Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA


Disusun Untuk Memeneuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Dosen Pengampu: Ns. Ainnur Rahmanti.,M. Kep.

Oleh:
Dani Budianto 20101440119030
Dendi Kurniawan 20101440119032
Devi Fitriani 20101440119033
Dhelvia Marcella F. 20101440119035
Difa Labela Febrianti 20101440119038

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KESDAM IV DIPONEGORO
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan begitu banyak nikmat dan hidayah kepada seluruh makhluk-Nya.
Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat meneyelesaikan penulisan
makalah tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Efusi Pleura yang
merupakah tugas mata kuliah Keperawatan Kritis pada program D-III
keperawatan semester IV di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kesdam
IV/Diponegoro Semarang. Kami sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen pengajar mata kuliah Kperawatan Kritis, Ns. Ainnur Rahmanti,
M.Kep., yang senantiasa membimbing serta membantu dalam proses penyusunan
maalah ini. Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesaahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur
penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif
untuk perbaikan dikemudian hari. Demikian semoga makalah ini memberikan
manfaat, umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi kelompok kami.
Sekian, Terimakasih.

Semarang, Juli 2021

Kelompok
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Intensive care unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
mandiri dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus pula
ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi-terapi pasien yang menderita
penyakit, cidera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa. Unit
perawatan ini melibatkan bebrbagai tenaga profesional yang terdiri dari
multidisiplin ilmu dalam tim (Keputusan MENKES No:
1778/Menkes/SK/XII/2010). Sebagai contoh, kegawatan di unit operasi
kardiovasuler, pediatrik, dan unit neonatus. Keperawatan gawat darurat secara
khusus berkonsentrasi pada respon manusia pada masalah yang mengancam
hidup seperti trauma dan operasi mayor. Pencegahan terhadap masalah
merupakan hal penting dalam praktik keperawatan gawat darurat.
Gangguan sistem pernapasan merupakan penyebab utama banyaknya
ukuran dan jumlah individu yang terkena penyakit di bagian organ
pernapasan. Salah satu penyakit gangguan sistem pernapasan pada manusia
yaitu efusi pleura. Efusi pleura adalah cairan yang berlebih di dalam
membran berlapis ganda yang mengelilingi paru-paru (Irianto, 2014).
Efusi pleura merupakan kondisi medis yang dilatarbelakangi oleh berbagai
Penyebab. Data WHO menunjukkan bahwa Efusi pleura disebabkan oleh
berbagai kelainan kardiopulmonal seperti gagal Jantung kongestif, gangguan
hati, hingga keganasan di paru-paru (Mc Gart & Anderson, 2011).
Penyebab efusi pleura yang disebabkan infeksi yaitu tuberkulosis,
pneumonitis, abses paru, perforasi esophagus, abses subfrenik. Sedangkan
untuk non infeksi disebabkan oleh karsinoma paru, karsinoma pleura,
karsinoma mediastinum, tumor ovarium, bendungan jantung, gagal jantung,
perikarditis konstriktiva, gagal hati, gagal ginjal, hipotiroidisme, kilotoraks,
emboli paru (Morton dkk, 2012).
Pasien-pasien dengan efusi pleura menunjukkan gejala klinis yang
beragam mulai dari efusi pleura tanpa gejala hingga efusi pleura masif yang
menunjukkan berbagai gejala serius yang mengganggu pernapasan. Pada
kasus efusi pleura tanpa gejala, biasanya efusi pleura terlihat dari gambaran
X-Ray thorak (Wedro, 2014).
B. Rumusan masalah
1. Apakah definisi efusi pleura?
2. Apakah manifestasi klinis efusi pleura?
3. Apakah etiologi efusi pleura?
4. Apakah patofisiologi efusi pleura?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang efusi pleura?
6. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi efusi pleura
2. Mengetahui manifestasi klinis efusi pleura
3. Mengetahui etiologi efusi pleura
4. Memahami patofisiologi efusi pleura
5. Mengathui pemeriksaan penunjang efusi pleura
6. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan efusi pleura
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak
antara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi
tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Huda,
2015). Efusi pleura adalah kondisi dimana udara atau cairan berkumpul di
rongga pleura yang dapat mneyebabkan paru kolaps sebagian atau seluruhnya
(Smelzer & Bare, 2017).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan anatar produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura
viseralis.
Efusi pleura merupakan salah satu kelainan yang menggangu sitem
pernapasan. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan
hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit. Efusi pleura
adalah suatu keasaan dimana terdapat cairan berlebihan di rongga pleura, jika
kondisi ini dibiarkan akan membahayakan jiwa penderitanya.

B. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis efusi plaura (Berta & Puspita) :
1. Batuk
2. Dispnea bervariasi
3. Keluhan nyeri dada
4. Pada efusi pleura berat adanya penonjolan interkosta
5. Pergerakkan dada berkurang dan terhambat pada bafian yang
mengalami efusi pleura.
6. Perkusi meredup diatas efusi pleura
7. Fremitus fokal ddan raba berkurang
C. Etiologi
Efusi pleura disebabkan oleh :
1. Hambatan rearbsorpsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompresi kordis, penyakit ginjal, tumor
medastinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindrima kava
superior.
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkolosis,
pneumonia, virus). Bronkiektasisi, abses amuba yang menembus ke
rongga pleura, karena tumor yang menyebabkan masuknya cairan
berdarah dan trauma. Di Indonesia 80 % diakibatkan oleh
tuberkolosis.
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi
transudat, eksudat, dan hemoragi.
1. Transudat, dapat disebabkan oleh kegagalan jangung kongestif (gagal
jantung kiri), sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sinrom
vena kava superior, tumor, dan sindrom Meigs.
2. Eskudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru,
radiasi, dan penyakit kolagen.
3. Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru,
dan tuberkulosis.
Berdasarkan lokasi cairan terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral. Efusi unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan
penyakit penyebabnya kan tetapi efusi bilateral ditemukan pada penyakit
kegagalan jantung kongestif, sindrom nefrotik, asites, infark paru, lupus
eritematosus sistemis, tumor, dan tuberkulosis.

D. Patofisiologi
Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5 ML cairan yang cukup
untuk membasahi seluruh permukaan pleura viseralis dan parietalis. Cairan
ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik,
tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali
oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10- 20%)
mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga posisi cairan di sini mencapai 1 L
sehari.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura di sebut efusi pleura, ini terjadi bila
keseimbangan antar produksi dan abrsorbsi terganggu misalnya pada
hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik, peningkatan tekanan
vena (gagal jantung). Berdasarkan kejadiannya efusi di bedakan menjadi
transudat dan eksudat pleura. Transudat biasanya terjadi pada gagal jantung
karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik dan sirosis
hepatik karena tekanan osmotik koloid yang menurun. Eksudat dapat di
sebabkan oleh keganasan atau infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler
sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga
mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya
rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah (Smeltzr & Bare,
2012. Hal. 199).

E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik (Wuryanto, 2016)
1. Pemeriksaan radiologi (rontgen dada)
Pada foto toraks posterior anterior posisi tegak maka akan di jumpai
gambaran sudut kostofenikus yang tumpul baik dilihat dari depan
maupun dari samping. Dengan jumlah yang besar, cairan yang mengalir
bebas akan menampakkan gambaran mniscuss sign dari foto toraks
posterior anterior (Roberts Jr et all, 2014).
2. Utlrasonografi dada
USG toraks dapat mengidentifikasi efusi yang terlokalisir, membedakan
cairan dari pelebaran pleura dan dapat membedakan lesi paru antara yang
padat dan yang cair (Roberts Jr et all, 2014).
3. Torakosentesisi/pungsi pleura
Efusi pleura di katakan ganas jika pada pemeriksaan sitologi cairan
pleura di temukan sel-sel keganasan (Liu Y H et all, 2010).
4. Biopsi pleura
Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika di lakukan di daerah dengan
tingkat kejadian tuberkolosis yang tinggi. Walaupun torakoskopi dan
biopsi jarum dengan tuntunan CT scan dapat di laukan untuk hasil
diagnostik yang lebih akurat (Havelock T et al, 2010).

F. Asuhan Keperawatan
Asuhan Keperawatan Pada Ny. M dengan Pneumonia
di Ruang ICU RS X
I. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada tanggal :23 Mei 2020 Jam : 10.00 WIB
A. Identitas
1. Identitas Klien : Ny. M
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku /Bangsa : Jawa/Indonesia
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Semarang
Tanggal masuk : 21 Mei 2020
No Register : 1010xx
Diagnosa Medis : Pneumonia
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. Y
Umur : 30 tahun
Alamat : Semarang
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan swasta
Hubungan dengan Klien: Anak

B. Keluhan Utama
Gagal nafas

C. Pengkajian Primer
1. Airway
Jalan nafas terdapat sumbatan, terdapat sekret terdengar suara
Ronkhi
2. Breathing
Terpasang ventilator mode SIMV RATE 12 RR 23x/menit PEEP 7,
SaO2 95%, FiO2 90% tidak menggunakan otot bantu pernafasan,
tidak ada retraksi dinding dada, tidak menggunakan nafas cuping
hidung, suara ronkhi terdengar di paru kanan dan kiri.
3. Circulation
Perabaan akral dingin, tekanan darah 91/75 mmHg, nadi
138x/menit, CRT >2 detik
4. Disability
Kesadaran somnolen, GCS E3M5V1 ada kelemahan fisik di
ektermitas kiri, kekuatan otot kanan kiri atas 4/3 bawah 4/3
5. Exposure
Tidak ada luka atau jejas di tubuh pasien.

D. Pengkajian Sekunder
1. Riwayat Keperawatan / Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan / Keperawatan Sekarang
Keluarga pasien mengatakan pasien jatuh dari tempat tidur pada
tanggal 21 Mei 2020, pasien tidak dapat diajak berkomunikasi.
Pada pukul 12.30 pasien dibawa ke RSUD untuk mendapatkan
perawatan medis. Karena kondisi pasien yang perlu penangan
lebih lanjut dan fasilitas yang lebih memadai, pasien di rujuk ke
RS X. Pada pukul 13.30 pasien telah sampai di IGD dan telah
dilakukan pemeriksaan Tekanan Darah 60/palpasi, terpasang
SIMV rate 12 RR 23x/menit 20x/menit suhu 36,5oC nadi
106x/menit, SaO2 95% kesadaran Apatis GCS E4 M6 Vx dan
diberikan terapi infus NacL 0,9% loading 500cc, injeksi
Ranitidin 500 mg dan Ondansentron 4 mg, telah dilakukan head
up 30o , pemasangan DC, NGT dan Oksigen 4 liter/menit. Pada
pukul 17.30 pasien dipindahkan ke HCU dan telah dilakukan
foto thorax, didapatkan hasil adanya Pneumonia. pada tanggal
22 Mei 2017 kondisi pasen semakin kritis maka pada jam 17.30
dipindahkan ke ICU. Di ICU pasien mengalami gagal nafas lalu
dilakukan pemasangan Intubasi dan Ventilator.

b. Riwayat Kesehatan / Keperawatan Dahulu


Keluarga pasien mengatakan pasien mempunyai riwayat
Hipertensi, riwayat TB dan gejala stroke 5 tahun yang lalu.
Karena penyakit tersebut pasien lebih banyak beristirahat di
rumah. Pasien tidak memiliki alergi makanan ataupun obat.
Pasien tidak memiliki riwayat DM, Jantung ataupun Hepatitis

c. Riwayat Kesehatan / Keluarga


Keluarga pasien mengatakan ada riwayat penyakit Hipertensi
dari keluarga ibu pasien

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Somnolen GCS E3 M5 V1
b. Pemeriksaan Tanda – tanda vital
TD : 91/75 mmHg
HR : 138x/menit
RR : 23x/menit
SpO2: 95%
Suhu: 39°C
c. Pemeriksaan Head to toe
1) Pemeriksaan Kepala dan leher
Kepala
Insperksi/ palpasi : Bentuk mesochepal
Keluhan : tidak ada keluhan
Rambut : Rambut beruban

Mata
Fungsi penglihatan : baik
Ukuran pupil : Isokor
Konjungtiva : anemis
Keluhan : tidak ada keluhan

Telinga
Fungsi pendengaran : tidak serumen berlebih, fungsi
pendengaran masih baik
Keluhan : tidak ada keluhan

Hidung
Inspeksi : hidung bersih, bentuk simetris
terpasang NGT
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Keluhan : tidak ada keluhan

Mulut
Keadaan bibiir : mukosa bibir kering
Kebersihan gigi mulut : gigi kotor, lengkap, terdapat secret
di mulut
Pemasangan Opa/et : terpasang ET Ventilator
Leher
Insperksi : Tidak ada penonjolan vena jugularis
Palpasi : tidak ada nyeri tekan

d. Pemeriksaan Dada
Jantung
Inspeksi : Bentuk simetris, ictus cordis tidak
nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Terdengar suara lub dub, tidak ada
suara tambahan

Paru – Paru
Inspeksi : Tidak ada jejas, simetris, tidak ada
retraksi dinding dada, tidak
menggunakan otot bantu
pernafasan
Palpasi : Ekspansi paru kanan kiri sama
Perkusi : Redup
Auskultasi : Terdapat suara ronkhi dilobus
kanan dan kiri

Abdomen
Inspeksi : Tidak ada jejas, tidak ada luka,
bentuk simetris
Auskultasi : Bising usus 12x/menit
Palpasi : Bunyi kuadran I pekak, II, III, IV
tympani
Perkusi : Tidak ada nyeri tekan
e. Genetalia
Inspeksi : bersih
Palpasi : tidak ada nyeri

f. Pemeriksaan Anggota Gerak


Ektermitas atas : Kekuatan otot kanan 4 kiri 3, rom kanan
kiri aktif, Capilary Refile Time >2 detik,
tidak ada perubahan bentuk tulang,
perabaan akral dingin
Ektermitas bawah : Kekuatan otot kanan 4 kiri 3, rom
kanan kiri aktif, Capilary Refile Time >2
detik, tidak ada perubahan bentuk tulang,
perabaan akral dingin

g. Pemeriksaan Kulit dan Kelenjar Getah Bening


Kulit : kulit bersih tidak ada luka
atau jejas, tidak ada nyeri tekan, turgor kulit tidak elastis

Kelenjar getah bening : konsistensinya lunak,


mudah digerakkan dari
kulit di atas maupun dari
dasarnya, suhu normal,
permukaannya licin dan
tidak nyeri tekan

3. Kebutuhan Fisiologis
a. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pasien terpasang selang NGT 400 cc

b. Pola Eliminasi
Pasien terpasang kateter urine, sehari + 1600cc

c. Pola Istirahat Tidur


Keluarga mengatakan pasien biasa tidur malam jam 21.00
WIB

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium pada tanggal 23 Mei 2020
Hemoglobin 12,0 g/dL
Eritrosit 3,82 10ˆ6/ul
Lekosit 17,0 10ˆ3/ul
Trombosit 202 10ˆ3/ul
Hematokrit 55,9%
MCV 94,0 fL
MCH 31,4 Fl
MCHC 33,4 g/dL
Neutrofil 88,8%
Limfosit 6,3%
MXD 4,9%
RDW 14,6%
Ureum 126,7 mg/dL
Creatinin 2,01 mg/dL
Bun 59,2 mg/dL
Natrium 137 mmol/L
Kalium 3,98 mmol/L
Chlorida 104,9 mmol/L
GDS 107,89 mg/dL
ALT (GPT) 51,5 u/L
AST (GOT) 96,2 u/L
Acid/Base 37oC
b. Analisa Gas Darah
pH 7,49
PCO2 23 mmHg
PO2 118 mmHg
BE -4,2 mmol/L
tCO2 17,6 mmol/L
HCO3 16,9 mmol/L
st HCO3 20,9 mmol/L
Na+ 139 mmol/L
K+ 3,4 mmol/L
Cl- 111 mmol/L
Angap 15,3 mmol/L

c. Foto Thorax
Tanggal 21 Mei 2020/
20:35 WIB Oedem
Pulmonal Mixed Pneumonia

d. Terapi

Golongan
Fungsi
&
Jenis Terapi dosis Farmakodinam
kandunga
ik
n
Memenuhi
Elektrolit
Cairan 20 kebutuhan
NaCl o,9% Sodium
IV tpm cairan dan
Chlorida
elektrolit
Peroral Asam Folat 0,4 Vitamin Memproduksi
mg/ Asam sel darah
12 jam folat 0,4 merahdan
mencegah
mg
anemia
Memproduksi
sel darah
1mg/1 Vitamin merah dan
B12
2 jam Zat besi menjaga
kesehatan
sistem saraf
H2
50 antagonis
Obat tukak
Ranitidine mg/ Ranitidin
lambung
12 jam e Hcl 21
mg
Untuk
mengobati
750m infeksi yang
Levoflaxcy Antibioti
g/ 24 disebabkan
m k
jam oleh bakteri
parenter
pada
al
pneumonia
Untuk
mengurangi
cairan dalam
20 Diuretik tubuh dan
Furosemid mg/ Furosemi membuang
12 jam d 20 mg lewat saluran
kemih
Mengurangi
oedem
II. ANALISA DATA

N TANGGA DATA ETIOLO MASALA


TTD
O L / JAM FOKUS GI H
1 23 Mei DS: - Hipersekre Bersihan kelompo
2020 DO: si jalan jalan nafas k
13.00 WIB - Jalan nafas tidak efektif
nafas (D.0001)
dibantu
ventilator
SIMV rate
12
- RR
23x/menit,
- Terdapat
sekret
dimulut
dan selang
ventilator,
- suara
ronkhi di
lobus
bawah
kanan dan
kiri,
- kesadaran
somnolen,
terpasang,
- SPO2
95%,
- hasil foto
thoirax
Oedem
Pulmonal
Mixed
Pneumoni
a,
- leukosit
17.000,
- suhu 39°C
2 24 Mei DS: - Perubahan Gangguan kelompo
2020 10.00 DO : membran pertukaran k
WIB - RR: alveolus- gas
23x/menit, kapiler (D.0003)
- nadi 138
x/menit
- pH 7,49
- PCO2 23
mmHg
- PO2 118
mmHg
- BE -4,2
mmol/L
- tCO2 17,6
mmol/L
- HCO3
16,9
mmol/L
- st HCO3
20,9
mmol/L
- Na+ 139
mmol/L
- K+ 3,4
mmol/L
- Cl- 111
mmol/L
- kesadaran
somnolen
3 24 Mei DS: - Kegagalan Hypovolemi Kelompo
2020 DO: mekanisme a (D.0023) k
13.00 WIB - Suhu regulasi
39oC,
- Balance
Cairan
-263 cc,
- turgor
kulit tidak
elastis,
- mukosa
bibir
kering,
- Hematokri
t 55,9%
- Capilary
Refile
Time >2
detik,
- Tekanan
Darah
91/75
mmHg,
- nadi
138x/meni
4 25 Mei DS: - Tirah Intoleransi Kelompo
2020 DO: baring aktivitas k
10.00 WIB - Kekuatan (D.0056)
otot 4 3 4
3
- Pasien
tampak
lemah,
- aktivitas
dibantu
oleh
perawat,
- Tekanan
Darah
91/75
mmHg,
- nadi
138x/meni
t,
- Suhu
39oC,
- kesadaran
somnolen
- GCS
E3M5Vx

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi
jalan nafas dibuktikan dengan jalan nafas dibantu ventilator, dimulut
dan selang ventilator, suara ronkhi di lobus bawah kanan dan kiri.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolus kapiler dibuktikan dengan alkalosis respiratorik (PCO2 <35
mmHg) dan PO2 >100 mmHg.
3. Hipovolemia berhubungan dengan kegagalan mekanisme regulasi
dibuktikan dengan turgor kulit tidak elastis, mukosa bibir kering, suhu
39°C.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring dibuktikan
dengan kekuatan otot 4 3 4 3, pasien tampak lemah, aktivitas perlu
dibantu.

IV. RENCANA KEPERAWATAN

TUJUAN
TANGGAL/ DAN
DX INTERVENSI TTD
JAM KRITERIA
HASIL
23 Mei 2020 1 Setelah Manajemen Jalan Kelompok
13.00 WIB dilakukan Nafas
tindakan Observasi
keperawatan 1. monitor pola
selama 1x24 nafas
jam diharapkan 2. monitor bunyi
bersihan jalan nafas tambahan
nafas 3. monitor sputum
meningkat Terapeutik
dengan kriteria 1. pertahankan
hasil: kepatenan jalan
Mayor nafas
1. produksi 2. posisikan semi
sputum dari fowler atau fowler
skala 1 3. beri minuman
(menurun) ke hangat
skala 3 4. berikan oksigen
(sedang) Edukasi
2. Wheezing 1. anjurkan asupan
dari skala 1 cairan 2000 ml/hari
(meningkat) ke 2. ajarkan teknik
skala 3 batuk efektif
(sedang) Kolaborasi
Minor 1. kolaborasi
1. Dispnea dari pemberian
skala 1 bronkodilator,
(meningkat) ke ekspektoran,
skala 3 mukolitik, jika
(sedang) perlu
2. frekuensi
nafas dari skala
1 (memburuk)
ke skala 3
(sedang)
3. pola nafas
dari skala 1
(memburuk) ke
skala 3
(sedang)
24 Mei 2020 2 Setelah Pemantauan Kelompok
10.00 WIB dilakukan Respirasi
tindakan Observasi
keperawatan 1. monitor
selama 1x24 frekuensi, irama,
jam diharapkan kedalaman dan
pertukaran gas upaya nafas
meningkat 2. monitor pola
dengan kriteria nafas
hasil: 3. monitor
Mayor kemampuan batuk
1. PCO2 dari efektif
skala 1 4. monitor adanya
(memburuk) ke sputum
skala 3 5. monitor saturasi
(sedang) oksigen
2. PO2 dari 6. monitor adanya
skala 1 sumbatan jalan
(memburuk) ke nafas
skala 3 Terapeutik
(sedang) 1. atur interval
3. Takikardi pemantauan
dari skala 1 respirasi sesuai
(meningkat) ke kondisi pasien
skala 3 2. dokumentasikan
(sedang) hasil pemantauan
4. Bunyi napas Edukasi
tambahan dari 1. jelaskan tujuan
skala 1 dan prosedur
(meningkat) ke pemantauan
skala 3 2. informasikan
(sedang) hasil pemantauan
Minor :
1. pola napas
dari skala 1
(memburuk) ke
skala 3
(sedang)
2. tingkat
kesadaran dari
skal 1
(menurun) ke
skala 3
(sedang)
24 Mei 2020 3 Setelah Manajemen Kelompok
13.00 WIB dilakukan Hipovolemia
tindakan Observasi
keperawatan 1. periksa tanda
selama 1x24 dan gejala
jam diharapkan hipovolemia
status cairan 2. monitor intake
membaik dan output cairan
dengan kriteria Terapeutik
hasil: 1. hitung
Mayor kebutuhan cairan
1. Frekuensi 2. berikan asupan
Nadi dari skala cairan oral
1 (memburuk) Edukasi
ke skala 3 1. anjurkan
(sedang) perbanyak asupan
2. Tekanan cairan oral
darah dari skala 2. anjurkan
1 (memburuk) menghindari
ke skala 3 perubahan posisi
(sedang) mendadak
3. turgor kulit Kolaborasi
dari skala 1 1. kolaborasi
(memburuk) ke pemberian cairan
skala 3 IV isotonis,
(sedang) hipotonis, cairan
4. Mukosa koloid
membran 2. kolaborasi
lembab dari pemberian produk
skala 1 darah
(menurun) ke
skala 3
(sedang)
5. Hematokrit
dari skala 1
(memburuk) ke
skala 3
(sedang)
Minor
1. Pengisian
vena dari skala
1 (menurun) ke
skala 3
(sedang)
2. suhu tubuh
dari skala 1
(memburuk) ke
skala 3
(sedang)
25 Mei 2020 4 Setelah Manajemen Kelompok
10.00 WIB dilakukan Energi
tindakan Observasi
keperawatan 1. identifikasi
selama 1x24 gangguan fungsi
jam diharapkan tubuh yang
toleransi mengakibatkan
aktivitas kelelahan
meningkat 2. monitor pola dan
dengan kriteria jam tidur
hasil: 3. monitor
Mayor kelelahan fisik dan
1. keluhan lelah emosional
dari skala 1 Terapeutik
(meningkat) ke 1. sediakan
skala 3 lingkungan nyaman
(sedang) dan rendah
2. Frekuensi stimulus
Nadi dari skala 2. lakukan latihan
1 (memburuk) rentang gerak pasif
ke skala 3 dan/atau aktif
(sedang) 3. berikan aktivitas
Minor distraksi yang
1. kekuatan menenangkan
tubuh bagian Edukasi
bawah dari 1. anjurkan tirah
skala 1 baring
(menurun) ke 2. anjurkan
skala 3 melakukan
(sedang) aktivitas secara
2. kekuatan bertahap
tubuh bagian 3. anjurkan strategi
atas dari skala 1 koping untuk
(menurun) ke mengurangi
skala 3 kelelahan
(sedang) Kolaborasi
3. kemudahan 1. kolaborasi
melakukan dengan ahli gizi
aktivitas sehari- tentang cara
hari dari skala 1 meningkatkan
(menurun) ke asupan makanan
skala 3
(sedang)

BAB III

JURNAL PENELITIAN

Jurnal Perawat Indonesia, Volume 4 No 1, Hal 329-338, Mei 2020 e-ISSN 2548-7051

Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714 6502

OBSERVASI PENGGUNAAN POSISI HIGH FOWLER PADA PASIEN


EFUSI PLEURA DI RUANG PERAWATAN PENYAKIT DALAM FRESIA
2 RSUP DR.HASAN SADIKIN BANDUNG : STUDI KASUS

Alvian Pristy Windiramadhan1* , Asha Grace Sicilia2 , Eka Afirmasari3 ,


Sri Hartati4 , Hesty Platini5 , Hamidah6
1,2,3,4,5Fakultas Keperawatan, Universitas Padjajaran, Bandung, Indonesia
6RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia
E-mail: *mr.ianramadhan@gmail.com

Abstrak
Efusi pleura merupakan penimbunan cairan yang berlebihan pada rongga pleura
sehingga menyebabkan seseorang mengalami sesak nafas. Tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengurangi sesak nafas dan meningkatkan oksigenasi agar tidak
ketergantungan dengan pemberian oksigen dalam jangka panjang yaitu dengan
posisi high fowler. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan studi kasus
tentang penggunaan posisi high fowler pada pasien efusi pleura di Ruang Fresia 2
RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan dengan pendekatan studi
kasus pada 3 orang pasien dengan kriteria pasien yang di diagnosis efusi pleura
pasien yang mengalami sesak nafas (RR > 24 x/menit), pasien dewasa atau lanjut,
pasien dapat berkomunikasi dan bersedia diwawancara, terpasang CTT atau
pigtail dan terpasang oksigen. Setelah dilakukan observasi selama tiga hari ada
perbedaan nilai pernafasan dan saturasi oksigen sebelum dan sesudah posisi high
fowler. Rentang nilai pernafasan sebelum posisi high fowler adalah 24 – 30
kali/menit dengan nilai saturasi oksigen 97 – 98%. Sedangkan rentang nilai
pernafasan sesudah posisi high fowler adalah 22 – 27 kali/menit dengan nilai
saturasi oksigen 98 – 99%. Posisi high fowler merupakan posisi pilihan untuk
pasien yang mengalami sesak nafas khususnya pada pasien yang mengalami efusi
pleura.

Kata kunci: efusi pleura ; posisi high fowler; sesak nafas; studi kasus;

Pendahuluan

Efusi pleura merupakan penimbunan cairan dalam rongga pleura, akibat


jenis cairan yang transudat, eksudat, atau darah yang berlebihan pada rongga
pleura. Di Amerika Serikat, setiap tahunnya terjadi 1,5 juta kasus efusi pleura.
Sementara pada populasi umum secara internasional diperkirakan setiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosis efusi pleura. Di negara-negara berat, efusi pleura
terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan
pneumonia bakteri. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, lazim
diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. (Puspita, Soleha, & Berta, 2015).
Keadaan yang dapat disebabkan efusi pleura antara lain penyakit infeksi,
sistemik, keganasan, obat-obatan, trauma, dan setelah tindakan operasi. Dengan
berbagai keluhan utama penderita seperti sesak napas, batuk tidak produktif, dan
lainnya. Pada penderita efusi pleura keluhan semakin meningkat saat aktivitas, hal
ini tergantung dari tingkatan lesinya (Nasution & Widirahardjo, 2018).

Upaya untuk menurunkan angka kematian akibat sistem pernapasan


memerlukan penangan yang mendasar. Penanganan dasar yang diperlukan berupa
pengamatan pada penderita sesak nafas berupa peningkatan usaha napas melalui
peningkatan RR dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan guna memenuhi
deman oksigen di dalam tubuh. Salah satu tindakan keperawatan yang penting
adalah positioning yang bertujuan untuk meningkatkan ekspansi paru sehingga
mengurangi sesak (Dean, 2014).

Pemilihan posisi untuk penderita dengan masalah pernapasan sangat


penting untuk memfasilitasi pernapasan yang adekuat. Terdapat berbagai macam
posisi tidur mulai dari supine, pronasi, lateral dan fowler. Posisi fowler
merupakan posisi pilihan untuk orang yang mengalami kesulitan pernapasan
(Kozier, 2011). Oleh karena itu pemilihan posisi yang tepat sangat menentukan
keberhasilan intervensi keperawatan yang dilakukan.

Terdapat berbagai penelitian dan studi yang membahas tentang


penggunaan posisi untuk mengatasi berbagai masalah pernapasan pada pasien
dengan bermacam-macam kasus di luar negeri. Penelitian Moaty, Mokadem dan
Elhy (2017) tentang efek posisi fowler terhadap oksigenasi dan status
hemodinamik pada pasien dengan cedera kepala menunjukan bahwa posisi semi
fowler dengan elevasi 30° memiliki dampak positif terhadap pernapasan dengan
hasil terjadinya peningkatan PaO2, SaO2, dan RR serta penurunan PaCO2.

Safitri dan Andriyani (2008) menyatakan saat terjadi sesak nafas penderita
biasanya tidak dapat tidur dengan posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi
duduk atau setengah duduk untuk meningkatkan ekspansi paru sehingga oksigen
lebih mudah untuk masuk ke paru dan pola napas kembali optimal. Tindakan yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi, agar tidak ketergantungan
dengan pemberian oksigen dalam jangka panjang yaitu dengan positioning high
fowler. Posisi high fowler adalah posisi dimana tempat tidur diposisikan dengan
ketinggian 60-90° bagian lutut tidak di tinggikan.. Kemiringan menggunakan
gravitasi membantu mengembangkan dada dan mengurangi tekanan abdomen dan
diafragma. Pada saat gravitasi terjadi akan menarik diafragma ke bawah serta
memungkinkan ekspansi dada dan ventilasi paru yang lebih besar. Posisi ini
dibantu penopang sandaran yang sering digunakan dua bantal yang diletakkan di
punggung dan kepala (Kozier dkk, 2011).

Tujuan tindakan pemberian posisi yang efektif pada penderita sesak nafas
adalah untuk menurunkan konsumsi O2 dan ekspansi paru yang maksimal, serta
mempertahankan kenyamanan. Kestabilan pola napas ditandai dengan
pemeriksaan fisik berupa frekuensi pernapasan yang normal, tidak terjadi
ketidakcukupan oksigen (hipoksia), perubahan pola napas dan obstruksi jalan
napas (Kozier dkk, 2011).

Berdasarkan hasil observasi di ruang Fresia 2 RSUP Dr.Hasan Sadikin


Bandung, tindakan position high fowler merupakan tindakan yang sudah di
terapkan pada pasien yang mengalami sesak nafas. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk melakukan studi kasus tentang penggunaan posisi high fowler pada
pasien efusi pleura di Ruang Fresia 2 RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian studi


kasus. Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup pengkajian
satu unit penelitian secara intensif misal klien, keluarga, kelompok, komunitas
atau institusi. Rancangan dari suatu studi kasus bergantung pada keadaan kasus
namun tetap mempertimbangkan faktor penelitian waktu. Keuntungan yang paling
besar dari rancangan ini adalah pengkajian secara terperinci meskipun jumlah
responden sedikit, sehingga akan didapatkan gambaran unit subjek secara jelas
(Nursalam, 2016).
Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
penggunaan posisi high fowler pada pasien efusi pleura di Ruang Fresia 2 RSUP
Dr.Hasan Sadikin Bandung yang dilakukan selama tiga hari tanggal 25 – 27
November 2019. Penelitian ini tidak menggunakan etik penelitian karena hanya
melakukan observasi tanpa memberikan intervensi terhadap tindakan keperawatan
yang sudah lazim dan sering digunakan di ruangan. Penelitian dilakukan pada 3
orang pasien dengan kriteria Pasien yang di diagnosis efusi pleura pasien yang
mengalami sesak nafas (RR > 24 x/menit), pasien dewasa atau lanjut, pasien dapat
berkomunikasi dan bersedia diwawancara, terpasang CTT atau pigtail dan
terpasang oksigen .

Hasil Penelitian

a. Pasien 1

Ny. W, seorang perempuan berusia 50 tahun yang mengalami efusi pleura


bagian dextra. Pasien di diagnosis Tumor paru dextra T4N2M1 dengan metastase
pleura dan para neoplastis. Pasien mengalami sesak nafas sejak 4 bulan yang lalu
disertai dengan batuk berdarah. Berdasarkan hasil wawancara pasien statusnya
sudah menikah dan pendidikan terakhirnya SMP. Pasien merupakan ibu rumah
tangga yang bekerja bersama dengan suaminya di rumah membuka usaha warung
kelontong. Pasien seorang perokok pasif, dimana suaminya adalah seorang
perokok aktif yang menghabiskan 2 bungkus rokok per hari.

Berdasarkan hasil pengkajian di dapatkan, pasien mengalami dispnea tingkat


III, kesadaran composmentis E4M6V5, pasien tampak lemah, TD: 120/80
mmHg, RR : 28x/menit, HR: 86x/menit, S: 36,1°C, BB 47, kepala dan wajah
tidak ada sianosisis, mukosa bibir lembab, leher tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid, terpasang pigtail pada daerah ICS V posterior bagian dextra dan dengan
mengeluarkan cairan pleura sebanyak 270 cc berwarna merah dengan cara
dilakukan aspirasi dengan menggunakan spuit. pengembangan dada kanan sama
dengan kiri, vokal fremitus raba kanan < kiri, suara perkusi sonor/dullness ICS II,
III, ICS V, VI, suara auskultasi vesikuler/vesikuler yang menurun ICS II, III, ICS
V, VI, ekstremitas terpasang infus NaCl 0,9% 20 tpm di tangan sebelah kanan,
dan terpasang oksigen 2L/menit.

Hasil pemeriksaan penunjang pemeriksaan cairan pleura tanggal 20


November 2019 di dapatkan LDH cairan pleura 832 U/L, albumin cairan pleura
2100 mg/dl, protein cairan pleura 4930 mg/dl, glukosa cairan pleura 11 mg/dl,
rivalta: positif, warna: merah, kejernihan: keruh, jumlah sel 1802 sel/uL PMN
16%, MN 84%. Preparat BTA tidak ditemukan. Sedangkan hasil pemeriksaan
hematologi tanggal 20 November 2019 didapatkan hemoglobin 8,5 g/dl,
hematokrit 26,7 %, leukosit 10,88 10^3/uL, eritrosit 4,15 juta/uL, trombosit 395
ribu/uL, MCV 64,3 fL, MCH 20,5 pg, MCHC 31,8 %, basofil 0, eosinofil 1,
neutrofil batang 0, netrofil segmen 79, limfosit 12, monosit 8, PT 1 detik, PT
10,40 detik, INR 1, INR 0,92, APTT 1 detik, APTT 26,10 detik, glukosa sewaktu
77 mg/dL, ureum 26,0 mg/dL, kreatinin 0,59 mg/dL, kalium 4,6mEq/L.

Program Terapi yang didapat antara lain oksigen nasal kanul 2 liter/menit,
diet Tinggi kalori Tinggi Protein (TKTP), ceftadizime 26g/6jam, ciprofoloxacin
400mg/6jam, ketorolac 1g/6jam, omeprazole 40mg/24jam, N-asetilsistein 200
mg/12jam, codein 20mg 1 tab/8jam, NaCl 0,9% 20 tpm.

Berdasarkan hasil wawancara pasien mengatakan sesaknya bertambah apabila


dengan posisi tidur berbaring dan sesaknya berkurang apabila dengan posisi
setengah duduk. Akan tetapi, terasa nyeri pada daerah yang terpasang pigtail
sehingga pasien lebih nyaman dengan posisi tidur high fowler.

b. Pasien 2

Tn. F, laki-laki berusia 25 tahun yang mengalami efusi pleura massif bagian
sinistra. Pasien di diagnosis mengalami CAP, squamous cell carcinoma sinistra
stadium IV dan metastatis pleura pericardium. Sebelum sakit, pasien bekerja
sebagai karyawan di sebuah pabrik. Pasien mulai merasa sesak sejak 9 bulan
yang lalu. Pasien merupakan seorang perokok aktif dengan menghabiskan rokok
1 setengah sampai dengan 2 bungkus per hari. Pasien mulai merokok sejak
berusia 14 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Pasien bekerja sebagai buruh
pabrik dan statusnya belum menikah. Pendidikan terakhir SMA.

Berdasarkan hasil pengkajian di dapatkan saat ini masih mengeluh sesak


nafas, derajat dispnea tingkat IV, kesadaran composmentis E4M6V5, BB :62 Kg,
TD: 110/70 mmHg, RR : 32x/menit, HR: 92x/menit, S: 36,3°C, kepala dan wajah
tidak ada sianosis, mukosa bibir lembab, leher tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid, pengembangan dada kanan sama dengan kiri, vokal fremitus raba kiri <
kanan, suara perkusi sonor ICS II, III, ICS V, VI, auskultasi terdengar ronkhi,
Ekstremitas: terpasang infus NaCl 0,9% 20 tpm di sebelah tangan kiri., dan
terpasang oksigen 2L/menit. Pasien saat ini terpasang CTT pada ICS V posterior
bagian sinistra dan terpasang draignase. Cairan pleura yang dikeluarkan sebanyak
340 cc/hari.

Hasil pemeriksaan penunjang, pemeriksaan cairan pleura tanggal 15


November 2019 di dapatkan LDH cairan pleura 339 U/L, albumin cairan pleura
1900 mg/dl, protein cairan pleura 3740 mg/dl, glukosa cairan pleura 92 mg/dl,
rivalta: positif, warna: merah, kejernihan: keruh, jumlah sel 184 sel/uL PMN
65%, MN 35%. Preparat BTA tidak ditemukan. Sedangkan hasil pemeriksaan
hematologi tanggal 25 November 2019 didapatkan hemoglobin 8,5 g/dl,
hematokrit 27,4 %, leukosit 7,04 10^3/uL, eritrosit 2,90 juta/uL, trombosit 234
ribu/uL, MCV 94,5 fL, MCH 29,3 pg, MCHC 31,0 %, basofil 0, eosinofil 1,
neutrofil batang3, netrofil segmen 71, limfosit 11, monosit 14, albumin 2,10
g/dL.

Program Terapi yang didapat antara lain oksigen nasal kanul 2 liter/menit,
diet Tinggi kalori Tinggi Protein (TKTP), ceftadizime 26g/6jam, ciprofoloxacin
400mg/6jam, ketorolac 1g/6jam, omeprazole 40mg/24jam, paracetamol 500
mg/6jam, N-asetilsistein 200 mg/12jam, codein 20mg 1 tab/8jam, NaCl 0,9% 20
tpm.

Berdasarkan hasil wawancara, pasien mengatakan sesaknya bertambah


apabila dengan posisi tidur terlentang dan sesaknya berkurang bila dengan posisi
tidur fowler. Selain fowler pasien, juga merasa nyaman dengan posisi fowler
bersamaan dengan lateral kiri. Hasil observasi setelah dilakukan tindakan posisi
fowler RR pasien menurun menjadi 25x/menit.

c. Pasien 3

Pasien ketiga adalah Ny. K, seorang perempuan berusia 44 tahun yang


mengalami efusi pleura dextra ec malignancy. Pasien di diagnosis mengalami
Tumor mediastinum e.c lymphoma dd teratoma metastase KGB dan vena cava
superior syndrome grade III. Pasien mengeluh sesak disertai batuk sejak 3 bulan
yang lalu. Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, status sudah menikah
dan pendidikan terakhir SMA. Pasien seorang perokok pasif, dimana suaminya
adalah seorang perokok aktif yang menghabiskan 2 bungkus rokok per hari.

Pasien saat ini masih mengeluh sesak nafas. Sesaknya bertambah berat
apabila pasien batuk dan melakukan aktivitas terlalu erat. Berdasarkan hasil
pengkajian di dapatkan, kesadaran composmentis E4M6V5, derajat dispnea
tingkat IV, BB 82 kg, TD: 120/80 mmHg, RR : 28x/menit, HR: 88x/menit, S:
37,0°C, kepala dan wajah tidak ada sianosis, mukosa bibir lembab, leher tidak
ada pembesaran kelenjar tiroid, pengembangan dada kanan sama dengan kiri,
palpasi vokal fremitus raba kanan < kiri , suara perkusi sonor ICS II, III, ICS V,
VI, suara auskultasi ronhi, Ekstremitas terpasang infus NaCl 0,9% 20 tpm di
sebelah kaki sinistra dan terpasang oksigen dengan nasal canul 2L/menit. Saat ini
pasien terpasang pigtail pada ICS V posterior bagian dextra. Cairan pleura
dikeluarkan dengan menggunakan spuit sebanyak 120cc/ hari dan berwarna
kuning keruh.

Hasil pemeriksaan penunjang, pemeriksaan cairan pleura tanggal 19


November 2019 di dapatkan LDH cairan pleura 119 U/L, albumin cairan pleura
2100 mg/dl, protein cairan pleura 4830 mg/dl, glukosa cairan pleura 142 mg/dl,
rivalta: positif, warna: kuning, kejernihan: agak keruh, jumlah sel 214 sel/uL
PMN 5%, MN 95%. Preparat BTA tidak ditemukan. Sedangkan hasil
pemeriksaan hematologi tanggal 24 November 2019 didapatkan kadar
hemoglobin 14,5 g/dl, hematokrit 43,2 %, leukosit 14,54 10^3/uL, eritrosit
4,91juta/uL, trombosit 346 ribu/uL, MCV 88.0 fL, MCH 29,5 pg, MCHC33,6 %.

Program Terapi yang didapat antara lain oksigen nasal kanul 2 liter/menit,
diet Tinggi kalori Tinggi Protein (TKTP), ceftadizime 26g/6jam, ciprofoloxacin
400mg/6jam, ketorolac 1g/6jam, omeprazole 40mg/24jam, N-asetilsistein 200
mg/12jam, codein 20mg 1 tab/8jam NaCl 0,9% 20 tpm.

Tabel 1
Demografi dan Status Kesehatan
No Data Pasien I Pasein II Pasien III
1 Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
2 Diagnosa Efusi Pleura Efusi Pleura massif Efusi pleura
Dextra, Tumor sinistra, CAP, dextra ec
paru dextra squamous cell malignancy,
T4N2M1 dengan carcinoma sinistra Tumor
metastase pleura stadium IV dan mediastinum e.c
dan para metastatis pleura lymphoma dd
neoplastic pericardium teratoma
metastase KGB
dan vena cava
superior
syndrome grade
III
3 Usia 50 tahun 25 tahun 44 tahun
4 Status Menikah Belum Menikah Menikah
5 Pendidikan SMP SMA SMA
6 Lama Rawat 7 hari 9 hari 7 hari
7 Durasi Penyakit 4 bulan 9 bulan 2 bulan
8 BB 47 kg 62 kg 83 kg
9 Riwayat rokok Perokok pasif, Perokok aktif, 1 Perokok pasief,
suami 2 bungkus setengah2 bungkus suami & anak 1-
per hari per hari 2 bungkus per
hari
10 Terapy Ciprofoloxacin Ceftadizime Ciprofoloxacin
400mg/6jam, 26g/6jam, 400mg/6jam,
ketorolac ciprofoloxacin ketorolac
1g/6jam, 400mg/6jam, 1g/6jam,
omeprazole ketorolac 1g/6jam, omeprazole
40mg/24jam, omeprazole 40mg/24jam,
Nasetilsistein 200 40mg/24jam, N Nasetilsistein
mg/12jam, codein asetilsistein 200 200 mg/12jam,
20mg 1 tab/8jam mg/12jam, codein codein 20mg 1
NaCl 0,9% 20 20mg 1 tab/8jam, tab/8jam NaCl
tpm, NaCl 0,9% 20 tpm 0,9% 20 tpm.
11 Rencana Tindak Radioterapy Radioterapy Radioterapy
lanjut Kemoterapy

Tabel 2

Observasi status pernafasan dan saturasi oksigen pada posisi semi fowler dan fowler

No Pasien Data Hari 1 Hari 2 Hari 3

1 Pasien 1 RR sebelum posisi high fowler 26 x/menit 26x/menit 25x/menit


SpO2 sebelum posisi high fowler 97 98 98
RR posisi sesudah fowler 24 x/menit 22 x/menit 22 x/menit
SpO2 sesudah posisi fowler 98 99 99
2 Pasien 2 RR sebelum posisi high fowler 30 x/menit 28x/menit 28x/menit
SpO2 sebelum posisi high fowler 97 97 98
RR posisi sesudah fowler 27 x/menit 25 x/menit 24 x/menit
SpO2 sesudah posisi fowler 97 98 98
3 Pasien 3 RR sebelum posisi high fowler 28 x/menit 25x/menit 24x/menit
SpO2 sebelum posisi high fowler 96 98 98
RR posisi sesudah fowler 22 x/menit 23 x/menit 22 x/menit
SpO2 sesudah posisi fowler 98 98 99

Pembahasan
Pada pembahasan ini, peneliti menjelaskan tiga orang pasien efusi pleura
yang sudah ditentukan berdasarkan kriteria inklusi. Semua pasien dalam
penelitian ini adalah pasien mengalami sesak nafas yang peneliti lakukan
observasi nilai status pernafasan dan saturasi oksigen terhadap intervensi tindakan
pengaturan positioning yang dilakukan oleh perawat di ruangan untuk mengurangi
sesak nafas. Observasi ini peneliti lakukan selama tiga hari berturutturut pada saat
sebelum dan sesudah perawat mengatur posisi high fowler. Kemudian peneliti
membandingkan hasil observasi nilai pernafasan dan saturasi oksigen pada tiga
pasien tersebut dengan teori dan jurnal yang ada.

Secara demografi dua orang pasien berjenis kelamin perempuan dan satu
orang lainnya adalah laki-laki. Rentang usia pasien dari 25 sampai dengan 50
tahun. Dua orang pasien statusnya sudah menikah, sedangkan satu orang pasien
lainnya belum menikah. Berdasarkan tingkat pendidikannya, dua orang pasien
pendidikan terakhirnya SMA dan satu orang SMP. Dari pekerjaanya, dua orang
pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan satu orang sebagai buruh pabrik.
Berdasarkan lama rawat, dua orang pasien dirawat pada hari ke tujuh dan satu
orang dirawat pada hari ke Sembilan. Rentang durasi lamanya penyakit adalah
dua sampai dengan Sembilan bulan. Rentang berat badan pasien adalah 47 – 82
kg. Berdasarkan riwayat merokok, satu orang sebagai perokok aktif dengan
banyaknya pe rhari adalah satu setengah sampai dengan dua bungkus rokok pe
rhari, sedangkan dua orang lainnya adalah sebagai perokok pasif.

Semua pasien dalam studi kasus ini sudah terpasang CTT dan pigtail.
Jumlah cairan pleura yang dikeluarkan saat aspirasi bervariasi antara 120 sampai
dengan 270cc/hari. Berdasarkan hasil pemeriksaan cairan pleura, semua pasien
mengalami efusi pleura di sebabkan oleh carcinoma atau malignasi. Di tandai
dengan terdapatnya cairan efusi pleura yang berwarna merah dan kuning serta
diagnose medis yang di tegakan dokter yaitu : Efusi Pleura Dextra Tumor paru
dextra T4N2M1 dengan metastase pleura dan para neoplastic, Efusi Pleura massif
sinistra, CAP, squamous cell carcinoma sinistra stadium IV dan metastatis pleura
pericardium serta Efusi pleura dextra ec malignancy, Tumor mediastinum e.c
lymphoma dd teratoma metastase KGB dan vena cava superior syndrome grade
III.

Dari hasil observasi dan wawancara semua pasien mengeluh sesak nafas,
batuk, bahkan ada satu pasien yang mengeluh batuk berdarah. Menurut McGrath,
(2011) pada seseorang yang mengalami efusi pleura, gejala klinis dapat berupa
keluhan sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri bisa timbul akibat efusi yang
banyak berupa nyeri pleuritik atau nyeri tumpul yang terlokalisir, pada beberapa
penderita dapat timbul batuk-batuk kering. Keluhan berat badan menurun dapat
dikaitkan dengan neoplasma dan tuberkulosis, batuk berdarah dikaitkan dengan
neoplasma, emboli paru dan tuberkulosa yang berat. Demam subfebris pada
tuberkulosis, demam menggigil pada empiema, ascites pada sirosis hepatis.

Berdasarkan hasil pengkajian, dari ketiga pasien semuanya mengeluh


sesak nafas. Rentang pernafasan pasien adalah 28 – 32 kali/menit. NANDA
(2018) mengungkapkan masalah keperawatan yang umum terjadi pada penderita
sesak nafas yaitu salah satunya pola napas tidak efektif dan gangguan pertukaran
gas. Pola napas tidak efektif diakibatkan oleh terganggunya ekspansi paru akibat
akumulasi cairan sehingga akan menimbulkan manifestasi klinis seperti
peningkatan frekuensi napas, kesulitan bernapas (dipsnea), penggunaan otot-otot
bantu pernapasan, dan kasus-kasus berat muncul seperti sianosis.

Intervensi keperawatan yang bisa dilakukan untuk mengurangi masalah


sesak nafas salah satunya adalah dengan positioning. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan ekspansi paru sehingga mengurangi sesak (Dean, 2014). Pemilihan
posisi untuk penderita dengan masalah pernapasan sangat penting untuk
memfasilitasi pernapasan yang adekuat. Terdapat berbagai macam posisi tidur
mulai dari supine, lateral dan fowler. Posisi fowler merupakan posisi pilihan
untuk orang yang mengalami kesulitan pernapasan (Kozier, 2010).

Menurut penelitian Najafi, et all (2018) tentang “The Effect of Position


Change on Arterial Oxygen Saturation in Cardiac and Respiratory Patients: A
Randomised Clinical Trial”. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase saturasi
oksigen rata-rata memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik pada posisi
semi fowler dibandingkan dengan posisi pronasi dan supinasi (p = 0,016).
Ditemukan juga bahwa ada perbedaan yang signifikan antara saturasi oksigen
rata-rata pada tiga titik berbeda yaitu ujung jari, daun telinga dan ujung jari kaki
yang lebih besar (p <0,001).

Pada posisi low fowler, posisi semi fowler dan posisi high fowler
menunjukkan peningkatan posisi badan condong ke depan dapat meningkatkan
fungsi ventilasi paru. Peningkatan ventilasi paru ini disebabkan oleh posisi badan
yang condong ke depan atau ke atas mengakibatkan organ abdominal tidak
menekan diafrgama sesuai dengan tingkat kenaikan posisi fowler. Dari hasil
wawancara dengan ketiga pasien, di dapatkan data bahwa posisi tidur setengah
duduk atau semi fowler dapat membantu mengurangi keadaan sesak nafasnya dari
pada posisi tidur terlentang atau supinasi. Akan tetapi, posisi semi fowler
dianggap masih kurang nyaman karena menimbulkan sensasi nyeri pada lokasi
pemasangan CTT dan pigtail.

Posisi high fowler adalah posisi duduk dimana kepala di tinggikan paling
sedikit 60-90°. Kemiringan menggunakan gravitasi membantu mengembangkan
dada dan mengurangi tekanan abdomen dan diafragma. Pada saat gravitasi terjadi
akan menarik diafragma ke bawah serta memungkinkan ekspansi dada dan
ventilasi paru yang lebih besar. Posisi ini dibantu penopang sandaran yang sering
digunakan dua bantal yang diletakkan di punggung dan kepala (Kozier dkk,
2011).

Berdasarkan hasil observasi terdapat perubahan nilai pernafasan dan


saturasi oksigen sebelum dan sesudah dilakukan posisi high fowler oleh perawat
di ruangan. Penilaian sebelum posisi high fowler dilakukan dengan posisi standar
di ruangan pada kasus pasien dengan efusi pleura dengan menggunakan posisi
semi fowler. Pengukuran nilai pernafasan dan saturasi oksigen adalah selama satu
menit. Kemudian setelah dilakukan posisi high fowler selama 30 menit, peneliti
kembali lagi melakukan pengukuran nilai pernafasan dan saturasi oksigen selama
satu menit.
Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari
pertama adalah 26 - 30 kali per menit dengan nilai saturasi oksigen 96 – 98%.
Sedangkan setelah dilakukan posisi high fowler selama 30 menit, rentang nilai
frekuensi pernafasan 22 – 27 kali per menit dan nilai saturasi oksigen 97 – 98%.
Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari kedua
adalah 26 - 28 kali per menit dengan nilai saturasi oksigen 97 – 98%. Sedangkan
setelah dilakukan posisi high fowler selama 30 menit, rentang nilai frekuensi
pernafasan 22 – 25 kali per menit dan nilai saturasi oksigen 98 – 99%. Rentang
nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari ketiga adalah 24 - 28
kali per menit dengan nilai saturasi oksigen 98 – 99%. Sedangkan setelah
dilakukan posisi high fowler selama 30 menit, rentang nilai frekuensi pernafasan
22 – 24 kali per menit dan nilai saturasi oksigen 98 – 99%.

Hasil studi kasus ini sejalan dengan penelitian Meilirianta, Tohri dan
Suhendra (2010) tentang posisi semi-fowler dan posisi high fowler terhadap
perubahan saturasi oksigen pada pasien asma bronkial di Ruang rawat inap D3
dan E3 Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Rerata perubahan saturasi oksigen setelah dilakukan posisi
semi-fowler sebesar 93.20 sedangkan pada posisi high fowler sebesar 94.60.
Berdasarkan uji paired t-test diperoleh angka signifikan yaitu P =0.001. Artinya
Posisi High fowler lebih efektif dalam meningkatkan perubahan saturasi dan
mengurangi sesak nafas dibandingkan semi fowler.

Hasil studi kasus ini berbanding terbalik dengan penelitian yang di


lakukan Ritianingsih tentang Pengaruh Posisi Duduk High Fowler dan Orthopneic
Terhadap Fungsi Ventilasi Paru Pada Asuhan Keperawatan Pasien PPOK di Rs
Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo Bogor yang bertujuan untuk menjelaskan
perbedaan pengaruh posisi duduk high fowler dan orthopneic terhadap fungsi
ventilasi paru pada asuhan keperawatan pasien PPOK di RS Paru Dr. M.
Goenawan Partowidigdo Bogor. Metode penelitian yang digunakan adalah Quasi
eksperimen, Pre & post test pada 36 orang pasien PPOK yang dirawat di RS Paru
Dr.Goenawan Partowidigdo Cisarua Bogor yang diambil secara purposive
sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi nafas memiliki nilai
yang sama. Posisi high fowler dan orthopneic dapat meningkatkan nilai APE
(p=0,0005), tetapi posisi orthopneic dapat meningkatkan nilai APE lebih baik
dibandingkan high fowler (p=0,0005). Usia berhubungan terhadap peningkatan
nilai APE pasien PPOK baik pada posisi high fowler (p=0,0048) maupun pada
orthopneic (p=0,0005). Tinggi badan, berat badan, dan jenis kelamin tidak
mempengaruhi fungsi ventilasi paru baik pada posisi high fowler maupun
orthopneic.

Penelitian lain yang dilakukan Annisa, Utomo, & Utami (2015), pada
posisi telentang individu mengalami dua proses fisiologi yang dapat menekan
pernafasan yaitu peningkatan volume darah dalam rongga toraks dan kompresi
dada. Akibatnya, proses pertukaran udara pada seseorang yang berbaring
telentang tidak berlangsung secara maksimal. Sedangkan pada posisi semi fowler
ini menunjukkan peningkatan posisi badan condong ke depan yang dapat
meningkatkan fungsi ventilasi paru. Posisi badan yang condong ke depan atau ke
atas inilah yang mengakibatkan organ abdominal tidak menekan diafrgama sesuai
dengan tingkat kenaikan posisi fowler. Sehingga dengan posisi fowler inilah
pasien akan merasakan nyaman saat bernapas.

Terdapat perbedaan peningkatan saturasi oksigen pada ketiga pasien. Pada


Tn. F saturasi awalnya 97% setelah diberi posisi high folwer naik menjadi 98%,
sehingga didapatkan kenaikan sebesar 1%. Sedangkan pada Ny. W dan Ny.K
saturasi awalnya 97% setelah diberi posisi high fowler naik menjadi 99%,
sehingga didapatkan kenaikan sebesar 2 %. Perbedaan kenaikan ini disebabkan
karena kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah yang berbeda, pada Tn. F kadar
Hbnya rendah yaitu 8,5 g/dl sedangkan pada Ny.K kadar Hbnya normal yaitu 14,5
g/dl. Kadar Hb yang rendah inilah dapat mengurangi pasokan oksigen yang
sampai ke jaringan.

Penurunan nilai status pernafasan dan saturasi oksigen setelah positioning


high fowler bisa juga dipengaruhi oleh pemberian oksigen. Dari hasil studi kasus
di dapatkan data bahwa semua pasien diberikan oksigen 2 liter/menit dengan
menggunakan nasal canule. Terapi oksigen merupakan suatu intervensi medis
berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen untuk mencegah atau
memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar
tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem
respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen ke dalam sirkulasi dan
meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen ke jaringan (Widiyanto, 2014).
Selain itu, terapy pemberian obat juga memungkinkan untuk mengurangi sesak
nafas. Semua pasien mendapatkan therapy codein dan N asetilsistein untuk
menguragi gejala batuk dan mengencerkan dahak yang menghalangi saluran
pernafasan.

Simpulan

Posisi high fowler merupakan posisi pilihan untuk pasien yang mengalami
sesak nafas khususnya pada pasien yang mengalami efusi pleura. Berdasarkan
hasil observasi selama tiga hari, terdapat perubahan nilai pernafasan dan saturasi
oksigen sebelum dan sesudah dilakukan posisi high fowler oleh perawat di
ruangan. Penilaian sebelum posisi high fowler dilakukan dengan posisi standar di
ruangan pada kasus pasien dengan efusi pleura dengan menggunakan posisi semi
fowler.

a. Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari
pertama adalah 26 - 30 kali per menit dengan nilai saturasi oksigen 96 – 98%.
Sedangkan setelah dilakukan posisi high fowler selama 30 menit, rentang nilai
frekuensi pernafasan 22 – 27 kali per menit dan nilai saturasi oksigen 97 – 98%
b. Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari
kedua adalah 26 - 28 kali per menit dengan nilai saturasi oksigen 97 – 98%.
Sedangkan setelah dilakukan posisi high fowler selama 30 menit, rentang nilai
frekuensi pernafasan 22 – 25 kali per menit dan nilai saturasi oksigen 98 – 99%.
c. Rentang nilai pernafasan pasien sebelum posisi high fowler pada hari
ketiga adalah 24 - 28 kali permenit dengan nilai saturasi oksigen 98 – 99%.
Sedangkan setelah dilakukan posisi high fowler selama 30 menit, rentang nilai
frekuensi pernafasan 22 – 24 kali per menit dan nilai saturasi oksigen 98 – 99%.
Hasil penelitian ini yaitu posisi high fowler dapat diaplikasikan perawat
yang merawat pasien yang mengalami sesak nafas khususnya pada pasien yang
mengalami efusi pleura.

Referensi

Annisa, Utomo, & Utami. (2015). Pengaruh Perubahan Posisi Terhadap Pola
Nafas Pada Pasien Gangguan Pernafasan. Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Riau. 292- 303

Dean, E. (2014).Effect of Body Position on Pulmonary Function. Journal of


American Physical Therapy

Kozier, B., Erb, G., Berman, Audrey., Snyder, S. J. (2011) Buku ajar Fundamental
Keperawatan, Konsep, Proses dan Praktik. Ed. 7.Vol. 1. Jakarta:EGC

McGrath E, Anderson PB. (2011) Diagnosis of Pleural Effusion : a Systematic


Approach. American Journal of Critical Care. Vol 20, No. 2.

Meilirianta, Tohri. T & Suhendra (2010). Posisi Semi-Fowler Dan Posisi High
Fowler Terhadap Perubahan Saturasi Oksigen Pada Pasien Asma Bronkial
Di Ruang Rawat Inap D3 Dan E3 Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat
Cimahi.

Moaty, A. M. A,Mokadem, N. M dan Elhy, A. H.A. (2017). Effect of


Semifowler’s Positions on Oxygenation and Hemodynamic Status among
Critically III Patients With Traumatic Brain Injur. International Journal of
Novel Research in Healthcare and Nursing. Vol 4, Issu 2

Najafi, S., Dehkordi, S. M., & Basirimoghaddam, M. (2018). The Effect Of


Position Change On Arterial Oxygen Saturation In Cardiac And
Respiratory Patients : A Randomised Clinical Trial. 33–37.

Nanda. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11


editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
Nasution & Widirahardjo. (2018). Perubahan Faal Paru pada Penderita Efusi
Pleura setelah Tindakan Aspirasi Cairan Pleura. Majalah Kedokteran
Nusantara. Vol 51 No 1 Maret 2018.

Nursalam. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis,


Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika

Puspita, Soleha, & Berta, 2015. Penyebab Efusi Pleura di Kota Metro pada tahun
2015. Journal ArgoMedicine. Universitas Lampung.

Safitri, R. & Andriyani, A. (2011).Keefektifan Pemberian Posisi Semi Fowler


Terhdap Penurunan Sesak Nafas Pada Pasien Asma Di Ruang Rawat Inap
Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta.Prodi S1 keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta. Vol. 8, No. 2 Agustus 2011.

WHO,(2017).Monitoring Health For The SDGs, Sustainable Development Goals.


ISBN 978-92-4-156548-6

Widiyanto B, Yasmin LS. (2014). Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi


Oksigen melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut
(IM-A). Prosiding Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah. 1(1): 138-
43.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan anatar produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura
viseralis. Efusi pleura disebabkan oleh hambatan reabsorpsi cairan dari
rongga pleura dan Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang
(tuberkulosis, pneumonia, virus). Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk mengetahui adanya efusi pleura pada klien antara lain
Pemeriksaan radiologi (rontgen dada), ultrasonografi dada,
torakosentesisi/pungsi pleura, dan biopsi pleura. Asuhan keperawatan
komprehensif yang diterpapkan pada klien dengan efusi pelura meliputi
pengkajian (primary survey dan secondary survey), diagnosa keperawatan,
rencana keperawatan, implementasi dan evaluasi.
B. Saran
Pada era pandemi seperti saat ini tentunya banyak pemebelajaran yang
dapat diperoleh secara daring. Diharapkan makalah ini dapat membantu
pembaca menambah wawasan mengenahi asuhan keperawatan komprehensif
pada pasien denga efusi pleura. Namun, alangkah baiknya apabila pembaca
juga membuka atau membaca dari sumber sumber lain yang mungkin lebih
lengkap dan rinci mengenai pembahasan asuhan keperawatan komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Salemba Medika.

Simanjuntak, Omega Diana. 2019. Karya Tulis Ilmiah. Asuhan Keperawatan


Komprehensif pada Tn. W.B yang Menderita Efusi Pleura di Ruangan
Komodo RSUD Prof. DR. W.Z. Johannes Kupang. Poltekkes Kemenkes
Kupang.

Suwardianto, Heru dan Astuti, Vitaria Wahyu. 2020. Buku Ajar Keperawatan
Kritis: Pendekatan Evidence Base Practice Nursing. Kediri. Chakra
Brahmanda Lentera.

Windiramadhan, Alvian Pristy, dkk. OBSERVASI PENGGUNAAN POSISI


HIGH FOWLER PADA PASIEN EFUSI PLEURA DI RUANG
PERAWATAN PENYAKIT DALAM FRESIA 2 RSUP DR.HASAN
SADIKIN BANDUNG : STUDI KASUS. Jurnal Perawat Indonesia,
Volume 4 No 1, Hal 329-338, Mei 2020. e-ISSN 2548-7051. Persatuan
Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714 6502.

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan III


(Revisi). Jakarta. Dewan Pengurus Pusat PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II.
Jakarta. Dewan Pengurus Pusat PPNI.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II. Jakarta.
Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai