Oleh :
TA 2021
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas yang
berjudul “Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan dalam Keperawatan Kritis Penyakit
Jantung Koroner (PJK)”.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen Mata Kuliah Keperawatan Kritis
yang telah membimbing kami dalam bagaimana cara penyusunan makalah ini.
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai salah satu tugas mata kuliah
keperawatan jiwa dan kami telah semaksimal mungkin dalam mengerjakan tugas ini.
Namun kami masih merasa banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi kami
guna meningkatkan kinerja untuk kedepannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca umumnya.
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.4 PATOFISIOLOGI
Menurut LeMone, Priscilla, dkk tahun (2019) penyakit jantung
koroner biasanya disebabkan oleh faktor resiko yang tidak bisa dirubah
(umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga) dan faktor resiko yang
bisadirubah (hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, merokok, obesitas,
stress, dan kurang aktifitas fisik). Paling utama penyebab penyakit
jantung koroner adalah aterosklerosis. Aterosklerosis disebabkan oleh
factor pemicu yang tidak diketahui yang dapat menyebabkan jaringan
fibrosa dan lipoprotein menumpuk di dinding arteri. Pada aliran darahlemak
diangkut dengan menempel pada protein yang disebut apoprotein.Keadaan
hiperlipedemia dapat merusak endotelium arteri. Mekanisme potensial lain
cedera pembuluh darah mencakup kelebihan tekanan darah dalam sistem
arteri. Kerusakan endotel itu sendiri dapat meningkatkan pelekatan dan
agregasi trombosit serta menarik leukosit ke area tersebut.
Hal ini mengakibatkan Low Densitiy Lipoprotein (LDL) atau
biasanya disebut dengan lemak jahat yang ada dalam darah. Semakin banyak
LDL yang menumpuk maka akan mengalami proses oksidasi.
Plak dapat mengurangi ukuran lumen yang terdapat pada arteri yang
terangsang dan menggangu aliran darah. Plak juga dapat menyebabkan
ulkus penyebab terbentuknya trombus, trombus akan terbentuk pada
permukaan plak, dan penimbunan lipid terus menerus yang dapat
menyumbat pembuluh darah.
Lesi yang kaya lipid biasanya tidak stabil dan cenderung robek serta
terbuka. Apabila fibrosa pembungkus plak pecah (ruptur plak), maka akan
menyebabkan debris lipid terhanyut dalam aliran darah dan dapat
menyumbat arteri serta kapiler di sebelah distal plak yang pecah. Akibatnya
otot jantung pada daerah tersebut mengalami gangguan aliran darah dan bisa
menimbulkan aliran oksigen ke otot jantung berkurang. Peristiwa tersebut
mengakibatkan sel miokardium menjadi iskemik sehingga hipoksia.
Mengakibatkan proses pada miokardium berpindah ke metabolisme anaerobik
yang menghasilkan asam laktat sehingga merangsang ujung saraf otot yang
menyebabkan nyeri.
Jaringan menjadi iskemik dan akhirnya mati (infark) disebabkan
karena suplai darah ke area miokardium terganggu. Ketika selmiokardium
mati, sel hancur dan melepaskan beberapa iso enzim jantung ke dalam
sirkulasi. Kenaikan kadar kreatinin kinase (creatinine kinase), serum dan
troponin spesifik jantung adalah indikator infark mioardium.
3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Usia ≥ 40 tahun beresiko terkena penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
2. Keluhan Utama
Keluhan yang paling sering dijadikan alasan pasien merasa nyeri pada dada, jantung
berdebar-debar bahkan sampai sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Dikaji dimulai dari keluhan yang dirasakan pasien, sebelum masuk rumah sakit,
ketika mendapatkanperawatan di rumah sakit sampai dilakukannya pengkajian.
Padapasien penyakit jantung koroner biasanya didapatkan adanya keluhanseperti
nyeri pada dada.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien tentang penyakit apa saja
yang pernah di derita seperti nyeri dada, hipertensi,DM dan hiperlipidemia dan sudah
berapa lama menderita penyakityang dideritanya,tanyakan apakah pernah masuk
rumah sakitsebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Untuk mengetahui riwayat penyakit keluarga tanyakan pada pasienmengenai riwayat
penyakit yang dialami keluarganya. Sepertipenyakit keturunan (diabetes melitus,
hipertensi, asma, jantung ) danpenyakit menular (TBC, hepatitis).
6. Riwayat Psikososial
Pada pasien penyakit jantung koroner didapatkan perubahan ego yaitu pasrah dengan
keadaan, merasa tidak berdaya, takut akan perubahan gaya hidup dan fungsi peran,
ketakutan akan kematian, menjalani operasi, dan komplikasi yang timbul. Kondisi ini
ditandai dengan menghindari kontak mata, insomnia, sangat kelemahan, perubahan
tekanan darah dan pola nafas, cemas, dan gelisah.
7. Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Nutrisi
Pada pasien penyakit jantung koroner mengalami nafsu makanmenurun dan porsi
makan menjadi berkurang (Nurhidayat, 2011).
b. Istirahat
Pola tidur dapat terganggu, tergantung bagaimana presepsi klien terhadap nyeri
yang dirasakannya.
c. Eliminasi
BAK : normal seperti biasanya berkemih sehari 4-6 x dengan konsisitensi cair
BAB : normal seperti biasanya sehari 1-2x dengan konsistensi padat
d. Hygiene
Upaya untuk menjaga kebersihan diri cenderung kurang.
e. Aktivitas
Aktivitas yang dilakukan sehari-hari berkurang bahkan berhentimelakukan
aktivitas yang berat.
D (Disability)
a. Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU
Respon : Alert , Verbal, Pain, Unrespon
b. Penurunan tingkat kesadaran merupakan tanda ekstrim pertama dan pasien
membutuhkan pertolongan di ruang intensive
c. Kaji kesadaran pasien (Composmentis/Delirium/Somnolen)
Skor GCS dapat diklasifikasikan :
a. Skor 14-15 : compos mentis
b. Skor 12-13 : apatis
c. Skor 11-12 : somnolent
d. Skor 8-10 : stupor
e. Skor < 5 : koma
E (Exposure)
a. Kaji adanya deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional,
atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas
yang nyata.
b. Kaji adanya contusio
Kontusio adalah jenis luka tertutup yang paling umum. Penyebab kontusio adalah
benturan benda tumpul yang merusak pembuluh darah kecil, kapiler, otot, dan
jaringan di bawahnya.
c. Kaji adanya abrasi
Abrasi adalah Kerusakan kulit dangkal yang umumnya tidak lebih dalam dari
epidermis (lapisan terluar dari kulit)
d. Kaji adanya penetrasi
1) Luka akibat terkena tembakan
2) Luka akibat tikaman benda tajam
3) Luka akibat tertusuk
Tanda :
h) Aktivitas
Gejala :
1. Kelemahan
2. Kelelahan
3. Tidak dapat tidur
4. Pola hidup menetap
5. Jadwal olah raga tidak teratur
Tanda :
1. Takikardi
2. Dispnea pada istirahat atau aaktifitas
i) Riwayat atau adanya faktor-faktor risiko :
1. Penyakit pembuluh darah arteri
2. Serangan jantung sebelumnya
3. Riwayat keluarga atas penyakit jantung/serangan jantung positif
4. Kolesterol serum tinggi (diatas 200 mg/l)
5. Perokok
6. Diet tinggi garam dan tinggi lemak
7. Kegemukan.( bb idealtb –100 ± 10 % )
8. Wanita pasca menopause karena terapi estrogen
2. Laktat dehidrogenase (LDH) mulai meningkat dalam 6 –12 jam, memuncak dalam
3 – 4 hari dan normal 6 –12 hari.
3. Troponin T.(Mutarobin, 2018)
3.7 DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan Rasa Nyaman (D.0074) b.d gejala penyakit dan efek samping terapi (mis.
medikasi, radiasi, kemoterapi).
b. Risiko Penurunan Curah Jantung (D.0011) b.d perubahan frekuensi jantung,
perubahan irama jantung dan perubahan kontraktilitas.
c. Ansietas (D.0080) b.d ancaman terhadap kematian.
d. Intoleransi Aktivitas (D.0056) b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
e. Defisit Pengetahuan (D.0111) b.d kurang terpapar informasi.
f. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005) b.d hambatan upaya napas
DO :
- Tekanan darah berubah
>20% dari kondisi istirahat
- Gambaran EKG menunjukkan
aritmia saat/setelah aktivitas
- Gambaran EKG menunjukkan
iskemia
- Sianosis
5 Gejala dan Tanda Mayor Defisit Pengetahuan Kurang terpapar
DS : (D.0111) informasi.
- Menanyakan masalah yang
dihadapi
DO :
- Menunjukkan perilaku tidak sesuai
anjuran
- Menunjukkan persepsi yang
keliru terhadap masalah
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
obat antiansietas, jika
perlu
Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN ENERGI Perawat
(D.0056) b.d keperawatan selama …x7 jam (I.05178)
ketidakseimbangan diharapkan toleransi aktivitas Observasi
antara suplai dan (L.05047) pasien meningkat dengan a. Identifikasi gangguan
kebutuhan oksigen. kriteria hasil : fungsi tubuh yang
a. Frekuensi nadi dari skala mengakibatkan kelelahan
1(menurun) ke skala 5(meningkat) b. Monitor kelelahan fisik
b. Saturasi oksigen dari skala dan emosional
1(menurun) ke skala 5(meningkat) c. Monitor pola dan jam
c. Kemudahan dalam melakukan tidur
aktivitas sehari-hari dari skala d. Monitor lokasi dan
1(menurun) ke skala 5(meningkat) ketidaknyamanan selama
d. Kecepatan berjalan dari skala melakukan aktivitas
1(menurun) ke skala 5(meningkat) Terapeutik
e. Jarak berjalan dari skala a. Sediakan lingkungan dan
1(menurun) ke skala 5(meningkat) rendah stimulus (mis.
f. Kekuatan tubuh bagian atas dari cahaya, suara, kunjungan)
skala 1(menurun) ke skala b. Lakukan latihan rentang
5(meningkat) gerak pasif dan/atau aktif
g. Kekuatan tubuh bagian bawah c. Berikan aktivitas distraksi
dari skala 1(menurun) ke skala yang menenangkan
5(meningkat) d. Fasilitasi duduk di sisi
h. Toleransi dalam menaiki tangga tempat tidur, jika tidak
dari skala 1(menurun) ke skala dapat berpindah atau
5(meningkat) berjalan
i. Keluhan lelah dari skala Edukasi
1(meningkat) ke skala 5(menurun) a. Anjurkan tirah baring
j. Dispnea saat aktivitas dari skala b. Anjurkan melakukan
1(meningkat) ke skala 5(menurun) aktivitas secara bertahap
k. Dispnea setelah aktivitas dari c. Anjurkan menghubungi
skala 1(meningkat) ke skala perawat jika tanda dan
5(menurun) gejala kelelahan tidak
l. Perasaan lemah dari skala berkurang
1(meningkat) ke skala 5(menurun) d. Ajarkan strategi koping
m. Aritmia saat aktivitas dari skala untuk mengurangi
1(meningkat) ke skala 5(menurun) kelelahan
n. Aritmia setelah aktivitas dari Kolaborasi
skala 1(meningkat) ke skala a. Kolaborasi dengan ahli
5(menurun) gizi tentang cara
o. Sianosis dari skala 1(meningkat) meningkatkan asupan
ke skala 5(menurun) makanan
p. Warna kulit dari skala
1(memburuk) ke skala
5(membaik)
q. Tekanan darah dari skala
1(memburuk) ke skala
5(membaik)
r. Frekuensi napas dari skala
1(memburuk) ke skala
5(membaik)
s. EKG iskemia dari skala
1(memburuk) ke skala
5(membaik)
Defisit Pengetahuan Setelah dilakukan tindakan EDUKASI KESEHATAN Perawat
(D.0111) b.d kurang keperawatan selama …x7 jam (I.12383)
terpapar informasi. diharapkan tingkat pengetahuan Observasi
(L.12111) pasien meningkat dengan a. Identifikasi kesiapan dan
kriteria hasil : kemampuan menerima
a. Perilaku sesuai anjuran dari skala informasi
1(menurun) ke skala 5(meningkat) b. Identifikasi faktor-faktor
b. Verbalisasi minat dalam belajar yang dapat meningkatkan
dari skala 1(menurun) ke skala dan menurunkan motivasi
5(meningkat) perilaku hidup bersih dan
c. Kemampuan menjelaskan tentang sehat
suatu topik dari skala 1(menurun) Terapeutik
ke skala 5(meningkat) a. Sediakan materi dan
d. Kemampuan menggambarkan media pendidikan
pengalaman sebelumnya yang kesehatan
sesuai dengan topik dari skala b. Jadwalkan pendidikan
1(menurun) ke skala 5(meningkat) kesehatan sesuai
e. Perilaku sesuai dengan kesepakatan
pengetahuan dari skala c. Berikan kesempatan untuk
1(menurun) ke skala 5(meningkat) bertanya
f. Pertanyaan tentang masalah yang Edukasi
dihadapi dari skala 1(meningkat) a. Jelaskan faktor risiko
ke skala 5(menurun) yang dapat
g. Persepsi yang keliru terhadap memperngaruhi kesehatan
masalah dari skala 1(meningkat) b. Ajarkan perilaku hidup
ke skala 5(menurun) bersih dan sehat
h. Menjalani pemeriksaan yang tidak c. Ajarkan strategi yang
tepat dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat
Pola Napas Tidak Setelah dilakukan intervensi MANAJEMEN JALAN NAPAS Perawat
Efektif (D.0005) b.d keperawatan selama ....x 7 jam, maka I.01011
pola napas (L.01004) membaik Observasi
dengan kriteria hasil : a. Monitor pola napas
1. Ventilasi semenit dari skala (frekuensi, kedalaman,
1(menurun) ke skala 5 usaha napas).
(meningkat) b. Monitor bunyi napas
2. Kapasitas vital dari skala tambahan (mis. Gurgling,
1(menurun) ke skala 5 mengi, wheezing, ronkhi
(meningkat) kering)
3. Diameter thoraks anterior - c. Monitor sputum (jumlah,
posterior dari skala warna, aroma)
1(menurun) ke skala 5 Terapeutik
(meningkat) a. Pertahankan kepatenan
4. Tekanan ekspirasi dari skala jalan napas dengan head-
1(menurun) ke skala tlit dan chin-lift (jaw
5(meningkat) thrust jika curiga trauma
5. Tekanan inspirasi dari skala servikal)
1(menurun) ke skala b. Posisikan semi-fowler dan
5(meningkat) fowler
6. Dispnea dari skala c. Berikan minum hangat
1(meningkat) ke skala d. Lakukan fisioterapi dada,
5(menurun) jika perlu
7. Penggunaan otot bantu napas e. Berikan oksigen, jika
dari skala 1(meningkat) ke perlu
skala 5(menurun) Edukasi
8. Pemanjangan fase ekspirasi a. Anjurkan asupan cairan
dari skala 1(meningkat) ke 2000 ml/hari, jika tidak
skala 5(menurun) kontraindikasi
9. Ortopnea dari skala b. Ajarkan teknik batuk
1(meningkat) ke skala efektif
5(menurun) Kolaborasi
10. Pernapasan pursed – lip dari a. Kolaborasi pemberian
skala 1(meningkat) ke skala bronkodilator,
5(menurun) ekspektoran, mukolitik,
11. Pernapasan cuping hidung dari jika perlu
skala 1(meningkat) ke skala
5(menurun)
12. Frekuensi napas dari skala
1(memburuk) ke skala
5(membaik)
13. Kedalaman napas dari skala
1(memburuk) ke skala
5(membaik)
14. Ekskursi dada dari skala
1(memburuk) ke skala 5
(membaik)
DAFTAR PUSTAKAXGhani, L., Mihardja, L. K., & Delima, D. (2016). Faktor Resiko
Dominan Penderita Strocke di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 44(1), 49-
58.https://doi.org/10.22435.bpk.v44i1.4949.49-58
LeMone, Priscilla dkk. 2019. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Respirasi.
Jakarta:EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Lampiran 1.
1 Berorientasi baik 5
Menanyakan dimana ia berada, tahu waktu, hari,
bulan
2 Bingung (confused) 4
Menanyakan dimana ia berada, kapan opname di
Rumah sakit (dapat mengucapkan kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat)
3 Tidak tepat 3
Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak
berupa kalimat dan tidak tepat
4 Mengerang 2
Mengeluarkan suara yang tidak punya arti, tidak
mengucapkan kata, hanya suara mengerang
5 Tidak ada jawaban (suara tidak ada) 1
C. MOTORIK RESPONSE 1 2 3
1 Menurut perintah 6
Misalnya menyuruh klien mengangkat tangan.
2 Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsang nyeri dengan menekan jari
pada supra orbita. Bila klien mengangkat tangan
sampai melewati dagu untuk menepis rangsang
nyeri tersebut berarti dapat mengetahui lokasi
nyeri
3 Reaksi menghindar 4
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak.
4 Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Berikan rangsang nyeri misal menekan dengan
objek seperti ballpoint pada jari kuku. Bila
terdapat reaksi fleksi berarti ingin menjauhi
rangsang nyeri.
5 Extensi spontan (decerebrasi) 2
Memberikan rangsang nyeri yang cukup adekuat
Terjadi ekstensi pada siku.
6 Tidak ada gerakan/reaksi 1
Rangsang yang diberikan harus cukup adekuat
PENERAPAN REHABILITASI JANTUNG FASE 1 PADA PASIEN SINDROMA
KORONER AKUT (SKA) DI RUMAH SAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Ridho Kunto Prabowo, Fakrul Ardiansyah, Budi Santoso, Ika Ainur Rofi’ah, Elly
Email:ridhokuntoprabowo@yahoo.co.id
ABSTRAK
Rehabilitasi jantung merupakan semua tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan fungsi
fisik, mental, dan lingkungan sosial secara optimal untuk mengembalikan
kapasitasfungsional pada pasien dengan acute coronary yang mengancam jiwa atau
pasien pascatindakan invasif. Rehabilitasi jantung fase I merupakan inisiasi segera
untuk melakukanrehabilitasi jantung pada fase akut. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi penerapanrehabilitasi jantung fase 1 pada pasien SKA. Penelitian
menggunakan desain kuantitatifdengan pendekatan deskriptif. Sampel berjumlah 12
responden dengan menggunakan teknikpurposive sampling. Hasil penelitian penerapan
rehabilitasi jantung fase 1 level 1 sampai level3 hari ke 5 pada pasien SKA didapatkan data
Chest Pain, Dispnea dan Gambaran EKG yangnilainya konstan atau sama pada semua
responden baik pada awal, latihan maupun akhir.Dapat disimpulkan bahwa pada saat
dilakukan rehabilitasi jantung fase 1 level 1 sampai level3 hari ke 5 tidak ada perubahan
Chest Pain, Dispnea dan Gambaran EKG pada pasien SKA.Sedangkan perbedaan nilai heart
rate dan tekanan darah secara uji statistik menunjukkansignifikan, namun secara klinis
tidak bermakna. Sebagai saran rehabilitasi jantung fase 1merupakan tindakan yang aman
dan dapat dilakukan secara mandiri oleh perawat oleh karena itu harus diterapkan pada pasien
SKA.
ABSTRACT
Cardiac rehabilitation is all actions taken to optimally improve physical, mental and social
functioning to restore functional capacity in patients with life-threatening acutecoronary
or post-invasive patients. Phase I cardiac rehabilitation is an immediate initiationto carry out
cardiac rehabilitation in the acute phase. This study aims to identify theapplication of
phase 1 cardiac rehabilitation in ACS patients. Research using quantitativedesign with
descriptive approach. The research sample consisted of 12 respondents usingpurposive
sampling technique. The results of phase 1 to level 1 to 3 day 5 cardiacrehabilitation
studies in patients with ACS obtained Chest Pain, Dyspnea and ECG imageswhose values
were constant or the same for all respondents both at the beginning, exerciseand end. It can
be concluded that during phase 1 level 1 heart rehabilitation to level 3 days 5there were no
changes in Chest Pain, Dyspnea and ECG in SKA patients. While the differencein heart rate
and blood pressure values statistically showed significant, but clinically not significant.
Suggestion phase 1 cardiac rehabilitation is a safe action and can be done
independently by nurses and therefore must be applied to ACS patients.
PENDAHULUAN
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan suatu kelainan pembuluh darah koroner
yang disebabkan adanya sumbatan atau plak akibat adanya aterosklerosis. Morfologi
aterosklerosis terdiri atas lesi-lesi fokal pada arteri-arteri otot dan jaringan elastis
berukuran sedang dan besar seperti aorta, arteri poplitea dan femoralis, arteri karotis,
dan arteri pada ginjal. Penyakit aterosklerosis yang mempengaruhi arteri koronaria
merupakan penyebab terpenting dari morbiditas dan mortalitas (Lewis,Dirksen,
Heitkemper, Bucher, & Camera,2011). Penyakit Jantung Koroner dibagi atas angina
pektoris tidak stabil, infark miokardial tanpa adanya elevasi segmen ST/NSTEMI dan
infark miokardial dengan elevasi segmen ST/STEMI (Anderson et al.., 2010)
Menurut World Health Organization (WHO) 1964 definisi rehabilitasi jantung mencakup
semua tindakan yang dilakukan untuk mencapai fisik yang optimal, mental dan
lingkungan sosial untuk pasien jantung serta mendorong pasien mendapatkan kembali
kapasitas fungsional maksimal dalam masyarakat. Jadi, rehabilitasi jantung harus
multifase dan komprehensif. Rehabilitasi harus dimulai pada gejala pertama penyakit
jantung, segera setelah fase yang mengancam jiwa pada kejadian coroner akut, atau dalam
periode awal setelah perawatan invasive.
Rehabilitasi bertujuan untuk mengatasi dampak buruk akibat PJK dan mencegah
kekambuhannya dapat diberikan mulai dari awal rawat inap sampai dengan
pemeliharaan lanjutan saat pulang dari rumah sakit. Program rehabilitasi jantung menurut
The National Hearth Foundation of Australia (2004) merupakan semua langkah yang
digunakan untuk membantu orang yang menderita penyakit jantung kembali aktif,
mencapai hidup yang otimal, dan mencegah terulangnya serangan penyakit jantung.
Rehabilitasi jantung adalah terapi yang terdiri atas latihan fisik, pendidikan kesehatan,
konseling pengurangan stress, dan membantu pasien mempercepat pemulihan kondisinya
METODE
HASIL PENELITIAN
Hasil analisis didapatkan rata-rata usia pasien adalah 57,41 tahun (95% CI : 52,13-62,69),
dengan standar deviasi 8,30 tahun.Dari hasil estimasi interval dapatdisimpulkan bahwa
95% diyakini bahwa rata-rata usia pasien antara 52,13 sampai 62,69 tahun.
Hasil distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin pasien didapatkan sebagian besar berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 66,7%. Hasil analisis berdasarkan pendidikan sebagian besar
pasien berpendidikan SLTA sebesar 41,7%. Berdasarkan diagnosa medis pasien dengan
STEMI sebesar 50% dan NSTEMI 50%. Dari 12 pasien ini merupakan serangan jantung yang
pertama. Dan berdasarkan komorbid sebagian besar dengan hipertensi sebesar 41,7%
Tabel 1.4 Menunjukkan bahwa nilai p value heart rate level 1, level 2 dan tekanan darah sistolik
level 2, level 3 adalah < 0,05, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa paling tidak
terdapat dua pengukuran yang berbeda. Untuk mengetahui pengukuran heart rate level 1,
level 2 dan tekanan darah sistolik level 2, level 3 yang berbeda harus dilanjutkan dengan
melihat pairwise comparisons.
2
Tabel 1.5 Menunjukkan
perbandingan pengukuran Awal vs Latihan, Awal vs Akhir dan Latihan vs Akhir. Nilai p
value dari setiap perbandingan adalah < 0,05 kecuali untuk heart rate awal vs latihan yang
memiliki p value 0,135. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan didapatkan
pada semua pengukuran kecuali pada heart rate awal vs latihan.
Perbandingan pengukuran Awal vs Latihan, Awal vs Akhir dan Latihan vs Akhir. Nilai p
value dari setiap perbandingan adalah < 0,05 kecuali untuk tekanan darah sistolik awal vs
akhir yang memiliki p value 0,114. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan
didapatkan pada semua pengukuran kecuali pada tekanan darah sistolik awal vs akhir.
perbandingan pengukuran Awal vs Latihan, Awal vs Akhir dan Latihan vs Akhir pada
heart rate dan tekanan darah sistolik. Nilai p value dari setiap perbandingan adalah < 0,05 kecuali
untuk tekanan darah sistolik awal vs latihan yang memiliki p value 0,065. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa perbedaan didapatkan pada semua pengukuran kecuali pada
tekanan darah sistolik awal vs latihan
PEMBAHASAN
3
Rehabilitasi jantung merupakan semua tindakan yang dilakukan untukmeningkatkan fungsi
fisik, mental, dan lingkungan sosial secara optimal untuk mengembalikan kapasitas
fungsional pada pasien dengan acute coronary yang mengancam jiwa atau pasien pasca
tindakan invasif. Rehabilitasi jantung komprehensif terdiri fase 1, 2, dan 3. Rehabilitasi
jantung fase I (early in-hospital rehabilitation) merupakan inisiasi segera untuk melakukan
rehabilitasi jantung pada fase akut (periode yang mengancam jiwa dari penyakit jantung)
yang bertujuan untuk pencegahan gejala sisa dari imobilisasi, perbaikan kapasitas latihan,
serta evaluasi dari kondisi psikologis pasien, pengurangan kecemasan, dan mental support
(Piotrowicz & Wolszakiewicz, 2008).
Berdasarkan hasil pengkajian awal yang didapatkan dari pasien dengan metode wawancara,
beberapa pasien mengatakan bahwa latihan gerak sangat penting untuk mengembalikan
fungsi jantung sepertisebelum sakit.
Responden yang didapat dalam penelitian sebanyak 12 pasien SKA dengan diagnosa medis
STEMI 6 responden (50%) dan NSTEMI 6 responden (50%) yang dilakukan intervensi
maupun tidak. Hasil analisis karakteristik responden pasien didapatkan sebagian besar jenis
kelmain responden pasien adalah laki-laki sebesar66,7%. Tingkat pendidikan pasien
sebagian besar adalah SLTA sebesar 41,7%. Komorbiditas yang dimiliki pasien sebagian
besar adalah Hipertensi sebesar 41,7%. Semua pasien (12 repsonden) mengatakan bahwa
serangan jantung yang dialami adalah onset pertama.
Pemilihan kriteria responden meliputi 1) pasien siondroma koroner akut (SKA) meliputi
STEMI, NSTEMI, UAP; 2) kesadaran composmentis; 3) pasien tidakmenggunakan alat
bantu mekanik seperti ventilator, IABP, CRRT; 4) tidak ada Chest pain (skala ≥4) dengan
penggunaan NTG≥50 mikrogram, serta lihat klinis pasien (sesak, nyeri dada meningkat); 5)
tidak mengalami Decompensated heart failure (EF<30%); 6) tekanan darah sistolik saat
istirahat <159 mmHg dan tekanan darah diastolik saat istirahat >110 mmHg; 7) tidak
mengalami severe symptomatic valvular heart disease; 8) tidak ada uncontrolled atrial or
ventricular arrhythmias: 9) tidak ada uncontrolled tachycardia (>100x/menit); 10) Tidak ada
Resting ST displacement (>2 mm); 11) tidak ada resting paroxysmal supraventricular
tachycardia; 12) tidak ada 3 rd AV Block pada pasien tanpa permanent pacemaker (PPM);
4
13) tidak ada penyakit lain yang dapat memperburuk kondisi pasien saat melakukan latihan
(diabetes tidak terkontrol, gangguan infeksi atau non infeksi paru, stroke, dan gangguan sendi).
Pada penerapan rehabilitasi jantung fase 1 terdiri dari level 1 (hari ke-1), level 2 (hari ke-2),
level 3 (hari ke-3 sampai ke-5). Dalam proses latihan, peneliti melakukan dokumentasi di
lembar flow sheet yang meliputi: chest pain, dipsnea, gambaran EKG, heart rate, dan tekanan
darah sebelum, saat, dan sesudah latihan. Dari hasil uji Repeated Measure ANOVA,
rehabilitasi jantung fase 1 level 1 sampai level 3 pada pasien SKA didapatkan data chest
pain, dispnea dan gambaran EKG yang nilainya konstan atau sama pada semua responden
baik pada awal, latihan maupun akhir sehingga tidak dapat dilakukan analisis. Dapat
disimpulkan bahwa pada saat dilakukan rehabilitasi jantung fase 1 level 1 sampai level 3
tidak ada perubahan chest pain, dispnea dan gambaran EKG pada
pasien SKA.
Hasil uji Repeated Measure ANOVA berdasarkan heart rate, tekanan darah sistolik, dan
tekanan darah diastolik menunjukkan nilai p value heart rate level 1, level 2 dan tekanan
darah sistolik level 2, level 3 adalah < 0,05, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
paling tidak terdapat dua pengukuran yang berbeda. Hasil analisis lebih lanjut dengan
menggunakan Uji Pairwise Comparisons, didapatkan nilai heart rate pada level 1 terdapat
perbedaan pada pengukuran awal vs akhir dan latihan vs akhir, sedangkan pada level 3
terdapat perbedaan pada semua pengukuran. Nilai tekanan darah sistolik pada level 2
menunjukkan perbedaan pengukuran pada awal vs latihan dan latihan vs akhir, sedangkan
pada level 3 terdapat perbedaan pengukuran pada awal vs akhir dan latihan vs akhir.
Latihan gerak yang diterapkan pada rehabilitasi jantung fase I merupakan salah satu bentuk
aktivitas aerob. Latihan aktivitas secara bertahap mampu memperbaiki fungsi endotel,
peningkatan kapasitas aerobik maksimal, dan meningkatkan aktivitas antioksidan.
Perubahan fisiologis yang berubah akibat latihan aktivitas adalah memperbaiki disfungsi
diatolik, kontraktilitas, menurunkan tekanan darah istirahat, frekuensi nadi, meningkatakn
massa otot dan kognitif (Kachur et al., 2017).
Latihan aktivitas mampu menurunkan tekanan darah dan frekuensi nadi melalui proses
modulasi angiotensinogen II akibatnya terjadi penurunan fungsi vasokonstriksi sistemik dan
5
penurunan produksi aldosteron. Efek penurunan aldosteron ini dapat menurunkan aktivitas
simpatis sehingga aktivitas parasimpatis akan meningkat. Mekanisme lain berupa aksitivasi
plasma adremodullin dan atrio/brain-natriureticpeptidase sehingga menekan noradrenalin dan
endotelin-1. Latihan aktivitas juga mampu melindungi terhadap stres oksidatif yang
mengarah rendahnya oksidatif nitrat yang memiliki efek anti hipertensi (Kachur et al., 2017).
Perbedaan nilai heart rate dan tekanan darah sistolik secara uji statistik menunjukkan
signifikan, namun secara klinis tidak bermakna. Artinya, perbedaan nilai tersebut tidak kurang
ataupun lebih dari 20% nilai awal (baseline value). Berdasarkan hasil observasi selama proses
latihan, pasien tidak menunjukkan gejala perburukan seperti munculnya chest pain yang tidak
terkontrol, dipsnea, dan aritmia yang mengancam jiwa.
KESIMPULAN
Hasil analisis karakteristik 28 responden perawat yaitu rerata usia perawat adalah 35,68
tahun dengan standar deviasi 5,48 tahun. Perawat sebagian besar berjenis kelamin perempuan
sebesar 82,1%. Tingkat pendidikan sebagian besar adalah Ners sebesar 60,7%. Rerata lama
kerja perawat di ruangan yang terkait adalah 10,21 tahun dengan standar deviasi 5,98
tahun. Level kompetensi sebagian besar adalah Advance Beginner sebesar 71,4%. Sedangkan
karakter responden pasien yaitu sebanyak 12 pasien SKA dengan diagnosa medis STEMI 6
responden (50%) dan NSTEMI 6 responden (50%) yang dilakukan intervensi maupun tidak.
Sebagian besar jenis kelamin responden pasien adalah laki-laki sebesar 66,7%. Tingkat
pendidikan pasien sebagian besar adalah SLTA sebesar 41,7%. Komorbiditas yang dimiliki
pasien sebagian besar adalah Hipertensi sebesar 41,7%. Semua pasien (12 responden)
mengatakan bahwa serangan jantung yang dialami adalahonset pertama.
Hasil penelitian rehabilitasi jantung fase 1 level 1 sampai level 3 hari ke 5 pada pasien
Sindrom Koroner Akut (SKA) didapatkan data Chest Pain, Dispnea dan Gambaran EKG
yang nilainya konstan atau sama pada semua responden baik pada awal, latihan maupun
akhir. Dapat disimpulkan bahwa pada saat dilakukan rehabilitasi jantung fase 1 level 1
sampai level 3 hari ke 3 tidak ada perubahan Chest Pain, Dispnea dan Gambaran EKG pada
pasien SKA. Sedangkan perbedaan nilai heart rate dan tekanan darah secara uji statistik
menunjukkan signifikan, namun secara klinis tidak bermakna. Artinya, perbedaan nilai
tersebut tidak kurang ataupun lebih dari 20% nilai awal (baseline value). Berdasarkan hasil
6
observasi selama proses latihan, pasien tidak menunjukkan gejala perburukan seperti munculnya
chest pain yang tidak terkontrol, dipsnea, dan aritmia yang mengancam jiwa.