Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Efusi pleura merupakan suatu akumulasi cairan yang abnormal di

dalam rongga pleura yang disebabkan karena adanya gangguan

homeostatik berupa adanya produksi cairan yang berlebihan atau

karena adanya penurunan absorpsi cairan. Efusi pleura biasanya

merupakan efek sekunder dari suatu penyakit primer. Insidensinya

tergantung dari penyakit yang mendasari efusi pleura. Pada pasien

dengan penyakit gagal jantung insiden terjadinya efusi pleura cukup

tinggi yaitu sekitar 55-88%, efusi juga dapat terjadi pada 67% pasien

dengan penyakit pericardial. Sirosis hepar dan ascites juga

dihubungkan dengan efusi pleura (6%) serta beberapa pneumonia

bakterial (11%) dapat penyebabkan terjadinya efusi pleura. Penyakit-

penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis,

infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus

atau tumpul pada daerah dada, infark paru, serta gagal jantung

kongestif. Pada negara-negara barat, efusi pleura terutama

disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan

pneumonia bakteri, sementara di negara yang sedang berkembang,

seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis.

Diagnosis efusi pleura secara radiologis dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan foto toraks, pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan

Computed Tomography (CT scan) dan pemeriksaan Magnetic

1
2

Resonance Imaging (MRI). Perkiraan jumlah volume efusi pleura juga

sangat penting untuk menentukan terapi dari efusi pleura, apakah

hanya dilakukan pengobatan atau tindakan invasif seperti

torakosentesis. Sehingga diperlukan pencitraan yang tepat sesuai

dengan kondisi pasien untuk mendiagnosis efusi pleura.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi dari efusi pleura?

1.2.2 Apa klasifikasi dari efusi pleura?

1.2.3 Bagaimana epidemiologi dari efusi pleura?

1.2.4 Apa etiologi dan faktor risiko dari efusi pleura?

1.2.5 Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari efusi pleura?

1.2.6 Apa manifestasi klinis dari efusi pleura?

1.2.7 Bagaimana diagnosis dari efusi pleura?

1.2.8 Apa diagnosis banding dari efusi pleura?

1.2.9 Bagaimana tatalaksana dari efusi pleura?

1.2.10 Apa komplikasi dari efusi pleura?

1.2.11 Bagaimana prognosis efusi pleura?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mampu mengetahui dan memahami definisi dari efusi pleura

1.3.2 Mampu mengetahui dan memahami klasifikasi dari efusi

pleura

1.3.3 Mampu mengetahui dan memahami epidemiologi dari efusi

pleura

1.3.4 Mampu mengetahui dan memahami etiologi dan faktor risiko

dari efusi pleura


3

1.3.5 Mampu mengetahui dan memahami patogenesis dan

patofisiologi dari efusi pleura

1.3.6 Mampu mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari

efusi pleura

1.3.7 Mampu mengetahui dan memahami diagnosis dari efusi

pleura

1.3.8 Mampu mengetahui dan memahami diagnosis banding dari

efusi pleura

1.3.9 Mampu mengetahui dan memahami tatalaksana dari efusi

pleura

1.3.10 Mampu mengetahui dan memahami komplikasi dari efusi

pleura

1.3.11 Mampu mengetahui dan memahami prognosis efusi pleura


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Efusi pleura merupakan suatu akumulasi cairan yang abnormal di

dalam kavum pleura yang disebabkan karena adanya gangguan

homeostatik berupa adanya produksi cairan yang berlebihan atau

karena adanya penurunan absorpsi cairan. Efusi pleura ini dapat

disebabkan dari penyakit-penyakit yang berasal dari pleura, proksimal

paru maupun ekstrapulmonal.

2.2 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, efusi pleura dibagi menjadi efusi pleura

transudatif dan efusi pleura eksudatif (Jany & Welte,2019):

a) Efusi Pleura Transudatif:

Efusi pleura transudatif disebabkan oleh peningkatan tekanan di

pembuluh darah atau rendahnya kadar protein di dalam darah

sehingga cairan merembes ke rongga pleura.

b) Efusi Pleura Eksudatif:

Efusi pleura eksudatif terjadi akibat peradangan, cedera paru,

tumor, atau gangguan aliran pada sistem limfatik.

2.3 Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa efusi pleura merupakan

salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi terkait

penyakit pulmonal. Namun, data mengenai insidensi pasti efusi pleura

pada dasarnya sulit ditentukan karena efusi pleura hanyalah

4
5

manifestasi dari penyakit yang mendasarinya. Prevalensi efusi pleura

di dunia diperkirakan sebanyak 320 kasus per 100.000 penduduk di

negara-negara industri dengan penyebarannya tergantung dari

etiologi penyakit yang mendasarinya. Angka kejadian efusi pleura di

Amerika Serikat ditemukan sekitar 1.5 juta kasus per tahunnya

dengan penyebab tersering gagal jantung kongestif, pneumonia

bakteri, penyakit keganasan, dan emboli paru (Rubins, 2013). Hasil

penelitian di salah satu rumah sakit di India pada tahun 2013-2014

didapatkan prevalensi efusi pleura sebanyak 80 kasus dengan

penyebab terbanyak tuberkulosis paru (Jamaluddin, 2015).

Prevalensi efusi pleura di Indonesia mencapai 2,7% dari penyakit

infeksi saluran napas lainnya (Depkes RI, 2006). Insiden efusi pleura

yang tinggi terdapat pada beberapa data di rumah sakit Indonesia.

Penelitian yang di lakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun

2008-2009 mendapatkan penderita efusi pleura sebanyak 193 orang

(Putri, 2010). Hasil penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan pada

tahun 2011 terdapat 136 penderita efusi pleura dengan tuberkulosis

paru sebagai penyebab terbanyak (44.1%) (Tobing dan Widiraharjo,

2013). Selain itu, penelitian lain di RS Persahabatan Jakarta pada

tahun 2012 ditemukan 119 penderita dengan keganasan merupakan

penyebab utama diikuti oleh tuberkulosis serta penyakit

ekstrapulmonal lainnya (Khairani et al, 2012). Distribusi penyakit efusi

pleura berbeda menurut jenis kelamin, hal ini dikarenakan etiologi

yang berbeda-beda. Angka kejadian efusi pleura pada laki-laki lebih

tinggi dengan penyebab terbanyak adalah tuberkulosis paru (Tobing


6

dan Widiraharjo, 2013), sedangkan angka kejadian pada perempuan

akan lebih tinggi jika keganasan sebagai penyebab terbanyak

(Surjanto et al, 2012).

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko

Keseimbangan pada rongga pleuralis antara tekanan hidrostatik dan

onkotik pada pembuluh pleura viseralis dan parietalis dengan drainasi

limfe perlu dijaga. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka

terjadilah efusi pleura. Efusi pleura dapat disebabkan oleh banyak

penyakit yang mendasari, mulai dari penyakit paru atau non-paru, akut

maupun kronik (Jany & Welte,2019). Berdasarkan penyebabnya, efusi

pleura dibagi menjadi efusi pleura transudatif dan efusi pleura

eksudatif (Jany & Welte,2019).

a) Efusi Pleura Transudatif:

Efusi pleura transudatif disebabkan oleh peningkatan tekanan di

pembuluh darah atau rendahnya kadar protein di dalam darah

sehingga cairan merembes ke rongga pleura. Kondisi ini dapat

disebabkan oleh sejumlah penyakit berikut:

 Gagal jantung kongestif

 Sirosis hati

 Kanker, seperti mesothelioma

 Emboli paru

 Hipoalbuminemia

 Gangguan ginjal, seperti sindrom nefrotik


7

b) Efusi Pleura Eksudatif

Efusi pleura eksudatif terjadi akibat peradangan, cedera paru,

tumor, atau gangguan aliran pada sistem limfatik. Sejumlah

penyakit yang sering menjadi penyebab kondisi ini adalah:

 Kanker, umumnya kanker paru atau kanker payudara

 Infeksi pada paru, seperti tuberkulosis dan pneumonia

 Penyakit autoimun, seperti lupus atau rheumatoid arthritis

 Cedera pada dinding dada, yang menyebabkan perdarahan

atau chylothorax

Meski jarang terjadi, efusi pleura juga dapat disebabkan oleh

kondisi lain, seperti konsumsi obat-obatan tertentu, termasuk

obat kemoterapi dan terapi radiasi (Jany & Welte,2019).

Faktor risiko umum dalam perkembangan efusi pleura adalah sebagai

berikut:

 Adanya Pre-existing lung damage or disease

 Perokok kronis

 Neoplasia (contoh : pasien kanker paru)

 Kecanduan alkohol

 Sirosis hepar

 Menggunakan obat obatan immunosupresan

 Gagal jantung
8

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi

Bila paru mengembang dan berkontraksi selama benapas normal,

maka paru bergerak ke depan dan ke belakang dalam kavum pleura.

Untuk memudahkan pergerakan ini, terdapat lapisan tipis cairan

mukoid yang terletak di antara pleura parietalis dan pleura viseralis

(Hall & Hall, 2021)

Gambar 1 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam

ruang pleura. Membran pleura merupakan membran serosa

mesenkimal yang berpori, tempat sejumlah kecil cairan interstisial

bertransudasi secara terus-menerus ke dalam ruang pleura. Cairan ini

membawa protein jaringan, yang mukoid pada cairan pleura, sehingga

memberi sifat mukoid pada memungkinkan pergerakan paru

berlangsung dengan sangat mudah (Hall & Hall, 2021).

Gambar 1. Dinamika pertukaran cairan di dalam ruang intrapleura (Hall & Hall,
2021)
9

Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit,

hanya beberapa mililiter. Bila jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk

menciptakan suatu aliran dalam rongga pleura, kelebihan tersebut

akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik yang terbuka secara

langsung dari rongga pleura ke dalam (1) mediastinum, (2)

permukaan atas diafragma, dan (3) permukaan lateral pleura

parietalis. Oleh karena itu, ruang antara pleura parietalis dan pleura

viseralis disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu

sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang nyata (Hall & Hall,

2021).

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada

keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam

keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi

melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan

tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial,

kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.

Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura

(FKUI, 2014).

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat

disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman

piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi

empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar

pleura dapat menyebabkan hemotoraks (FKUI, 2014).


10

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena

penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis

hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh

berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis

paru dan pneumotoraks (FKUI, 2014).

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang

menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura

meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau

kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura.

Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena

mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa

tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba,

paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus,

mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru, proses imunologik

seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab

lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi

(FKUI, 2014).

Pada efusi pleura cairan dapat berupa transudat atau eksudat.

Jika cairan tersebut transudat, kondisi ini disebut sebagai hidrotoraks.

Hidrotoraks akibat gagal jantung kronik mungkin merupakan

penyebab tersering akumulasi cairan di rongga pleura. Suatu eksudat

yang ditandai oleh kandungan protein lebih besar dari 2,9 mg/dl dan,

seringkali, sel radang, mengindikasikan kemungkinan pleuritis. Empat

prinsip utama terjadinya eksudat pleura adalah (1) invasi mikroba


11

melalui baik ekstensi langsung dari suatu infeksi paru atau melalui

darah (pleuritis supuratif atau empiema); (2) kanker (karsinoma paru,

neoplasma yang bermetastasis ke paru atau permukaan pleura,

mesotelioma); (3) infark paru; dan (4) pleuritis virus. Penyebab efusi

pleura eksudatif lain yang lebih jarang adalah lupus eritematosus

sistemik, artritis reumatoid, dan uremia, selain operasi dada

sebelumnya. Efusi ganas secara khas banyak, dan seringkali

berdarah (pleuritis hemoragic). Pemeriksaan sitologi dapat

menunjukkan adanya sel ganas dan sel radang (Kumar, et al., 2018).

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala yang paling umum dari efusi pleura adalah sesak. Tingkat

keparahan sesak hanya berkorelasi dengan ukuran efusi pleura. Efusi

pleura yang besar mengambil ruang di dada yang biasanya diisi oleh

parenkim paru sehingga demikian berhubungan dengan penurunan

volume paru. Beberapa pasien mengeluhkan batuk kering, yang bisa

dapat dijelaskan sebagai manifestasi peradangan pleura atau

kompresi paru akibat efusi pleura. Efusi pleura juga dapat merusak

kualitas tidur (Jany dan Tobias, 2019).

Gejala yang paling umum timbul dari pleural respon inflamasi

adalah nyeri pleuritik, yaitu diperantarai oleh pleura parietal (pleura

viseral tidak mengandung nosiseptor atau serabut saraf nosiseptif).

Rasa sakit biasanya dirasakan di daerah kelainan patologis, dan

sering dikaitkan dengan siklus pernapasan. Nyeri pleuritik lokal seperti

itu membaik atau hilang segera setelah efusi pleura muncul. Beberapa
12

pasien menggambarkan sensasi tekanan di dada yang menyebar dan

menyakitkan terutama saat proses patologis secara langsung

melibatkan parietal pleura, misalnya, dalam kasus empiema pleura,

tumor ganas primer, atau karsinomatosis pleura. Efusi pleura dalam

situasi ini biasanya dari tipe eksudatif (Jany dan Tobias, 2019).

Tabel 1. Tanda dan gejala yang mengarahkan pada etiologi efusi


pleura

Sign and symtomps Suggested etiology


Ascites Chirrhosis
Distended neck veins Heart Failure, pericarditis
Dyspnea on exertion Heart failure
Fever Abdominal abscess, empyema,
malignancy, pneumonia, tuberculosis
Hemoptosis Malignancy, pulmonary embolism,
tuberculosis
Hepatosplenomegali Maliganancy
orthopneu Malignancy
Orthopneu Heart failure, pericarditis
Peripheral edema Heart failre
S3 Gallop Heart failure
Unilateral extremely Pulmonary embolism
swelling
Weight loss Malignancy, TBC
(Saguil et al, 2014)

Tanda klinis pemeriksaan fisik yang dapat dijumpai pada diagnosis efusi

pleura adalah (Saguil et al, 2014)

1. Pleural friction rub

2. Ekspansi dada yang asimetris

3. Penurunan suara fremitus

4. Suara nafas berkurang

5. Perkusi redup
13

2.7 Kriteria Diagnosis

Pada anamnesis gejala klinis yang sering dijumpai adalah sesak

napas, batuk.

 Nyeri dada yang bersifat tajam menusuk yang memberat saat

pasien menarik napas dalam atau batuk.

 Sering dijumpai batuk yang tidak berdahak, tetapi bisa juga

dijumpai batuk yang berdahak atau berdarah bila disertai lesi pada

paru.

 Dijumpai sesak napas, semakin banyak cairan di rongga pleura

akan semakin sesak. Sesak napas dirasakan seperti rasa berat di

dada. Pasien akan merasa lebih nyaman dengan posisi tidur

miring ke arah lesi

 Demam ringan.

Pemeriksaan Fisik:

 Inspeksi: terlihat gerakan pernapasan yang tertinggal pada

hemitoraks yang sakit, bila cairan banyak di rongga pleura maka

dada tampak cembung dan ruang antar iga melebar.

 Palpasi: dijumpai fremitus suara yang melemah pada sisi yang

sakit. Trakea dan mediastinum dapat terdorong ke sisi yang sehat.

 Perkusi: dijumpai redup pada daerah yang sakit.

 Auskultasi: terdengar suara napas yang melemah sampai

menghilang pada sisi yang sakit. Suara gesekan pleura (Pleural

friction rub) dapat terdengar bila jumlah cairan minimal


14

Kriteria efusi pleura bila memenuhi salah satu hal berikut:

 Efusi pleura dengan jumlah berapapun dan penyebab apapun

yang terbukti terdapat cairan dengan tindakan pungsi

pleura/torakosentesis.

 Efusi pleura yang terbukti dengan pemeriksaan imaging (foto

toraks dan/atau USG toraks dan/atau CT scan toraks) dengan

jumlah minimal atau lebih dari minimal yang disertai dengan

tindakan pungsi pleura (tidak harus keluar cairan) dan/atau tata

laksana tambahan sesuai penyebabnya di luar tata laksana

diagnosis primer.

Definisi efusi pleura dengan jumlah minimal bila memenuhi salah satu

kriteria berikut:

 Gambaran efusi pada foto toraks lateral dekubitus dan/atau CT

scan toraks dengan ketebalan kurang dari 10 mm.

 Gambaran efusi pada USG toraks dengan jumlah cairan kurang

dari 100 ml dan/atau jarak antara pleura parietal dan pleura viseral

kurang dari 10 mm. (PDPI, 2021)

Pemeriksaan penunjang:

 CXR (Chest X-Ray)

Radiografi dada posteroanterior dan lateral merupakan

standar tetap, menjadi teknik yang paling penting untuk diagnosis

awal efusi pleura. Jumlah cairan yang akan terlihat pada film
15

posteroanterior adalah 200 mL, sedangkan sudut kostofrenikus

tumpul dapat ditemukan pada film lateral ketika cairan telah

terakumulasi sekitar 50 mL. Secara klasik, opasitas homogen

terlihat dengan obliteration sudut kostofrenikus dan batas atas

melengkung, yaitu kurva berbentuk Ellis S.

Gambar 2. X-ray chest, posteroanterior view, with Ellis S-shaped curve.

(Karkhanis & Joshi, 2012).

Temuan radiologis atipikal disebabkan oleh efusi yang

teridentifikas lateral atau lamellar.

Gambar 3. X-ray chest, posteroanterior view, with lamellar effusion.


(Karkhanis & Joshi, 2012).
16

Fissural loculations adalah kekeruhan bikonveks menyerupai


jaringan tumor, paling sering terlihat pada gagal jantung kongestif,
dan menghilang setelah perawatan.

Gambar 4. (A) X-ray chest, posteroanterior view, with fissural effusion,


and (B) X-ray chest, lateral view, with fissural effusion. (Karkhanis &
Joshi, 2012).

 USG Toraks

Gambaran ultrasonografi pada efusi pleura ditandai dengan

ruang bebas antara pleura viseral dan parietal. Ultrasonografi

berguna dalam kasus efusi pleura untuk mengkonfirmasi diagnosis


17

dan untuk penanda atau marker torakosentesis. Ultrasonografi juga

membantu dalam membedakan antara lesi berisi cairan dan padat.

Karakteristik sonografi efusi sangat membantu dalam

membedakan transudat dengan eksudat.

Menurut The Internal Echogenicity, efusi dapat disubklasifikasi

sebagai anechoic, complex nonseptated, complex septated, atau

homogenously echogenic. Efusi biasanya eksudat Ketika

didapatkan bersekat-sekat atau menunjukkan pola ekogenik yang

kompleks atau homogenous. Pola ekogenik padat paling sering

dikaitkan dengan efusi hemoragik atau empiema. Tumor pleura

dapat terlihat dengan baik gambaran hipoekoik, atau lesi nodular

padat ekogenik yang terletak di pleura parietal atau viseral.

 CT Toraks

Pemindaian Computed tomography (CT) dengan gambar

penampangnya dapat digunakan untuk mengevaluasi situasi

kompleks di mana anatomi tidak dapat sepenuhnya dinilai dengan

radiografi biasa atau ultrasonografi. CT dapat berguna dalam

membantu memilih lokasi drainase empiema, membedakan

empiema dari abses paru, dan mengidentifikasi lokasi tabung

dada di drainase empiema yang gagal. Tanda pleura split yang

terlihat pada CT dada dengan kontras menunjukkan penebalan

pleura. Ada peningkatan pleura parietal dalam dan parietal luar

yang menebal, dengan pemisahan berupa kumpulan cairan

pleura.
18

Gambar 5. Contrast-enhanced computed tomography: split pleural

sign. (Karkhanis & Joshi, 2012).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Leung et al

terhadap 74 pasien, 39 di antaranya memiliki penyakit ganas, dan

menunjukkan bahwa penyakit ganas banyak didapatkan

circumferential, nodular, mediastinal, dan penebalan pleura

parietal lebih besar dari 1 cm.

Gambar 6. Contrast-enhanced computed tomography: Leung’s criteria.

(Karkhanis & Joshi, 2012).

Pemeriksaan laboratorium analisis cairan pleura, penampilan

makroskopis cairan pleura harus diperhatikan saat dilakukan

torakosentesis, karena dapat menegakkan diagnosis. Cairan bisa


19

sifatnya serosa, serosanguineous (ternoda darah), hemoragik, atau

bernanah. Cairan berdarah (hemoragik) sering terlihat pada

keganasan, emboli paru dengan infark paru, trauma, efusi asbes jinak,

atau sindrom cedera jantung. Cairan purulen dapat dilihat pada

empiema dan efusi lipid. Sebagai tambahan bau busuk dapat

menyebabkan infeksi anaerob dan bau amonia menjadi urinotoraks.

Karakterisasi cairan pleura sebagai transudat atau eksudat membantu

menyingkirkan diagnosis banding dan mengarahkan pemeriksaan

selanjutnya. Kriteria yang paling umum digunakan untuk membuat

diferensiasi ini adalah kriteria Light (Pranita, 2020).

Tabel 2. Kriteria Light

Efusi dianggap eksudat jika beberapa kriteria berikut ini dipenuhi

 Protein total atau total protein serum cairan pleura > 0,5

 LDH atau serum LDH cairan pleura > 0,6

 LDH cairan pleura > 2/3 batas atas normal untuk serum

LDH

(Pranita, 2020)

Pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi glukosa dalam cairan

pleura berbanding lurus dengan kelainan patologi pada cairan pleura.

Asidosis cairan pleura (pH rendah berkorelasi dengan prognosis buruk

dan memprediksi kegagalan pleurodesis. Pada dugaan infeksi pleura,

pH kurang dari 7,20 harus diobati dengan drainase pleura. Amilase

cairan pleura meningkat jika rasio cairan amilase terhadap serum

pleura lebih besar dari 1,0 dan biasanya menunjukkan penyakit


20

pankreas, ruptur esofagus, dan efusi yang ganas. Seharusnya tidak

diukur secara rutin tetapi dapat berguna ketika esofagus atau pankreas

menyebabkan efusi. Jika tingkat trigliserida cairan pleura lebih besar

dari 110 mg dL (1,2-l mmol/L) merupakan karakteristik dari chylothorax,

dan kadar kurang dari 50 mg/dl (0,56 mmol/L) tidak dapat disimpulkan

diagnosisnya. Tingkat menengah (antara 50110 mg/dL [0,56-1,24

mmol/L]) harus diselidiki dengan pemeriksaan analisis lipoprotein

untuk melihat angka kilomikron. Ini juga bukan studi cairan pleura rutin

tetapi sesuai pada pasien dengan dugaan chylothorax (Pranita, 2020).

Tabel 3. diagnosis berdasarkan hasil analisis cairan pleura.

Diagnosis Kriteria

Tuberculosis Exudate, lymphocytic predominance,

positive acid-fast bacillus smear or cultures,

ADA > 50 U/L

Empyema Exudative with PMN predominance/pus,

positive Gram stains or cultures, LDH >1000,

glucose < 40 mg%, pH < 7.2

Malignancy Exudate, lymphocytic predominance,

positive cytology

Hemothorax Hemorrhagic, hematocrit >50% of blood

Esophageal pH < 7, high salivary amylase

rupture

Urinothorax pH <7, transudat, pleural fluid-to-serum

creatinine ratio > 1


21

Chylothorax Triglycerides > 110 mg/dL, chylomicrons,

cholesterol/triglyceride ratio < 1

Rheumatoid Exudate, lymphocytic predominance,

pleurisy rheumatoid factor positive > 1:320, low

glucose < 40 mg%, ADA > 50 U/L

Lupus pleuritis Exudate with PMN predominance, LE cells

positive, ANA positive > 1:160

Pancreatitis Exudate with PMN predominance, plenty of

RBC

Fungal infection Black-colored, fungal smear, culture positive

(Pranita, 2020)

2.8 Diagnosis Banding

Tabel 4. Diagnosis Banding Efusi Pleura

Transudate Exudate

Congestive heart failure Malignant disease

 carcinoma of any origin but

especially lung and breast

 lymphoma

 mesothelioma
22

Cirrhosis Infections
 parapneumonic effusion
 tuberculous pleurisy
 fungal, parasitic or viral
infections
Nephrotic syndrome Autoimmune inflammatory diseases
 systemic lupus
erythematosus and other
connective tissue diseases
 rheumatoid arthritis
Urinothorax Pulmonary embolism

Hypothyroidism Intra-abdominal processes


 pancreatitis
 subphrenic/hepatic abscess
Hypoalbuminemia Drugs
 amiodarone
 dasatinib
 methotrexate
 nitrofurantoin and others
Cerebrospinal fluid leak Miscellaneous
 benign asbestos reactive
effusion
 traumatic hemothorax
 chylothorax and
pseudochylothorax
 postcardiac bypass surgery
 post–cardiac injury
syndrome (Dressler
syndrome)
 postradiation therapy
(Pranita, 2020)
23

2.9 Tatalaksana

A. Drainase postural dan fisioterapi: Posisi tubuh diatur sedemikian

rupa sehingga cairan dapat keluar dengan sendirinya (akibat gaya

berat) atau dengan bantuan fisioterapis (RSI, 2020).

B. Penatalaksanaan khusus

I) Pungsi Pleura :

Pungsi pleura (torakosentesis) merupakan tindakan invasif

dengan menginsersi jarum melalui dinding toraks untuk

mengeluarkan cairan dari rongga pleura. Tindakan ini memiliki

tujuan diagnostik yaitu mendapatkan spesimen cairan pleura

untuk pemeriksaan lebih lanjut dan juga tujuan terapeutik

untuk mengurangi tekanan mekanik terhadap paru (Robert,

2014).

Efusi pleura adalah adanya cairan abnormal dalam rongga

pleura yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit. Dengan

mendapatkan spesimen cairan pleura dapat diperiksa lebih

lanjut, di antaranya apakah tergolong transudat atau eksudat

yang akan membantu dalam penegakan diagnosis penyakit

(Robert, 2014).

 Indikasi

1. Untuk mengambil spesimen cairan pleura untuk

pemeriksaan analisis, mikrobiologi dan sitologi.

2. Mengatasi gangguan respirasi yang diakibatkan

penumpukan cairan di dalam rongga pleura.


24

 Kontraindikasi:

1. Trombositopenia

2. Dalam terapi anti koagulan

3. Batuk atau cegukan yang tidak terkontrol

 Prosedur Keterampilan:

1. Informed Consent:

Informed consent termasuk deskripsi prosedur,

serta risiko prosedur, manfaat, dan alternatif harus

diperoleh dan didokumentasikan, dan salinan

persetujuan ditempatkan di bagian kertas pasien.

2. Persiapan pasien dan alat

Posisikan pasien duduk tegak di tepi tempat tidur

dengan tangan terentang sembari memeluk bantal

yang ada di meja pasien sebagai penyangga,

dianjurkan untuk memaksimalkan kenyamanan. Efusi

harus dilokalisasi menggunakan auskultasi, perkusi,

dan fremitus taktil. Selain itu juga bisa menggunakan

bantuan foto toraks atau USG (Robert, 2014).

Tempat torakosentesis harus berada di

pertengahan skapula atau garis aksila posterior (6-10

cm lateral tulang belakang), dan satu sampai dua

ruang interkostal di bawah tingkat tertinggi efusi. Untuk

meminimalkan risiko cedera diafragma, tingkat

terendah yang direkomendasikan untuk torakosentesis

adalah antara tulang rusuk kedelapan dan kesembilan


25

(ruang interkostal kedelapan). Tandai area penusukan

jarum dengan menekan pena atau tutup pena dengan

kuat pada kulit sehingga menciptakan lekukan yang

akan tetap ada setelah tinta dibersihkan. Dengan

teknik steril, dilakukan tindakan disinfeksi di sekitar

lokasi torakosentesis. Duk steril kemudian harus

diaplikasikan untuk membuat bidang steril (Robert,

2014).

3. Pemasangan Kateter:

- Dengan menggunakan spuit 5 cc, infiltrasikan 2-4

mL lidokain 2% ke dalam kulit (intradermal),

kemudian tunggu sesaat. Lalu dengan teknik

zigzag lanjutkan infiltrasi mengarah ke sisi atas

costae dengan setiap 1-2 mm kemajuan jarum,

aspirasi, kemudian menyuntikkan 1 ml lidokain

hingga menembus pleura. Penyisipan jarum harus

menargetkan tepi atas costae untuk menghindari

cedera pada bundel neurovaskular yang berjalan di

margin inferior di tiap costae.

- Setelah jarum dimajukan ke kedalaman tulang

rusuk, "susuri" jarum ke atas sampai ruang

interkostal tercapai, kemudian majukan jarum

dengan perlahan dan hati–hati ke dalam rongga

pleura.
26

- Saat memasuki ruang pleura, akan terasa adanya

resistensi. Setelah terasa menembus pleura

parietal lakukan aspirasi dari rongga pleura hingga

dipastikan yang didapat adalah cairan efusi.

Kemudian spuit dicabut dan sementara tutup bekas

tusukan dengan alkohol swab.

- Insersikan IV kateter nomer 16G dengan teknik

zigzag di tempat tusukan jarus anestesi dan

setelah dipastikan menembus pleura parietalis

maka maindrain jarum dicabut.

- Sambungkan IV catheter dengan 3-way stopcock

yang sudah terakit dengan spuit 50 cc dan urobag.

- Aspirasi cairan pleura secara perlahan dan hati-hati

hingga memenuhi spuit 50 cc.

- Tutup kran dari aliran 3-way stopcock ke rongga

pleura lalu buang cairan dalam spuit melalui aliran

blood set ke urobag.

- Kemudian kran threeway stopcock kembali di putar

ke arah rongga pleura dan dilakukan aspirasi

kembali sebanyak 50 cc.

- Lakukan langkah 6-8 secara berulang hingga

seluruh cairan efusi terevakuasi dengan batas

maksimal hanya 1.500 cc. Membatasi pengeluaran

cairan hingga 1.500 mL dilakukan untuk

mengurangi risiko edema paru ekspansi ulang.


27

Infromasikan kepada pasien bahwa mereka

mungkin mengalami ketidaknyamanan dada dan

batuk saat paru atelektasis mengembang kembali

dengan pembuangan cairan.

- Setelah prosedur selesai, IV catheter dicabut lalu

luka bekas tusukan ditutup dengan kasa steril yang

diberi povidone iodine kemudian di plester, dan

pasien diposisikan senyaman mungkin.

- Spesimen dilabeli lalu dikirim untuk pemeriksaan

analisis cairan pleura.

II) Radiografi pasca prosedur diperoleh untuk menyingkirkan

pneumotoraks yang signifikan, namun, penelitian telah

menunjukkan hal ini tidak diperlukan pada pasien dengan

risiko rendah untuk perlengketan, hanya memerlukan satu kali

insersi jarum, dan tidak memiliki gejala baru selama atau

setelah prosedur (Robert, 2014).

III) Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD): dilakukan

tindakan drainase cairan, dialirkan melalui selang yang

dimasukkan ke dalam rongga pleura dan dihubungkan dengan

mesin Water Sealed Drainage (WSD). Perubahan dari warna,

konsistensi, volume dan bau cairan selama monitoring dan

kondisi paru pasien menentukan berapa lama kateter toraks

ini terpasang (RSI, 2020).


28

C. Tatalaksana berdasarkan penyebab efusi pleura

i) Tatalakasana efusi parapneumonik

Efusi parapneumonik adalah efusi pleura eksudatif yang

terjadi berdekatan dengan pneumonia akibat bakteri dan hasil

dari migrasi kelebihan cairan paru interstitial yang melintas

pleural viseral: walaupun terdapat sel inflamasi, infeksi

parapneumonik bersifat steril. Jika bakteri dari pneumonia

menginvasi rongga pleura, akan terjadi efusi atau empiema

parapneumonik. Efusi parapneumonik yang rumit dapat

melibatkan invasi bakteri yang persisten dan menghasilkan sel-

sel inflamasi serta penurunan kadar glukosa dan pH. Empiema

merupakan infeksi yang jelas berasal dari rongga pleura

dengan adanya atau nanah. Sampel efusi pleura dengan

kedalaman lebih dari 10mm pada foto toraks dan berhubungan

dengan penyakit pneumonia harus diambil sampelnya. Secara

umum, keadaan ini membutuhkan drainase tabung torakostomi

ketika pH kurang dari 7,2 atau kadar glukosa cairan pleura

kurang dari 60 mg/dL (3,3 mmol/L) (Pranita, 2020)


29

Tabel 5. Efusi Parapneumonik

(Pranita, 2020)

ii) Tatalaksana Efusi Pleura Maligna

Tujuan penatalaksanaan pada efusi pleura ganas (maligna)

adalah paliasi atau mengurangi gejala. Pilihan terapi harus

tergantung pada prognosis, kejadian efusi berulang, dan

keparahan gejala pada pasien. Torakosentesis terapeutik ulang

sesuai untuk pasien dengan prognosis buruk (<3 bulan) dan,

reakumulasi cairan yang rendah. Kateter pleura yang menetap

dengan drainase intermiten biasanya merupakan prosedur

pilihan pada efusi pleura ganas. Kateter pelura yang tinggal di

dalam tubuh telah dibuktikan memberikan peredaan gejala

yang signifikan, dan 50-70% pasien mencapai obliterasi

spontan dari rongga pleura (pleurodesis) setelah 2-6 minggu.

Pleurodesis kimia dengan bedak jugak sangat efektif dengan


30

tingkat keberhasilan 60-90%, tergantung pada derajat atau

ekspansi paru. Pleurektomi dan pintasan pleuroperitoneal

adalah pilihan manajemen lain tetapi jarang dilakukan (Pranita,

2020).

2.10 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada efusi pleura

(Haithcock et al, 2010) yakni:

2.10.1 Fibrotoraks

Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani

dengan drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa

antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini

disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat

menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan-

jaringan yang berada di bawahnya, pembedahan

pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk

memisahkan membran-membran pleura tersebut.

2.10.2 Atelektasis

Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak

sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi

pleura.

2.10.3 Fibrosis Paru

Fibrosis paru merupakan keadaan patologis yang terdapat

jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis

timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan

suatu proses penyakit paru yang menimbulkan


31

peradangan. Pada efusi pleura, atelektasis yang

berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan

paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.

2.10.4 Kolaps Paru

Kolaps paru adalah tekanan yang diakibatkan oleh tekanan

ektrinsik pada sebagian/semua bagian paru akan

mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps paru.

2.10.5 Empiema

Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru

dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura.

Cairan yang terinfeksi dapat menyebabkan tekanan pada

paru, sesak napas dan rasa sakit.

Komplikasi yang terkait dengan torakosentesis meliputi:

 Pneumotoraks. Insidensi pneumotoraks bervariasi antara 3%

hingga 20%.

 Nyeri pada tempat dilakukannya prosedur

 Reaksi vasovagal

 Edema paru re-ekspansi

Merupakan komplikasi yang jarang. Dilaporkan dalam 1%

hingga 2% dari pasien:

 Hematoma subkutan

 Infeksi pleura (Haithcock et al, 2010).


32

2.11 Prognosis

Efusi pleura pada pasien dengan kanker dikaitkan dengan

prognosis yang buruk, tetapi hal ini sangat bervariasi. Pasien

dengan keganasan hematologi atau pleura mesothelioma rata-rata

hidup hampir satu tahun, sementara pasien dengan kanker paru

memiliki prognosis terburuk, dengan waktu kelangsungan hidup

rata-rata hanya 2-3 bulan. Menurut pendapat banyak penulis,

cairan pleura purulen, keterlambatan dalam memulai drainase

pleura, komorbiditas diabetes, dan lokulasi semuanya terkait

dengan prognosis yang buruk (saguil, 2014).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Efusi pleura adalah penimbunan cairan di dalam rongga

pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari

permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit,

akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. Akibat adanya carian

yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru

akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan

pendorongan organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini

mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan juga dapat

mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi darah.

Manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar.

Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Efusi pleura

harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan

pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada.

3.2 Saran

Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perkembangan

ilmu yang membahas tentang efusi pleura.

33
DAFTAR PUSTAKA

Beaudoin, S., & Gonzalez, A. V. (2018). Evaluation of the Patient with

Pleural Effusion. CMAJ, 190(10), 219-295.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Penderita Efusi

Pleura.

FKUI, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta Pusat:

InternaPublishing.

Haithcock, B. E., Lewis, M. I., McKenna, R. J., & Feins, R. H. (2010).

Pleural Effusions and Complications. Medical Management of the

Thoracic Surgery Patient, 420–431. doi:10.1016/b978-1-4160-

3993-8.00047-7

Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, Sudoyo AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen IPD FKUI; hal. 1056-60.

Hall, J. E. & Hall, M. E., 2021. Guyton and Hall Textbook of Medical

Physiology. 14th ed. Philadelphia: Elsevier.

Jamaluddin, Kumar Rakesh, Mehdi MD, and Alam F. 2015. Study

Etiological and Clinical Profile of Pleural Effusion in A Teritary Care

Hospital in Kosi Region of Bihar. Journal of Evidence Based

Medicine and Healthcare. Vol.2. Issue 47: 8330-8334

Jany, B., & Welte, T. (2019). Pleural Effusion in Adults-Etiology,

Diagnosis, and Treatment. Deutsches Arzteblatt International,

116(21), 377–386

34
35

Karkhanis, V. S., & Joshi, J. M. (2012). Pleural Effusion: diagnosis,

treatment, and management. Open Acces Emergency Medicine,

31-52.

Khairani Rita, Syahruddin Elisna, Partakusuma LG. 2012. Karakteristik

Efusi Pleura Di Rumah Sakit Persahabatan. Jurnal Respirologi

Indonesia. Vol. 32. No. 3: 155-160

Kumar, V., K.Abbas, A. & C.Aster, J., 2018. Robbins Basic Pathology.

10th ed. Canada: Elsevier.

Pranita, N. P. (2020). Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru Penyakit

Pleura. WELLNESS AND HEALTHY MAGAZINE, 69-78.

Putri, Yeni. 2010. Profil Penderita Efusi Pleura di Bangsal Paru RS Dr. M.

Djamil Padang Periode Januari 2008 - Desember 2009

Surjanto E, Sutanto YS, Aphridasari J, dan Leonardo. 2014. Penyebab

Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit. Jurnal

Respirologi Indonesia. 34: 102-108

Tobing Elizabeth MS dan Widiraharjo. 2011. Karakteristik Penderita Efusi

Pleura di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011. E-Jurnal FK

USU. Vol. 1. No. 2

Anda mungkin juga menyukai