TATALAKSANA STEMI
Disusun Oleh :
Rizqi Multazam
20650500147
Pembimbing :
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
SARI PUSTAKA
Tatalaksana STEMI
persyaratan dalam
Telah di setujui
Pada : …
Disusun Oleh :
Rizqi Multazam
2065050147
Pembimbing,
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME karena atas kasih dan karunianya penulis dapat
menyelesaikan sari pustaka ini sebagai salah satu pemenuhan tugaskepaniteraan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Sari Pustaka yang
berjudul "TATALAKSANA STEMI" ini diharapkan dapat memiliki manfaat bagi penulis
dan pembaca sari pustaka ini. Penulis menyadari bahwa di dalam melaksanakan pendidikan
kepaniteraan IImu Penyakit Dalam, banyak kesulitan dan hambatanyang dihadapi, namun
berkat bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing dan para dokter, maka penulis dapat
menyelesaikan penulisan sari pustaka ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Frits Reiner Wantian Suling, Sp. JP(K), FIHA., FASCC selaku pembimbing sari
pustaka yang telah memberikan banyak waktu, arahan, nasihat, dan saran untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan sari pustaka ini.
2. Teman-teman kepaniteraan IImu Penyakit Dalam FK UKI yang saling mendukung
dan membantu satu sama lain dalam melaksanakan program kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam di RSU UKI Jakarta Penulis menyadari bahwa sari pustaka ini jauh
dari sempurna dan memiliki.
Banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat menerima kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi bekal yang baik dalam penulisan berikutnya.
Rizqi Multazam
DAFTAR ISI
BAB I ......................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................................ 7
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 31
PENDAHULUAN
IMA (Infark miokard akut) adalah suatu penyakit pada otot jantung yang mengalami
nekrosis, penyakit ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan pada perfusi pembuluh darah yang
disebabkan adanya perkembangan nekrosis miosit secara progresif, dan dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti daya kerja jantung, durasi iskemia, Colateral Blood Flow, dll..
sehingga jaringan miokardium pada jantung rusak karena kekurangan oksigen. Keluhan pada
penyakit ini ditandai dengan adanya nyeri dada atau ketidaknyamanan pada bahu, lengan,
punggung, leher atau rahang. IMA termasuk bagian dari sindrom koroner akut, yang juga
mencakup angina tidak stabil, NSTEMI (non-ST Elevation Myocard Infark) dan STEMI (ST
Elevation Myocard Infark).1,2
Menurut WHO (World Health Organitation) pada tahun 2017, penyakit
kardiovaskular adalah penyebab utama kematian secara global, dengan perkiraan 17,9 juta
kematian pada tahun 2016 mewakili 31% dari semua kematian global, lebih dari tiga
perempatnya terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 23,3 juta kematian per tahun pada tahun 2030.3
Menurut Mboi N et.al, pada tahun 2018. Di Indonesia, penyakit jantung iskemik juga tetap
menjadi penyebab kematian dan morbiditas nomor satu dengan total DALYs (Disability
Adjusted Life Years) yang meningkat sebesar 10,5% dari 5,9 juta pada tahun 2006 menjadi
6,52 juta pada tahun 2016 dengan perkiraan kejadian 200 kasus per 100.000 penduduk setiap
tahunya.4 Selain itu, menurut penelitian Sunjaya A P et.al pada tahun 2016-2017 tentang
proporsi kejadian sindrom coroner akut di Jakarta menyatakan bahwa, kejadian STEMI
sebanyak 298 kasus (52.7%) dari 566 total kasus sindrom koroner akut, sedangkan NSTEMI
dan angina tidak stabil sebanyak 267 kasus (47.3%) dari 566 total kasus sindrom koroner
akut.5
Menurut penelitian Zahn et.al pada tahun 2009, menyatakan bahwa STEMI memiliki
angka kematian di rumah sakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan NSTEMI.6 Hal ini
berhubungan dengan penelitian Masoudi F et.al pada tahun 2016, berdasarkan data American
College of Cardiology (ACC) kejadian STEMI memiliki risiko yang lebih besar daripada
NSTEMI, termasuk kematian (6,4% untuk STEMI, 3,4% untuk NSTEMI).7
Infark miokard yang di sertai elevasi segmen ST atau disebut STEMI adalah keadaan
darurat yang mengancam jiwa karena diakibatkan adanya oklusi trombotik menyeluruh pada
arteri koronaria jantung sehingga terjadi infark, pasien ini umumnya datang dengan keluhan
nyeri dada yang hebat dan memiliki risiko area miokard yang luas. Maka, pasien dengan
STEMI perlu secepatnya diberikan tindakan terapi karena waktu paling berharga dalam IMA
adalah pada saat fase awal ketika pasien mengalami nyeri hebat dan kemungkinan mengalami
henti jantung. Sehingga pada pasien dengan kecurigaan IMA perlu disediakan deflibirator
dan perlu dilakukan reperfusi berupa terapi trombolitik, fibrinolitik maupun PCI
(Percutaneous Coronary Intervention), sehingga dapat meminimalisir risiko terjadinya
kematian.2,8
Tujuan sari pustaka ini adalah untuk menjelaskan mengenai tatalaksana pada STEMI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi
• Tinginya cholesterol • Usia
• Hipertensi dan hipertrofi ventrikel • Jenis kelamin (laki-laki)
kiri • Riwayat penyakit keluarga
• Merokok dengan PJK
• Konsumsi alcohol • Post-menopause
• Kurangnya aktifitas fisik
• Hipekolesterolemia
• Diaberes
• Faktor psikologis
II.2. Patogenesis STEMI
Seperti halnya semua arteri, arteri yang berada dalam sirkulasi koroner terdiri
dari tiga lapisan; 'tunica adventitia' luar, 'tunica media' tengah dan 'tunica intima',
Tunica Adventitia terdiri dari jaringan ikat yang kuat, tunica media terdiri dari sel otot
polos, dan tunica intima tediri dari sel endotel.12 PJK (Penyakit Jantung Koroner)
terjadi ketika lapisan endotel arteri koroner rusak akibat proses oksidatif,
hemodinamik, atau biokimia. Kerusakan pada endotel memicu proses peradangan
kronis di mana sel darah putih dan lipid menumpuk di lapisan intimal dinding arteri.
Seiring waktu, lesi membengkak karena migrasi sel otot polos dari tunica media ke
tunica intima. Sehingga, membentuk jaringan plak atherosclerosis yang membuat
bagian tunica intima pembuluh darah membengkak dan mempersempit jalur
pembuluh darah.13 Jika plak atherosclerosis pada arteri koronaria mengalami rupture,
fisur, atau ulserasi, dapat memicu terbentuknya trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri coroner.14
SKA merupakan suatu nekrosis miokard yang disebabkan oleh karena robekan
sampai sumbatan mendadak aliran darah koroner. Hal ini diakibatkan ruptur plak
atherosklerosis yang kemudian dilanjutkan dengan proses vasokonstriksi, reaksi
inflamasi, trombosis dan embolisasi. Luasnya nekrosis miokard tergantung pada;
lokasi dan lamanya waktu sumbatan berlangsung, luasnya area miokard yang
diperdarahi pembuluh darah tersebut dan ada tidaknya pembuluh kolateral. Pada SKA
tanpa elevasi segmen ST terjadi, perubahan segmen ST dan atau gelombang T berupa
depresi segmen ST atau gelombang T yang inverted sedangkan elevasi segmen ST
biasanya terdapat oklusi total pada arteri koroner.15
Tingkat Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau
bukti A metaanalisis
Tingkat Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa
bukti B penelitian tidak acak
Tingkat Data berasal dari konsensus opini para ahli dan/atau penelitian kecil,
bukti C studi retrospektif, atau registri
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
a. Untuk fibrinolisis ≤30 menit
b. Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)8,16
Gambar 4.2: Model Presentasi Pasien, Komponen Waktu Iskemia, dan Diagram
Pemilihan Strategi Reperfusi.
Bila ada, pastikan terlebih dahulu apakah waktu tempuh dari tempat
kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
PCI apakah bisa dijangkau selama ≤ 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih
dari 2 jam, maka terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolitik. Selain itu
pada saat melakukan terapi fibrinolitik (jika diperkirakan pemberian PCI tidak
bisa didapat ≤ 2 jam) sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit setelah di
diagnosis STEMI.
Gambar 4.5: Waktu Target Maksimum Sesuai Dengan Pemilihan Strategi Reperfusi Pada
Pasien
PCI primer adalah terapi reperfusi pilihan jika dilakukan oleh tenaga
medis yang berpengalaman selama 120 menit dari KMP. PCI primer di
indikasikan pada pasien gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila pemberian PCI akan tertunda lama (tertunda selama ≥ 2 jam
setelah timbul gejala) dan bila pasien dating dengan awitan gejaa yang telah
lama. PCI primer merupakan tindakan emergensi pada arteri yang infark
(Infark-Related Artery) dengan balloon, stent, atau alat lainya, tanpa terapi
fibrinolitik sebelumnya.
Terapi PCI primer tidak disarankan untuk dilakukan secara rutin pada
arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada
pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan
fibrinolitik. Bila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi
antiplatelet ganda/DAPT (Dual Anti Platelet Therapy) dan pasien bisa patuh
terhadap pengobatan. Maka, disarankan untuk dilakukan terapu DES (Drug-
Eluting Stents) dibandingkan dengan BMS (Bare Metal Stents)8
Tabel 4.11: Dosis Ko-Terapi Antiplatelet Dan Antikoagulan Pada Pasien Yang
Menjalani PCI Primer Atau Belum Menjalani Reperfusi
II.4.3.4. Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik dianjurkan untuk diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila PCI primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalamn dalam kurun waktu 2 jam sejak
KMP. Pada pasien-pasien yang dating segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, terapi fibrinolitik perlu
dipertimbangkan bila waktu antara KMP dengan inflasi balon lebih dari 90
menit (kelas IIa-B).
Agen speifik terhadap fibrin (tenecteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Maka, perlu diberikan aspirin oral, clopidogrel diindikasikan
diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Anti koagulan direkomendasikan
pada pasien-pasien STEMI yang diobatidengan fibrinolitik sampai
revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5
hari (kelas 1-A).(8) Antikoagulan dapat berupa:
1. Enoxaparin subkutan (lebih disarankan heparin tidak terfraksi) (kelas
I-A)
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat
badan dan infus selam 3 hari (kelas I-C)
3. Pada pasien-pasien yang mendapatkan streptokinase, fondaparinux i.v
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian
(kelas IIa-B)
Tabel 4.12: Rekomendasi Terapi Fibrinolitik
*clopidogrel adalah penghambat P2Y12 yang dianjurkan untuk pasien yang
menjalani terapi fibrinolitik, namun jika pasien menjalani PCI setelah fibrinolitik
maka dapat dipertimbangkan menggantinya dengan ticagleror
Tabel 4.12: Dosis Fibrinolitik dan Koterapi Anti Trombotik
Gambar 4.13: Langkah-Langkah Pemberian Fibrinolitik STEMI
kelas Level
Pemakaian rutin UFH direkomendasikan I C
Peamakaian rutin enoxaparin I.v. harus IIa A
dipertimbangkan
Tabel 4.17: Dosis Rekomendasi Agen Antithrombotic Pada Pasien STEMI Dengan
Disfungsi Ginjal
II.4.3.5. Terapi Yang Menggunakan Antinkoagulan Rutin
Dalam kasus dengan risiko perdarahan yang sangat tinggi, terapi Triple
Therapy dapat dikurangi menjadi 1 bulan setelah STEMI, dilanjutkan dengan
terapi ganda (antikoagulasi oral ditambah aspirin atau clopidogrel) hingga 1
tahun, dan selanjutnya hanya antikoagulasi saja.16
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi
pasien yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular
berulang dan kematian premature, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka Panjang iniperan
dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari
saat pasien ditanamkan saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan
mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum dipulangkan.(8)
KESIMPULAN
1. Elsayed Azab A. Acute Myocardial Infarction Risk Factors and Correlation of its
Markers with Serum Lipids. Journal of Applied Biotechnology & Bioengineering.
2017;3(4).
5. Sunjaya AP, Sunjaya AF, Priyana A. Insights and challenges of indonesia’s acute
coronary syndrome telecardiology network: Three year experience from a single center
and in west Jakarta, Indonesia. IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering. 2019;508(1).
7. Masoudi FA, Ponirakis A, de Lemos JA, Jollis JG, Kremers M, Messenger JC, et al.
Trends in U.S. Cardiovascular Care: 2016 Report From 4 ACC National
Cardiovascular Data Registries. Journal of the American College of Cardiology
[Internet]. 2017;69(11):1427–50.
8. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2018. p. 76.
9. Burke LA, Devon HA, Hill C, Carolina N, Sciences BH. Coronary Syndrome in the
Emergency Department. 2018;41(5):459–68.
11. Smit M, Coetzee AR, Lochner A. The Pathophysiology of Myocardial Ischemia and
Perioperative Myocardial Infarction. Journal of Cardiothoracic and Vascular
Anesthesia [Internet]. 2020;34(9):2501–12.
12. Sampson M. Understanding the ECG. Part 8: myocardial ischaemia and infarction
(part A). British Journal of Cardiac Nursing. 2016;11(6):290–8.
13. Nabel EG, Braunwald E. A Tale of Coronary Artery Disease and Myocardial
Infarction. New England Journal of Medicine. 2012;366(1):54–63.
14. Hunt S, Baker D, Chin M, Cinquegrani M, Feldman A, Francis G, et al. ACC / AHA
PRACTICE GUIDELINES — FULL TEXT ACC / AHA Guidelines for the
Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in the Adult A Report of the
American College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines ( Committe. Circulation [Internet]. 2004;104(24):2996–3007.
15. Sungkar MA. Sindroma Koroner Akut dengan elevasi segmen ST. Jurnal Rumah Sakit
Roesmani. 2012;
16. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H, et al. 2017
ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. 2018;39(2):119–77.