Anda di halaman 1dari 6

CONTINUING MEDICAL CONTINUINGCONTINUINGMEDICALMEDI

EDUCATION
CALEDUCAEDUCATIONTION
Akreditasi PB IDI3 SKP

Drug-Induced Liver Injury Tantangan dalam


Diagnosis
Imelda Maria Loho, Irsan Hasan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI), atau hepatotoksisitas imbas obat, merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan
terhadap obat atau agen non-infeksius. Jejas yang ditimbulkan oleh obat bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan, hingga gagal hati akut
yang mengancam nyawa. Insidens hepatotoksisitas imbas obat terbilang rendah, yaitu antara 1 dari 10.000 sampai 1 dari 100.000 pasien,
tampaknya karena sulitnya diagnosis dan angka pelaporan yang masih rendah. Kunci penting diagnosis DILI adalah pajanan obat harus terjadi
sebelum onset jejas hati dan penyakit lain yang dapat menyebabkan jejas hati harus disingkirkan. Selain itu, jejas hati akan membaik bila
penggunaan obat tertentu dihentikan dan jejas hati dapat terjadi lebih cepat dan lebih berat pada pajanan berikutnya, khususnya bila jejas
hati tersebut terjadi akibat proses imunologis.
Kata kunci: Drug-induced liver injury, diagnosis, obat

ABSTRACT
Drug-induced liver injury or drug-related hepatotoxicity is injury to the liver caused by exposure to a drug or another noninfectious agent. The
clinical signs could vary from very mild condition without any clinical symptoms to severe and life-threatening acute liver failure. Drug-related
hepatotoxicity has a low reported incidence, ranging from 1 in 10.000 and 1 in 100.000 patients, but its true incidence may be higher
because of difficulties in detection or diagnosis and underreporting. Key elements in assessing cause in the diagnosis of drug-related
hepatotoxicity were: Exposure to a drug must precede the onset of liver injury. Other disease should be ruled out. Condition may improve
when the drug is stopped and may recur more rapidly and severely on repeated exposure, especially if immunological process is involved.
Imelda Maria Loho, Irsan Hasan. Drug-Induced Liver Injury Diagnostic Challenges.
Key words: Drug-induced liver injury, diagnosis, drug

PENDAHULUAN
Jejas hati imbas obat (drug-induced liver
injury, DILI) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang memiliki tantangan diagnosis
tersendiri. Luputnya diagnosis DILI sering
terjadi karena DILI memiliki spektrum yang
luas, mulai dari tidak bergejala sama sekali
sampai gagal hati akut yang mengancam
nyawa. Karena itu, pendekatan diagnosis
yang tepat merupakan hal yang sangat
penting. Dalam artikel ini, akan dibahas
secara singkat mengenai epidemiologi,
klasifikasi, mekanisme, diagnosis, dan tata
laksana DILI.
EPIDEMIOLOGI
Perkembangan dunia kedokteran, yang antara
lain diwarnai dengan makin banyaknya jenis
Alamat korespondensi

obat, meningkatkan harapan kesembuhan


dari berbagai penyakit. Akan tetapi,
perkembangan ini juga membawa dampak
tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko
dan angka kejadian efek samping obat.1,2
Meskipun efek samping obat dapat terjadi
pada semua sistem organ tubuh, hati
merupakan organ yang paling rentan karena
sebagian besar obat menjalani metabolisme
parsial maupun komplet serta eliminasi
melalui hati.
Berbagai survei di dunia menunjukkan
bahwa frekuensi DILI sebagai penyebab
penyakit hati akut maupun kronik relatif
rendah.3-5 Insidens hepatotoksisitas imbas
obat dilaporkan sebesar 1:10.000 sampai
1:100.000 pasien.6 Meskipun demikian,

insidens DILI yang sebenarnya sulit diketahui.


Jumlah aktual dapat jauh lebih besar karena
sistem pelaporan yang belum memadai,
kesulitan mendeteksi atau mendiagnosis, dan
kurangnya observasi terhadap pasien-pasien
yang mengalami DILI.7
KLASIFIKASI
Hepatotoksisitas akibat obat secara umum
dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu
hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga
hepatotoksisitas direk atau dapat diprediksi)
dan hepatotoksisitas idiosinkratik (disebut
juga hepatotoksisitas indirek atau tidak
dapat diprediksi). Contoh hepatotoksisitas
intrinsik adalah
hepatotoksisitas akibat
pajanan terhadap zat kimia industri maupun

email: melda.loho@gmail.com

CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014

167

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


lingkungan atau toksin, seperti karbon
tetraklorida, fosfor, atau beberapa jenis jamur
yang menyebabkan jejas hati. Sebaliknya,
hepatotoksisitas
idiosinkratik merupakan
hepatotoksisitas yang disebabkan oleh obatobat konvensional dan produk herbal yang
menyebabkan hepatotoksisitas hanya pada
sejumlah
kecil
resipien
(1:10.0001:100.000).8
Klasifikasi Berdasarkan Pola Jejas Hati
Pada tahun 2001, American Association
for the Study of Liver Diseases (AASLD)
menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin
aminotransferase (ALT ) lebih dari tiga kali
batas atas normal (BAN) dan peningkatan
bilirubin total lebih dari dua kali BAN dapat
digunakan sebagai kriteria untuk
meenentukan ada tidaknya kelainan
signifikan pada parameter laboratorik hati.9
Peningkatan kadar enzim hati alanin
transaminase (ALT ), aspartat
aminotransferase (AST ), dan fosfatase alkali
(ALP) dianggap sebagai indikator jejas hati,
sedangkan peningkatan bilirubin total dan
terkonjugasi merupakan parameter untuk
menilai fungsi hati secara keseluruhan.
Penilaian pola jejas hati sangat penting
karena obat-obat tertentu cenderung
menyebabkan jejas dengan pola khas pula (
Tabel 1).
Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik)
menyebabkan peningkatan kadar ALT
dan AST serum yang bermakna, biasanya
mendahului peningkatan
bilirubin total,
disertai sedikit peningkatan ALP. Contohnya
adalah jejas hati imbas isoniazid. Sebaliknya,
jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan
ALP yang mendahului atau relatif lebih
menonjol dibanding peningkatan ALT
maupun AST. Selain ketiga macam jejas hati
di atas, terdapat jejas mitokondria yang dapat
dinilai melalui biopsi hati. Jejas mitokondria
ini menyebabkan steatosis mikrovaskular
yang terlihat pada biopsi hati, asidosis laktat,
serta
sedikit
peningkatan
enzim
aminotransferase, seperti yang terjadi pada
jejas hati imbas asam valproat maupun
tetrasiklin parenteral dosis tinggi.7,10
Perlu diingat bahwa peningkatan kadar
enzim ini lebih dari tiga kali BAN tidak selalu
berhubungan dengan kerusakan hati yang
signifikan. Hal ini karena kapasitas hati yang
besar untuk menyembuhkan jejas serta
kemampuanhatiuntukmelakukanmekanisme
toleransi adaptif. Apabila peningkatan enzim
ini disertai timbulnya gejala tidak spesifik,

Tabel 1 Pola Jejas Hati dan Obat-Obat Penyebab8


Hepatoselular
(Peningkatan ALT)
Akarbose
Asetaminofen/parasetamol
Alopurinol
Amiodaron
Bupropion
Fluoksetin
HAART (highly active antiretroviral therapy)
Herbal: kava kava, germander
Isoniazid
Ketokonazol
Lisinopril
Losartan
Metotreksat
NSAID
Omeprazol
Paroksetin
Pirazinamid
Rifampin
Risperidon
Sertralin
Statin
Tetrasiklin
Trazodon
Trovafloksasin
Asam valproat

Campuran
(Peningkatan ALP dan ALT)
Amitriptilin
Azatioprin
Kaptopril
Karbamazepin
Klindamisin
Siproheptadin
Enalapril
Flutamid
Nitrofurantoin
Fenobarbital
Fenitoin
Sulfonamid
Trazodon
Trimetoprim-sulfametoksazol
Verapamil

seperti kelelahan, anoreksia, mual, nyeri perut


kanan atas, serta urin berwarna gelap, bisa
merupakan petunjuk awal hepatotoksisitas.7
Prognosis jangka pendek maupun jangka
panjang jejas tipe hepatoselular mengikuti
hukum Hy. Hukum ini dipopulerkan oleh
Hyman Zimmerman, seorang hepatolog yang
tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan
bahwa 10% pasien DILI mengalami ikterus
dan, dari jumlah tersebut, 10% akan
meninggal karena DILI. Angka fatalitas kasus
(case fatality rates) pasien gagal hati
fulminan imbas obat terlapor sangat tinggi
(sekitar 75%) untuk obat-obat
selain
asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas
kasus gagal hati fulminan yang disebabkan
asetaminofen jauh lebih rendah, kurang lebih
25%.10
PATOGENESIS DILI
Kematian hepatosit pada DILI dapat terjadi
melalui dua proses, yaitu proses yang
diperantarai apoptosis atau nekrosis. Pada
apoptosis, terjadi pengerutan dan fragmentasi
sel menjadi pecahan-pecahan kecil dengan
membran sel tetap utuh. Pecahan-pecahan ini
akan dibersihkan melalui proses fagositosis
dan umumnya tidak merangsang respons
imun pejamu.
Sebaliknya, nekrosis
menyebabkan hilangnya fungsi mitokondria
dan deplesi ATP yang menyebabkan
pembengkakan
dan lisis sel
yang
merangsang
terjadinya proses inflamasi
lokal.7

Kolestatik (Peningkatan ALP


dan Bilirubin Total)
Amoksisilin-asam klavulanat
Steroid anabolik
Klorpromazin
Klopidogrel
Kontrasepsi oral
Eritromisin
Estrogen
Irbesartan
Mirtazapin
Fenotiazin
Terbinafin
Antidepresan trisiklik

Proses apoptosis dan nekrosis tersebut


dapat tercetus melalui berbagai mekanisme.
Pada sebagian besar kasus, DILI diawali
dengan bioaktivasi obat menjadi metabolit
reaktif yang mampu berinteraksi dengan
makromolekul seluler, seperti protein, lemak,
dan asam nukleat. Hal ini menyebabkan
disfungsi protein, peroksidasi lipid, kerusakan
DNA, dan stres oksidatif. Selain itu, metabolit
reaktif ini dapat mencetuskan gangguan
pada gradien ionik dan penyimpanan kalsium
intraseluler,
menyebabkan
terjadinya
disfungsi mitokondria
dan
gangguan
produksi energi. Gangguan fungsi seluler ini
pada akhirnya dapat menyebabkan kematian
sel dan gagal hati.11
PREDIKTOR KERENTANAN TERHADAP
DILI
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
seseorang
lebih
rentan
mengalami
hepatotoksisitas imbas obat. Ada bukti bahwa
seiring bertambahnya usia, risiko mengalami
DILI meningkat.12 Hal ini terjadi karena
tampaknya banyak orang usia lanjut yang
mengonsumsi sejumlah obat yang dapat
menyebabkan perubahan farmakokinetik
obat dan berhubungan dengan proses
penuaan yang mengakibatkan penurunan
metabolisme, distribusi, serta eliminasi obat.8
Prediktor penting lainnya adalah hepatitis
viral kronik, baik hepatitis B maupun C yang

168

CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Tabel 2 Panduan Kunci untuk Mengenali dan Mencegah Hepatotoksisitas dalam Praktik Klinis7
Jangan mengabaikan gejala

Jika sebuah obat digunakan dalam jangka panjang, dapat timbul hepatotoksisitas
yang gejalanya bervariasi, mulai dari mual, anoreksia, malaise, lemah, nyeri
abdomen kanan atas, sampai ikterus. Lakukan pemeriksaan jejas dan gangguan
fungsi hati.

Lakukan anamnesis dengan seksama

Lakukan anamnesis teliti mengenai tanggal dan dosis penggunaan obat-obat


over the counter (OTC), herbal, dan obat-obat lain yang diresepkan.

Hentikan agen penyebab

Hentikan obat-obat yang dicurigai, khususnya bila gejala sudah muncul


dan gangguan fungsi hati sudah terjadi (peningkatan kadar bilirubin
atau pemanjangan waktu protrombin). Lakukan pemantauan gejala dan,
bila memburuk, konsultasikan dengan spesialis penyakit dalam atau ahli
gastroenterologi dan hepatologi.

Perhatikan hukum Hy

Ikterus yang muncul setelah DILI merupakan kondisi serius yang berpotensi fatal.
Segera konsultasikan dengan spesialis.

telah ada sebelumnya. Pada beberapa


penelitian, didapatkan peningkatan risiko
DILI pada pasien hepatitis kronik yang
diterapi dengan INH dan rifampisin.13,14 Risiko
DILI juga meningkat pada pasien HIV dengan
koinfeksi hepatitis
B
atau
C yang
mendapat
terapi antiretroviral.15 Obesitas
dan non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD)
dikatakan tidak meningkatkan risiko DILI.16
PENDEKATAN DIAGNOSTIK DILI DAN
PENILAIAN KAUSALITAS PADA DILI
Mendiagnosis DILI dengan pasti tidaklah
mudah. Hal penting yang menjadi pegangan
diagnosis DILI: Pertama, hepatotoksisitas
imbas obat dapat menyerupai hampir
semua jenis penyakit hati, dan saat ini
diagnosis DILI dilakukan per eksklusionam
karena tidak terdapat penanda biologis
maupun pemeriksaan spesifik yang dapat
menegakkan diagnosis DILI. Karena itu,
semua penyebab jejas hati yang dapat
memberikan gambaran serupa harus
disingkirkan terlebih dulu. Kedua, menggali
seluruh data klinis maupun biokimia
yang berhubungan dengan jejas hati; data
ini merupakan kunci penting untuk
menentukan karakteristik dan pola jejas
hati agar dapat membantu menegakkan
diagnosis. Ketiga, perlu diingat bahwa
kondisi medis yang mengharuskan
penggunaan obat dapat menyebabkan
disfungsi hati; hal ini bisa semakin
menyulitkan diagnosis DILI. Keempat,
karena umumnya beberapa obat diberikan
bersamaan, interaksi sinergistik antarobat
dapat terjadi sekaligus menimbulkan
pertanyaan obat mana yang menyebabkan
DILI.7
Terdapat dua metode
utama untuk
menentukan kausalitas pada DILI, yaitu
penilaian berdasarkan kondisi klinis pasien

dan penggunaan sistem penskoran. Metode


pertama menekankan ketajaman analisis
seorang dokter terhadap kondisi klinis dan
biokimia pasien yang berhubungan dengan
penggunaan obat atau produk herbal.
Akan tetapi, pendekatan ini terlalu subjektif
dan akurasinya sangat tergantung pada
keterampilan melakukan anamnesis dan
menyingkirkan
kemungkinan penyebab
hepatotoksisitas lain.8
Pendekatan lebih objektif adalah penilaian
kausalitas menggunakan metode RUCAM
(Roussel-Uclaf Causality Assessment Method).
Dalam metode ini, terdapat tujuh parameter
yang dinilai, yaitu jangka waktu terjadinya
penyakit hati dari pertama kali mengonsumsi
obat, perjalanan penyakit hati yang dialami
saat ini, faktor risiko untuk mengalami jejas
hati, eksklusi penyebab jejas hati lain,
informasi mengenai hepatotoksisitas yang
ditimbulkan oleh obat tersangka, serta
respons terhadap pemberian ulang obat.18
Instrumen tersebut saat ini digunakan secara
luas dalam berbagai penelitian untuk menilai
hepatotoksisitas,
tetapi
masih
sulit
diaplikasikan dalam praktik klinis sehari-hari,
sehingga sebagian besar dokter masih
menggunakan
penilaian klinis dalam
mendiagnosis DILI.8,17
Sewaktu melakukan evaluasi terhadap
tersangka DILI, hal pertama yang harus
dilakukan adalah menyingkirkan penyebab
lain jejas hati, seperti hepatitis A, hepatitis
B, dan terkadang hepatitis C akut, hepatitis
autoimun atau alkoholik, kelainan traktus
biliaris, dan
gangguan
hemodinamik.
Hepatitis viral dapat
dievaluasi dengan
memeriksa antibodi IgM terhadap hepatitis
A, hepatitis B surface antigen (HBsAg), dan
antibodi anti- hepatitis C. Kelainan traktus
biliaris dapat

menyebabkan jejas hati melalui proses


obstruksi atau infeksi, seperti yang terjadi
pada kolesistitis maupun kolangitis. Karena
itu, perlu dilakukan ultrasonografi abdomen
dan, jika perlu, CT scan abdomen.7,8,17
Jejas hati imbas alkohol harus dicurigai
apabila terdapat riwayat konsumsi alkohol
pada saat yang
berdekatan
dengan
timbulnya gejala, kadar alkohol yang
terdeteksi dalam serum, atau kadar AST yang
meningkat lebih tinggi dari ALT dengan
perbandingan 2:1. Penyakit autoimun harus
dicurigai apabila jejas hati disertai adanya
antinuclear antibody (ANA) atau antibodi
anti-smooth-muscle
positif.
Kondisi
hemodinamik yang tidak stabil, seperti syok
kardiovaskular atau gagal jantung, dapat juga
menyebabkan jejas hati. Kelainan metabolik
dan endokrin juga dapat menyebabkan jejas
hati, seperti hemokromatosis, penyakit Wilson,
dan defisiensi -1 antitripsin.8
Setelah menyingkirkan penyebab jejas
hati akut lain, langkah berikutnya adalah
menetapkan jenis obat penyebab. Hal ini
dapat dilakukan dengan anamnesis teliti
mengenai semua jenis obat yang diberikan
dalam 12 bulan terakhir, termasuk herbal
maupun suplemen. Hal penting lain dalam
menegakkan diagnosis adalah menentukan
jangka waktu dari pertama kali konsumsi
obat hingga onset penyakit hati, pola atau
tipe jejas hati (hepatoselular, kolestasis, atau
campuran), juga menentukan berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan
setelah obat dihentikan ( Tabel 2).8
TATA LAKSANA
Tata laksana DILI yang paling penting adalah
segera menghentikan obat yang dicurigai
sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus,
jejas hati akan menyembuh sendiri setelah
obat dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI
bermanifestasi sebagai hepatitis autoimun
dan penyembuhan
tidak terjadi dengan
penghentian
obat, kortikosteroid sering
digunakan sebagai terapi meskipun bukti
ilmiahnya masih kontroversial.19,20
Overdosis asetaminofen harus ditangani
segera dengan pemberian N-asetilsistein
(NAC). Untuk orang dewasa yang menelan
asetaminofen kurang dari 24 jam sebelum ke
rumah sakit, dosis awal NAC sebesar 140 mg/
kgBB harus diberikan, dilanjutkan 70 mg/kgBB
setiap 4 jam, sebanyak 17 dosis, dimulai 4 jam

CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014

169

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


setelah dosis awal diberikan.10
Asam ursodeoksikolat dapat diberikan pada
DILI tipe kolestatik dengan dosis 20-30 mg/
kgBB/hari dalam dua dosis terbagi. Apabila
timbul rasa gatal yang hebat, dapat diberikan
kolestiramin, tetapi obat ini harus diberikan

pada waktu yang berbeda dengan saat


pemberian asam ursodeoksikolat dan obatobat lain karena kolestiramin akan mengikat
dan menghalangi penyerapan obat lain.
Kolestiramin disarankan diberikan pada pagi
hari ketika terjadi regenerasi maksimal
biliary pool.10

SIMPULAN
Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury,
DILI) merupakan masalah kesehatan yang
sering luput terdiagnosis oleh dokter. Tidak
adanya alat diagnostik spesifik mengharuskan
seorang klinisi benar-benar cermat dalam
mendiagnosis DILI.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Timbo BB, Roiss MP, McCarthy PV, Lin CT. Dietary supplements in a national survey: Prevalence of use and reports of adverse events. J Am Diet Assoc. 2006;106:1966-74.

2.

McDonnell PJ, Jacobs MR. Hospital admissions resulting from preventable adverse reactions. Ann Pharmacother. 2002;329:15-9.

3.

Sgro C, Clinard F, Ouazir K, Chanay H, Allard C, Guilleminet C, et al. Incidence of drug-induced hepatic injuries: A French population-based study. Hepatology. 2002;36:451-5.

4.

Olsson R, Brunlof G, Johansson ML, Persson M. Drug-induced hepatic injury in Sweden. Hepatology. 2003;38:531-2.

5.

Friia H, Andreasen PB. Drug-induced hepatic injury: An analysis of 1100 cases reported to the Danish Committee on Adverse Drug Reactions between 1978 and 1987. J Intern Med.
1992;232:133-8.

6.

Larrey D. Epidemiology and individual susceptibility to adverse drug reactions affecting the liver. Semin Liver Dis. 2002;22:145-55.

7.

Navarro VJ, Senior JR. Drug-related hepatotoxicity. N Engl J Med. 2006;354:731-9.

8.

Seeff LB, Fontana RJ. Drug-induced liver injury. In: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, Heathcote EJ, editors. Sherlocks diseases of the liver and biliary system. 12th ed. USA: Blackwell
Publishing Ltd; 2011.

9.

FDA Working Group. CDER-PhRMAAASLD Conference 2000: Clinical white paper on drug-induced hepatotoxicity [Internet]. 2000 [cited 2011 Sep 2]. Available from: http://www.fda.gov/
cder/livertox/clinical.

10. Bonkovsky HL. Drug-induced liver injury. In: Boyer, TD, Teresa LW, Michael PM, editors. Zakim and Boyers hepatology: A textbook of liver disease. 5th ed. USA: Elsevier; 2006. p. 503-38.
11. Lee WM. Drug-induced hepatotoxicity. N Engl J Med [serial on Internet]. 2003 [cited 2009 Sep 28]; 349: 474-85.
12. Lucena MI, Andrade RJ, Fernandez MC, Pachkoria K, Pelaez G, Durn JA, et al. Determinants of the clinical expression of amoxicillin-clavulanate hepatotoxicity: A prospective series from
Spain. Hepatology. 2006;44:850-6.
13. Wong WM, Wu PC, Yuen MF, Cheng CC, Yew WW, Wong PC, et al. Antituberculosis drug-related liver dysfunction in chronic hepatitis B infection. Hepatology. 2000;31:201-6.
14. Wu JC, Lee SD, Yeh PF, Chan CY, Wang YJ, Huang YS, et al. Isoniazid-rifampin-induced hepatitis in hepatitis B carriers. Gastroenterology. 1990;98:502-4.
15. Labarga P, Soriano V, Vispo ME. Hepatotoxicity of antiretroviral drugs in patients with liver disease. Aliment Pharmacol Ther. 2008;29:1021-41.
16. Vuppalanchi R, Teal E, Chalasani N. Patients with elevetaed baseline liver enzymes do not have higher frequency of hepatotoxicity from lovastatin than those with normal baseline liver
enzymes. Am J Med Sci. 2005;325:62-5.
17. Tajiri K, Yukihiro S. Practical guidelines for diagnosis and early management of drug-induced liver injury. World J Gastroenterol. 2008;14:6774-85.
18. Benichou C. Criteria of drug-induced liver disorders: report of an International consensus meeting. J Hepatol. 1990;11:272-6.
19. Dechene A, Treicherl U, Gerken G. Effectiveness of a steroid and ursodeoxycholic acid combination therapy with drug-induced subacute liver failure. Hepatology. 2005;42:A358.
20. Rakela J, Mosley JW, Edwards VM. A double-blind randomized trial of hydrocortisone in acute hepatic failure. Dig Dis Sci. 1991;36:1223-8.

170

CDK-214/ vol. 41 no. 3, th. 2014

Anda mungkin juga menyukai