Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

GLAUKOMA KRONIS

Oleh :

Muhammad Alfarizi 220702110008


Daru Darma P 220702110012
Anis Khoirinnisa 220702110015
Nadiya Salma Kustiawan 220702110026
Vinsa Surya Amanda 220702110043

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................................3
BAB II..............................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................5
2.1 Definisi Glaukoma...............................................................................................................5
2.2 Klasifikasi Glaukoma..........................................................................................................5
2.3 Epidemiologi Glaukoma......................................................................................................6
2.4 Faktor risiko Glaukoma......................................................................................................7
2.5 Etiologi Glaukoma.............................................................................................................11
2.6 Patofisiologi Glaukoma.....................................................................................................13
2.7 Kriteria Diagnosis Glaukoma...........................................................................................16
2.8 Pemeriksaan Penunjang Glaukoma.................................................................................17
2.9 Diagnosis Banding Glaukoma..........................................................................................21
2.10 Tatalaksana Glaukoma.....................................................................................................21
2.11 Komplikasi Glaukoma......................................................................................................27
2.12 Prognosis Glaukoma.........................................................................................................27
BAB III...........................................................................................................................................28
LAPORAN KASUS.......................................................................................................................28
BAB IV...........................................................................................................................................34
PEMBAHASAN............................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................35
BAB I

PENDAHULUAN

Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan utama di dunia setelah katarak


atau kekeruhan lensa, dengan jumlah penderita diperkirakan sebanyak ±70.000.000 orang
di seluruh dunia. Glaukoma adalah penyakit mata yang dapat mengakibatkan neuropati
optik yang diikuti gangguan pada lapang pandang yang khas dan atrofi saraf optic (Dian,
2016).

Di Indonesia, menurut riskesdas tahun 2007 prevalensi glaukoma sebesar 0,46%


yang artinya sebanyak 4 sampai 5 orang dari 1.000 penduduk Indonesia menderita
glaukoma. Pada tahun 2017, jumlah kasus baru glaukoma pada pasien rawat jalan di
rumah sakit di Indonesia adalah 80,548 kasus. Berdasarkan jenis kelamin, penderita
glaukoma Wanita lebih banyak daripada laki-laki. Mayoritas glaukoma diderita pada
pasien kelompok umur 44 – 64 tahun, > 64 tahun, dan 24-44 tahun berdasarkan data
pasien rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit tahun 2017 (Kemenkes, 2018).

Glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi glaukoma primer dan sekunder.


Glaukoma primer adalah penyakit glaukoma yang tidak berhubungan dengan kelainan
atau penyakit pada mata atau sistemik lain. Glaukoma primer merupakan jenis terbanyak
terbagi menjadi glaukoma primer sudut terbuka dan glaukoma primer sudut tertutup.
Glaukoma primer sudut terbuka terjadi penyumbatan secara perlahan dan mengakibatkan
peningkatan tekanan bola mata. Glaukoma primer sudut terbuka bersifat kronis dengan
progresivitas yang lambat dan tanpa gejala sehingga penderita tidak menyadari sampai
terjadinya penyempitan lapang pandang. Sedangkan glaukoma primer sudut tertutup
memiliki ciri sudut bilik mata depan yang sempit sehingga menghambat cairan keluar
dari bola mata. Glaukoma primer sudut tertutup bersifat akut dengan gejala nyeri pada
daerah mata, sakit kepala, mata merah, peningkatan tekanan bola mata secara tiba-tiba,
penurunan penglihatan mata secara tajam, dan terkadang disertai mual muntah. Glaukoma
sekunder adalah glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata lain seperti pada penderita
peradangan mata berulang, komplikasi dari penyakit katarak, dan trauma atau benturan
akibat benda tumpul pada mata. Selain itu terdapat glaukoma kongenital, normotensi, dan
absolut. Glaukoma kongenital adalah glaukoma yang terjadi pada bayi baru lahir akibat
kegagalan fungsi sitem ekskresi bilik mata depan. Glaukoma normotensi merupakan
kondisi dimana terjadi kerusakan saraf pusat mata meskipun tekanan bola mata masih
dalam rentang normal. Sedangkan glaukoma absolut adalah hasil akhir dari suatu
glaukoma yang tidak terkontrol dengan ciri mengerasnya bola mata dan berkurangnya
penglihatan sampai dengan nol (Kemenkes, 2019).

Katarak adalah istilah kedokteran untuk setiap keadaan kekeruhan yang terjadi
pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi
protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya Biasanya mengenai kedua mata
dan berjalan progresif. Glaukoma sekunder yang terjadi akibat katarak senilis adalah
salah satu bentuk glaukoma sekunder yang dibangkitkan lensa. Glaukoma dan katarak
yang ditemukan pada orang berusia lanjut yaitu sekitar 40 tahun ke atas. Proses
kekaburan lensa mata biasanya dimulai pada mata yang satu kemudian diikuti mata
sebelahnya. Terjadinya keadaan ini karena suatu perubahan degenerasi dari pada lensa
yang menyebabkan berkurangnya transparansi substansi lensa. Katarak senilis ada jenis
katarak yang paling banyak ditemukan (±90%) dibandingkan dengan katarak-katarak
lain. Secara klinik dikenal empat stadium katarak senilis, yaitu Insipien, Imatur, Matur,
dan Hipermatur. Glaukoma sekunder yang terjadi akibat katarak senilis ini terjadi
bersama-sama dengan kelainan lensa. Pada stadium immatur, lensa yang degeneratif
mulai menyerap cairan mata ke dalam lensa sehingga lensa menjadi cembung. Kemudian
terjadi pembengkakan lensa yang disebut sebagai katarak intumesen. Akibat lensa yang
bengkak, iris terdorong ke depan, bilik mata dangkal dan sudut bilik mata akan sempit
atau tertutup, sehingga timbul glaukoma sekunder yang dinamakan glaukoma fakamorfik.
Sedangkan pada stadium katarak hipermatur, terjadi proses degenersi lanjut lensa dan
korteks lensa (Katarak Morgagni). Terjadi juga degenerasi kapsul lensa sehingga bahan
lensa ataupun korteks lensa yang cair akan keluar dan masuk kedalam bilik mata depan.
Akibat bahan lensa yang keluar dari kapsul, maka akan timbul reaksi peradangan pada
jaringan uvea menjadi uveitis, yang dapat menimbulkan glaukoma fokotoksik. Bahan
lensa ini juga dapat menutup jalan keluar cairan bilik mata sehingga timbul glaukoma
fakolitik. Banyak penderita katarak senilis yang dengan alasan takut ataupun kurang
biaya tidak mau dioperasi. Hal ini akhirnya dapat menyebabkan penderita katarak senilis
tersebut menderita glaukoma sekunder, dan bila dibiarkan terus berlangsungannya maka
akan terjadi kebutaan (Thayeb, et al).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Glaukoma


Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Kelainan mata
glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf
optik, dan menciutnya lapang pandang.
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokular ini,
disebabkan:
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau
dicelah pupil (glaukoma hambatan pupil).
Pada glaukoma akan terdapat melemahnya fungsi mata dengan terjadinya
cacat lapang pandang dan kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan)
serta degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan.
Ekskavasi glaukomatosa, penggaungan atau ceruk papil saraf optic akibat
glaukoma pada saraf optik. Luas atau dalamnya ceruk ini pada glaukoma
kongenital dipakai sebagai indikator progresivitas glaukoma (Ilyas & Yulianti,
2015).
Glaukoma adalah kelainan pada saraf mata yang ditandai dengan neuropati
optik disertai hilangnya lapang pandang yang khas dengan peningkatan tekanan
intra okuler sebagai faktor risiko utama (Soemantri et al., 2018).
2.2 Klasifikasi Glaukoma
Klasifikasi (Vaughan et al., 2018) untuk glaukoma adalah sebagai berikut :

1. Glaukoma primer
- glaukoma sudut terbuka (glaukoma simpleks)
- glaukoma sudut sempit
2. Glaukoma kongenital
- primer atau infantil
- menyertai kelainan kongenital lainnya
3. Glaukoma sekunder
- perubahan lensa
- kelainan uvea
- trauma
- bedah
- rubeosis
- steroid dan lainnya
4. Glaukoma absolut

Dari pembagian diatas dapat dikenal glaukoma dalam bentuk-bentuk :

1. Glaukoma sudut sempit primer dan sekunder, (dengan blokade pupil atau tanpa
blokade pupil)
2. Glaukoma sudut terbuka primer dan sekunder,
3. Kelainan pertumbuhan, primer (kongenital, infantil, juvenil), sekunder kelainan
pertumbuhan lain pada mata.

Klasifikasi Glaukoma

I. Glaukoma Sudut Terbuka


A. Primer
B. Normal tensi glaukoma
C. Juvenile glaukoma sudut terbuka
D. Suspek glaukoma
E. Sekunder
II. Glaukoma Sudut Tertutup
A. Primer dengan pupil blok
B. Glaukoma akut sudut tedutup
C. Subakut glaukoma sudut tertutup
D. Glaukoma kronik sudut tertutup
E. Sekunder tanpa pupil blok
F. Sindrom plateau iris
III. Glaukoma Kongenital
A. Primer
B. Berhubungan dengan Anomali Kongenital
C. Sekunder

(Richard, 2010)
2.3 Epidemiologi Glaukoma
Glaukoma adalah penyebab utama kebutaan permanen di dunia. Secara global,
diperkirakan sekitar 60 juta orang mengalami kerusakan glaukoma dan 8,4 juta
orang menjadi buta akibat glaukoma. Prevalensi glaukoma diproyeksikan
meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan penuaan populasi, dan
diperkirakan pada tahun 2020 bahwa jumlah orang yang terkena dampak akan
meningkat menjadi 80 juta. Bahkan di negara maju, hanya setengah dari orang
dengan kerusakan glaukoma yang mengetahui diagnosisnya (Dimitriou, 2013).
Populasi Afrika memiliki prevalensi tipe sudut terbuka tertinggi. Kemungkinan
kebutaan dari glaukoma sudut terbuka hingga 15 kali lebih besar pada orang-orang
keturunan Afrika dibandingkan dengan kelompok populasi lainnya. Prevalensi
tertinggi untuk penutupan sudut adalah pada populasi Inuit dan juga telah terbukti
mempengaruhi tingkat yang lebih tinggi pada wanita daripada pria, dan pada orang
Asia, dengan kelompok ini umumnya memiliki bilik mata depan yang lebih
dangkal. Jenis glaukoma tegangan normal paling banyak terjadi pada populasi
Jepang. Di semua jenis, usia merupakan faktor risiko utama dalam hilangnya sel
ganglion retina (Dietze, 2022).

Di Indonesia, menurut riskesdas tahun 2007 prevalensi glaukoma sebesar


0,46% yang artinya sebanyak 4 sampai 5 orang dari 1.000 penduduk Indonesia
menderita glaukoma. Pada tahun 2017, jumlah kasus baru glaukoma pada pasien
rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 80,548 kasus. Berdasarkan jenis
kelamin, penderita glaukoma Wanita lebih banyak daripada laki-laki. Mayoritas
glaukoma diderita pada pasien kelompok umur 44 – 64 tahun, > 64 tahun, dan 24-
44 tahun berdasarkan data pasien rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit tahun
2017 (Kemenkes, 2018).

2.4 Faktor risiko Glaukoma


Adapun faktor risiko dari Glaukoma yaitu (McMonies, 2017):
a. Usia dan Kelemahan
Risiko glaukoma meningkat seiring bertambahnya usia. Glaukoma dapat
dikaitkan dengan penyakit terkait usia lainnya seperti degenerasi makula, penyakit
pembuluh darah, dan kelainan tidur (obstructive sleep apnea). Namun ini bukan
hubungan langsung untuk sebagian besar penyakit yang berkaitan dengan usia.
Konsep kelemahan adalah keadaan kerentanan non spesifik yang menghasilkan
risiko lebih tinggi untuk percepatan penurunan fisik dan kognitif, kecacatan dan
kematian. Penilaian kelemahan tergantung pada akumulasi defisit Kesehatan
seperti hipertensi, hipotensi, diabetes, migrain, obstructive sleep apnea, katarak,
glaukoma dan kebutuhan untuk obat-obatan.27 Seperti kasus glaukoma, prevalensi
masalah kesehatan lainnya cenderung meningkat dengan kelemahan. Seorang
pasien yang lemah pada usia yang lebih muda mungkin memiliki risiko lebih besar
untuk terjadinya glaukoma.
b. Jenis Kelamin
Dalam studi Perawatan Hipertensi Okuler (OHT), jenis kelamin laki-laki
ditemukan dengan analisis univariat sebagai prediktor yang berguna untuk
timbulnya glaukoma sudut terbuka primer (POAG). Sebuah meta analisis Bayesian
menemukan bahwa laki-laki lebih cenderung memiliki OAG dengan reservasi
bahwa pengaruh gender tergantung pada definisi glaukoma. Misalnya, tinjauan
literatur menyimpulkan bahwa wanita berisiko lebih tinggi untuk glaukoma sudut
tertutup (ACG) tetapi tidak ada predileksi gender yang jelas untuk OAG. Temuan
ini mungkin hanya relevan dengan kelompok yang diteliti. Bahwa wanita biasanya
hidup lebih lama daripada pria meningkatkan risiko glaukoma dan kebutaan
glaukoma.
c. Genetik dan Riwayat Keluarga
Bukti pentingnya mutasi Myocilin pada glaukoma sudut terbuka primer
lanjut (POAG) dan variasi jumlah salinan TBK1 pada glaukoma tegangan normal
(NTG) menggambarkan potensi diagnostik untuk pengujian genetik. Namun,
kontribusi genetika dalam prediksi risiko glaukoma biasanya terbatas pada
pengetahuan riwayat keluarga meskipun terlalu sering pasien tidak menyadari
anggota keluarga yang telah didiagnosis menderita glaukoma.
Lebih dari 50% kasus glaukoma dapat tidak terdiagnosis menambahkan
untuk tidak dapat diandalkannya riwayat keluarga. Riwayat glaukoma keluarga
ditemukan membawa risiko relatif 2,1 kali terkait dengan setidaknya kemungkinan
OAG namun, kepentingan relatif riwayat keluarga dapat bervariasi sesuai dengan
kedekatan hubungan pasien dengan anggota keluarga yang terkena. Sekitar
setengah dari semua pasien OAG primer memiliki riwayat keluarga yang positif,
dan kerabat tingkat pertama mereka (orang tua, saudara kandung atau anak-anak)
memiliki peningkatan risiko sekitar 9 kali lipat untuk mengembangkan glaukoma.
Kerabat tingkat pertama pasien glaukoma ditemukan memiliki risiko glaukoma
seumur hidup 22% dibandingkan dengan 2,3% pada kerabat kontrol normal.
Prevalensi glaukoma adalah 10,4% pada saudara kandung pasien glaukoma
dibandingkan dengan 0,7 % pada saudara kandung dari kontrol normal. Selain itu,
risiko mewarisi glaukoma dapat meningkat dengan jumlah kerabat yang
didiagnosis menderita penyakit ini. Sekitar 60% dari sampel pasien glaukoma
ditemukan milik keluarga di mana anggota lain memiliki penyakit tersebut.
d. Ras
Untuk kelompok umur tertentu diperkirakan prevalensi POAG pada populasi
kulit hitam Amerika, menjadi enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan kulit
putih. Meskipun populasi kulit hitam memiliki prevalensi OAG tertinggi, populasi
kulit putih menunjukkan peningkatan prevalensi OAG yang paling tajam dengan
usia. Lebih tinggi prevalensi glaukoma telah ditemukan pada populasi Asia
termasuk insiden yang lebih tinggi dari glaukoma sudut tertutup primer (ACG)
dibandingkan dengan pasien kulit putih.
e. Miopia
Miopia telah ditemukan menjadi faktor risiko yang signifikan untuk
glaukoma. Miopia merupakan faktor risiko glaukoma dan juga lebih lazim di antara
pasien Asia mungkin membantu menjelaskan peningkatan prevalensi. Selain itu,
miopia tinggi dan peningkatan panjang aksial pada kelompok usia tertentu
keduanya telah diidentifikasi sebagai faktor risiko menunjukkan bahwa risiko
perkembangan dan progresi glaukoma meningkat dengan derajat miopia.
f. Hipertensi sistemik dan hipotensi akut
Hipertensi sistemik dan hipotensi akut telah diusulkan sebagai faktor risiko
potensial untuk glaukoma dalam studi berbasis klinik. Beberapa studi telah
melaporkan hubungan antara tekanan diastolik rendah, tekanan perfusi okular
(OPP) yang lebih rendah dan prevalensi yang lebih tinggi dan/atau kejadian
glaukoma. Tekanan darah sistemik (BP) yang rendah, terutama bila
dikombinasikan dengan peningkatan TIO, akan menurunkan OPP dan risiko
penurunan volume aliran darah ke ONH di mata dengan gangguan sistem auto
regulasi, yang mengarah ke kerusakan stres oksidatif iskemik dan reperfusi pada
akson dan atrofi RGC terkait. Riwayat pengobatan antihipertensi dan tekanan darah
rendah terkait dapat meningkatkan risiko glaukoma melalui mekanisme ini.
Studi populasi Blue Mountains menemukan bahwa TIO rata-rata meningkat
secara linear dari 14,3 mmHg untuk tekanan darah sistolik <110 mmHg menjadi
17,7 mmHg untuk tekanan darah sistolik >200 mmHg. Sebuah penelitian terhadap
4.297 subjek berusia di atas 40 tahun dalam populasi yang didominasi kulit putih
menemukan korelasi positif antara BP sistemik dan TIO dan hubungan antara
POAG dan hipertensi sistemik. Namun, studi populasi cross sectional
menyimpulkan bahwa hubungan antara hipertensi dan POAG kemungkinan besar
karena korelasi antara usia dan hipertensi.
g. Vasospasme
Vasospasme merupakan disregulasi vaskular yang terkait dengan
penyempitan yang tidak tepat atau dilatasi yang tidak memadai dalam
mikrosirkulasi. Mata sering terlibat dalam sindrom vasospastik dengan vasospasme
yang terkait dengan neuropati optik iskemik anterior dan glaukoma. Vasospasme
sering disalahartikan sebagai fenomena Raynaud. Pasien vasospasme sering datang
dengan gejala tangan dingin tetapi mereka biasanya tidak memiliki jari pucat yang
merupakan karakteristik dari penyakit Raynaud. Vasospasme pasien sering
memiliki BP rendah yang juga dapat dikaitkan dengan penurunan OPP dan risiko
glaukoma.
h. Migrain
Sebuah hubungan antara NTG dan migrain telah disarankan, dengan potensi
etiologi vaskular umum untuk kedua penyakit tersebut. Namun, hubungan antara
OAG dan migrain ditemukan hanya signifikan untuk subjek berusia 70---79 tahun.
i. Diabetes
Sebuah meta analisis oleh Zhou menemukan bahwa enam studi kontrol
kasus menunjukkan diabetes sebagai faktor risiko POAG dengan rasio odds rata-
rata lebih besar dari satu, sedangkan studi ketujuh menemukan rasio odds 0,61.
Dari enam populasi berdasarkan studi kohort lima menunjukkan hubungan yang
signifikan antara diabetes mellitus dan POAG. Tampaknya diabetes dapat
meningkatkan risiko POAG, terutama karena hiperglikemia menghasilkan
kepekaan yang meningkat terhadap TIO dan risiko cedera saraf. Ketika 80 NTG
dan 4015 pasien kontrol dibandingkan pada populasi Korea, proporsi yang lebih
tinggi dari glukosa kapiler puasa ≥200 mg/dL diidentifikasi sebagai faktor risiko
OAG dalam analisis univariat dan multivariat.Namun demikian, hubungan antara
diabetes dan glaukoma tetap kontroversial.
j. Merokok
Studi tentang hubungan antara glaukoma dan merokok telah kontradiktif.
Telah dihipotesiskan bahwa, dengan adanya faktor risiko genetik, paparan terhadap
tekanan lingkungan seperti merokok, pengobatan kortikosteroid dan diabetes,
menghasilkan usia yang lebih dini untuk timbulnya glaukoma. glaukoma. Risiko
glaukoma pada perokok mungkin lebih tinggi pada pria.
k. Pseudoexfoliation syndrome
Sindrom pseudoeksfoliasi adalah proses matriks fibrotik umum yang
berkaitan dengan usia dengan signifikansi karena meningkatkan risiko
pengembangan glaukoma.
l. Obstructive sleep apnea syndrome
Dibandingkan dengan pasien normal, pasien obstructive sleep apnea
ditemukan memiliki kemungkinan 1,67 kali lebih besar terkena glaukoma selama
periode tindak lanjut 5 tahun.

2.5 Etiologi Glaukoma


Saat ini, etiologi pasti dari glaukoma tidak diketahui tetapi terdapat
hubungan yang jelas dengan peningkatan tekanan bola mata. Pada glaukoma,
resistensi terhadap drainase aqueous humor paling sering terjadi dimulai pada
dinding bagian dalam kanal schlemm di trabecular meshwork juxtacanalicular.
Penurunan aliran keluar atau peningkatan resistensi aliran keluar Aqueous akan
menyebabkan peningkatan TIO secara bertahap dan pola kerusakan khas pada
lapisan serat saraf sel ganglion saraf optik. Teori lain terjadinya peningkatan TIO
yaitu disebabkan adanya penurunan aliran darah ke serabut saraf optic yang
menyebabkan kerusakan iskemik halus. Pada pasien glaukoma sudut terbuka
(POAG), sering kali mengalami peningkatan TIO yang tampaknya berhubungan
dengan pola kerusakan saraf optic yang khas. Seiring berkembangnya penyakit,
terjadi kehilangan penglihatan tepi secara perlahan di kedua mata yang akhirnya
menyebabkan hilangnya penglhatan sentral jika dibiarkan tidak terdeteksi atau
tidak diobati. Karena kehilangan penglihatan yang berlahan menyebabkan orang
yang terkena POAG tidak mengerti adanya perubahan dalam penglihatan mereka
sampai kehilangan penglihatan mempengaruhi penglihatan sentral (Dietze, 2022).

Glaukoma tegangan rendah (low tension) atau tegangan norma (normal


tension) menyerupai POAG karena terdapat karakteristik cupping diskus optikus
dan hilangnya lapang pandang perifer, namun TIO secara konsisten kurang dari 21
mmHg. Hal ini bisa terjadi karena memiliki saraf optic yang sensitive terhadap
tekanan atau perubahan iskemik intermitten karena aterosklerosis/ kurangnya aliran
darah. Terdapat prevalensi yang lebih tinggi untuk glaukoma jenis ini pada
gangguan vasospastic seperti migrain, Raynaud Phenomenon, penyakit autoimun,
penyakit vascular iskemik, dan koagulopati yang mungkin menunjukkan defek
autoregulasi vascular yang berperan pada pathogenesis glaukoma ini. Glaukoma
tegangan normal juga cenderung memiliki frekuensi perdarahan lapisan serabut
saraf yang lebih besar dan tepi neuroretinal yang lebih tipis dibagian inferior dan
inferotemporal dibandingkan tipe glaukoma sudut terbuka (Dietze, 2022).

Glaukoma sudut tertutup dapat muncul sebagai keadaan darurat medis pada
fase akut. Hal ini terjadi Ketika sistem drainase mata tersumbat tiba-tiba karena
terjadi penutupan sudut yang terbentuk antara kornea dan iris. Biasanya ini terjadi
karena penebalan lensa yang berkaitan dengan usia, menyebabkan peningkatan
bertahap dalam blok pupil relatif yang kemudian mendorong iris ke anterior. Iris
yang bergeser ke anterior ini menyebabkan penyumbatan aliran keluar aqueous.
Blok pupil dianggap sebagai penyebab lebih dari 90%. Ketika terjadi pelebaran
pupil secara tiba-tiba karena stimulus atau obat-obatan, iris menjadi cukup tebal
atau iris yang tergeser ke anterior akibat pupil blok menyebabkan drainase cairan
melalui trabekula meshwork terganggu sehingga mengakibatkan peningkatan TIO
yang cepat. Perubahan TIO yang cepat inilah yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan terjadi dalam satu hari setelah onset tanpa intervensi karena oklusi
vascular retina, neuropati optic iskemik, atau kerusakan saraf optic. Namun hanya
sekitar 10% kasus glaukoma tipe sudut tertutup (Dietze, 2022).

Glaukoma sudut tertutup dapat terjadi sekunder akibat penyebab lain. Salah
satu penyebabnya adalah subluksasi lensa pada sindrom Marfan. Lensa dapat
berpindah ke pupil atau ruang anterior, menyebabkan blok pupil akut. Iris juga
dapat menyebabkan blok pupil akut, dan penutupan sudut kronis, karena proses
silia memanjang atau posisi anterior yang mendorong tepi iris ke depan. Pada
sindrom endotel iridokorneal, endotel kornea tidak teratur dan dapat bermigrasi ke
trabecular meshwork dan iris perifer. Hal Ini menciptakan kontraksi yang
menyebabkan sinekia anterior perifer tinggi yang dapat menutup sudut, mencegah
aliran keluar. Neovaskularisasi dapat menyebabkan penutupan sudut dengan
menciptakan membran fibrovaskular yang meratakan iris dan memindahkannya ke
anterior dan menyebabkan penutupan sinekia total pada sudut tersebut. Sudut
tertutup dapat terjadi setelah operasi mata karena edema badan siliar, penempatan
scleral buckle, deposisi fibrin, gas, atau minyak silikon seperti yang digunakan
dalam operasi retina. Obat sulfa seperti topiramate dapat menginduksi sudut
tertutup karena efusi ciliochoroidal yang menekan diafragma lensa-iris,
menggesernya ke anterior, sehingga menutup sudut
Glaukoma tipe sudut terbuka sekunder disebabkan oleh cedera, penyakit
mata, dan jarang operasi mata yang menyebabkan peningkatan tekanan intraocular,
dan karenanya kerusakan saraf optik seperti bentuk glaukoma sudut terbuka. Salah
satu mekanisme glaukoma sudut terbuka sekunder adalah dari operasi laser, yang
dapat menyebabkan pelepasan pigmen, sel-sel inflamasi, puing-puing, dan
deformasi mekanis yang mengakibatkan penyumbatan trabecular meshwork yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Mekanisme paling umum untuk
tipe sudut terbuka sekunder adalah dari penyakit yang menyebabkan
neovaskularisasi. Neovaskularisasi dapat secara fisik memblokir saluran keluar.
Jenis pseudoexfoliative adalah ketika bahan serpihan terkelupas dari kapsul lensa
luar dan terkumpul di sudut, menyumbat jalinan trabekula, yang menyebabkan
peningkatan tekanan mata. Jenis pigmen mirip dengan eksfoliatif kecuali puing-
puingnya adalah butiran pigmen dari bagian belakang iris yang putus dan
menyumbat jalinan trabekula karena kontak dengan kapsul lensa perifer dan zonula
pada mata yang biasanya rabun, atau rabun jauh. Steroid dapat menginduksi
glaukoma sekunder karena peningkatan resistensi aliran keluar dengan peningkatan
regulasi reseptor glukokortikoid pada sel-sel di dalam jalinan trabekula dan
akumulasi glikosaminoglikan dalam pori-pori jalinan. Steroid juga menekan
aktivitas fagositik, yang menurunkan pembuangan deposisi debris dari meshwork
serta merangsang ekspresi protein matriks ekstraseluler. Fistula karotid-kavernosa
menyebabkan komunikasi abnormal antara sinus kavernosus dan arteri karotis. Hal
ini menyebabkan aliran arteri dan pembengkakan vena yang menyebabkan
peningkatan tekanan vena episklera. Hal ini juga menyebabkan pelebaran vena
retina dan pembengkakan diskus optikus yang secara bersamaan dapat merusak
serabut saraf optik. Krisis glaukomatosiklitis bermanifestasi sebagai serangan akut
berulang dari peningkatan tekanan intraokular yang sembuh tanpa pengobatan
tetapi dengan serangan berulang, telah dilaporkan menyebabkan kerusakan
glaukoma pada saraf optik dari waktu ke waktu (Dietze, 2022).

2.6 Patofisiologi Glaukoma


Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah apoptosis
sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan lapisan stratum nuclear internum
dan serabut saraf retina serta hilangnya akson di nervus optikus. Diskus optikus
menjadi atrofi, disertai pembesaran cawan optik.
Efek peningkatan TIO dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan besar
peningkatan TIO. TIO normalnya < 21 mmHg. Pada glaukoma sudut tertutup akut,
TIO dapat mencapai 60-80 mmHg, menimbulkan kerusakan iskemik akut pada iris
yang disertai edema kornea dan kerusakan nervus optikus. Pada glaukoma sudut
terbuka primer, TIO biasanya tidak meningkat lebih dari 30 mmHg dan kerusakan
sel ganglion terjadi setelah waktu yang lama, seringkali setelah beberapa tahun.
Pada glaukoma tekanan normal, sel-sel ganglion retina mungkin rentan mengalami
kerusakan akibat TIO dalam kisaran normal, atau mekanisme kerusakannya yang
utama kemungkinan iskemia caput nervus optikus (Vaughan et al., 2018)

A. Patofisiologi Glaukoma Sudut Terbuka (Kronik)


Patogenesis glaukoma belum dapat sepenuhnya diketahui namun besarnya
tekanan intraokular berhubungan dengan kematian sel ganglion retina.
Keseimbangan antara sekresi humor akueus oleh badan siliaris dan alirannya
melalui jalur jalinan trabekular dan uveoskleral menentukan besarnya tekanan
intraokular. Pada pasien POAG terjadi peningkatan resistensi terhadap aliran
akueus melalui jalinan trabekular sehingga aliran keluar humor akueus menurun
(Shields, Dkk., 2011; Stamper, Dkk., 2009; Khouri, Dkk., 2015; Joos, Dkk., 2008).

B. Mekanisme Obstruksi dan Aliran Akueus


Peningkatan tekanan intraokular pada POAG disebabkan oleh obstruksi
aliran akueus. Mekanisme pasti yang menyebabkan obstruksi aliran akueus pada
kondisi ini belum dapat dimengerti sepenuhnya dan masih diteliti hingga saat ini
(Shields, Dkk., 2011; Stamper, Dkk., 2009).
Penelitian histopatologi dan molekular biologi dapat menjelaskan
kemungkinan penyebab obstruksi akueus pada POAG, dimana didapatkan
beberapa abnormalitas seperti fragmentasi kolagen trabekular, penebalan membran
basalis, penyempitan rongga intertrabekular, penurunan jumlah sel endotel
trabekular, penumpukan material asing, penurunan filamen aktin, penurunan
jumlah giant vacuoles, penutupan kanalis schlemm dan penebalan scleral spur.
Interpretasi histopatologis yang dibuat harus mempertimbangkan faktor-faktor
tambahan sepeti usia, efek sekunder dari peningkatan tekanan intraokular dalam
jangka waktu panjang, perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengobatan
medis dan operasi yang dilakukan serta artefak yang terjadi saat memproses
jaringan (Shields, Dkk., 2011; Stamper, Dkk., 2009; Khouri, Dkk., 2015).
Kandungan abnormal humor akueus dapat mempengaruhi strukturnya
sehingga meningkatkan resistensi aliran humor akueus tersebut. Transforming
growth factor (TGFs) merupakan kelompok polipeptida multifungsional yang
berfungsi untuk inhibisi proliferasi sel epitel, induksi matriks ekstraselular sintesis
protein dan stimulasi pertumbuhan sel mesenkim. Humor akueus pada penderita
POAG mengandung TGF-β2 yang lebih banyak bila dibandingkan dengan individu
yang sehat. Kadar TGF-β2 yang abnormal pada akueus dapat menurunkan
selularitas jalinan trabekular dan meningkatkan pembentukan material matriks
ekstraselular yang menyebabkan peningkatan resistensi aliran akueus (Shields,
Dkk., 2011; Khouri, Dkk., 2015; Doucette, Dkk., 2015).
Perubahan struktur jalinan trabekular terutama pada jaringan
juxtacanalicular dapat meningkatkan resistensi aliran akueus karena pada daerah
ini konsentrasi mukopolisakarida dan aktivitas fagositik paling tinggi. Jalinan
trabekular pada POAG mempunyai selularitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan mata normal dengan susunan jaringan berbeda. Perubahan struktur yang
khas terjadi berupa penumpukan material seperti pigmen, sel darah merah,
glycosaminoglycans, lisosom ekstraselular atau matriks ekstraselular lain, protein
dan plaque material. Hal ini mungkin disebabkan oleh proses katabolisme yang
tidak mencukupi atau sekresi yang berlebihan sehingga menyumbat jalinan
trabecular (Shields, Dkk., 2011; Stamper, Dkk., 2009; Khouri, Dkk., 2015).

Gambar 2.2. Aliran Humor Akuos pada Mata Sehat dan POAG
Dukutip dari: Weinreb R.N., Aung T., Medeiros FA3

Jalinan trabekular pada pasien glaukoma memiliki sel endotel yang lebih
sedikit bila dibandingkan dengan mata normal, meskipun laju penurunannya sama.
Hilangnya sel endotel akan mengganggu beberapa fungsi penting trabekular
termasuk fagositosis, sintesis dan degradasi makromolekul. Kerapatan dan ukuran
pori-pori pada endotel dinding bagian dalam kanalis schlemm mengalami
penurunan pada POAG. Selain itu dapat ditemukan menurunnya jumlah dan
ukuran giant vacuoles pada endotel dinding bagian dalam kanalis schlemm yang
berfungsi pada perpindahan cairan dari jalinan trabekular menuju lumen canalis
schlemm sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran humor akueus (Shields,
Dkk., 2011; Stamper, Dkk., 2009).
Myocilin merupakan salah satu gen yang pertama kali diidentifikasi
mengalami mutasi pada POAG dan diproduksi dalam jumlah besar pada saat sel-
sel tubuh yang mengalami stress. Stress-induced protein lain yang diteliti adalah
heat-shock protein seperti αβ-cristallin. Pada penelitian yang dilakukan, terdapat
perbedaan pada stress-response markers yaitu αβ-crystallin dan myocilin pada
jalinan trabekular pasien POAG bila dibandingkan dengan kontrol. Protein-protein
ini terlokalisasi pada lebih banyak area pada jalinan trabekular dengan jumlah yang
lebih banyak pada POAG bila dibandingkan dengan mata yang sehat(Shields,
Dkk., 2011; Joos, Dkk., 2008; Doucette, Dkk., 2015).
Penyempitan kanalis schlemm akan meningkatkan resistensi aliran akueus
dan merupakan salah satu mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya
obstruksi aliran akueus pada POAG. Penyempitan ini dapat berupa penonjolan
jalinan trabekular kedalam kanalis schlemm sehingga menyumbat lumen dan
menghambat aliran akueus. Hal ini mungkin disebabkan oleh melemahnya jalinan
trabekular atau relaksasi otot siliaris. Argumentasi terhadap teori ini menyatakan
bahwa kanalis schlem hanya dapat kolaps pada tekanan intraokular yang sangat
tinggi dan belum pernah ditemukan bukti terjadinya sumbatan pada kanalis
schlemm dengan rentang tekanan intraokular 25-35 mmHg yang merupakan
rentang tekanan intraokular yang paling umum terjadi pada POAG. Dari beberapa
penelitian histopatologis didapatkan terjadi penyempitan disertai adhesi antara
dinding dalam dan luar kanalis Schlemm (Shields, Dkk., 2011; Stamper, Dkk.,
2009; Khouri, Dkk., 2015).
Perubahan intrascleral collector channels merupakan salah satu mekanisme
yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi terhadap aliran akueus pada
POAG. Tinjauan histopatologis menyatakan perubahan ini disebabkan oleh
akumulasi glycosaminoglycans pada sklera yang berdekatan sehingga terjadi
intrascleral blockage (Shields, Dkk., 2011; Stamper, Dkk., 2009).
Beberapa peneliti menjelaskan bahwa gangguan aliran humor akueus pada
POAG disebabkan oleh respon imun yang abnormal. Pada jalinan trabekular pasien
dengan POAG didapatkan peningkatan kadar γ-globulin dan sel plasma. Hipotesis
lain yang masih diteliti sampai saat ini menyatakan bahwa terjadi kerusakan jalinan
trabekular yang disebabkan oleh stres oksidatif (Stamper, Dkk., 2009; Weinreb,
Dkk., 2014; Greco, Dkk., 2016).

2.7 Kriteria Diagnosis Glaukoma


Diagnosis dari glaukoma didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
dari ophthalmology. Pada anamnesis terhadap pasien terdapat beberapa keluhan
seperti Gejala pada glaukoma kronik (sudut terbuka) adalah kehilangan lapang
pandang perifer secara bertahap pada kedua mata. Pasien sering datang pada
kondisi yang telah lanjut. Gejala pada glaukoma akut (sudut tertutup) adalah rasa
sakit atau nyeri pada mata, mual dan muntah (pada nyeri mata yang parah),
penurunan visus mendadak, mata merah dan berair. Serta didapatkan faktor resiko
sesuai dengan jenis glaukomannya (Kemenkes, 2017). Pada anamnesis juga
ditemukan gejala visual yang biasanya tidak ada, kecuali kerusakan sudah lanjut.
Pada Riwayat penggunaan obat perlu ditanyakan seperti penggunaan steroid, oral
beta-blocker. Selain itu perlu ditanyakan adanya riwayat kebiasaan seperti alergi,
terutama terhadap obat-obatan yang mungkin digunakan dalam pengobatan
glaukoma, seperti acetazolamide dikontraindikasikan jika ada riwayat alergi
sulfonamid dan kebiasaan merokok/alkohol (Kanski, 2020).
Pada pasien glaukoma juga terdapat tanda dan gejala yang dialami (Syawal,
2018) :
Gejala
- Nyeri akut dan bersifat sangat nyeri terjadi oleh karena peningkatan TIO
yang merangsang persarafan kornea (nervus oftalmikus atau nervus V.1
(lakrimalis))
- Mual dan muntah yang timbul akibat iritasi nervus vagus dan dapat
menyerupai gejala pada kelainan saluran cerna
- Penurunan penglihatan yang progresif dan melihat “halo” disekitar
cahaya lampu. Hal ini disebabkan oleh edema epitel kornea
Tanda
- Konjungtiva kemosis dan kongesti disertai injeksi konjungtiva
- Edema kornea
- Bilik mata depan sangat dangkal
- Pupil middilatasi atau dilatasi dan tidak ada refleks cahaya
Pasien Glaukoma juga dilakukan beberapa pemeriksaan fisik dan penunjang
dan didapatkan hasil adanya trias glaucoma (Kemenkes, 2017) :
- Peningkatan tekanan intraokular.
- Perubahan patologis pada diskus optikus.
- Defek lapang pandang yang khas.

2.8 Pemeriksaan Penunjang Glaukoma


a. Tonometry
Peningkatan tekanan intra ocular (TIO) dapat diukur dengan menggunakan
Tonometri. Alat yang paling sering digunakan pada pengukuran TIO ini yaitu
tonometer goldmann, dimana alat ini terpasang pada slitlamp dan mengukur gaya
yang dibutuhkan untuk meratakan area kornea. Ketebalan pada kornea sangat
mempengaruhi keakuratan pada pengukuran. Alat lainnya untuk pengukuran TIO
yaitu tonometer Perkins dan Tono-Pen, dimana keduanya portabel, dan tonometer
pneumato, yang dapat digunakan dengan lensa kontak lunak di tempat ketika
kornea memiliki permukaan yang tidak teratur. Tonometer Schiotz diketahui juga
merupakan alat yang portabel dan dapat mengukur lekukan kornea yang dihasilkan
oleh berat yang ditentukan (Vaughan, 2018).

Gambar 1 . Distribusi tekanan intra ocular pada pasien dengan usia di atas 40 tahun
(Vaughan, 2018)
Tekanan intra ocular (TIO) pada orang normal dengan kisaran untuk orang dewasa
adalah kurang dari 21 mmHg pada pengukuran menggunakan tonometri aplanasi.
Beberapa individu dapat mengalami glaucoma dengan TIO kurang dari 21 mmHg
tetapi pada individu lainnya peningkatan TIO yang melebihi 21 mmHg masih
belum menimbulkan gejala (Kanski, 2020). Pada orang tua, tekanan intraokular
rata-rata lebih tinggi, dengan batas atas 24 mm Hg. Tekanan intraokular biasanya
tergantung pada fluktuasi diurnal. Pada glaukoma sudut terbuka primer, 32 - 50%
individu akan memiliki tekanan intraokular normal saat pertama kali diukur
(Vaughan,2018).
b. Gonoscopy
Chamber anterior sudut terbuka dibentuk dari junction dari kornea perifer dan
iris, diantaranya terdapat trabecular meshwork. Penampakan dari sudut ini, apakah
itu sudut yang lebar (terbuka), sempit, atau tertutup, memiliki pengaruh penting
pada aliran keluar air (Humor aquous). Lebar sudut ruang anterior dapat
diperkirakan dengan pemeriksaan iluminasi menggunakan penlight atau
menggunakan slitlamp dengan menentukan kedalaman dari peripheral antrerior
chamber, tetapi pemeriksaan paling baik dan sensitive untuk menilai chamber
anterior adalah gonioscopy, dimana pemeriksaan ini dapat menunjukan visualisasi
dari stuktur sudut tersebut (Vaughan, 2018). Pada pasien dengan glaucoma yang
disebabkan oleh drug induce kebanyakan dapat ditemukan sudut terbuka pada
chambernya hal ini biasanya banyak diinduksi oleh kortikosteroid
(Boonyaleephan,2010). Pemeriksaan genoskopi pada pasien dengan sudut terbuka
ini dapat memvisualisasikan trabecular meshwork, scleral spur, dan iris processes
(Vaughan, 2018).

Gambar 2. Ilustrasi anatomis (kiri) dan ginioskopi (kanan) pada sudut


anterior chamber normal (Vaughan, 2018)

c. Pemeriksaan Diskus Optikus


Diskus optikus normal memiliki lekukan sentral cawan fisiologi yang
ukurannya tergantung pada sebagian besar serat yang membentuk saraf optik relatif
terhadap ukuran bukaan sklera yang harus dilaluinya. Pada glaukoma, mungkin ada
pembesaran konsentris dari cangkir optik atau cupping superior dan inferior
preferensial dengan lekukan fokal pada tepi diskus optikus Optik disk juga
meningkat kedalamannya karena lamina cribrosa dipindahkan ke belakang. Saat
bekam berkembang, pembuluh darah retina pada diskus bergeser ke arah nasal.
Hasil akhir dari bekam glaukoma adalah apa yang disebut cangkir "bean-pot" di
mana tidak ada jaringan tepi saraf yang terlihat. Asimetri dari optik disk sering
menunjukkan adanya glaucoma (Vaughan, 2018).

Gambar 3. Gambaran Bean-pot pada pemeriksaan optic disk


(Vaughan, 2018)

d. Perimetri
Pemeriksaan lapang pandang secara berkala merupakan faktor yang sangat
penting pada diagnosis dan follow up dari penderita glaucoma. Kehilangan lapang
pandang pada pasien glaukoma merupakan hal yang tidak spesifik karena beberapa
penyakit yang menyerang serabut saraf optic juga menunjukan penurunan dari
lapang pandang. Pada pasien glaukoma kehilangan lapang pandang terjadi secara
progresif.. Biasanya pada pasien dengan glaukoma melibatkan 30 dreajat central
dari lapang pandang (Vaughan, 2018).
Perubahan awal termasuk peningkatan variabilitas respons di area yang
kemudian berkembang menjadi cacat dan sedikit asimetri antara kedua mata.
Modalitas khusus seperti teknologi penggandaan frekuensi (FDT) dan perimetri
otomatis panjang gelombang pendek (SWAP) dapat menunjukkan cacat pada tahap
awal. Depresi paracentral kecil dapat terbentuk pada tahap yang relatif awal,
seringkali superonasal. Mereka lebih sering terlihat di NTG. Langkah hidung
mewakili perbedaan sensitivitas di atas dan di bawah garis tengah horizontal di
bidang hidung. Cacat dibatasi oleh garis tengah horizontal, sesuai dengan raphe
horizontal lapisan serat saraf retina. Disk optik inferior dan perubahan OCT dengan
langkah hidung superior yang sesuai. Perubahan tahap akhir ditandai dengan pulau
kecil penglihatan sentral, biasanya disertai dengan pulau temporal. Pola perimetri
memfasilitasi pemantauan bidang pusat residual (Kanski, 2020).
Gambar 6. perubahan lapang pandang yang terjadi setelah 30 bulan (kanski, 2020)

2.9 Diagnosis Banding Glaukoma


Pada pasien glaucoma terdapat beberapa diagnosis banding sesuai dengan fase nya
seperti fase akut dan fase kronik. Pada fase akut terdapat Uveitis anterior, Keratitis, Ulkus
kornea. Pada fase kronis diagnosis banding yang mempunyai gejala mirip dengan pasien
dengan glaucoma adalah katarak, kelainan refraksi, retionpati diabetic/hipertensi dan
retinitis pigmentosa hal ini karena pada fase kronik pasien dapat kehilangan/ penurunan
penglihatan (PPK, 2017; Kanski, 2020)

2.10 Tatalaksana Glaukoma


1. Sudut Terbuka

Jika kondisi medis yang mendasari pasien dapat mentolerir penghentian


kortikosteroid, maka penghentian biasanya akan menghasilkan normalisasi pada
TIO. Dalam kasus tetes kortikosteroid topikal, menggunakan obat steroid potensi
rendah, seperti bentuk fosfat dari prednisolon dan deksametason, loteprednol
etabonat atau fluorometolone harus dipertimbangkan. Obat-obatan ini memiliki
peluang yang lebih kecil untuk meningkatkan TIO, tetapi biasanya tidak seefektif
yang lain. Obat antiinflamasi nonsteroid topikal (misalnya, diklofenak, ketorolak)
adalah alternatif lain yang tidak menyebabkan peningkatan TIO, tetapi hanya
memiliki aktivitas antiinflamasi terbatas untuk mengobati kondisi dasar pasien.
Dalam kasus sesekali di mana TIO pasien tidak menjadi normal setelah
penghentian steroid atau pada pasien yang harus melanjutkan pengobatan, obat
anti-glaukoma topikal dipertimbangkan (Rath, 2011).

2. Sudut Tertutup

Jika etiologi glaukoma sudut tertutup adalah obat yang mengandung sulfa,
peningkatan TIO umumnya akan hilang setelah penghentian agen. Namun, kasus
parah dari penutupan sudut yang diinduksi sulfonamid (yaitu TIO >45 mm Hg)
mungkin tidak berespons terhadap penghentian agen penyebab. Mereka mungkin
berespon dengan pemberian manitol intravena. Etiologi lain dari glaucoma sudut
tertutup yang diinduksi obat diperlakukan serupa dengan glaukoma sudut tertutup
akut primer, yaitu dengan beta bloker topikal, analog prostaglandin, agonis
kolinergik dan seringkali asetazolamid oral (Rath, 2011).

Medikamentosa

a. Prostaglandin receptor analog

Latanoprost, travoprost, dan bimatoprost adalah agonis prostaglandin F2,


yang meningkatkan aliran keluar uveoskleral dari aqueous humor. Ini dianggap
sebagai kelompok agen hipotensi okular topikal yang paling kuat yang tersedia
saat ini dan dapat menurunkan TIO awal sebesar 25-35%. Ada beberapa efek
samping sistemik yang terkait dan sebagian besar berhubungan dengan sakit
kepala. Selain itu, latanoprost dapat menyebabkan nyeri sendi/otot dan gejala
seperti flu. Efek samping lokal termasuk penglihatan kabur, hiperemia
konjungtiva, ketidaknyamanan mata, pigmentasi iridial permanen, edema makula
dan penebalan bulu mata (Marais dan Osuch, 2017).

b. Carbonic anhydrase inhibitors

Acetazolamide, dorzolamide dan brinzolamide adalah turunan sulphonamide


yang mengurangi produksi aqueous humor yang tidak bergantung pada cara kerja
diuretiknya. Acetazolamide diberikan secara sistemik dalam bentuk tablet oral
atau infus intravena, dan juga mengurangi laju aliran air hingga 50%.
Kegunaannya terbatas pada pengelolaan glaukoma sudut tertutup akut karena
efek samping sistemik yang tidak menguntungkan yang mungkin termasuk
parestesia, mual, diare, kehilangan nafsu makan dan asidosis sistemik terkait
dosis. Aplikasi topikal dorzolamide dan brinzolamide menunjukkan peningkatan
aliran darah okular dan pelestarian jangka panjang bidang visual. Penurunan rata-
rata 15-20% pada TIO awal dapat diharapkan. Efek samping termasuk iritasi
mata, mata kering, penglihatan kabur, peradangan kelopak mata dan rasa pahit
(Marais dan Osuch, 2017).

c. Alpha 2 adrenergic agonists

Brimonidin adalah agonis reseptor 2 selektif. Awalnya mengurangi produksi


humor akuos diikuti oleh peningkatan berikutnya dalam aliran keluar uveoskleral,
oleh karena itu terbukti berguna dalam mencegah peningkatan TIO sebelum
operasi laser segmen anterior. Brimonidine mengurangi TIO awal dengan sekitar
20%. Apraclonidine mengurangi pembentukan humor akuos tetapi tidak
berpengaruh pada fasilitasi aliran keluar. Ini memiliki afinitas untuk reseptor
adreno 1 dan 2 dan digunakan untuk mencegah peningkatan TIO pascaoperasi
setelah terapi laser segmen anterior. Apraclonidine mengurangi TIO awal sebesar
30% dan tambahan digunakan sebagai terapi adjuvant pada kasus resisten
glaukoma. Efek samping sistemik dari agonis alfa berhubungan dengan sistem
saraf pusat (sakit kepala, kelelahan, insomnia, depresi) dan sistem pernapasan.
Perhatian harus diberikan pada pasien dengan insufisiensi serebral atau koroner,
hipotensi postural dan gagal ginjal atau hati. Reaksi hipersensitivitas, iritasi mata,
edema kelopak mata, sensasi benda asing, dan mata kering sering terjadi pada
penggunaan topical (Marais dan Osuch, 2017).

d. Cholinergic agonist

Pilocarpine adalah satu-satunya agen kolinergik yang tersedia dalam


pengelolaan glaukoma sudut tertutup akut yang terdaftar di Afrika Selatan.
Pemberian menyebabkan peningkatan aliran keluar aqueous humor melalui
kontraksi otot siliaris dan konstriksi pupil. Efek samping yang tidak dapat
ditoleransi dengan baik, seperti kejang otot siliaris, miopia, dan penurunan
penglihatan membatasi kegunaannya (Marais dan Osuch, 2017).
e. Beta blocker

Meskipun agonis reseptor prostaglandin adalah agen yang paling kuat dalam
mengurangi TIO, beta blocker dianggap sebagai pilihan pertama dalam
mengobati glaukoma sudut terbuka. Agen individu berbeda dalam kemampuan
mereka untuk menurunkan TIO, dengan betaxolol mencapai penurunan 15%,
dibandingkan dengan 20-25% dengan timolol dan levobunolol masing-masing.
Betaxolol, bagaimanapun, lebih kardioselektif (β1) dan karena itu memiliki efek
samping paru yang lebih sedikit dibandingkan dengan timolol dan levobunolol
(yang merupakan antagonis non-selektif pada reseptor 1 dan 2). Mekanismenya
melibatkan pengurangan produksi aqueous humor dan tidak menyebabkan miosis
atau gangguan akomodasi dibandingkan dengan agen kolinergik. Efek samping
yang paling umum adalah iritasi mata dan mata kering. Semua blocker (termasuk
agen kardioselektif) dikontraindikasikan pada pasien dengan asma, PPOK dan
bradikardia, kecuali pengobatan alternatif tidak tersedia (Marais dan Osuch,
2017).

f. Kombinasi

Beberapa agen kombinasi tersedia dalam pengobatan glaukoma. Sebagian


besar kombinasi ini termasuk timolol, karena blocker masih dianggap sebagai
terapi lini pertama pada glaukoma sudut terbuka dan hipertensi okular. Terapi
kombinasi dosis tetap lebih manjur daripada masing-masing komponennya, tetapi
masih kurang manjur dibandingkan masing-masing kombinasi tidak tetap. Ini
menyediakan rezim pengobatan yang disederhanakan dan meningkatkan
kepatuhan. Kombinasi dosis tetap yang mengandung prostaglandin memiliki
risiko lebih rendah dalam menyebabkan hiperemia. Kombinasi timolol dengan
dorzolamide lebih unggul dalam pelestarian bidang visual dibandingkan dengan
timolol dan brinzolamide. Sediaan kombinasi dengan brimonidin memiliki
gangguan penglihatan, perubahan rasa, dan reaksi alergi mata yang lebih sedikit
dibandingkan dengan produk bahan tunggal (Marais dan Osuch, 2017).

Tabel 4. Terapi dalam manajemen glaukoma


Terapi laser
Untuk glaucoma sudut terbuka yang diinduksi steroid, trabeculoplasty
laser selektif atau trabeculoplasty laser Argon dapat diterapkan tanpa adanya
peradangan intraokular jika TIO suboptimal dengan obat-obatan. Pada glaukoma
sudut tertutup, iridoplasti perifer laser Argon dapat dilakukan untuk memperlebar
sudut dan memperdalam bilik mata depan. Iridotomi laser dapat dilakukan untuk
membalikkan blok pupil atau untuk mencegah blok pupil lebih lanjut. Laser
Irididotomi dapat dilakukan sebagai prosedur pencegahan pada naoftalmik
hepermetropik dan mata mikroftalmik. Ketika terapi medis dan laser tidak efektif
dalam menurunkan TIO untuk menargetkan tekanan atau pasien tidak toleran
terhadap terapi medis, terapi bedah diindikasikan. Biasanya, trabekulektomi,
prosedur filtrasi yang dijaga, dengan atau tanpa anti-metabolit intraoperatif,
adalah prosedur utama. Dalam kasus mata dengan neovaskularisasi aktif atau
peradangan, implan drainase glaukoma dapat digunakan sebagai prosedur utama
(Rath, 2011).

Gambar 7. Argon Laser Trabeculoplasy (ALT)

(Rath, 2011).

Gambar 8. Laser Iridotomy (LI)


(Rath, 2011).

2.11 Komplikasi Glaukoma


Jika tidak dilakukan pengobatan dengan tepat, glaukoma sudut terbuka primer
dapat menyebabkan komplikasi berupa kebutaan permanen. Hilangnya penglihatan secara
permanen tentu tidak dapat disembuhkan. Risiko komplikasi ini kian tinggi bila tekanan
pada bola mata tidak dikelola dengan baik.

2.12 Prognosis Glaukoma


Prognosis sangat tergantung pada penemuan dan pengobatan dini. Bila tidak
mendapat pengobatan yang tepat dan cepat, maka kebutaan akan terjadi dalam waktu
yang pendek sekali. Pengawasn dan pengamatan mata yang tidak mendapat serangan
diperlukan karma dapat memberikan keadaan yang sama seperti mata yang dalam
serangan (Ilyas et al., 2007).
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Sugianto
Usia : 73 tahun
Alamat : Giripurno RT 06 RW 11, Bumiaji
Pekerjaan : Tidak bekerja

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Pandangan mata kanan terasa lebih kabur sejak 2 bulan lalu
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):
Pasien datang ke Poli Mata RS Karsa Husada Batu pada tanggal 23 November
2022 dengan keluhan pandangan mata kanan dan kiri kabur tetapi mata kanan lebih
kabur disbanding mata kiri. Pasien juga merasakan mata kanan terasa gatal, silau,
kadang berair dan merasakan adanya sensasi benda asing.
Mual muntah (-), silau (+), nyeri (-), gatal (+), merah (-), berair (+), riwayat trauma
pada mata (-). Riwayat penggunaan kacamata lensa cembung.
RPD: Asma (-), DM (-), HT (+) terkontrol, Stroke(+)
RPK: Asma (-), DM (-), HT (-), Stroke (-)
RPO: Aspilet 80mg 1x1, Amlodipin 5mg 1x1, Vit B complex 3x1, Neurodex 2x1
Riwayat Alergi: makanan (-), obat (-)
Riwayat Kebiasaan: Pasien tinggal bersama dengan anaknya. Pekerjaan pasien
dahulu yaitu pekerja di bengkel, tetapi semenjak tahun 2020 terkena stroke pasien
berhenti bekerja dan tinggal dirumah.

III. PEMERIKSAAN FISIK


STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 124/78 mmHg
Nadi : 67x/menit
PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
Pemeriksaan Visus
VOD : 0.15 KMS : 0.2 F
VOS : 0.15KMS : 0.9 F
Pemeriksaan Tonometri:
TOD : 22.5
TOS : 11.8
Pemeriksaan Bola Mata: Gerakan bola mata normal

Pemeriksaan Segmen Anterior

Gambar 1. Pemeriksaan segmen anterior

Pemeriksaan Slit Lamp


Ocular Dextra PEMERIKSAAN Ocular Sinistra
VOD : 0.15 KMS : 0.2 F Koreksi VOS : 0.15KMS : 0.9 F
Gerakan bola mata normal, Gerakan bola mata normal,
Enoftalmus (-), exolphtalmus Bulbus okuli Enoftalmus (-), exolphtalmus
(-), Strabismus (-) (-), Strabismus (-)
Edema (-), hiperemis (-), Palpebra Edema (-), hiperemis (-),
blefarospasme (-), lagoftalmus superior blefarospasme (-), lagoftalmus
(-), nyeri tekan (-), ekimosis (-), (-), nyeri tekan (-),ekimosis (-),
ektropion (-), entropion (-), ektropion (-), entropion
pseudoptosis (-), tumor (-) (-),pseudoptosis (-), tumor (-)
Edema (-), hiperemis (-), Palpebra inferior Edema (-), hiperemis (-),
blefarospasme (-), lagoftalmus blefarospasme (-), lagoftalmus
(-), nyeri tekan (-), ekimosis (-), (-), nyeri tekan (-),ekimosis (-),
ektropion (-), entropion (-), ektropion (-), entropion
pseudoptosis (-), tumor (-) (-),pseudoptosis (-), tumor (-)
CVI (-), hipertrofi folikuler (-), Konjungitiva CVI (-), hipertrofi folikuler (-),
hipertrofi papil (-), membran tarsal superior hipertrofi papil (-), membran
(-), sikatriks (-) (-), sikatriks (-)
CVI (-), hipertrofi folikuler (-), Konjungitiva CVI (-), hipertrofi folikuler (-),
hipertrofi papil (-), membran tarsal inferior hipertrofi papil (-)membran
(-), sikatriks (-),bintik supuratif (-), sikatriks (-), bintik
(-) supuratif (-)
Edema (-), Injeksi konjungtiva Konjungtiva Edema (-), Injeksi konjungtiva
(-), Injeksi perikorneal (-), bulbi (-), Injeksi perikorneal (-),
hiperemis (-), injeksi siliar (-), hiperemis (-), injeksi siliar (-),
pannus (-) pannus (-)
Erosi kornea (-),infiltrate Kornea Erosi kornea (+), infiltrate
punctata (-) punctata (-)

warna cokelat, datar, edema Iris warna cokelat, datar, edema


(-), sinekia anterior (-),sinekia (-), sinekia anterior (-),sinekia
posterior (-), rubeosis (-), atrofi posterior (-), rubeosis (-),
(-) atrofi (-)
Reguler, isokor, Pupil Reguler, isokor,
letak sentral, diameter 3 mm, letak sentral, diameter 3 mm,
RCL (+), RCTL (-), RAPD (-) RCL (+), RCTL (-), RADP (-)
Flare (-), hipopion (-), hifema Bilik Mata Flare (-), hipopion (-), hifema
(-) Depan (-)

Keruh, batas jelas, iris shadow Lensa Keruh, batas jelas, iris shadow
(+) (+)
- Nodus pre -
aurikular

Gambar 2. Pemeriksaan slit lamp

Gambar 3. Pemeriksaan Funduskopi


PROBLEM LIST

1. Pandangan kabur mata kanan dan kiri


2. Mata kanan gatal
3. Mata kanan berair
4. Mata kanan silau
WORKING DIAGNOSA
1. ODS Katarak
2. OD Glaukoma kronis
DIAGNOSA BANDING
1. Retinopati hipertensi
2. ARMD
PLANNING TERAPI
1. Lyteers 4 dd1
2. Timolol 2 dd1
3. Citicolin 1x1
KIE:
1. Memakai obat secara rutin dan teratur sesuai dengan anjuran dokter
2. Pasien bisa direncanakan untuk operasi katarak dikarenakan lensa mata
kanannya yang keruh sehingga menganggu pandangan pasien
3. Sebelum operasi pasien diintruksikan meminum obat glauseta untuk
mengurangi tekanan intaokular
4. Setelah operasi pasien bisa diberi asam mefenamat untuk mengurangi nyeri
dan KSR untuk pencegahan hipokalemi
5. Pasien kontrol satu minggu setelah operasi untuk melihat perkembangan
pasien dan memonitoring gejala klinis
6. Gunakan penutup mata atau kaca mata pelindung yang diberikan oleh
dokter. Penutup mata juga perlu digunakan saat tidur selama paling tidak 1
minggu.
7. Mandi dan keramas seperti biasa. Namun, pelindung mata harus tetap
dipakai untuk mencegah air, sabun, atau sampo masuk ke dalam mata.
8. Menghindari mata dari paparan air, debu, dan angin, terutama pada 1
minggu pertama. Hindari berenang selama 4-6 minggu setelah operasi
katarak
9. Hindari penggunaan make up di area sekitar mata selama 1 minggu
pertama
10. Hindari mengusap mata atau memberikan penekanan pada mata
11. Hindari mengedan dan posisi kepala menunduk
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pria berusia 73 tahun datang ke RSKH pada tanggal 23 November 2022
dengan keluhan mata kanan dan kiri kabur. Keluhan dirasakan sejak 2 bulan yang lalu.
Mata kanan lebih kabur dibanding mata kiri. Pasien merasa mata kanan terasa gatal, silau,
berair dan merasa ada sensasi benda asing. Mual muntah (-), silau (+), nyeri (-), gatal (+),
merah (-), berair (+), riwayat trauma pada mata (-).

Pasien merupakan penderita hipertensi yang terkontrol diterapi dengan amlodipin


dan pernah mengalami stroke. Pasien rutin melakukan kontrol. Dalam pemeriksaan yang
dilakukan pada tanggal 23 November didapatkan tekanan intra okuler yang sebesar 22.5
(TOD) dan 11.8 (TOS).

Pemeriksaan yang lebih lanjut masih perlu dilakukan pada kontrol selanjutnya di
minggu depan. Dan memberikan tatalaksana lanjut antara lain: Lyteers 4x1 tetes OD,
Timolol 2x1 tetes OD, Citicolin 1x1 tab yang diharapkan dapat terus menstabilkan
tekanan okular pada mata pasien guna memberikan perbaikan terhadap keluhan.
DAFTAR PUSTAKA

Awasthi N, Guo S, Wagner BJ. Posterior capsular opacification: A Problem reduced but
not yet eradicated. Arch Ophthalmol. 2009;127(4):555-62. 19. Hamer CA,
Buckhurst PJ, Buckhurst H. Surgically Induced Astigmatism. 2017.
Boonyaleephan, Sumalee. 2010. Drug-Induced Secondary Glaucoma. Nakhon Nayok:
Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Srinakharinwirot University,
Nakhon Nayok, Thailand.
Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Lens and cataract. 2014-2015 Basic and clinical
Science course. San Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2015.
Dian, E., Sari, Y., & Aditya, M. (n.d.). 2016. Glaukoma Akut dengan Katarak Imatur
Okuli Dekstra et Sinistra.
Dietze J, Blair K, Havens SJ. Glaukoma. [Updated 2022 Jun 27]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538217/
Dimitriou, Chrysostomos & Broadway, David. (2013). Pathophysiology of Glaukoma.
10.2217/ebo.12.421.
Doucette LP., Rasnitsyn A., Seifi M., Walter MA. The Interactions of Gener, Age, and
Environnnnnment in Glaucoma Pathogenesis. Survey of Ophthalmology 60 (2015);
310-26
Haug SJ, Bhisitkul RB. Risk factors for retinal detachment following cataract surgery.
Curr Opini Ophthalmol. 2012;23(1):7-11. 16. Peck CMC, Brubaker J, Clouser S,
Danford C, Edelhauser HE, Mamalis N. Toxic anterior segment syndrome:
Common causes. J Cataract Refractive Surg. 2010;36(7):1073- 80.
Ilyas, S., & Yulianti, S. R. (2015). Ilmu Penyakit Mata. 206–216.

Jack J Kanski, 2020, Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 9th Edition,


Elsevier, Saunders Ltd. P 168-171
Joos KM., Kuchtey RW. Primary Open Angle Glaucoma. Dalam: Albert And Jakobiec’s
Principles and Practice of Ophthalmology. Edisi ke-3. Elsevier Inc.; 2008. Hlm
2543-47
Katz J, Feldman MA, Bass EB, et al; Study of medical testing for cataract surgery team.
Risks and benefits of anticoagulant and antiplatelet medication use before cataract
surgery. Ophthalmology. 2003;110(9):1784-8.
Kemenkes, RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Glaukoma. (2018).
Kemenkes.2017.Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas. Pelayanan
Kesehatan Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peta jalan penanggulangan gangguan
penglihatan di indonesia tahun 2017-2030. Vol. 978-602–41. Jakarta; 2017
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Infodatin: Situasi Glaukoma di Indonesia. Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, hal 1-6
Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: Situasi Glaukoma di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, hal 1-6.
Khouri AS., Fechtner RD. Primary Open Angle Glaucoma. Dalam: Glaucoma. Edisi ke-
2. Elsevier Inc.; 2015. Hlm 333-45
McMonnies CW. Glaukoma history and risk factors. J Optom. 2017 Apr-Jun;10(2):71-
78. doi: 10.1016/j.optom.2016.02.003. Epub 2016 Mar 23. PMID: 27025415;
PMCID: PMC5383456.
Rachmawati M, Rini M, Halim A. Blindness and visual impairment profile of rapid
assessment of avoidable blindness in indonesia. 2018;
Riordan-Eva, P., Augsburger, J.J. 2018. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology
19th Edition. US: McGraw-Hill Education.
Rotsos TG, Moschos MM. Cystoid macular edema. Clin Ophthalmol. 2008;2(4):919-30
Soemantri, I., Prahasta, A., Nurwasis, Rahmi, F. L., & Oktariana, V. D. (2018). Pedoman
nasional pelayanan kedokteran glaukoma. 13–30.

Shields MB, Allingham RR, Damji KF, Freedman S, Moroi SE, Shafranov G. Shields’
Textbook of Glaucoma. Edisi ke-6. Lippincott Williams and Wilkins.; 2011. Hlm
176-85
Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV. Primary Open Angle Glaucoma. Dalam:
Becker-Shaffer’s Diagnosis and Therapy of the Glaucomas. Edisi ke-7. Elsevier
Inc.; 2009. Hlm 239-65
Suhardjo SU, Agni AN. Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed. Yogyakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2012
Syawal, R. dkk. 2018. Buku ajar ilmu kesehatan mata. Universitas Muslim Indonesia.
Thayeb, Dwi,. Saerang, J.S.M,. Rares, Layla. 2013. Profil Glaukoma Sekunder Akibat
Katarak Senilis Pre Operasi di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Manado:
FK Sam Ratulangi.
Vaughan D, Asbury J. Oftalmologi Umum. Anatomi dan Embriologi Mata : Glaukoma.
Edisi ke-19. Jakarta: EGC;2018.
Weinreb R.N., Aung T., Medeiros FA. The Pathophysiology and Treatment of Glaucoma.
Journal of the American Medical Association. 2014 May 14;311(18): 1901-11

Anda mungkin juga menyukai