Endometriosis
Disusun Oleh :
Dokter Pembimbing :
i
DAFTAR TABEL
Tabel II.1.4.1 Klasifikasi Endometriosis....................................................................................5
Tabel II.2.4.1 Waktu Pemriksaan Umum Fertilitas..................................................................15
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1.4.1 Klasifikasi ASRM Endometriosis....................................................................5
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Endometriosis
II.1.1 Definisi dan Epidemiologi
Endometriosis merupakan penyakit ginekologi, dimana terdapat jaringan
abnormal menyerupai endometrium, baik kelenjar maupun stroma, yang berada di
luar kavum uteri, sehingga menginduksi reaksi inflamasi kronis, kemudian
berkembang secara progresif dengan keluhan berupa nyeri dan infertilitas.8
Endometriosis disebut juga sebagai estrogen dependent disease karena tumbuh dan
perkembangan jaringan endometrium ektopik tersebut membutuhkan stimulasi
hormon estrogen. Lesi endometriosis tersebut dapat ditemukan di beberapa tempat,
yaitu peritoneum panggul, ovarium, dinding uterus, kavum douglasi, septum
rektovagina, ureter, vesica urinaria, bahkan ditemukan lokasi jauh walaupun jarang
didapat misalnya usus, apendiks, perikardium, pleura, dan sebagainya.8
Endometriosis adalah masalah utama bagi wanita, secara pasti prevalensi
endometriosis sulit diketahui, berkisar antara 6 – 10% pada perempuan usia
reproduktif, dan 35-50% pada wanita dengan nyeri pelvik dan infertilitas.
Diperkirakan prevalensi endometriosis akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penentuan angka kejadian endometriosis sulit dilakukan, hal ini disebabkan beberapa
faktor, yaitu didapatkan endometriosis yang asimtomatis, modalitas pencitraan
(imaging) mempunyai sensitivitas rendah dan diagnostik pasti dilakukan memakai
tindakan pembedahan laparoskopi 2,8
2
Selain itu, lokasi endometriosis juga mempengaruhi keluhan yang timbul. Deep
Infiltrating Endometriosis (DIE) yang berlokasi di panggul posterior berhubungan
dengan peningkatan keparahan kesulitan defekasi (dyschezia), sedangkan yang
berlokasi di septum rektovagina berhubungan dengan keparahan nyeri sanggama dan
dyschezia.8
II.1.3 Etiologi
Hingga saat ini penyebab pasti endometriosis belum diketahui, namun beberapa
teori berupaya untuk menjelaskan tentang penyebab endometriosis:
3
teraktivasi, sedangkan sel NK akan terepresi karena ada perubahan ekspresi
reseptor killer. Keadaan ini menyebabkan penyakit endometriosis menjadi
berkembang melalui peningkatan produksi sitokin dan faktor pertumbuhan yang
menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan penghambatan fungsi
scavenger, kemudian respons inflamasi pada endometriosis akan menyebabkan
defek imunsurveilen sehingga menghambat eliminasi debris darah haid dan
memicu implantasi serta pertumbuhan sel endometrium di lokasi ektopik.8
3. Teori Genetik
Dasar teori genetik pada patogenesis endometriosis adalah terkait laporan
agregasi famili dan risiko tinggi pada first degree relative serta kejadian
endometriosis pada saudara kembar. Dengan menggunakan linkage analysis
beberapa candidate genes yang mempunyai potensi keterkaitan biologis dengan
kejadian endometriosis telah ditemukan. Beberapa gen tersebut antara lain gen
yang mengkode detoksifikasi enzim, polimorfisme reseptor estrogen dan gen yang
berhubungan dengan sistem imun tubuh.8
Endometriosis adalah penyakit yang sangat tergantung dengan hormon
estrogen, hal ini memungkinkan bahwa terdapat variasi genetik yang
menghasilkan peningkatan pengaruh estrogen pada lesi endometriosis sehingga
memengaruhi perkembangan endometriosis, selain itu predisposisi genetik
ternyata meningkatkan kejadian kerusakan seluler, misalnya mutasi genetik dapat
menyebabkan kerusakan sel yang berimplikasi pada progresivitas endometriosis.
Hal ini tampak pada penderita endometriosis yaitu terjadi perubahan perilaku sel
endometrium yang memungkinkan dapat tumbuh di lingkungan ekstrauteri.8
II.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi endometriosis pertama kali dibuat oleh American Fertility Society
(AFS) pada tahun 1979, yang saat ini dikenal sebagai ASRM (American Society for
Reproductive Medicine), mengklasifikasikan endometriosis menjadi empat stadium:2,8
2 Endometriosis ringan 6 - 15
3 Endometriosis sedang 16 - 40
4
4 Endometriosis berat > 40
Tabel II.1.4.1 Klasifikasi Endometriosis
5
Gambar II.1.4.1 Klasifikasi ASRM Endometriosis9
II.1.5 Diagnosis
Mendiagnosis endometriosis, sukar ditegakkan sehingga menyebabkan
keterlambatan diagnosis, terdapat beberapa penyebab yang menyebabkan
keterlambatan diagnosis endometriosis, antara lain :
● Melakukan pemeriksaan yang tidak adekuat sehingga terjadi misdiagnosis
● Pasien, keluarga maupun tenaga kesehatan beranggapan keluhan nyeri haid
sebagai hal yang normal.
● Penggunaan kontrasepsi sehingga mengaburkan diagnosis
● Tidak ada gejala yang khas
● Belum terdapat panduan yang spesifik untuk mendiagnosis.
6
● ANAMNESIS 2,8
1. Menanyakan keluhan nyeri yang berhubungan dengan haid. Keluhan
panggul misalnya nyeri panggul, nyeri saat haid (dysmennorhea), nyeri
saat bersanggama (dyspareunia) adalah keluhan klasik endometriosis.
2. Menanyakan ada tidaknya keluhan infertilitas, termasuk sudah berapa
lama usia pernikahan tanpa anak. Pada perempuan dengan keluhan
infertilitas yang dilakukan laparoskopi didapat keluhan dysmennorhea
sebagai prediktif utama dalam mendiagnosis endometriosis.
Selain itu berdasarkan berbagai data ESHRE Guideline Development Groups
terdapat beberapa rekomendasi dalam anamnesis, yaitu sebagai berikut :
● Dokter atau klinisi sebaiknya mempertimbangkan diagnosis
endometriosis bila didapatkan keluhan ginekologi yaitu: nyeri haid, nyeri
panggul bukan saat haid, nyeri sanggama, infertilitas dan kelelahan
● Mempertimbangkan diagnosis endometriosis pada perempuan dengan
usia reproduksi yang memiliki keluhan non ginekologi, misal: dischezia,
disuria, hematuria, perdarahan rektum dan nyeri bahu.
● PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laparoskopi
Laparoskopi yaitu tindakan pembedahan di abdomen atau panggul
menggunakan insisi kecil 0,5−1,5 cm dengan memasukkan kamera
kedalamnya. Sampai saat ini metode definitif untuk mendiagnosis
endometriosis, penentuan stadium dan evaluasi kekambuhan pascaterapi
adalah melalui visualisasi langsung dengan pembedahan. Sebagian besar
tindakan visualisasi tersebut menggunakan laparoskopi. Saat mengerjakan
tindakan laparoskopi sebaiknya melakukan pemeriksaan secara sistematis,
terlebih dahulu meliputi 8 :
7
1. Pemeriksaan uterus dan adneksa
2. Pemeriksaan peritoneum dan fossa ovarium, plika vesiko-uterina, kavum
douglasi dan daerah pararektal
3. Pemeriksaan rektum dan sigmoid
4. Pemeriksaan apendiks dan caecum
5. Pemeriksaan diafragma.
8
Didapatkan pada 60−80% penderita endometriosis mengalami nyeri panggul
yang apabila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan kualitas
hidup. Tatalaksana endometriosis bersifat individual dengan tujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup, dengan melakukan pemilihan terapi berdasarkan
beberapa faktor, diantaranya : berat ringan penyakit, macam dan berat keluhan,
keinginan untuk hamil dan usia penderita.
Endometriosis dianggap sebagai estrogen dependent disease, sehingga supresi
hormon estrogen menjadi dasar penting untuk pengobatan keluhan penyakit
endometriosis. Beberapa obat yang dipakai untuk terapi medis endometriosis, yaitu
obat-obat hormon antara lain: 2,8
● Pil Kontrasepsi Kombinasi
Mekanisme kerja dari pil kontrasepsi kombinasi pada kelainan
endometriosis yaitu, dengan cara menekan LH dan FSH serta mencegah
terjadinya ovulasi dengan cara menginduksi munculnya keadaan pseudo-
pregnancy. Kemudian penggunaan pil kontrasepsi kombinasi ini akan mengurangi
aliran menstruasi, desidualisasi implant endometriosis, dan meningkatkan
apoptosis pada endometrium eutopik pada wanita dengan endometriosis.2
● Progestin
Progestin merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan untuk
terapi endometriosis, tidak seperti estrogen, progesteron memilik efek antimitotik
terhadap sel endometrium, sehingga memiliki potensi dalam pengobatan
endometriosis. Progestin turunan 19-nortestosteron (noretisteron, linestrenol,
desogestrel) seperti dienogest memiliki kemampuan untuk menghambat enzim
aromatase dan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 pada kultur sel endometriosis.
Preparat progestin terdapat dalam bentuk preparat oral, injeksi dan LNG-IUS.
Selain bentuk, preparat progestin juga dapat dibagi menjadi turunan progesteron
alami dan turunan C-19-nortestosteron .2,8
● Agonis GnRH
Analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH) tersedia dalam dua
bentuk, yaitu agonis GnRH dan antagonis GnRH. Pemberian agonis GnRH akan
menginduksi amenore dan atrofi endometrium ektopik secara progresif.
Pemberian agonis GnRH dapat dilakukan secara semprot hidung setiap hari
(nafarelin asetat 200 mcg) dan injeksi formula jangka pendek yang disuntikkan
setiap hari (Buserelin asetat 1 mg) atau injeksi formula jangka panjang yang
disuntikkan setiap 1−3 bulan sekali (Leuprolide asetat 3,75 mg). Efek samping
9
utama yang timbul adalah keadaan hipoestrogen, hal ini merupakan akibat dari
pemberian agonis GnRH, yaitu hot-flushes, vagina kering, penurunan libido,
perubahan mood, nyeri kepala dan deplesi densitas tulang. Sehingga, untuk
menghindari efek hipoestrogen terutama penurunan masa tulang dianjurkan
pemberian agonis GnRH tidak lebih dari 6 bulan.2
● Danazol
Danazol adalah androgen sintetik dan merupakan derivate 17α-ethynyl
testosterone dan bekerja dengan cara menghambat lonjakan LH dan
steroidogenesis serta meningkatkan kadar free testosteron. Danazol diberikan
secara oral 3x1, dengan dosis 200 mg. Pemakaian Danazol dapat menimbulkan
efek samping hiperandrogen yang dapat berupa hirsutisme, jerawat, peningkatan
berat badan dan perubahan suara menjadi lebih berat seperti suara laki-laki, selain
itu dapat menyebabkan perubahan distribusi kolesterol, gangguan fungsi hati,
atrofi vagina, perubahan endometrium dan siklus haid.2,8
● Aromatase Inhibitor
Aromatase inhibitor digunakan sebagai obat untuk mengatasi nyeri
endometriosis yaitu dengan cara menekan ekspresi enzim aromatase P450 yang
berfungsi sebagai kalatalisator konversi androgen menjadi estrogen. Akan tetapi
tidak semua negara tersedia obat aromatase inhibitor, generasi ketiga dari
aromatase inhibitor yang paling sering ditemui yaitu letrozole dan anastrozole.
Efek samping pemberian aromatase inhibitor adalah hipoestrogen berupa vagina
kering, hot-flushes dan penurunan massa tulang. Penggunaan jangka panjang
dapat meningkatkan risiko osteopenia, osteoporosis dan fraktur.2,8
● Anti Prostaglandin
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di
cairan peritoneum dan lesi endometriosis pada wanita dengan endometriosis. Hal
ini membuat obat anti inflamasi non steroid (NSAID) banyak digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis. Berdasarkan uji klinis yang
dilakukan Cobelis dkk penggunaan penghambat COX-2 (rofecoxib) dibandingkan
dengan kontrol selama 6 bulan pada 28 pasien. Didapatkan penurunan yang
bermakna pada dismenore, dyspareunia dan nyeri pelvik kronik setelah
pengobatan 6 bulan dibandingkan dengan placebo (p < 0.001).2
10
Tatalaksana endometriosis selain dapat menggunakan obat-obatan dapat juga
dilakukan dengan tindakan pembedahan konservatif, yaitu dengan cara:
11
intensitas nyeri.2,8 Letak dari lesi endometriosis susukan dalam akan
mempengaruhi langkah pembedahan yang dilakukan :
● Ligamentum sakroterina merupakan lokasi paling sering, didapatkan pada 83
persen kasus. Apabila ditemukan lesi, tindakan eksisi sudah mencukupi. Akan
tetapi bila lesi didapatkan pada kedua sisi ligamentum sakrouterina, eksisi nodul
bilateral mempunyai risiko cidera saraf hipogastrika dengan komplikasi kesulitan
berkemih.2
● Pada kasus endometriosis pada septum rektovagina, pembedahan dimulai melalu
fossa pararektal yang avaskuler. Dilakukan diseksi dari daerah tersebut kemudian
mengarah ke kaudal dengan tujuan mencari jaringan yang masih sehat, setelah itu
baru dilakukan diseksi mengarah ke dinding anterior rektum. Kemudian setelah
rektum dilepaskan, nodul endometriosis dapat dieksisi dari dinding posterior
vagina.2
● Pada kasus endometriosis dengan melibatkan traktus gastrointestinal, terapi
pembedahan harus dilaksanakan oleh tim multidisiplin. Pendekatan pembedahan
dapat bersifat radikal (reseksi komplit lesi untuk mencegah kekambuhan) atau
pendekatan konservatif. Teknik shaving bertujuan untuk melakukan reseksi lesi
pada serosa atau hingga tunika muskularis.2
II.2.2 Etiologi
1. Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi yang menyebabkan infertilitas dibagi menjadi amenorea primer
dan amenorea sekunder berdasarkan siklus haidnya. Gangguan pada amenorea
primer seperti pada uterus yaitu Sindrom Rokitansky, pada ovarium seperti
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) dan Sindrom Turner, pada hipofisis seperti
hiperprolaktinemia dan hipopituitarism, tumor, trauma kepala dan kelainan
endokrin. WHO juga membagi gangguan ovulasi menjadi 4 kelas yaitu:
a. Kelas 1 : Kegagalan hipotalamus dan hipofisis yang ditandai dengan
gonadotropin yang rendah, prolaktin normal dan estradiol rendah
12
b. Kelas 2 : Gangguan fungsi dari ovarium ang ditandai dengan adanya
kelainan pada gonadotropin dan kadar estradiol yang normal
c. Kelas 3 : Kegagalan ovarium yang ditandai dengan kadar gonadotropin
yang tinggi dengan kadar estradiol yang rendah
d. Kelas 4 : Ditandai dengan keadaan hiperprolaktinemia.
3. Gangguan Uterus
Hal yang dapat menyebabkan infertilitas seperti mioma submukosum, polip
endometrium, leiomyomas, Sindrom Asherman.4
13
juga mempengaruhi sperma yaitu terjadinya penurunan kualitas, kuantitas,
morfologi dan motilitasnya.10
b. Gaya Hidup
Gaya hidup seperti konsumsi alkohol dan obat-obatan, merokok, stres, konsumsi
obat-obatan, berat badan dan olahraga dapat mempengaruhi kejadian infertilitas.
Konsumsi alkohol dikatakan dapat menurunkan kualitas cairan semen dan
menyebabkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis yang akan mengganggu
sekresi hormonal. Kandungan dalam rokok dapat menyebabkan kerusakan
oksidatif terhadap mitokondria oosit, merusak morfologi sperma dan menybabkan
keguguran. Konsumsi obat-obatan seperti siklosporin, simetidin,kolkisin,
allupurinol dan spironolakton dapat mempengaruhi sperma baik berupa
kemampuan membuahi oosit, pergerakan dan jumlah sperma maupun mengganggu
produksi testosteron.4
c. Pekerjaan
Faktor resiko ini berhubungan dengan paparan bahan fisik dan kimia yang
memiliki efek pada fertilitas seperti motilitas dan jumlah sperma dan gangguan
pada waktu kehamilan dan jumlah sel telur yang siap dibuahi. Bahan fisik dan
kimia yang terbukti menyebabkan infertilitas adalah panas, radiasi sinar-X, logam
dan pestisida.4
II.2.4 Diagnosis
Diagnosis infertilitas dilakukan sebaiknya ketika sudah melewati 1 tahun dan
berhubungan seksual tanpa kontrasepsi. Pada wanita pemeriksaan yang dapat
dilakukan yaitu pemeriksaan ovulasi. Saat anamnesis harus ditanyakan mengenai
frekuensi dan keteraturan menstuasi. Pada wanita dengan siklus haid teratur dapat
dianjurkan melakukan pengukuran kadar progesteron serum fase luteal madya,
sedangkan pada wanita dengan siklus haid tidak teratur disarankan melakukan
pengukuran kadar hormon gonadotropin. Pemeriksaan kadar hormon prolaktin juga
dapat dilakukan untuk menilai ada tidaknya gangguan ovulasi, galaktorea atau tumor
hipofisis. Harus diperhatikan juga apakah wanita tersebut memiliki gejala gangguan
tiroid, jika iya maka harus dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid. Selain pemeriksaan
ovulasi juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai cadangan ovarium dengan
menggunakan parameter AMH dan Folikel Antar Basal (FAB).
14
Tabel II.2.4.1 Waktu Pemeriksaan Umum Infertilitas10
Pada wanita juga dapat dilakukan pemeriksaan untuk menilai keadaan tuba. Pada
peremuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID), kehamilan
ektopik atau endometriosis disarankan untuk melakukan histerosalpingografi (HSG)
untuk melihat adanya oklusi tuba, sedangkan tindakan laparoskopi kromotubasi untuk
menilai patensi tuba dianjurkan untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui
memiliki riwayat penyakit radang panggul.4
15
Komponen inflamasi yang terbentuk juga dapat mengganggu fungsi sperma seperti
dapat menekan motilitas dan progresivitas sperma. Seperti diketahui sperma berada
beberapa saat di organ reproduksi perempuan untuk melakukan kapasitasi sebelum terjadi
fertilisasi sehingga pada periode ini dimungkinkan terjadi gangguan fungsi sperma akibat
inflamasi tersebut. Komponen inflamasi ini juga mempunyai efek toksik pada sperma
dengan merusak sel membran sehingga terjadi kerusakan DNA dan apoptosis sperma.
Pada embrio penderita endometriosis didapatkan penurunan jumlah blastomer dan
didapatkan juga penurunan angka implantasi. Mediator inflamasi juga dapat menyebabkan
kerusakan folikel ovarium sehingga menyebabkan penurunan kualitas oosit dan embrio.
Terdapat tiga faktor penyebab kegagalan implantasi, yaitu gangguan oosit/embrio, defek
pada endometrium dan gangguan komunikasi embrio-endometrium. 4,11
II.4 Program Kehamilan pada Wanita dengan Endometriosis
II.4.1 Inseminasi Intra Uterine (IIU)
Inseminasi Intra Uterine (IIU) adalah salah satu prosedur dengan cara
memasukkan dan menempatkan sperma yang sudah dipersiapkan dan diproses
sebelumnya ke dalam uterus pada saat diperkirakan terjadi ovulasi. Prosedur IIU
relatif mudah dikerjakan, murah dan tidak invasif.
Terdapat lima langkah dalam pelaksanaan IIU, yaitu:
1. Stimulasi ovarium/induksi ovulasi
Prosedur IIU dapat dilaksanakan dengan stimulasi ovarium (stimulated cycle)
maupun tanpa stimulasi ovarium (natural cycle) tergantung pada umur dan faktor
penyebab infertilitas. Penggunaan stimulasi ovarium pada IIU bertujuan untuk
meningkatkan jumlah oosit yang tersedia untuk IIU dan meningkatkan produksi
hormon steroid untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya fertilisasi dan
implantasi. Obat-obat yang digunakan untuk stimulasi ovarium dapat diberikan
dalam bentuk oral yaitu klomifen sitrat (KS), obat oral dan injeksi (FSH) atau
injeksi FSH saja yang dilakukan pada hari ke 3. IIU dengan siklus natural
sebaiknya dilakukan pada wanita dengan siklus haid teratur, sehingga penentuan
masa ovulasi lebih mudah.
2. Pemantauan pertumbuhan folikel dan perkembangan endometrium
Pemantauan masa ovulasi dilakukan dengan pemeriksaan LH urine atau
menggunakan USG pada hari 8-12 merupakan waktu yang tepat untuk dilakukan
USG
3. Penentuan saat inseminasi
Kemudian dapat dilakukan inseminasi dengan tujuan sperma yang sudah
disiapkan sebelumnya dapat dipertemukan dengan sel telur pada saat ovulasi
dalam kavum uteri
16
4. Preparasi sperma
Pengambilan sampel sperma dilakukan pada hari pelaksanaan IIU dengan cara
masturbasi setelah 2-3 hari abstinensia. Selanjutnya sampel sperma akan
dilakukan pencucian dan preparasi yang bertujuan untuk membuang
prostaglandin dan bakteria serta mengkonsentrasikan sperma dengan
memisahkan dari cairan plasma seminal.
5. Pelaksanaan IIU dengan sperma yang sudah di preparasi12,13
17
Spermatozoa pria ditempatkan bersama-sama dengan sel telur matang wanita dalam
sebuah cawan khusus yang lingkungannya dibuat agar sama dengan lingkungan tuba
falopii. Proses pembuahan sel telur oleh spermatozoa diharapkan terjadi dalam waktu
17-20 jam pasca pengambilan sel telur dari ovarium. Embrio yang dinilai berkembang
dengan baik segera ditanamkan dalam rahim. Biasanya embrio yang baik akan terlihat
berjumlah 8-10 sel pada saat ditanamkan dalam rahim.
d. Tahap pencangkokan embrio ke dalam rahim.
Apabila jumlah embrio yang berhasil dihasilkan lebih banyak dari pada jumlah
embrio yang akan ditanamkan, maka sisa embrio akan disimpan beku untuk menjaga
kemungkinan ditanamkan dikemudian hari. Setelah mencapai kesepakatan mengenai
jumlah embrio yang ditanamkan maka embrio akan ditanam dalam rahim.
Kehamilan pasca penanaman embrio, akan dipantau melalui kadar Human
Chorionic Gonadotropin (HCG) dalam darah. Biasanya hal ini dilakukan apabila
tidak terjadi menstruasi selama 16 hari.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011
2. HIFERI, POGI. Konsensus Tata Laksana Nyeri Endometriosis. 2017
3. Davilla, Kapoor. What Is the Prevalence of Endometriosis?. 2018. Available at:
https://www.medscape.com/answers/271899-6223/what-is-the-prevalence-of-
endometriosis#:~:text=Endometriosis%20is%20an%20estrogen%2Ddependent,women
%20with%20chronic%20pelvic%20pain.
4. HIFERI, PERFITRI, IAUI, POGI. Konsensus Penanganan Infertilitas. 2013
5. Division of Reproductive Health, National Center for Chronic Disease Prevention and
Promotion. What is Infertility?. 2020. Available at:
https://www.cdc.gov/reproductivehealth/features/what-is-infertility/index.html
6. Parasar, Ozcan. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis and Clinical Management.
2017. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5737931/
7. American Society for Reproductive Medicine. Endometriosis: Does It Cause Infertility?.
2016.
8. Hendarto, Hendy. Endometriosis dari aspek teori sampai penanganan klinis. Surabaya:
Airlangga University Press (AUP), 2015.
9. American Society for Reproductive Medicine (1997). Revised American Society for
Reproductive Medicine classification of endometriosis: 1996. Fertility and Sterility,
67(5), 817-821. Retrieved from http://www.fertstert.org/article/S0015-0282(97)81391-
X/pdf
10. Cunningham. Infertility: A Primer for Primary Care Providers. 2017. Available at:
https://journals.lww.com/jaapa/fulltext/2017/09000/infertility__a_primer_for_primary_ca
re_providers.4.aspx
11. Llarena C. N., Falcone T. Fertility Preservation in Women with Endometriosis. 2019.
Available at: https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1179558119873386
12. Zulhaijah R. Faktor Determinan Lama Pengambilan Keputusan pada Pasangan Infertil
untuk Melakukan Inseminasi Intra Uteri di Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD DR
Soetomo Surabaya. 2017. Available at: http://repository.unair.ac.id/54405/
13. Allahbadia G. N. Intrauterine Insemination: Fundamentals Revisited. 2017. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5676579/
14. Idries A. M. Aspek Medikolegal pada Inseminasi Buatan/Bayi Tabung. Edisi I. Jakarta:
Bina Rupa Aksara.
20