Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Endometriosis

Disusun Oleh :

Dokter Pembimbing :

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


PERIODE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
DAFTAR TABEL..............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................iii
I. PENDAHULUAN....................................................................................................1
II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................2
II.1 Endometriosis.....................................................................................................2
II.1.1 Definisi dan Epidemiologi.......................................................................2
II.1.2 Manifestasi Klinis....................................................................................2
II.1.3 Etiologi....................................................................................................3
II.1.4 Klasifikasi................................................................................................4
II.1.5 Diagnosis.................................................................................................5
II.1.6 Tata Laksana............................................................................................6
II.2 Infertilitas pada Wanita...................................................................................12
II.2.1 Definisi dan Epidemiologi.....................................................................12
II.2.2 Etiologi..................................................................................................12
II.2.3 Faktor Resiko........................................................................................13
II.2.4 Diagnosis...............................................................................................14
II.3 Hubungan Endometriosis dan Infertilitas........................................................15
II.4 Program Kehamilan pada Wanita dengan Endometriosis...............................16
II.4.1 Inseminasi Intra Uteri (IIU)...................................................................16
II.4.2 Bayi Tabung..........................................................................................17
III. KESIMPULAN......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................20

i
DAFTAR TABEL
Tabel II.1.4.1 Klasifikasi Endometriosis....................................................................................5
Tabel II.2.4.1 Waktu Pemriksaan Umum Fertilitas..................................................................15

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1.4.1 Klasifikasi ASRM Endometriosis....................................................................5

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan kejadian kelainan ginekologi berupa tumbuhnya jaringan


abnormal yang menyerupai jaringan endometrium yang akan memicu reaksi peradangan. 1,2
Endometriosis sering ditemukan pada wanita terutama pada usia reproduksi. Prevalensi
endometriosis pada populasi umum wanita usia reproduksi bervariasi antara 6-10% di Amerika
Serikat, pada kelompok wanita infertil angka kejadian sekitar 20-50% dan pada kelompok wanita
yang mengalami nyeri pelvis kronis angka kejadian endometriosis mencapai 71-87%.
Diperkirakan prevalensi endometriosis akan terus meningkat dari tahun ke tahun.3
Infertilitas adalah kejadian kegagalan pasangan untuk mendapatkan kehamilan dalam 12
bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi.4,5 World Health Organization
(WHO) memperkirakan sekitar 50-80 juta pasangan mengalami infertilitas di dunia, sedangkan
menurut Riset Informasi Kesehatan tahun 2017 kejadian infertilitas lebih tinggi sekitar 30% di
negara berkembang. Prevalensi infertilitas di Asia yaitu 30.8% di Kamboja, 10% di Kazakhstan,
43.7% di Turkmenistan dan 21.3% di Indonesia.6 Infertilitas dapat disebabkan oleh banyak hal
baik karena pria maupun wanita. Infertilitas pada pria seringkali disebabkan oleh gangguan
hormon dan genetik, sedangkan pada wanita seringkali disebabkan oleh gangguan pada uterus,
ovarium dan obstruksi tuba fallopi seperti endometriosis.5
Sekitar 30-50% kelompok wanita yang mengalami endometriosis mengalami infertilitas.
Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas dengan berbagai cara seperti mengganggu anatomi
pelvis dan tuba fallopi, peradangan pada pelvis, mengganggu lingkungan sel telur dan
mengganggu implantasi sel telur.7 Nyeri dan infertilitas adalah dua gejala klinis yang menjadi
keluhan utama penderita endometriosis. Kedua keluhan tersebut saling terkait dan bila tidak
ditangani dengan baik akan sangat merugikan penderita. Berdasarkan hal tersebut maka
pengetahuan mengenai endometriosis dan infertilitas perlu ditingkatkan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Endometriosis
II.1.1 Definisi dan Epidemiologi
Endometriosis merupakan penyakit ginekologi, dimana terdapat jaringan
abnormal menyerupai endometrium, baik kelenjar maupun stroma, yang berada di
luar kavum uteri, sehingga menginduksi reaksi inflamasi kronis, kemudian
berkembang secara progresif dengan keluhan berupa nyeri dan infertilitas.8
Endometriosis disebut juga sebagai estrogen dependent disease karena tumbuh dan
perkembangan jaringan endometrium ektopik tersebut membutuhkan stimulasi
hormon estrogen. Lesi endometriosis tersebut dapat ditemukan di beberapa tempat,
yaitu peritoneum panggul, ovarium, dinding uterus, kavum douglasi, septum
rektovagina, ureter, vesica urinaria, bahkan ditemukan lokasi jauh walaupun jarang
didapat misalnya usus, apendiks, perikardium, pleura, dan sebagainya.8
Endometriosis adalah masalah utama bagi wanita, secara pasti prevalensi
endometriosis sulit diketahui, berkisar antara 6 – 10% pada perempuan usia
reproduktif, dan 35-50% pada wanita dengan nyeri pelvik dan infertilitas.
Diperkirakan prevalensi endometriosis akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penentuan angka kejadian endometriosis sulit dilakukan, hal ini disebabkan beberapa
faktor, yaitu didapatkan endometriosis yang asimtomatis, modalitas pencitraan
(imaging) mempunyai sensitivitas rendah dan diagnostik pasti dilakukan memakai
tindakan pembedahan laparoskopi 2,8

II.1.2 Manifestasi Klinis


Keluhan dan gejala klinis endometriosis antara lain; nyeri siklik pelvis, nyeri saat
haid (dysmennorhea), nyeri saat bersanggama (dyspareunia) gejala-gejala tersebut
dikenal juga sebagai gejala pelvis yang merupakan gejala klasik endometriosis, selain
itu terdapat juga keluhan intestinal siklik, yaitu kesulitan defekasi (dyschezia),
capai/kelelahan dan infertilitas. Dua masalah yang sering menjadi keluhan perempuan
dengan endometriosis yaitu nyeri dan infertilitas atau kesulitan mempunyai anak.
Pada studi yang dilakukan di Brazil, nyeri saat haid adalah gejala utama
endometriosis dilaporkan sebanyak 62%, diikuti dengan nyeri pelvis kronik sebesar
57%, dispareunia dalam 55%, keluhan intestinal siklik 48%, infertilitas 40%,
inkapasitas dismenore 28%.8

2
Selain itu, lokasi endometriosis juga mempengaruhi keluhan yang timbul. Deep
Infiltrating Endometriosis (DIE) yang berlokasi di panggul posterior berhubungan
dengan peningkatan keparahan kesulitan defekasi (dyschezia), sedangkan yang
berlokasi di septum rektovagina berhubungan dengan keparahan nyeri sanggama dan
dyschezia.8
II.1.3 Etiologi
Hingga saat ini penyebab pasti endometriosis belum diketahui, namun beberapa
teori berupaya untuk menjelaskan tentang penyebab endometriosis:

1. Teori Menstruasi Retrograde


John Sampson pada tahun 1927 mengembangkan teori ini dan
menyatakan, bahwa terdapat aliran balik darah menstruasi yang berisi jaringan
endometrium oleh sebab kontraksi rahim yang tidak normal, hal ini menyebabkan
darah haid yang berisi jaringan endometrium masuk melalui saluran tuba falopii
kemudian terimplantasi di rongga peritoneum. Teori ini telah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan laparoskopi, dimana terbukti bahwa terdapat aliran balik darah haid
pada sebagian besar perempuan. Beberapa bukti pendukung teori John Sampson
adalah sebagai berikut 8 :
● Pada pemeriksaan laparoskopi saat haid terlihat aliran darah keluar dari
fimbria.
● Endometriosis tampak di ovarium, kavum douglasi, ligamentum
sakrouterinum, dinding belakang uterus dan ligamentum latum.
● Angka kejadian endometriosis meningkat pada perempuan yang mengalami
hambatan aliran darah haid melalui vagina (anomali duktus Mulleri).
Akan tetapi teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa endometriosis juga dapat
timbul di rongga pleura dan organ lain diluar peritoneum.

2. Teori Sistem Kekebalan


Respon imun penderita endometriosis yang abnormal diduga berhubungan
dengan kemampuan jaringan endometrium untuk mampu bertahan hidup di lokasi
ektopik, dimana terjadi perubahan imunitas seluler maupun humoral pada
penderita endometriosis sehingga respons imun yang abnormal ini menghasilkan
eleminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris aliran balik darah menstruasi,
kondisi ini menjadi faktor penyebab perkembangan penyakit endometriosis.8
Regurgitasi jaringan endometrium kedalam rongga peritoneum
memicu respon inflamasi sehingga menyebakan penumpukan makrofag dan
leukosit lokal. Pada penderita endometriosis, makrofag peritoneum akan

3
teraktivasi, sedangkan sel NK akan terepresi karena ada perubahan ekspresi
reseptor killer. Keadaan ini menyebabkan penyakit endometriosis menjadi
berkembang melalui peningkatan produksi sitokin dan faktor pertumbuhan yang
menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan penghambatan fungsi
scavenger, kemudian respons inflamasi pada endometriosis akan menyebabkan
defek imunsurveilen sehingga menghambat eliminasi debris darah haid dan
memicu implantasi serta pertumbuhan sel endometrium di lokasi ektopik.8

3. Teori Genetik
Dasar teori genetik pada patogenesis endometriosis adalah terkait laporan
agregasi famili dan risiko tinggi pada first degree relative serta kejadian
endometriosis pada saudara kembar. Dengan menggunakan linkage analysis
beberapa candidate genes yang mempunyai potensi keterkaitan biologis dengan
kejadian endometriosis telah ditemukan. Beberapa gen tersebut antara lain gen
yang mengkode detoksifikasi enzim, polimorfisme reseptor estrogen dan gen yang
berhubungan dengan sistem imun tubuh.8
Endometriosis adalah penyakit yang sangat tergantung dengan hormon
estrogen, hal ini memungkinkan bahwa terdapat variasi genetik yang
menghasilkan peningkatan pengaruh estrogen pada lesi endometriosis sehingga
memengaruhi perkembangan endometriosis, selain itu predisposisi genetik
ternyata meningkatkan kejadian kerusakan seluler, misalnya mutasi genetik dapat
menyebabkan kerusakan sel yang berimplikasi pada progresivitas endometriosis.
Hal ini tampak pada penderita endometriosis yaitu terjadi perubahan perilaku sel
endometrium yang memungkinkan dapat tumbuh di lingkungan ekstrauteri.8

II.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi endometriosis pertama kali dibuat oleh American Fertility Society
(AFS) pada tahun 1979, yang saat ini dikenal sebagai ASRM (American Society for
Reproductive Medicine), mengklasifikasikan endometriosis menjadi empat stadium:2,8

Stadium Klasfikasi Skor

1 Endometriosis minimal 1-5

2 Endometriosis ringan 6 - 15

3 Endometriosis sedang 16 - 40

4
4 Endometriosis berat > 40
Tabel II.1.4.1 Klasifikasi Endometriosis

Kemudian, ASRM merevisi sistem klasifikasinya pada tahun 1996


menjadi revised AFS untuk menentukan stadium endometriosis saat laparoskopi
berdasarkan hasil patologi yang didapat dan kelainan endometriosis, sebagai prediksi
kemungkinan terjadi kehamilan sesudah pengobatan. Klasifikasi ini lebih
menekankan pada hubungan derajat endometriosis dengan infertilitas, dengan sistem
skor berdasarkan lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel endometriosis, adanya
perlengketan, dan ukuran dari endometrioma ovarium, yaitu sebagai berikut: 2,8,9

5
Gambar II.1.4.1 Klasifikasi ASRM Endometriosis9
II.1.5 Diagnosis
Mendiagnosis endometriosis, sukar ditegakkan sehingga menyebabkan
keterlambatan diagnosis, terdapat beberapa penyebab yang menyebabkan
keterlambatan diagnosis endometriosis, antara lain :
● Melakukan pemeriksaan yang tidak adekuat sehingga terjadi misdiagnosis
● Pasien, keluarga maupun tenaga kesehatan beranggapan keluhan nyeri haid
sebagai hal yang normal.
● Penggunaan kontrasepsi sehingga mengaburkan diagnosis
● Tidak ada gejala yang khas
● Belum terdapat panduan yang spesifik untuk mendiagnosis.

Berikut beberapa point yang dapat membantu dalam mendiagnosis endometriosis :

6
● ANAMNESIS 2,8
1. Menanyakan keluhan nyeri yang berhubungan dengan haid. Keluhan
panggul misalnya nyeri panggul, nyeri saat haid (dysmennorhea), nyeri
saat bersanggama (dyspareunia) adalah keluhan klasik endometriosis.
2. Menanyakan ada tidaknya keluhan infertilitas, termasuk sudah berapa
lama usia pernikahan tanpa anak. Pada perempuan dengan keluhan
infertilitas yang dilakukan laparoskopi didapat keluhan dysmennorhea
sebagai prediktif utama dalam mendiagnosis endometriosis.
Selain itu berdasarkan berbagai data ESHRE Guideline Development Groups
terdapat beberapa rekomendasi dalam anamnesis, yaitu sebagai berikut :
● Dokter atau klinisi sebaiknya mempertimbangkan diagnosis
endometriosis bila didapatkan keluhan ginekologi yaitu: nyeri haid, nyeri
panggul bukan saat haid, nyeri sanggama, infertilitas dan kelelahan
● Mempertimbangkan diagnosis endometriosis pada perempuan dengan
usia reproduksi yang memiliki keluhan non ginekologi, misal: dischezia,
disuria, hematuria, perdarahan rektum dan nyeri bahu.

● PEMERIKSAAN FISIK DAN GINEKOLOGI


Pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan pada perempuan dengan
kecurigaan endometriosis meliputi pemeriksaan fisik panggul serta inspeksi dan
palpasi abdomen. Pemeriksaan vagina dilakukan dengan perabaan pembesaran
ovarium/endometrioma/kista di adneksa. Pemeriksaan rektal atau colok dubur
dilakukan untuk mengevaluasi nodul di daerah kavum douglasi dan sakrouterina
yang sering disertai rasa nyeri. Didapatkan uterus fixed dan retrofleksi yang
disebabkan karena perlekatan organ panggul dan deeply infiltrating disease.8

● PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laparoskopi
Laparoskopi yaitu tindakan pembedahan di abdomen atau panggul
menggunakan insisi kecil 0,5−1,5 cm dengan memasukkan kamera
kedalamnya. Sampai saat ini metode definitif untuk mendiagnosis
endometriosis, penentuan stadium dan evaluasi kekambuhan pascaterapi
adalah melalui visualisasi langsung dengan pembedahan. Sebagian besar
tindakan visualisasi tersebut menggunakan laparoskopi. Saat mengerjakan
tindakan laparoskopi sebaiknya melakukan pemeriksaan secara sistematis,
terlebih dahulu meliputi 8 :

7
1. Pemeriksaan uterus dan adneksa
2. Pemeriksaan peritoneum dan fossa ovarium, plika vesiko-uterina, kavum
douglasi dan daerah pararektal
3. Pemeriksaan rektum dan sigmoid
4. Pemeriksaan apendiks dan caecum
5. Pemeriksaan diafragma.

Saat melakukan laparoskopi dapat ditentukan stadium endometriosis, dengan


menggunakan klasifikasi revised America Fertility Society terdapat tiga tipe
lesi endometriosis yang terlihat saat visualisasi dengan laparoskopi, yaitu :
1. Lesi superfisial
Lesi ini berlokasi di peritoneum dan permukaan ovarium. Lesi dapat
berbentuk blue-black powder burn, subtle lesion: petechial, vesicular,
polypoid dan haemorrhagic lesion.
2. Kista endometriosis atau endometrioma
Lesi endometriosis berbentuk kista berisi cairan kecoklatan kental yang
mengelompok pada permukaan peritoneum (fossa ovarium).
Endometrioma terbentuk akibat invaginasi korteks ovarium setelah terjadi
akumulasi debris darah haid.8
3. Deep infiltrating endometriosis atau lesi infiltrasi dalam
Lesi endometriosis melakukan infiltrasi lebih dari 5 mm di bawah
permukaan peritoneum, dapat juga penetrasi atau melekat pada
struktur lain, misalnya kandung kencing, usus, ureter dan
vagina.8
2. USG Transvaginal
USG Transvagina dilakukan untuk mendiagnosis kista endometriosis.
Kista endometriosis atau endometrioma adalah kista ovarium yang banyak
ditemukan saat operasi dan menjadi penyebab tingginya morbiditas di bidang
ginekologi. Penggunaan USG transvagina untuk mendeteksi endometrioma
mempunyai sensitivitas 64−89%, spesivisitas 89−100%. Pada USG
endometrioma yang dideteksi menunjukkan gambaran ground-glass,
homogen, internal echo difus dengan latar belakang hipoechoic.8

II.1.6 Tata Laksana

8
Didapatkan pada 60−80% penderita endometriosis mengalami nyeri panggul
yang apabila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan kualitas
hidup. Tatalaksana endometriosis bersifat individual dengan tujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup, dengan melakukan pemilihan terapi berdasarkan
beberapa faktor, diantaranya : berat ringan penyakit, macam dan berat keluhan,
keinginan untuk hamil dan usia penderita.
Endometriosis dianggap sebagai estrogen dependent disease, sehingga supresi
hormon estrogen menjadi dasar penting untuk pengobatan keluhan penyakit
endometriosis. Beberapa obat yang dipakai untuk terapi medis endometriosis, yaitu
obat-obat hormon antara lain: 2,8
● Pil Kontrasepsi Kombinasi
Mekanisme kerja dari pil kontrasepsi kombinasi pada kelainan
endometriosis yaitu, dengan cara menekan LH dan FSH serta mencegah
terjadinya ovulasi dengan cara menginduksi munculnya keadaan pseudo-
pregnancy. Kemudian penggunaan pil kontrasepsi kombinasi ini akan mengurangi
aliran menstruasi, desidualisasi implant endometriosis, dan meningkatkan
apoptosis pada endometrium eutopik pada wanita dengan endometriosis.2

● Progestin
Progestin merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan untuk
terapi endometriosis, tidak seperti estrogen, progesteron memilik efek antimitotik
terhadap sel endometrium, sehingga memiliki potensi dalam pengobatan
endometriosis. Progestin turunan 19-nortestosteron (noretisteron, linestrenol,
desogestrel) seperti dienogest memiliki kemampuan untuk menghambat enzim
aromatase dan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 pada kultur sel endometriosis.
Preparat progestin terdapat dalam bentuk preparat oral, injeksi dan LNG-IUS.
Selain bentuk, preparat progestin juga dapat dibagi menjadi turunan progesteron
alami dan turunan C-19-nortestosteron .2,8

● Agonis GnRH
Analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH) tersedia dalam dua
bentuk, yaitu agonis GnRH dan antagonis GnRH. Pemberian agonis GnRH akan
menginduksi amenore dan atrofi endometrium ektopik secara progresif.
Pemberian agonis GnRH dapat dilakukan secara semprot hidung setiap hari
(nafarelin asetat 200 mcg) dan injeksi formula jangka pendek yang disuntikkan
setiap hari (Buserelin asetat 1 mg) atau injeksi formula jangka panjang yang
disuntikkan setiap 1−3 bulan sekali (Leuprolide asetat 3,75 mg). Efek samping

9
utama yang timbul adalah keadaan hipoestrogen, hal ini merupakan akibat dari
pemberian agonis GnRH, yaitu hot-flushes, vagina kering, penurunan libido,
perubahan mood, nyeri kepala dan deplesi densitas tulang. Sehingga, untuk
menghindari efek hipoestrogen terutama penurunan masa tulang dianjurkan
pemberian agonis GnRH tidak lebih dari 6 bulan.2

● Danazol
Danazol adalah androgen sintetik dan merupakan derivate 17α-ethynyl
testosterone dan bekerja dengan cara menghambat lonjakan LH dan
steroidogenesis serta meningkatkan kadar free testosteron. Danazol diberikan
secara oral 3x1, dengan dosis 200 mg. Pemakaian Danazol dapat menimbulkan
efek samping hiperandrogen yang dapat berupa hirsutisme, jerawat, peningkatan
berat badan dan perubahan suara menjadi lebih berat seperti suara laki-laki, selain
itu dapat menyebabkan perubahan distribusi kolesterol, gangguan fungsi hati,
atrofi vagina, perubahan endometrium dan siklus haid.2,8

● Aromatase Inhibitor
Aromatase inhibitor digunakan sebagai obat untuk mengatasi nyeri
endometriosis yaitu dengan cara menekan ekspresi enzim aromatase P450 yang
berfungsi sebagai kalatalisator konversi androgen menjadi estrogen. Akan tetapi
tidak semua negara tersedia obat aromatase inhibitor, generasi ketiga dari
aromatase inhibitor yang paling sering ditemui yaitu letrozole dan anastrozole.
Efek samping pemberian aromatase inhibitor adalah hipoestrogen berupa vagina
kering, hot-flushes dan penurunan massa tulang. Penggunaan jangka panjang
dapat meningkatkan risiko osteopenia, osteoporosis dan fraktur.2,8

● Anti Prostaglandin
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di
cairan peritoneum dan lesi endometriosis pada wanita dengan endometriosis. Hal
ini membuat obat anti inflamasi non steroid (NSAID) banyak digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis. Berdasarkan uji klinis yang
dilakukan Cobelis dkk penggunaan penghambat COX-2 (rofecoxib) dibandingkan
dengan kontrol selama 6 bulan pada 28 pasien. Didapatkan penurunan yang
bermakna pada dismenore, dyspareunia dan nyeri pelvik kronik setelah
pengobatan 6 bulan dibandingkan dengan placebo (p < 0.001).2

10
Tatalaksana endometriosis selain dapat menggunakan obat-obatan dapat juga
dilakukan dengan tindakan pembedahan konservatif, yaitu dengan cara:

1. Laparoscopic Uterosacral Nerve Ablation (LUNA).


Prosedur tindakan bedah ini dengan melakukan ablasi atau eksisi sekitar 1,5-2 cm
bagian ligamentum sakro-uterina sedekat mungkin dengan insersi di serviks
posterior. Prosedur LUNA bertujuan untuk mengatasi nyeri panggul dengan cara
memotong atau menyebabkan interupsi serabut saraf sensoris aferen pleksus Lee-
Frankenhauser yang berjalan di bawah ligamentum. Prosedur ini dimulai dengan
memposisikan uterus anteversi menggunakan manipulator uterus,
mengidentifikasi ligamentum uterosakral yang kemudian salah satu atau keduanya
dipotong dekat dengan insersinya di serviks. Sebagian kecil ligamen diambil
untuk pemeriksaan histologi dan konfirmasi adanya serabut saraf didalamnya.
Dengan pembedahan ini diharapkan terputusnya saraf sensoris sehingga nyeri
akan berkurang.2,8

2. Laparoskopi Pre-sacral Neurectomy (PSN)


Laparoscopic electrosugical PSN dikerjakan melalui insisi di umbilikus dan
menggunakan laser CO2, kemudian prosedur selanjutnya adalah melakukan eksisi
jaringan saraf antara peritoneum dan periosteum sebanyak paling tidak 2 cm.
Saraf presakral merupakan bagian retroperitoneal superior dari pleksus
hipogastrika, berada di bawah bifurkasio aorta kurang lebih 3-4 cm mengarah ke
sacrum. Mekanisme pre-sacral neurectomy dalam menekan nyeri karena
endometriosis PSN akan memutus saraf sensorik, dan melibatkan pemutusan jalur
persarafan yang lebih banyak dibandingkan LUNA. Tindakan pembedahan PSN
berisiko terjadi komplikasi trauma pada struktur vital di sekitar daerah operasi,
misal pada vena iliaka komunis, ureter dan mesenterium sigmoid.2,8

3. Laparoskopi eksisi lesi endometriosis susukan dalam


Endometriosis susukan dalam didefinisikan sebagai massa padat yang terletak
lebih dari 5 mm di dalam peritoneum. Endometriosis susukan dalam dapat
mengenai ligamentum sakrouterina, dinding pelvis, septum rektovagina, vagina,
usus, kandung kemih atau ureter. Lesi endometriosis susukan dalam dan serat
saraf yang menginervasi pembuluh darah disekitar lesi berpengaruh pada rasa
nyeri. Serat saraf menjadi lebih sensitif dan tersensitisasi dan selanjutnya
memodulasi otak. Tindakan pembedahan eksisi lesi endometriosis susukan dalam
akan menghilangkan lesi endometriosis dan pada gilirannya akan menurunkan

11
intensitas nyeri.2,8 Letak dari lesi endometriosis susukan dalam akan
mempengaruhi langkah pembedahan yang dilakukan :
● Ligamentum sakroterina merupakan lokasi paling sering, didapatkan pada 83
persen kasus. Apabila ditemukan lesi, tindakan eksisi sudah mencukupi. Akan
tetapi bila lesi didapatkan pada kedua sisi ligamentum sakrouterina, eksisi nodul
bilateral mempunyai risiko cidera saraf hipogastrika dengan komplikasi kesulitan
berkemih.2
● Pada kasus endometriosis pada septum rektovagina, pembedahan dimulai melalu
fossa pararektal yang avaskuler. Dilakukan diseksi dari daerah tersebut kemudian
mengarah ke kaudal dengan tujuan mencari jaringan yang masih sehat, setelah itu
baru dilakukan diseksi mengarah ke dinding anterior rektum. Kemudian setelah
rektum dilepaskan, nodul endometriosis dapat dieksisi dari dinding posterior
vagina.2
● Pada kasus endometriosis dengan melibatkan traktus gastrointestinal, terapi
pembedahan harus dilaksanakan oleh tim multidisiplin. Pendekatan pembedahan
dapat bersifat radikal (reseksi komplit lesi untuk mencegah kekambuhan) atau
pendekatan konservatif. Teknik shaving bertujuan untuk melakukan reseksi lesi
pada serosa atau hingga tunika muskularis.2

II.2 Infertilitas pada Wanita


II.2.1 Definisi dan Epidemiologi
Infertilitas adalah kejadian kegagalan pasangan untuk mendapatkan kehamilan
dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi. 4,5 World Health
Organization (WHO) memperkirakan sekitar 50-80 juta pasangan mengalami
infertilitas di dunia, sedangkan menurut Riset Informasi Kesehatan tahun 2017
prevalensi infertilitas di Indonesia sekitar 21.3%.6

II.2.2 Etiologi
1. Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi yang menyebabkan infertilitas dibagi menjadi amenorea primer
dan amenorea sekunder berdasarkan siklus haidnya. Gangguan pada amenorea
primer seperti pada uterus yaitu Sindrom Rokitansky, pada ovarium seperti
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) dan Sindrom Turner, pada hipofisis seperti
hiperprolaktinemia dan hipopituitarism, tumor, trauma kepala dan kelainan
endokrin. WHO juga membagi gangguan ovulasi menjadi 4 kelas yaitu:
a. Kelas 1 : Kegagalan hipotalamus dan hipofisis yang ditandai dengan
gonadotropin yang rendah, prolaktin normal dan estradiol rendah

12
b. Kelas 2 : Gangguan fungsi dari ovarium ang ditandai dengan adanya
kelainan pada gonadotropin dan kadar estradiol yang normal
c. Kelas 3 : Kegagalan ovarium yang ditandai dengan kadar gonadotropin
yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah
d. Kelas 4 : Ditandai dengan keadaan hiperprolaktinemia.

2. Gangguan Tuba dan Pelvis


Gangguan yang terjadi paling sering disebabkan oleh infeksi dan terjadinya
endometriosis. Beberapa mekanisme pada endometriosis seperti terjadinya
perlekatan dan distrorsi anatomi panggul yang dapat mengakibatkan penurunan
tingkat kesuburan. Perlekatan pelvis pada endometriosis dapat mengganggu
pelepasan oosit dari ovarium serta menghambat penangkapan maupun transportasi
oosit.
Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:
a. Ringan/Grade 1 - Terjadi oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau
oklusi tuba distal tanpa ada distensi, mukosa tampak baik, perlekatan ringan
(perituba-ovarium).
b. Sedang/Grade 2 - Terjadi kerusakan tuba berat unilateral.
c. Berat/Grade 3 - Terjadi kerusakan tuba berat bilateral, fibrosis tuba luas,
distensi tuba > 1,5 cm, mukosa tampak abnormal, oklusi tuba bilateral ,
perlekatan berat dan luas.

3. Gangguan Uterus
Hal yang dapat menyebabkan infertilitas seperti mioma submukosum, polip
endometrium, leiomyomas, Sindrom Asherman.4

II.2.3 Faktor Resiko


Fertilitas dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, kondisi akut atau
kronik, lingkungan, pajanan, penyakit infeksi, gaya hidup dan gangguan reproduksi
itu sendiri baik pria maupun wanita. Menurut WHO dari 8.500 pasangan yang
mengalami infertilitas disebabkan karena faktor pada wanita sebesar 37%, faktor pada
pria sebesar 8% dan faktor pada kedua pasangan sebesar 35%.10
a. Usia
Semakin bertambahnya usia kemampuan fertilitas juga semakin menurun. Hal ini
dikarenakan pada wanita jumlah oosit yang dihasilkan akan semakin menurun
disertai penurunan kualitas. Selain infertilitas hal ini juga memperbesar
kemungkinan terjadinya kelainan kromosom dan aborsi spontan. Pada pria usia

13
juga mempengaruhi sperma yaitu terjadinya penurunan kualitas, kuantitas,
morfologi dan motilitasnya.10
b. Gaya Hidup
Gaya hidup seperti konsumsi alkohol dan obat-obatan, merokok, stres, konsumsi
obat-obatan, berat badan dan olahraga dapat mempengaruhi kejadian infertilitas.
Konsumsi alkohol dikatakan dapat menurunkan kualitas cairan semen dan
menyebabkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis yang akan mengganggu
sekresi hormonal. Kandungan dalam rokok dapat menyebabkan kerusakan
oksidatif terhadap mitokondria oosit, merusak morfologi sperma dan menybabkan
keguguran. Konsumsi obat-obatan seperti siklosporin, simetidin,kolkisin,
allupurinol dan spironolakton dapat mempengaruhi sperma baik berupa
kemampuan membuahi oosit, pergerakan dan jumlah sperma maupun mengganggu
produksi testosteron.4
c. Pekerjaan
Faktor resiko ini berhubungan dengan paparan bahan fisik dan kimia yang
memiliki efek pada fertilitas seperti motilitas dan jumlah sperma dan gangguan
pada waktu kehamilan dan jumlah sel telur yang siap dibuahi. Bahan fisik dan
kimia yang terbukti menyebabkan infertilitas adalah panas, radiasi sinar-X, logam
dan pestisida.4

II.2.4 Diagnosis
Diagnosis infertilitas dilakukan sebaiknya ketika sudah melewati 1 tahun dan
berhubungan seksual tanpa kontrasepsi. Pada wanita pemeriksaan yang dapat
dilakukan yaitu pemeriksaan ovulasi. Saat anamnesis harus ditanyakan mengenai
frekuensi dan keteraturan menstuasi. Pada wanita dengan siklus haid teratur dapat
dianjurkan melakukan pengukuran kadar progesteron serum fase luteal madya,
sedangkan pada wanita dengan siklus haid tidak teratur disarankan melakukan
pengukuran kadar hormon gonadotropin. Pemeriksaan kadar hormon prolaktin juga
dapat dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan ovulasi, galaktorea atau tumor
hipofisis. Harus diperhatikan juga apakah wanita tersebut memiliki gejala gangguan
tiroid, jika iya maka harus dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid. Selain pemeriksaan
ovulasi juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai cadangan ovarium dengan
menggunakan parameter AMH dan Folikel Antar Basal (FAB).

14
Tabel II.2.4.1 Waktu Pemeriksaan Umum Infertilitas10

Pada wanita juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai keadaan tuba. Pada
peremuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID), kehamilan
ektopik atau endometriosis disarankan untuk melakukan histerosalpingografi (HSG)
untuk melihat adanya oklusi tuba, sedangkan tindakan laparoskopi kromotubasi untuk
menilai patensi tuba dianjurkan untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui
memiliki riwayat penyakit radang panggul.4

II.3 Hubungan Endometriosis dan Infertilitas


Meskipun terapi medikamentosa endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa nyeri
namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan fertilitas.
Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan progestin dan agonis GnRH tidak
dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang.
Terdapat beberapa faktor diduga berperan pada terjadinya infertilitas pada
endometriosis seperti perlekatan organ panggul, gangguan folikulogenesis dan fungsi oosit,
gangguan fungsi sperma, penurunan kualitas embrio dan gangguan reseptivitas
endometrium. Pada endometriosis stadium berat perlekatan organ panggul menyebabkan
distorsi anatomi sehingga sehingga terjadi hambatan motilitas tuba dan pengambilan oosit
oleh tuba sehingga terjadi infertilitas. Cairan peritoneum di sekitar lesi endometriosis
mengandung makrofag aktif dengan jumlah dan konsentrasi tinggi serta memproduksi
sitokin proinflamasi IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α. Selain itu jaringan endometriosis sendiri
aktif memproduksi mediator inflamasi yang sama sehingga membentuk lingkungan yang
penuh dengan sitokin inflamasi. Komponen inflamasi tersebut akan berdifusi atau melalui
mekanisme parakrin masuk ke folikel ovarium sehingga merusak fungsi sel granulosa dan
maturasi oosit. Gangguan fungsi dan perkembangan sel granulosa dan oosit serta gangguan
komunikasi molekuler di folikel ovarium akan berdampak pada gangguan folikulogenesis.
Keadaan di atas diduga kuat terjadi pada perempuan dengan endometriosis sehingga
berakibat penurunan angka fertilisasi.

15
Komponen inflamasi yang terbentuk juga dapat mengganggu fungsi sperma seperti
dapat menekan motilitas dan progresivitas sperma. Seperti diketahui sperma berada
beberapa saat di organ reproduksi perempuan untuk melakukan kapasitasi sebelum terjadi
fertilisasi sehingga pada periode ini dimungkinkan terjadi gangguan fungsi sperma akibat
inflamasi tersebut. Komponen inflamasi ini juga mempunyai efek toksik pada sperma
dengan merusak sel membran sehingga terjadi kerusakan DNA dan apoptosis sperma.
Pada embrio penderita endometriosis didapatkan penurunan jumlah blastomer dan
didapatkan juga penurunan angka implantasi. Mediator inflamasi juga dapat menyebabkan
kerusakan folikel ovarium sehingga menyebabkan penurunan kualitas oosit dan embrio.
Terdapat tiga faktor penyebab kegagalan implantasi, yaitu gangguan oosit/embrio, defek
pada endometrium dan gangguan komunikasi embrio-endometrium. 4,11
II.4 Program Kehamilan pada Wanita dengan Endometriosis
II.4.1 Inseminasi Intra Uterine (IIU)
Inseminasi Intra Uterine (IIU) adalah salah satu prosedur dengan cara
memasukkan dan menempatkan sperma yang sudah dipersiapkan dan diproses
sebelumnya ke dalam uterus pada saat diperkirakan terjadi ovulasi. Prosedur IIU
relatif mudah dikerjakan, murah dan tidak invasif.
Terdapat lima langkah dalam pelaksanaan IIU, yaitu:
1. Stimulasi ovarium/induksi ovulasi
Prosedur IIU dapat dilaksanakan dengan stimulasi ovarium (stimulated cycle)
maupun tanpa stimulasi ovarium (natural cycle) tergantung pada umur dan faktor
penyebab infertilitas. Penggunaan stimulasi ovarium pada IIU bertujuan untuk
meningkatkan jumlah oosit yang tersedia untuk IIU dan meningkatkan produksi
hormon steroid untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya fertilisasi dan
implantasi. Obat-obat yang digunakan untuk stimulasi ovarium dapat diberikan
dalam bentuk oral yaitu klomifen sitrat (KS), obat oral dan injeksi (FSH) atau
injeksi FSH saja yang dilakukan pada hari ke 3. IIU dengan siklus natural
sebaiknya dilakukan pada wanita dengan siklus haid teratur, sehingga penentuan
masa ovulasi lebih mudah.
2. Pemantauan pertumbuhan folikel dan perkembangan endometrium
Pemantauan masa ovulasi dilakukan dengan pemeriksaan LH urine atau
menggunakan USG pada hari 8-12 merupakan waktu yang tepat untuk dilakukan
USG
3. Penentuan saat inseminasi
Kemudian dapat dilakukan inseminasi dengan tujuan sperma yang sudah
disiapkan sebelumnya dapat dipertemukan dengan sel telur pada saat ovulasi
dalam kavum uteri

16
4. Preparasi sperma
Pengambilan sampel sperma dilakukan pada hari pelaksanaan IIU dengan cara
masturbasi setelah 2-3 hari abstinensia. Selanjutnya sampel sperma akan
dilakukan pencucian dan preparasi yang bertujuan untuk membuang
prostaglandin dan bakteria serta mengkonsentrasikan sperma dengan
memisahkan dari cairan plasma seminal.
5. Pelaksanaan IIU dengan sperma yang sudah di preparasi12,13

II.4.2 Bayi Tabung


Fertilisasi In Vitro terdiri dari dua kata yaitu Fertilisasi dan In Vitro. Fertilisasi
berarti pembuahan sel telur wanita oleh spermatozoa pria, In Vitro berarti di luar
tubuh. Dengan demikian, fertilisasi in vitro berarti proses pembuahan sel telur wanita
oleh spermatozoa pria yang terjadi di luar tubuh. 14 Proses pelaksanaan bayi tabung
dapat dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
a. Tahap stimulasi/perangsangan produksi sel telur matang
Kegagalan ovarium dalam menghasilkan sel telur matang menjadi salah satu
penyebab infertilitas. Kerja sistem reproduksi dipengaruhi oleh kadar hormon
reproduksi dan kadar hormon reproduksi dipengaruhi oleh proses yang terjadi dalam
siklus ovulasi dan organ reproduksi wanita seperti proses produksi dan pematangan
sel telur dalam ovarium maupun penebalan dinding dalam rahim. Stimulasi produksi
sel telur matang merupakan tindakan memberikan pengobatan untuk menciptakan
atau meningkatkan kadar hormon reproduksi yang sesuai agar terjadi proses ovulasi.
b. Tahap pengambilan sel telur matang dan spermatozoa pria.
Penilaian kematangan sel telur dapat menggunakan USG atau perhitungan kadar
hormon estrogen dalam darah pria dan wanita. Kadar hormon estrogen yang
mencapai nilai minimal 200 pg/ml, menunjukkan folikel sel telur yang telah matang.
Prosedur pengambilan sel telur yang telah matang/ovum pick up akan dilakukan
dalam ruang operasi. Teknik yang biasa digunakan adalah Transvaginal Directed
Oocyte Recovery yaitu dengan mengambil sel telur dari ovarium dengan panduan
gambar yang dihasilkan oleh alat USG. Sperma yang mengandung spermatozoa pria
diambil melalui masturbasi atau prosedur pengambilan khusus diruang operasi.
Spermatozoa yang terkandung dalam sperma, akan dipisahkan dari kandungan bahan-
bahan sperma lainnya. Setelah proses pemurnian ini selesai, spermatozoa yang
memiliki kualitas baik akan dipertemukan dengan sel telur matang untuk proses
pembuahan.

c. Tahap pembuahan sel telur oleh spermatozoa di laboratorium.

17
Spermatozoa pria ditempatkan bersama-sama dengan sel telur matang wanita dalam
sebuah cawan khusus yang lingkungannya dibuat agar sama dengan lingkungan tuba
falopii. Proses pembuahan sel telur oleh spermatozoa diharapkan terjadi dalam waktu
17-20 jam pasca pengambilan sel telur dari ovarium. Embrio yang dinilai berkembang
dengan baik segera ditanamkan dalam rahim. Biasanya embrio yang baik akan terlihat
berjumlah 8-10 sel pada saat ditanamkan dalam rahim.
d. Tahap pencangkokan embrio ke dalam rahim.
Apabila jumlah embrio yang berhasil dihasilkan lebih banyak dari pada jumlah
embrio yang akan ditanamkan, maka sisa embrio akan disimpan beku untuk menjaga
kemungkinan ditanamkan dikemudian hari. Setelah mencapai kesepakatan mengenai
jumlah embrio yang ditanamkan maka embrio akan ditanam dalam rahim.
Kehamilan pasca penanaman embrio, akan dipantau melalui kadar Human
Chorionic Gonadotropin (HCG) dalam darah. Biasanya hal ini dilakukan apabila
tidak terjadi menstruasi selama 16 hari.

18
BAB III
KESIMPULAN

Endometriosis merupakan salah satu faktor utama terjadinya infertilitas. Berdasarkan


penelitian dari kelompok wanita yang mengalami infertilitas 20-50% mengalami endometriosis.
Nyeri dan infertilitas adalah dua gejala klinis yang menjadi keluhan utama penderita
endometriosis. Kedua keluhan tersebut saling terkait dan bila tidak ditangani dengan baik akan
sangat merugikan penderita
Endometriosis merupakan terjadinya suatu jaringan mirip dengan endometrium yang
dapat menyebabkan inflamasi. Jaringan ini dapat tumbuh dimana saja seperti pada bagian fundus
uteri, ovarium, tuba falopii, ligamentum, caecum, dll. Etiologi endometriosis sendiri masih
belum jelas, tetapi beberapa teori yang dianggap paling mendekati yaitu teori menstruasi
retrograd yaitu ketika debris menstruasi masuk ke ovarium melalui tuba fallopii dan membentuk
suatu jaringan yang akan bertumbuh menjadi kista karena dipengaruhi beberapa faktor seperti
genetik, imun dan juga kadar hormon. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dengan gejala
yang khas yaitu nyeri haid yang muncul sebelum, saat dan sesudah menstruasi yang menetap,
menjalar dan semakin lama semakin nyeri serta nyeri saat berhubungan seksual dan infertilitas.
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan teraba massa dengan nyeri tekan yang mudah
berdarah pada stadium yang sudah berat atau tampak bercak kemerahan maupun kebiruan pada
stadium ringan. Pemeriksaan penunjang yang digunakan sebagai gold standar adalah laparoskopi
yang nantinya akan membantu klasifikasi endometriosis berdasarkan guideline ASRM. Nyeri
pada endometriosis dapat diberikan terapi medikamentosa seperti pil kontrasepsi, progestin,
agonis GnRH, danazol, aromatase inhibitor dan anti prostaglandin maupun terapi non
medikamentosa dengan menggunakan laparoskopi.
Infertilitas merupakan kejadian kegagalan pasangan untuk mendapatkan kehamilan dalam
12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi. Hal ini dapat disebabkan
berbagai hal seperti faktor pria dan wanita. Faktor pada wanita yang dibahas disini adalah
gangguan ovarium, gangguan tuba dan pelvis, dan gangguan uterus. Fertilitas secara umum juga
dipengaruhi oleh usia, gaya hidup dan pekerjaan.
Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas melalui berbagai mekanisme. Mekanisme
yang paling umum adalah komponen inflamasi yang terbentuk dapat mempengaruhi
pertumbuhan ovulasi, gangguan oosit, kualitas dan kuantitas sperma dan perkembangan embrio.
Pada wanita yang memilik endometriosis masih dapat hamil dengan berbagai cara seperti
Inseminasi Intra Uterine (IIU) dan Bayi Tabung/In Vitro Fertilization (IVF). Pada endometriosis
derajat ringan masih dapat dilakukan IIU, sedangkan pada derajat berat hanya dapat dilakukan
IVF.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011
2. HIFERI, POGI. Konsensus Tata Laksana Nyeri Endometriosis. 2017
3. Davilla, Kapoor. What Is the Prevalence of Endometriosis?. 2018. Available at:
https://www.medscape.com/answers/271899-6223/what-is-the-prevalence-of-
endometriosis#:~:text=Endometriosis%20is%20an%20estrogen%2Ddependent,women
%20with%20chronic%20pelvic%20pain.
4. HIFERI, PERFITRI, IAUI, POGI. Konsensus Penanganan Infertilitas. 2013
5. Division of Reproductive Health, National Center for Chronic Disease Prevention and
Promotion. What is Infertility?. 2020. Available at:
https://www.cdc.gov/reproductivehealth/features/what-is-infertility/index.html
6. Parasar, Ozcan. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis and Clinical Management.
2017. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5737931/
7. American Society for Reproductive Medicine. Endometriosis: Does It Cause Infertility?.
2016.
8. Hendarto, Hendy. Endometriosis dari aspek teori sampai penanganan klinis. Surabaya:
Airlangga University Press (AUP), 2015.
9. American Society for Reproductive Medicine (1997). Revised American Society for
Reproductive Medicine classification of endometriosis: 1996. Fertility and Sterility,
67(5), 817-821. Retrieved from http://www.fertstert.org/article/S0015-0282(97)81391-
X/pdf
10. Cunningham. Infertility: A Primer for Primary Care Providers. 2017. Available at:
https://journals.lww.com/jaapa/fulltext/2017/09000/infertility__a_primer_for_primary_ca
re_providers.4.aspx
11. Llarena C. N., Falcone T. Fertility Preservation in Women with Endometriosis. 2019.
Available at: https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1179558119873386
12. Zulhaijah R. Faktor Determinan Lama Pengambilan Keputusan pada Pasangan Infertil
untuk Melakukan Inseminasi Intra Uteri di Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD DR
Soetomo Surabaya. 2017. Available at: http://repository.unair.ac.id/54405/
13. Allahbadia G. N. Intrauterine Insemination: Fundamentals Revisited. 2017. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5676579/
14. Idries A. M. Aspek Medikolegal pada Inseminasi Buatan/Bayi Tabung. Edisi I. Jakarta:
Bina Rupa Aksara.

20

Anda mungkin juga menyukai