Dosen Pengampu :
Dr. Ika Yuni Widyawati, S.Kep. Ns., M.Kep., Ns.Sp.Kep.MB.
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Siti Imma Nurrotin Nadhliyah 131911133038
Mega Anjas Sari 131911133039
Dinda Febri Putri Anjarwanti 131911133040
Nur Diyah Shinta Aldani 131911133054
Ananda Amalia Ramadhani 131911133060
Fidya Aisyah Putri Samodra 131911133070
Kelas A1/2019
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga tugas makalah mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah II yang berjudul "Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dewasa Dengan Kasus Gangguan Sistem Perkemihan.” Dapat terselesaikan pada waktunya.
Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Ika Yuni Widyawati, S.Kep., Ns.M.Kep., Ns.Sp.Kep.MB. Selaku dosen mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II) dalam keperawatan.
2. Teman-teman kelompok yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penulis
1
KATA PENGANTAR............................................................................................ 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1 PENDAHULUAN 4
2.1. Penyakit 5
2.1.1. Definisi 5
2.1.2. Etiologi 5
2.1.4. Patofisiologi 10
2.1.5. Penatalaksanaan 12
2.1.6. Komplikasi 15
2.1.7. Prognosis 15
2.2.1. Definisi 16
2.2.2. Etiologi 17
2.2.4. Patofisiologi 18
2.2.5. Penatalaksanaan 20
2.2.6. Komplikasi 20
2.2.7. Prognosis 21
2.3.1. Definisi 22
2
2.3.2. Etiologi 23
2.3.4. Patofisiologi 24
2.3.5. Penatalaksanaan 24
2.3.6. Komplikasi 26
2.3.7. Prognosis 26
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................. 51
4.1. Kesimpulan 51
4.2. Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 53
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui jenis penyakit pada sistem pernapasan manusia.Mengetahui tujuan
komunikasi kelompok dan komunitas
1.3.2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan untuk menangani pasien dengan gangguan
tersebut.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT PLEURA, ASMA, DAN PPOK
2.1.1. Definisi
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura. Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya absorbsi. Efusi
pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan etiologi
yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang
harus segera dievaluasi dan diterapi.
Sumber : baruhangat.com
2.1.2. Etiologi
Efusi pleura merupakan proses penyakit primer yang jarang terjadi, tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Menurut Brunner & Suddart. 2001,
terjadinya efusi pleura disebabkan oleh 2 faktor yaitu:
5
1. Infeksi
Penyakit-penyakit infeksi yang menyebabkan efusi pleura antara lain: tuberculosis,
pnemonitis, abses paru, abses subfrenik. Macam-macam penyakit infeksi lain yang
dapat menyebabkan efusi pleura antara lain:
Sumber : klikdokter.com
Sumber : halodoc.com
a. Pleuritis karena Virus dan mikoplasma
Efusi pleura karena virus atau mikoplasma agak jarang. Bila terjadi jumlahnya
pun tidak banyak dan kejadiannya hanya selintas saja. Jenis- jenis virusnya
adalah : Echo virus, Coxsackie virus, Chlamidia, Rickettsia, dan mikoplasma.
Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000 per cc.
b. Pleuritis karena bakteri Piogenik
Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan
parenkim paru dan menjalar secara hematogen, dan jarang yang melalui penetrasi
diafragma, dinding dada atau esophagus.
Aerob: Streptococcus pneumonia,Streptococcus mileri,Saphylococcus aureus,
Hemofilus spp, E.coli, Klebsiella, Pseudomonas spp.
Anaerob : Bacteroides spp, Peptostreptococcus, Fusobacterium.
c. Pleuritis Tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang bersifat eksudat. Penyakit
kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleura
yang robek atau melalui aliran getah bening. Cairan efusi yang biasanya serous,
kadang-kadang bisa juga hemoragis. Jumlah leukosit antara 500-2000 per cc.
mula-mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfost.
Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman tuberculosis.
d. Pleura karena Fungi
6
Pleuritis karena fungi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi
fungi dari jaringan paru. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah: aktinomikosis,
koksidioidomikosis, aspergillus, kriptokokus, histoplasmosis, blastomikosis, dll.
Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap organisme fungi. .
e. Pleuritis karena parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah amoeba.
Bentuk tropozoit datang dari parenkim hati menembus diafragma terus ke
parenkim paru dan rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini terjadi karena
peradangan yang ditimbulkannya. Di samping ini dapat terjadi empiema karena
karena ameba yang cairannya berwarna khas merah coklat.di sini parasit masuk
ke rongga pleura secara migrasi dari perenkim hati. Dapat juga karena adanya
robekan dinding abses amuba pada hati ke arah rongga pleura.
2. Non infeksi
Sedangkan penyakit non infeksi yang dapat menyebabkan efusi pleura antara lain: Ca
paru, Ca pleura (primer dan sekunder), Ca mediastinum, tumor ovarium, bendungan
jantung (gagal jantung), perikarditis konstruktifa, gagal hati, gagal ginjal. Adapun
penyakit non infeksi lain yang dapat menyebabkan efusi pleura antara lain:
1. Efusi pleura karena gangguan sirkulasi
a. Gangguan Kardiovaskuler
Payah jantung (decompensatio cordis) adalah penyebab terbanyak timbulnya
efusi pleura. Penyebab lainnya dalah perikarditis konstriktiva dan sindrom vena
kava superior. Patogenesisnya dalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena
sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorbsi
pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga akan menurun
(terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura dan paru-paru meningkat.
b. Emboli Pulmonal
Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli pulmonal. Keadaan
ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark. Emboli menyebabkan
turunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun
kerusakan parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang
berdarah (warna merah). Di samping itu permeabilitas antara satu atau kedua
bagian pleura akan meningkat, sehingga cairan efusi mudah terbentuk.
7
Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak banyak, dan biasanya
sembuh secara spontan, asal tidak terjadi emboli pulmonal lainnya. Pada efusi
pleura denga infark paru jumlah cairan efusinya lebih banyak dan waktu
penyembuha juga lebih lama.
c. Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti sindrom
nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta anasarka. Efusi terjadi
karena rendahnya tekana osmotic protein cairan pleura dibandingkan dengan
tekana osmotic darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat
transudat.
d. Efusi pleura karena neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura dan
umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak ditemukan
adalah sesak nafas dan nyeri dada. Gejala lain adalah adanya cairan yang selalu
berakumulasi kembali dengan cepat walaupun dilakukan torakosentesis berkali-
kali. Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma,
yakni :
- Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatnya permeabilitas pleura terhadap
air dan protein
- Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena
dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal memindahkan cairan dan
protein
- Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia.
2. Efusi pleura karena sebab lain
a. Efusi pleura dapat terjadi karena trauma yaitu trauma tumpul, laserasi, luka
tusuk pada dada, rupture esophagus karena muntah hebat atau karena
pemakaian alat waktu tindakan esofagoskopi.
b. Uremia
Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang terdiri dari
efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal (asites). Mekanisme
penumpukan cairan ini belum diketahui betul, tetapi diketahui dengan
timbulnya eksudat terdapat peningkatan permeabilitas jaringan pleura, perikard
8
atau peritoneum. Sebagian besar efusi pleura karena uremia tidak memberikan
gejala yang jelas seperti sesak nafas, sakit dada, atau batuk.
c. Miksedema
Efusi pleura dan efusi perikard dapat terjadi sebagai bagian miksedema. Efusi
dapat terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama. Cairan bersifat eksudat
dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi.
d. Limfedema
Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka, tangan dan efusi
pleura yang berulang pada satu atau kedua paru. Pada beberapa pasien terdapat
juga kuku jari yang berwarna kekuning-kuningan.
e. Reaksi hipersensitif terhadap obat
Pengobatan dengan nitrofurantoin, metisergid, praktolol kadang-kadang
memberikan reaksi/perubahan terhadap paru-paru dan pleura berupa radang dan
dan kemudian juga akan menimbulkan efusi pleura.
f. Efusi pleura idiopatik
Pada beberapa efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur diagnostic
secara berulang-ulang (pemeriksaan radiologis, analisis cairan, biopsy pleura),
kadang-kadang masih belum bisa didapatkan diagnostic yang pasti. Keadaan ini
dapat digolongkan daloam efusi pleura idiopatik.(Asril Bahar, 2001)
3. Efusi pleura karena kelainan Intra-abdominal
Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan peradangan yang
terdapat di bawah diafragma, seperti pankreatitis, pseudokista pancreas atau
eksaserbasi akut pankreatitis kronik, abses ginjal, abses hati, abses limpa, dll.
Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi dapat juga bilateral. Mekanismenya
adalah karena berpindahnya cairan yang kaya dengan enzim pancreas ke rongga
pleura melalui saluran getah bening. Efusi disini bersifat eksudat serosa, tetapi
kadang-kadang juga dapat hemoragik. Efusi pleura juga sering terjadi setelah 48-72
jam pasca operasi abdomen seperti splenektomi, operasi terhadap obstruksi intestinal
atau pascaoperasi atelektasis.
a. Sirosis Hati
Efusi pleura dapat terjadi pada pasien sirosis hati. Kebanyakan efusi pleura
timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara cairan
asites dengan cairan pleura, karena terdapat hubungnan fungsional antara
9
rongga pleura dan rongga abdomen melalui saluran getah bening atau celah
jaringan otot diafragma.
b. Sindrom Meig
Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada ovarium (jinak
atau ganas) disertai asites dan efusi pleura. Patogenesis terjadinya efusi pleura
masih belum diketahui betul. Bila tumor ovarium tersebut dioperasi, efusi pleura
dan asitesnya pun segera hilang. Adanya massa di rongga pelvis disertai asites
dan eksudat cairan pleura sering dikira sebagai neoplasma dan metastasisnya.
c. Dialisis Peritoneal
Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya dialysis peritoneal.
Efusi terjadi pada salah satu paru maupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat
dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini
terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.
2.1.4. Patofisiologis
Patofisiologi terjadinya effusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial
submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
10
Pada kondisi tertentu rongga pleura dapat terjadi penimbunan cairan berupa
transudate maupun eksudat. Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena
pulmonalis, misalnya pada gagal jatung kongestif. Pada kasus ini keseimbangan
kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pmbuluh darah. Transudasi juga
dapat terjadi pada hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal.
Penimbunan transudat dalam rongga pleura disebut hidrotoraks. Cairan pleura
cenderung tertimbun pada dasar paru akibat gaya gravitasi.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan
gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila
tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial
Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas
darah.
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura
melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh
saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi,
tiap harinya diproduksi cairan kira-kira 16,8 ml (pada orang dengan berat badan
70 kg). Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali.
Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya
meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura.
11
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui pleura parietal dan
selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura
parietal melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan dari pleura
parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan
hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh
sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler
pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis
adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. Akumulasi
cairan pleura dapat terjadi bila:
1) Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan
cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling.Keadaan ni dapat
terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava
superior.
2) Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis,
baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis
3) Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura
4) Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5) Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara
pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan
menghambat pengosongan cairan limfe.
2.1.5. Penatalaksanaan
1. Thorakosentasis
12
Su
mber : Referrat-Efusi Pleura Sumber : fdokumen.com
Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti nyeri, dispnea dan
lain-lain. Cairan efusi sebanyak 1 – 1,5 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah
meningkatnya edema paru. Jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan
berikutnya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.
1. Pemberian antibiotik (Jika ada infeksi)
2. Pleurodesis
Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberikan obat (tetrasiklin, kalk dan
bieomisin) melalui selang interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan pleura dan
mencegah cairan terakumulasi kembali.
13
Sumber : slideplayer.com Sumber : researchgate.net
3. Tirah baring
Tirah baring ini bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan
aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dyspnea akan semakin meningkat
pula.
Sumber : idnmedis.com
14
2.1.6. Komplikasi
1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik
akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini
disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis
yang berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan
(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membran-membran pleura tersebut.
2. Pneumothoraks
3. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh
penekanan akibat efusi pleura.
4. Fibrosis Paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam
jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan
suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis
yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan
jaringan fibrosis.
5. Kolaps Paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik pada sebagian /
semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps paru.
2.1.7. Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang mendasarinya,
derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia cairan pleura. Namun
demikian, pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan lebih rendah untuk terjadinya
komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan efusi memiliki prognosa yang lebih
buruk ketimbang pasien dengan pneumonia saja. Namun begitupun, jika efusi
15
parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat, biasanya akan sembuh tanpa sekuele
yang signifikan. Namun jika tidak ditangani dengan tepat, dapat berlanjut menjadi
empiema, fibrosis konstriktiva hingga sepsis.
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk, dengan median
harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada pria hal ini paling sering
disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita lebih sering karena keganasan
pada payudara. Median angka harapan hidup adalah 3-12 bulan bergantung dari jenis
keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap kemoterapi seperti limfoma dan kanker
payudara memiliki harapan hidup yang lebih baik dibandingkan kanker paru dan
mesotelioma. Analisa sel dan analisa biokimia cairan pleura juga dapat menentukan
prognosa. Misalnya cairan pleura dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan
dengan massa keadaan tumor yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk.
Sumber : klikdokter.com
16
2.2.2. Etiologi
Secara umum, para penderita asma mengalami penyempitan bronkus
yang disebabkan oleh hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma
biasanya sangat sensitif terhadap rangsangan imunologi maupun
nonimunologi. Oleh karena itu, serangan asma mudah terjadi akibat berbagai
rangsangan baik iritan, bau, udara dingin, infeksi saluran pernapasan atas atau
bawah, stress dan sebagainya. Menurut penyebabnya, asma terbagi menjadi
alergi, idiopatik atau nonalergik, dan campuran (mixed) :
1. Asma alergik atau ekstrinsik, merupakan suatu jenis asma yang disebabkan
oleh alergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan).
Alergen yang paling umum adalah alergen yang perntara peneyebarannya
melalui udara (air borne) dan alergen yang muncul secra musiman
(seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat
penyakit aleergi pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema atau rhinitis
alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Gejala
asma umumnya dimulai saat anak-anak.
Sumber : noura-clinic.com
17
jenis ini dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini
biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 taun).
Sumber : dokter-ichigo.blogspot.com
3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling sering
ditemukan. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan
idiopatik atau nonalergi.
2.2.4. Patofisiologis
Asma akibat alergi bergantung kepada respons IgE yang dikendalikan
oleh limfosit T dan B. Asma diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan
molekul IgE yang berkaitan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang
menimbulkan asma bersifat airbone. Alergen tersebut harus tersedia dalam
18
jumlah banyak dalam periode waktu tertentu agar mampu menimbulkan gejala
asma. Namun pada lain kasus terdapat pasien yang snagat responsif, sehingga
sejumlah kecil alergen masuk ke dalam tubuh sudah dapat mengakibatkan
eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan asma adalah aspirin,
bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik, dan bahan sulfat.
Sindrom khusus pada sistem pernapasan yang sensitif terhadap aspirin terjadi
pada orang dewasa, namun dapat pula dilihat pada masa kanak-kanak.
Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor parennial lalu menjadi
rhinosinusitis hisperplastik dengan polip nasal yang akhirnya diikuti oleh
munculnya asma progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi gejalanya dengan
pemberian obat setiap hari. Setelah pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat
dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani
bentuk terapi ini, toleransi silang akan terbentuk terhadap agen anti inflamasi
nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkuspasme oleh aspirin ataupun obat
lainnya belum diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan
leukotrien yang induksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis delta-agrenergik merupakan hal yang biasanya
menyebabkan obstruksi jalan napas pada pasien asma, demikian juga dengan
pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan napas. Oleh karena itu,
antagonis beta-agrenergik harus dihindarkan oleh pasien tersebut. Senyawa
sulfat yang secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan pengawet dalam
industri makanan dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan napas
akut pada pasien yang sensitif. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium
metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida.
Pada umumnya tubuh akan terpapr setelah menelan makanan atau cairan yang
mengandung senyawa tersebut seperti salad, buah segar, kentang, kerang dan
anggur.
Faktor penyebab yang telah disebutkan di atas ditambah dengan sebab
internal pasien akan megakibatkan reaksi antigen dan antibodi. Reaksi tersebut
mengakibtakna dikeluarkannya substansi pereda alergi yang sebetulnya
merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan, yaitu
dikeluarkannya histamin, bradikinin, dan anafilatoksin. Sekresi zat-zat tersebut
19
menimbulkan gejala seperti berkontraksinya otot polos, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan peningkatan sekresi mukus.
2.2.5. Penatalaksanaan
Berikut ini merupakan prinsip umum dalam pengobatan pada serangan asma :
a. Menghilangkan obstruksi jalan napas
b. Mengenal dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan
asma
c. Memberi penerangan/penjelasan kepada penderita atau keluarga dalam
cara pengobatan maupun penejelasan penyakit
Penatalaksanaan asma dapat dibagi atas :
1. Pengobatan dengan obat-obatan :
a) Beta agonist (beta adrenergik agent)
b) Methylxanlines (enphy bronkodilatator)
c) Anti kolinergik (bronkodilatator)
d) Kortikosteroid
e) Mast cell inhibitor (lewat inhalasi)
2. tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :
a) Oksigen 4-6 liter/menit
b) Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau tarbutalin 10
mg), inhalasi nebulezer dan pemberiannya dapat diulang setiap 30 menit-
1 jam. Pemberian agonis B2 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan
dextrose 5% diberikan perlahan.
c) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini
dalam 12 jam.
d) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg itu jika tidak ada respon segera
atau klien sedang tidak menggunakan steroid oral atau dalam serangan
sangat berat.
2.2.6. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah,
antara lain :
20
1. Pneumothoraks Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga
pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”,
juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir
di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat
disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari
paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada .
3. Atelektasis Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang
sangat dangkal.
4. Aspergilosis Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh
jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga
dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata.
Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap
karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan
pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari
saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita
merasa perlubatuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan,
atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya
lendir.
7. Fraktur iga
2.2.7. Prognosis
Pasien anak dengan asma yang masuk rumah sakit empat kali atau lebih dalam
tahun pertama sejak didiagnosis asma cenderung mengalami asma persisten.
Kematian akibat asma meningkat pada anak usia pra sekolah (5 tahun ke bawah).
Pasien anak dengan asma cenderung mengalami remisi pada masa remaja akhir.
Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan bahwa pada usia 19 tahun, remisi
ditemukan pada 21% pasien, asma periodik pada 38%, dan 41% lainnya mengalami
21
asma persisten. Anak laki-laki lebih tinggi tingkat remisinya dibandingkan dengan
anak perempuan.
Prognosis pada penderita ini baik, didukung oleh kepustakaan yang
mengatakan bahwa jika setelah nebulisasi 1 kali respon baik dan setelah diobservasi
selama 1-2 jam perbaikan klinis stabil maka pasien boleh dipulangkan. Tetapi jika
gejala timbul lagi, klinis tetap belum membaik atau memburuk pasien tetap
diobservasi dan dirawat. Pada pasien ini terdapat perbaikan klinis dan setelah
diobservasi secara klinis keadaan pasien stabil. Namun perlu diperhatikan pencegahan
terhadap faktor pencetus berupa alergi dingin dan membatasi aktivitas berlebihan agar
keluhan tidak timbul kembali.
22
Sumber : indonewz.com
2.3.2. Etiologi
Menurut studi systematic review yang dilakukan oleh Eisner et al. (2010),
rokok merupakan penyebab utama PPOK. Namun, hasil penelitiannya juga
mengindikasikan adanya faktor risiko lain, selain rokok, yang berpengaruh terhadap
kejadian PPOK, seperti status gizi, pajanan polusi luar-ruang dan juga riwayat
penyakit pernapasan.
23
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat
progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Namun, tidak jarang sesak
menjadi keluhan utama karena terganggunya aktivitas fisik karena gejala ini.
Sesak napas menjadi komplain biasanya ketika FEV1(forced expiratory volume)
<60%.
2.3.4. Patofisiologi
Hambatan aliran udara pernapasan yang progresif memburuk merupakan
perubahan fisiologis utama akibat PPOK yang disebabkan oleh perubahan saluran
napas secara anatomi terutama di beberapa bagian seperti proksimal, perifer,
parenkim, vaskularisasi paru, dan saluran pernapasan. Perubahan ini disebabkan oleh
adanya peradangan atau inflamasi kronik dan perubahan struktural pada paru-paru.
Radikal bebas pada kondisi normal dalam keadaan seimbang dalam tubuh. Sehingga
apabila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah maka akan berpotensi
menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar berkembangnya berbagai penyakit
paru. Pajanan faktor pencetus PPOK seperti partikel noxius dan bahan lain yang
berasal dari asap rokok yang terhirup akan mengendap dan terakumulasi. Sehingga
apabila partikel tesebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa
bronkus akan menghambat aktivitas silia dan pergerakan cairan yang melapisi
mukosa. Akibatnya terjadi iritasi pada sel mukosa yang sehingga memproduksi
mukus secara berlebihan dan akibat adanya infeksi/ inflamasi akan terjadi edema
jaringan.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi
oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil
Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga
terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan
dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.
2.3.5. Penatalaksanaan
24
Obat yang umumnya diberikan dokter paru untuk mengatasi gejala PPOK
adalah inhaler (obat hirup). Contohnya adalah kombinasi bronkodilator yang
melebarkan saluran pernapasan, dengan obat hirup kortikosteroid yang mengurangi
peradangan pada jalan napas.
Fisioterapi dada
Sumber : alfiraoktian2sitk.blogspot.com
Operasi
Tindakan ini hanya dilakukan pada penderita PPOK yang gejalanya tidak dapat
direndakan dengan pemberian obat atau terapi. Contohnya adalah transplantasi paru-paru,
yaitu operasi pengangkatan paru-paru yang rusak untuk diganti dengan paru-paru sehat
dari donor.
25
Di samping penanganan medis, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh
penderita untuk menghambat bertambahnya kerusakan pada paru-paru. Di antaranya
adalah:
2.3.6. Komplikasi
2.3.6.1 Gagal Napas
Gagal napas dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Gagal napas kronik. Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60
mmHg,
dan pH normal
2. Gagal napas akut pada gagal napas kronik. Gagal napas akut pada gagal napas
kronik, ditandai oleh:
a. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
b. Sputum bertambah dan purulen
c. Demam
d. Kesadaran menurun
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi
lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan.
2.3.7. Prognosis
26
Prognosis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive pulmonary
disease (COPD) secara umum bergantung pada klinir, riwayat penyakit, dan komorbiditas
masing-masing pasien.
BAB III
PEMBAHASAN
2) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Sesak napas dan nyeri dada.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Ny.A berumur 45 tahun datang ke poliklinik umum RSUD DR Soetomo Surabaya. Saat
datang klien batuk, sesak napas, nyeri dada, rasa berat pada dada, dan sulit tidur. Klien
mengeluh nyeri pada bagian dada dengan skala nyeri 5 (skala 0-10), nyeri seperti
tertindih beban berat, nyeri bertambah saat beraktifitas berat dan berkurang saat
beristirahat.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
27
Klien mengatakan mempunyai penyakit TB paru dan pernah masuk RS pada tahun
2015
d) Riwayat Penyakit Keluarga : -
3) Pemeriksaan Fisik
Pasien sesak nafas, tampak lelah, wajah tampak meringis dan nyeri dada, warna kulit sawo matang
dan tidak ada edema. Tanda-tanda vital meliputi tekanan darah : 110/70 mmHg, RR : 33 X/ menit,
terdapat cuping hidung dan tampak penggunaan otot bantu pernapasan , nadi : 80 X/ menit, suhu
tubuh : 37 0 C. Tinggi badan 155 cm; berat badan 48 Kg. Pada pemeriksaan dada pasien
mengatakan bahwa ia merasa nyeri di area dada kiri, nyeri seperti tertusuk-tusuk, dirasakan hilang
timbul dan skala nyeri 5 (Skala 1-10).
DO :
Klien terlihat kelelahan,
RR=33x permenit,
terdapat cuping hidung dan tampak
pengguanaan otot bantu pernapasan.
2 DS : Nyeri akut
Klien mengatakan nyeri dada, dan sulit
tidur.
DO :
Klien terlihat meringis, skala nyeri 5 (skala
0-10), pola napas berubah.
28
1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas dibuktikan dengan
dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, dan pernapasan cuping hidung.
2 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis dibuktikan dengan mengeluh
nyeri, tampak meringis, dan sulit tidur.
No.
Tujuan dan Kriterias Hasil Intervensi
Dx
1 Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas
keperawatan selama 30 menit, maka
Observasi :
pola nafas membaik dengan kriteria
hasil :
1.Dispnea menurun - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman,
2.Penggunaan otot bantu napas usaha nafas)
menurun
3.Pernapasan cuping hidung menurun
Terapeutik:
Edukasi:
Kolaborasi:
3.1.5 Evaluasi
No.
Evaluasi
Dx
29
1 S : - Klien mengatakan sudah tidak merasakan sesak
- Klien mengatakan sudah tidak merasa kelelahan
O : - RR Normal 23x/menit
- Penggunaan cuping hidung sudah tidak terlihat.
A : - Masalah keperawatan teratasi
P : - Intervensi dihentikan
P : - Intervensi dihentikan
B. Pola Eliminasi
1. B.A.B
Dirumah : Pasien mengatakan BAB 1-2 x/hari
Di rumah sakit : Pasien mengatakan BAB 1 x/hari
Masalah BAB : Tidak ada masalah
2. B.A.K
Dirumah : Pasien mengatakan BAK lancar 3-4 x/hari
31
Di rumah sakit : Pasien mengatakan BAK lancar 3-4 x/hari
Masalah BAK : Tidak ada masalah
3. Upaya klien untuk mengatasinya : Tidak ada
D. Personal Hygiene
1. Pemeliharaan badan
32
Dirumah : Pasien mengatakan mandi 1-2 x/hari
Di rumah sakit : Pasien mengatakan mandi 1 x/hari
2. Pemeliharaan gigi dan mulut
Dirumah : Pasien mengatakan menggosok gigi 1-2 x/hari
Di rumah sakit : Pasien mengatakan menggosok gigi 1 x/hari
3. Pemeliharaan kuku
Dirumah : Pasien mengatakan memotong kuku jika panjang dan kotor
Di rumah sakit : Pasien mengatakan memotong kuku jika panjang dan
kotor
33
1. Kelengkapan dan Kesimetrisan : Mata lengkap dan simetris
2. Kelopak mata/palepebra : Frekuensi reflek berkedip simetris
3. Kornea mata : Jernih
4. Konjungtiva dan sclera : Tidak ada anemia
5. Pupil dan iris : Simetris
6. Ketajaman penglihatan/visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Tekanan bola mata : Simetris
8. Kelainan lain : Tidak ada
c. Hidung
1. Cuping hidung : Normal dan simetris
2. Lubang hidung : Bersih
3. Tulang hidung dan septum nasi : Normal dan simetris
d. Telinga
1. Bentuk telinga : Normal
Ukuran telinga : Sedang
Ketegangan telinga : Elastis
2. Lubang telinga : Normal
3. Ketajaman pendengaran :
Test Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Rinne : Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Swabach : Tidak dilakukan pemeriksaan
e. Mulut dan faring
1. Keadaan bibir : Bibir lembab
2. Keadaan gusi dan gigi : Gusi dan gigi bersih
3. Keadaan lidah : Lidah bersih
4. Palatum/langit - langit : Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Orifaring : Tidak dilakukan pemeriksaan
f. Leher
1. Posisi trachea : Normal
2. Tiroid : Tidak ada pembesaran
3. Suara : Suara jelas
4. Kelenjar lympe : Tidak ada pembesaran
5. Vena jugularis : Tidak terjadi distensi
6. Denyut nadi karotis : Teraba jelas dan teratur
34
Masalah keperawatan : Tidak Ada Masalah Keperawatan
35
- Bunyi jantung I : S1 lup
- Bunyi jantung II : S2 dup
- Bunyi jantung tambahan : Tidak ada
- Bising/murmur : Tidak ada
- Frekuensi denyut jantung : Teraba jelas dan teratur
F. Pemeriksaan abdomen
1. Inspeksi
- Bentuk abdomen : Normal
- Benjolan/masa : Tidak ada
- Bayangan pembuluh darah : Tidak ada
2. Auskultasi
- Bising/peristaltik usus : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Palpasi
- Nyeri tekan : Tidak ada
- benjolan/masa : Tidak ada
- Hepar : Tidak ada kelainan
- Lien : Tidak ada kelainan
Titik Mc. Berney : Tidak ada kelainan
4. Perkusi
- Suara abdomen : Normal
- Pemeriksaan asites : Tidak ada asites
36
2. Auskultasi
- Lubang anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Kelainan pada anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Perineum : Tidak dilakukan pemeriksaan
I. Pemeriksaan Integumen
1. Kebersihan : Kulit bersih
2. Kehangatan : Akral hangat
3. Warna : Kuning langsat
4. Turgor : Baik
5. Tekstur : Baik
6. Kelembaban : Kering
7. Kelainan pada kulit/lesi : Tidak ada
J. Pemeriksaan Neurologis
1. Tingkat kesadaran : Compos mentis
2. Tanda rangsangan otak (meningeal sign) : Baik nilai GCS(E4V6M5)
3. Pemeriksaan saraf otak (NI - XII)
N1-Olfaktorius : Pasien dapat memejamkan mata dan dapat membedakan bau
37
N2-Optikus : Pasien dapat melihat dengan jelas
N3-Okulomotoris : Adanya reflek pupil dapat menggerakan bola mata
N4-Trochelaris : Dapat menggerakan mata kebawah dan kedalam
N5-Trigeminus : Pasien dapat mengunyah dan menggerakan rahang
N6-Abdosen : Adanya reflek pupil gerakan bola mata
N7-Facialis : Bisa senyum dan menutup bola mata dengan tahanan
N8-Vestibulococlearis : Pasien dapat mendengar dengan baik
N9-Glosofarigeus : Pasien dapat membedakan rasa manis dan asam
N10-Vagus : Pasien dapat menelan ludah
N11-Acessoris : Pasien dapat menggerakan bahu
N12-Hypoglosus : Pasien dapat menjulurkan lidah
4. Fungsi motoric : Baik
5. Fungsi sensorik : Penglihatan Pendengaran Penciuman Pengecapan Perabaan
baik
6. Reflek
a. Reflek fisiologis : Normal
b. Reflek patofisiologis : Tidak ada kelainan reflek patofisiologis
38
nafas dan inspirasi
Pasien mengatakan agak ↓
susah bernafas Wheezing, sesak nafas
DO : ↓
Terdapat sputum Tekanan partial oksigen
Terdengar wheezing dialveoli ↓
↓
Penyempitan jalan nafas
↓
Peningkatan kerja otot
pernafasan
↓
Pola nafas tidak efektif
39
No Hari/Tgl/J Diagnosa Tujuan & Rencana Rasionalisasi
am Keperawat Kriteria Hasil Tindakan
an
1. Senin, 17 Pola nafas Setelah dilakukan 1. Posisikan 1. Posisi semi
September tidak tindakan pasien untuk fowler
2020 efektif b.d. keperawatan memaksimal membantu
obstruksi selama 1x24 jam. -kan pasien
jalan nafas Pola nafas tidak ventilasi memaksimal-
efektif teratasi. 2. Identifikasi kan ventilasi
Dengan kriteria pasien sehingga
hasil : perlunya kebutuhan
- Mendemonstra dipasangkan oksigen
sikan batuk alat bantu terpenuhi
efektif, suara pernafasan melalui proses
nafas yang 3. Lakukan pernafasan.
bersih, tidak fisioterapi 2. Alat banttu
ada sianosis dada bila pernafasan
dan dyspneu perlu membantu
(mampu organ
mengeluarkan pernafasan
sputum, memenuhi
mampu kebutuhan
bernafas oksigen
dengan mudah, sehingga
tidak ada oksigen yang
pursed lips) diperlukan
- Tanda-Tanda tubuh
Vital dalam terpenuhi.
rentang normal 3. Dapat mem-
permudah
pasien dalam
mengeluar-kan
sekret yang
sulit dilakukan
secara
mandiri.
Senin, 17
Sseptembe Gangguan Setelah dilakukan 1. Mengetahui
2. r 2020 pola tidur tindakan 1. Jelaskan pentingnya
b.d. sesak keperawatan pentingnya tidur untuk
nafas selama 1x24 jam, tidur yang pemulihan
gangguan pola adekuat kesehatannya
tidur teratasi. 2. Fasilitas 2. Pasien akan
Dengan kriteria untuk mudah tidur
hasil : mempertaha setelah
- Jumlah tidur nkan melakukan
dalam batas aktivitas aktivitas
normal sebelum 3. Lingkungan
40
- Pola tidur, tidur yang nyaman
kualitas dalam (membaca) dapat
batas normal 3. Ciptakan mengurangi
- Perasaan fresh lingkungan beban pikiran
sesudah tidur yang pasien dan
- Mampu nyaman cepat tidur
mengidentifikas
i-kan hal-hal
yang
meningkatkan
tidur
2. Pasien dalam
2. Mengatur posisi posisi semi fowler
pasien
3. Pasien mengatakan
susah tidur karena
3. Mengkaji pola tidur sesak
4. Combivent, 5 lpm
selama 15 menit
4. Memberikan
nebulizer 1. TD = 100/70
mmHg
1. Melakukan T = 36,0 ˚C
2. Selasa, 05 pemeriksaan TTV R = 20 x/menit
Desember 2017 N = 80 x/menit
2. Pasien mengikuti
anjuran yang
2. Mengatur posisi diberikan
pasien dan
menganjurkan
teknik nafas dalam
dan batuk efektif 1. TD = 90/60 mmHg
T = 36,2 ˚C
1. Melakukan R = 20 x/menit
3. Rabu, 06 pemeriksaan TTV N = 84 x/menit
Desember 2017
2. Pasien mengikuti
anjuran
41
2. Membantu pasien
latihan teknik nafas
dalam dan batuk
efektif 3. Memberikan
combivent 5 lpm,
selama 15 menit
3. Memberikan
nebulizer
3.2.5 Evaluasi Keperawatan
N Tanggal Diagnosa Keperawatan Evaluasi
o
1. Senin, 21 Pola nafas tidak efektif b.d. S : Pasien mengatakan
September obstruksi jalan nafas sesak
2020 O : RR = 23 x/menit
A : Masalah belum
teratasi
P : Lanjutkan intervensi
42
Gangguan pola tidur b.d. sesak S : Pasien mengatakan
nafas bisa tidur pada malam hari
O : TD = 90/60 mmHg
T = 36,2 ˚C
R = 20 x/menit
N = 84 x/menit
A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi
Tn.R, 68 thn, dating ke IGD dengan keluhan pusing, sesk napas dan batuk riwayat
penyakit sekrang: 1 bulan terakhir tiap pagi batuk-batuk sampai dahak keluar semua. Sesak
napas bila menaiki tangga. 2 hari terakhir, pasien mengeluh demam, batuk, pilek, pusing, dan
sesak napas. Berdasarkan anamnesia dan pemeriksaan spirometri dan foto thoraks, diagnose
yang di tegakkan klinis/ dokter adalah PPOK st III.
43
Terapi yang diberikan: Oksigen, setelah stabil, terapi yang di berikan adalah: codein
10 mg po 3x1 dan seretide MDI tiap 6 jam tanda-tanda vital saat pasien MRS: suhu 38,5 oC,
TD 140/90 mmHg, Nadi 100/menit,RR 25x/menit
3.3.1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama = Tn. R
Umur = 60 th
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama = pusing, sesak nafas, batuk
Riwayat penyakit sekarang = 1 bulan terakhir tiap pagi batuk-batuk
sampai dahak keluar semua, sesak nafas bila menaiki tangga
c. Riwayat Penyakit Dahulu
2 hari terakhir pasien mengeluh demam, batuk pilek, pusing ,sesak nafas
d. Pemeriksaan Fisik
T= 38,5 °C
P= 100 x/m
RR= 25 x/m
BP= 140/90 mmHg
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spirometri dan foto thorax (+) PPOK ST III
f. Terapi yang Didapat
Oksigen, setelah stabil, terapi yang diberikan codein 10 mg po 3x1 dan
seretide MDI tiap 6 jam
3.3.2. Diagnosa
44
demam, batuk, pilek, pusing, dan penyebaran infeksi
sesak nafas.
45
Kriteria hasil : Monitor respirasi setiap 3 jam sekali
Secara verbal tidak ada dan status O2. Memberikan obat
keluhan sesak Kolaborasi dalam ipratropium
tidak ada batuk dan pemberian bromida dg dosis
jumlah sputum normal pengobatan atas 20mcg 2 hirup 3-4
jumlah pernafasan dalam indikasi. kali per hari.
batas normal sesuai usia bronkodilator Mengajarkan klien
Demonstrasikan menahan dada dan
atau bantu klien batuk efektif dalam
melakukan posisi tegak lurus.
latihan napas
dalam.
46
intravena. Memberikan cairan
intravena sesuai
anjuran dokter.
4. Intoleransi aktivitas b.d. Kolaborasi Memberikan terapi
ketidakseimbangan antara dengan tenaga Oksigen dengan
suplay dan kebutuhan oksigen rehabilitasi medik kecepatan aliran 1
Kriteria hasil: dalam atau 2 ltr/mnt.
Mampu mealkukan merencanakan Melakukan
aktivitas sehari-hari progam terapi komunikasi
secara mandiri yang tepat. terapeutik.
Tanda-tanda vital normal Bantu pasien Menghitung tanda
Sirkulasi status baik untuk tanda vital 3 jam
Status respirasi : mengembangkan sekali.
pertukaran gas dan motivasi diri dan Menjelaskan perlunya
ventilasi adekuat penguatan. keseimbangan
Monitor aktivitas dan istirahat.
perubahan tanda
tanda vital.
Memberikan
edukasi untuk
memenuhi
kebutuhan secara
mandiri.
5. Resiko tinggi penyebaran Ajarkan keluarga Menjelaskan kepada
infeksi b.d Penyakit kronis. dan pasien tanda keluarga pasien tanda
dan gejala infeksi. dan gejala infeksi
Kriteria hasil : Monitor tanda dan Memberikan edukasi
Klien bebas dari tanda gejala infeksi kepada pasien berseta
dan gejala infeksi. sistemik dan lokal keluarga tentang
Tidak munculnya Kolaborasi dengan penyakit infeksi.
tanda-tanda infeksi dokter pemberian memberikan
sekunder. obat anti mikroba. antibiotik.
Klien dapat menghitung TTV
mendemonstrasikan setiap 3 jam sekali.
47
kegiatan untuk
menghindarkan infeksi.
2. Evaluasi
48
2016 dengan demam
handuk di menurun
bagian lipat O: hasil suhu
paha dan 37oC , RR
aksila 20x/menit, TD
Menghitung 120/90 mmHg
suhu setiap 2 A: masalah
jam sekali teratasi
Menghitung P : intervensi
tekanan dihentikan
darah, nadi
dan RR
setiap 2 jam
sekali
Intoleransi 29 Memberikan S : klien
aktivitas b.d. oktober terapi mampu
ketidakseimbanga 2016 Oksigen melakukan
n antara suplay dengan aktivitas
dan kebutuhan kecepatan secara mandiri
oksigen aliran 1 atau 2 O:
ltr/mnt. RR 19x/mnt.
Melakukan N : 80x/ mnt
komunikasi TD : 110/90
terapeutik. S : 37,5 C
Menghitung A : masalah
tanda tanda teratasi
vital 3 jam P : intervensi
sekali. dihentikan
Menjelaskan
perlunya
keseimbangan
aktivitas dan
istirahat.
49
Resiko tinggi 29 Menjelaskan S: klien
penyebaran infeksi oktober kepada mengatakan
b.d Penyakit 2016 keluarga tidak
kronis pasien demam,pusing
tanda dan , batuk., sesak
gejala napas, pilek.
infeksi
Memberikan O : suhu 37ºC
edukasi TD
kepada 120/80mmHg
pasien A: masalah
berseta teratasi
keluarga P : Intervensi
tentang dihentikan
penyakit
infeksi
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penyakit pleura merupakan akumulasi cairan abnormal
pada rongga pleura. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun
berkurangnya absorbsi. Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli
50
pulmonal. Keadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark. Emboli menyebabkan
turunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun kerusakan
parenkim paru dan memberikan peradangan dengan efusi yang berdarah (warna merah). Di
samping itu permeabilitas antara satu atau kedua bagian pleura akan meningkat, sehingga
cairan efusi mudah terbentuk.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penyakit asma Asma adalah penyakit obstruksi
saluran pernapasan yang bersifat reversibel dan berbeda dari obstruksi saluran pernapasan
lain seperti pada penyakit bronkhitis yang bersifat irreversibel dan kontinyu. Bronkus
penderita asma biasanya sangat sensitif terhadap rangsangan imunologi maupun
nonimunologi. Oleh karena itu, serangan asma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik
iritan, bau, udara dingin, infeksi saluran pernapasan atas atau bawah, stress dan sebagainya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penyakit PPOK adalah penyakit PPOK adalah
Proses penyakit ini seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi berikut ini (bronkhitis kronis,
emfisema, asthma) dengan suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi dari
penyakit primer (Enggram, B. 1996). Ada beberapa kondisi yang dapat meningkatkan
risiko seseorang mengalami penyakit paru obstrukstif kronis, yaitu pajanan asap rokok, polusi
udara, berusia 40 tahun ke atas, menderita penyakit asma, serta memiliki keluarga dengan
riwayat PPOK
4.2. Saran
Saran yang bisa diberikan adalah untuk pendokumentasian harus tetap dilakukan dengan baik
dan benar. Dokumentasi harus dilakukan secara detail dan menyeluruh. Hal itu dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak, maka seorang perawat
akan dikenakan sanksi dan hukuman. Dokumentasi sendiri dilakukan dari awal pengkajian
pasien sampai pasien pulang dari rumah sakit.
Selain dokumentasi, perawat juga harus harus melakukan kolaborasi dengan perawat-perawat
lainnya. Kolaborasi tersebut harus memnetingkan unsur kekeluargaan dan tidak boleh
mementingkan diri sendiri. Dalam berkolaborasi, kepentingan golongan adalah yang utama.
51
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi. 2010. Definisi dan Klasifikasi Efusi Pleura. Diakses pada tanggal 16 September
2020 pada http://doc-alfarisi.blogspot.com/2016/04/definisi-dan-klasifikasi-efusi-pleura.html
Berman, Audrey. 2016. Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing Consept, Process, and
Practice 10th editor by Sherrilyn Coffman,PhD, RN.
Hapsari, E. 2016. Asuhan Keperawatan pada Penyakit PPOK. Fakultas Ilmu Kesehatan UMP.
Purwokerto
52
Kasiati. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia II. Jakarta Selatan : Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Kemenkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1022/MENKES/SK/XI/2008
Kurnia, Yudhistira. 2017. Prognosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dikutip pada 17
September 2020 dari https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/penyakit-paru-obstruktif-
kronik/prognosis#:~:text=PPOK%20merupakan%20penyebab%20kematian
%20ketiga,56%20kematian%20dari%20100.000%20perempuan
Khairani, fathia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Semarang: Universitas
Diponegoro. Dikutip pada 17 September 2020 dari
http://eprints.undip.ac.id/43859/2/FATHIA_KHAIRANI_G2A009079_BAB_2_KTI.pdf
Lindayani, L.P., dan Tedjamartono T.D. 2017. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
(PPOK). Bali: Universitas Udayana
Mengko, Cornelis. 2018. Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (Ppok ) Pada
Pasien Tn. “T” Di Ruang Bougenvil Rumah Sakit Dr. Soedjono Magelang.
Diambil pada tanggal 10 Septemebr 2020, dari
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2128/1/KTI%20CORNELIS%20YOHNI
%20MENGKO.pdf
M. Black Joyce, Hawks Jane Hokanson Buku Keperawatan Medikal Bedah (Manajemen
Klinis Untuk Hasil yang diharapkan ), Elseiver Edisi 8 Buku 3
Napanggala, Adi. 2015. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dengan Efusi Pleura dan
Hipertensi Tingkat I. Lampung: Universitas Lampung. Vol. 4(3)
Pane, Merry Dame Cristy. 2020. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dikutip pada 17
September 2020 dari https://www.alodokter.com/penyakit-paru-obstruktif-kronis
Ramadhan, Muhammad A.H., dan Budi Hartono. 2020. Kejadian Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Pada Pengendara Ojek Online di Kota Bogor dan Kota Depok Tahun
2018 (Studi Kasus Pencemaran Udara). Jakarta: Jurnal Nasional Kesehatan Lingkungan
Global. 1(1)
Safitri, Yasin. 2016. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Derajat Keparahan Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK)[SKRIPSI]. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Sholihah, Maratus, Suradi, Jatu Aphridasari. 2019. Pengaruh Pemberian Quercetin Terhadap
Kadar Interleukin 8 (IL8) Dan Nilai COPD Assessment Test (CAT) Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil. Surakarta: Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 39(2):
103-112
Sinarsih, R. 2016. Kebutuhan Dasar Manusia II. Jakarta Selatan : Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Soeroto, Arto Y., Hendarsyah Suryadinata. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Univeristas Padjajaran: Ina J Chest Crit and Emerg Med. Vol. 1(2)
Suryadinata, Hendarsyah. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Diambil pada tanggal 10
Spetember 2020, dari
http://www.respirologi.com/upload/file_1455191247.pdf
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia edisi 1. Jakarta
selatan : Badan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
53
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia edisi 1. Jakarta
selatan : Badan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia edisi 1. Jakarta
selatan : Badan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tampubolon, G. S. (n.d.). Prognosis Asthma. Retrieved from Alomedika.
https://www.alomedika.com/penyakit/pulmonologi/asma/penatalaksanaan
[Diakses pada 15 September 2020]
Unilla, Agromed. 2015. Asma Bronkial Pada Anak. Unilla Agromed Vol (2). Retrived from
http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/135/jtptunimus-gdl-sitiistian-6715-2-babii.pdf
[Diakses pada 20 September 2020]
Utama, S. Y. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi. Yogyakarta:
Deepublish
54