Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

PENDEKATAN KLINIS KUNING PADA BAYI

Disusun Oleh:
Rizqi Multazam
20650500147

Pembimbing:

dr. Catharina Dian Wahyu Utami, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 31 MEI – 7 AGUSTUS 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa
memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul ”PENDEKATAN KLINIS KUNING PADA BAYI”. Referat ini
disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RS
UKI.

Adapun ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua penulis
yang tidak pernah berhenti mendoakan dan mendukung kelancaran belajar selama
masa pendidikan penulis. Penulis juga berterima kasih khususnya kepada dr. Ida
Bagus Eka Utama Wija, Sp.A, selaku pembimbing refarat penulis, yang selalu
memberikan bimbingan, masukan, dan meluruskan pembelajaran penulis sampai referat ini
terselesaikan. Penulis menyadari akan kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam referat ini.
Dengan demikian, besar harapan penulis akan saran dan masukan demi perbaikan di masa
mendatang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, Mei 2021

Rizqi Multazam

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................5
2.1. Definisi..............................................................................................................................5
2.2. Metabolisme Bilirubin......................................................................................................5
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko................................................................................................9
2.4. Klasifikasi.......................................................................................................................11
2.5. Patofisiologi....................................................................................................................13
2.6. Diagnosis.........................................................................................................................13
2.7. Penatalaksanaan..............................................................................................................17
2.8. Komplikasi......................................................................................................................23
2.9. Prognosis.........................................................................................................................24
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA 27

3
BAB I 
PENDAHULUAN 

Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan fisik yang cepat disertai dengan perubahan kebutuhan zat gizi. Masa bayi dibagi
menjadi masa neonatus dengan usia 0-28 hari dan masa pasca neonatus dengan usia 29 hari-12
bulan. Pada sebagian bayi, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya, ikterus
terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Ikterus terjadi jika terdapat
akumulasi bilirubin dalam darah, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang
berwarna kuning pada sklera dan kulit. Ikterus atau jaundice adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan kulit dan sklera berwarna kuning, yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit dan
membrana mukosa, karena kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut juga hyperbilirubinemia.
(1)(2)(3)

Setelah bayi lahir, fungsi hepar belum berfungsi secara optimal. Keadaan ini menyebabkan
kadar bilirubin di dalam darah belum stabil. Pada kebanyakan bayi baru lahir (Neonatus) hal ini
merupakan fenomena transisional yang umum terjadi, tetapi pada beberapa bayi, peningkatan
bilirubin yang berlebihan berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian. Maka,
setiap bayi yang kulitnya menjadi kuning, harus dibedakan antara ikterus fisiologis atau
patologis. Peningkatan kadar bilirubin merupakan salah satu masalah tersering pada bayi baru
lahir dan pada umumnya merupakan suatu keadaan transisi normal atau fisiologis yang lazim
terjadi pada 60 - 70% bayi aterm dan pada hampir semua bayi reterm. Pada kebanyakan kasus,
kadar bilirubin yang menyebabkan icterus tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan,
Namun demikian pada beberapa kasus hyperbilirubinemia tersebut dapat berhubungan dengan
Beberapa penyakit, seperti: penyakit hemolitik, kelainan metabolik dan endokrin.(4)(5)

Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi karena
peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan bilirubin
terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya, penyebab utama
conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan ekstrahepatik (obstruktif).(6) (7)

4
Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 didapatkan angka
kematian neonatus pada tahun 2017 sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup dan 78,5% kematian
neonates terjadi pada usia 0-6 hari. Komplikasi terbanyak pada neonates adalah asfiksia, ikterus,
hipotermia, tetanus, infeksi, trauma lahir, berat badan lahir rendah, sindroma gangguan
pernafasan, dan kelainan kongenital.(5) Menurut penelitian Viswanath et.al pada tahun 2013
menyatakan bahwa Kejadian icterus neonatorum enjadi penyebab yang paling banyak terjadi
Pada kelahiran neonatal. 30-50% bayi baru lahir mengalami icterus neonatorum. Ikterus
neonatorum terjadi 3-5 hari setelah kelahiran. (8)

Selain itu, menurut penelitian Tazami RM et.al menyatakan bahwa, di RSUD Raden
Mattaher Jambi menunjukkan tanggal 1 Mei 2013 - 1 Juli 2013, didapatkan sebanyak 49 (13,2%)
mengalami ikterik dari jumlah total neonatus yang dirawat yaitu sebanyak 370 neonatus. Dari
jumlah neonatus yang ikterik tersebut, 43 (11,6%) memenuhi kriteria inklusi dan diambil
menjadi sampel. Sebanyak 24 (55,8%) merupakan ikterus fisiologis dan 19 (44,2%)
merupakan icterus non fisiolgis.(9)

5
BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi

Ikterus atau Jaundice adalah warna kuning yang tampak di kulit, conjungtiva dan sklera
mata yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin bebas di dalam darah yang berlebihan
(hyperbilirubinemia). Ikterus umumnya mulai tampak pada sclera (putih pada mata) kearah dada
perut dan ekstremitas.(10) Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar serum
bilirubin di dalam darah meningkat dan melebihi batas nilai normal bilirubin serum. Bayi baru
lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahirannya. Hal ini
dapat disebabkan karena meningkatnya produksi bilirubin atau megalami hemolisis, kurangnya
albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin
oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatic. Penyakit kuning
(jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam darah. Ini bisa menjadi akibat dari
kelebihan produksi atau kegagalan untuk memetabolisme dan mengeluarkan bilirubin. Insiden
ikterus infantil adalah sekitar 1 dari 2500 hingga 5000 kelahiran hidup (11)(12)

Ikterus neonatorum akan terlihat bila kadar bilirubin > 2 mg/ 100 ml serum. Dampak dari
Ikterus neonatorum dapat berbahaya jika bilirubin bebas masuk ke dalam sel-sel otak dan
menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara permanen. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling
awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43
mmol/L) atau sekitar 2 kali batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin direk normal adalah: 0-0,3
mg/dL, dan kadar normal bilirubin total: 0,3-1,0 mg/dL. (13)

2.2. Metabolisme Bilirubin

a. Produksi

Eritrosit memiliki masa hidup kurang lebih 120 hari. Setelah 120 hari, eritrosit
difagositosis oleh makrofag pada sistem retikuloendotelial (RES). Hemoglobin (Hb) dari eritrosit
dipecah menjadi heme dan globin, sementara heme mengalami degradasi oleh heme oxygenase
menjadi biliverdin, karbon monoksida, dan Fe, dan globin menjadi asam amino yang digunakan
sebagai sintesis protein. Biliverdin kemudian direduksi oleh biliverdin reduktase menjadi
bilirubin tidak terkonjugasi.

6
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolime heme
haemoglobin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritopoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang
mengandung protein heme dan heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10
mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup
eritrosit yang pendek (70-90 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat.

b. Transportasi

Biliverdin kemudian direduksi oleh biliverdin reduktase menjadi bilirubin tidak


terkonjugasi. Bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke plasma, kemudian berikatan secara reversibel
dengan albumin. Bilirubin tidak terkonjugasi kemudian dibawa ke hepar. Saat kompleks
bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan
sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein
Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin
yang masuk ke sirkulasi, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati
dan konjugasi bilirubin akan menentukkan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum,
baik pada keadaan normal ataupun tidak normal. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik
bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Walaupun
demikian defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada
minggu kedua kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama
dengan orang dewasa.

c. Konjugasi

Dalam hepatosit, bilirubin berikatan dengan glutation-S-transferase dan dibawa ke


retikulum endoplasma, untuk mengalami konjugasi. Bilirubin tidak terkonjugasi mengalami
glukuronidasi sebanyak dua kali oleh enzim uridin 5-difosfo-glukoronil-transferase 1A1
(UGT1A1) menjadi bilirubin diglukoronida (bilirubin terkonjugasi). Bilirubin kemudian
diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi
akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.

7
d. Ekskresi

Bilirubin terkonjugasi lebih larut dalam air dan bersifat kurang sitotoksik. Bilirubin
kemudian melewati sistem bilier dan masuk ke usus duodenum. Sebagian kecil bilirubin
mengalami reabsorbsi dan masuk ke sirkulasi enterohepatik. Siklus ini disebut siklus
enterohepatic. Setelah sampai pada kolon, bilirubin mengalami hidrolisis oleh bakteri menjadi
urobilinogen, yang kemudian diekskresikan pada feses. Sebagian urobilinogen dan derivatnya
juga direabsorbsi pada kolon, dibawa ke hepar, dan diekskresi ulang atau masuk ke sirkulasi
sistemik menuju ginjal untuk kemudian diekskresikan melalui urin.(14)(15)

1. Metabolisme Bilirubin Pada Janin Dan Neonatus


Bilirubin dapat ditemukan pada likuor amnion normal pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Kadar bilirubin dalam cairan
amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin

8
amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Terjadinya bilirubin sampai ke likuor
amnion belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa
saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga
sama besarnya tetapi kemampuan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi dan
kemampuan mengkonjugasi sangat terbatas. Dengan demikian hampir semua
bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek, melalui plasenta ke sirkulasi ibu
dan diekskresi oleh hepar ibunya.
Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi
akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa
ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa
janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini
berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir
karena fungsi hepar belum matang atau jika terdapat gangguan dalam fungsi hepar
akibat hipoksia, asidosis atau terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meningkat.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin
dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga
dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan
sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada
sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian
albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya
kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar
albumin normal telah tercapai.

2.3. Etiologi

Peningkatan bilirubin pada bayi sering terjadi akibat(16):

 Selama masa janin, bilirubin diekskresi (dikeluarkan) melalui plasenta ibu,


sedangkan setelah lahir harus diekskresi oleh bayi sendiri dan memerlukan waktu
adaptasi selama kurang lebih satu minggu,
 Jumlah sel darah merah lebih banyak pada neonatus,

9
 Lama hidup sel darah merah pada neonatus lebih singkat dibanding lama hidup sel
darah merah pada usia yang lebih tua,
 Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur (bayi kurang bulan)
atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin (dalam kandungan)
sedikit,
 Uptake (ambilan) dan konyugasi (pengikatan) bilirubin oleh hati belum sempurna
(masih imatur), terutama pada bayi prematur,
 Sirkulasi enterohepatik meningkat
 Hiperbilirubinemia (kadar bilirubin tinggi) pada bayi kurang bulan lebih sering
terjadi,
 Proses eliminasi bilirubin yang belum matang ditambah dengan beban bilirubin yang
relatif tinggi.
 Permeabilitas meningkatpada kantung empedu disebabkan oleh bilirubin
terkonjugasi yang menumpuk menyebabkan bilirubin kembali ke aliran darah.
 Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi pada bilirubin
terkonjugasi sehingga mewarnai mata dan seluruh kulit menjadi kuning dan akan
diekskresi melalui ginjal yang meyebabkan urin berwarna kehijauan.

2.4. Klasifikasi

1. Hiperbilirubinemia Fisiologis (17)

Kadar bilirubin indirek / tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB)


pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 1-3mg/dl dan dapat naik dengan kecepatan <
5 mg/dl/24 jam. dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2
sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-3 dan ke-4 dengan kadar berkisar 6-8 mg/dL,
dan berangsur menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7.
(18)

Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik
perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama
untuk menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus prematur
dapat mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik menjadi >15

10
mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dL
setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun prematur. (19)

a. Peningkatan produksi bilirubin, yang disebabkan oleh: (18)(19)


- Masa hidup eritrosit yang lebih singkat
- Peningkatan eritropoiesis inefektif
b. Peningkatan sirkulasi enterohepatic
c. Defek uptake bilirubin oleh hati
d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukuronil transferase
(UDPG-T) yang rendah
e. Penurunan ekskresi hepatic
f. Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan
g. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
h. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
i. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar
orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.

Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat
daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama,
biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-
7.9,10

2. Hiperbilirubinemia Patologis

Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam
ikterus patologis, antara lain: (18)(19)
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Bilirubin indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10
mg/dL.
c. Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.
d. Kadar bilirubin direk/terkonjungasi > 2 mg/dL.

11
e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau
sepsis)
f. Ikterus yang disertai oleh: berat lahir <2000 gram, masa gestasi 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus,infeksi, trauma lahir pada kepala,
hipoglikemia
g. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14 hari
(pada prematur).

Diagram 1: Panduan terapi sinar untuk bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu

Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak
selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat
terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan
darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan defisiensi enzim
G6PD.

2.5. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum: (4)


1. Faktor Maternal
 Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
 Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik
 ASI

12
 Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
 Obat yang menghambat daya kerja enzim glukoronil transferase (misalnya
novobiosin)

2. Faktor Perinatal
 Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
 Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

3. Faktor Neonatus
 Prematuritas
 Berat lahir yang rendah
 Faktor genetik
 Polisitemia
 Rendahnya asupan ASI
 Hipoglikemia
 Hipoalbuminemi

13
Tabel 1. Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat pada bayi usia gestasi ≥35
minggu(19)
Faktor Risiko Mayor
 Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona risiko tinggi (lihat Diagram 1)
 Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
 Inkompatibilitas golongan darah dengan uji antiglobulin direk positif atau penyakit hemolitik lain (misalnya, defisiensi G6PD)
 Usia gestasi 35-36 minggu
 Riwayat saudara kandung mendapat terapi sinar
 Sefalhematom atau memar luas
 ASI eksklusif, terutama bila asupan tidak adekuat dan terdapat penurunan berat badan berlebih

 Ras Asia Timur


Faktor Risiko Minor
 Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona risiko tinggi sedang
 Usia gestasi 37-38 minggu
 Ikterus terjadi sebelum dipulangkan
 Riwayat saudara kandung dengan icterus

 Bayi makrosomia dari ibu DM

2.6. Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.


Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel
hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya
bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar


bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi

14
1. Icterus patologis
a. Breast milk jaundice
Breast milk jaundice adalah penyebab paling umum dari prolonged
ikterus pada bayi sehat lahir cukup bulan yang diberikan ASI oleh ibu.
Biasanya muncul dalam 2 sampai 3 minggu pertama kehidupan (insiden telah
dilaporkan sebesar 34%), dan dapat bertahan selama 12 minggu sebelum
resolusi spontan. Kadar bilirubin serum total pada Breast milk jaundice tidak
melebihi 200 mol/L. (11)
Mekanisme tepat terjadinya breast-milk jaundice masih belum
diketahui secara pasti, namun beberapa teori berusaha menjelaskannya.
Mekanisme mendasar yang menyebabkan breast-milk jaundice adalah
peningkatan sirkulasi enterohepatik. Breast-milk jaundice disebabkan oleh
suatu faktor dalam ASI yang menyebabkan absorpsi bilirubin dalam usus.
Faktor tersebut belum secara jelas diidentifikasi dan dipastikan. Salah satu
teori yang paling populer adalah teori yang menyatakan bahwa beta-
glukoronidase dalam ASI mengakibatkan peningkatan absorpsi bilirubin di
usus. Beta-glukoronidase menyebabkan dekonjugasi bilirubin di usus,
meningkatkan kemampuan bilirubin tersebut untuk diabsorpsi, sehingga
meningkatkan sirkulasi enterohepatik. Blokade pada proses dekonjugasi ini
melalui inhibisi beta-glukoronidase dapat menyediakan mekanisme untuk

15
mengurangi absorpsi intestinal bilirubin pada bayi yang disusui ASI.
Meskipun beberapa penelitian menemukan peningkatan kadar fekal beta-
glukoronidase fekal pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang diberikan ASI,
temuan tersebut tidaklah konsisten.(20)

Bayi dengan ikterus ASI tidak memerlukan pengobatan asalkan


mereka secara klinis baik dan konsentrasi bilirubin serum total tetap di bawah
tingkat fototerapi yang direkomendasikan. Penghentian menyusui tidak
disarankan. Jika total bilirubin serum melebihi 200 mol/L, pemeriksaan lebih
lanjut diperlukan. Dalam kasus hasil pemeriksaan negatif, kemungkinan
adanya tambahan mutasi enzim hati UGT1A1 (uridine diphosphate
glucuronosyltransferase 1A1) konjugasi bilirubin dalam hepatosit, yaitu,
sindrom Gilbert, harus dipertimbangkan. Tindak lanjut (setiap 2 minggu)
sebaiknya ditawarkan sampai tren penurunan ikterus menjadi jelas.(11)
b. Gilbert syndrome
Sindrom Gilbert adalah kelainan bawaan yang paling umum dari
glukuronidasi bilirubin. Uridine diphosphate glucuronosyltransferase 1A1
adalah enzim hati yang bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin. Sindrom
Gilbert dihasilkan dari mutasi di wilayah promotor gen UGT1A1. Mutasi
tersebut dapat menghasilkan defisiensi enzimatik struktural atau fungsional
yang mungkin mengakibatkan gangguan konjugasi bilirubin dan
mengakibatkan hiperbilirubinemia.
Penyakit ini juga dapat timbul dengan prolonged breastmilk-jaundice
dengan sindrom Gilbert secara bersamaan.
c. Biliary atresia
Penyakit ini ditandai dengan inflamasi sclerosing cholangiopathy yang
mempengaruhi seluruh saluran empedu. Saluran empedu digantikan oleh
jaringan fibrosa tanpa patensi luminal. Etiologi dari penyakit inin adalah
sebagian besar masih belum diketahui dan teori yang paling diterima secara
luas adalah bahwa faktor eksogen yang tidak diketahui memicu serangkaian
peristiwa inflamasi yang membatasi diri pada individu yang memiliki
kecenderungan genetik selama periode embrionik atau perinatal. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa genetika memainkan peran penting dalam patogenesis
BA. (11)
16
Diagnosis antenatal sulit dan hanya beberapa seri kasus kecil yang
telah dipublikasikan. Terkena hanya beberapa seri kasus kecil yang telah
dipublikasikan, bayi biasanya datang dengan ikterus berkepanjangan di luar
periode neonatal. Karena tidak adanya pigmen empedu dalam tinja, tinja
biasanya berwarna pucat.(11)
Keluarnya tinja berwarna pucat dari bayi harus selalu meningkatkan
kecurigaan BA. Tes fungsi hati dapat menunjukan pola kolestatik yang dapat
membantu membedakan dari penyebab ikterus infantil lainnya. Kandung
empedu akan tidak ada atau kecil pada pemindaian ultrasound. Diagnosis BA
harus dikonfirmasi dengan visualisasi langsung dari saluran empedu fibrotik.
Jika perlu, kolangiogram intraoperatif dapat dilakukan dan dianggap normal
hanya jika terdapat kontras yang melewati duktus intrahepatik dan juga ke
duodenum. Prosedur diagnostik ini sekarang dapat dilakukan melalui
pendekatan laparoskopi.(11)
Dalam sebagian besar kasus, operasi Kasai masih dianggap sebagai
operasi pilihan untuk mengobati BA dan harus dilakukan di pusat yang sangat
khusus. Operasi terdiri dari eksisi fibrous cord pada porta dan restorasi
drainase bilier dengan portoenterostomy.

d. Choledochal cyst

17
Choledochal cyst adalah kelainan bawaan yang ditandai dengan
dilatasi kistik dari saluran empedu intrahepatik dan/atau ekstrahepatik.
Diagnosis biasanya dibuat dalam beberapa tahun pertama kehidupan ketika
pasien datang dengan penyakit kuning atau sakit perut. Kadang-kadang,
penyakit ini dapat tetap asimtomatik sampai dewasa ketika muncul dengan
kolangitis. Transformasi maligna menjadi cholangiocarcinoma adalah sekuel
yang jarang tetapi mungkin dari kista choledochal yang tidak diobati dan
dengan demikian, eksisi bedah dianjurkan.
Kista koledokus secara tradisional diklasifikasikan menjadi lima jenis
menurut klasifikasi Todani dengan kista tipe I yang paling umum. Terlepas
dari pembukaan stenotik pada duktus biliaris komunis distal yang
menyebabkan obstruksi bilier, penyatuan abnormal duktus pankreatikus
dengan duktus komunis yang panjang dapat menjadi predisposisi refluks getah
pankreas ke dalam duktus biliaris. Kista koledokus yang didiagnosis secara
antenatal tidak memerlukan intervensi janin dan tanpa gejala
kista setelah lahir dapat diamati untuk sementara waktu. Meskipun
demikian, periode pengamatan tidak boleh lama untuk menghindari kolangitis.
Operasi sebelumnya telah ditemukan terkait dengan lebih sedikit cedera hati
serta komplikasi operasi. Episode kolangitis harus diobati dengan antibiotik
kuat dan drainase bilier dengan cara perkutan atau operatif jika perlu untuk
menghindari perkembangan menjadi sepsis yang mengancam jiwa. Eksisi
kista lengkap dan hepaticojejunostomy dianggap sebagai pengobatan operatif
standar untuk kista choledochal. Sejak laporan pertama operasi laparoskopi
yang sukses pada tahun 1995, sebagian besar pusat sekarang melakukan eksisi
kista laparoskopi

18
19
e. Viral hepatitis
Di antara etiologi virus di negara berkembang, hepatitis A, B, dan E adalah
penyebab paling umum gagal hati akut pediatrik (PALF). Di negara maju, virus
seperti virus herpes simpleks (HSV) dan enterovirus lebih sering diidentifikasi
sebagai agen etiologi.(11)
 Hepatitis viruses

20
Infeksi virus hepatitis A yang menyebabkan PALF jarang terjadi di
negara maju (2,5% dalam daftar PALF di Amerika Utara dan Inggris).
Meskipun demikian infeksi virus hepatitis A akut memiliki anggka kejadian
hingga 80% dari kasus PALF di negara berkembang. Demikian pula,
infeksi virus hepatitis B akut (HBV) yang menyebabkan PALF jarang
terjadi di daerah yang bukan endemik. Sebaliknya, di daerah endemik
HBV, HBV memilki angka kejadian hingga 46% dari PALF. Infeksi virus
hepatitis E jarang terjadi. diidentifikasi sebagai penyebab PALF. Wanita
hamil memiliki risiko tinggi terkena hepatitis fulminan yang terkait dengan
infeksi virus hepatitis E, dengan risiko yang sangat tinggi selama trimester
ketiga kehamilan. Risiko hepatitis simtomatik pada bayi baru lahir tinggi
jika seorang wanita hamil mendapatkan infeksi virus hepatitis E selama
kehamilan(11)
 Infeksi virus selain diakibatkan oleh virus hepatitis
Virus herpes simpleks merupakan penyebab PALF yang penting
dipelajari dan dapat diobati. Virus herpes simpleks paling sering menyerang
bayi dan bayi baru lahir. Dalam studi dari Amerika Utara dan Inggris, HSV
diidentifikasi pada 25% bayi muda (0-6 bulan) dengan PALF.
Virus lain yang terkait dengan PALF termasuk enterovirus dan virus
Epstein-Barr. Keluarga Enterovirus (termasuk echovirus, virus Coxsackie A
dan B) diidentifikasi sebagai agen penyebab penyakit hati akut. kegagalan
pada 2,7% bayi muda (usia 0-90 hari) di registri multi-pusat di Amerika
Utara dan Inggris. Virus Epstein-Barr lebih sering terlibat dalam PALF
pada anak-anak dan remaja yang lebih tua.(11)

2.4. Diagnosis

1. Anamnesis
Riwayat keluarga ikterus, kelainan metabolik, kelainan kongenital, penyakit
hati, sakit selama kehamilan, obat-obatan selama kehamilan, trauma lahir akibat
persalinan, riwayat pemberian ASI eksklusif.12
 Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa
6-fosfat-dehidrogenase (G6PD)

21
 Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, defisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
 Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
 Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma
 Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada
bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
 Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan
intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia
neonatal dan peningkatan bilirubin.
 Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan.
 Pemberian air susu ibu (ASI). Harus dibedakan antara breast-milk jaundice dan
breastfeeding jaundice.
A. Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan
asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu
produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa
kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen,
dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam.
Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu
disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis.

B. Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu
(ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian

22
besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk
jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis
dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi
menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal,
dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang
(70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga
timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron,
yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.7
2. Pemeriksaan Fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna
kulit setelah dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik
dilakukan menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan
meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian inspeksi visual tidak dapat
dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin serum.(19)
Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:
a. Menentukan perkiraan kadar bilirubin dengan metode Kramer

Tabel 1. Pembagian ikterus menurut metode Kramer(21)

23
b. Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan
polisitemia.
c. Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa
kehamilan
d. Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
e. Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan
darah ekstravaskular
f. Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau
eritroblastosis
g. Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi
kongenital, atau penyakit hati
h. Massa pada abdomen. Berkaitan dengan ductus koledokus
i. Omfalitis
j. Korientinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
k. Tanda hipotiroid
l. Perubahan warna tinja

PEMERIKSAAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan kadar bilirubin: bilirubin total, direk, dan indirek (curiga kolestasis
atau ikterus menetap >2 minggu). Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang
setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Penyebab

24
ikterus yang tergolong pre-hepatik akan menyebabkan peningkatan bilirubin
indirek, intrahepatik dapat berakibat bilirubin direk maupun indirek, posthepatik
dapat meningkatkan bilirubin direk. Kadar albumin serum juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
 Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit jika ada anemia
 Fungsi hati: transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase (γGT),
alkali fosfatase (AF), waktu protombin dan tromboplastin
 Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam
empedu serum dan urin serta asam empedu dalam tinja.

Pemeriksaan laboratorium awal yang dapat mendukung diagnosis kolestasi


ekstrahepatik atau intrahepatic, yaitu:(22)

Data Laboratoris Awal Kolestasis Bayi


Uji Fungsi Hati Kolestasis Kolestasis Intrahepatik
Ekstrahepatik
Bilirubin total (mg/dl) 10,2 ± 4,5 12,1 ± 9,6
Bilirubin direk (mg/dl) 6,2 ± 2,6 8,0 ± 6,8
SGOT < 5x normal >10x normal/>800 u/L
SGPT < 5x normal >10x normal/>800 u/L
γGT >5x normal/>600 u/L <5x normal atau
normal
(Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996;43:1-26.)
Sumber: Whitington 1996

Peningkatan SGOT dan SGPT yang lebih dari 10 kali nilai normal atau > 800 U/L
terutama yang disertai peningkatan γGT yang kurang dari 5x normal, lebih mendukung
adanya kelainan hepatoselular (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya jika peningkatan
SGOT atau SGPT kurang dari 5x nilai normal dengan peningkatan γGT lebih dari 5x
normal atau > 600 U/L, lebih mengarah kepada atresia biliaris atau obstruksi duktus
biliaris lainnya. Bila AF tinggi dan γGT rendah (<100 U/L), penderita mungkin mengidap
suatu kolestasis familial progesif atau gangguan sintesis garam empedu.

Melalui pemeriksaaan spektrometri terhadap urin penderita, kelainan metabolisme


asam empedu seperti defisiensi 3-β- hidroksisteroid-dehidrogenase/isomerase yang
bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat dapat dideteksi pula. Pemeriksaan lain
yang dilakukan pada kecurigaan kolestasis intrahepatik adalah pemeriksaan serologis
untuk mendeteksi infeksi TORCH, petanda hepatitis B (bayi dan ibu) dan kadar a-1-
antitripsin serta fenotipenya.

25
Sementara pemeriksaan khusus seperti hormon tiroid, asam amino serum dan urin,
kultur darah dan urin, zat reduktor dalam urin, galaktosa 1 fosfat uridil-transferase, uji
klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu jika ada gejala
klinis lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut.

Pemeriksaan oftalmologis dilakukan pada kolestasis intrahepatik untuk mencari


korioretinitis (infeksi CMV, toksoplasmosis, rubela), embriotokson posterior (pada
sindrom Alagille), katarak (pada galaktosemia) atau cherry-red spot (pada lipid storage
disease).

B. Utrasonografi

Ultrasonografi (USG) mempunyai peran yang sangat penting untuk skrining


kolestasis pada bayi. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kista (duktus koledokus atau
intrahepatik), batu kandung empedu atau biliary sludge akibat nutrisi parenteral atau
penyakit hemolitik serta tumor. Akurasi untuk pemeriksaan pada kista ductus koledokus
dan batu mencapai 90−95%. Namun, untuk biliary sludge atau inspissated bile akurasinya
buruk. Pada pemeriksaan USG juga dapat diukur panjang dan kontraktilitas gall bladder.
Pada atresia biliaris, pemeriksaan panjang gall bladder sangat membantu untuk
mendiagnosis atresia biliaris. Triangular cord sign dengan ketebalan > 4 mm dengan
memberikan kepastian diagnosa atresia biliaris dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas
100%.

C. Scintigraphy

Disida Tc99m (Tc99m yang berikatan dengan 2.6-diisopropyliminodiacetic acid)


adalah radioisotope yang paling sering digunakan pada pemeriksaan cholestasis jaundice
karena memiliki waktu paruh yang pendek, konsentrasi yang tinggi di dalam hepar, dan
dieksresikan melalui hepar dan ginjal. Disida Tc99m tidak boleh dilakukan bila kadar
blirubin direk >20mg/dl. Satu minggu sebelum pemeriksaan, penderita diberikan
phenobarbital oral dengan dosis 5-10mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila terdapat
ekskresi isotope pada usus halus dalam 24 jam setelah pemeriksaan, menunjukkan patensi
dari sistem duktus biliaris. Hasil scan yang negatif belum pasti dapat menyingkirkan
penyebab kolestatsis jaundice lainnya, karena sekitar 40% penderita dengan hepatitis
neonatal yang lanjut menunjukkan hasil scan yang negatif akibat terjadinya disfungsi
hepar, oleh karena itu pemeriksaan scintigraphy dapat diulang 2 minggu kemudian. Hasil

26
penelitian menunjukkan penggunaan disida untuk diagnosa atresia biliaris menghasilkan
sensitivitas 100% dan spesifitas 43%.

D. Cholangiography

Cholangiography dilakukan setelah dengan semua pemeriksaan diatas diagnosis


masih meragukan. Terdapat 3 pemeriksaan cholangiography yang dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis prolonged jaundiced, terutama untuk memastikan adanya atresia
biliaris, yaitu:

1. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)


ERCP adalah endoskopi ke duktus biliaris melalui ampula vateri, dengan
memasukkan kontras untuk memvisualisasikan duktus biliaris. Sensitivitas dan
spesifitasnya 100%. Namun ERCP memerlukan general anestesia dan merupakan
pemeriksaan operator dependen, yang membutuhkan keahlihan dan pengalaman
klinis. Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
rutin.
2. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
Saat ini MRCP merupakan gold standar untuk atresia biliaris dengan akurasi
100%. Namun pemeriksaan ini memerlukan sedasi dalam atau general anestesia.
Diperlukan 9 keahlian dan pengalaman klinis khusus untuk menerapkan MRCP
pada anak. Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan rutin.
3. Intraoperative Cholangiography (IOC)
4. Langkah akhir untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan laparotomy
diagnostik dengan persiapan intraoperative cholangiography (IOC), wedge biopsy
hepar, dan jika atresia biliaris ditemukan maka dilakukan Kasai prosedur
(portoenterostomy).

Biopsi hepar

Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan cholestasis jaundice antara


intrahepatik dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan tanda cholestasis ekstrahepatik
walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi spesifik terhadap atresia biliaris yaitu
proliferasi duktus pada porta hepatis, thrombus di daerah porta hepatis, proses inflamasi
dan fibrosis pada porta hepatis, dan lymphedema. Biopsi hepar memiliki sensitivitas 85%
dan spesifisitas 95%.

27
Algortima Diagnosis
Pasien dengan ikterus setelah periode neonatal memerlukan evaluasi menyeluruh
untuk penyebab yang mendasarinya. Ini harus selalu dimulai dengan pencatatan riwayat yang
cermat dari periode antenatal dan perinatal termasuk prenatal.

temuan ultrasonografi, status G-6-PD, hasil skrining metabolik bayi baru lahir, dll.
Penting untuk mendapatkan riwayat pengobatan anak dan ibu untuk mengidentifikasi agen
hepatotoksik yang potensial. Meskipun ikterus ASI adalah penyebab umum ikterus infantil,
etiologi lain harus dipertimbangkan terutama jika berat badan bayi tidak bertambah, jika
kadar bilirubin total melebihi 200 mol/L, dan dengan adanya gejala tanda bahaya. Keluarnya
tinja pucat atau urin berwarna teh tidak boleh tertinggal.Pemeriksaan fisik tidak boleh
terbatas pada perut dan pemeriksaan sistematis harus dilakukan untuk mencari anomali
terkait. Tes darah harus mencakup gambaran darah lengkap (bersama dengan jumlah
retikulosit dan apusan darah tepi) untuk menyingkirkan penyakit hemolitik. Tes darah harus
mencakup gambaran darah lengkap (bersama dengan jumlah retikulosit dan apusan darah
tepi) untuk menyingkirkan penyakit hemolitik. peningkatan kadar enzim parenkim aspartat
aminotransferase/alanine aminotransferase mungkin menunjukkan cedera hati karena
penyebab yang diinduksi virus/obat atau penyakit autoimun.

penyebab obstruktif disarankan oleh peningkatan tingkat enzim duktal alkaline


phosphatase/gamma glutamyl transpeptidase. Serologi dan antigen virus hepatitis dapat
diperiksa dengan mengirimkan sampel darah ke laboratorium mikrobiologi. Pemindaian
ultrasound dapat mendeteksi adanya anomali anatomi di saluran empedu seperti BA atau
kista choledochal. Pemindaian radioisotop akan membantu memastikan adanya obstruksi
bilier tetapi tidak selalu memberikan petunjuk untuk diagnosis yang mendasarinya.
Pemeriksaan laparoskopi saluran empedu harus dilakukan bila BA tidak dapat disingkirkan
dari pemeriksaan di atas. Meskipun demikian, laparoskopi juga harus dilakukan jika
kolestasis tetap tidak teratasi meskipun pencitraan normal untuk menyingkirkan
kemungkinan inspissated bile plug syndrome. Intra-operatif, kolangiogram dapat dilakukan
dengan menyuntikkan kontras ke dalam kantong empedu untuk mengkonfirmasi patensi
saluran empedu. Ini juga berfungsi untuk melarutkan sumbat empedu yang mungkin menjadi
penyebab obstruksi. Biopsi hati dapat dilakukan pada akhir prosedur untuk menentukan
tingkat cedera hati

28
2.5. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana icterus pada bayi bertujuan untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum
tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus/ensefalopati bilirubin, serta
mengobati penyebab langsung dari ikterus. Pengobatan penyakit kuning dikelompokkan ke
dalam dua kategori utama: fototerapi dan terapi farmakologis. Fototerapi lebih lanjut
diklasifikasikan ke dalam transfusi konvensional, intensif, dan transfusi tukar, sedangkan
terapi farmakologis selanjutnya dikelompokkan menjadi imunoglobulin IV, phenobarbital,
dan metalloporphyrins.

 Fototerapi

Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan intensif. Terapi
sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang
biasa digunakan adalah 6-12 μW/cm2/nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
Sedangkan fototerapi intensif menggunakan intensitas penyinaran >12 μW/cm2/nm dengan
area paparan maksimal. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri
dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes.
Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau.

Fototerapi dapat sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk mempersilahkan keluarga


berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk memulai
fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan lahir,

29
dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi bilirubin serum
berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl. Selain itu, penggunaan fototerapi terus-menerus
dikaitkan dengan hasil yang lebih baik daripada penggunaannya sebentar-sebentar.
Dianjurkan untuk tidak mengganggu fototerapi kecuali selama menyusui. Jenis fototerapi
adalah sebagai berikut.13

1. Fototerapi Konvensional: digunakan pada ikterus neonatal ringan dan non-


hemolitik.
2. Fototerapi Intensif: digunakan pada kasus yang lebih parah, peningkatan bilirubin
yang parah, penyakit kuning hemolitik, atau kegagalan fototerapi konvensional untuk
meredakan penyakit kuning.13

Tabel 2. Indikasi Terapi Sesuai Kadar Bilirubin Bayi

Terapi Sinar Transfusi Tukar


Bayi Cukup Bayi Kurang Bayi Cukup Bayi Kurang
Bulan Bulan Bulan Bulan
Hari ke-1 Ikterus yang terlihat di tubuh 15 mg/dL 13 mg/dL
Hari ke-2 15 mg/dL 13 mg/dL 25 mg/dL 15 mg/dL
Hari ke-3 18 mg/dL 16 mg/dL 30 mg/dL 20 mg/dL
Hari ke-4 20 mg/dL 17 mg/dL 30 mg/dL 20 mg/dL

Tabel 3. Panduan Terapi Sinar Untuk Bayi Prematur


Indikasi terapi sinar
Indikasi transfusi tukar
Berat Bilirubin serum total
Bilirubin serum total (mg/dL)
(mg/dL)
<1000 g Dimulai dalam 24 jam pertama 10-12
1000-1500 g 7-9 12-15
1500-2000 g 10-12 15-18
2000-2500 g 13-15 18-20

30
Sumber: dimodifikasi dari Cloherty JP, et al. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins; 2008.

Keterangan:
- Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total. Jangan
menggunakan nilai bilirubin tak terkonjugasi ataupun bilirubin
terkonjugasi.
- Faktor risiko: penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargi, instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau albumin <3 g/dL
- Untuk bayi dengan usia gestasi 35-37 6/7 minggu, digunakan kurva
risiko medium (medium risk). Untuk bayi dengan usia gestasi
mendekati 35 minggu, dapat dipertimbangkan untuk mengintervensi
pada kadar bilirubin serum total yang lebih rendah dari cut-off point,
sedangkan untuk bayi dengan usia gestasi mendekati 37 6/7 minggu
dapat dipertimbangkan untuk mengintervensi pada kadar bilirubin
serum total yang lebih tinggi dari cut-off point.
- Pada kadar bilirubin serum total lebih rendah 2-3 mg/dL dari cut-off
point, dapat dipertimbangkan terapi sinar konvensional di rumah.
Namun, terapi sinar di rumah tidak boleh dilakukan pada bayi yang
memiliki faktor risiko.

 Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama. Teknik ini
secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang bersirkulasi yang
menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar sangat menguntungkan
pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter
sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian
ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah dicampurkan dengan plasma.
Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat volume darah telah digantikan.
Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara periodik. Jumlah
bilirubin yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di
jaringan yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis.
Pada beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi
bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 – 4
jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang
dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat
bilirubin.

31
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain
trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan
keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu
transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut:

a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu


b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kernikterus
pada kadar bilirubin berapapun.
 Farmakologi
a. Immunoglobulin IV (IVIG): IVIG dosis tinggi (0,5-1 gr / kg) terbukti efektif
dalam mengurangi kebutuhan transfusi pertukaran dan fototerapi pada bayi
dengan penyakit hemolitik Rh dan ABO.
b. Phenobarbital: Agen ini bekerja dengan mengurangi pemrosesan bilirubin,
yang mencakup penyerapan, konjugasi, dan ekskresi bilirubin oleh hati. Ini
pada akhirnya akan menyebabkan penurunan kadar bilirubin dalam darah
secara signifikan. Namun, phenobarbital memiliki onset yang lambat, dan
membutuhkan beberapa hari untuk bekerja secara efektif. Telah ditemukan
untuk menyebabkan peningkatan yang signifikan dari penyakit kuning pada
neonatus dengan penyakit kuning hemolitik setelah tiga sampai lima hari
perawatan. Obat ini juga memiliki profil yang relatif aman, dengan efek
samping minimal.
c. Metalloporphyrins: profilaksis untuk hyperbilirubinemia dengan efek
samping minimal

1. Obat-obatan untuk mengatasi etiologi kolestasis


a. Obat-obatan Suportif

32
Akhir-akhir ini obat yang sering untuk terapi suportif adalah ursodeoxycholic acid
(UDCA). Ursodeoxycholic acid (3α, 7β-dihidroksi-5β-cholanic acid) merupakan asam
empedu yang terbentuk secara alami, secara normal terdapat pada 1-2% asam empedu
manusia. Ursodeoxycholic acid merupakan asam empedu tersier endogen yang disintesis di
hepar dari 7 ketolithicolic acid, yang merupakan hasil produk dari oksigenasi asam
kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus.

Asam Ursodeoksikolat bekerja dengan cara:

1. Merubah Pool Asam Empedu


Pada manusia, asam empedu terutama terdiri dari 38-54% AKDK, 26-39% asam
kolat (AK) dan 16-33% asam deoksikolat; UDCA dan asam litokolat (LK)
didapatkan hanya dalam jumlah kecil (0,1-5%). Kecuali UDCA, semua asam
empedu bersifat toksis terhadap hati. Pada keadaan kolestasis karena terjadi
hambatan aliran empedu ke usus, asam empedu tersebut akan merusak hati yang
bila berlangsung lama akan menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan
UDCA terdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara
AKDK, asam deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCA memegang
peranan penting dalam pengobatan kolestasis.

2. Proteksi hepatosit dan kolangiosit


Asam empedu toksik mempunyai efek merusak membran sel dengan cara
meningkatkan polaritas pada bagian apolar membran hepatosit dan kolangiosit.
Ursodeoxycholic acid secara kompetitif akan berikatan dengan bagian apolar
membran tersebut, sehingga efek yang ditimbulkan oleh asam empedu toksik
dapat dikurangi.
Asam empedu toksik juga merusak sel dengan cara membuka pori-pori protein
pada membran mitokondria bagian dalam dan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas mitokondria, sehingga terjadi kerusakan membran potensial dan
pembengkakan mitokondria. Ursodeoxycholic acid akan mengubah stuktur dan
komposisi miscelles yang terbentuk ini bersifat protektif terhadap hepatosit
maupun kolangiosit.
3. Efek Imunomodulator
Pada kolestasis terjadi peningkatan ekspresi major histocompability complex
(MHC) kelas I dan II yang berakibat terjadinya dekstrusi sel oleh limfosit

33
Sitotoksik. Ursodeoxycholic acid bekerja mengurangi ekspresi kelas I dan II
tersebut.
4. Meningkatkan Sekresi Hepatobilier
Mekanisme retensi asam empedu antara lain disebabkan oleh gangguan sekresi
bikarbonat di kolangiosit. Pemberian UDCA akan meningkatkan kalsium
intraselular yang akan mengaktifkan kanal klorida ini kemudian akan
meningkatkan sekresi bikarbonat ke saluran biliaris.

Dosis pemberian UDCA bervariasi, 10-16 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis. Efek samping
UDCA yang pernah dilaporkan adalah diare, mual dan muntah.

 Nutrisi

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (lebih
dari 60%). Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis
intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan
kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi untuk menjaga tumbuh kembang bayi, serta
vitamin, mineral dan trace element.

a) Formula Medium chain triglyceride (MCT) karena relative larut dalam air
sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorbsi.
b) Kebutuhan kalori 125% dari normal dan protein 2-3g/kgbb/hari.
c) Vitamin yang larut dalam lemak: - A : 5000-25000 U/hari - D3 : calcitriol
0,05-0,2 ug/kgbb/hari - E : 25-50 IU/kgbb/hari - K1 : 2,5-5mg/2-7x/minggu
d) Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Selenium dan Fe.

2.6. PENCEGAHAN

 Setiap bayi baru lahir harus dievaluasi terhadap kemungkinan mengalami


hiperbilirubinemia berat. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan
memeriksa kadar bilirubin serum total atau pengkajian terhadap faktor risiko secara
klinis. Dengan memeriksa bilirubin serum total dan memplot hasilnya pada
nomogram, kita dapat mengetahui apakah bayi berada pada zona risiko rendah,
menengah, atau tinggi untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat. Studi terbaru
menyatakan bahwa kombinasi kadar bilirubin sebelum dipulangkan dan usia gestasi
merupakan prediktor terbaik untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat.

34
 Saat ini tersedia alat noninvasif untuk memperkirakan kadar bilirubin pada kulit dan
jaringan subkutan, yaitu Transcutaneus Bilirubinometer (TcB). Hasil yang didapat
akan berbeda dari kadar bilirubin serum total, karena bilirubin yang diukur bukan
bilirubin dalam serum, melainkan bilirubin yang terdeposisi pada jaringan. Belum ada
studi yang mempelajari apakah bilirubin serum atau bilirubin kulit yang lebih akurat
untuk menggambarkan deposisi bilirubin pada susunan saraf pusat. Hasil pemeriksaan
transcutaneus bilirubinometer dipengaruhi oleh usia gestasi, keadaan sakit, edema,
dan pigmentasi kulit. Penggunaan kadar bilirubin transkutan membutuhkan
nomogram tersendiri.
 Setiap ibu hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah dan faktor Rhesus.(19)

2.7. KOMPLIKASI
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam
menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga
dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta
mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori
dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala
sisa berupa tuli saraf.3
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kernikterus.
Kernikterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan
oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin
indirek) di basal ganglia dan nukleus batang otak. Patogenesis kernikterus bersifat
multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh
albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak,
dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan
perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya
kernikterus.(19)(23)
Pada bayi sehat yang menyusu, kernikterus terjadi saat kadar bilirubin >30
mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.

Gambaran klinis kernikterus antara lain:(19)

1. Bentuk Akut
a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.

35
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
retrocollis, demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.

2. Bentuk Kronis
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran.

Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir
sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain:
konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke
dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun
juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi
prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat
menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin. Bayi yang
selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak
permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan
mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor
disorder.(24)
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan
tindak lanjut sebagai berikut:
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

2.1 PROGNOSIS
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui
sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa
neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus
gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi
dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus.

36
Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan
pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di
atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan
berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan
mental serta ketajaman pendengarannya.(24)

37
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus adalah perubahan pada warna kulit dan beberapa organ lainya yang
diakibatkan oleh penumpukan bilirubin pada jaringn. Lalu, icterus pada bayi yang baru lahir
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut apakah bayi tersebut agar dapat dibedakan apakah
bayi tersebut mengalami icterus fisiologis atau icterus patologis.

Pada kasus icterus pada bayi ataupun pada neonates perlu dilakukanya pemeriksaan
laboratorium untuk menilai kadar bilirubin dalam serum pada setiap bayi atau neonatus.
Manajemen perawatan harus dilakukan ketika ada penyakit kuning patologis. Semua
investigasi ini harus diperoleh: golongan darah, tipe RH, DCT, apusan darah, morfologi sel
darah merah, jumlah retikulosit, dan kadar enzim G6PD yang dapat membantu mendiagnosis
penyebab dari icterus pada bayi, dan menentukan Tindakan terapi yang diberikann pada
pasien

Tindakan terapi pada bayi ikterus bertujuan untuk mencegah konsentrasi bilirubin
indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksitas. Tindakan terapi
perlu dilakukan secepatnya setelah mendapatkan diagnosis yang sudah pasti agar
meminimalisirkan komplikasi pada pasien

38
DAFTAR PUSTAKA
1. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan. Semarang: Rineka Cipta; 2010. 80 p.

2. Moganath T. Prevalensi Ikterus pada Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2013–2015. Perinatol Fak Kedokt USU [Internet]. 2017; Available from:
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/11172
3. Gomela T. Neonatology, Management, procedures, on-call problems, dissseases, and
drug. 5th ed. Amerika Serikat: The McGraw-hill Companies Inc; 2009.
4. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
5. N.Yusuf N. Hubungan Frekuensi Pemberian Asi Dengan Kejadian Ikterus
Neonatorum. Hub Frekuensi Pemberian ASI dengan Kejadian Ikterus di Rumah Sakit
Umum Drh Provinsi NTB. 2021;02(02):2–8.
6. Feldman A, Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. In: Suchy FJ, Sokol RJ,
Balistreri WF, editors. Liver Disease in Children [Internet]. Cambridge: Cambridge
University Press; p. 101–10. Available from:
https://www.cambridge.org/core/product/identifier/CBO9781139012102A018/type/bo
ok_part
7. Omer M, Khattak TA, Hamid S, Shah A, Manzoor K. Etiological Spectrum of
Persistent Neonatal Jaundice. J Rawalpindi Med Collage. 2010;14(2):87–9.
8. Abbey P, Kandasamy D, Naranje P. Neonatal Jaundice. Indian J Pediatr.
2019;86(9):830–41.
9. Maulidya TR, Mustarim, Syah S. Gambaran Faktor Risiko Ikterus Neonatorum pada
Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2013. Fak
Kedokt dan Ilmu Kesehatan, Univ Jambi. 2013;
10. DENNY P, OKKY P, ERNY. Deskripsi Ikterus Neonatorum di RSU Muhamadiyah
Gresik Pencegahan Ikterus Neonatorum ditinjau Dari Pemahaman Proses Metabolisme
Bilirubin. Hang Tuah Med J. 2019;17(1).
11. Chee YY, Chung PHY, Wong RMS, Wong KKY. Jaundice in infants and children:
Causes, diagnosis, and management. Hong Kong Med J. 2018;24(3):285–92.
12. Rohsiswatmo R. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning. Ikat Dr
Anak Indones [Internet]. 2013; Available from:
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-bayi-menyusui-
yang-kuning
13. Dugdale DC. Bilirubin blood test How the Test is Performed. Medlin plus. 2013;8–10.

39
14. Sullivan JI, Rockey DC. Diagnosis and evaluation of hyperbilirubinemia. Curr Opin
Gastroenterol. 2017;33(3):164–70.
15. Chen H, Ling W, Shang H, Hsu S, Hao L, Bang Y, et al. Jaundice revisited: recent
advances in the diagnosis and treatment of inherited cholestatic liver diseases. J
Biomed Sci. 2018;25(1):75.
16. Air Susu Ibu dan Ikterus. IDAI [Internet]. 2013; Available from:
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-ikterus
17. Constantin T. Jaundice Obstructive Syndrom. Eur J Pediatr. 2011;40.
18. Marcdante KJ, Kliegman R, Hal J. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Ke-6.
6th ed. singapore: Elsevier; 2013.
19. Pudjiadi AH, Yuliarti K, Pengantar K. Pedoman pelayanan medis. Ikat Dr Anak
Indones. 2011;71.
20. D K, A F, Hauser S, D L, J J, Loscalzo. J. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
20th ed. New York City: McGraw-Hill Education; 2018.
21. Lian ngeline WS, Daud SM, Hean TS, Mun CY, Kutt FM. Management of neonatal
jaundice in primary care. Malaysian Fam Physician. 2016;11(5):1–4.
22. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996;43(1):1–
26.
23. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of
Gestation. Am Acad Pediatr [Internet]. 2004;114(1):297–316. Available from:
http://www.citeulike.org/group/11862/article/5941222
24. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM, Neonatologi D, Ilmu B, et al.
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS. Div Neonatol Bagian Ilmu Kesehat
Anak,F K Unair/RSU Dr Soetomo. 2015;1–14.

40

Anda mungkin juga menyukai