3. Metabolisme Obat 9

E. Implikasi Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis
dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian
obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap.
(Bayupurnama, Putut, 2006)
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan
bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran
klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan
dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist,
sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui
perbedaannya. (Bayupurnama, Putut, 2006)

Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas


imbas obat berdasarkan :
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi
nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel
(kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak
lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari
penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam
30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari
reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama
paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau
jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan
ulang obat. (Mehta, Nilesh, 2010)

Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan
pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap
dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat
harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati
dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab
berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak
sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik
secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis
hepatotoksisitas imbas obat. (Mehta, Nilesh, 2010)
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati
akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga
paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan
bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan
kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis
bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau
minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat
penyebab dihentikan pemakaiannya. (Mehta, Nilesh, 2010)
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin
yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang
berat. Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen

tetap bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.


Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh
hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat
menyebabkan

jejas

hepatosit

terutama

area

sentrilobular.

Konsentrasi

aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. (Mehta, Nilesh, 2010)
Gambar 4. Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI,yang
meliputi
metabolisme obat, kerusakan hepatosit,
aktivasi
sistem
imun
dan

menghasilkan terjadinya
kerusakan jaringan. CYP (Cytochrome
P450), IFN (Interferon), IL (Interleukin), NL
(Natural Killer Cell), NKT (Natural Killer T
Cell), danTNF (Tumor Necrosis Factor).10

F. Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat


1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan
ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih
rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah
kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu.

2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada
anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance
menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan
menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap
yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.

3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi
pada wanita.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap
keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation
(hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat.
5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami
peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang,
beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi
dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan
enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV
yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko
untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian
pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi
dengan obat beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein.
Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal

terhadap obat. Debrisoquine adalah obat antiaritmia yang mengalami


metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini
dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan.
Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang
dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.
7.

Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan


orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena
penyimpanan glutation rendah.

8.

Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek

dibandingkan obat short-acting


9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan
mendorong terjadinya penyakit hati, yakni:
o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac
o Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)
o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat
o Usia Muda - Salisilat, asam valproik
o Puasa atau malnutrisi - Asetaminofen
o Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotan
o Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin
o Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol
o AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol
o Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide
o Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate
(Mehta, Nilesh, 2010)

Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir
50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.
Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti
ini tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi
HIV serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap
tahun diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB
di dunia. (Amin dan Asril, 2006)
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman
baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek
yang disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati
disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi
sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi
juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan
untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R),
Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). (Kishore, dkk, 2010)
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol

(E)/

streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas:


Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya
penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang,
hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya)
dan Faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang

memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan
keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis. (Kishore,
dkk, 2010)

Gambar 2. Faktor Resiko yang Berhubungan dengan DILI

G. Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT


Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip
dengan
hepatitis

virus

akut. OAT bisa


menyebabkan
dengan

tingkat

hepatotoksisitas
gejala

yang bervariasi dari

asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll.


Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut.
(Kishore, dkk, 2010).
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan
acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti
akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan,
muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam
pekat

H. Efek Hepatotoksik OAT

Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine


transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak
terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis.
Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis
menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat
tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan
berdasarkan potensi masing-masing OAT yang

menyebabkan hepatotoksisitas.

(Kishore, dkk, 2010)

1. Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki
disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum
AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi
dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu
metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan
apabila

AST

meningkat

menjadi

lebih

dari

kali

nilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang
menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis
lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15%
dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari

bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan
Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH.
Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg
per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi
pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian
hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per
hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada
pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada
anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi
retrospektif (14 dari 430 anak-anak). (Kishore, dkk, 2010)

2. Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum
pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah
ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan
memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan
transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15%
pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbukainduced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima
rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin.
Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang
menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan

sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini
tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)

3. Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat
selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus
hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan
Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih
dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%)
terjadi pada kedua bulan terapi. (Kishore, dkk, 2010)

4. Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan
TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang
menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang
menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)

5. Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010)

I. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat

Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
-

Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop

Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop

Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka


OAT distop

SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop

SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan

Paduan obat yang dianjurkan


-

Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid
(H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu
perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila
klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga
paduan obat menjadi RHES.

Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko


hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien
dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat

standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau


Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap
bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami
kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi
yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat.
Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi
aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1%
yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan
pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian. (Xial, Yin Yin, dkk,
2010).

J. Rekomendasi Mengelola OAT


Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional
untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut
harus dihentikan
Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu
Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan
dua bulan
Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol.
Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol sampai

8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan untuk
rejimen standar. (Kishore, dkk, 2010)

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai
300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.

Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis 75
mg / hari
lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg (<50 kg) atau
600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak ada reaksi yang
terjadi, lanjutkan.
Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
(Kishore, dkk, 2010)

K. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT

Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai

pengobatan TB dan

sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko
seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan

kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan
akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang
menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat
dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera
jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual,
muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien
harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala
dan tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada
kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT,
AST dan kadar bilirubin. (Kishore, dkk, 2010)

L. Kriteria

yang

Dapat

Digunakan

Untuk

Menentukan

Perkembangan

Hepatotoksisitas Imbas OAT


1. Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT
2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai
pemberian OAT
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis standar,
sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan kimia hati yang
abnormal.
4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk
AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl (normal,
1,5 mg / dl).
5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati

6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan 50%


dari kimia hati yang abnormal. (Jaime, Ungo, dkk, 2010)

M. Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas


Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis, yang
memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan hepatitis:
Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi). Hal ini tidak
mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni berdasarkan yanda-tanda
dan gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal pengobatan, tetapi, jika normal,
tidak perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu memperingatkan gejala hepatitis. Dalam
hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua minggu setelah memulai pengobatan dan
kemudian setiap dua bulan selanjutnya, kecuali ada masalah yang terdeteksi.
Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi
bilirubin) dan namun biasanya kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim
hati untuk mengimbangi produksi). Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan
AST) yang utama di tiga minggu pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan
elevasi tidak berlebihan maka tidak ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli
menganggap pengobatan harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi bukti klinis.

Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat
harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB

tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai
kadar transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan hepatitis).

Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat dilakukan
dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan ketat. Seorang
perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan darah pada 15 interval
menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji diberikan (masalah yang
paling akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian dosis uji, (jika mereka akan
terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit dan akses ke fasilitas perawatan
intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus diberikan dalam urutan ini.:

* Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis


* Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis
* Hari 3: INH dengan dosis penuh
* Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis
* Hari 6: RMP pada dosis penuh
* Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
* Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis
* Hari 9: EMB pada dosis penuh

Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain
harus dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4,
misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan. Jika
pasien melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap bahwa
PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah
karena kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi ini
adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan hepatitis
dan juga merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB berguna ketika
pola kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat dihilangkan jika organisme
diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-masing menghilangkan obat standar
tercantum di bawah ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan sebagai
berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak
adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling akhir
(dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali). (Wikipedia, 2008)

Daftar Pustaka
1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.

2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.

3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di


Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006

4) Pedoman

Nasional

Penanggulangan

Tuberkulosis

Edisi

9.

Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005

5) Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta. EGC. 2007

6) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001

7) Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug


Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and
Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol.
5, No. 2, Issue 18, 256-260

8) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis


Prevention and Control Scheme Study (ADACS) . BMC Public Health 2010,
10:267

9) Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Druginduced Hepatotoxicity The Role of

Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of


Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care
Medicine

10) Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of


Gastroenterology and Hepatology. 2010

11) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for


National Program. 2003

12) www.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai