Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP

KOLELITIASIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program
Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh :
dr. Herlin Putri Yeni

Pendamping :
dr. Nurafdaliza

PROGRAM DOKTER INTERNSIP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


SUNGAI DAREH KABUPATEN DHAMASRAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukurkepada ALLAH SWT. Atas berkat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Kolelitiasis”yang
disusun dalam rangka untuk memenuhi persyaratan Syarat Program Internsip
Dokter Indonesia.
Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya
Laporan Kasus ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan semua
pihak.

Dhamasraya, Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A. Definisi........................................................................................3
B. Epidemiologi...............................................................................3
C. Etiologi dan Patofisiologi............................................................4
D. Klasifikasi...................................................................................5
E. Patofisiologi................................................................................6
F. Dignosis.......................................................................................7
G. Penatalaksanaan........................................................................14
H. Komplikasi................................................................................24

BAB III LAPORAN KASUS PASIEN................................................... 30


BAB IV PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN.................................44
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kolelitiasis adalah keadaan dimana terdapatnya batu di dalam kandung empedu

atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya (Wibowo et al., 2002). Kolelitiasis

merupakan masalah kesehatan yang penting di negara Barat, sedangkan di Indonesia

kolelitiasis baru mendapatkan perhatian (Lesmana, 2009). Diperkirakan lebih dari 95%

penyakit yang mengenai kandung empedu dan salurannya adalah penyakit kolelitiasis (Kumar

et al., 2007).

Prevalensi kolelitiasis berbeda-beda di setiap negara dan berbeda antar setiap

etnik di suatu negara. Prevalensi kolelitiasis tertinggi yaitu pada orang-orang Pima Indians di

Amerika Utara, Cili, dan ras Kaukasia di Amerika Serikat. Sedangkan di Singapura dan

Thailand prevalensi penyakit kolelitiasis termasuk yang terendah (Ko dan Lee, 2009).

Perbaikan keadaan sosial ekonomi, perubahan menu diet yang mengarah ke menu gaya negara

Barat, serta perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, mengakibatkan prevalensi

penyakit empedu di negara berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat (Ginting,

2013).

Walaupun kolelitiasis memiliki angka mortalitas yang rendah, namun penyakit ini

berdampak signifikan terhadap aspek ekonomi dan kesehatan penderita (Chang et al., 2013).

Diperkirakan lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat menderita kolelitiasis (Ko dan Lee,

2009) . Kolelitiasis juga merupakan penyakit tersering dan termahal dari seluruh penyakit

digestif di Amerika Serikat, setiap tahun, sekitar 1 juta orang dirawat dan 700.000 orang

menjalani kolesistektomi (Corte et al., 2008). Sekitar 2% dari dana kesehatan Amerika Serikat

dihabiskan untuk penyakit kolelitiasis dan komplikasinya (Kumar et al., 2007). Di Negara

Asia prevalensi kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%. Berdasarkan data terakhir

4
prevalensi kolelitiasis di Negara Jepang sekitar 3,2 %, China 10,7%, India Utara 7,1%, dan

Taiwan 5,0% (Chang et al., 2013). Angka kejadian kolelitiasis dan penyakit saluran empedu

di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain di Asia Tenggara (Wibowo

et al., 2002). Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2010-2011 didapatkan 101

kasus kolelitiasis yang dirawat (Girsang JH, 2011).

Kolelitiasis terutama ditemukan di negara Barat, namun frekuensinya di negara-

negara Afrika dan Asia terus meningkat selama abad ke 20. Di Tokyo angka kejadian

penyakit ini telah meningkat menjadi dua kali lipat sejak tahun 1940 (Nuhadi M, 2010).

Angka kejadian kolelitiasis sangat dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Terdapat

peningkatan kejadian kolelitiasis yang progesif berhubungan dengan peningkatan usia

seseorang (Kumar dan Clark, 2006).Di Amerika Serikat 5%6% populasi yang berusia kecil

dari 40 tahun menderita kolelitiasis, dan pada populasi besar dari 80 tahun angka kejadian

kolelitiasis menjadi 25%-30% (Kumar et al., 2007). Kolelitiasis lebih sering terjadi pada

wanita dibandingkan pria (Tierney et al., 2010). Menurut Third National Health and

Nutrition Examination Survey (NHANES III) dalam Greenberger dan Paumgartner (2011),

prevalensi kolelitiasis di Amerika Serikat yaitu 7,9% pada laki-laki dan 16,6% pada

perempuan. Perbandingan kejadian kolelitiasis pada pria dan wanita yaitu 3:1, dan pada

dekade keenam dan ketujuh kehidupan perbandingan akan semakin kecil (Kumar et al.,

2007).

Selain umur dan jenis kelamin, angka kejadian kolelitiasis juga dipengaruhi oleh

obesitas, kehamilan, intoleransi glukosa, resistensi insulin, diabetes mellitus,

hipertrigliseridemia, pola diet, penyakit Crohn’s, reseksi ileus terminal, dan faktor lain

(Hunter dan Oddsdettir, 2007; Conte et al., 2011).

Kolelitiasis umumnya berada di kandung empedu, tetapi kolelitiasis dapat juga berada di

saluran empedu ketika batu di kandung empedu bermigrasi, dan disebut batu saluran empedu

5
sekunder. Sekitar 10%-15% pasien dengan batu di kandung empedu juga memiliki batu di

saluran empedu. Batu di saluran empedu juga dapat terbentuk tanpa melibatkan kandung

empedu, disebut sebagai batu saluran empedu primer (Lesmana, 2009).

Sebagian besar pasien (80%) dengan kolelitiasis tidak bergejala, hanya sedikit

pasien yang mengeluhkan nyeri (Lesmana, 2009). Nyeri yang dirasakan pasien adalah nyeri

kolik (Kumar et al., 2007).

Sebelum dikembangkannya beberapa modalitas diagnosa seperti ultrasound (US),

pasien kolelitiasis sering salah terdiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang. Dalam

sebuah penelitian di Jakarta dari 74 pasien dengan kolelitiasis,

60% diantaranya terdiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang (Lesmana, 2009).

Kolelitisis dapat menimbulkan komplikasi berupa kolesistitis akut yang dapat

menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif, kolangitis,

kolangiolitis piogenik, pankreatitis, dan perubahan keganasan

(Wibowo et al., 2002).

Tatalaksana yang diberikan untuk pasien kolelitiasis harus

mempertimbangkan keadaan dan gejala yang dialami pasien (Ko dan Lee, 2009) . Tatalaksana

kolelitiasis dapat berupa terapi non bedah dan bedah. Terapi non bedah dapat berupa lisis batu

yaitu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik, dan pengeluaran secara endoskopik.

Sedangkan terapi bedah dapat berupa kolesistektomi (Wibowo et al., 2002).

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau

saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu

empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau

saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut

kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus

koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu

intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut

hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis. 

B. Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat

terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor

resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya

kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

7
a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan

dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap

peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang

menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.

Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan

kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan

kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Orang dengan usia> 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.

c. Obesitas

Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes

militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan

sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk

pengembangan batu empedu kolesterol.

8
d. Statis Bilier

Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang

bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis),

puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan

penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak

(misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan

menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam

empedu ke intestinal.

e. Obat-obatan

Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat

meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat

hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier

dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin

muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi

pengosongan kantung empedu.

f. Diet

Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam

desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat

dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi

kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.

g. Keturunan

9
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah

turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik

fraternal.

h. Infeksi Bilier

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada

pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan

mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.

i. Gangguan Intestinal

Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau

kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat

kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi

kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.

j. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit

berkontraksi.

k. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi

untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.

Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung

empedu.

C. Manifestasi Klinik

10
1. Asimtomstik

Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan

jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar

mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan

intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi

karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala

gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada

saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak

berhubungan sama sekali.

Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua

jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu

itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh

batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum,

seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan

atas abdomen dapat terjadi.

2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier

Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan

mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan

mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier

disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial

kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60

menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih.

11
Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat

dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar.

Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat

frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan

gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada

sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.

Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu

yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh

batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh

dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian

kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran

kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat

pengembangan rongga dada.

Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga

membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin

dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.

3. Ikterus

Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan

presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.

Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala

yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap

oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa

12
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang

mencolok pada kulit.

4. Perubahan Warna Urin dan Feses

Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.

Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan

biasanya pekat yang disebut dengan clay-colored.

5. Defisiensi Vitamin

Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang

larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-

vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat

mengganggu proses pembekuan darah normal.

Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung

empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam

waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut,

penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai

peritonitis generalisata.

D. Anatomi dan Fisiologi

a. Anatomi Hati

13
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang

lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di

bawah kerangka iga (Sloane, 2004).

Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis

tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis

dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo,

pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai

hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006).

Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus

bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis

hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah

cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara

sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

b. Fisiologi Hati

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:

a) Metabolisme karbohidrat

Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam

jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,

glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil

perantara metabolisme karbohidrat.

b) Metabolisme lemak

14
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:

mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang

lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein,

membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.

c) Metabolisme protein

Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,

pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,

pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan

membentuk senyawa lain dari asam amino.

d) Lain-lain

Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan

vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati

membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah

banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon

dan zat lain.

15
E. Patofisiologi

Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat

bergerak kearea lain dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung

empedu atau pengisian kandung empedu batu dapat pindah dan terjebak

dalam leher kandung empedu. Selain leher cysticduct (saluran cyste), atau

saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu tidak bias

mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari

batu empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis). Faktor

yang mendukung:

1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu

2. Pengeluaran empedu yang berkurang

3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun

4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada

kandung empedu.

16
F. Pathway

17
G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan

kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,

dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan

ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus

koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin

disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali

serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang

setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT),

LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran

empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.

2. Pemeriksaan sinar-X abdomen

Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan

penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala

yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami

cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

18
Gambar: hasil sinar-x pada kolelitiasis

3. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas

karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat

radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu

berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.  Pada

peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,

kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran

kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura

hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik

bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.

19
Gambar: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

4. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai

prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan

dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi

hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat

pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil

paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga

kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound

berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.

20
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat

dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang

diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada

duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh

udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada

batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi

biasa.

USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan

merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan

ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu

dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung

empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE

relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan

BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%.

Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal

saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat

tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka

melebar pada sejumlah kasus BSE.

21
Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

5. Kolesistografi

Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama,

namun untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik

karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu

radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.

Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan

mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,

memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media

kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan

dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien.

Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque

ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto

rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,

22
muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi

pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada

keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.

Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi

kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyakwaktu dan

persiapan dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)

23
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara

langsung yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi.

Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke

dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah

kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus,

kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk

memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga

memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses

ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)

Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara

langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras

24
yang disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system

bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan

panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat

dilihat garis bentuknya dengan jelas.

8. Computed Tomografi (CT)

CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk

menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan

koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal

dibanding US.

Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis

9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance

cholangiopancreatography (MRCP)

25
H. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan

Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden

serangan akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan

penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika memungkinkan, untuk

menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur

endoskopi, atau intervensi pembedahan.

a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet

Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh

dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan

antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda

26
dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi

pasien semakin memburuk.

b. Farmakoterapi

 Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang

tidak mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan

kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis

harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek

samping pada pemberian asam kenodeoksikolat adalah diare.

Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih.

Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika

pasien mengalami kegemukan.Asam ursodeoksikolat melarutkan

sekitar 30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada

menggunakan asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.

Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan

7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.

Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,

chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu

radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.

Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang

menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang

lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme

kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan

27
sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah

ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu

yang baru dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan

pengobatan selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu,

dan selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif

bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien

yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk

menjalani pembedahan.

Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50%

pasien sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini 

dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan

tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali,

intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan

Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu

dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil

tertier butyl eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut

dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan

langsung ke dalam kandung empedu, atau melalui selang atau drain

yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan batu yang belum

dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop

ERCP, atau kateter bilier transnasal.

28
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif

ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves)

yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau

duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut

menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media

cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan

elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat

rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang

dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan

dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan

bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan

dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam

empedu yang diberikan per oral.

Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau

duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang

ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada

endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu

atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.

2. Penatalaksanaan Pembedahan

a. Koleksistektomi Terbuka

29
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien

dengan batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna,

cidera duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka

mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam

penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling

umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh

kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera

dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah

sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam

penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka

kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.

b. Mini Kolesistektomi

Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu

lewat luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat

diperlebar untuk mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran

lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini

kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang singkat

merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan

ini.

c. Kolesistektomi laparoskopi

30
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa

adanya kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,

banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien

dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus

koledokus. Keuntungan secara toritis dari prosedur ini dibandingkan

dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah

sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali

bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum

terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan

insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris,

yang mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik.

Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli

bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan

dengan modalitas baru.

d. Bedah Kolesistotomi

Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan

operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat

system bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui

pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang

purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan

kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan

dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu

31
disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga

peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali

lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah,

bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang

dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses

penyakit pasien yang mendasarinya.

e. Kolesistotomi Perkutan

Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan

penegakan diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang

beresiko jika harus menjalani tindakan pembedahan atau anastesi

umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal

jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati.

Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan

lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu

dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu

diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat,

dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu

tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan prosedur ini

hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda

dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.

f. Koledokostomi

32
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk

mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang

sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu

sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang

drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga mngandung batu,

dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama

kolesistektomi.

I. Komplikasi

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya

makanan mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu,

sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat

menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun terlepas lagi.

Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin

dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi

suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh

alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel

kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat

terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan

nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat

membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi

kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.

33
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus

pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju

sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang

dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus

juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan

pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui

terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar

dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal)

dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang

komplikasi kolelitiasis:

a. Hidrops

Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus

sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi  oleh empedu. Dalam keadaan

ini tidak terdapat peradangan akut dan sindrom yang berkaitan

dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa

gundul. Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi

steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa dalam

kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan

kolesistisi akut.

b. Kolesistitis akut

34
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus

oleh batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa

kantung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase

yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat

toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit,

peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi.

Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.

c. Empiema

Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau

kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi

semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.

d. Nekrosisdan Perforasi

Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu

dan perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding

nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias

memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada

fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik

vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang

terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan

organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local.

35
Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran

empedu.

e. Peritonitis

Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok

parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami

peradangan.

f. Kolesistitis kronis

g. Fistel bilioentrik

Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel

pada dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau

kolon transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut

karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran

cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-

organ tersebut.

h. Kolangitis

Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan

infeksi. Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram

negatif, dengan 54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh

Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides.

Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap.

36
Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau

mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.

i. Pankreatitis

Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari

saluran pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam

duktus koledokus bergerak menutupi ampula vetri.

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. U

Umur : 75 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Jenis Kelamin : Wanita

Agama : Islam

Alamat :Pulau Mainan

II. KELUHAN UTAMA

Nyeri perut kanan atas

III.ANAMNESA

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengeluh nyeri perut kanan atas sejak kurang lebih 10 hari SMRS. Nyeri juga

kadang dirasakan pada daerah ulu hati, nyeri dirasakan hingga ke bahu dan punggung kanan.

Nyeri dirasakan hilang timbul danberlangsung ± 10 menit dan terasa seperti terpelintir, tidak

37
pasti saat timbulnya baik sebelum ataupun setelah makan dan nyeri hilang dengan sendiri. Air

kencing normal tidak ada perubahan warna seperti berwarna teh. Sejak 7 hari SMRS pasien

tidak BAB. Pasien merasakan mual dan muntah. Muntah berisi makanan dan cairan lambung,

muntah berdarah disangkal, BAB berdarah disangkal, dan pasien juga mengeluh badan terasa

demam. Pasien menyangkal adanya kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Tidak

terdapat perubahan dalam pola makan pasien, nafsu makan pasien menurun. Pasien juga

merasa tidak terjadi perubahan berat badan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat menderita sakit kuning disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami hal serupa

Riwayat Alergi :

Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau makanan tertentu.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Kesadaran : CM

1.Tanda vital

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Pernafasan : 24 x/menit

Suhu : 36,2ᵒC

2.Pemeriksaan fisik umum

- Kepala-leher : DBN

38
Anemis (-/-) ikterus (-/-) pembesaran KGB (-)

- Thorax : DBN

Abdomen : Sesuai status lokalis

Genitalia : DBN

Ekstremitas : DBN

Status lokalis : Abdomen

Inspeksi : kulit tampak normal, pelebaran pembuluh darah (-), distensi (-),

ascites (-), massa (-).

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi : terdapat nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas, nyeri

lepas (-), hepar tidak teraba, tidak teraba massa pada ke empat kuadran

abdomen.

Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen

Pemeriksaan Penunjang

Hematologi

Hb : 10 mg/dl

Ht : 31 %

Leukosit : 13.400 /mm3

Trombosit : 186.000/mm3

BT : 1.00

CT : 3.0

Kimia Darah :

Bilirubin Total : 1,15 mg/dl

39
Bilirubin Indirect : 0,7 mg/dl

Bilirubin direct : 0,45 mg/dl

Faal Ginjal :

Ureum : 43 mg/dl

Kreatinin : 1,06 mg/dl

Elektrolit

Na : 140

K : 3,7

Ca : 1,09

USG ABDOMEN

Kelenjar limpa baik, pancreas tidak ada kelainan. Ginjal tidak tampak bendungan, buli-buli

baik, empedu tampak batu ukuran 2 cm.

Kesan : Kolelitiasis

V.DIAGNOSIS BANDING

Kolelitiasis

Ureterolithiasis dextra

VI. DIAGNOSIS KERJA

Kolelitiasis

VII.PENATALAKSANAAN

RL 20 gtt/menit

Ceftriaxon 1x2 gr (iv ST)

Ranitidine 2x1 amp iv

Operasi : kolesistektomi

40
VIII. PROGNOSIS

Qua ad vitam : Dubia ad bonam

Qua ad fungsionam : Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011).

Dari kasus ini diagnosis fungsional yaitu kolelitiasis, Hal ini didasarkan pada hasil
pemeriksaan yaitu :

1. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar
pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier

Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen.

Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran

kanan atas.

Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat

dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam jumlah besar.

3. Ikterus

41
Pada pasien ini, dari hasil anamnesis didapatkan Pasien mengeluh nyeri perut kanan atas
sejak kurang lebih 10 hari SMRS. Nyeri juga kadang dirasakan pada daerah ulu hati, nyeri
dirasakan hingga ke bahu dan punggung kanan. Nyeri dirasakan hilang timbul
danberlangsung ± 10 menit dan terasa seperti terpelintir, tidak pasti saat timbulnya baik
sebelum ataupun setelah makan dan nyeri hilang dengan sendiri. Air kencing normal tidak
ada perubahan warna seperti berwarna teh. Sejak 7 hari SMRS pasien tidak BAB. Pasien
merasakan mual dan muntah. yang dapat membantu menegakkan diagnosis dari kolelitiasis.

42

Anda mungkin juga menyukai