Anda di halaman 1dari 17

DRUG INDUCED HEPATITIS

Disusun oleh:

dr. Shofia Widya Murti

NPM. 130921190502

Pembimbing:

Tiene Rostini, dr., SpPK (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1

RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG

2020
DRUG INDUCED HEPATITIS

I. Definisi

Drug Induced Hepatitis atau Drug-induced liver injury (DILI) dapat diartikan
sebagai kerusakan hepatik yang diinduksi oleh obat kimiawi atau herbal yang
menyebabkan disfungsi hati atau abnormalitas pada tes fungsi hati (peningkatan
ALT/AST >3x batas normal dan/atau kenaikan bilirubin >2x batas normal) dengan
ekslusi dari penyebab-penyebab lainnya (hepatitis viral, alkohol, tumor, dll). 1

II. Epidemiologi

Di Amerika serikat, dari sebuah studi prospektif yang dilakukan antara tahun
2004-2009 pada 30 orang pasien anak berumur 2-18 tahun dengan dugaan DILI,
didapat agen penyebab terbanyak yaitu antimikroba (minosiklin, isoniazid, dan
azithromycin) dan obat SSP (atomoxetine dan lamotrigine). Dari seluruh pasien, 2
orang tetap menunjukkan abnormalitas pada follow-up test fungsi heparnya hingga
6 bulan kemudian, menandakan terjadinya penyakit hati kronis. 3

Sedangkan di India, dari studi terhadap 39 anak usia 2-17 tahun dari tahun
1997-2004 dan 2005-2010, didapatkan penyebab terbanyak dari DILI yaitu OAT
(INH, rifampisin, pirazinamid), phenytoin, dan carbamazepine. 16 dari 39 anak pada
studi ini juga menunjukkan gejala hipersensitivitas obat seperti ruam kemerahan,
demam, limfadenopati, dan/atau eosinofilia.4

III. Patogenesis dan Patofisiologis

DILI dapat dibagi menjadi tipe intrinsik dan idiosinkratik. Tipe intrinsik
biasanya tergantung dosis dan dapat diprediksi (mis. keracunan paracetamol). 1
Sedangkan tipe idiosinkratik merupakan kasus yang tidak terduga dan dapat tidak
teridentifikasi pada pemeriksaan preklinis maupun klinis. Untuk sebagian besar obat
yang beredar, DILI tipe idiosinkratik ini diperkirakan terjadi pada 1 diantara 10.000
hingga 100.000 orang yang terpapar obat-obatan tersebut. 1 Untuk pasien anak
sendiri, sekitar 5% dari kasus gagal hati akut disebabkan oleh obat-obatan selain
acetaminophen, yaitu antibiotik, antikonvulsan, psikoaktif, dan lainya. 2

A. Metabolisme Obat di Hati

Metabolisme obat merupakan proses dimana molekul obat diubah secara


kimiawi, biasanya menjadi metabolit polar (hidrofilik) dengan tingkat solubilitas air
yang meningkat untuk memudahkan eliminasi di urin atau empedu. Metabolisme
obat di hati dibagi menjadi 2 fase, yaitu:

1. Fase 1.
Pada fase ini molekul obat akan mengalami perubahan struktur. Enzim sitokrom
P450 merupakan katalis yang paling dominan pada fase ini akan mengkonversi
molekul obat menjadi metabolit yang lebih polar (hidrofilik) melalui proses
oksidasi, reduksi, atau hidrolisis. Di hepatosit, enzim ini berada di retikulum
endoplasma halus. Metabolit yang dihasilkan pada fase ini bisa cukup larut air
untuk langsung dieliminasi atau membentuk substrat untuk enzim fase 2. 5
2. Fase 2.
Pada fase ini, terjadi konjugasi dari grup ion (seperti glutathion, glucoronosil,
asetil, dll) yang disebut transferase dengan molekul obat. Hasil dari konjugasi
yaitu metabolit yang inaktif secara farmakologik dan hidrofilik sehingga bisa
dieksresi sekaligus mengurangi efek toksik dari metabolit reaktif yang dihasilkan
di fase 1. 5

B. Mekanisme DILI di Hati

Patogenesis dari DILI terjadi melalui 3 fase. Pada fase pertama, komponen
obat atau metabolit reaktifnya akan menimbulkan kerusakan awal melalui 3 cara,
yaitu:
1. Toksisitas dari metabolit obat akan memicu stress pada sel dan mengaktifkan
protein pro-apoptosis yang akan merusak permeabilitas membran mitokondria.
2. Metabolit obat akan merusak mitokondria melalui penginhibisian proses beta
oksidasi, yaitu proses katabolik dimana asam lemak diubah menjadi asetil KoA,
NADH, dan FADH2. Hal ini akan menimbulkan penumpukan lipid dalam sel yang
menghambat fungsi respirasi sel dan menurunkan produksi ATP.
3. Metabolit obat berikatan dengan protein karier dan membentuk hapten yang
immunogenik atau berikatan langsung dengan reseptor imun sel T dan
menimbulkan reaksi imun yang dimediasi sel T. Reaksi imun ini juga akan
mengaktifkan death-inducing signalling complex, kompleks protein yang akan
menginisiasi terjadinya apoptosis, dengan cara meningkatkan sensitivitas dari
TNF-alfa sebagai pemicunya.

Pada fase kedua, kerusakan dari mitokondria akan meningkatkan


permeabilitas membran mitokondria yang menyebabkan molekul-molekul kecil
masuk ke mitokondria, mengubah osmolaritas, dan membuat mitokondria
membengkak. Pembengkakan ini menyebabkan ruptur pada membran dan keluarnya
protein sitokrom C dari mitokondria.

Fase ketiga yaitu kematian sel hepatosit akibat apoptosis atau nekrosis.
Apoptosis terjadi apabila masih ada produksi ATP di mitokondria. Sitokrom C yang
keluar dari mitokondria akan menggunakan sisa ATP untuk menginisiasi kaskade
apoptosis. Bila tidak ada lagi sisa ATP di mitokondria, sel akan mengalami nekrosis
melalui proses autolisis. 6,7
Gambar 1. Model 3 langkah dari terjadinya DILI.
IV. Faktor Risiko

Faktor risiko dari DILI dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

A. Non-Genetik
1. Umur. Usia muda merupakan faktor risiko tetrjadinya DILI bagi obat
seperti asam valproate ataupun sindrom reye akibat pemakaian aspirin.
Risiko hepatotoksisitas akibat isoniazid juga bertambah seiring dengan
usia.8,9
2. Jenis Kelamin. Wanita dipercaya memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena
DILI tipe idiosinkratik.8
3. Malnutrisi. Sebuah studi oleh Singla et al dan Sharma et al menunjukkan
bahwa hipoalbuminemia dapat menjadi marker dari malnutrisi serta faktor
risiko untuk terjadinya DILI, dimana pasien dengan albumin <3,5 mg/dl
dalam pengobatan TB memiliki risiko 3x lebih tinggi menderita DILI.9
4. Gangguan Penyerta Lain. Adanya penyakit hati sebelumnya seperti
penyakit hati kronis atau perlemakan hati non-alkoholik dapat
meningkatkan resiko terjadinya hepatotoksisitas akibat obat. Pasien
dengan HIV yang juga terinfeksi dengan hepatitis B atau C juga memiliki
peningkatan risiko terjadinya DILI dari terapi antiretroviral atau obat TB.8,9
5. Dosis Harian. Meskipun DILI tipe idiosinkratik dipercaya tidak bisa
diprediksi berdasarkan dosis, namun dari beberapa studi dan laporan
kasus ditemukan bahwa pasien yang mendapat dosis obat >50 mg/hari
untuk memiliki resiko lebih tinggi terkena DILI untuk beberapa jenis obat.8
6. Interaksi Obat. Beberapa obat dapat meningkatkan potensi hepatotoksik
obat lainnya dengan cara menginduksi sitokrom P450 dan meningkatkan
produksi metabolit reaktif yang bersifat hepatotoksik, misalnya pada
penggunaan bersamaan asam valproate dan antikonvulsan lainnya. 8
B. Genetik
1. Variasi Pada Fase 1. Fase 1 merupakan fase dimana metabolit reaktif yang
toksik dibentuk oleh enzim sitokrom p450. Beberapa famili dari enzim
sitokrom p450 ditemukan memiliki variasi kerja pada tiap individual,
dimana penurunan kerja enzim tertentu berisiko mengakibatkan DILI
akibat penumpukan dari metabolit toksik di hati. CYP2D6 merupakan
enzim yang memetabolisme opiat, antidepressan, beta-bloker, dan agen
anti-aritmia. Polimorfisme dari enzim ini telah dikatikan dengan
hepatotoksisitas dari obat perhexiline dan chlopromazine. 7,8
2. Variasi Pada Fase 2. Pada fase 2, metabolit reaktif akan dikonjugasi dan
didetoksifikasi oleh grup transferase sehingga variasi kerja dari transferase
ini berisiko meningkatkan timbulnya DILI. NAT2 (N-acetyl transferase 2)
merupakan enzim polimorfik yang bekerja untuk mendetoksifikasi obat-
obat seperti isoniazid dan sulfonamid. 8,10,11

3. Human Leukocyte Antigen (HLA). Sistem HLA memiliki peran penting


dalam memediasi reaksi imun, sehingga variasi pada gen ini dapat
meningkatkan efek kerusakan pada DILI yang disebabkan oleh jalur
ekstrinsik.7,8

V. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari DILI sangat bervariasi, mulai dari peningkatan enzim hati
yang asimtomatik hingga gagal hati. Gejala klinis yang tampak biasanya tergantung
dari obat penyebabnya. Gejala ini dapat menyerupai gangguan hati lain seperti
hepatitis akut, hepatitis kronis, cholestasis akut, fatty liver disease, dll.1,12

Gambar 2. Gejala klinis dari drug-induced hepatitis dan obat penyebabnya


Pola kerusakan akibat DILI dapat dibagi menjadi 3 jenis : hepatoselular,
cholestasis, dan campuran. Pola ini dapat dilihat dengan memeriksa nilai R, yaitu
(nilai ALT/batas atas normal) : (nilai alkali fosfatase/batas atas normal). 12
1. Nilai R≥5 menandakan kerusakan hepatoselular. Pasien dengan kerusakan jenis
ini tidak memiliki gejala khas dan tidak selalu tampak ikterik. Biasanya pasien ini
juga menampakkan gejala alergi obat, seperti demam, ruam kulit, atau
eosinofilia. Pemeriksaan fungsi hati akan menampakkan peningkatan ALT/AST,
sedangkan pemeriksaan histologi hati akan menunjukkan inflamasi dan nekrosis
hepatosit dengan inflitrasi eosinofil. 12
2. Nilai R≤2 menandakan adanya kerusakan bilier. Tipe ini dibagi lagi menjadi 2
subtipe : kanalikular dan hepatokanalikular.
a. Tipe kanalikular ditandai dengan gejala ikterik dan pruritus dengan
peningkatan bilirubin direk, alkali fosfatase, dan gamma glutamyl transferase,
dengan gambaran histologi berupa kolestasis hepatosit dan pelebaran kanal
bilier.
b. Tipe hepatokanalikuler memiliki gejala demam dan nyeri perut, mirip dengan
obstruksi bilier akut. Histologi hati menunjukkan inflamasi portal dan nekrosis
hepatosit, dengan kolestasis pada centrilobular. 12
3. Nilai 2<R<5 menandakan kerusakan campuran dengan gambaran klinis dan
biologi antara tipe hepatoselular dan kolestasis. Reaksi alergi juga sering tampak,
dengan reaksi granulomatosa terlihat pada pemeriksaan biopsi hati. 12

VI. Diagnosis
Diagnosis dari DILI ditegakkan dengan mengeksklusi kemungkinan gangguan
hati lainnya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detil, pemeriksaan lab,
pencitraan hepatobilier, biopsi hati (bila diindikasikan), dan penilaian kausalitas. 13
A. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik

Pada anamnesis, perlu dicari riwayat paparan obat-obatan yang akurat serta
onset awal dan perjalanan dari kelainan yang tampak. Biasanya, onset dari DILI
terjadi dalam 6 bulan pertama setelah memulai obat baru, kecuali pada obat-obatan
tertentu yang memerlukan paparan yang lebih lama sebelum menampakkan gejala
(mis. nitrofurantoin, minosiklin, statin). Selain itu, perlu dicari juga riwayat reaksi
obat sebelumnya, riwayat gangguan hati sebelumnya, serta riwayat konsumsi
alkohol. 13 Pemeriksaan fisik biasanya menampakkan gambaran mirip gangguan hati
lain (ikterik, demam, hepatomegali, nyeri tekan hati, atau gambaran penyakit hati
kronis). 13

B. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan fungsi hati diperlukan untuk melihat perjalanan abnormalitas


enzim hati, terutama bila obat yang diduga sebagai penyebab telah dihentikan, dan
untuk menentukan nilai R sehingga dapat diketahui pola kerusakan hatinya. Untuk
kerusakan tipe hepatoselular, Hepatitis marker dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan hepatitis akut, sedangkan autoantibodi serum dan IgG dapat diperiksa
bila ada gejala hipersensitivitas (demam, ruam kulit, urtikaria, dan eosinofilia) atau
tanda-tanda autoimunitas lain (anemia hemolitik, glomerulonefritis, dll). 12,13

Berikut penjelasan mengenai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk


menilai fungsi hati pada pasien DILI, yaitu:

1. Aspartat Aminotransferasi (AST) atau Serum Glutamatic-Oxalocetic


Transaminase (SGOT)
AST merupakan suatu pemeriksaan yang dapat menggambarkan kerusakan
pada hati, jantung, sistem muskuloskeletal, dan sedikit menggambarkan
kerusakan ginjal. Jumlahnya akan meningkat jika terdapat kerusakan pada
sel. Nilai normalnya adalah 5-40 IU/L, dan dikatakan meningkat secara
bermakna jika kadanya meningkat 3x lipat dari batas normal. Pada hepatitis
akibat virus dan hepatitis kronis bahkan kadarnya dapat meningkat 20x dari
batas normal. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan AST diantaranya
adalah penggunaan antibiotiik, seperti amphisilin, clindamycin dan
erythromycin. Selain itu konsumsi vitamin seperti asam volat, pyridoxine dan
vitamin A, narkotik, cortisone, INH, salycilates, digitalis, endomethacin dan
kontrasepsi oral, serta olahraga yang berlebihan juga mempengaruhi hasil
pemeriksaan AST.
2. Alanin Aminotransferasi (ALT) atau Serum Glutamatic-Pyruvic
Transaminase (SGPT)
ALT merupakan enzim yang dapat menggambarkan kerusakan pada hati. ALT
banyak ditemukan pada sitoplasma sel hati dan sedikit pada ginjal, jantung
dan jaringan muskolaskeletal. Nilai normal pada wanita adalah 9-24 IU/L dan
pada pria adalah 10-32 IU/L. Nilainya dapat meningkat hingga 50x lipat dari
batas normal jika terdapat infeksi atau peradangan akibat obat. Dan jika
nilainya mencapai 2.000 IU/L atau lebih, dapat mengindikasikan terdapat
kerusakan hati yang berat. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ALT
diantaranya adalah penggunaan carbenicilin, clindamycin, erythromycin,
gentamycin, cephalosporine, tetracycline dan ampicillin. Obat lain yang dapat
berpengaruh diantaranya narkotik, seperti meperidine, morphine dan codein.
Antihipersensitif seperti methyldopa guanethidine dan propranolol, serta obat
lain yaitu digitalis, salicylates, heparin, acetaminophen, INH, methotrexate
dan chlorpromazine juga ikut menigkatkan kadar ALT.
3. Alkaline Phosphatase (ALP)
ALP merupakan enzim untuk mengetahui kelainan pada hati, tulang dan juga
plasenta. Nilai normalnya adalah 30-120 IU/L. Kadarnya dapat meningkat
pada keadaan sirosis hepatis, rheumathoid artritis, dan pertumbuhan normal
tulang pada kasus patah tulang. Sedangkan kadarnya dapat menurun pada
kelainan fungsi tulang yang sering menyebabkan gangguan kelainan darah,
gangguan pertumbuhan dan dalam keadaan hipitiroid. Faktor yang
mempengaruhi pemeriksaan diantaranya adalah penggunaan vitamin D,
barbiturate, chlorpropamide, allopurinol, anntibiotik, azathioprine, colchicine,
fluorides, indomethacin, INH, methotrexate, methyldopa, nicotinic acid,
kontrasepsi oral, phenothiazine, probenecide dan tetracycline. Selain itu
pengambilan specimen lebih dari 10-12 jam dan penyimpanan pada suhu
ruangan dapat meberikan hasil peningkatan palsu.
4. Gamma-Glutamyl Transferasi (GGT)
GGT merupakan suatu enzyme yang digunakan untuk mendeteksi kerusakan
pada jaringan hati melalui asam amino dan peptide pada membrane sel.
Enzim ini juga dapat ditemukan dengan jumlah yang sedikit pada limpa,
prostat dan jantung. Enzim ini juga dapat digunakan untuk program
rahabilitasi alcohol karena kadar GGT masih dapat terdeteksi pada tuguh
selama 12-24 jam setelah mengkonsumsi alcohol. GGT merupakan enzim
yang lebih sensitive digunakan untuk mendeteksi kelainan hati pada anak
dibandingkan dengan ALP. Nilai normalnya adalah 10-39 IU/L dan dapat
meningkat pada kelainan hati, seperti penyumbatan saluran hepar, sirosis
hepatis, hepatitis akut maupun kronis. Selain itu, kadarnya dapat meningkat
pula jika terdapat kanker pada hati, pancreas, prostat, payudara, ginjal, paru
dan otak. Kadarnya dapat meningkat pada penggunaan obat acetaminophen,
alcohol, barbiturate, phenytoin, streptokinase dan penggunaan alcohol (dapat
bertahan 2-3 minggu). Kadarnya menurun pada penggunaan kontrasepsi oral.
5. Bilirubin
Bilirubin merupakan suatu pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi hati dan
mengidentifikasi tipe dari Jaundice. Bilirubin dihasilkan dari katabolisme
hemoglobin. Hemoglobin itu sendiri dihasilkan dari eritrosit tua yang
dihancurkan di dalam sel retikuloendotelial hati, limpa dan sumsum tulang.
Nilai normal bilirubin total adalah 0,1-1 mg/dL. Peningkatan bilirubin direk
menandakan adanya penyumbatan pada saluran hepatic oleh atresia, batu,
stricture, atau keganasan. Nilai normal bilirubin direk adalah 0,1-0,3 mg/dL.
Sedangkan peningkatan bilirubin indirek menandakan adanya kerusakan pada
sel hati. Selain itu juga dapat terjadi pada keadaan anemia hemolitik, anemia
sickle-cell, perdarahan internal, reaksi transfuse, gilbert’s syndrome, Crigler-
Najjar syndrome. Nilai normal bilirubin indirek adalah 0,2-0,8 mg/dL. Factor
yang dapat mempengaruhi pemeriksaan bilirubin diantaranya adalah
terpaparnya sinar matahari atau UV pada sampel dapat menurunkan hasil
pemeriksaan, selain itu keadaan hemolysis, lipemia dan konsumsi obat
heptotoxic dapat meningkatkan kadar bilirubin, seperti phenothiazine,
methotrexate, allopurinol, anabolic steroid, acetaminophen, codein, dextran,
morphine, diuretic, theophyline, cholinergic, quinidine, salicylate, meperidine
dan esterogen. Sedangkan kadar bilirubin dapat menurun pada penggunaan
cafein, peniciline dan barbiturate.
C. Pencitraan
Pada kerusakan tipe kolestatik, diagnosis bandingnya yaitu kelainan
pankreatikobilier yang bisa ekstrahepatik atau intrahepatik. Kelainan ekstrahepatik
seperti choledocolithiasis atau malignansi bisa diekslusikan dengan pemeriksaan
pencitraan abdominal seperti USG, CT-scan, atau MRI. Kelainan intrahepatik yang
menyerupai DILI perlu diekslusi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
(sepsis, gagal jantung), tes serologis ( anti-mitochondrial antibody untuk sirosis bilier
primer), atau pencitraan (sclerosing cholangitis). 12,13

D. Biopsi Hati

Biopsi hati bukan merupakan pemeriksaan yang mandatorik dilakukan pada


kasus DILI, namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pada kejadian seperti : 13

1. Bila hepatitis autoimun menjadi satu-satunya diagnosis banding yang tersisa


dan pasien dipertimbangkan mendapat terapi imunosupresif.
2. Bila enzim hati terus naik atau tanda kerusakan hati yang makin memburuk
meskipun agen yang diduga sebagai penyebab sudah dihentikan.
3. Bila nilai ALT tidak menurun >50% setelah 30-60 hari atau AP tidak menurun
>50% setelah 180 hari meskipun agen yang diduga sebagai penyebab sudah
dihentikan.
4. Pada kasus DILI dimana penggunaan obat penyebab perlu diteruskan.
5. Bila abnormalitas nilai enzim hati terus tampak hingga 180 hari untuk
mengevaluasi adanya penyakit hati kronis.
E. Penilaian Kausalitas
RUCAM (Roussel Uclaf Causality Assessment Method) adalah alat penilaian
standard untuk menilai probabilitas suatu obat sebagai penyebab dari DILI. Sistem
ini tidak bisa dipakai sebagai alat diagnosis satu-satunya, namun sebagai bimbingan
untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan DILI. Sistem skoring ini dibagi menjadi
tipe hepatoselular dan tipe kolestatik dengan campuran. Poin-poin lalu ditambah
atau dikurangi berdasarkan onset gejala, waktu hingga nilai enzim hati kembali
normal, faktor risiko, obat penyerta, diagnosis banding, dan hasil re-challenge. Skor
akhirnya kemudian dibagi menjadi 5 hasil, yaitu: 12,13,14
1. Disingkirkan: skor <=0
2. Kurang mungkin: skor 1-2
3. Mungkin: skor 3-5
4. Berpotensi: skor 5-8
5. Pasti: skor >8
Gambar 3. Roussel Uclaf Causality Assessment Method untuk penilaian DILI

VII. Penatalaksanaan
Pada pasien dengan dugaan DILI, terutama dengan kenaikan nilai enzim hati
atau terdapat tanda-tanda disfungsi hati, agen yang diduga sebagai penyebab harus
dihentikan. Terapi lainnya biasanya bersifat suportif dan tergantung dari gejala yang
tampak.13,14
N-Acetylcystein bisa diberikan pada pasien dengan DILI akibat acetaminofen.
Dari beberapa penelitian, penggunaan NAC pada DILI akibat obat lain memberikan
tingkat survival yang lebih tinggi dibanding dengan pasien yang tidak mendapat
NAC. Namun, pemberian NAC pada pasien anak justru memberikan tingkat survival
yang lebih rendah dan tidak direkomendasikan. 13,14
Pengunaan steroid pada pasien DILI biasanya diberikan bila ditemukan gejala
hipersensitivitas, namun belum ada uji terkontrol untuk penggunaan steroid. 13,14
Terapi khusus lain yang dapat diberikan pada pasien DILI yaitu L-carnitine
untuk DILI akibat valproate, dan asam ursodeoxycholic untuk gejala kolestasis,
namun, data mengenai efikasinya masih terbatas. 13,14

VIII. Prognosis
Sebagian besar pasien DILI yang simptomatik dapat sembuh dengan terapi
suportif setelah obat penyebabnya dihentikan. Prognosis dari tiap pasien tergantung
dari tingkat kerusakan hati saat datang pertama kali. Sebagai contoh, pasien dengan
DILI, koagulopati (INR>1,5) dan encefalopati memiliki prognosis yang buruk tanpa
mendapat transplantasi hati. Selain itu, lama pemakaian obat penyebab sebelum
dihentikan serta kerusakan hati tipe kolestatik juga berpengaruh pada risiko
perkembangan penyakit menjadi kronis.12,13,14
Sebuah observasi dari dr. Hyman Zimmerman pada tahun 1978 menemukan
bahwa pasien dengan ikterik yang disebabkan oleh obat (bilirubin total >2x dari
batas normal atau nilai ALT/AST >3x dari batas normal) memiliki tingkat mortalitas
sebesar 10%. 12,13,14

DAFTAR PUSTAKA
1. Bjornsson,E. Review article: drug-induced liver injury in clinical practice .
Aliment Pharmacol Ther 2010; 32: 3–13.
2. Squires et al. Acute Liver Failure in Children: The First 348 Patients in The
Pediatric Acute Liver Failure Study Group. J Pediatr. 2006 May ; 148(5): 652–658.
3. Molleston et al. Characteristics of Idiosyncratic Drug-induced Liver Injury in
Children: Results From the DILIN Prospective Study . J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2011 August ; 53(2): 182–189.
4. Devarbhavi et al. Drug-Induced Liver Injury With Hypersensitivity Features
Has a Better Outcome: A Single-Center Experience of 39 Children and Adolescents .
HEPATOLOGY, Vol. 54, No. 4, 2011
5. Liddle, Christopher and Stedman, Catherine A.M. Hepatic metabolism of
drugs. The Textbook of Hepatology: From Basic Science to Clinical Practice, 3rd
Edition, July 2007, Section 2.3.15
6. Russmann et al. Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced
Hepatotoxicity. Current Medicinal Chemistry, 2009, 16, 3041-3053
7. Russmann S.; Jetter A.; Kullak-Ublick G.A.; Pharmacogenetics of Drug-
Induced Liver Injury. HEPATOLOGY, Vol. 52, No. 2, 2010
8. Bjornsson E.;Chalasani N.; Risk Factors for Idiosyncratic Drug-Induced Liver
Injury. Gastroenterology. 2010 June ; 138(7): 2246–2259.
9. Devarbhavi,H. Antituberculous drug-induced liver injury: current perspective .
Tropical Gastroenterology 2011;32(3):167–174
10. Raquel Lima de Figueiredo Teixeira et al. Genetic polymorphisms of NAT2,
CYP2E1 and GST enzyme and the occurrence of antituberculosis drug-induced
hepatitis in Brazilian TB patients. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol.
106(6): 716-724, September 2011
11. Bjornsson E.;Chalasani N.;Ghabril M.; Drug-induced liver injury: a clinical
update. Curr Opin Gastroenterol. 2010 May ; 26(3): 222–226.
12. Andrade RJ, Robles M, Fernández-Castañer A, López-Ortega S, López-Vega
MC, Lucena MI. Assessment of drug-induced hepatotoxicity in clinical practice: A
challenge for gastroenterologists. World J Gastroenterol 2007; 13(3):329-340
13. Chalasani et al. ACG Clinical Guideline: The Diagnosis and Management of
Idiosyncratic Drug-Induced Liver Injury. Am J Gastroenterol advance online
publication, 17 June 2014
14. Ki Tae Suk, et al. Drug-induced liver injury: present and future. Clinical and
Molecular Hepatology 2012;18:249-257
15. M. K. Gaedeke. Laboratory and Diagnostic Test Handbook, 1995

Anda mungkin juga menyukai