Anda di halaman 1dari 30

HEPATITIS IMBAS OBAT

(DRUG INDUCED LIVER INJURY)


Drug-induced liver injury (DILI) adalah kerusakan hati yang berkaitan dengan
gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh terpajan obat.1,2 DILI sebelumnya
dikenal juga dengan drug-induced liver hepatotoxicity, drug toxicity dan drugrelated hepatitoxici,3,6 suatu keadaan inflamasi pada hepar yang terjadi jika
mengkonsumsi bahan kimia beracun, dan obat-obatan tertentu.5,6
The Food and Drug Administration (FDA) dan The Center for Biologics
Evaluation and Research (CBER) mendefinisikan DILI sebagai kerusakan hati
yang ditandai dengan peningkatan level alanine aminotransferase (ALT/SGPT) lebih
dari tiga kali dari batas atas nilai normal, dan peningkatan level alkaline phosphatase
(ALP) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal, atau peningkatan level total
bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal jika berkaitan
dengan peningkatan alanine aminotransferase atau alkaline phosphatase.7
Etiologi
Kerusakan hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian
secara parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat
kurang lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati.3

Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya DILI antara lain:
a. Ras
Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Ras
kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju metabolisme
dikontrol oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu.1,2,8,

b. Umur
Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan
hepar meningkat pada orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi
obat, penurunan aliran darah hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar yang
lebih rendah. 1,2,4.
c. Jenis Kelamin
Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih
banyak pada wanita.1,2,4,8
d. Konsumsi alkohol
Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alcohol
menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme obat.
Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya
lebih rentan terhadap toksisitas obat.1,2,4
e. Penyakit hepar
Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya
memiliki peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-450
berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya.
Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan
mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan
infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik meningkat jika
diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga resikonya meningkat
terhadap dekompensasi pada obat.1,2,4,10
f. Faktor genetik
Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P-450
menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik.
Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang menyebabkan rendahnya
metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi
dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.4.10,

g. Penyakit lain
Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap
reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation.1,2,4
h. Formulasi obat
Obat-obatan

long-acting

lebih

menyebabkan

kerusakan

hepar dibandingkan dengan obat-obatan short-acting.1,2,4


Patogenesis DILI
Patogenesis DILI selengkapnya belum diketahui, sedangkan untuk
beberapa jenis obat, mekanisme kerusakan hati telah dapat diklasifikasikan
sampai pada tingkat molekuler.1,2,4 Banyak mekanisme yang terjadi agar
metabolit merusak sel hati akan tetapi mekanisme yang paling umum terjadi
adalah ikatan kovalen dan stres oksidatif. Target utama metabolit reaktif ini
adalah mitokondria. Berbagai penelitian mendukung bahwa ikatan kovalen
dari metabolit reaktif kebeberapa protein dapat mengganggu fungsinya
mengakibatkan hepatotoksisitas.1,2,4, Dalam beberapa keadaan ikatan kovalen
ini memberikan mekanisme adaptasi untuk sel. 9.10
Hati merupakan organ padat terbesar dalam tubuh dan sejumlah fungsi
metaboliknya memerlukan energi dalam jumlah tertentu. Energi pada
umumnya dihasilkan oleh adenosine-5-triofosfat (ATP) yang berasal dari
reduksi molekul oksigen menjadi air. Proses ini dinamakan fosforilasi
oksidatif, terjadi di mitokondria.4,11 Dalam proses pembentukan ATP dan air,
kira-kira 5% oksigen dikonversikan menjadinanion superoksida (O2) dan
metabolitnya, yang secara kolektif dinamakan reaktif oksigen spesies
(ROS).11 ROS ini dapat dihasilkan diluar mitokondria sebagai produk
lanjutan dari metabolisme oksidatif oleh sitokrom P-450, khususnya CYP 2EI
dan CYP 3A4. ROS ini dapat berbahaya bagi sel karena dapat bereaksi
dengan protein, deoksiribonukleat acid (DNA), atau lemak mengakibatkan
kerusakan atau kematian sel. Sebagai contoh ROS dapat menginisiasi
peroksidasi lipid. Ini adalah reaksi perusakan yaitu asam lemak tak jenuh dari
membran dirusak menjadi molekul kecil yang mudah menguap yang dapat
diukur dalam pernapasan.9,10,11
3

ROS biasanya tidak diakumulasi di hepatosit karena hati memiliki


mekanisme multiple untuk deaktifikasi menjadi bentuk yang tidak merusak.
Ketika ROS mulai terakumulasi sel berespon: antioksidan respon proses ini
meliputi aktivasi NFR2 yang memediasi aktivasi transkripsional dari gen.
Keadaan stres oksidatif digambarkan sebagai keadaan dimana produksi ROS
melebihi kemampuan pertahanan antioksidan, mengakibatkan akumulasi
ROS dan kerusakan oksidatif sel. Stress oksidatif dapat mengakibatkan
kematian sel terprogram apoptosis dan juga nekrosis.4,11
Obat dapat menyebabkan gangguan fungsi hepar dalam beberapa cara.
sebagian langsung merusak hepar, lainnya diubah oleh hepar menjadi bahan
kimia yang dapat berbahaya bagi hepar secara langsung maupun tidak
langsung. Ada 3 jenis penyebab DILI, yaitu toksisitas bergantung dosis (dosedependent toxicity), toksisitas idiosinkratik (idiosyncratic toxicity), dan alergi
obat (drug allergy). Hepatotoksisitas tergantung dosis cukup sering terjadi dan
dapat karena dosis obat terlalu tinggi.12
Toksisitas idiosinkratik ditemukan pada orang yang mewarisi gen
spesifik yang mengontrol perubahan senyawa kimia obat tertentu dan
mengakibatkan akumulasi obat tersebut atau produk metabolitnya yang
berbahaya bagi hati. Kejadian ini biasanya jarang dan tergantung obat, terjadi
kurang dari 1-10 per 100.000 pasien. Meskipun risiko toksisitas idiosinkrasi
rendah, jenis ini yang umum terjadi karena banyaknya pemakaian obat dan
penggunaan beberapa macam obat.8,12,
Toksisitas idiosinkrasi sulit dideteksi dalam uji klinis awal yang
biasanya melibatkan paling banyak beberapa ribu pasien. Alergi obat juga
dapat menyebabkan hepatotoksisitas, meskipun jarang. Pada alergi obat, hati
mengalami peradangan ketika terjadi reaksi antigen-antibodi antara sel imun
tubuh terhadap obat.9,12 Gangguan fungsi hepar akibat obat berupa kerusakan
hepatoseluler dan kolestasis parah bahkan berakibat fatal. Mekanisme
kerusakannya disebabkan langsung atau reaksi hipersensitivitas sekunder
(dimediasi sistem imun).12
Klasifikasi drug-induced liver injury

Berdasarkan The Councils for International Organizations of Medical Scinces


(CIOMS) DILI dibagi menjadi tiga, berdasarkan tipe kerusakan parenkim
yaitu:1,2,,3,,8
1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal
Tipe

hepatoseluler

didefinisikan

sebagai

peningkatan

alanine

aminotranferase (ALT) > 2 kali batas atas nilai normal (ULN=upper Limit of
Normal) atau R 5, dimana R adalah rasio aktivitas serum ALT/ aktivitas
alkaline phosphatase (ALP), yang keduanya terjadi peningkatan terhadap
batas atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat terjadi pada tipe
hepatoseluler daripada tipe kolestasis atau campuran, dan pasien dengan
peningkatan

bilirubin

level

pada

kerusakan

hati

hepatoseluler

mengindikasikan kerusakan hati yang serius dengan tingkat kematian yang


tinggi. Tipe ini ditemukan rata-rata 0,7 sampai 1,3 dari100.000 individu
yang menerima pemberian obat.3,8
2. Tipe Kolestasis
Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2 kali ULN
atau R 2.3,8
3. Tipe Campuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN
dan2<R<5.

Pasien

sering berkembang

dengan

tipe

menjadi

kolestasis

penyakit

hepatoseluler.1,2,3,8

atau

campuran

lebih

kronik

daripada

tipe

Diagnosis
Gambaran klinis DILI sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit
hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan
atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap.1,2,3 Onset umumnya cepat,
gejala berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut berat.
Apabila kerusakan hepatosit lebih dominan maka konsentrasi
aminotransferase dapat meningkat sehingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan bilirubin menonjol
pada kolestasis. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa
hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan
sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.4,8
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas
karena obat berdasarkan :1,2
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksinyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari
lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih 15
hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30
hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas
obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50%dari konsentrasi di
atas batas atas normal dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari
untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif

sebab

lain

telah

dieksklusi

dengan

pemeriksaan

teliti,

termasuk biopsi hati tiap kasus.


4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling
tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DILI sebelumnya dengan cara menghentikan obat penyebab
terjadinya kerusakan hati, diikuti monitoring kondisi klinis dan indikator kerusakan
hati secara laboratorium. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan
6

hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan
normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali.1,2 Lakukan segera upaya
eliminasi obat/metabolit secepatnya misalnya melalui dialisis atau plasmaferesis atau
diberikan antidotnya.1,2 Tidak semua obat memiliki antidot, obat-obatan yang memiliki
antidot diantaranya parasetamol yaitu N-acetylcysteine untuk keracunan asetaminofen
(parasetamol).13 Baniasati tahun 2010 menggunakan N-acetylcysteine pada pasien
DILI akibat obat antituberkulosis, yang mendapatkan penurunan dari nilai enzim
aminotransferase pada pasien.13
TUBERKULOSIS MILIER
DEFINISI
Tuberkulosis milier adalah bentuk tuberculosis yang ditandai dengan
penyebaran luas ke dalam tubuh manusia dan dengan ukuran kecil lesi (1-5 mm),
namanya berasal dari pola yang khas terlihat pada rontgen dada dari banyak bintikbintik kecil yang didistribusikan ke seluruh bidang paru-paru dengan tampilan yang
mirip dengan millet biji-sehingga disebut dengan TB miliaria. Tuberculosis Milier
adalah jenis tuberculosis yang bervariasi dari infeksi progresif lambat hingga penyakit
fulminan akut, ini disebabkan oleh penyebaran hematogen atau limfogen alah dari
perkijuan yang terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ14.

ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4um> Species lain yang dapat
memberikan infeksi pada manusia adalah M.bovis, M.kansasi, M.interceluler.
Sebagaian besar kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap trauma kimia dan fisik.15
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar kuman mycobacterium tuberkulosis masuk ke jaringan paru
melalui droplet infeksi. Masuknya kuman akan merangsang mekanisme imun
nonspesifik, makrofag, alveolus akan memfagositosis kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB, dengan demikian masuk kuman
tidak selalu menimbulkan penyakit, terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan
banyaknya kuman TB serta daya tahan tubuh yang terkena.16
7

Jika virulensi kuman tinggi dan jumlah kuman banyak atau daya tahan tubuh
menurun maka makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag tersebut. Kuman TB yang terus berkembang biak akan
menyebabkan makrofag lisis dan kuman TB akan membentuk koloni ditempat
tersebut yang disebut fokus primer. Dari fokus primer tersebut kuman TB akan dapat
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional yang akan
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (Limfangitis) dan kelenjar limfe
(Limfadenitis). Komplek primer merupakan gabungan antara fokus primer limfangitis
dan limfadenitis regional. Masa inkubasinya sampai terbentuk komplek primer
biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu. Apabila virulensi kuman rendah atau
jumlah kuman sedikit

atau daya tahan tubuh yang baik kompleks primer akan

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis dan kalsifikasi setelah


mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Begitu juga kelenjar limfe regional
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi resolusi biasanya tidak sempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama ber
tahun-tahun dalam kelenjar ini (dormant). Selain mengalami resolusi kompleks primer
dapat juga mengalami resolusi, kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi
dan dapat menyebar.17,18
Penyebaran dapat terjadi secara bronkogen, limfogen, dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, sedangkan pada penyebaran hematogen kumanTB masuk kedalam
sirkulasi darah dan menyebar keseluruh tubuh.19
Penyebaran hematogen kuman TB dapat berupa : occult hematogenic spread
(penyebaran hematogenik tersamar) atau Acute generalized hematogenic spread
(penyebaran hematogenik generalisata akut). Tuberkulosis Milier merupakan hasil
dari penyebaran hematogenik generalisata akut dengan jumlah kuman yang besar.
Semua tuberkel yang dihasilkan dari proses ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilah Milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai
butir padi. Secara patologi anatomi lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm
yang tersebar merata (difus) pada paru. Terjadinya TB Milier dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu kuman M. Tuberkulosis (jumlah dan virulensi), status imunogis
penderita, faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang
padat, polusi udara, rokok, penggunaan alkohol, sosial ekonomi).19,20
8

DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
Tuberkulosis Milier merupakan komplikasi dari suatu fokus infeksi
tuberkulosis yang disebarkan secara hematogen bersifat sistemik. Sehingga
penderita tuberkulosis milier hampir sama dengan penderita tuberkulosis pada
umumnya yaitu berupa batuk-batuk, demam, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, keringat dimalam hari dan pada keadaan lanjut juga dijumpai batuk
yang produktif dan batuk berdarah. Demam merupakan tanda klasik pada suatu
tuberkulosis milier, dimana bentuk demamnya tidak khas. Penderita TB milier
biasanya mendapatkan gejala-gejala seperti, lemah (90%), penurunan berat badan
(80%) sakit kepala (10%) dimana keluhan ini dapat terjadi secara progresif selama
beberapa hari atau beberapa minggu dan bahkan dapat terjadi (walaupun jarang)
selama beberapa bulan. Penelitian lain mendapatkan anoreksia (15,6%), nyeri
perut (6%) dan nyeri dada (12%).19,20

2. Pemeriksaan Umum

Anamnesis
Pada pasien dengan Tb milier mengalami gejala-gejala kelelahan , berat

badan menurun, batuk-batuk, demam, keringat di malam hari. gejala klinis


yang disebutkan tidak spesifik sehingga diperlukannya pemeriksaan fisis.21

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai hal yang istimewa pada penderita

TB milier kecuali tahap lanjut dijumpai keterlibatan organ seperti pembesaran


limfa dan hati. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai choroidal tuberkel yang
merupakan pemeriksaan patognomonis untuk TB milier. Pada pemeriksaan
secara fisik dijumpai demam(80%), keringat malam(50%), batuk (60%),
pembengkakan kelenjar limpa(40%), hepatomegali(40%), splenomegali
(15%), pancreatitis (<5%), diare (6%) dan disfungsi multi organ.19,20
3. Pemeriksaan Radiologi

Ronthgen thorak
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang

umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Akibat penyebaran


hematogen tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm, atau sebesar kepala jarum
(milium), tersebar secara merata di kedua belah paru. Pada foto, toraks
tuberkulosis miliaris ini dapat menyerupai gambaran badai kabut (snow
storm appearance). Penyebaran seperti ini juga dapat terjadi ke ginjal, tulang,
sendi, selaput otak (meningen), dan sebagainya.

10

CT Scan
Pemeriksaan dengan CT scan dengan resolusi yang tinggi dimana

dengan ketebalan 1 mm lebih baik dibandingkan dengan foto thoraks, bila


dicurigai meningitis TB dapat dilakukan Head CT scan demikian juga dengan
CT

scan

abdomen

untuk

melihat

keterlibatan

limfa

para

aorta,

hepatosplenomegali atau abses tuberkel.21

4. Pemeriksaan Laboratorium

Darah
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah

leukosit yang sedikit meninggi. Jumlah limfosit masih dibawah normal. LED
mulai meningkat bila penyakit mulai sembuh jumlah leukosit kembali normal
dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kearah normal
lagi.Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai
yakni Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB). Prinsip dasar uji PAP-TB adalah
menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M.
Tuberkulosis.

Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya

kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu


pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurangkurangnya ditemukan tiga batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata
lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. Pemeriksaan dengan
mikroskop fluoresens dengan sinar ultraviolet walaupun sensitivitasnya sangat
tinggi jarang dilakukan karena pewarnaan yang dipakai (auramin-rho-damin)
dicurigai bersifat karsinogenik.

Tes Tuberkulin
Tes Tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu sedang
11

atau pernah mengalami infeksi M.tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG dan


mikrobakterium pathogen lainnya. Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi
tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen ataupun
tidak (Mycobakterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan
mengalami reaksi imunologi dengan dibentuknya antibody selular pada
permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibody humoral yang
dalam perannya akan menekankan antibodi.19,20
PENATALAKSANAAN
Pengobatan TB Milier terutama pemberian obat antimikroba dalam
jangka waktu lama. Regimen Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk TB Milier
sama seperti TB paru, pada keadaan berat atau diduga ketrebatan organ dapat
diberikan obat INH + Rifampisin + Etambutol + Pirazinamid (Z) setiap hari
sebagai fase intial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + Rifampisin atau
Etambutol dan fase lanjutan 4 bulan. Pada keadaan khusus (sakit berat),
tergantung klinis, evaluasi pengobatan, pengobatan dapat dilanjutkan sampai
12 bulan. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
dengan gejala sesak nafas, demam tinggi.20,21

12

ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 39 tahun di bagian Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 18 Mei 2015 dengan:
Keluhan Utama :
Mual dan muntah meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang

Mual dan muntah meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, awalnya
mual dan muntah sudah dirasakan pasien sejak 1 minggu yang lalu, muntah 4-6
kali sehari dengan volume 1/4 gelas setiap kali muntah, muntah berisi apa yang

dimakan, muntah campur darah tidak ada, muntah tidak menyemprot


Batuk sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak, warna putih

kekuningan, riwayat batuk berdarah tidak ada


Berkeringat saat malam hari walaupun tidak saat beraktivitas ada, sejak 2 bulan

sebelum masuk Rumah sakit.


Demam sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, demam hilang timbul, tidak
tinggi, tidak menggigil dan tidak berkeringat banyak, demam berkurang dengan

obat penurun demam, dan saat ini pasien tidak demam lagi.
Penurunan nafsu makan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, makan 3 kali

sehari, hanya habis piring setiap kali makan.


Penurunan berat badan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, tetapi pasien

tidak tahu berapa jumlah penurunan berat badannya.


Buang air kecil berwarna kemerahan sejak minum obat paket paru (2 minggu
yang lalu), rasa sakit saat buang air kecil tidak ada, buang air kecil berwarna teh

pekat disangkal.
Kedua mata disadari pasien terlihat kuning sejak 3 hari sebelum masuk rumah

sakit.
Nyeri perut tidak ada.
Riwayat mendapatkan tranfusi darah sebelumnya tidak ada.
Sesak nafas tidak ada.
Buang Air besar dalam batas normal.
Pasien sebelumnya telah dirawat di Bangsal penyakit dalam RSUP M.Djamil 2
minggu yang lalu dan sudah diperiksa dahak sebanyak 3 kali dengan hasil negatif,
pasien juga sudah dilakukan rontgen dada dan didiagnosis dengan penyakit TB
13

milier dan mendapat obat paket warna merah dan diminum 3 tablet sehari, pasien
minum obat secara teratur.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit kuning sebelumnya tidak ada


Riwayat minum obat paket paru selama 6 bulan sebelumnya tidak ada.
Riwayat sakit Ginjal sebelumnya tidak ada.

Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit kuning.


Tidak ada anggota keluarga yang minum obat paket selama 6 bulan
Tidak ada anggota keluarga yang menderita batuk-batuk lama.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan

Pasien adalah seorang Ibu rumah Tangga, Punya suami yang bekerja sebagai

nelayan dan mempunyai 4 orang anak.


Riwayat seks bebas sebelumnya tidak ada
Riwayat penggunaan jarum suntik secara bersamaan dan bergantian tidak ada
Riwayat minum minuman beralkohol tidak ada
Riwayat merokok tidak ada.
Pasien tinggal dirumah semipermanent, dengan ventilasi dan sanitasi kurang

14

Pemeriksaan umum :
Keadaaan umum : tampak sakit sedang

Suhu

: 36,8 C

Kesadaran

Tinggi badan

: 150 kg

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Berat badan

: 48 kg

Nadi

BMI

: 21,3 kg/m2

: CMC
: 88x/menit, teratur,

pengisian cukup
Nafas

(normoweight)
: 20 x/menit

Keadaan Gizi

: sedang

Pemeriksaanfisik :
Kulit

: turgor kulit normal

Kelenjar getah Bening

: Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening


Regio colli, axila, dan inguinal.

Kepala

: Normocephal

Rambut

: hitam, tidak mudah patah dan dicabut, tidak rontok

Mata

: Konjungtiva anemis (-) , sclera ikterik (+)


Reflek cahaya (+), diameter pupil 3mm/ 3 mm

Telinga

: deformitas (-), tanda-tanda radang (-)

Hidung

: deviasi septum (-), tanda-tanda radang (-)

Tenggorokan

: Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, candidiasis (-)

Gigi dan Mulut

: carries (-), kandidiasis oral (-), atrofi papil lidah (-),

Leher

: JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar

Paru :

Paru depan
o Inspeksi : simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
o Palpasi
: fremitus kanan sama dengan kiri
o Perkusi : sonor, batas pekak Hepar setinggi RIC V
o Auskultasi : Vesiculer, ronki -/- ,wheezing -/Paru belakang
o Inspeksi : simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
o Palpasi
: fremitus kanan sama dengan kiri
o Perkusi : sonor, peranjakan paru 2 jari
o Auskultasi : vesiculer, ronki -/-, wheezing -/

Jantung
o Inspeksi

: iktus cordis tidak terlihat


15

o Palpasi

:iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, tidak kuat

angkat
o Perkusi

: batas kanan LSD, batas atas RIC II kiri, batas kiri 1 jari

medial LMCS RIC V.


o Auskultasi :bunyi jantung murni reguler,M1> M2, P2< A2, bising (-)

Abdomen
o Inspeksi
o Palpasi

: tidak tampak membuncit, Venektasi (-), Kolateral (-)


: Hepar teraba 2 jari bawah arkus kostarum , 2 jari bawah

processus Xipoideus, pinggir tajam, permukaan rata,konsistensi kenyal,


nyeri tekan tidak ada, kandung empedu tidak teraba, dan lien S0
o Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal, Bruit (-)
Punggung

: CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak ada

Alat kelamin

: tidak ada kelainan

Anggota gerak

: Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis -/-, edema -/-

16

Laboratorium :

Hb
: 12,2 g/dl
Ht
: 38 %
Leukosit
: 8940 /mm3
Trombosit
:359.000/mm
LED
: 17 mm/jam
Hitung jenis : 0/1/0/75/17/7 %
Gambaran darah tepi :
Eritrosit
: anisositosis, normokrom
Leukosit
: jumlah cukup morfologi normal
Trombosit
: jumlah cukup, morfologi normal

Kesan : peningkatan LED


Urinalisa :

Protein urine
Glukosa
Bilirubin
Leukosit
Eritrosit
Urobilinogen

::: ++
: 1-2/ LPB
: 0-1/LPB
: positif

Kesan : Bilirubinuria

Feces rutin

Warna
Konsistensi
Leukosit
Eritrosit

: coklat
: lunak
: 0-1 /LPB
:1-2 /LPB

Kesan : dalam Batas Normal.

17

EKG
Irama
HR
Axis
Gel P
PR interval
Kesan

: sinus
QRS Komplek
: 90 x /menit
ST Segmen
: normal
Gel T
: normal
SV1+RV5
: 0,12 detik
R/S V1
: dalam Batas Normal

: 0,08 dtk
: isoelektrik
: normal
<35
<1

Rontgen Thorax :
Trakea di tengah
Jantung tidak membesar (CTR<50%)
Aorta dan mediastinum superior kanan melebar
Kedua hilus tidak melebar/menebal
Corakan Bronkovaskular kedua paru baik
Tampak infiltrat halus diseluruh lapangan paru sampai perifer
Sinus kostofrenikus dan diafragma baik
Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik
Kesimpulan : Sugestif TB paru Milier
MASALAH
Ikterik
Hepatomegali
TB milier dalam Pengobatan OAT kategori 1 fase intensif
Bilirubinuria

18

DIAGNOSIS
Primer :
Hepatitis Drug Induced ec Anti Tuberculosis Drug
Sekunder :
TB milier dalam Pengobatan OAT Kategori 1 fase Intensif
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis Viral Akut
Hepatitis Virus Kronik
Tuberculosis Hepar

TERAPI

Istirahat/ Diet hepar II 1700 kkal ( karbohidrat 1000 kkal,Protein 48 gram, lemak

480 kkal )
IVFD aminofusin hepar : triofusin 1:2 8 jam/kolf
Hepatoprotektor 3x1 tab
Ambroksol 3 x C1
Domperidon 3x 10 mg (po)
Sistenol 3x1 tab (k/p)
Stop OAT kategori 1
Etambutol 1x 750 mg (po)
Inj Streptomisin 1x 750 mg (IM)

19

PEMERIKSAAN ANJURAN

Fungsi Faal hepar (SGOT.SGPT, Bilirubin Total, I dan II, albumin dan Globulin,

Alkali fosfatase dan Gama GT)


HBSAg, Anti HCV, IgM Anti HAV
Ureum, Creatinin
Elektrolit (Natrium, Kalium, klorida,)
USG Abdomen
Rapid Test HIV

FOLLOW UP
Tanggal 19 Mei 2015
S

: Batuk (+), demam (-),badan letih lesu (+), muntah (+), mual (+), mata
kuning (+), nafsu makan berkurang, Buang air kecil warna kemerahan (+)

:
KU

Kesadaran

TD

F.Nd

Fr. nafas

Suhu

Sedang

CMC

100/70 mmhg

86 x/menit

20 x/menit

36,5 0C

Hasil laboratorium :
SGOT

: 280 u/l

Bilirubin Total

: 6,84 mg/dl

SGPT

: 266 u/l

Bilirubin direk

: 5,77 mg/dl

Ureum

: 23 mg/dl

Bilirubin Indirek

: 1,07 mg/dl

Kreatinin

: 1,1 mg/dl

HbSAg

: positif

Natrium

: 135 mmol/L

Anti HCV

: negatif

Kalium

: 4,3 mmol/L

IgM anti HAV

: negatif

Klorida

: 103mmol/L

Gama GT

: 172 u/l

GDS

: 113 mg/d

Alkali Fosfatase

: 128 u/l

Albumin

: 2,7 g/dl

Rapid Test HIV

:Negatif

Globulin

: 3,5 g/dl

20

Kesan : HbSAg positif, peningkatan SGOT/SGPT dan Gama GT, Peningkatan


Bilirubin Total,I dan II, hipoalbuminemia
A/
: Hepatitis drug induced ec Anti Tuberculosis Drug
: Hepatitis virus B
: TB milier dalam terapi OAT Kategori 1 fase intensif

P/

: IgM anti HBc, HbeAg dan HBVDNA


USG Abdomen
: Cek SGOT/SGPT dan Bilirubin Per 3 hari

Tanggal 20 Mei 2015


S : Demam (-), Batuk (+), , mual (+), muntah (-), mata berwarna kuning (+), BAK
warna kemerahan (-)
O:
KU

Kesadaran

TD

F.Nd

Fr. nafas

Suhu

Sedang

CMC

110/70 mmhg

84 x/menit

20 x/menit

37 0C

21

Hasil USG Abdomen :


Hati

:membesar, permukaan rata,parenkim homogen, kasar, pinggir

tajam, vena tidak melebar, duktus biliaris tidak melebar, vena portal normal,
Kandung empedu : normal, dinding tipis, batu tidak ada.
Pankreas

: normal

Lien

: normal

Ginjal

:tidak membesar, ukuran normal, batu tidak ada

Kesan : hepatitis
Plan : Fibro Scan
Hasil Fibro Scan :
Stiffness : 7,8 KPa
Kesimpulan : F2
Tanggal 21 Mei 2015
S

: Demam (-), Batuk (+), mual (+), muntah (-), mata kuning ada (berkurang)

:
KU

Kesadaran

TD

F.Nd

Fr. Nafas

Suhu

Sedang

CMC

110/70mmhg

82 x/menit

20 x/menit

370C

22

Keluar hasil
SGOT

: 71 u/l

SGPT

: 116 u/l

Bilirubin total

: 2,2 mg/dl

Bilirubin direk

: 1,9 mg/dl

Bilirubin indirek

: 0,3 mg/dl

HbeAg

: Non reaktif

IgM anti HBc

: Negatif

Kesan : Perbaikan Faal Hepar


HbeAg non Reaktif
IgM anti HBc Negatif
A/

: Hepatitis Drug induced ec Anti tuberculosis Drug (perbaikan)


Hepatitis B kronis
TB milier dalam pengobatan OAT kategori 1 fase Intensif

P/

: menunggu hasil HBVDNA

Tanggal 25 Mei 2015


S

: Demam (-), Batuk (+), mual (+), muntah (-), mata kuning (-)

:
KU

Kesadaran

TD

F.Nd

Fr. Nafas

Suhu

Sedang

CMC

120/80 mmhg

84 x/menit

20 x/menit

36, 50C

23

Keluar hasil
SGOT

: 40 u/l

SGPT

: 58 u/l

Bilirubin total

: 1,2 mg/dl

Bilirubin direk

: 0,9 mg/dl

Bilirubin indirek

: 0,3 mg/dl

HBVDNA (real Time PCR) : Virus terdeteksi 4,21 x 101 IU/mL


Kesan : Perbaikan Faal Hepar
HBVDNA terdeteksi
A/

: Hepatitis Drug induced ec Anti tuberculosis Drug (perbaikan)


Hepatitis B kronis
TB milier dalam Pengobatan OAT kategori 1

Therapi :
Desentisasi INH dan Rifampicin
INH 1x 100 mg (selama 3 hari)
Therapi yang lain lanjut
P/

: Cek SGOT/SGPT per 3 hari

Tanggal 29 Mei 2015


S

: Demam (-), Batuk (+), mual (-), muntah (-), mata kuning (-)

:
KU

Kesadaran

TD

F.Nd

Fr. Nafas

Suhu

Sedang

CMC

100/60 mmhg

80 x/menit

20 x/menit

36, 50C

24

Keluar hasil
SGOT

: 29 u/l

SGPT

: 33 u/l

Bilirubin total

: 0,9 mg/dl

Bilirubin direk

: - mg/dl

Bilirubin indirek

: - mg/dl

Albumin/globulin

: 2,8/3,5 g/dl

Kesan : Perbaikan Faal Hepar


A/

Hepatitis Drug Induced ec Anti tuberculosis Drug (perbaikan)


Hepatitis B kronik
TB milier dalam Pengobatan OAT Kategori 1

Therapi :
Desentisasi INH
INH 1x 200 mg (selama 3 hari)
Cek SGOT/SGPT per 3 hari
Therapi yang lain lanjut

25

DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan 39 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP M.Djamil
Padang sejak tanggal 18 Mei 2015 dengan diagnosis akhir:
Hepatitis Drug Induced ec anti Tuberculosis Drug (K 71)
Hepatitis B kronis (B 18.1)
TB Milier dalam pengobatan OAT kategori 1 fase intensif ( A 19)
Diagnosis Hepatitis Drug Induced ec anti Tuberculosis Drug pada pasien ini ditegakan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang. Pada anamnesis didapatkan
keluhan pasien berupa mual dan muntah yang meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,
pasien sebelumnya dirawat di Bangsal Penyakit Dalam RSUP M.Djamil padang dengan diagnosis
TB milier dan mendapatkan obat Paket Paru yang diminum satu kali 3 tablet sehari. Pasien minum
obat secara rutin. 2 minggu setelah minum obat paket paru ini, pasien mengeluhkan adanya mual dan
muntah, mata terlihat kuning dan nafsu makan yang berkurang. Pasien Dari pemeriksaan Fisik
ditemukan Sclera ikterik,dan hepar teraba 2 jari bawah arcus costarum, 2 jari bawah prosesus
xipoideus, pinggir tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan dan lien tidak teraba.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT 280/266 u/l, Bilirubin total
6,84 mg/dl, Bilirubin Direk 5,77 mg/dl, Bilirubin Indirek 1,07 mg/dl, Gama GT 172 u/l dan alkali
Fosfatase 128 u/l.
Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) lebih dari tiga
kali batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali BAN
dapat digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada tidaknya kelainan signifikan
pada parameter laboratorik hati. Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase
(ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai
indikator jejas hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi
merupakan parameter untuk menilai fungsi hati secara keseluruhan. Penilaian pola
jejas hati sangat penting karena obat-obat tertentu cenderung menyebabkan jejas
dengan pola khas pula
26

Penyebab drug induced liver injury pada pasien ini diduga karena obat anti tuberculosis
yang di konsumsi pasien, dimana menurut literatur Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik)
menyebabkan peningkatan kadar ALT dan AST serum yang bermakna, biasanya
mendahului peningkatan bilirubin total, disertai sedikit peningkatan ALP.
Contohnya adalah jejas hati imbas isoniazid. Hepatotoksisitas isoniazid
ditingkatkan oleh alkohol, rifampisin, dan pirazinamid. Studi studi terakhir
menyatakan bahwa hepatotoksisitas karena isoniazid serta terhadap terapi
antituberkulosis kombinasi yang mencakup isoniazid lebih besar kemungkinannya
terjadi pada pasien dengan hepatitis B kronik. Pada beberapa pasien dijumpai
gambaran yang mirip dengan hepatitis kronik. Pasien yang sedang diterapi
isoniazid sebaiknya dipantau fungsi hatinya secara cermat. Prognosis jangka
pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular mengikuti hukum Hy.
Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman, seorang hepatolog yang
tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien DILI mengalami
ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena DILI.
Dalam perawatannya, pasien ini diketahui menderita Hepatitis B kronis.
Hepatitis B kronis pada pasien ini ditegakan dengan didapatkannya HbsAg yang
reaktif, dan dalam penelusurannya didapatkan HbeAg nonreaktif, dan IgM anti
HBc nonreaktif. Dalam perjalanan penyakit infeksi Hepatitis B kronik dikenal 4
fase, yaitu fase imunotoleransi, fase immune clearance, fase inaktif, dan fase
reaktivasi. Fase reaktivasi terjadi setelah fase inaktif. Reaktivasi adalah timbulnya
tanda-tanda aktivitas penyakit hati dengan manifestasi seperti hepatitis B akut
pada penderita infeksi hepatitis B kronik yang sebelumnya secara klinik sudah
tenang dan telah melewati fase inaktif yang antara lain ditunjukkan dengan
negatifnya HBeAg dan positifnya anti HBe. Fase reaktivasi ini juga disebut fase
immune escape. Pada penderita infeksi hepatitis B kronik yang masih ada dalam
fase imunoclearance juga sering terjadi gejala-gejala yang mirip hepatitis akut.
Untuk membedakan keadaan itu dengan reaktivasi yang timbul pada inaktif
carrier, keadaan ini dinamakan flare. Beberapa ahli menyebut kedua keadaaan
tersebut dengan nama yang sama yaitu eksaserbasi akut.
27

Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta konsumsi alkohol yang
berlebihan apabila tidak terdapat bukti penyakit hati kronik dan fungsi hati normal dapat
mengkonsumsi OAT standar. Reaksi hepatotoksik lebih sering terjadi sehingga perlu diantisipasi
lebih lanjut. Pada pasien dengan penyakit hati lanjut dan tidak stabil, pemeriksaan fungsi hati
harus dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Semakin tidak stabil dan lanjut penyakit hatinya
maka semakin sedikit obat hepatotoksik yang bisa digunakan.
Pada pasien ini, OAT kategori 1 dihentikan dan diganti dengan obat etambutol 1x 750 mg
dan inj streptomisin 1x 750 mg (iv), sambil memantau SGOT/SGPT per 3 hari, setelah
SGOT/SGPT perbaikan, ditambahkan desensitisasi INH sampai dengan dosis penuh (300 mg).
Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh, bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan) sehingga paduan obat menjadi RHES.
Sebelum memulai

pengobatan TB, sebaiknya dipantau setiap 2 minggu

selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien dengan gangguan
hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya
menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan
kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan
TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga
efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala
yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah,
jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus
dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan
tanda-tanda hepatitis pada pasien diikuti.

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Pusat
Penerbitan

Departemen

Ilmu

Penyakit

Dalam

Fakultas

Kedokteran

Universitas Indonesia; Jakarta, 2006, hal. 471-476.


2. Abdurrachman SA. Penyakit Hati Akibat Obat. Dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Hati. 2007: 265-74.
3. Mehta,

Nilesh

MD.

Drug-Induced

Hepatotoxicity.

Department

of

Gastroenterology and Hepatology. 2010


4. Verma S, Kapliwitz N. Diagnosis management and prevention of druginduced liver injury. Gut 2009;58;1555-1564
5. Bjrnsson ES, Bergmann OM, Bjrnsson HK, Kvaran RB, Olafsson S.
Incidence, presentation, and outcomes in patients with drug-induced liver
injury

in

the

general

population

of

Iceland.

Gastroenterology.

2013;144(7):1419. PubMed
6. Pugh AJ, Barve AJ, Falkner K, Patel M, McClain CJ. Drug-induced
hepatotoxicity or drug-induced liver injury. Clin Liver Dis. 2009
May;13(2):277-294
7. USFDA Guidance for Industry. Drug-induced liver injury: Premarketing
Clinical Evaluation http://www.fda.gov/cder/guidance/7507dft.htm
8. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management

of

Drug-induced

liver

injury. World

Gastroenterol

2008;14(44): 67746785
9. Russmann, Stefan., Kullak-Ublick, Gerd A., dan Grattagliano, Ignazio.
Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity, Current
Medicinal Chemistry, 2009,16:3041-3053.

29

10. Sakuma, T., Kawasaki, Y., Jarukamjorn, K., and Nemotoa, N. Sex Differences
of Drug-metabolizing Enzyme: FemalePredominant Expression of Human
and Mouse CytochromeP450 3A Isoforms, .Journal of Health Science, 2009,
55(3) 32533 7
11. Au J, Navarro J, Rossi S. drug-induced liver injury its pathophysiology and
evolving diagnostic tools. Aliment Pharmacol Ther 2011;34:11-20
12. Watkins B. Mechanisme of Drug-Induced liver Injury in Schiffs Diseases of
Liver, 10th edition, Lippincott Williams $Wilkins, USA, 2007; 34:1006-1020
13. Baniasadi S, Eftekhari P, Tabarsi P. Protective effect of N-acetylcysteine on
antituberculosis drug-induced hepatotoxicity. Eur J. Gastroenterol Hepatol.
2010;22:12351238.
14. Robbins SL, Kumar V. Paru dan saluran nafas atas. Dalam Buku ajar
Patologi. Vol. 2. Edisi 7. Jakarta: EGC ; 2007.
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta. Depkes RI.
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Strategi Nasional
Pengendalian TB di Indonesia, 2011. Jakarta. Depkes RI.
17. Wastonjhon. Diagonstic of Tuberculosis Update: 2012 januari 01;available
from. www. Tb.alert.org/resoucers/paper pub.
18. Horrisons. Principle of Internal medicine volume 1. Editor. Fauci, Brauward,
Kasper, Hauser, longo, jameson, Loscalzo. Penerbit: The McGraw-Hill
companies, America, 2008, Hal : 225-228.
19. Alsagaf H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Airlangga University Press, Surabaya. 2009. Hal 97.
20. Rasad S. Tuberculosis . Radiology Diagnostik. Edisi kedua. Editor Ekayuda,I.
Balai Penerbit: FKUI: Jakarta 2010. Hal 131-136.
21. Khan. AN, Akthar .J, Baneon. V, dkk, 2011. Recurent Pneumothorak : A rare
complication of Miliary Tuberculosis. India : Departement of Tuberculosis
and Respiratory Disease, Jawaharl Nehrul Medical College..

30

Anda mungkin juga menyukai