Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

STEROID-INDUCED GLAUCOMA

Pembimbing:
dr. Julia Widiati, Sp.M

Oleh:
Vicki Andrean 200702110001
Fahrurrozi Hari P. 200702110004
Faiza Shema S. 200702110006
Nike Aprilia 200702110008

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................................i

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .2

2.1 Definisi 3

2.2 Klasifikasi 3

2.3 Epidemiologi 6

2.4 Faktor Risiko .7

2.5 Etiologi .7

2.6 Patofisiologi .9

2.7 Kriteria Diagnosis 12

2.8 PemeriksaanPenunjan................................................................................................13

2.9 Diagnosis Banding 16

2.10 Tatalaksana 16

2.11 Komplikasi 21

2.12 Prognosis 21

BAB III LAPORAN KASUS 22

3.1 Deskripsi 22

3.2 Diskusi. 22

BAB IV PENUTUP 24

4.1 Kesimpulan 24

4.2 Saran 24

i
DAFTAR PUSTAKA 2

i
DAFTAR TABEL
Tabel 1 3
Tabel 2 5
Tabel 3 9
Tabel 4 19

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ....................10
Gambar 2 ......11
Gambar 3 ................13
Gambar 4 ................14
Gambar 5 ................15
Gambar 6 16
Gambar 7 20
Gambar 8 ................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan degenerasi sel ganglion
retina. Degenerasi sel ganglion retina diakibatkan oleh adanya peningkatan tekanan intraokular
(TIO). TIO ditentukan oleh keseimbangan dari sekresi akuos humor oleh badan siliaris dan
eksresinya melalui dua jalur independen, yaitu trabecular meshwork dan melalui uveoskelar
(Weinreb, et al., 2014).
Glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma primer dan sekunder. Glaukoma primer
adalah glaukoma yang muncul tanpa ada hubungan dengan kelainan mata lainnya atau sistemik.
Sedangkan glaukoma sekunder terjadi akibat penyakit mata lain seperti pada penderita
peradangan mata yang berulang, komplikasi dari penyakit katarak, trauma atau benturan benda
tumpul pada mata, komplikasi pada penderita diabetes dan hipertensi atau akibat penggunaan obat
golongan kortikosteroid dalam jangka panjang tanpa pengawasan dokter (Kementrian Kesehatan
RI, 2019).
Glaukoma yang diinduksi steroid adalah efek samping yang umum dari penggunaan
steroid dalam jangka panjang (Zhang, et al., 2019). Glaukoma yang diinduksi steroid adalah
bentuk dari glaukoma sekunder sudut terbuka (Feroze, 2020). Peningkatan TIO yang diinduksi
oleh steroid tergantung pada durasi terapi, dosis, potensi dan sifat fisikokimia dari steroid, rute
pemberian, dan kerentanan individu (Overby & Clark, 2015).
Steroid adalah kelompok obat anti inflamasi yang sering digunakan untuk mengobati
mata. Penggunaan steroid dalam bentuk tetes mata yang tidak terpantau sangat sering terjadi yang
akhirnya menimbulkan efek samping. Di antara beberapa efek samping pada mata, glaukoma
sekunder dan katarak merupakan hal yang paling sering dijumpai. Penggunaan kortikosteroid
topikal memiliki risiko lebih tinggi dalam meningkatkan TIO daripada penggunaan melalui rute
lainnya (Phulke, et al., 2017).
Prednisolon, deksametason, dan betametason dikaitkan memiliki risiko relatif lebih tinggi
dalam peningkatan TIO yang signifikan secara klinis dibandingkan dengan kortikosteroid topikal
lainnya. Peningkatan TIO biasanya terjadi 3 sampai 6 minggu setelah penggunaan steroid topikal,
namun, dapat terjadi lebih awal karena adanya variasi individu yang jelas (Gosling, et al., 2016).
Angka kejadian glaukoma secara global diperkirakan sekitar 76 juta di tahun 2020 dan 111,8 juta
di tahun 2040.
Sedangkan prevalensi glaukoma di Indonesia berdasarkan Riskesdas (2007) yaitu sebesar
0,46 %, artinya glaukoma terjadi pada 4 sampai 5 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia
(Kementrian 3 Kesehatan RI, 2019). Menurut penelitian yang berjudul Profile of Secondary
Glaucoma at a Tertiary Hospital in East Java menyimpulkan bahwa prevalensi pasien yang
mengalami glaukoma sekunder akibat pemakaian kortikosteroid sebesar 0,28% (Komaratih, et al.,

1
2020).
Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui efek samping penggunaan
steroid jangka lama, selain itu edukasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan pada layanan primer
juga masih kurang. Oleh karenanya, dibuat laporan ini yang bertujuan untuk membahas steroid-
induced glaucoma secara komprehensif mulai dari definisi, stadium, epidemiologi, faktor risiko,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, kriteria diagnosis, hingga tatalaksana dan prognosisnya
serta pembahasan laporan kasus seorang pasien yang terkena glaukoma akibat penggunaan steroid
jangka panjang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Glaukoma adalah kumpulan penyakit dengan karakteristik optik neuropati, gangguan
lapangan pandang, dan atau tanpa peningkatan TIO. Glaukoma dibagi menjadi glaukoma sudut
terbuka dan sudut tertutup, dan dapat bersifat primer atau sekunder. Glaukoma sekunder dapat
disebabkan beberapa hal, antara lain pigment dispersion syndrome atau pseudoexfoliation,
iatrogenik, inflamasi, perubahan lensa, trauma, pemakaian obat steroid jangka panjang,
neovaskularisasi, penyakit kornea, perdarahan intraokular, peningkatan tekanan vena episklera,
dan tumor mata (Skuta, et al., 2015; Thimons, et al., 1993; Abe, et al., 2006; Stamper, et al.,
2009).
Peningkatan tekanan intraokular (TIO) sebagai akibat dari penggunaan glukokortikoid
(GC) pada mata disebut steroid-induced ocular hypertension. Jika peningkatan TIO cukup
besarnya dan tidak diobati, neuropati optik glaukoma dapat berkembang, disebut steroid-induced
glaucoma (SIG). Orang yang merespon GC dengan peningkatan TIO ditandai sebagai "steroid
responders." Selama bertahun-tahun, banyak definisi respon steroid: 1) peningkatan TIO > 5 mm
Hg; 2) TIO di atas 21 atau 24 mm Hg; 3) peningkatan TIO > 5 mm Hg dengan nilai di atas 24
mm Hg; dan 4) Peningkatan TIO > 10 mm Hg di atas baseline dengan signifikansi klinis, yang
terakhir adalah definisi yang paling diterima secara luas (Roberti, et al., 2020).

2.2 Klasifikasi
Menurut Riordan-Eva, et al (2018), glaukoma diklasifikasikan sebagai
berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan Etiologinya

3
4
Sumber: Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, 2018.
Tabel 2. Klasifikasi Glaukoma Berdasarkan Mekanisme Peningkatan TIO

5
6
Sumber: Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, 2018.

2.3 Epidemiologi
Dalam populasi umum, 5 hingga 6% dari subjek sehat akan mengalami peningkatan TIO
yang 4 hingga 6 minggu setelah pemberian tetes mata deksametason atau betametason topikal.
Studi-studi ini juga menunjukkan bahwa angka-angka ini berhubungan langsung dengan
frekuensi pemberian dan durasi penggunaan obat ini. Peningkatan penggunaan terkait dengan
peningkatan risiko meningkatnya TIO. Pasien yang memiliki risiko yang lebih tinggi adalah
pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer, pasien yang memiliki kerabat tingkat pertama
terkena glaukoma, pasien diabetes, pasien yang memiliki high miopi, dan pasien dengan penyakit
connective tissue disease, dan khususnya pasien dengan rheumatoid arthritis. Selain itu, pasien
dengan glaukoma sudut resesi lebih rentan terhadap glaukoma yang diinduksi kortikosteroid
(Rath,2011).

2.4 Faktor Risiko


Ada kondisi tertentu yang dipertimbangkan untuk meningkatkan risiko terjadinya
glaukoma yang diinduksi steroid. Faktor yang berhubungan dengan pasien (Phulke, et al., 2017):
• Pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer (POAG/primary open-angle glaucoma). Sekitar
30% suspek glaukoma dan 90% mungkin memiliki hipertensi okular yang respon terhadap
pemberian deksametason topikal 0,1% selama 4 minggu. Individu normal diklasifikasikan
sebagai responden steroid tinggi, mereka lebih mungkin untuk terkena POAG. Kerabat tingkat
pertama pasien POAG juga dianggap memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi responden
steroid (Phulke, et al., 2017).

7
• Miopia tinggi atau mata dengan riwayat penetrasi keratoplasty atau operasi refraktif seperti
photorefractive keratektomi, laser in situ keratomileusis (LASIK), dan Descement’s Stripping
Endothelial Keratoplasty (DSEK). Glaukoma yang diinduksi steroid setelah operasi refraksi
ditutupi oleh pengukuran falsely low TIO karena ketebalan kornea sentral yang tipis, perubahan
kekakuan okular, edema kornea, dan akumulasi cairan di bawah flap LASIK (Phulke, et al.,
2017).
• Sangat muda (<10 tahun) dan orang dewasa yang lebih tua (distribusi bimodal) (Phulke, et al.,
2017).
• Diabetes mellitus atau penyakit jaringan ikat (terutama rheumatoid arthritis) (Phulke, et al.,
2017).
• Mata dengan sindrom dispersi pigmen atau resesi sudut traumatis (Phulke, et al., 2017).
• Hiperkortisolisme endogen (Phulke, et al., 2017).

2.5 Etiologi
Glaukoma Sudut Terbuka
Kortikosteroid merupakan kelompok obat yang dapat menyebabkan peningkatan TIO
melalui mekanisme sudut terbuka. Tidak semua pasien pengguna steroid akan mengalami
glaukoma sudut terbuka. Faktor risiko yang dapat memengaruhi yaitu glaukoma sudut terbuka
primer yang sudah ada sebelumnya, riwayat keluarga glaukoma, miopia tinggi, diabetes mellitus
dan usia muda. 18-36% dari populasi umum dan 46-92% pasien dengan glaukoma sudut terbuka
primer merespons pemberian kortikosteroid topikal okular dengan peningkatan TIO dalam 2-4
minggu setelah terapi dimulai (Rath,2011).
Tetes mata dan krim topikal yang diaplikasikan pada daerah periorbital dan injeksi
intravitreal dapat lebih mungkin menyebabkan peningkatan TIO dibangidngkan dengan obat
intravena, parenteral dan inhalasi. Peningkatan TIO dapat bertahap dan tanpa gejala, hal ini
mengakibatkan tidak terdioagnosisnya pasien yang menjalani terapi kortikosteroid kronis.
Sehingga menyebabkan kerusakan saraf optik glaukoma. Peningkatan TIO yang diinduksi steroid
dapat terjadi dalam beberapa minggu setelah memulai terapi steroid. Beberapa kasus terjadi TIO
yang kembali secara spontan hingga nilai baseline dalam beberapa minggu hingga bulan setelah
penghentian steroid. Dalam situasi yang jarang terjadi, TIO tetap tinggi (glaukoma yang diinduksi
steroid) yang mungkin memerlukan pengobatan glaukoma berkepanjangan atau bahkan
pembedahan (Rath,2011).

Glaukoma Sudut Tertutup


Beberapa obat memiliki kontraindikasi atau efek samping yang mengakibatkan glaukoma
sudut tertutup akut. Obat ini akan memicu serangan pada individu dengan sudut bilik mata depan
yang sangat sempit yang rentan terhadap oklusi, terutama ketika pupil melebar. Jenis obat yang

8
memiliki potensi untuk menginduksi penutupan sudut mata yaitu obat tetes mata antikolinergik
atau simpatomimetik topikal, antidepresan trisiklik, inhibitor monoamine oksidase, antihistamin,
obat anti-Parkinson, obat antipsikotik dan agen antispasmolitik (Rath,2011).
Obat yang mengandung sulfonamid dapat menginduksi ACG dengan mekanisme yang
berbeda, yang melibatkan rotasi anterior badan siliaris. Biasanya dapat terjadi sudut-penutupan
bilateral dan dapat terjadi dalam beberapa dosis pertama. Pasien dengan sudut terbuka sempit atau
lebar berpotensi rentan terhadap reaksi ini. Namun, kondisi ini jarang sekali terjadi (Rath,2011).

Tabel 3. Macam Obat yang Menyebabkan Glaukoma Sudut Tertutup

9
Sumber : Drug-Induced Acute Angle-Closure Glaucoma : Raising your Index of Suspicion

2.6 Patofisiologi
Glaukoma Sudut Terbuka
Patofisiologi glaukoma yang diinduksi steroid masih belum diketahui. Telah diketahui
bahwa peningkatan TIO yang diinduksi steroid merupakan akibat dari peningkatan resistensi
terhadap aqueous outflow. Beberapa bukti menunjukkan bahwa mungkin adanya peningkatan
akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan produksi protein trabecular meshwork-inducible
glucocorticoid response (TIGR), yang secara mekanis pada tingkat mikroskopis dapat
menghalangi aqueous outflow. Bukti lain menunjukkan bahwa perubahan sitoskeletal yang
diinduksi kortikosteroid dapat menghambat pinositosis aqueous humor atau menghambat
pembersihan glikosaminoglikan, yang dapat mengakibatkan akumulasi zat ini dan penyumbatan
aqueous outflow (Rath,2011).
Mekanisme yang mungkin untuk peningkatan TIO yang diinduksi steroid telah diusulkan,

10
seperti akumulasi atau deposisi extracellular matrix material, reorganisasi sitoskeleton trabecular
meshwork, penurunan aktivitas protease dan stromelysin, peningkatan ukuran nuklear dan
kandungan DNA, dan penurunan kapasitas fagositosis (Boonyaleephan, 2010).

Glaukoma Sudut Tertutup


Glaukoma dibedakan menjadi subtipe sudut terbuka dan sudut tertutup berdasarkan
mekanisme gangguan pada drainase aqueous humor. Aqueous humor dialirkan pada sudut bilik
terutama melalui trabecular meshwork dan kanal Schlemm dengan drainase minor melalui
outflow uveosklera. Sudut iridokorneal dibuat oleh permukaan posterior kornea dan iris. Sudut
Schlemm berjalan di bawah trabecular meshwork. Pada glaukoma sudut tertutup, sudut
iridokorneal tiba-tiba terhambat, menyebabkan penumpukan aqueous humor dan peningkatan
tajam pada tekanan intraokular AACG dapat dikategorikan berdasarkan mekanisme penyumbatan
sudut iridokorneal. Terdapat 4 mekanisme yang dipisahkan berdasarkan tingkat anatominya; iris,
badan siliaris, lensa dan kekuatan di posterior lensa. Beberapa mekanisme ini mungkin juga hadir
bersama-sama. Pada tingkat iris, mekanisme yang paling umum adalah blok pupil di mana humor
aquos menghadapi resistensi yang mengalir dari bilik posterior ke bilik mata depan menciptakan
gradien tekanan yang menyebabkan lengkung anterior iris. Akibatnya sudut irido-kornea
berkurang (An et al, 2021).

Gambar 1. Aqueous humor flow


Sumber : Drug-Induced Glaucoma (Glaucoma Secondary to Systemic Medication): Glaucoma – Basic and
Clinical Concepts
Aqueous humor disekresikan oleh badan siliaris dan bersirkulasi melalui pupil untuk
mencapai sudut bilik mata depan (Gambar. 1). Patofisiologi glaukoma sudut tertutup biasanya
disebabkan oleh blok pupil, yaitu kontak iris dan lensa pada batas pupil akibat dilatasi pupil
(Rath,2011). Blok pupil yang disebabkan oleh dilatasi pupil merupakan mekanisme penutupan
sudut yang paling umum. Ini terjadi ketika pupil berkontak dengan lensa dan menghalangi aliran
akuos dari bilik posterior ke bilik mata depan. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di

11
dalam bilik mata posterior, yang mengakibatkan iris perifer melengkung ke anterior dan aposisi
iris perifer ke trabecular meshwork. Akibatnya, air tidak dapat mengalir keluar dan TIO
meningkat (Ah-kee et al, 2016).

Gambar 2. Mekanisme Blok Pupil


Sumber : A review of drug-induced acute angle closure glaucoma for non-ophtalmologists

Sedangkan untuk badan siliaris, posisi abnormal dapat menyebabkan prosesus siliaris
menjadi lebih anterior. Hal ini menyebabkan iris perifer terdesak ke sudut iridokorneal sehingga
mempersempit sudut. Fenomena ini juga disebut sebagai iris plateu. Lensa juga dapat
menyebabkan glaukoma sudut tertutup dalam dua kondisi. Pertama, lensa yang besar dapat
menekan iris dan badan siliaris di dekatnya, sehingga mendorongnya ke anterior dan
mempersempit sudut iridokorneal. Kedua, ketika lensa disubluksasikan ke anterior. Kekuatan
posterior lensa terlihat pada jenis glaukoma yang dikenal sebagai glaukoma maligna. Gradien
tekanan yang meningkat antara kompartemen vitreus dan aquos disebabkan oleh salah arah dari
humor aquos ke dalam vitreus. Akibatnya, diafragma lensa-iris tergeser ke depan dan juga rotasi
anterior badan siliaris. Iris terdorong melawan trabecular meshwork dan terjadi penutupan sudut
iridokorneal. Terlepas dari 4 mekanisme utama yang tercantum di atas, terdapat beberapa
penyebab lain. Penyebab ini yaitu ciliary body cysts, tumor atau peradangan ciliary body dan
gelembung udara yang muncul setelah operasi intraokular. Sinekia anterior perifer akibat
penutupan sudut juga dapat disebabkan oleh neovaskularisasi iris dan sudut, sindrom endotel
iridokorneal, dan uveitis anterior (An et al, 2021).

Orang yang berisiko terkena Angle Closure Glaucoma (ACG) biasanya memiliki faktor
risko seperti, hipermetropia, mikroftalmus, dan nanoftalmus. Obat-obatan dapat memiliki efek
langsung maupun tidak langsung, baik dalam merangsang simpatis atau menghambat aktivasi
parasimpatis yang menyebabkan dilatasi pupil, sehingga dapat memicu sudut tertutup akut pada
pasien dengan sudut bilik mata depan yang oklusi. Agen-agen ini termasuk agonis adrenergik
(misalnya agonis adrenergik 2-spesifik (misalnya salbutamol), agonis adrenergik non-
katekolamin (misalnya amfetamin, dekstroamfetamin, metamfetamin dan fendimetrazin) dan

12
antikolinergik (misalnya tropikamida), antagonis reseptor histamin H1 reseptor histamin) dan
antagonis reseptor histamin H1 (histamin H1 reseptor antagonis) (misalnya cimetidine dan
ranitidine) memiliki efek samping antikolinergik yang lemah. Antidepresan seperti fluoxetine,
paroxetine, fluvoxamine dan venlafaxine juga telah dikaitkan dengan penutupan sudut akut, yang
diyakini diinduksi oleh efek samping antikolinergik atau peningkatan kadar serotonin yang
menyebabkan midriasis (Rath,2011).
Obat yang mengandung “sulfa” dapat menyebabkan penutupan sudut akut dengan
mekanisme yang berbeda. Kondisi ini melibatkan rotasi anterior badan siliaris dengan atau tanpa
efusi koroid yang mengakibatkan bilik mata depan dangkal dan penyumbatan trabecular
meshwork oleh iris. Penyebab pasti pembengkakan badan siliaris masih belum diketahui, namun
hal ini sering terjadi pada individu yang rentan. Topiramate merupakan antikonvulsan yang
mengandung sulfa. Terdapat laporan tentang pasien yang menggunakan topiramate yang
mengalami glaukoma sudut akut. Namun, studi yang dilakukan di Rumah Sakit Mata Hong Kong
dan Rumah Sakit Prince of Wales menunjukkan bahwa penggunaan topiramate jangka pendek
tidak menyebabkan penyempitan sudut tanpa gejala. Oleh karena itu, glaukoma sudut tertutup
sekunder yang diinduksi topiramate hingga saat ini belum bisa dipastikan (Rath,2011).
Carbamazepine juga merupakan obat antikonvulsif dan mood stabilizer yang digunakan
dalam mengobati epilepsi, gangguan bipolar dan neuralgia trigeminal. Carbamazepine
menstabilkan dan menonaktifkan natrium Chan yang menghasilkan lebih sedikit active channels
dan lebih sedikit sel-sel otak yang tereksitasi. Terdapat satu laporan yang mengatakan
carbamazepine sebagai penyebab gangguan ini (Rath,2011).

2.7 Kriteria Diagnosis


Diagnosis dari glaucoma didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dari
ophthalmology. Pada anamnesis terhadap pasien terdapat beberapa keluhan seperti Gejala pada
glaukoma kronik (sudut terbuka) adalah kehilangan lapang pandang perifer secara bertahap pada
kedua mata. Pasien sering datang pada kondisi yang telah lanjut. Gejala pada glaukoma akut
(sudut tertutup) adalah rasa sakit atau nyeri pada mata, mual dan muntah (pada nyeri mata yang
parah), penurunan visus mendadak, mata merah dan berair. Serta didapatkan faktor resiko sesuai
dengan jenis glaukomannya (Kemenkes,2017). Pada anamnesis juga ditemukan gejala visual
yang biasanya tidak ada, kecuali kerusakan sudah lanjut. Pada Riwayat penggunaan obat perlu
ditanyakan seperti penggunaan steroid ,oral beta-blocker. Selain itu perlu ditanyakan adanya
Riwayat kebiasaan seperti allergi, terutama terhadap obat-obatan yang mungkin digunakan dalam
pengobatan glaukoma, seperti acetazolamide dikontraindikasikan jika ada riwayat alergi
sulfonamid dan kebiasaan merokok (Kanski,2020).
Pasien Glaukoma juga dilakukan beberapa pemeriksaan fisik dan penunjang dan
didapatkan hasil adanya trias glaucoma (Kemenkes,2017) :

13
- Peningkatan tekanan intraokular.
- Perubahan patologis pada diskus optikus.
- Defek lapang pandang yang khas.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Tonometry

Peningkatan tekanan intra ocular (TIO) dapat diukur dengan menggunakan


Tonometri .Alat yang paling sering digunakan pada pengukuran TIO ini yaitu tonometer
goldmann, dimana alat ini terpasang pada slitlamp dan mengukur gaya yang dibutuhkan untuk
meratakan area kornea. Ketebalan pada kornea sangat mempengaruhi keakuratan pada
pengukuran. Alat lainnya untuk pengukuran TIO yaitu tonometer Perkins dan Tono-Pen, dimana
keduanya portabel, dan tonometer pneumato, yang dapat digunakan dengan lensa kontak lunak di
tempat ketika kornea memiliki permukaan yang tidak teratur. Tonometer Schiotz diketahui juga
merupakan alat yang portabel dan dapat mengukur lekukan kornea yang dihasilkan oleh berat
yang ditentukan (Vaughan,2018).

Gambar 3 . Distribusi tekanan intra ocular pada pasien dengan usia di atas 40 tahun
(Vaughan, 2018)
Tekanan intra ocular (TIO) pada orang normal dengan kisaran atas untuk orang dewasa
adalah 21 mmHg pada pengukuran menggunakan tonometri aplanasi. Beberapa individu dapat
mengalami glaucoma dengan TIO kurang dari 21mmHg tetapi pada individu lainnya peningkatan
TIO yang melebihi 21 mmHg masih belum menimbulkan gejala (Kanski, 2020). Pendapat lain
mengatakan Glaukoma terjadi pada orang dengan peningkatan TIO lebih dari 22 mmHg
(Kumar,2007) . Pada orang tua, tekanan intraokular rata-rata lebih tinggi, dengan batas atas 24
mm Hg. Tekanan intraokular biasanya tergantung pada fluktuasi diurnal. Pada glaukoma sudut
terbuka primer, 32 - 50% individu akan memiliki tekanan intraokular normal saat pertama kali
diukur (Vaughan,2018).
b. Gonoscopy

14
Chamber anterior sudut terbuka dibentuk dari junction dari kornea perifer dan iris,
diantaranya terdapat trabecular meshwork. Penampakan dari sudut ini, apakah itu sudut yang
lebar (terbuka), sempit, atau tertutup, memiliki pengaruh penting pada aliran keluar air (Humor
aquous). Lebar sudut ruang anterior dapat diperkirakan dengan pemeriksaan iluminasi
menggunakan penlight atau menggunakan slitlamp dengan menentukan kedalaman dari
peripheral antrerior chamber, tetapi pemeriksaan paling baik dan sensitive untuk menilai
chamber anterior adalah gonioscopy, dimana pemeriksaan ini dapat menunjukan visualisasi dari
stuktur sudut tersebut (Vaughan, 2018). Pada pasien dengan glaucoma yang disebabkan oleh drug
induce kebanyakan dapat ditemukan sudut terbuka pada chambernya hal ini biasanya banyak
diinduksi oleh kortikosteroid (Boonyaleephan,2010). Pemeriksaan genoskopi pada pasien dengan
sudut terbuka ini dapat memvisualisasikan trabecular meshwork, scleral spur, dan iris processes
(Vaughan,2018).

Gambar 4. ilustrasi anatomis (kiri) dan ginioskopi(kanan ) pada sudut anterior chamber normal .
(Vaughan,2018)

c. Pemeriksaan Optik Disk


Diskus optikus normal memiliki lekukan sentral cawan fisiologi yang
ukurannya tergantung pada sebagian besar serat yang membentuk saraf optik relatif
terhadap ukuran bukaan sklera yang harus dilaluinya. Pada glaukoma, mungkin ada
pembesaran konsentris dari cangkir optik atau cupping superior dan inferior
preferensial dengan lekukan fokal pada tepi diskus optikus Optik disk juga meningkat
kedalamannya karena lamina cribrosa dipindahkan ke belakang. Saat bekam
berkembang, pembuluh darah retina pada diskus bergeser ke arah nasal. Hasil akhir
dari bekam glaukoma adalah apa yang disebut cangkir "bean-pot" di mana tidak ada
jaringan tepi saraf yang terlihat. Asimetri dari optik disk sering menunjukkan adanya

15
glaucoma (Vaughan,2018).

Gambar 5. Gambaran Bean-pot pada pemeriksaan optic disk


(Vaughan,2018)

d. Perimetri

Pemeriksaan lapang pandang secara berkala merupakan faktor yang sangat


penting pada diagnosis dan follo up dari penderita glaucoma. Kehilangan lapang
pandang pada pasien glaucoma merupakan hal yang tidak spesifik karena beberapa
penyakit yang menyerang serabut saraf optic juga menunjukan pengurangan dari lapang
pandang. Pada pasien glaucoma kehilangan lapang pandang terjadi secara progresif..
Biasanya pada pasien dengan glaucoma melibatkan 30 dreajat central dari lapang
pandang (Vaughan,2018).
Perubahan awal termasuk peningkatan variabilitas respons di area yang kemudian
berkembang menjadi cacat dan sedikit asimetri antara kedua mata. Modalitas khusus
seperti teknologi penggandaan frekuensi (FDT) dan perimetri otomatis panjang
gelombang pendek (SWAP) dapat menunjukkan cacat pada tahap awal. Depresi
paracentral kecil dapat terbentuk pada tahap yang relatif awal, seringkali superonasal.
Mereka lebih sering terlihat di NTG. Langkah hidung mewakili perbedaan sensitivitas di
atas dan di bawah garis tengah horizontal di bidang hidung. Cacat dibatasi oleh garis
tengah horizontal, sesuai dengan raphe horizontal lapisan serat saraf retina. Disk optik
inferior dan perubahan OCT dengan langkah hidung superior yang sesuai. Perubahan
tahap akhir ditandai dengan pulau kecil penglihatan sentral, biasanya disertai dengan
pulau temporal. Pola perimetri memfasilitasi pemantauan bidang pusat residual
(Kanski,2020).

16
Gambar 6. perubahan lapang pandang yang terjadi setelah 30 bulan (kanski,2020)
2.9 Diagnosis Banding
Pada pasien glaucoma terdapat beberapa diagnosis banding sesuai dengan fase nya seperti
fase akut dan fase kronik. Pada fase akut terdapat Uveitis anterior, Keratitis, Ulkus kornea. Pada
fase kronis diagnosis banding yang mempunyai gejala mirip dengan pasien dengan glaucoma
adalah katarak, kelainan refraksi, retionpati diabetic/hipertensi dan retinitis pigmentosa hal ini
karena pada fase kronik pasien dapat kehilangan/ penurunan penglihatan (PPK, 2017; Kanski,
2020)

2.10 Tatalaksana
1. Sudut Terbuka
Jika kondisi medis yang mendasari pasien dapat mentolerir penghentian kortikosteroid,
maka penghentian biasanya akan menghasilkan normalisasi pada TIO. Dalam kasus tetes

17
kortikosteroid topikal, menggunakan obat steroid potensi rendah, seperti bentuk fosfat dari
prednisolon dan deksametason, loteprednol etabonat atau fluorometolone harus dipertimbangkan.
Obat-obatan ini memiliki peluang yang lebih kecil untuk meningkatkan TIO, tetapi biasanya tidak
seefektif yang lain. Obat antiinflamasi nonsteroid topikal (misalnya, diklofenak, ketorolak) adalah
alternatif lain yang tidak menyebabkan peningkatan TIO, tetapi hanya memiliki aktivitas
antiinflamasi terbatas untuk mengobati kondisi dasar pasien. Dalam kasus sesekali di mana TIO
pasien tidak menjadi normal setelah penghentian steroid atau pada pasien yang harus melanjutkan
pengobatan, obat anti-glaukoma topikal dipertimbangkan (Rath, 2011).
2. Sudut Tertutup
Jika etiologi glaukoma sudut tertutup adalah obat yang mengandung sulfa, peningkatan TIO
umumnya akan hilang setelah penghentian agen. Namun, kasus parah dari penutupan sudut yang
diinduksi sulfonamid (yaitu TIO >45 mm Hg) mungkin tidak berespons terhadap penghentian
agen penyebab. Mereka mungkin berespon dengan pemberian manitol intravena. Etiologi lain
dari glaucoma sudut tertutup yang diinduksi obat diperlakukan serupa dengan glaukoma sudut
tertutup akut primer, yaitu dengan beta bloker topikal, analog prostaglandin, agonis kolinergik
dan seringkali asetazolamid oral (Rath, 2011).
Medikamentosa
a. Prostaglandin receptor analog
Latanoprost, travoprost, dan bimatoprost adalah agonis prostaglandin F2, yang meningkatkan
aliran keluar uveoskleral dari aqueous humor. Ini dianggap sebagai kelompok agen hipotensi
okular topikal yang paling kuat yang tersedia saat ini dan dapat menurunkan TIO awal sebesar
25-35%. Ada beberapa efek samping sistemik yang terkait dan sebagian besar berhubungan
dengan sakit kepala. Selain itu, latanoprost dapat menyebabkan nyeri sendi/otot dan gejala seperti
flu. Efek samping lokal termasuk penglihatan kabur, hiperemia konjungtiva, ketidaknyamanan
mata, pigmentasi iridial permanen, edema makula dan penebalan bulu mata (Marais dan Osuch,
2017).
b. Carbonic anhydrase inhibitors

Acetazolamide, dorzolamide dan brinzolamide adalah turunan sulphonamide yang


mengurangi produksi aqueous humor yang tidak bergantung pada cara kerja diuretiknya.
Acetazolamide diberikan secara sistemik dalam bentuk tablet oral atau infus intravena, dan juga
mengurangi laju aliran air hingga 50%. Kegunaannya terbatas pada pengelolaan glaukoma sudut
tertutup akut karena efek samping sistemik yang tidak menguntungkan yang mungkin termasuk
parestesia, mual, diare, kehilangan nafsu makan dan asidosis sistemik terkait dosis. Aplikasi
topikal dorzolamide dan brinzolamide menunjukkan peningkatan aliran darah okular dan
pelestarian jangka panjang bidang visual. Penurunan rata-rata 15-20% pada TIO awal dapat

18
diharapkan. Efek samping termasuk iritasi mata, mata kering, penglihatan kabur, peradangan
kelopak mata dan rasa pahit (Marais dan Osuch, 2017).

c. Alpha 2 adrenergic agonists

Brimonidin adalah agonis reseptor 2 selektif. Awalnya mengurangi produksi humor akuos
diikuti oleh peningkatan berikutnya dalam aliran keluar uveoskleral, oleh karena itu terbukti
berguna dalam mencegah peningkatan TIO sebelum operasi laser segmen anterior. Brimonidine
mengurangi TIO awal dengan sekitar 20%. Apraclonidine mengurangi pembentukan humor akuos
tetapi tidak berpengaruh pada fasilitasi aliran keluar. Ini memiliki afinitas untuk reseptor adreno 1
dan 2 dan digunakan untuk mencegah peningkatan TIO pascaoperasi setelah terapi laser segmen
anterior. Apraclonidine mengurangi TIO awal sebesar 30% dan tambahan digunakan sebagai
terapi adjuvant pada kasus resisten glaukoma. Efek samping sistemik dari agonis alfa
berhubungan dengan sistem saraf pusat (sakit kepala, kelelahan, insomnia, depresi) dan sistem
pernapasan. Perhatian harus diberikan pada pasien dengan insufisiensi serebral atau koroner,
hipotensi postural dan gagal ginjal atau hati. Reaksi hipersensitivitas, iritasi mata, edema kelopak
mata, sensasi benda asing, dan mata kering sering terjadi pada penggunaan topical (Marais dan
Osuch, 2017).

d. Cholinergic agonist
Pilocarpine adalah satu-satunya agen kolinergik yang tersedia dalam pengelolaan glaukoma
sudut tertutup akut yang terdaftar di Afrika Selatan. Pemberian menyebabkan peningkatan aliran
keluar aqueous humor melalui kontraksi otot siliaris dan konstriksi pupil. Efek samping yang
tidak dapat ditoleransi dengan baik, seperti kejang otot siliaris, miopia, dan penurunan
penglihatan membatasi kegunaannya (Marais dan Osuch, 2017).
e. Beta blocker
Meskipun agonis reseptor prostaglandin adalah agen yang paling kuat dalam mengurangi TIO,
beta blocker dianggap sebagai pilihan pertama dalam mengobati glaukoma sudut terbuka. Agen
individu berbeda dalam kemampuan mereka untuk menurunkan TIO, dengan betaxolol mencapai
penurunan 15%, dibandingkan dengan 20-25% dengan timolol dan levobunolol masing-masing.
Betaxolol, bagaimanapun, lebih kardioselektif (β1) dan karena itu memiliki efek samping paru
yang lebih sedikit dibandingkan dengan timolol dan levobunolol (yang merupakan antagonis non-
selektif pada reseptor 1 dan 2). Mekanismenya melibatkan pengurangan produksi aqueous humor
dan tidak menyebabkan miosis atau gangguan akomodasi dibandingkan dengan agen kolinergik.
Efek samping yang paling umum adalah iritasi mata dan mata kering. Semua blocker (termasuk
agen kardioselektif) dikontraindikasikan pada pasien dengan asma, PPOK dan bradikardia,
kecuali pengobatan alternatif tidak tersedia (Marais dan Osuch, 2017).

19
f. Kombinasi
Beberapa agen kombinasi tersedia dalam pengobatan glaukoma. Sebagian besar kombinasi ini
termasuk timolol, karena blocker masih dianggap sebagai terapi lini pertama pada glaukoma
sudut terbuka dan hipertensi okular. Terapi kombinasi dosis tetap lebih manjur daripada masing-
masing komponennya, tetapi masih kurang manjur dibandingkan masing-masing kombinasi tidak
tetap. Ini menyediakan rezim pengobatan yang disederhanakan dan meningkatkan kepatuhan.
Kombinasi dosis tetap yang mengandung prostaglandin memiliki risiko lebih rendah dalam
menyebabkan hiperemia. Kombinasi timolol dengan dorzolamide lebih unggul dalam pelestarian
bidang visual dibandingkan dengan timolol dan brinzolamide. Sediaan kombinasi dengan
brimonidin memiliki gangguan penglihatan, perubahan rasa, dan reaksi alergi mata yang lebih
sedikit dibandingkan dengan produk bahan tunggal (Marais dan Osuch, 2017).

Tabel 4. Terapi dalam manajemen glaukoma

20
Terapi laser
Untuk glaucoma sudut terbuka yang diinduksi steroid, trabeculoplasty laser selektif atau
trabeculoplasty laser Argon dapat diterapkan tanpa adanya peradangan intraokular jika TIO
suboptimal dengan obat-obatan. Pada glaukoma sudut tertutup, iridoplasti perifer laser Argon
dapat dilakukan untuk memperlebar sudut dan memperdalam bilik mata depan. Iridotomi laser
dapat dilakukan untuk membalikkan blok pupil atau untuk mencegah blok pupil lebih lanjut.
Laser Irididotomi dapat dilakukan sebagai prosedur pencegahan pada naoftalmik hepermetropik
dan mata mikroftalmik. Ketika terapi medis dan laser tidak efektif dalam menurunkan TIO untuk
menargetkan tekanan atau pasien tidak toleran terhadap terapi medis, terapi bedah diindikasikan.
Biasanya, trabekulektomi, prosedur filtrasi yang dijaga, dengan atau tanpa anti-metabolit
intraoperatif, adalah prosedur utama. Dalam kasus mata dengan neovaskularisasi aktif atau
peradangan, implan drainase glaukoma dapat digunakan sebagai prosedur utama (Rath, 2011).

Gambar 7. Argon Laser Trabeculoplasy (ALT)


(Rath, 2011).

21
Gambar 8. Laser Iridotomy (LI)
(Rath, 2011).

2.11 Komplikasi
Apabila terapi ditunda, iris perifer dapat melekat ke anyaman trabekular (sinekia anterior)
sehingga menimbulkan oklusi sudut COA irreversible yang memerlukan tindakan bedah untuk
memperbaikinya. Sedangkan jika tidak diobati akan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
yang progresif, biasanya melalui tahapan blind spot dan bisa menjadi kebutaan total (Sihota,
2009).

2.12 Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada penemuan dan pengobatan dini. Bila tidak mendapat
pengobatan yang tepat dan cepat, maka kebutaan akan terjadi dalam waktu yang pendek sekali.
Pengawasn dan pengamatan mata yang tidak mendapat serangan diperlukan karma dapat
memberikan keadaan yang sama seperti mata yang dalam serangan (Ilyas et al., 2007).

22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Deskripsi Kasus
Pasien Tn.A, laki-laki, usia 19 tahun, datang ke poli mata RSKH dengan keluhan utama
mata merah pada kedua mata. Mata merah pada kedua mata dirasakan sejak ± 2 tahun, mata sering
merah setiap kali bangun tidur. Mata merah juga disertai dengan penurunan penglihatan. Mata
merah membaik dengan istirahat dan memburuk jika pasien merasa lelah. Mata gatal (-), mata
berair (-), mata lengket saat bangun tidur (-), mata nyeri (-), mata kabur (-), bintik kecil melayang-
layang (-), trauma (-), silau jika melihat cahaya (-).
Tidak ada riwayat diabetes mellitus, tekanan darah tinggi (-), asma (-), alergi (-), riwayat
operasi (-). Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien, DM (-),
tekanan darah tinggi (-), asma (-). Didapatkan riwayat pengobatan pemakaian Cendo Xitrol Eye
Drop selama 2 tahun terakhir, dipakai setiap hari yang didapatkan dari puskesmas lalu ketika habis
pasien membeli sendiri di apotik.
Saat ini pasien memakai kacamata minus 2 pada mata kanan dan kiri, terakhir ganti
kacamata ± 1 tahun yang lalu. Pasien berstatus sebagai mahasiswa jurusan ilmu komunikasi yang
sehari-hari memiliki kebiasaan berhadapan dengan gadget dan laptop dalam jangka waktu lama
lebih dari 4 jam/hari. Setelah anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik terhadapa pasien. Status
generalis keadaan umum baik, GCS 456. Tanda vital: TD 134/89 mmHg, Nadi 73x/menit, RR
18x/menit, suhu 36,0 ̊C.
Hasil pemeriksaan visus normal didapatkan VOD 2/60, VOS 3/60, visus menggunakan
kacamata pasien sendiri KMS OD 0,15, KMS OS 0,15. Kemudian dilakukan pemeriksaan
tonometri didapatkan TOD 46,0 dan TOS 37,5. Swinging test RAPD (-). Hasil pemeriksaan slit
lamp didapatkan kelopak mata normal, krustae pada bulu mata atas bawah (-), konjungtiva
hiperemis (+), kornea jernih, erosi (-), edema kornea (+), COA dalam dan jernih, iris reguler,
refleks cahaya pupil (+), lensa jernih, fundus refleks (+).
Kemudian didapatkan diagnosis pasien tersebut yakni drug-induced glaucoma ODS,
miopia ODS, dan susp.konjungtivitis alergi ODS. Dokter penanggungjawab memberikan terapi
yang pertama yakni menghentikan pemakaian steroid, lalu koreksi kacamata, artificial tears,
timolol (beta blocker) eye drop 2x1, glauseta (acetazolamide) tablet 3x1, dan aspar-K (kalium)
tablet 1x1. Selain itu, pasien juga di KIE agar tidak mengucek mata, dan melakukan 20-20-20 rule
yakni setiap 20 menit sekali istirahat dari gadget dengan melihat sejauh 20 kaki (± 6 meter) selama
20 detik.

3.2 Diskusi
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

23
pemeriksaan penunjang. Pasien ini didiagnosa dengan glaukoma induksi steroid. Glaukoma yang
diinduksi steroid merupakan bentuk dari glaukoma sudut terbuka yang dihubungkan dengan
penggunaan steroid tetes mata. Dari anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan mata
merah pada kedua mata disertai penurunan penglihatan, pada riwayat penyakit dahulu ditemukan
pasien sudah menggunakan obat tetes mata yang dibeli sendiri tanpa resep dokter ketika
mengalami mata merah, obat tersebut berisi steroid.
Pemeriksaan fisik ditemukan visus VOD 2/60, VOS 3/60, pasien juga telah menggunakan
kacamata minus 2 yang terakhir kali dikoreksi ± 1 tahun yang lalu. Pemeriksaan TOD 46,0 dan
TOS 37,5 mmHg. Ini menunjukkan terjadi peningkatan TIO pada pasien. Normal TIO berkisar 10-
21 mmHg (rata-rata 16 mmHg). Peningkatan TIO pada glaukoma induksi steroid terjadi akibat
penurunan pengeluaran aqueous humour melalui trabecular meshwork. Reseptor yang spesifik
terhadap steroid pada sel trabecular meshwork memegang peranan penting dalam glaukoma
induksi steroid.
Akumulasi glikosaminoglikan dan peningkatan produksi protein pada anyaman trabekular
diinduksi oleh respon glukokortikoid, sehingga mengakibatkan obstruksi aliran keluar aqueous
humour. Bukti yang lain mengarah pada sitoskeletal yang diinduksi oleh kortikosteroid sehingga
dapat menghambat pinositosis dari aqueous humour dan menghambat pengeluaran
glikosaminoglikan, akhirnya terjadi akumulasi substansi tersebut.
Pengobatan yang utama pada glaukoma induksi steroid adalah menghentikan
pemakaian steroid. Pada pasien ini yaitu menghentikan pemakaian obat steroid tetes mata. Selain
itu diberikan pula pengobatan glaukoma secara umum yang bertujuan untuk mencegah kerusakan
saraf optik yang lebih lanjut dengan menurunan tekanan intraokular. Menurut hasil penelitian
menyatakan bahwa menurunkan tekanan intraokular secara agresif yaitu sampai 30% akan
mengurangi progresifitas defek lapangan pandang.
Pada pasien ini, pengobatan medis yang dilakukan yakni dengan memberikan obat-obatan.
Obat-obat glaukoma yang diberikan adalah acetazolamide tablet (sistemik) dan timolol eye drop.
Obat lain yang diberikan berupa kalium tablet. Acetazolamide merupakan obat yang termasuk
dalam golongan diuretik penghambat enzim anhidrase karbonat. Dalam cairan bola mata banyak
terdapat enzim anhidrase karbonat. Pemberian acetazolamide baik secara oral maupun parenteral,
mengurangi pembentukan aqueous disertai penurunan tekanan intraokular sehingga berguna dalam
pengobatan glaukoma.
Pemberian per oral menimbulkan efek maksimum kira-kira setelah 2 jam. Salah satu efek
samping yang ditimbulkan pada pemberian obat ini yaitu deplesi kalium, sehingga penggunaaan
obat ini disertai dengan pemberian kalium untuk menghindari hipokalemia. Timolol merupakan
golongan obat penyekat reseptor beta yang berfungsi untuk menurunkan tekanan intraokular
dengan cara mengurangi produksi aqueous.

24
Dalam badan siliar terdapat reseptor β2 yang jika dirangsang akan membuat otot siliar
berkontraksi sehingga memacu produksi aqueous. Dengan menyekat reseptor β2 akan mengurangi
produksi aqueous sehingga tekanan intraokular menurun. Pemberian obat ini harus hati-hati pada
pasien yang diketahui kontraindikasi terhadap penggunaan sistemik obat penyekat reseptor beta
misalanya pasien asma atau penyakit obstruksi menahun (PPOM). Efek yang bisa disebabkan yaitu
bronkokontriksi.
Acetazolamide dan timolol dapat menurunkan tekanan intraokular sekitar 20-30%
sehingga seusai dengan hasil studi tentang glaukoma tekanan normal dalam menurunkan tekanan
intraokular. Pada glaukoma induksi steroid setelah penghentian pemakaian kortikosteroid, TIO
akan kembali normal pada beberapa minggu hingga bulan.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
● Glaukoma terjadi dikarenakan adanya peningkatan TIO pada mata dan dapat
disebabkan oleh karena penggunaan obat
● Kondisi glaukoma yang disebabkan oleh penggunaan obat dapat menyebabkan
glaukoma sekunder sudut terbuka maupun glaukoma sekunder sudut tertutup
● Glaukoma ini dapat menyebabkan blind spot dan bisa menjadi kebutaan total.
4.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika referat diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis menyarankan beberapa hal untuk
penyusunan referat mengenai apendisitis:
1) Sebaiknya menggunakan sumber tidak lebih dari 5 tahun.
2) Adanya ilmu pengetahuan yang terus berkembang terutama di bidang kedokteran,
disarankan agar selalu mengupdate literature terutama mengenai glaukoma.
3) Sebaiknya penulisan lebih tesusun secara sistematis kedepannya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abe H, Kitazawa Y, Kuwayama Y, Shirakashi M, Shirato S, Tanihara H, et al. 2006. Guidelines for
Glaucoma (2nd Edition). Japan Glaucoma Soc;1:69.
Ah-kee, Elliott Yann et al. 2016. A review of drug-induced acute angle closure glaucoma for non-
ophthalmologists. Qatar: QMJ A peer reciewed journal Qatar Medical Journal.
An, Jazli Tan Jia et al. 2021. Drug-Induced Acute Angle-Closure Glaucoma: Raising your Index of
Suspicion. Singapore: BIOMEDICAL: Journal of Scientific & Technical Research.
Boonyaleephan, Sumalee. 2010. Drug-Induced Secondary Glaucoma. Nakhon Nayok: Department of
Ophthalmology, Faculty of Medicine, Srinakharinwirot University, Nakhon Nayok, Thailand.
Feroze, K. B. dan Khazaeni, L. 2020. Steroid Induced Glaucoma. In StatPearls. StatPearls Publishing.
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430903/. Diakses pada 15 Juli 2020).
Gosling, A. A., Kildan, J. A., Rutkowski, L. E., dkk., 2016. Effects of topical corticosteroid
administration on intraocular pressure in normal and glaucomatous cats. Veterinary
ophthalmology, 19, pp.69-76. doi: 10.1111/vop.12355.
Ilyas, S et al, 2007, Sari Ilmu Penyakit Mata, 3th edn, Jakarta, FKUI, pp.212.
Jack J Kanski, 2020, Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 9th Edition, Elsevier, Saunders
Ltd. P 168-171
Kemenkes.2017.Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas. Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. Infodatin: Situasi Glaukoma di Indonesia. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI, hal 1-6.
Komaratih, E., Rindiastuti, Y. dan Primitasari, Y., 2020. Profile of Secondary Glaucoma at a Tertiary
Hospital in East Java. Folia Medica Indonesiana, 56(1), pp.56-59.
Kumar S, Giubilato A, Morgan W, et al. Glaucoma screening: analysis of conventional and
telemedicine-friendly devices. Clin Experiment Ophthalmol. 2007;35(3):237-243
Marais Andre, Osuch Elzbieta. 2017. The Medical Management of Glaucoma. South African Family
Practice 2017; 59(2):6-13.
Overby, D. R. dan Clark, A. F., 2015. Animal models of glucocorticoid-induced glaucoma.
Experimental eye research, 141, pp.15-22. doi: 10.1016/j.exer.2015.06.002.
Phulke, S., Kaushik, S., Kaur, S. dan Pdanav, S. S., 2017. Steroid-induced glaucoma: an avoidable
irreversible blindness. Journal of current glaucoma practice, 11(2), p.67. doi: 10.5005/jp-
journals-l0028-1226.
Rath, E. Z. 2011.  Drug-induced glaucoma (glaucoma secondary to systemic medications).
IntechOpen.
Riordan-Eva, P., Augsburger, J.J. 2018. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology 19th Edition.
US: McGraw-Hill Education.
26
Roberti, G., et al. 2020. Steroid-Induced Glaucoma: Epidemiology, Pathophysiology, and Clinical
Management. Journal survey of ophthalmology 65, Pg.458-472.
Sihota, R, Tandon R, 2009, The Cause and Prevention of Blindness in Parson’s Disease of the Eye,
20th edn, New Delhi, Rees Elsevier India Private Limited.
Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. 2015. Basic and clinical science course Section 10: Glaucoma.
American Academy of Ophthalmology.
Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV. 2009. Becker-Shaffer’s Diagnosis and Therapy of the
Glaucomas. 8th Edition. Mosby Elsevier;281-3
Thimons JJ, Lewis TL. 1993. Secondary Glaucomas. Prim Care Glaucomas 301.
Vaughan D, Asbury J. 2018. Oftalmologi Umum. Anatomi dan Embriologi Mata : Glaukoma. Edisi
ke-19. Jakarta: EGC
Weinreb, R. N., Aung, T. dan Medeiros, F. A., 2014. The pathophysiology and treatment of
glaucoma: a review. Jama, 311(18), pp.1901-1911. doi: 10.1001/jama.2014.3192.
Zhang, Y., Yang, A. dan Huang, J., 2019. Identification of Gene Changes Induced by Dexamethasone
in the Anterior Segment of the Human Eye Using Bioinformatics Analysis. Medical science
monitor: international medical journal of experimental and clinical research, 25, p.5501. doi:
10.12659/MSM.915591.

27

Anda mungkin juga menyukai