TUBERKULOSA PADA PENDERITA HEPATITIS IMBAS OBAT AKIBAT OBAT ANTI TUBERKULOSA Meivina Ramadhani P, Alwinsyah A, E.N Keliat, Zuhrial Divisi Pulmonologi Alergi Dan Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan
PENDAHULUAN Tuberculosis ( TB ) adalah satu dari penyebab kematian terbanyak akibat penyakit infeksi yang dapat disembuhkan. Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, dan pada tahun 1999 terdapat sekitar 8.4 kasus tuberculosis baru. Tahun 2004, sekitar 9 juta kasus TB baru muncul dan 1.7 juta orang meninggal karena TB pada tahun itu. Afrika sub sahara memiliki insidensi dan tingkat mortaliti tertinggi yang terutama disebabkan oleh HIV/AIDS, sementara Asia tenggara memiliki angka terbesar baik untuk kasus baru maupun kematian oleh TB. 1,2
Terapi standar yang direkomendasikan untuk TB saluran pernafasan pada dewasa adalah isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamid selama 2 bulan, diikuti oleh 4 bulan rifampicin dan isoniazid. Ethambutol biasanya ditambahkan ke regimen ini dan streptomycin direkomendasikan oleh World Health Organization ( WHO ) untuk kasus-kasus pengobatan kembali pada sebagian besar negara berkembang. Terapi antituberculosa dengan rifampicin, isoniazid, pyrazinamide dan ethambutol/streptomycin sangat efektif, namun tiga obat pertama bersifat hepatotoksik. 1,2
Efek paling sering dari terapi antituberculosis adalah hepatotoksik, reaksi kulit , gangguan gastrointestinal dan neurologis. Hepatotoksik adalah efek yang paling serius. Sehingga ATS (America Thoracic Society) merekomendasikan pemeriksaan awal serum transaminase, alkaline phosphatase, kreatinin dan trombosit pada pasien dewasa sebelum memulai terapi OAT. Selain itu, follow up serum ALT secara berkala direkomendasikan pada pasien yang mempunyai faktor resiko untuk terjadinya hepatoksisitas. 5 8eadlng AsslgnmenL ulvlsl ulmonologl Alergl lmunologl ulbacakan Lgl. 3 Mel 2011 resenLaLor : dr.Melvlna 8amadhanl
Supervlsor :
dr. Alwlnsyah Sp.u-k
2
Adapun faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alkohol, mempunyai dasar penyakit hati, karier hepatitis B, hipoalbuminemia, tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya. 7
Hepatotoksik yang diinduksi oleh obat antituberculosis menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang mengurangi efektivitas terapi. Peningkatan transaminase asimptomatik biasa dijumpai selama terapi antituberculosa, namun hepatotoksik dapat menjadi fatal jika tidak dikenali secara dini dan jika terapi tidak dihentikan pada saat yang tepat. 1
Reaksi hepatotoksik tersebut mengurangi efektivitas obat, karena secara signifikan mempengaruhi kepatuhan obat, bahkan dapat menyebabkan kegagalan pengobatan, relaps atau munculnya resistensi obat. Kepatuhan terhadap terapi yang diberikan sangat penting bagi penyembuhan pasien dengan TB aktif. Karena periode pengobatan yang panjang, pasien harus terus dimotivasi untuk melanjutkan terapi bahkan saat pasien merasa lebih baik. Bila kejadian hepatotoksik terjadi, maka semua obat harus dihentikan dan dimulai kembali hanya jika semua marker biokimia telah kembali normal. 1,3 Oleh karena itu, dibuatlah tulisan ini agar kiranya dapat menambah pengetahuan mengenai pengenalan kembali obat anti tuberkulosa pada pasien-pasien yang telah mengalami efek hepatotoksik akibat penggunaan obat anti tuberkulosa berdasarkan rekomendasi WHO (World Health Organization) dan ATS.
DEFINISI Banyak definisi untuk hepatotoksik yang diinduksi obat-obatan digunakan di literatur. Sangat sulit untuk mendefinisikan dan mendiagnosa Anti tuberculosa drug induced hepatotoxic ( ATDH), karena sebagian definisi adalah eksklusi virus hepatitis atau penyebab lain dari hepatotoksik. 1
Definisi yang umum dipakai untuk ATDH adalah peningkatan serum alanine aminotransaminase yang muncul setelah terapi, lebih besar dari tiga atau lima kali dari batas tertinggi nilai normal dengan atau tanpa gejala hepatitis. 1
3
Ada pula peneliti yang mendefenisikan ATDH berupa: 8
1. Peningkatan !5 kali dari batas tertinggi nilai normal ( 50 IU/L ) dari serum aspartate aminotransferase ( AST ) dan/atau alanine aminotransferase ( ALT ) pada 1 kali pemeriksaan atau >3 kali batas tertinggi nilai normal (> 150 IU/L) pada 3 kali pemeriksaan berurutan 2. Peningkatan total bilirubin serum ( >1.5 mg/dl ) 3. Peningkatan pada AST dan/atau ALT diatas nilai sebelum terapi OAT bersamaan dengan anorexia, nausea, muntah dan jaundice 4. Tidak dijumpainya bukti infeksi virus hepatitis A, B, C atau E secara serologis 5. Adanya perbaikan fungsi hati (bilirubin serun <1 mg/dl; AST dan ALT < 100 IU/L) setelah menghentikan OAT ATDH didiagnosa apabila ditemukan kriteria 1,2 atau 3 yang dikombinasi dengan kriteria 4 dan 5.
EPIDEMIOLOGI
Hepatotoksisitas secara umum lebih sering terjadi dalam minggu hingga bulan dibandingkan dalam hari hingga minggu seperti yang terjadi dalam reaksi hipersensitivitas. Insidensi ATDH selama multiterapi TB dilaporkan berkisar antara 2% hingga 28%. Angka ini bergantung pada definisi peneliti mengenai hepatotoksik pada berbagai populasi studi. 2 Pada suatu penelitian retrospektif yang dilakukan oleh The U.S Public Health Service (USPHS) didapatkan rata-rata selang waktu dari awal pengobatan hingga munculnya gejala adalah 16 minggu. 5
TB aktif umumnya di terapi dengan lebih dari satu obat. Oleh karena itu, terdapat data yang terbatas mengenai angka toksisitas masing-masing regimen obat anti tuberculosa, kecuali isoniazid yang telah banyak digunakan sebagai monoterapi profilaksis untuk infeksi TB laten. 1 Ras oriental dilaporkan memiliki angka tertinggi, terutama India. Hepatotoksik di sub sahara afrika dilaporkan pada beberapa literatur namun angka insidensinya tidak dilaporkan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa fungsi liver tidak diperiksa secara rutin untuk memonitor terapi pasien TB pada sebagian besar negara afrika. 1
4
Wanita yang hamil trimester ketiga dan tiga bulan setelah postpartum memliki resiko yang lebih besar untuk terjadinya hepatitis. Pada sebuah studi survey yang dilakukan oleh USPHS, peminum alkohol memiliki resiko 2 kali lipat untuk terjadinya hepatitis yang disebabkan oleh isoniazid, dan resiko menjadi meningkat hingga 4-5 kali pada peminum alkool setiap hari. 5 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan insidensi dan faktor resiko terjadinya ATDH pada berbagai populasi seperti Afrika, Amerika, Asia, Eropa dan Amerika selatan (Tabel 1) 1
Tabel 1. Insidensi dan faktor resiko untuk ATDH 1
Secara umum, rifampisin adalah obat yang dapat ditoleransi dengan baik dan hepatotoksik terjadi pada sekitar 1-2 % pasien yang diterapi dengan rifampicin sebagai monoterapi profilaksis. Hepatotoksik juga merupakan efek utama dari pyrazinamide. Saat obat ini di perkenalkan tahun 1950-an, dilaporkan insidensi hepatotoksik yang tinggi sehingga obat ini hampir ditarik. Kejadian ini berhubungan dengan dosis yang tinggi yaitu 40-70 mg/kg. Toksisitas bukan lah menjadi masalah utama jika pyrazinamide diberikan 3
dengan dosis harian 20-30 mg/kg. Akhir-akhir ini pyrazinamide digunakan sebagai terapi TB pada fase intensif. Angka hepatotoksik pyrazinamide sebagai monotherapi dengan dosis harian belum diketahui dengan pasti. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pyrazinamide lebih hepatotoksik dibandingkan dengan isoniazid atau rifampicin. Pada studi terkini dilaporkan tujuh dari 12 pasien laten TB ( 58% ) diterapi dengan ethambutol dan pyrazinamide menyebabkan peningkatan transaminase > 4 kali batas atas nilai normal. Karena ethambutol sendiri tidak hepatotoksik, maka pyrazinamide sepertinya menjadi agen yang menyebabkan hal tersebut. 1
PATOFISIOLOGI Beberapa peneliti telah membuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan HLA- DR2 dengan tuberculosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberculosis, sedangkan risiko hepatotoksisitas imbas obat tuberculosis berkaitan juga dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA- DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin serum <3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat. 2,7 Selain itu, hepatotoksisitas dapat juga merupakan reaksi idiosinkronisasi yang tidak berhubungan dengan farmokologi obat. Meskipun hal ini bergantung pada dosis obat pada sebagian individu, tetapi tidak terjadi pada dosis berapapun pada kebanyakan individu. Reaksi idiosinkronisasi dapat mengenai setiap sistem organ. Hal ini diduga bahwa reaktif metabolit, dibandingkan dengan obat awalnya, memegang peranan pada kebanyakan reaksi idiosinkronisasi obat. Hepatotoksisitas yang disebabkan oleh isoniazid bukan merupakan hasil dari reaksi hipersensitivitas atau alergi dan kemungkinan besar disebabkan oleh metabolit yang toksik. Selain hal tersebut, ada pertimbangan variasi genetik setiap individu yang menyebabkan adanya variasi dalam memetabolisme obat dan mempengaruhi kerja enzim. Hal ini menyebabkan perbedaan respons pengobatan atau reaksi toksik. Data mengenai faktor resiko genetik terhadapat terjadinya ATDH masih sangat terbatas. 1,5
GEJALA KLINIS Reaksi hepatik biasanya muncul pada 2 bulan pertama pengobatan, namun dapat pula muncul pada kapanpun selama periode terapi. Secara klinis, biokimia dan histologi gejala ATDH sangat sulit dibedakan dengan hepatitis viral. Gejala dan tanda dari kerusakan sel hati adalah jaundice, nyeri perut, mual, muntah dan asthenia. Hal ini tidak cukup spesifik untuk memastikan gangguan hati. Oleh karena itu konfirmasi laboratorium untuk menilai fungsi 6
hati sangat dibutuhkan. Keluhan ATDH sebagian besar dapat hilang jika terapi dihentikan. Jika terapi tidak dihentikan , maka ATDH dapat menjadi fatal. 1
Keparahan hepatotoksik diklasifikasikan berdasarkan standar klasifikasi toksisitas WHO, seperti tabel dibawah ini (tabel 2):
Tabel 2. Definisi Hepatotoksik Berdasarkan Terminologi Reaksi Obat Menurut WHO 1
PENGENALAN KEMBALI OAT
Pada pasien ATDH, hal yang paling penting adalah memilih obat-obatan untuk pengobatan kembali secara hati-hati. Menggunakan obat yang hepatotoksik dan yang efek hepatotoksiknya meningkat ketika dikombinasi merupakan hal yang sangat rumit. 5 Obat TBC lini pertama berupa isoniazid, pyrazinamide dan rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hati (ATDH) sehingga pemberiannya harus hati-hati. Sebagai tambahan, rifampisin juga dapat meyebabkan jaundice yang asimptomatik tanpa adanya bukti hepatitis. Penting sekali untuk menyingkirkan penyebab hepatitis lainnya sebelum memutuskan bahwa penyebab hepatitis tersebut adalah regimen TB. 6
Manajemen pengobatan hepatitis yang disebabkan oleh pengobatan TB bergantung pada: 6
o Apakah pasien sedang dalam pegobatan TB fase intensif atau lanjutan o Tingkat keparahan dari penyakit hati o Tingkat keparahan TB, dan o Kapasitas unit kesehatan untuk menangani efek samping pengobatan TB 7
Apabila diputuskan penyebab penyakit hati tersebut disebabkan oleh obat anti tuberculosa, maka semua obat harus dihentikan (Gambar 1) 1,6 Apabila pasien menderita penyakit TB yang berat dan tidak memungkinkan untuk menghentikan pengobatan TB, regimen yang tidak hepatotoksik yang terdiri dari streptomysin, etambutol dan fluoroquinolone harus dimulai. 6
Jika pengobaan TB telah dihentikan, penting untuk menunggu sampai fungsi hati kembali normal dan gejala klinis (nausea, nyeri perut) telah hilang sebelum memberikan kembali obat anti TB. 1,6 Pemeriksaan fungsi hati dapat dilakukan setiap 2 kali seminggu sampai fungsi hati normal (Gambar 1). 1
ATS merekomendasikan individu dengan hepatitis B surface antigen yang positif dengan peningkatan ALT harus dilakukan pemeriksaan HbeAg. Jika positif, rifampisin mungkin lebih dipilih dibandingkan isoniazid. Konsultasi pada seorang hepatologist disarankan, untuk mengetahui pemeriksaan lanjutan dan kemungkinan pengobatan awal pada individu dengan ALT meningkat 2 kali batas atas normal, dan dengan HbeAg seropositif harus dilakukan. Pada individu dengan HbeAg seropositif, pemantauan klinis dan ALT harus dilakukan setiap 2- 4 minggu.
Selain itu pasien dengan transaminase pemeriksaan awal lebih dari 3 kali batas atas normal harus melakukan pemeriksaan bersamaan dengan bilirubin, sama halnya dengan pemeriksaan hepatitis viral ataupun penyebab lainnya, termasuk alkohol dan obat-obat hepatotoksik. Jika pengobatan dimulai, beberapa ahli menyarankan pengukuran serum transaminase dan bilirubin setiap 2-4 minggu pada 2-3 bulan pertama, jika diperlukan. 5,9
Jika pemeriksaan fungsi hati tidak memungkinkan , disarankan untuk menambahkan 2 minggu setelah jaundice dan nyeri perut hilang sebelum memulai kembali pengobatan TB. 1,6
Jika tanda dan gejala tidak hilang dan penyakit hati berat, regimen yang tidak hepatotoksik berupa streptomysin, etambutol dan fluoroquinolone harus dimulai (atau dilanjutkan) dengan total pengobatan 18-24 bulan. 6
Sekali hepatitis yang disebabkan oleh obat telah kembali normal, obat-obat tersebut diberikan satu persatu. Jika gejala kembali atau fungsi hati menjadi tidak normal ketika obat tersebut diberikan kembali, obat yang terakhir diberikan harus diberhentikan. Beberapa ahli menyarankan untuk memulai dengan rifampisin karena lebih jarang menyebabkan hepatotoksik dibandingkan isoniazid atau pyrazinamid dan merupakan agent yang paling efektif (gambar 1). Jika tanda dan gejala tidak hilang dan penyakit hati berat, regimen yang tidak hepatotoksik berupa streptomysin, etambutol dan fluoroquinolone harus dimulai (atau dilanjutkan) dengan total pengobatan 18-24 bulan. 1,6
8
Gambar 1. Alur Pemberian OAT Pada Pasien ATDH 1
ATS merekomendasikan obat anti tuberculosa lini pertama, terutama rifampisin, tidak boleh diberhentikan pada saat menderita gangguan pencernaan ringan, yang mana relatif terjadi pada minggu-minggu awal pengobatan anti tuberculosa. 5
Pasien yang mengalami tuberculosa yang berat, dapat meninggal jika tidak diberikan OAT. Untuk mencegah hal ini, pasien dapat diterapi dengan regimen yang tidak hepatotoksik. Setelah fungsi hati kembali normal, pengobatan TB dengan OAT harus dimulai kembali. 1
Regimen alternatif bergantung pada obat apa yang menyebabkan terjadinya hepatitis. 6
o Jika disebabkan oleh rifampisin, regimen yang diberikan tanpa rifampisin adalah 2 bulan isoniazid, etambutol dan streptomisin, diikuti dengan 10 bulan isoniazid dan etambutol. o Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan rifampisin, pyrazinamide dan etambutol dapat dipertimbangkan 9
o Jika pyrazinamide di hentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif, total durasi terapi isoniazid dan rifampisin dapat dilanjutkan hingga 9 bulan o Jika isoniazid dan rifampisin tidak dapat diberikan, regimen yang tidak hepatotoksik seperti streptomycin, etambutol dan fluoroquinolone harus diberikan hingga total 18- 24 bulan
Pemberian kembali obat satu persatu merupakan langkah yang optimal, terutama jika hepatitis yang diderita adalah berat. Program kontrol TB nasional yang menggunakan tablet FDC harus menyimpan obat anti-TB single dengan jumlah yang terbatas untuk dipergunakan pada kasus tertentu. Meskipun demikian, jika unit kesehatan negara tersebut tidak memiliki obat anti-TB single, pengalaman klinis yang terbatas telah berhasil dengan pendekatan sebagai berikut, yang bergantung pada apakah hepatitis dengan jaundice terjadi saat fase inisial atau fase lanjutan 6
o Ketika hepatitis dengan jaundice terjadi selama fase intensif pengobatn TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid dan etambutol; begitu hepatitisnya telah sembuh, berikan kembali obat yang sama kecuali pyrazinamid yang digantikan dengan streptomisin untuk menyelesaikan 2 bulan pengobatan fase inisial, yang diikuti dengan rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan fase lanjutan o Ketika hepatitits dengan jaundice terjadi selama fase lanjutan, begitu hepatitsnya sembuh, berikan kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan terapi fase lanjutan
Secara umum, ada berbagai regimen untuk pengenalan kembali OAT pada pasien ATDH, tetapi belum ada guideline penanganan yang pasti. Suatu penelitian prospektif mengenai pemberian kembali OAT setelah ATDH dilakukan di Turki oleh Tahaoglu et al dan dipublikasikan pada tahun 2001. Studi tersebut melibatkan 45 pasien dengan ATDH yang mendapatkan 2 regimen pemberian OAT yang berbeda dimana 1 grup menggunakan pyrazinamide sedangkan grup yang lain tidak menggunakan pyrazinamide. Tahaoglu et al mendapatkan bahwa resiko untuk terjadinya kembali ATDH pada saat pemberian kembali OAT adalah 24% pada grup yang mendapatkan regimen OAT sama seperti sebelumnya (menggunakan pyrazinamide) dibandingkan dengan 0% pada grup lainnya yang memberikan OAT satu persatu dan tidak memasukkan pyrazinamide (P =0.021). 4
10
Penelitian lain yang dilakukan oleh Surendra K et al yang dipublikasikan pada tahun 2010 dan melibatkan 175 pasien ATDH, membandingkan 3 cara pemberian OAT pada pasien ATDH, dimana pada grup 1 diberikan isoniazid, rifampisin dan pirazynamid dosis penuh secara simultan pada hari pertama, pada grup 2 OAT diberikan kembali sesuai dengan guideline ATS (America Thoracic Society), dan pada grup 3 OAT diberikan kembali sesuai dengan guideline BTS (British Thoracic Society) (Tabel 3), dari penelitian didapatkan angka kejadian terjadinya hepatotoksik kembali pada ketiga grup tidak berbeda secara signifikan (P=0,69). 8
Tabel 3. Tiga regimen berbeda untuk pengenalan kembali OAT 8
11
KESIMPULAN
1. Tuberculosis ( TB ) adalah satu dari penyebab kematian terbanyak akibat penyakit infeksi yang dapat disembuhkan. 2. Efek samping yang paling serius dari terapi antituberculosis adalah hepatotoksik dan obat anti tuberculosa yang sering menyebabkannya adalah rifampisin, isoniazid dan pyrazinamide. 3. !"#" %"&'() *+,-. /"0 1")2 %"0')2 %()3')2 "#"0"/ 4(4'0'/ 56"3756"3") 8)389 %()256"3") 9(46"0' &(:";" /"3'7/"3'< =*+ #'6(;'9") 9(46"0' >'9" 90')'& #") ?8)2&' /"3' &8#"/ 9(46"0' )5;4"0 4. *%"6'0" %(4(;'9&"") ?8)2&' /"3' 3'#"9 4(48)29')9"). #'&";")9") 8)389 4()"46"/9") @ 4')228 &(3(0"/ >"8)#':( #") )1(;' %(;83 /'0")2 &(6(084 4(480"' 9(46"0' %()256"3") +A< 5. B'9" 3")#" #") 2(>"0" 3'#"9 /'0")2 #") %()1"9'3 /"3' 6(;"3 &(;3" =*+ 3'#"9 48)29') #'6(;/()3'9"). 4"9" #'28)"9") ;(2'4() 1")2 3'#"9 /(%"35359&'9< 6. Pemberian kembali OAT dimulai satu persatu dengan obat yang paling jarang menyebabkan hepatotoksik yaitu rifampisin lalu diikuti dengan isoniazid. 7. Ada berbagai cara pemberian kembali OAT pada pasien ATDH, akan tetapi dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Surendra K et al dan dipublikasikan pada tahun 2010, tidak ada perbedaan secara signifikan terjadinya kembali hepatotoksisitas
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Alma Tostmann,* et al. Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity: Concise up- to-date review. Journal of gastroenterology and hepatology 2007; 23:192-202. 2. Surendra K et al. Evaluation of clinical and immunogenetic risk factors for the development of hepatotoxicity during antituberculosis treatment. Am J Respir Crit Care Med 2002; vol 166 p916-919. 3. Shakya R et al. Management of antitubercular drugs-induced hepatotoxicity and theraphy reintroduction strategy in a TB clinic of Nepal. Kathmandu University Medical Journal 2005; vol 3, issue 9; 45-49 4. K. Tahao lu et al. The management of anti-tuberculosis drug-induced hepatotoxicity. Int J Tuberc Lung Disease 2001; 65-69 5. Jussi J. Saukkonen et al. An Official ATS Statement: Hepatotoxicity of Antituberculosis Therapy. Am J Respir Crit Care Med 2006; Vol 174. pp 935952. 6. Monitoring during treatment. Treatment guidelines, World health organization, fourth edition. P53-63 7. Bayupurnama putut. Hepatotoksisitas imbas obat. Ilmu ajar penyakit dalam. Ed IV. Hal 474-476 8. Sharma SK, Singla R, Sarda P, et al. Safety of 3 different reintroduction regimens of antituberculosis drugs after development of antituberculosis treatment-induced hepatotoxicity.Clin Infect Dis 2010; 50:833839 9. *2"0 C. A"'>"0 D. !;"4")'9 C. (3 "0< E5)'35;')2 ")# 4")"2(4()3 5? ")3'7 386(;:805&'& #;82 ')#8:(# /(%"3535F':'31< B G"&3;5()3(;50 -(%"350 @HHIJ @HKLMNIOLMI@ 10. Pawan sarda et al. Role of acute viral hepatitis as a cofounding factor in antituberculosis treatment induced hepatotoxicity. Indian J Med Resp 2009; pp64-69