Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya DILI antara lain:
a. Ras
Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Ras
kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju metabolisme
dikontrol oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu.1,2,8,
b. Umur
Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan
hepar meningkat pada orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi
obat, penurunan aliran darah hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar yang
lebih rendah. 1,2,4.
c. Jenis Kelamin
Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih
banyak pada wanita.1,2,4,8
d. Konsumsi alkohol
Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alcohol
menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme obat.
Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya
lebih rentan terhadap toksisitas obat.1,2,4
e. Penyakit hepar
Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya
memiliki peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-450
berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya.
Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan
mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan
infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik meningkat jika
diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga resikonya meningkat
terhadap dekompensasi pada obat.1,2,4,10
f. Faktor genetik
Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P-450
menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik.
Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang menyebabkan rendahnya
metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi
dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.4.10,
g. Penyakit lain
Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap
reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation.1,2,4
h. Formulasi obat
Obat-obatan
long-acting
lebih
menyebabkan
kerusakan
hepatoseluler
didefinisikan
sebagai
peningkatan
alanine
aminotranferase (ALT) > 2 kali batas atas nilai normal (ULN=upper Limit of
Normal) atau R 5, dimana R adalah rasio aktivitas serum ALT/ aktivitas
alkaline phosphatase (ALP), yang keduanya terjadi peningkatan terhadap
batas atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat terjadi pada tipe
hepatoseluler daripada tipe kolestasis atau campuran, dan pasien dengan
peningkatan
bilirubin
level
pada
kerusakan
hati
hepatoseluler
Pasien
sering berkembang
dengan
tipe
menjadi
kolestasis
penyakit
hepatoseluler.1,2,3,8
atau
campuran
lebih
kronik
daripada
tipe
Diagnosis
Gambaran klinis DILI sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit
hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan
atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap.1,2,3 Onset umumnya cepat,
gejala berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut berat.
Apabila kerusakan hepatosit lebih dominan maka konsentrasi
aminotransferase dapat meningkat sehingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan bilirubin menonjol
pada kolestasis. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa
hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan
sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.4,8
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas
karena obat berdasarkan :1,2
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksinyata
adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari
lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih 15
hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30
hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas
obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50%dari konsentrasi di
atas batas atas normal dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari
untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif
sebab
lain
telah
dieksklusi
dengan
pemeriksaan
teliti,
hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan
normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali.1,2 Lakukan segera upaya
eliminasi obat/metabolit secepatnya misalnya melalui dialisis atau plasmaferesis atau
diberikan antidotnya.1,2 Tidak semua obat memiliki antidot, obat-obatan yang memiliki
antidot diantaranya parasetamol yaitu N-acetylcysteine untuk keracunan asetaminofen
(parasetamol).13 Baniasati tahun 2010 menggunakan N-acetylcysteine pada pasien
DILI akibat obat antituberkulosis, yang mendapatkan penurunan dari nilai enzim
aminotransferase pada pasien.13
TUBERKULOSIS MILIER
DEFINISI
Tuberkulosis milier adalah bentuk tuberculosis yang ditandai dengan
penyebaran luas ke dalam tubuh manusia dan dengan ukuran kecil lesi (1-5 mm),
namanya berasal dari pola yang khas terlihat pada rontgen dada dari banyak bintikbintik kecil yang didistribusikan ke seluruh bidang paru-paru dengan tampilan yang
mirip dengan millet biji-sehingga disebut dengan TB miliaria. Tuberculosis Milier
adalah jenis tuberculosis yang bervariasi dari infeksi progresif lambat hingga penyakit
fulminan akut, ini disebabkan oleh penyebaran hematogen atau limfogen alah dari
perkijuan yang terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ14.
ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4um> Species lain yang dapat
memberikan infeksi pada manusia adalah M.bovis, M.kansasi, M.interceluler.
Sebagaian besar kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap trauma kimia dan fisik.15
PATOFISIOLOGI
Sebagian besar kuman mycobacterium tuberkulosis masuk ke jaringan paru
melalui droplet infeksi. Masuknya kuman akan merangsang mekanisme imun
nonspesifik, makrofag, alveolus akan memfagositosis kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB, dengan demikian masuk kuman
tidak selalu menimbulkan penyakit, terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan
banyaknya kuman TB serta daya tahan tubuh yang terkena.16
7
Jika virulensi kuman tinggi dan jumlah kuman banyak atau daya tahan tubuh
menurun maka makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag tersebut. Kuman TB yang terus berkembang biak akan
menyebabkan makrofag lisis dan kuman TB akan membentuk koloni ditempat
tersebut yang disebut fokus primer. Dari fokus primer tersebut kuman TB akan dapat
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional yang akan
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (Limfangitis) dan kelenjar limfe
(Limfadenitis). Komplek primer merupakan gabungan antara fokus primer limfangitis
dan limfadenitis regional. Masa inkubasinya sampai terbentuk komplek primer
biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu. Apabila virulensi kuman rendah atau
jumlah kuman sedikit
DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
Tuberkulosis Milier merupakan komplikasi dari suatu fokus infeksi
tuberkulosis yang disebarkan secara hematogen bersifat sistemik. Sehingga
penderita tuberkulosis milier hampir sama dengan penderita tuberkulosis pada
umumnya yaitu berupa batuk-batuk, demam, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, keringat dimalam hari dan pada keadaan lanjut juga dijumpai batuk
yang produktif dan batuk berdarah. Demam merupakan tanda klasik pada suatu
tuberkulosis milier, dimana bentuk demamnya tidak khas. Penderita TB milier
biasanya mendapatkan gejala-gejala seperti, lemah (90%), penurunan berat badan
(80%) sakit kepala (10%) dimana keluhan ini dapat terjadi secara progresif selama
beberapa hari atau beberapa minggu dan bahkan dapat terjadi (walaupun jarang)
selama beberapa bulan. Penelitian lain mendapatkan anoreksia (15,6%), nyeri
perut (6%) dan nyeri dada (12%).19,20
2. Pemeriksaan Umum
Anamnesis
Pada pasien dengan Tb milier mengalami gejala-gejala kelelahan , berat
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai hal yang istimewa pada penderita
Ronthgen thorak
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
10
CT Scan
Pemeriksaan dengan CT scan dengan resolusi yang tinggi dimana
scan
abdomen
untuk
melihat
keterlibatan
limfa
para
aorta,
4. Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah
leukosit yang sedikit meninggi. Jumlah limfosit masih dibawah normal. LED
mulai meningkat bila penyakit mulai sembuh jumlah leukosit kembali normal
dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kearah normal
lagi.Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai
yakni Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB). Prinsip dasar uji PAP-TB adalah
menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M.
Tuberkulosis.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
Tes Tuberkulin
Tes Tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu sedang
11
12
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 39 tahun di bagian Penyakit
Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 18 Mei 2015 dengan:
Keluhan Utama :
Mual dan muntah meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Mual dan muntah meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, awalnya
mual dan muntah sudah dirasakan pasien sejak 1 minggu yang lalu, muntah 4-6
kali sehari dengan volume 1/4 gelas setiap kali muntah, muntah berisi apa yang
obat penurun demam, dan saat ini pasien tidak demam lagi.
Penurunan nafsu makan sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, makan 3 kali
pekat disangkal.
Kedua mata disadari pasien terlihat kuning sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit.
Nyeri perut tidak ada.
Riwayat mendapatkan tranfusi darah sebelumnya tidak ada.
Sesak nafas tidak ada.
Buang Air besar dalam batas normal.
Pasien sebelumnya telah dirawat di Bangsal penyakit dalam RSUP M.Djamil 2
minggu yang lalu dan sudah diperiksa dahak sebanyak 3 kali dengan hasil negatif,
pasien juga sudah dilakukan rontgen dada dan didiagnosis dengan penyakit TB
13
milier dan mendapat obat paket warna merah dan diminum 3 tablet sehari, pasien
minum obat secara teratur.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Keluarga
Pasien adalah seorang Ibu rumah Tangga, Punya suami yang bekerja sebagai
14
Pemeriksaan umum :
Keadaaan umum : tampak sakit sedang
Suhu
: 36,8 C
Kesadaran
Tinggi badan
: 150 kg
Berat badan
: 48 kg
Nadi
BMI
: 21,3 kg/m2
: CMC
: 88x/menit, teratur,
pengisian cukup
Nafas
(normoweight)
: 20 x/menit
Keadaan Gizi
: sedang
Pemeriksaanfisik :
Kulit
Kepala
: Normocephal
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorokan
Leher
Paru :
Paru depan
o Inspeksi : simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
o Palpasi
: fremitus kanan sama dengan kiri
o Perkusi : sonor, batas pekak Hepar setinggi RIC V
o Auskultasi : Vesiculer, ronki -/- ,wheezing -/Paru belakang
o Inspeksi : simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
o Palpasi
: fremitus kanan sama dengan kiri
o Perkusi : sonor, peranjakan paru 2 jari
o Auskultasi : vesiculer, ronki -/-, wheezing -/
Jantung
o Inspeksi
o Palpasi
angkat
o Perkusi
: batas kanan LSD, batas atas RIC II kiri, batas kiri 1 jari
Abdomen
o Inspeksi
o Palpasi
Alat kelamin
Anggota gerak
16
Laboratorium :
Hb
: 12,2 g/dl
Ht
: 38 %
Leukosit
: 8940 /mm3
Trombosit
:359.000/mm
LED
: 17 mm/jam
Hitung jenis : 0/1/0/75/17/7 %
Gambaran darah tepi :
Eritrosit
: anisositosis, normokrom
Leukosit
: jumlah cukup morfologi normal
Trombosit
: jumlah cukup, morfologi normal
Protein urine
Glukosa
Bilirubin
Leukosit
Eritrosit
Urobilinogen
::: ++
: 1-2/ LPB
: 0-1/LPB
: positif
Kesan : Bilirubinuria
Feces rutin
Warna
Konsistensi
Leukosit
Eritrosit
: coklat
: lunak
: 0-1 /LPB
:1-2 /LPB
17
EKG
Irama
HR
Axis
Gel P
PR interval
Kesan
: sinus
QRS Komplek
: 90 x /menit
ST Segmen
: normal
Gel T
: normal
SV1+RV5
: 0,12 detik
R/S V1
: dalam Batas Normal
: 0,08 dtk
: isoelektrik
: normal
<35
<1
Rontgen Thorax :
Trakea di tengah
Jantung tidak membesar (CTR<50%)
Aorta dan mediastinum superior kanan melebar
Kedua hilus tidak melebar/menebal
Corakan Bronkovaskular kedua paru baik
Tampak infiltrat halus diseluruh lapangan paru sampai perifer
Sinus kostofrenikus dan diafragma baik
Tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik
Kesimpulan : Sugestif TB paru Milier
MASALAH
Ikterik
Hepatomegali
TB milier dalam Pengobatan OAT kategori 1 fase intensif
Bilirubinuria
18
DIAGNOSIS
Primer :
Hepatitis Drug Induced ec Anti Tuberculosis Drug
Sekunder :
TB milier dalam Pengobatan OAT Kategori 1 fase Intensif
DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis Viral Akut
Hepatitis Virus Kronik
Tuberculosis Hepar
TERAPI
Istirahat/ Diet hepar II 1700 kkal ( karbohidrat 1000 kkal,Protein 48 gram, lemak
480 kkal )
IVFD aminofusin hepar : triofusin 1:2 8 jam/kolf
Hepatoprotektor 3x1 tab
Ambroksol 3 x C1
Domperidon 3x 10 mg (po)
Sistenol 3x1 tab (k/p)
Stop OAT kategori 1
Etambutol 1x 750 mg (po)
Inj Streptomisin 1x 750 mg (IM)
19
PEMERIKSAAN ANJURAN
Fungsi Faal hepar (SGOT.SGPT, Bilirubin Total, I dan II, albumin dan Globulin,
FOLLOW UP
Tanggal 19 Mei 2015
S
: Batuk (+), demam (-),badan letih lesu (+), muntah (+), mual (+), mata
kuning (+), nafsu makan berkurang, Buang air kecil warna kemerahan (+)
:
KU
Kesadaran
TD
F.Nd
Fr. nafas
Suhu
Sedang
CMC
100/70 mmhg
86 x/menit
20 x/menit
36,5 0C
Hasil laboratorium :
SGOT
: 280 u/l
Bilirubin Total
: 6,84 mg/dl
SGPT
: 266 u/l
Bilirubin direk
: 5,77 mg/dl
Ureum
: 23 mg/dl
Bilirubin Indirek
: 1,07 mg/dl
Kreatinin
: 1,1 mg/dl
HbSAg
: positif
Natrium
: 135 mmol/L
Anti HCV
: negatif
Kalium
: 4,3 mmol/L
: negatif
Klorida
: 103mmol/L
Gama GT
: 172 u/l
GDS
: 113 mg/d
Alkali Fosfatase
: 128 u/l
Albumin
: 2,7 g/dl
:Negatif
Globulin
: 3,5 g/dl
20
P/
Kesadaran
TD
F.Nd
Fr. nafas
Suhu
Sedang
CMC
110/70 mmhg
84 x/menit
20 x/menit
37 0C
21
tajam, vena tidak melebar, duktus biliaris tidak melebar, vena portal normal,
Kandung empedu : normal, dinding tipis, batu tidak ada.
Pankreas
: normal
Lien
: normal
Ginjal
Kesan : hepatitis
Plan : Fibro Scan
Hasil Fibro Scan :
Stiffness : 7,8 KPa
Kesimpulan : F2
Tanggal 21 Mei 2015
S
: Demam (-), Batuk (+), mual (+), muntah (-), mata kuning ada (berkurang)
:
KU
Kesadaran
TD
F.Nd
Fr. Nafas
Suhu
Sedang
CMC
110/70mmhg
82 x/menit
20 x/menit
370C
22
Keluar hasil
SGOT
: 71 u/l
SGPT
: 116 u/l
Bilirubin total
: 2,2 mg/dl
Bilirubin direk
: 1,9 mg/dl
Bilirubin indirek
: 0,3 mg/dl
HbeAg
: Non reaktif
: Negatif
P/
: Demam (-), Batuk (+), mual (+), muntah (-), mata kuning (-)
:
KU
Kesadaran
TD
F.Nd
Fr. Nafas
Suhu
Sedang
CMC
120/80 mmhg
84 x/menit
20 x/menit
36, 50C
23
Keluar hasil
SGOT
: 40 u/l
SGPT
: 58 u/l
Bilirubin total
: 1,2 mg/dl
Bilirubin direk
: 0,9 mg/dl
Bilirubin indirek
: 0,3 mg/dl
Therapi :
Desentisasi INH dan Rifampicin
INH 1x 100 mg (selama 3 hari)
Therapi yang lain lanjut
P/
: Demam (-), Batuk (+), mual (-), muntah (-), mata kuning (-)
:
KU
Kesadaran
TD
F.Nd
Fr. Nafas
Suhu
Sedang
CMC
100/60 mmhg
80 x/menit
20 x/menit
36, 50C
24
Keluar hasil
SGOT
: 29 u/l
SGPT
: 33 u/l
Bilirubin total
: 0,9 mg/dl
Bilirubin direk
: - mg/dl
Bilirubin indirek
: - mg/dl
Albumin/globulin
: 2,8/3,5 g/dl
Therapi :
Desentisasi INH
INH 1x 200 mg (selama 3 hari)
Cek SGOT/SGPT per 3 hari
Therapi yang lain lanjut
25
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan 39 tahun di bangsal penyakit dalam RSUP M.Djamil
Padang sejak tanggal 18 Mei 2015 dengan diagnosis akhir:
Hepatitis Drug Induced ec anti Tuberculosis Drug (K 71)
Hepatitis B kronis (B 18.1)
TB Milier dalam pengobatan OAT kategori 1 fase intensif ( A 19)
Diagnosis Hepatitis Drug Induced ec anti Tuberculosis Drug pada pasien ini ditegakan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang. Pada anamnesis didapatkan
keluhan pasien berupa mual dan muntah yang meningkat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit,
pasien sebelumnya dirawat di Bangsal Penyakit Dalam RSUP M.Djamil padang dengan diagnosis
TB milier dan mendapatkan obat Paket Paru yang diminum satu kali 3 tablet sehari. Pasien minum
obat secara rutin. 2 minggu setelah minum obat paket paru ini, pasien mengeluhkan adanya mual dan
muntah, mata terlihat kuning dan nafsu makan yang berkurang. Pasien Dari pemeriksaan Fisik
ditemukan Sclera ikterik,dan hepar teraba 2 jari bawah arcus costarum, 2 jari bawah prosesus
xipoideus, pinggir tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, tidak nyeri tekan dan lien tidak teraba.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT 280/266 u/l, Bilirubin total
6,84 mg/dl, Bilirubin Direk 5,77 mg/dl, Bilirubin Indirek 1,07 mg/dl, Gama GT 172 u/l dan alkali
Fosfatase 128 u/l.
Pada tahun 2001, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)
menetapkan bahwa peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT) lebih dari tiga
kali batas atas normal (BAN) dan peningkatan bilirubin total lebih dari dua kali BAN
dapat digunakan sebagai kriteria untuk meenentukan ada tidaknya kelainan signifikan
pada parameter laboratorik hati. Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase
(ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai
indikator jejas hati, sedangkan peningkatan bilirubin total dan terkonjugasi
merupakan parameter untuk menilai fungsi hati secara keseluruhan. Penilaian pola
jejas hati sangat penting karena obat-obat tertentu cenderung menyebabkan jejas
dengan pola khas pula
26
Penyebab drug induced liver injury pada pasien ini diduga karena obat anti tuberculosis
yang di konsumsi pasien, dimana menurut literatur Jejas hati hepatoselular (atau sitolitik)
menyebabkan peningkatan kadar ALT dan AST serum yang bermakna, biasanya
mendahului peningkatan bilirubin total, disertai sedikit peningkatan ALP.
Contohnya adalah jejas hati imbas isoniazid. Hepatotoksisitas isoniazid
ditingkatkan oleh alkohol, rifampisin, dan pirazinamid. Studi studi terakhir
menyatakan bahwa hepatotoksisitas karena isoniazid serta terhadap terapi
antituberkulosis kombinasi yang mencakup isoniazid lebih besar kemungkinannya
terjadi pada pasien dengan hepatitis B kronik. Pada beberapa pasien dijumpai
gambaran yang mirip dengan hepatitis kronik. Pasien yang sedang diterapi
isoniazid sebaiknya dipantau fungsi hatinya secara cermat. Prognosis jangka
pendek maupun jangka panjang jejas tipe hepatoselular mengikuti hukum Hy.
Hukum ini dipopulerkan oleh Hyman Zimmerman, seorang hepatolog yang
tertarik pada DILI. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien DILI mengalami
ikterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal karena DILI.
Dalam perawatannya, pasien ini diketahui menderita Hepatitis B kronis.
Hepatitis B kronis pada pasien ini ditegakan dengan didapatkannya HbsAg yang
reaktif, dan dalam penelusurannya didapatkan HbeAg nonreaktif, dan IgM anti
HBc nonreaktif. Dalam perjalanan penyakit infeksi Hepatitis B kronik dikenal 4
fase, yaitu fase imunotoleransi, fase immune clearance, fase inaktif, dan fase
reaktivasi. Fase reaktivasi terjadi setelah fase inaktif. Reaktivasi adalah timbulnya
tanda-tanda aktivitas penyakit hati dengan manifestasi seperti hepatitis B akut
pada penderita infeksi hepatitis B kronik yang sebelumnya secara klinik sudah
tenang dan telah melewati fase inaktif yang antara lain ditunjukkan dengan
negatifnya HBeAg dan positifnya anti HBe. Fase reaktivasi ini juga disebut fase
immune escape. Pada penderita infeksi hepatitis B kronik yang masih ada dalam
fase imunoclearance juga sering terjadi gejala-gejala yang mirip hepatitis akut.
Untuk membedakan keadaan itu dengan reaktivasi yang timbul pada inaktif
carrier, keadaan ini dinamakan flare. Beberapa ahli menyebut kedua keadaaan
tersebut dengan nama yang sama yaitu eksaserbasi akut.
27
Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta konsumsi alkohol yang
berlebihan apabila tidak terdapat bukti penyakit hati kronik dan fungsi hati normal dapat
mengkonsumsi OAT standar. Reaksi hepatotoksik lebih sering terjadi sehingga perlu diantisipasi
lebih lanjut. Pada pasien dengan penyakit hati lanjut dan tidak stabil, pemeriksaan fungsi hati
harus dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Semakin tidak stabil dan lanjut penyakit hatinya
maka semakin sedikit obat hepatotoksik yang bisa digunakan.
Pada pasien ini, OAT kategori 1 dihentikan dan diganti dengan obat etambutol 1x 750 mg
dan inj streptomisin 1x 750 mg (iv), sambil memantau SGOT/SGPT per 3 hari, setelah
SGOT/SGPT perbaikan, ditambahkan desensitisasi INH sampai dengan dosis penuh (300 mg).
Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh, bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan) sehingga paduan obat menjadi RHES.
Sebelum memulai
selama awal dua bulan pada kelompok berisiko seperti pasien dengan gangguan
hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya
menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan akan tetapi pendidikan
kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang menjalani pengobatan
TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga
efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala
yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah,
jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus
dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan
tanda-tanda hepatitis pada pasien diikuti.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Pusat
Penerbitan
Departemen
Ilmu
Penyakit
Dalam
Fakultas
Kedokteran
Nilesh
MD.
Drug-Induced
Hepatotoxicity.
Department
of
in
the
general
population
of
Iceland.
Gastroenterology.
2013;144(7):1419. PubMed
6. Pugh AJ, Barve AJ, Falkner K, Patel M, McClain CJ. Drug-induced
hepatotoxicity or drug-induced liver injury. Clin Liver Dis. 2009
May;13(2):277-294
7. USFDA Guidance for Industry. Drug-induced liver injury: Premarketing
Clinical Evaluation http://www.fda.gov/cder/guidance/7507dft.htm
8. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management
of
Drug-induced
liver
injury. World
Gastroenterol
2008;14(44): 67746785
9. Russmann, Stefan., Kullak-Ublick, Gerd A., dan Grattagliano, Ignazio.
Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity, Current
Medicinal Chemistry, 2009,16:3041-3053.
29
10. Sakuma, T., Kawasaki, Y., Jarukamjorn, K., and Nemotoa, N. Sex Differences
of Drug-metabolizing Enzyme: FemalePredominant Expression of Human
and Mouse CytochromeP450 3A Isoforms, .Journal of Health Science, 2009,
55(3) 32533 7
11. Au J, Navarro J, Rossi S. drug-induced liver injury its pathophysiology and
evolving diagnostic tools. Aliment Pharmacol Ther 2011;34:11-20
12. Watkins B. Mechanisme of Drug-Induced liver Injury in Schiffs Diseases of
Liver, 10th edition, Lippincott Williams $Wilkins, USA, 2007; 34:1006-1020
13. Baniasadi S, Eftekhari P, Tabarsi P. Protective effect of N-acetylcysteine on
antituberculosis drug-induced hepatotoxicity. Eur J. Gastroenterol Hepatol.
2010;22:12351238.
14. Robbins SL, Kumar V. Paru dan saluran nafas atas. Dalam Buku ajar
Patologi. Vol. 2. Edisi 7. Jakarta: EGC ; 2007.
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta. Depkes RI.
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Strategi Nasional
Pengendalian TB di Indonesia, 2011. Jakarta. Depkes RI.
17. Wastonjhon. Diagonstic of Tuberculosis Update: 2012 januari 01;available
from. www. Tb.alert.org/resoucers/paper pub.
18. Horrisons. Principle of Internal medicine volume 1. Editor. Fauci, Brauward,
Kasper, Hauser, longo, jameson, Loscalzo. Penerbit: The McGraw-Hill
companies, America, 2008, Hal : 225-228.
19. Alsagaf H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Airlangga University Press, Surabaya. 2009. Hal 97.
20. Rasad S. Tuberculosis . Radiology Diagnostik. Edisi kedua. Editor Ekayuda,I.
Balai Penerbit: FKUI: Jakarta 2010. Hal 131-136.
21. Khan. AN, Akthar .J, Baneon. V, dkk, 2011. Recurent Pneumothorak : A rare
complication of Miliary Tuberculosis. India : Departement of Tuberculosis
and Respiratory Disease, Jawaharl Nehrul Medical College..
30