Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jejas hati

imbas

obat

(drug-induced

liver

injury, DILI),

atau

hepatotoksisitas imbas obat, merupakan jejas hati yang disebabkan oleh pajanan
terhadap obat atau agen non-infeksius. Jejas yang ditimbulkan oleh obat
bervariasi, mulai dari tidak bergejala, ringan, hingga gagal hati akut yang
mengancam nyawa. Insidens hepatotoksisitas imbas obat terbilang rendah,
yaitu antara 1 dari 10.000 sampai 1 dari 100.000 pasien, tampaknya karena
sulitnya diagnosis dan angka pelaporan yang masih rendah. Kunci penting
diagnosis DILI adalah pajanan obat harus terjadi sebelum onset jejas hati dan
penyakit lain yang dapat menyebabkan jejas hati harus disingkirkan. Selain
itu, jejas hati akan membaik bila penggunaan obat tertentu dihentikan dan jejas
hati dapat terjadi lebih cepat dan lebih berat pada pajanan berikutnya, khususnya
bila jejas hati tersebut terjadi akibat proses imunologis.
Dalam sebuah penelitian akibat DILI, 4 dari 34 (11,8%) pasien dirawat di
rumah sakit, dan dua orang (5,9%) meninggal (Reuben, 2010). Sebanyak 14%
kasus DILI menyebabkan transplatasi hati bahkan kematian di Singapore (Wai,
2006).
Tahun 2012 terdapat penelitian di salah satu rumah sakit Tasikmalaya yang
menunjukan bahwa 96% pasien dengan gangguan fungsi hati masih banyak yang

diberikan obat penginduksi penyakit hatidiantaranya ranitidin, sefriakson, dan


parasetamol (Cinthya, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu drug induced liver injury?
2. Bagaimana epidemiologi drug induced liver injury?
3. Apa saja klasifikasi drug induced liver injury?
4. Apa saja obat yang dapat menyebabkan hepatotoksik?
5. Bagaimana cara menyelesaikan kasus pada penderita dengan gangguan
hepatotoksik?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu drug induced liver injury
2. Mengetahui epidemiologi drug induced liver injury
3. Mengetahui klasifikasi drug induced liver injury
4. Mengetahui obat-obat apa saja yang menyebabkan hepatotoksik
5. Mengetahui bagaimana cara penyelesaian kasus pada penderita
hepatotoksik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury, DILI) merupakan salah
satu masalah kesehatan yang memiliki tantangan diagnosis tersendiri. Luputnya
diagnosis DILI sering terjadi karena DILI memiliki spektrum yang luas, mulai
dari tidak bergejala sama sekali sampai gagal hati akut yang mengancam nyawa.
Karena
penting.

itu, pendekatan diagnosis yang tepat merupakan hal


Dalam

artikel

ini, akan

dibahas

secara

yang

singkat

epidemiologi, klasifikasi, mekanisme, diagnosis, dan tata laksana DILI.


2.2 Epidemiologi
Perkembangan dunia kedokteran, yang antara lain diwarnai

sangat

mengenai

dengan

makin banyaknya jenis obat, meningkatkan harapan kesembuhan dari berbagai


penyakit. Akan tetapi, perkembangan ini juga membawa dampak tersendiri,
seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek samping obat.
Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua sistem organ tubuh,
hati merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar obat menjalani
metabolisme parsial maupun komplet serta eliminasi melalui hati.
Berbagai survei di dunia menunjukkan bahwa frekuensi DILI sebagai
penyebab penyakit

hati

akut

maupun

kronik

relatif rendah. Insidens

hepatotoksisitas imbas obat dilaporkan sebesar 1:10.000 sampai 1:100.000


pasien. Meskipun

demikian, insidens DILI yang sebenarnya sulit diketahui.

Jumlah aktual dapat jauh lebih besar karena sistem pelaporan yang belum
memadai, kesulitan mendeteksi atau mendiagnosis, dan kurangnya
terhadap pasien-pasien yang mengalami DILI.
2.3 Klasifikasi

observasi

Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua kategori


besar, yaitu hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga hepatotoksisitas direk atau
dapat

diprediksi) dan

hepatotoksisitas

idiosinkratik

(disebut juga

hepatotoksisitas indirek atau tidak dapat diprediksi). Contoh hepatotoksisitas


intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat pajanan terhadap zat kimia industri
maupun lingkungan atau toksin, seperti karbon tetraklorida, fosfor, atau beberapa
jenis jamur yang menyebabkan jejas hati. Sebaliknya, hepatotoksisitas
idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang disebabkan oleh obatobat
konvensional dan produk herbal yang menyebabkan hepatotoksisitas hanya pada
sejumlah kecil resipien (1:10.000-1:100.000).
Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases
(AASLD) menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT)
lebih dari tiga kali batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih
dari dua kali BAN dapat digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada
tidaknya kelainan signifi kan pada parameter laboratorik hati. Peningkatan kadar
enzim hati alanin transaminase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan
fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai indikator jejas hati, sedangkan
peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi merupakan parameter untuk menilai
fungsi hati secara keseluruhan. Penilaian pola jejas hati sangat penting karena
obat-obat tertentu cenderung menyebabkan jejas dengan pola khas pula (Tabel 1)

Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik) menyebabkan peningkatan kadar


ALT dan AST serum yang bermakna, biasanya mendahului peningkatan bilirubin
total, disertai sedikit peningkatan ALP. Contohnya adalah jejas hati imbas
isoniazid. Sebaliknya, jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan ALP yang
mendahului atau relatif lebih menonjol dibanding peningkatan ALT maupun AST.
Selain ketiga macam jejas hati di atas, terdapat jejas mitokondria yang dapat
dinilai melalui biopsi hati. Jejas mitokondria ini menyebabkan steatosis
mikrovaskular yang terlihat pada biopsi hati, asidosis laktat, serta sedikit
peningkatan enzim aminotransferase, seperti yang terjadi pada jejas hati imbas
asam valproat maupun tetrasiklin parenteral dosis tinggi.
Perlu diingat bahwa peningkatan kadar enzim ini lebih dari tiga kali BAN
tidak selalu berhubungan dengan kerusakan hati yang signifi kan. Hal ini karena
kapasitas hati yang besar untuk menyembuhkan jejas serta kemampuan hati untuk

melakukan mekanisme toleransi adaptif. Apabila peningkatan enzim ini disertai


timbulnya gejala tidak spesifi k, seperti kelelahan, anoreksia, mual, nyeri perut
kanan atas, serta urin berwarna gelap, bisa merupakan petunjuk awal
hepatotoksisitas.
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular
mengikuti hukum Hy. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman,
seorang hepatolog yang tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10%
pasien DILI mengalami ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal
karena DILI. Angka fatalitas kasus (case fatality rates) pasien gagal hati fulminan
imbas obat terlapor sangat tinggi (sekitar 75%) untuk obat-obat selain
asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas kasus gagal hati fulminan yang
disebabkan asetaminofen jauh lebih rendah, kurang lebih 25%.
2.4 Patogenesis DILI
Kematian hepatosit pada DILI dapat terjadi melalui dua proses, yaitu
proses yang diperantarai apoptosis atau nekrosis. Pada apoptosis, terjadi
pengerutan dan fragmentasi sel menjadi pecahan-pecahan kecil dengan membran
sel tetap utuh. Pecahan-pecahan ini akan dibersihkan melalui proses fagositosis
dan umumnya tidak merangsang respons imun pejamu. Sebaliknya, nekrosis
menyebabkan hilangnya fungsi mitokondria dan deplesi ATP yang menyebabkan
pembengkakan dan lisis sel yang merangsang terjadinya proses infl amasi lokal.
Proses apoptosis dan nekrosis tersebut dapat tercetus melalui berbagai
mekanisme. Pada sebagian besar kasus, DILI diawali dengan bioaktivasi obat
menjadi metabolit reaktif yang mampu berinteraksi dengan makromolekul seluler,
seperti protein, lemak, dan asam nukleat. Hal ini menyebabkan disfungsi protein,
peroksidasi lipid, kerusakan DNA, dan stres oksidatif. Selain itu, metabolit reaktif

ini dapat mencetuskan gangguan pada gradien ionik dan penyimpanan kalsium
intraseluler, menyebabkan terjadinya disfungsi mitokondria dan gangguan
produksi energi. Gangguan fungsi seluler ini pada akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel dan gagal hati.
2.5 Prediktor Kerentanan Terhadap DILI
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih rentan
mengalami hepatotoksisitas imbas obat. Ada bukti bahwa seiring bertambahnya
usia, risiko mengalami DILI meningkat.Hal ini terjadi karena tampaknya banyak
orang usia lanjut yang mengonsumsi sejumlah obat yang dapat menyebabkan
perubahan farmakokinetik obat dan berhubungan dengan proses penuaan yang
mengakibatkan penurunan metabolisme, distribusi, serta eliminasi obat.
Prediktor penting lainnya adalah hepatitis viral kronik, baik hepatitis B
maupun C yang telah ada sebelumnya. Pada beberapa penelitian, didapatkan
peningkatan risiko DILI pada pasien hepatitis kronik yang diterapi dengan INH
dan rifampisin. Risiko DILI juga meningkat pada pasien HIV dengan koinfeksi
hepatitis B atau C yang mendapat terapi antiretroviral.Obesitas dan non-alcoholic
fatty liver disease(NAFLD) dikatakan tidak meningkatkan risiko DILI.
2.6 Pendekatan Diagnostik DILI dan Penilaian Kausalitas Pada DILI
Mendiagnosis DILI dengan pasti tidaklah mudah. Hal penting yang
menjadi pegangan diagnosis DILI: Pertama, hepatotoksisitas imbas obat dapat
menyerupai hampir semua jenis penyakit hati, dan saat ini diagnosis DILI
dilakukan per eksklusionam karena tidak terdapat penanda biologis maupun
pemeriksaan spesifi k yang dapat menegakkan diagnosis DILI. Karena itu, semua
penyebab jejas hati yang dapat memberikan gambaran serupa harus disingkirkan
terlebih dulu. Kedua, menggali seluruh data klinis maupun biokimia yang
berhubungan dengan jejas hati; data ini merupakan kunci penting untuk

menentukan karakteristik dan pola jejas hati agar dapat membantu menegakkan
diagnosis. Ketiga, perlu diingat bahwa kondisi medis yang mengharuskan
penggunaan obat dapat menyebabkan disfungsi hati; hal ini bisa semakin
menyulitkan diagnosis DILI. Keempat, karena umumnya beberapa obat diberikan
bersamaan, interaksi sinergistik antarobat dapat terjadi sekaligus menimbulkan
pertanyaan obat mana yang menyebabkan DILI.
Terdapat dua metode utama untuk menentukan kausalitas pada DILI, yaitu
penilaian berdasarkan kondisi klinis pasien dan penggunaan sistem penskoran.
Metode pertama menekankan ketajaman analisis seorang dokter terhadap kondisi
klinis dan biokimia pasien yang berhubungan dengan penggunaan obat atau
produk herbal. Akan tetapi, pendekatan ini terlalu subjektif dan akurasinya sangat
tergantung pada keterampilan melakukan anamnesis dan menyingkirkan
kemungkinan penyebab hepatotoksisitas lain.
Pendekatan lebih objektif adalah penilaian kausalitas menggunakan
metode RUCAM (Roussel-Uclaf Causality Assessment Method). Dalam metode
ini, terdapat tujuh parameter yang dinilai, yaitu jangka waktu terjadinya penyakit
hati dari pertama kali mengonsumsi obat, perjalanan penyakit hati yang dialami
saat ini, faktor risiko untuk mengalami jejas hati, eksklusi penyebab jejas hati lain,
informasi mengenai hepatotoksisitas yang ditimbulkan oleh obat tersangka, serta
respons terhadap pemberian ulang obat.
Instrumen tersebut saat ini digunakan secara luas dalam berbagai
penelitian untuk menilai hepatotoksisitas, tetapi masih sulit diaplikasikan dalam
praktik klinis sehari-hari, sehingga sebagian besar dokter masih menggunakan
penilaian klinis dalam mendiagnosis DILI.

Sewaktu melakukan evaluasi terhadap tersangka DILI, hal pertama yang


harus dilakukan adalah menyingkirkan penyebab lain jejas hati, seperti hepatitis
A, hepatitis B, dan terkadang hepatitis C akut, hepatitis autoimun atau alkoholik,
kelainan traktus biliaris, dan gangguan hemodinamik. Hepatitis viral dapat
dievaluasi dengan memeriksa antibodi IgM terhadap hepatitis A, hepatitis B
surface antigen(HBsAg), dan antibodi antihepatitis C. Kelainan traktus biliaris
dapat menyebabkan jejas hati melalui proses obstruksi atau infeksi, seperti yang
terjadi pada kolesistitis maupun kolangitis. Karena itu, perlu dilakukan
ultrasonografi abdomen dan, jika perlu, CT scan abdomen.
Jejas hati imbas alkohol harus dicurigai apabila terdapat riwayat konsumsi
alkohol pada saat yang berdekatan dengan timbulnya gejala, kadar alkohol yang
terdeteksi dalam serum, atau kadar AST yang meningkat lebih tinggi dari ALT
dengan perbandingan 2:1. Penyakit autoimun harus dicurigai apabila jejas hati
disertai

adanya

musclepositif.

antinuclear

Kondisi

antibody(ANA)

hemodinamik

yang

atau

antibodi

tidak

stabil,

anti-smoothseperti

syok

kardiovaskular atau gagal jantung, dapat juga menyebabkan jejas hati. Kelainan
metabolik

dan

endokrin

juga

dapat

menyebabkan

jejas

hati,

seperti

hemokromatosis, penyakit Wilson, dan defi siensi -1 antitripsin.


Setelah menyingkirkan penyebab jejas hati akut lain, langkah berikutnya
adalah menetapkan jenis obat penyebab. Hal ini dapat dilakukan dengan
anamnesis teliti mengenai semua jenis obat yang diberikan dalam 12 bulan
terakhir, termasuk herbal maupun suplemen. Hal penting lain dalam menegakkan
diagnosis adalah menentukan jangka waktu dari pertama kali konsumsi obat
hingga onset penyakit hati, pola atau tipe jejas hati (hepatoselular, kolestasis, atau

campuran), juga menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk


penyembuhan setelah obat dihentikan (Tabel 2).

2.7 Tata Laksana DILI


Tata laksana DILI yang paling penting adalah segera menghentikan obat
yang dicurigai sebagai penyebab. Pada sebagian besar kasus, jejas hati akan
menyembuh sendiri setelah obat dihentikan. Akan tetapi, apabila DILI
bermanifestasi sebagai hepatitis autoimun dan penyembuhan tidak terjadi dengan
penghentian obat, kortikosteroid sering digunakan sebagai terapi meskipun bukti
ilmiahnya masih kontroversial.
Overdosis asetaminofen harus ditangani segera dengan pemberian Nasetilsistein (NAC). Untuk orang dewasa yang menelan asetaminofen kurang dari
24 jam sebelum ke rumah sakit, dosis awal NAC sebesar 140 mg/kgBB harus
diberikan, dilanjutkan 70 mg/kgBB setiap 4 jam, sebanyak 17 dosis, dimulai 4
jam setelah dosis awal diberikan.
Asam ursodeoksikolat dapat diberikan pada DILI tipe kolestatik dengan
dosis 20-30 mg/kgBB/hari dalam dua dosis terbagi. Apabila timbul rasa gatal yang
hebat, dapat diberikan kolestiramin, tetapi obat ini harus diberikan pada waktu
yang berbeda dengan saat pemberian asam ursodeoksikolat dan obatobat lain
karena kolestiramin akan mengikat dan menghalangi penyerapan obat lain.

10

Kolestiramin disarankan diberikan pada pagi hari ketika terjadi regenerasi


maksimal biliary pool.
2.8 Macam-Macam Efek Hepatotoksik
Kerusakan parenkim hati dengan cepat, menyerupai gejala hepatitis viral akut.
Kerusakan parenkim hati dengan lambat, menyerupai gejala hepatitis kronik aktif.
Infiltrasi lemak pada sel-sel hati, menyerupai gejala fatty liver.
Menghambat ekskresi empedu sehingga menimbulkan ikterus obstruktif,
menyerupai gejala kolestasis.
Merusak sel-sel saluran empedu secara perlahan-lahan, menyerupai gejala sirosis
biliaris.
Menyebabkan granuloma sel-sel hati.
Menyebabkan perlukaan pada parenkim hati, sehingga mendorong terbentuknya
jaringan parut (fibrosis) menyerupai sirosis hati.
Mendorong terjadinya tumor hati.
Merusak sistem pembuluh darah portal hati.

11

BAB III
PENYELESAIAN KASUS
3.1 Kasus
Seorang wanita, usia 35 tahun, datang dengan keluhan mata, badan kuning dan
buang air kecil seperti teh, serta gatal di seluruh tubuh sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien didiagnosis mengidap hipertiroidisme 1 bulan yang lalu dan saat ini sedang
mendapat pengobatan propiltiourasil 150 mg/tablet sebanyak 3x3 tablet per hari.
Pada pemeriksaan fisik

ditemukan tekanan darah 140/100 mmHg, nadi 108

kali/menit, suhu 37,4oC, frekuensi napas 20 kali/menit, berat badan 53 kg, tinggi
badan 165 cm, IMT : 19,47 kg/m2 (berat badan normal). Sklera dan palatum mole
yang tampak ikterik, struma nodosa bilateral, dan hepatomegali. Pada
pemeriksaan laboratorium, didapatkan bilirubin total 19,94 mg/dL, direk 14,31
mg/dL, indirek 5,63 mg/ dL, fosfatase alkali 261 U/L (N: 40-150 U/L), SGOT 48
U/L, SGPT 80 U/L, Kadar albumin dan kolinesterase serum masih dalam batas
normal. Pemeriksaan serologi untuk hepatitis A, B, dan C negatif. Sedangkan
kadar hormon tiroid menunjukkan peningkatan kadar FT4 (3,59 ng/dL) dan T3
total (2,34 ng/mL) disertai kadar TSHS yang rendah (<0,010 U/ mL). Pada USG
abdomen, tidak ditemukan kelainan pada hepar dan traktus biliaris. Pada USG
tiroid, didapatkan struma ringan nodosa bilateral dengan beberapa lesi di
dalamnya, mengarah kista darah lama memadat, tidak mengarah ke lesi malignan.
Pada perawatan, PTU dihentikan. Pasien mendapat terapi asam ursodeoksikolat
2x1 tablet PO, kolestiramin 2x4 gram PO, hepatoprotektor, dan steroid
(metilprednisolon) 2x125 mg IV (tapering off mg PO1x8 mg PO1x4 mg PO)

12

Seiring dengan penurunan kadar bilirubin total 19,94mg/dL menjadi 4,88 mg/dL
kemudian 1,6 mg/ dL; bilirubin direk 14,31 mg/dL turun menjadi 3,56 mg/dL,
kemudian 1,0 mg/dL; bilirubin indirek 5,63 mg/dL turun menjadi 1,32 mg/ dL
kemudian 0,6 mg/dL, metilprednisolon ditapering off . Pasien pulang dengan
perbaikan, dan fungsi hati membaik (SGOT 48 U/L turun menjadi 26 U/L
kemudian 14 U/L, SGPT 80 U/L turun menjadi 66 U/L kemudian 21 U/L); diberi
tiamazol 1x10 mg/tablet sebagai pengganti PTU.
3.2 Penyelesaian Kasus
Penyelesain: dengan metode SOAP:
Subjek:
Nama
Umur
Jenis kelamin
Keluhan

:
:
:
:

35 tahun
wanita
mata, badan kuning dan buang air kecil seperti teh,
serta gatal di seluruh tubuh sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien didiagnosis mengidap hipertiroidisme 1 bulan
yang lalu dan saat ini sedang mendapat pengobatan
propiltiourasil 150 mg/tablet sebanyak 3x3 tablet per

Pemeriksaan fisik

hari
: menunjukkan Sklera dan palatum mole yang tampak
ikterik, struma nodosa bilateral, dan hepatomegali

Objek:
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Frekuensi napas

:
:
:
:

140/100 mmHg
108 kali/menit
37,4oC
20 kali/menit

13

Berat badan
: 53 kg
Tinggi badan
: 165 cm
IMT
: 19,47 kg/m2 (berat badan normal)
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan bilirubin total 19,94 mg/dL, direk
14,31 mg/dL, indirek 5,63 mg/ dL, fosfatase alkali 261 U/L (N: 40-150 U/L),
SGOT 48 U/L, SGPT 80 U/L, Kadar albumin dan kolinesterase serum masih
dalam batas normal.
Pemeriksaan serologi untuk hepatitis A, B, dan C negatif. Sedangkan kadar
hormon tiroid menunjukkan peningkatan kadar FT4 (3,59 ng/dL) dan T3 total
(2,34 ng/mL) disertai kadar TSHS yang rendah (<0,010 U/ mL).
Assasement:
Pasien mendapatkan terapi 3x3 tablet PTU/hari selama 1 bulan, kemudian badan,
matanya menjadi kuning, gatal, urin seperti teh, ditambah dengan pemeriksaan
fisik dan penunjang yang mengarah ke gangguan fungsi hati. Penyebab keluhan
tersebut diduga adalah hepatotoksisitas karena obat dengan gambaran klinis
kolestasis, mengingat PTU rutin diminum dan tidak ada riwayat minum alkohol,
jamu, maupun obat herbal.
Plan:
Tujuan terapi:
penghentian obat penyebab hepatotoksisitas
menghilangkan gejala hepatotoksisitas
melindungi hati dari kerusakan berat dan perawatan pasien hingga menunjukkan
kesembuhan yang bermakna

14

a.

Terapi farmakologi

Penanganan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid (metilprednisolon)


untuk menekan gejala sistemik yang berkaitan dengan hipersensitivitas atau
reaksi alergi, mengingat reaksi inflamasi juga berperan dalam kejadian
hepatotoksis akibat obat. Dosis: Dosis awal berkisar antara 4-48 mg sehari.
Terapi dosis tinggi : 160 mg/hari selama 1 minggu dilanjutkan dengan 64
mg setiap dua hari sekali (selang sehari) selama 1 bulan. Dikonsumsi

bersama makanan.
Memberikan Obat-obatan hepatoprotektor untuk melindungi hati dari
kerusakan berat dengan cara menghambat reaksi inflamasi serta
menstabilkan membran mitokondria.

b.

Terapi non farmakologi

Memonitoring pasien selama 1 minggu perawatan di rumah sakit, hingga

pasien menunjukkan kesembuhan yang bermakna.


PTU merupakan terapi pilihan untuk pengobatan hipertiroidisme pada
pasien hamil trimester pertama, atau pada pasien yang alergi atau intoleran
terhadap golongan methimazole. Tanda dan gejala gangguan fungsi hati

mesti dipantau ketat, khususnya selama 6 bulan pertama terapi PTU.


Pada kecurigaan gangguan fungsi hati, segera hentikan pengobatan PTU,

evaluasi tanda kerusakan hati serta berikan perawatan suportif.


Pasien diminta segera menghubungi tenaga kesehatan apabila dijumpai
tanda serta gejala badan lemas, lelah, nyeri perut yang tidak jelas, hilang
nafsu makan, gatalgatal, mudah berdarah, atau kuning pada mata/kulit.

15

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
Jejas hati

imbas

obat

(drug-induced

liver

injury, DILI),

atau

hepatotoksisitas imbas obat, merupakan jejas hati yang disebabkan oleh


pajanan terhadap obat atau agen non-infeksius.
Terdapat dua metode utama untuk menentukan kausalitas pada DILI, yaitu

2.

penilaian berdasarkan kondisi klinis pasien dan penggunaan sistem

penskoran
Macam-Macam Efek Hepatotoksik
Kerusakan parenkim hati dengan cepat, menyerupai gejala hepatitis

viral akut.
Kerusakan parenkim hati dengan lambat, menyerupai gejala hepatitis

kronik aktif.
Infiltrasi lemak pada sel-sel hati, menyerupai gejala fatty liver.
Menghambat ekskresi empedu sehingga menimbulkan

obstruktif, menyerupai gejala kolestasis.


Merusak sel-sel saluran empedu secara perlahan-lahan, menyerupai

gejala sirosis biliaris.


Menyebabkan granuloma sel-sel hati.
Menyebabkan perlukaan pada parenkim hati, sehingga mendorong

terbentuknya jaringan parut (fibrosis) menyerupai sirosis hati.


Mendorong terjadinya tumor hati.

3.

16

ikterus

DAFTAR PUSTAKA

Cinthya, S.E., Ivan, S.P., dan Rizky, A., 2012, Penggunaan Obat
PenginduksiKerusakan Hati pada Pasien Rawat Inap Penyakit Hati di Salah
SatuRumah Sakit di Kota Tasikmalaya, Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
Isabel, M., et al, 2008, Assessment of drug-induced liver injury in clinical
practice Assessment of drug-induced liver injury in clinical practice,
Agencia Espan-ola del Medicamento and from the Fondo de Investigacion
Sanitaria
Reuben, A., Koch, D.G., Lee, W.M., 2010, Drug-Induced Acute Liver Failure:
results of a U.S. Multicenter Prospective Study, Hepatology
Sonderup, M.W., 2006, Drug Induced Liver Injury is a Significant Cause of Liver
Disease, Including Chronic Liver,Drug Induced Liver Injuries
Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatitis, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK Sumatera
Utara
Wai, CT., 2006, Presentation of drug-induced liver injury in Singapore, Singapore
Medical Journal

17

Anda mungkin juga menyukai