Anda di halaman 1dari 33

SARI PUSTAKA

TATALAKSANA STEMI

Disusun Oleh :

Rizqi Multazam

20650500147

Pembimbing :

dr. Frits R. W. Suling, SpJP (K), FIHA, FasCC

SARI PUSTAKA DIBUAT UNTUK MEMENUHI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

PERIODE 29 MARET – 24 APRIL 2021

RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

SARI PUSTAKA

Tatalaksana STEMI

Sari pustaka ini diajukan untuk memenuhi

persyaratan dalam

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia

Telah di setujui

Pada : …

Disusun Oleh :

Rizqi Multazam

2065050147

Jakarta, … Maret 2021

Pembimbing,

dr. Frits R. W. Suling, SpJP (K), FIHA, FasCC


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan YME karena atas kasih dan karunianya penulis dapat
menyelesaikan sari pustaka ini sebagai salah satu pemenuhan tugaskepaniteraan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Sari Pustaka yang
berjudul "TATALAKSANA STEMI" ini diharapkan dapat memiliki manfaat bagi penulis
dan pembaca sari pustaka ini. Penulis menyadari bahwa di dalam melaksanakan pendidikan
kepaniteraan IImu Penyakit Dalam, banyak kesulitan dan hambatanyang dihadapi, namun
berkat bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing dan para dokter, maka penulis dapat
menyelesaikan penulisan sari pustaka ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Frits Reiner Wantian Suling, Sp. JP(K), FIHA., FASCC selaku pembimbing sari
pustaka yang telah memberikan banyak waktu, arahan, nasihat, dan saran untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan sari pustaka ini.
2. Teman-teman kepaniteraan IImu Penyakit Dalam FK UKI yang saling mendukung
dan membantu satu sama lain dalam melaksanakan program kepaniteraan klinik Ilmu
Penyakit Dalam di RSU UKI Jakarta Penulis menyadari bahwa sari pustaka ini jauh
dari sempurna dan memiliki.

Banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat menerima kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi bekal yang baik dalam penulisan berikutnya.

Jakarta. Maret 2021

Rizqi Multazam
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 3

BAB I ......................................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5

BAB II........................................................................................................................................ 7

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 7

II.1. Definisi STEMI ........................................................................................................... 7

II.2. Patogenesis STEMI ..................................................................................................... 8

II.3. Diagnosis STEMI ........................................................................................................ 8

II.4. Tatalaksana STEMI ................................................................................................... 10

BAB III .................................................................................................................................... 31

KESIMPULAN ........................................................................................................................ 31

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 32


BAB I

PENDAHULUAN

IMA (Infark miokard akut) adalah suatu penyakit pada otot jantung yang mengalami
nekrosis, penyakit ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan pada perfusi pembuluh darah yang
disebabkan adanya perkembangan nekrosis miosit secara progresif, dan dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti daya kerja jantung, durasi iskemia, Colateral Blood Flow, dll..
sehingga jaringan miokardium pada jantung rusak karena kekurangan oksigen. Keluhan pada
penyakit ini ditandai dengan adanya nyeri dada atau ketidaknyamanan pada bahu, lengan,
punggung, leher atau rahang. IMA termasuk bagian dari sindrom koroner akut, yang juga
mencakup angina tidak stabil, NSTEMI (non-ST Elevation Myocard Infark) dan STEMI (ST
Elevation Myocard Infark).1,2
Menurut WHO (World Health Organitation) pada tahun 2017, penyakit
kardiovaskular adalah penyebab utama kematian secara global, dengan perkiraan 17,9 juta
kematian pada tahun 2016 mewakili 31% dari semua kematian global, lebih dari tiga
perempatnya terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 23,3 juta kematian per tahun pada tahun 2030.3
Menurut Mboi N et.al, pada tahun 2018. Di Indonesia, penyakit jantung iskemik juga tetap
menjadi penyebab kematian dan morbiditas nomor satu dengan total DALYs (Disability
Adjusted Life Years) yang meningkat sebesar 10,5% dari 5,9 juta pada tahun 2006 menjadi
6,52 juta pada tahun 2016 dengan perkiraan kejadian 200 kasus per 100.000 penduduk setiap
tahunya.4 Selain itu, menurut penelitian Sunjaya A P et.al pada tahun 2016-2017 tentang
proporsi kejadian sindrom coroner akut di Jakarta menyatakan bahwa, kejadian STEMI
sebanyak 298 kasus (52.7%) dari 566 total kasus sindrom koroner akut, sedangkan NSTEMI
dan angina tidak stabil sebanyak 267 kasus (47.3%) dari 566 total kasus sindrom koroner
akut.5
Menurut penelitian Zahn et.al pada tahun 2009, menyatakan bahwa STEMI memiliki
angka kematian di rumah sakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan NSTEMI.6 Hal ini
berhubungan dengan penelitian Masoudi F et.al pada tahun 2016, berdasarkan data American
College of Cardiology (ACC) kejadian STEMI memiliki risiko yang lebih besar daripada
NSTEMI, termasuk kematian (6,4% untuk STEMI, 3,4% untuk NSTEMI).7
Infark miokard yang di sertai elevasi segmen ST atau disebut STEMI adalah keadaan
darurat yang mengancam jiwa karena diakibatkan adanya oklusi trombotik menyeluruh pada
arteri koronaria jantung sehingga terjadi infark, pasien ini umumnya datang dengan keluhan
nyeri dada yang hebat dan memiliki risiko area miokard yang luas. Maka, pasien dengan
STEMI perlu secepatnya diberikan tindakan terapi karena waktu paling berharga dalam IMA
adalah pada saat fase awal ketika pasien mengalami nyeri hebat dan kemungkinan mengalami
henti jantung. Sehingga pada pasien dengan kecurigaan IMA perlu disediakan deflibirator
dan perlu dilakukan reperfusi berupa terapi trombolitik, fibrinolitik maupun PCI
(Percutaneous Coronary Intervention), sehingga dapat meminimalisir risiko terjadinya
kematian.2,8

Tujuan sari pustaka ini adalah untuk menjelaskan mengenai tatalaksana pada STEMI
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi STEMI


STEMI merupakan bagian dari ACS (Acute Coronaria Syndrome), yang
terdiri dari UAP (Unstable Angina Pectoris), NSTEMI (Non-ST Elevation Myocardial
Infarction), dan STEMI (Elevation Myocardial Infarction). STEMI merupan suatu
keadaan dimana arteri koroner terjadi oklusi total pada satu atau lebih dari arteri
koronaria yang memasok darah ke jantung, penyebab dari gangguan aliran darah ini
pada umumnya diakibatkan oleh pecahnya plak, erosi, fisura atau diseksi arteri
koroner yang diakibatkan trombus yang menyumbat jalur arteri koronia, yang pada
akhirnya menyebabkan nekrosis pada jaringan otot jantung.

Sehingga, dapat menimbulkan gejala angina tipikal, yaitu berupa rasa


tertekan/berat di daerah retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher, area
interskapuler, bahu, dan epigastrium, serta disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal. Sesak nafas, dan sinkop. Gejala ini dapat berlangsung secara intermiten
atau persisten (>20 menit).9,10 Faktor resiko terjadinya ACS antara lain sebagai
berikut;11

Tabel 1.1: Faktor Risiko ACS

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi
• Tinginya cholesterol • Usia
• Hipertensi dan hipertrofi ventrikel • Jenis kelamin (laki-laki)
kiri • Riwayat penyakit keluarga
• Merokok dengan PJK
• Konsumsi alcohol • Post-menopause
• Kurangnya aktifitas fisik
• Hipekolesterolemia
• Diaberes
• Faktor psikologis
II.2. Patogenesis STEMI
Seperti halnya semua arteri, arteri yang berada dalam sirkulasi koroner terdiri
dari tiga lapisan; 'tunica adventitia' luar, 'tunica media' tengah dan 'tunica intima',
Tunica Adventitia terdiri dari jaringan ikat yang kuat, tunica media terdiri dari sel otot
polos, dan tunica intima tediri dari sel endotel.12 PJK (Penyakit Jantung Koroner)
terjadi ketika lapisan endotel arteri koroner rusak akibat proses oksidatif,
hemodinamik, atau biokimia. Kerusakan pada endotel memicu proses peradangan
kronis di mana sel darah putih dan lipid menumpuk di lapisan intimal dinding arteri.
Seiring waktu, lesi membengkak karena migrasi sel otot polos dari tunica media ke
tunica intima. Sehingga, membentuk jaringan plak atherosclerosis yang membuat
bagian tunica intima pembuluh darah membengkak dan mempersempit jalur
pembuluh darah.13 Jika plak atherosclerosis pada arteri koronaria mengalami rupture,
fisur, atau ulserasi, dapat memicu terbentuknya trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri coroner.14

SKA merupakan suatu nekrosis miokard yang disebabkan oleh karena robekan
sampai sumbatan mendadak aliran darah koroner. Hal ini diakibatkan ruptur plak
atherosklerosis yang kemudian dilanjutkan dengan proses vasokonstriksi, reaksi
inflamasi, trombosis dan embolisasi. Luasnya nekrosis miokard tergantung pada;
lokasi dan lamanya waktu sumbatan berlangsung, luasnya area miokard yang
diperdarahi pembuluh darah tersebut dan ada tidaknya pembuluh kolateral. Pada SKA
tanpa elevasi segmen ST terjadi, perubahan segmen ST dan atau gelombang T berupa
depresi segmen ST atau gelombang T yang inverted sedangkan elevasi segmen ST
biasanya terdapat oklusi total pada arteri koroner.15

II.3. Klasifikasi Rekomendasi


Pakar terpilih di lapangan melakukan tinjauan komprehensif terhadap bukti
yang dipublikasikan untuk pengelolaan kondisi tertentu sesuai dengan kebijakan CPG
(Committee for Practice Guidelines). Evaluasi kritis dari prosedur diagnostik dan
terapeutik dilakukan, termasuk penilaian rasio risiko-manfaat. Tingkat bukti dan
kekuatan rekomendasi dari opsi pengelolaan tertentu ditimbang dan dinilai menurut
skala yang telah ditentukan, seperti yang diuraikan dalam tabel berikut;16

Tabel 3.1: Kelas Rekomendasi

Kelas I Bukti dan/atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut


bermanfaat dan efektif.
Kelas II Bukti dan/atau pendapat yang berbeda tentang manfaat pengobatan
tersebut.
Kelas IIa Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau kegunaan,
sehingga beralasan untuk dilakukan.
Kelas IIb Manfaat atau efektivitas kurang didukung oleh bukti atau pendapat,
namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Kelas III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut
tidak berguna atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus
kemungkinan membahayakan.

Tabel 3.2: Tingkat Berdasarkan Kejadian

Tingkat Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau
bukti A metaanalisis
Tingkat Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa
bukti B penelitian tidak acak
Tingkat Data berasal dari konsensus opini para ahli dan/atau penelitian kecil,
bukti C studi retrospektif, atau registri

II.4. Manifestasi Klinis STEMI


Karakteristik utama ACS dengan segmen ST elevasi adalah angina tipikal
dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk miokard
infark denan elevasi segmen ST atau STEMI

Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,


menjalar ke lengan kiri, leher. rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.8

Pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasikan faktor pencetus iskemia,


komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding
SKA. Jika saat pemeriksaan auskultasi ditemukan tanda-tanda regurgitasi katup
mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan, maka patut dicurigai terhadap SKA. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.8

II.5. Tatalaksana STEMI


II.4.1. Perawatan Gawat darurat dan Diagnosis Awal

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak KMP (Kontak Medis


Pertama), baik untuk diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan
kontak medis pertama adalah saat pasien pertama diperiksa oleh
paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah
sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali
terjadi dalam situasi rawat jalan.

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan


riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang
tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan
penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat
dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan
dugaan STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin
melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-
lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung
penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien
dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung
menunjukkan perlunya tindakan segera.

Dianjurkan untuk memulai pemantauan EKG sesegera mungkin


pada semua pasien dengan dugaan STEMI untuk mendeteksi aritmia
yang mengancam nyawa dan memungkinkan defibrilasi segera jika
diindikasikan. Ketika dicurigai adanya STEMI, EKG 12 sadapan harus
diperoleh dan diinterpretasikan sesegera mungkin pada saat kontak
pertama dengan pasien untuk memfasilitasi diagnosis dan triase STEMI
dini.

Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI dilakukan sebelum


tiba di rumah sakit berrdasarkan jaringan layanan regional yang
dirancang untuk memberikan terapi perfusi secepatnya secara efektif, dan
bila fasilitas memadai sebisa mungkin pasien dilakukan IKP primer yang
harus didapat selama pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta
dapat memulai IKP primer sesegera mungkin <90 menit sejak panggilan
awal.

Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat


dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala
penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan target kualitas berikut ini:

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
a. Untuk fibrinolisis ≤30 menit
b. Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)8,16

II.4.1.1 Meredakan Nyeri, Sesak Napas, dan Anxietas

Pereda nyeri sangat penting, tidak hanya untuk alasan kenyamanan


tetapi karena nyeri berhubungan dengan aktivasi simpatis, yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung. titrasi Opioid intravena
(IV) (misalnya morfin) adalah analgesik yang paling umum digunakan. Namun,
penggunaan morfin dikaitkan dengan penyerapan yang lebih lambat, onset kerja
yang tertunda, dan efek yang berkurang dari agen antiplatelet oral (yaitu
clopidogrel, ticagrelor, dan prasugrel), yang dapat menyebabkan kegagalan
pengobatan dini pada individu yang rentan.

Tabel 4.1: Rekomendasi Meredakan Hipoksemia dan Gejala Miokard Infark


Oksigen diindikasikan pada pasien hipoksia dengan saturasi oksigen (SaO2)
<90% atau (PaO2) <60 mmHg (kelas I-C), dan pasien dengan edema pulmonal
dengan SaO2<90% untuk mempertahankan saturasi >95%. Ada beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa hiperoksia mungkin berbahaya pada pasien dengan MI
tanpa komplikasi karena dapat meningkatan cedera miokard. Jadi, pemberian
oksigen secara rutin tidak direkomendasikan saat SaO2 ≥90%. Kecemasan adalah
respons alami terhadap rasa sakit dan keadaan mengelilingi MI. Kepastian pasien
dan orang-orang yang berhubungan dekat dengan mereka sangatlah penting. Obat
penenang ringan (biasanya benzodiazepin) harus dipertimbangkan pada pasien
cemas.16

II.4.2. Keterlambatan Penanganan STEMI

Pencegahan keterlambatan amat penting dalam penanganan STEMI


karena waktu paling berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat
awal, di mana pasien mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami
henti jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien dengan kecurigaan
infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan. Selain
itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat
bermanfaat.

Tujuan dari LMD (layanan Medis Darurat) yang menangani dalam


tindakan awal pasien STEMI adalah untuk mengurangi keterlambatan antara
KMP (Kontak Medis Pertama) dan diagnosis STEMI hingga ≤10 menit.
Diagnosis STEMI mengacu pada waktu ketika EKG diinterpretasikan dengan
elevasi segmen-ST disertai gejala iskemia dan ini adalah waktu nol (Time Zero)
untuk memulai terapi yang tepat.

Gambar 4.2: Model Presentasi Pasien, Komponen Waktu Iskemia, dan Diagram
Pemilihan Strategi Reperfusi.

II.4.2.1. Keterlambatan Pasien

Keterlambatan pasien adalah waktu paruh yang terjadi antara


munculnya gejala sampai ke kontam medis pertama. agar meminimalisir
keterlambatan pasien, maka perlu ditingkatkan kesadaran masyarakat
tentang bagaimana mengenali gejala umum IMA dan jika timbul gejala
IMA dapat segera menghubungi layanan darurat.8

II.4.2.2. Keterlambatan Antara Kontak Medis Pertama dan Diagnosis

Waktu paruh yang dibutuhkan untuk menegakan diagnosis berdasarkan


pemeriksaan EKG merupakan penilaian kualias pelayanan kesehatan yang
cukup penting dalam menangani STEMI. Rekomendasi waktu untuk
menegakan diagnosis berdasarkan EKG adalah 10 menit di Faskes
(Fasilitas Kesehatan) atau di LMD.8
II.4.2.3. Keterlambatan Antara Kontak Medis Pertama Dengan Terapi Reperfusi

Jika pasien STEMI mendapatkan pelayanan kesehatan di Faskes non-


PCI. Maka, tindakan reperfusi PCI primer target waktu antara KMP
sampai wire melewati lesi diartei penyebab STEMI adalah ≤ 120 menit
(atau <110 menit dari diagnosis ditegakan sampai wire melewati lesi di
arteri penyebab), terapi reperfusi pada pasien STEMI merupakan indicator
kualitas system pelayanan dan prediktir luaran pasien. Sedangakan pada
terapi fibrinolitik, target wakti antara KMP sampai pemberian fibrinolotik
adalah< 30 menit (atau <20 menit dari diagnosis ditegakan sampai
pemberian fibrinolitik).

Jika pasien STEMI mendapatkan pelayanan kesehatan di Faskes non-


PCI. Target waktu antara KMP sampai wire melewati lesi di arteri
penyebab adalah <90 menit (atau <80 menit dari diagnosis ditegakan
sampai wire melewati lesi di arteri penyebab STEMI).

Jika diagnosis STEMI sudah ditegakan oleh tenaga kesehatan sebelum


tiba di Faskes dan pasien perlu melakukan IKP primer, maka pasien dapat
langsung dibawa ke laboratorium kateter, tanpa harus melewati IGD
(Instalasi Gawat Darurat) hal ini dilakukan agar menghemat waktu
pelayanan terapi STEMI sekitar 20 menit dari KMP ke wire crossing.
Setelah itu, pasien langsung diantarkan ke Cathab di IGD sehingga
mempersingkat waktu KMP ke wire crossing sekitar 20 menit.

Selama prosedur pelayan terapi STEMI dilakukan. Pengukuran


performa pelayanan klinis STEMI di Faskes PCI atau Faskes non-PCI
menggunakan ‘door-in to door-out time’, yaitu durasi antara kedatangan
pasien di RS sampai pasien masuk ke ambulans untuk dibawa ke pusat
PCI, dengan waktu yang di rekomendasikan ≤30 menit.8

Tabel 4.4: Ringkasam Rekomendasi Waktu Optimal Pada Penanganan STEMI

Interval Target Waktu


• Rekomendasi waktu optimal dari KPM sampai ≤ 10 menit
pemeriksaan EKG dan diagnosis
• Rekomendasi waktu optimal dari diagnosis STEMI ≤ 110 menit
sampai wire crossing
• startegi PCI primer (jika waktu target tidak tercapai, 120 menit
pertimbangkan tindakan fibrinolitik)
• rekomendasi wakti dari KMS sampai wire crossing ≤ 80 menit

• rekomendasi waktu optimal dari diagnosis STEMI ≤ 90 menit


sampai ke wire crossing pada pasien yang datang ke
faskes dengan PCI primer
• rekomendasi waktu optimal dari diagnosis STEMI ≤ 20 menit
sampai ke wire crossing pada pasien yang dipindahkan
• rekomendasi waktu optimal dari diagnosis STEMI
sampai bolus atau infus fibrinolitik pada pasien yang 60-90 menit
tidak dapat memenuhi target waktu PCI primer
• rekomendasi waktu optimal dari fibrinolitik sampai
evaluasi efikasinya (berhasil/gagal) 2-24 jam
• rekomendasi waktu optimal dari fibrinolitik sampai
angiografi (jika fibrinolitik berhasil)

II.4.3. Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera, baik dengan PCI atau farmakologis,


diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi segmen ST yang menetap atau terdapat LBBB (Left Bundle
Branch Block), terutama jika terdapat RBBB (Right Bundle Branch Block)
dengan gejala iskemia persistent harus pertimbangkan PCI primer.8

II.4.3.1. Strategi Reperfusi

Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa PCI primer) diindikasikan


jika terdapat bukti klinis maupun EKG yang menunjukan adanya
kecenderungann adanya iskemik, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12
jam yang lalu atau jika nyeri khas gejala MI dan terdapat perubahan EKG
tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, permasalahan yang
dilihat pertama kali adalah menentukan ada tidaknya/terjangkaunya akses
menuju rumah sakit yang memiliki fasilitas PCI, jika tidak ada maka terapi
fibrinolitik bisa menjadi pilihan.

Bila ada, pastikan terlebih dahulu apakah waktu tempuh dari tempat
kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
PCI apakah bisa dijangkau selama ≤ 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih
dari 2 jam, maka terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolitik. Selain itu
pada saat melakukan terapi fibrinolitik (jika diperkirakan pemberian PCI tidak
bisa didapat ≤ 2 jam) sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit setelah di
diagnosis STEMI.

Gambar 4.5: Waktu Target Maksimum Sesuai Dengan Pemilihan Strategi Reperfusi Pada
Pasien

Untuk mempersingkat waktu iskemia, terapi fibrinolitik dapat


dipertimbangkan sebelum pasien tiba di sebelum pasien tiba di rumah sakit.
Setelah pemberian fibrinolitik, pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
PCI. Jika terapi fibrinolitik gagal (resolusi segmen ST <50% dalam waktu 60-
90 menit setelah pemberian fibrinolitik), atau terjadi ketidakstabilan
hemodinamik/elektrolit, perbutukan iskemia, atau nyeri dada persisten, yang
merupakan keadaan dengan indikasi untuk dilakukan PCI rescue. Angiografi
koroner yang dilakukan secara rutin direkomendasikan setelah fibrinolitik
berhasil, jika presentasi klinis pasien masih menunjukan gejala IMA dan pada
pemeriksaan EKG yang tidak dapat diinterpretasikan (seperti pada blok bundle
branch atau ventricular pacing), maka pasien tersebut harus menjalani PCI
primer.8 PCI primer harus dikerjakan pada pasien dengan gejala yang
berlangsung >12 jam disertai:

1. EKG yang menunjukan Iskemia sedang berlangsung


2. Nyeri sedang berlangsung/rekuren dan perubahan EKG yang dinamis
3. Nyeri sedang berlangsung/rekuren ,gejala dan tanda gagal jantung,
syok, atau aritmia maligna8

II.4.3.2. PCI (Percutaneus Coronaria Intervention)

PCI primer adalah terapi reperfusi pilihan jika dilakukan oleh tenaga
medis yang berpengalaman selama 120 menit dari KMP. PCI primer di
indikasikan pada pasien gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila pemberian PCI akan tertunda lama (tertunda selama ≥ 2 jam
setelah timbul gejala) dan bila pasien dating dengan awitan gejaa yang telah
lama. PCI primer merupakan tindakan emergensi pada arteri yang infark
(Infark-Related Artery) dengan balloon, stent, atau alat lainya, tanpa terapi
fibrinolitik sebelumnya.

Terapi PCI primer tidak disarankan untuk dilakukan secara rutin pada
arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada
pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan
fibrinolitik. Bila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi
antiplatelet ganda/DAPT (Dual Anti Platelet Therapy) dan pasien bisa patuh
terhadap pengobatan. Maka, disarankan untuk dilakukan terapu DES (Drug-
Eluting Stents) dibandingkan dengan BMS (Bare Metal Stents)8

Tabel 4.6: Rekomendasi PCI primer


Tabel 4.7: Rekomendasi Syok Kardiogenik

II.4.3.2.1. Farmokoterapi Prosedural

Pasien yang akan melakukan PCI primer sebaiknya mendapatkan


terapi anti platelet ganda/DAPT berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP
secepat mungkin sebelum angiografi (kelas I-C). aspirin dapat dikonsumsi
secara oral (160-320 mg). pilihan reseptor ADP yang dapat digunakan antara
lain(8):

1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg 2


kali seminggu) (Kelas I-C).
2. Atau clopidogrel (disarankan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading
600mg diikuti 75 mg per hari), bila ticagrelol tidak tersedia atau
dikontraindikasikan. (kelas I-C)

Antikoagulan intravena harus digunakan pada PCI primer, pilihanya


antara lain;
1. Heparin yang tidak terfraksi/UFH (Unfractioned Heparin), dengan
atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa, harus digunakan pada
pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoxaparin (kelas I-
C)
2. Enoxaparin i.v (dengan atau penghambat reseptor GO IIb/IIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (kelas II-A)
3. Fondaparinux tidak disarankan untuk PCI primer (kelas III-B)
4. Tidak disarankan menggunakan Fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk PCI primer (kelas III-A)

Tabel 4.8: terapi antitrombotik periprosedural dan pasca-prosedural pada yang


menjalani PCI primer

Tabel 4.9: terapi antikoagulan periprosedural dan pasca-prosedural pada yang


menjalani PCI primer
Tabel 4.10: Dosis Ko-Terapi Antiplatelet Dan Antikoagulan Pada Pasien Yang Menjalani
PCI Primer Atau Belum Menjalani Reperfusi

Tabel 4.11: Dosis Ko-Terapi Antiplatelet Dan Antikoagulan Pada Pasien Yang
Menjalani PCI Primer Atau Belum Menjalani Reperfusi
II.4.3.4. Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik dianjurkan untuk diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila PCI primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalamn dalam kurun waktu 2 jam sejak
KMP. Pada pasien-pasien yang dating segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, terapi fibrinolitik perlu
dipertimbangkan bila waktu antara KMP dengan inflasi balon lebih dari 90
menit (kelas IIa-B).
Agen speifik terhadap fibrin (tenecteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Maka, perlu diberikan aspirin oral, clopidogrel diindikasikan
diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Anti koagulan direkomendasikan
pada pasien-pasien STEMI yang diobatidengan fibrinolitik sampai
revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5
hari (kelas 1-A).(8) Antikoagulan dapat berupa:
1. Enoxaparin subkutan (lebih disarankan heparin tidak terfraksi) (kelas
I-A)
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat
badan dan infus selam 3 hari (kelas I-C)
3. Pada pasien-pasien yang mendapatkan streptokinase, fondaparinux i.v
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian
(kelas IIa-B)
Tabel 4.12: Rekomendasi Terapi Fibrinolitik
*clopidogrel adalah penghambat P2Y12 yang dianjurkan untuk pasien yang
menjalani terapi fibrinolitik, namun jika pasien menjalani PCI setelah fibrinolitik
maka dapat dipertimbangkan menggantinya dengan ticagleror
Tabel 4.12: Dosis Fibrinolitik dan Koterapi Anti Trombotik
Gambar 4.13: Langkah-Langkah Pemberian Fibrinolitik STEMI

Tabel 4.14: Kontraindikasi Terapi Fibrinolitik


Absolut Relative
• Stroke hemoragik atau stroke yang • TIA (Trancient Ischemic Attack) dalam
penyebabnya belum diketahui dengan 6 bulan terakhir
awitan kapanpun • Pemamakain antikoagulan oral
• Stroke hemoragik 6 bulan terakhir • Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
• Kerusakan system saraf sentral dan partum tempat tusukan yang tidak dapat
neoplasma dikompresi
• Trauma operasi/trauma kepala yang • Resusitasi traumatic
berat dalam 3 minggu terakhir • Hipertensi refrakter (tekanan darah
• Penyakit perdarahan sistolik >180 mmHg)
• Disesksi aorta • Penyakit hati lanjut
• Infeksi endocarditis
• Ulkus peptikum yang aktif

Tabel 4.15: Regimen Fibrinolitik Untuk IMA


Dosis Awal Koterapi antitrombin
Streptokinase 1,5 juta U dalam 100mL dekstrose Heparin i.v. selama 24-48 jam
(Sk) 5% atau larutan salin 0,9% dalam
waktu 30-60 menit
Alteplase Bolus 15 mg intravena 0,75 mg/kg Heparin i.v. selama 24-48 jam
(tPA) selama 30 menit, kemudian 0,5
mg/kg selama 60 menit.
Dosis total tidak lebih dari 100 mg
Tenecteplase* Dosis tunggal bolus intravena Heparin i.v.selama 24-48 jam
sesuai dengan berat badan,
diberikan selama 5 detik:
• <60 kg: 30 mg
• 60-70kg: 35 mg
• 70-80 kg: 40 mg
• 80-90 kg: 45 mg
• >90 kg: 50 mg
*separuh dosis tenecteplase direkomendasikan pada pasien usia ≥75 tahun

II.4.3.3 Koterapi Antikoagulan

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolitik sebaiknya mendapatkan


terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (kelas II-C) dan lebih baik selama
rawat inap, sampai maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non-UFH
(Unfractioned Heparin) bila lama terapi > 48 jam karena pada terapi UFH
berkepanjangan dapat meningkatkan risiko trombositopeia yang diinduksikan
oleh heparin (kelas I-A)
2. Kepada pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan
terapi koagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, sampai maksimum 8
hari pemberian (kelas IIa-B)
3. Strategi lain yang digunakan adalah LMWH (Low Molecular Weight Heparin)
(kelas IIa-C) atau fondaparinux (kelas IIa-B) dengam regimen dosis sama
dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolitik
4. Pasien yang menjalani PCI primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut
ini merupakan rekomendasi dosis:
a. Bila telah diberikan UFH, berikan Bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan
untuk mendukung prosedur, dengan mempertimbangkan GP IIb/IIIa telah
diberikan (kelas II-C)
b. Bila telah diberikan enoxaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8
jam, tak perlu dosis tambahan; bila dosis subkutan terakhir antara 8-12
jam, maka ditambahkan enoxaparin i.v. 0,3 mg/kg (kelas II-B)
c. Bila telah diberikan fondaparinux, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktifitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/IIIa
(kelas II-C)
5. Karena adanya risiko thrombus kateter, fondaparinux tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan anti koagulan lain dengan aktifitas anti IIa (kelas III-C)8

Tabel 4.16: Rekomendasi Antikoagulan

kelas Level
Pemakaian rutin UFH direkomendasikan I C
Peamakaian rutin enoxaparin I.v. harus IIa A
dipertimbangkan

II.4.3.4. Terapi Pada pasien Disfungsi Ginjal

Disfungsi ginjal [perkiraan laju filtrasi glomerulus ((eGFR)<30mL/


menit/1,73m2) terjadi pada sekitar 30-40% pasien dengan ACS dan dikaitkan
dengan prognosis yang lebih buruk dan peningkatan risiko komplikasi di
rumah sakit. Pasien ACS dengan penyakit ginjal kronis (CKD) sering
menerima dosis berlebih dengan antitrombotik, yang berkontribusi pada
peningkatan risiko perdarahan. Akibatnya, pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal , beberapa agen antitrombotik harus ditahan atau dosisnya
dikurangi dengan tepat. Memastikan hidrasi yang tepat selama dan setelah PCI
primer dan membatasi dosis agen kontras obat. Hal ini merupakan langkah
penting dalam meminimalkan risiko nefropati.

Untuk pasien STEMI dengan disfungsi ginjal dengan klirens eGFR


≥30 sampai <60mL/menit, penyesuaian dosis aspirin, clopidogler, ticaglerol,
fondaparinux, dan heparin yang tidak terfraksi(dosis bolus) tidak diperlukan.
Dosis enoxaparin bolus tidak memerlukan penyesuaian, tetapi setelah
trombolisis dengan klirens eGFR 15 sampai ≤30mL/menit hanya diberikan
dosis subkutan setiap 24 jam. Dosis infus bivalirudin pada pasien dengan
insufisiensi ginjal moderat (eGFR 30-59 mL/menit), dosis infus inisial
diturunkan menjadi 1,2 mg/kg/jam sedangkan dosis bolus tidak berubah.
Bivalirudin dikontraindikasikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal berat
(GFR < 30mL/ menit) dan pada pasien dialysis.16

Tabel 4.17: Dosis Rekomendasi Agen Antithrombotic Pada Pasien STEMI Dengan
Disfungsi Ginjal
II.4.3.5. Terapi Yang Menggunakan Antinkoagulan Rutin

Antikoagulan oral merupakan kontraindikasi relatif untuk fibrinolitik,


ketika pasien yang menggunakan Antikoagulan oral mengalami STEMI,
sebaiknya pasien tersebut direncanakan untuk menjalani PCI primer.
Penambahan DAPT ke antikoagulasi oral meningkatkan risiko komplikasi
perdarahan dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan antikoagulasi
tunggal.16

II.4.3.5.1. Penatalaksanaan Selama STEMI

Ketika pasien ini dating dengan STEMI, mereka harus diprioritaskan


untuk strategi PCI primer terlepas dari waktu yang diantisipasi untuk reperfusi
yang dimediasi PCI. Pasien harus menerima antikoagulasi parenteral tambahan,
terlepas dari waktu pemberian antikoagulan oral terakhir.

Maka pasien perlu mendapatkan antikoagulan parenteral tambahan,


meskipun pasien telah diberikan obat antikoagulan oral. Aspirin dosis loading
tetap diberikan pada pasien STEMI, penggunaan obat golongan GP IIP/IIIa
tidak direkomendasikan. Maka, clopidogrel merupakan inhibitor P2Y12 terpilih
(dosis loading 600 mg) sebelum atau saat dilakukan PCI. Idealnya, dianjurkan
diberikan PPI (Proton Pump Inhibitor) untuk perlindungan pada lambung.16

II.4.3.5.2. Penatalaksanaan Setelah STEMI

Secara umum, kelanjutan antikoagulasi oral pada pasien dengan indikasi


DAPT (misalnya setelah STEMI) harus dievaluasi dengan hati-hati dan
dilanjutkan hanya jika ada bukti yang kuat. Risiko iskemik dan perdarahan harus
dipertimbangkan. Untuk kebanyakan pasien, Triple Therapy (dalam bentuk
antikoagulasi oral, aspirin, dan clopidogrel) harus dipertimbangkan selama 6
bulan. Kemudian, kemudian DAPT berupa (aspirin atau clopidogrel) sebaiknya
dialnjutkan 6 bulan berikutnya. Setelah 1 tahun, diindikasikan untuk
mempertahankan hanya antikoagulasi oral saja.

Dalam kasus dengan risiko perdarahan yang sangat tinggi, terapi Triple
Therapy dapat dikurangi menjadi 1 bulan setelah STEMI, dilanjutkan dengan
terapi ganda (antikoagulasi oral ditambah aspirin atau clopidogrel) hingga 1
tahun, dan selanjutnya hanya antikoagulasi saja.16

II.4.4. Terapi Jangka Panjang

Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi
pasien yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular
berulang dan kematian premature, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka Panjang iniperan
dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari
saat pasien ditanamkan saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan
mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum dipulangkan.(8)

Terapi jangka Panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari


STEMI adalah;

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama


merokok, dengan ketat. (kelas I-B)
2. Terapi antiplatetlet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg)
diindikasikan tanpa henti (kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan
hingga 12 bulan setelah STEMI (kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan beta-inhibitor diindikasikan untuk pasien-
pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (kelas I-A)
5. Statin intensitas tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah
pasien masuk rumah sakit bila tidak ada kontraindikasi atau riwayat
intoleransi (kelas I-A). target LDL yang direkomendasikan adalah ≤ 70
mg/dL, meskipun telah diberikan dosis statin yang dapat ditoleransi,
tetapi tetap beresiko tinggi untuk kejadian kardiovaskuler. Maka, harus
dipertimbangkan terapi lanjutan untuk menurunkan LDL (kelas IIa-A).
6. Terapi antagonis reseptor mineralokortikoid (MRA) direkomendasikan
pada pasien dengan disfungsi LV (LVEF <_40%) dan gagal jantung
setelah STEMI. Eplerenone, reseptor antagonis aldosteron selektif,
telah terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien ini (I-
B)
BAB III

KESIMPULAN

STEMI merupakan bagian dari ACS (Acute Coronaria Syndrome) yaitu


terjadi oklusi total pada arteri koronaria yang memasok darah ke jantung, dan
mengakibatkan nekrosis pada jaringan otot jantung.
Maka dari itu, diagnosis kerja infark miokard harus dibuat 10 menit
setelah KMP untuk strategi terapi reperfusi (terapi fibrinolitik ataupun PCI
(Percutaneus Coronary Interventions)) terbaik untuk yang sesuai dengan
kondisi/keadaan pasien dan tenaga kesehatan. Setelah strategi reperfusi telah
ditentukan, hendaknya tenaga medis langsung melakukan tindakan reperfusi
secepatnya agar meminimalisir kejadian mortalitas yang tidak diharapkan.
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang
telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular berulang dan
kematian, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis
pasien
DAFTAR PUSTAKA

1. Elsayed Azab A. Acute Myocardial Infarction Risk Factors and Correlation of its
Markers with Serum Lipids. Journal of Applied Biotechnology & Bioengineering.
2017;3(4).

2. Kingma JG. Myocardial Infarction: An Overview of STEMI and NSTEMI


hysiopathology and Treatment. World Journal of Cardiovascular Diseases.
2018;08(11):498–517.

3. World Health Organization. Cardiovascular diseases (CVDs).

4. Mboi N, Murty Surbakti I, Trihandini I, Elyazar I, Houston Smith K, Bahjuri Ali P, et


al. On the road to universal health care in Indonesia, 1990–2016: a systematic analysis
for the Global Burden of Disease Study 2016. Lancet [Internet]. 018;392(10147):581–
91.

5. Sunjaya AP, Sunjaya AF, Priyana A. Insights and challenges of indonesia’s acute
coronary syndrome telecardiology network: Three year experience from a single center
and in west Jakarta, Indonesia. IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering. 2019;508(1).

6. Zahn R, Schweppe F, Zeymer U, Schiele R, Gitt AK, Mark B, et al. Reperfusion


therapy for acute ST-elevation and non ST-elevation myocardial infarction: What can
be achieved in daily clinical practice in unselected patients at an interventional center?
Acute Card Care. 2009;11(2):92–8.

7. Masoudi FA, Ponirakis A, de Lemos JA, Jollis JG, Kremers M, Messenger JC, et al.
Trends in U.S. Cardiovascular Care: 2016 Report From 4 ACC National
Cardiovascular Data Registries. Journal of the American College of Cardiology
[Internet]. 2017;69(11):1427–50.

8. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2018. p. 76.

9. Burke LA, Devon HA, Hill C, Carolina N, Sciences BH. Coronary Syndrome in the
Emergency Department. 2018;41(5):459–68.

10. Akbar H, Foth C, Ahmad R, Kahloon, Mountfort S. Acute ST Elevation Myocardial


Infarction. Statpearls Publication. 2020;

11. Smit M, Coetzee AR, Lochner A. The Pathophysiology of Myocardial Ischemia and
Perioperative Myocardial Infarction. Journal of Cardiothoracic and Vascular
Anesthesia [Internet]. 2020;34(9):2501–12.

12. Sampson M. Understanding the ECG. Part 8: myocardial ischaemia and infarction
(part A). British Journal of Cardiac Nursing. 2016;11(6):290–8.

13. Nabel EG, Braunwald E. A Tale of Coronary Artery Disease and Myocardial
Infarction. New England Journal of Medicine. 2012;366(1):54–63.

14. Hunt S, Baker D, Chin M, Cinquegrani M, Feldman A, Francis G, et al. ACC / AHA
PRACTICE GUIDELINES — FULL TEXT ACC / AHA Guidelines for the
Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in the Adult A Report of the
American College of Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines ( Committe. Circulation [Internet]. 2004;104(24):2996–3007.

15. Sungkar MA. Sindroma Koroner Akut dengan elevasi segmen ST. Jurnal Rumah Sakit
Roesmani. 2012;

16. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H, et al. 2017
ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. 2018;39(2):119–77.

Anda mungkin juga menyukai