Disusun oleh :
2017
LEMBAR PENGESAHAN
“HEPATITIS AKIBAT OBAT ANTI TUBERKULOSIS”
REFERAT
Disusun oleh:
A. Definisi
Hepatitis imbas OAT adalah suatu peradangan pada hati yang
diakibatkan oleh reaksi merugikan dari obat anti tuberkulosis. Hepatitis imbas
OAT disefinisikan berdasarkan kriteria sebagai berikut (Alwi, 2012):
1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan OAT
2. Tidak mengkonsumsi alkohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari
sebelum pengobatan TB dimulai
3. Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid dan rifampisin
dalam dosis normal baik itu sendiri maupun kombinasi minimal 5 hari
sebelum ditemukan nilai fungsi hati abnormal
4. Ketika mendapatkan OAT terdapat peningkatan fungsi hati diatas normal
(peningkatan bilirubin total >1.5 mg/dl)
5. Tidak ada penyebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat
6. Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati normal atau menurun dari yang
sebelumnya telah meningkat
Hepatotoksisitas karena pengobatan anti-TB didefinisikan sebagai
kriteria berikut (Jeong et al., 2015) :
1. Kadar aspartat aminotransferase (AST) dan / atau alanin
aminotransferase (ALT) > 5 kali batas atas normal (AST 3-45 u/L, ALT
0-35 u/L) atau > 3 × ULN, dengan gejala klinis seperti mual, muntah,
sakit perut, sakit kuning, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
2. Tidak adanya bukti serologis infeksi hepatitis A, B, C atau E
3. Normalisasi atau setidaknya peningkatan 50% hasil kimia hati abnormal
setelah penarikan obat anti-TB.
Hepatotoksisitas karena pengobatan anti-TB didefinisikan sebagai
kriteria berikut (Babalik et al., 2012):
1. Peningkatan serum aspartat aminotransferase (AST) dan / atau alanin
aminotransferase (ALT) sampai tiga kali dari batas atas normal
2. Kenaikan kadar serum bilirubin total > 1,5 mg / dL
3. Kenaikan AST dan / atau ALT dibandingkan dengan sebelum perawatan
disertai adanya anoreksia, mual, muntah, dan ikterus
4. Tidak adanya bukti serologis adanya infeksi virus hepatitis.
Hepatotoksisitas karena pengobatan anti-TB didefinisikan sebagai
kriteria berikut (Saha et al., 2016):
1. Peningkatan serum aspartat aminotransferase (AST) sampai lima kali
dari batas atas normal
2. Kenaikan kadar serum bilirubin total > 1,47 mg / dL;
3. Kenaikan AST dibandingkan dengan sebelum perawatan disertai adanya
anoreksia, mual, muntah, dan ikterus
.
B. Epidemiologi
Perkembangan dunia kedokteran, yang antara lain diwarnai dengan
makin banyaknya jenis obat, meningkatkan harapan kesembuhan dari
berbagai penyakit. Akan tetapi, perkembangan ini juga membawa dampak
tersendiri, seperti makin meningkatnya risiko dan angka kejadian efek
samping obat. Meskipun efek samping obat dapat terjadi pada semua sistem
organ tubuh, hati merupakan organ yang paling rentan karena sebagian besar
obat menjalani metabolisme parsial maupun komplet serta eliminasi melalui
hati (Loho dan Irsan, 2014).
Berbagai survei di dunia menunjukkan bahwa frekuensi drug
induced liver injury (DILI) sebagai penyebab penyakit hati akut maupun
kronik relatif rendah. Insidens hepatotoksisitas imbas obat dilaporkan sebesar
1:10.000 sampai 1:100.000 pasien. Meskipun demikian, insideni drug
induced liver injury yang sebenarnya sulit diketahui. Jumlah aktual dapat jauh
lebih besar karena sistem pelaporan yang belum memadai, kesulitan
mendeteksi atau mendiagnosis, dan kurangnya observasi terhadap pasien-
pasien yang mengalami drug induced liver injury (Loho dan Irsan, 2014).
Timbulnya hepatitis imbas OAT pada seseorang sangat beragam
waktunya, tetapi penelitian menunjukkan seseorang yang mengalami hepatitis
imbas OAT adalah pasien yang mendapat terapi setelah berminggu minggu
atau berbulan-bulan, sedangkan untuk pasien yang mengalami hepatitis imbas
OAT setelah konsumsi obat dalam hitungan hari sangat sedikit (Alwi, 2012).
Insidensi timbulnya hepatitis imbas OAT sangat beragam, karena
tergantung dari definisi peneliti mengenai hepatitis imbas OAT pada berbagai
populasi studi. Hepatitis imbas OAT lebih sering terjadi pada negara
berkembang. Pada penelitian yang dilakukan di Nepal ditemukan insidensi
hepatitis imbas OAT mencapai 38%. Penelitian lain yang dilakukan di
Malaysia menyebutkan bahwa prevalensi hepatitis imbas OAT mencapai
9,7% (Alwi, 2012).
Ras oriental dilaporkan memiliki angka tertinggi, terutama India.
Kejadian hepatotoksik di sub sahara Afrika dilaporkan pada beberapa
literatur, namun untuk insidensinya sendiri tidak tercatat dengan jelas
jumlahnya sehingga tidak dapat dilaporkan (Alwi, 2012).
Pada sebuah studi survei yang dilakukan oleh The U.S Public Health
Service dilaporkan bahwa seseorang yang mengkonsumsi alkohol memiliki
risiko 2 kali lipat untuk terkena hepatitis akibat obat isoniazid dan risiko akan
semakin meningkat hingga 4-5 kali lipat pada seseorang yang mengkonsumsi
alkohol setiap hari (Alwi, 2012).
C. Faktor Risiko
(Lima dan Heloisa, 2012; Babalik et al., 2012; Abbara et al., 2017 ; Jong et
al., 2015; Alwi, 2012)
1. Ras
Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda
berdasarkan ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik
mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme
berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar
individu.
2. Usia
Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang
terjadi pada anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera
hati karena clearance menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya
aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan
yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan
penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.
3. Gender
Reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita. Hal ini
disebabkan aktivitas CYP3A lebih tinggi dan berdampak pada
peningkatan hepatotoksisitas.
4. Konsumsi alkohol
Orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap
keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang
mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi
penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih
rentan terhadap toksisitas obat. Alkohol juga memiliki kandungan
etanol. Proses pemecahan etanol dapat menghasilkan bahan kimia yang
bersifat toksik seperti asetaldehid. Bahan toksik ini memicu peradangan
yang menghancurkan sel hati. Akibat luka peradangan, jaringan hati akan
digantikan oleh jaringan parut yang menyebabkan fungsi fisiologis
terganggu.
5. Rokok
Rokok menurunkan hepatic glutation peroksidase yang berperan
sebagai antioksidan dan antitoksin. Rokok menurunkan aktivitas
superperoksida dimutase yang merupakan enzim antioksidan yang
dihasilkan oleh tubuh dan paling banyak di hati. Rokok juga
meningkatkan aktifitas lipid peroksidase, dimana ia merupakan suatu
radikal bebas sehingga hati mudah mengalami peradangan.
6. Penyakit hati
Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami
peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450
berkurang, beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang
lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan
pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme.
Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau
C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati
dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis
beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.
7. Faktor genetik
Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein.
Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang
abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat anti aritmia yang
mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-
450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase
chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi
masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap
suatu obat.
8. Penderita AIDS
Terapi antiretrovirus terutama protease inhibitor meningkatkan
kemungkinan interaksi antar obat bila diberikan bersama rifampisin
9. Status nutrisi
Orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang
berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan
glutation rendah.
10. Formulasi obat
Obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek
dibandingkan obat short-acting
D. Klasifikasi
Hepatotoksisitas akibat obat secara umum dibagi menjadi dua
kategori besar, yaitu hepatotoksisitas intrinsik (disebut juga hepatotoksisitas
direk atau dapat diprediksi) dan hepatotoksisitas idiosinkratik (disebut juga
hepatotoksisitas indirek atau tidak dapat diprediksi). Contoh hepatotoksisitas
intrinsik adalah hepatotoksisitas akibat pajanan terhadap zat kimia industri
maupun lingkungan atau toksin, seperti karbon tetraklorida, fosfor, atau
beberapa jenis jamur yang menyebabkan jejas hati. Sebaliknya,
hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang disebabkan
oleh obat-obat konvensional dan produk herbal yang menyebabkan
hepatotoksisitas hanya pada sejumlah kecil resipien (1:10.000-1:100.000)
(Loho dan Irsan, 2014)
Penilaian pola jejas hati sangat penting karena obat-obat tertentu
cenderung menyebabkan jejas dengan pola khas pula (Tabel 1). Jejas hati
hepatoselular (atau sitolitik) menyebabkan peningkatan kadar ALT dan AST
serum yang bermakna, biasanya mendahului peningkatan bilirubin total,
disertai sedikit peningkatan ALP. Contohnya adalah jejas hati imbas
isoniazid. Sebaliknya, jejas kolestatik ditandai dengan peningkatan ALP yang
mendahului atau relatif lebih menonjol dibanding peningkatan ALT maupun
AST. Selain ketiga macam jejas hati di atas, terdapat jejas mitokondria yang
dapat dinilai melalui biopsi hati. Jejas mitokondria ini menyebabkan steatosis
mikrovaskular yang terlihat pada biopsi hati, asidosis laktat, serta sedikit
peningkatan enzim aminotransferase, seperti yang terjadi pada jejas hati
imbas asam valproat maupun tetrasiklin parenteral dosis tinggi (Loho dan
Irsan, 2014).
G. Diagnosis Banding
Berikut merupakan diagnosis banding dari hepatitis akibat imbas
obat tuberkulosis (Lima dan Heloisa, 2012; Babalik et al., 2012; Abbara et al.,
2017 ; Jong et al., 2015; Alwi, 2012) :
1. Hepatitis viral akut
2. Hepatitis autoimun
3. Shock liver
4. Kolestitis
5. Kolangitis
6. Budd-Chiari syndrome
7. Penyakit hati alkoholik
8. Penyakit hati kolestatik
9. Penyakit hati yang berhubungan dengan kehamilan
10. Keganasan
11. Penyakit Wilson
12. Hemokromatosis
13. Gangguan Koagulasi.
I. Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang jejas tipe
hepatoselular mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman
Zimmerman, seorang hepatolog yang tertarik pada drug induced liver injury.
Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien drug induced liver injury
mengalami ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena
drug induced liver injury. Angka fatalitas kasus (case fatality rates) pasien
gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat tinggi (sekitar 75%) untuk
obat-obat selain asetaminofen (Loho dan Irsan, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Abbara, aula., Sarah Chitty, Jennifer K. Roe., et al. 2017. Drug-induced liver
injury from antituberculous treatment: a retrospective study from a large
TB centre in the UK. BMC Infectious Diseases 17 (231) : 1-9
Alwi, Nurazminah. 2012. Prevalensi pasien TB paru yang mengalami hepatitis
imbas oat dan faktor risiko yang berhubungan di RSUP Persahabatan
jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012. Skripsi. Program Studi
Kedokteran Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta
Babalik, aylin.,hulya arda, nadi bakirci, sinem agca, korkmaz uruc, sule kiziltas,
gulgun centinas, haluk c salisir. 2012. Management of and risk factors
related to hepatotoxicity during tuberculosis treatment.Tuberk Toraks
60(2): 136-144
Jeong, Ina., Jong-Sun Park, Young-Jae Cho, et al., 2015. Drug-induced
Hepatotoxicity of Anti-tuberculosis Drugs and Their Serum Levels.
Korean Med Sci 30: 167-172
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Lima, Maria Fatima Silva. dan Heloisa Ramos Lacerda. 2012.Hepatotoxicity
induced by antituberculosis drugs among patients coinfected with HIV.
Cad. Saúde Pública, Rio de Janeiro, 28(4):698-708
Loho, Imelda Maria. dan Irsan hasan.2014. Drug Induced Liver Injury -
Tantangan dalam Diagnosis.CDK-214 41(3): 1-4.
Ramappa, Vidyasagar dan Guruprasad P. Aithal. 2012. Hepatotoxicity Related to
Anti-tuberculosis Drugs: Mechanisms and Management. Journal of
Clinical and Experimental Hepatology 12(1) : 1-13
Saha, arunava., Margaret Shanthi F.X., Blessed Winston A., et al. 2016.
Prevalence of Hepatotoxicity From Antituberculosis Therapy: A Five-
Year Experience From South India. Journal of Primary Care &
Community Health 7(3) 171– 174
World Health Organization. 2010. Treatment of tuberculosis: guidelines – 4th ed.
WHO Library Cataloguing.