Anda di halaman 1dari 32

Meet the Expert

RETINOPATI DIABETIKUM

Yori Ejani 1840312670


Rahmat Ilham 1840312680
Frizkia Amelya Putri 1840312771

Dosen Pakar :

dr. Weni Helvinda, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Meet the Expert ini dengan
judul “Retinopati Diabetik”. Shalawat beriring salam semoga disampaikan
kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, sahabat dan umat beliau.
Makalah Meet the Expert ini merupakan salah satu syarat mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Weni
Helvinda, Sp.M (K) selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan
bimbingan dalam pembuatan makalah Meet the Expert ini. Kami mengucapkan
terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah Meet the Expert ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Manfaat Penulisan 2
1.5 Metode Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Retina 3
2.2 Fisiologi Retina 5
2.3 Retinopati Diabetik 9
2.3.1 Definisi 9
2.3.2 Epidemiologi 9
2.3.3 Etilogi 11
2.3.4 Patofisiologi dan Patogenesis 11
2.3.5 Manifestasi Klinis 15
2.3.6 Klasifikasi 15
2.3.7 Diagnosis 20
2.3.8 Tatalaksana 22
2.3.9 Komplikasi dan Prognosis 23
BAB III KESIMPULAN 25
DAFTAR PUSTAKA 26

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi mata potongan horizontal 3


Gambar 2.2 Struktur Retina 4
Gambar 2.3 Struktur dari sel kerucut dan batang 6
Gambar 2.4 Siklus bleaching dan regenerasi fotopigmen 7
Gambar 2.5 Peran dari sel batang 8
Gambar 2.6 Prevalensi diabetes melitus 9
Gambar 2.7 Skema patogenesis retinopati diabetikum 14
Gambar 2.8 gambaran fundus tipe NPDR 16
Gambar 2.9 Gambaran Fundus : Dot and blot intraretinal hemorrhages 17
Gambar 2.10 Gambaran Fundus dengan Microaneursym 17
Gambar 2.11 Citra Fundus dengan Cotton Wool Spot. 18
Gambar 2.12 Fundus dengan Hard Exudates 19
Gambar 2.13 Fotografi fundus RDP 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan utama pada pasien


diabetes. Kerusakan berat pada retina menyebabkan kebutaan permanen pada
penderita diabetes walaupun telah dilakukan usaha pengobatan.1 Menurut WHO
pada tahun 2004, dilaporkan bahwa 4,8 persen penduduk dunia menjadi buta
karena retinopati diabetik. Retinopati diabetik menempati posisi ke-4 setelah
katarak, glaukoma, dan degenerasi makula sebagai penyebab kebutaan.1 Di
Amerika Serikat, insidensi kebutaan akibat retinopati diabetik sekitar 5.000 orang
pertahun, sedangkan di Inggris retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan
nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan.2

Pasien diabetes memiliki resiko 25 kali lebih tinggi mengalami kebutaan


dibandingkan pasien non diabetes dengan rentang usia 20 sampai 74 tahun. Pasien
diabetes lebih kurang 90% menderita diabetes melitus tidak tergantung insulin
(Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus: NIDDM tipe II), sedangkan 10%
lainnya adalah diabetes melitus tergantung insulin ( Insulin Dependent Diabetes
Mellitus: IDDM tipe I). Resiko mengalami retinopati diabetik pada pasien diabetes
meningkat sejalan dengan lamanya perjalanan penyakit diabetes. Pada waktu
diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada
kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50%
dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik.
Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% pasien sudah
menderita retinopati diabetik non-proliferatif (background retinopathy). Setelah 20
tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60%.3

Metode pengobatan retinopati diabetik dewasa ini telah mengalami


perkembangan pesat, sehingga resiko kebutaan dapat diminimalisir. Namun
demikian, karena angka kejadian diabetes di seluruh dunia cenderung makin

1
meningkat maka retinopati diabetik masih tetap menjadi masalah penting yang
perlu untuk diperhatikan.3

1.2 Batasan Masalah

Meet The Expert ini membahas tentang anatomi dan fisiologi retina,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis retinopati diabetik.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Meet The Expert ini adalah untuk menambah wawasan
tentang retinopati diabetik.

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1. Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan


ilmu penyakit mata pada khususnya.

1.4.2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Mata.

1.5 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina


Mata memiliki diameter rata-rata 24 mm dan berat sekitar 8 g. Dinding
mata memiliki tiga lapisan berbeda, yang disebut tunika: (1) lapisan serat luar, (2)
lapisan pembuluh darah menengah (uvea), dan (3) lapisan bagian dalam yang
dalam (retina). Reseptor visual, atau fotoreseptor, terletak di lapisan dalam
(Gambar 2.1).4

Gambar 2.1 Anatomi mata potongan horizontal4

Lapisan dalam, atau retina, adalah lapisan paling dalam mata. Ini terdiri
dari lapisan luar yang tipis yang disebut bagian berpigmen, dan lapisan dalam yang
tebal disebut bagian saraf (Gambar 2.1). Bagian berpigmen dari retina menyerap
cahaya yang melewati bagian saraf, mencegah cahaya memantul kembali melalui
bagian saraf dan menghasilkan "gema" visual. Sel-sel pigmen juga memiliki
interaksi biokimia yang penting dengan reseptor cahaya retina, yang terletak di
bagian saraf retina. Selain reseptor cahaya, bagian saraf retina mengandung sel-sel
pendukung dan neuron yang melakukan pemrosesan awal dan integrasi informasi
visual.4

3
Gambar 2.2 Struktur Retina; (a) Bagian posterior bola mata, (b) sel pada lapisan neural
retina, (c) fotomikrograf dari retina 4
Pada gambar 2.2 (a), bagian saraf retina mengandung beberapa lapisan
sel. Lapisan terluar, paling dekat dengan bagian berpigmen retina, mengandung
fotoreseptor, sel-sel yang mendeteksi cahaya.4
Mata memiliki dua jenis utama fotoreseptor: batang dan kerucut. Batang
tidak membedakan warna cahaya. Sangat sensitif terhadap cahaya, memungkinkan
kita untuk melihat di ruangan yang remang-remang, saat senja, dan dalam cahaya
bulan pucat. Kerucut memberi kita penglihatan warna. Manusia memiliki tiga jenis
kerucut, dan masing-masing jenis mengandung pigmen visual yang berbeda:
merah, hijau, dan biru. Seseorang yang melihat ketiga warna primer ini memiliki
penglihatan warna normal dan karenanya disebut sebagai trichromat. Stimulasi
berbagai kombinasi pigmen tersebut memungkinkan kita untuk merasakan warna
yang berbeda. Kerucut memberi kita gambar yang lebih tajam, lebih jelas daripada
batang, tetapi kerucut membutuhkan cahaya yang lebih intens.5 Jenis ketiga

4
fotoreseptor adalah sel ganglion retina fotosensitif intrinsik (SGRFI). Fotopigmen
dalam ipRGC adalah melanopsin. Sel-sel ini diketahui merespons berbagai tingkat
kecerahan dan memengaruhi ritme sirkadian 24 jam tubuh (jam biologis).4
Sel batang dan kerucut tidak terdistribusi secara merata di seluruh retina.
Sekitar 125 juta batang membentuk pita lebar di sekitar pinggiran retina. Saat
bergerak menjauh dari pinggiran, menuju pusat retina, kepadatan batang secara
bertahap berkurang. Sebaliknya, sebagian besar dari sekitar 6 juta kerucut
terkonsentrasi di daerah di mana gambar visual tiba setelah melewati kornea dan
lensa. Wilayah ini, yang dikenal sebagai makula, tidak memiliki batang.
Konsentrasi kerucut yang paling tinggi terjadi di pusat makula, daerah yang disebut
fovea sentral. Biasanya disebut sebagai fovea (Gambar 2.2(c)). Fovea adalah
tempat penglihatan paling tajam. Ketika seseorang melihat langsung pada suatu
objek, mata akan menempatkan gambarnya di fovea, pusat penglihatan warna.5
Sel batang dan kerucut bersinap pada 6 juta neuron yang disebut sel bipolar
(Gambar 2.2(a)). Sel-sel ini selanjutnya bersinaps pada lapisan neuron yang disebut
sel ganglion, yang terletak berdekatan dengan rongga posterior. Terdapat sel
penghubung yang secara horizontal memanjang melintasi bagian saraf retina pada
tingkat sinapsis antara fotoreseptor dan sel bipolar. Selain itu juga terdapat lapisan
sel amakrin. Sel horizontal dan sel amakrin dapat memfasilitasi atau menghambat
komunikasi antara fotoreseptor dan sel ganglion, mengubah sensitivitas retina. Sel-
sel ini memainkan peran penting dalam penyesuaian mata terhadap lingkungan
yang redup atau terang.4

2.2 Fisiologi Retina

Transduksi energi cahaya menjadi potensial reseptor terjadi di segmen luar


dari kedua sel batang dan kerucut. Fotopigmen adalah protein integral dalam
membran plasma pada segmen luar. Dalam membran plasma sel kerucut dilipat
bolak-balik dan di sel batang dilepas dari membran plasma untuk membentuk
cakram. Bagian luar masing-masing batang berisi tumpukan sekitar 1000 cakram,
ditumpuk seperti koin di dalam pembungkus.6

5
Gambar 2.3 Struktur dari sel kerucut dan batang6
Segmen luar fotoreseptor memperbarui dengan kecepatan yang sangat
cepat. Dalam sel batang, satu atau tiga cakram baru ditambahkan ke dasar segmen
luar setiap jam sementara cakram lama mengelupas di ujung dan difagositosis oleh
sel-sel epitel pigmen. Bagian dalam berisi inti sel, kompleks Golgi, dan banyak
mitokondria. Pada ujung proksimalnya, fotoreseptor berkembang menjadi terminal
sinaptis seperti bola yang diisi dengan vesikel sinaptik.6
Langkah pertama dalam transduksi visual adalah penyerapan cahaya oleh
pigmen cahaya, protein berwarna yang mengalami perubahan struktural ketika
menyerap cahaya, di segmen luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya memulai
peristiwa yang mengarah pada produksi potensi reseptor. Jenis tunggal fotopigmen
dalam sel batang adalah rhodopsin.Tiga pigmen kerucut yang berbeda ada di
retina, satu di masing-masing dari tiga jenis kerucut. Penglihatan warna dihasilkan
dari berbagai warna cahaya yang secara selektif diaktifkan pada pigmen kerucut.6

Retina adalah bagian penyerap cahaya dari semua fotopigmen visual. Di


retina manusia, ada empat opsins berbeda, tiga di kerucut dan satu di batang

6
(rhodopsin). Variasi kecil dalam urutan asam amino dari opsin yang berbeda
memungkinkan batang dan kerucut untuk menyerap warna (panjang gelombang)
yang berbeda dari cahaya yang masuk.6

Gambar 2.4 Siklus bleaching dan regenerasi fotopigmen6


Fotopigmen merespons cahaya dalam proses siklus berikut ini (Gambar 2.4 ):6
 Dalam kegelapan, retina memiliki bentuk bengkok, yang disebut cis-
retinal, yang pas dengan bagian fotopigmen opsin. Ketika cis-retinal
menyerap foton cahaya, itu meluruskan ke bentuk yang disebut trans-
retinal. Konversi cis-to-trans ini disebut isomerisasi dan merupakan
langkah pertama dalam transduksi visual. Setelah isomerisasi retina,
beberapa zat antara kimia yang tidak stabil terbentuk dan menghilang.
Perubahan kimia ini menyebabkan produksi potensial reseptor.
 Dalam sekitar satu menit, trans-retinal sepenuhnya terpisah dari opsin.
Produk akhir terlihat tidak berwarna, jadi bagian dari siklus ini disebut
pemutihan fotopigmentasi.
 Enzim yang disebut isomerase retina mengubah trans-retina kembali
menjadi cis-retinal.

7
 Cis-retinal kemudian dapat berikatan dengan opsin, membentuk
photopigment fungsional. Bagian dari siklus ini disebut regenerasi.
Lapisan berpigmen dari retina yang berdekatan dengan fotoreseptor
menyimpan sejumlah besar vitamin A dan berkontribusi pada proses regenerasi
dalam batang. Tingkat regenerasi rhodopsin berkurang secara drastis jika retina
terlepas dari lapisan berpigmen. Fotopigmen kerucut regenerasi jauh lebih cepat
daripada rhodopsin dalam batang dan kurang tergantung pada lapisan berpigmen.
Setelah pemutihan total, regenerasi setengah dari rhodopsin membutuhkan waktu
5 menit; setengah dari foto kerucut regenerasi hanya dalam 90 detik. Regenerasi
penuh rhodopsin yang diputihkan membutuhkan waktu 30 hingga 40 menit.6

a b

Gambar 2.5 Peran dari sel batang (a)pada ruangan gelap (b) pada ruang terang6
Penyerapan cahaya dan isomerisasi retina memulai perubahan kimia dalam
segmen luar fotoreseptor yang mengarah pada produksi potensi reseptor. Dalam
kegelapan, ion-ion natrium (Na) mengalir ke segmen luar fotoreseptor melalui
saluran Na yang diberi ligan (Gambar 2.5). Ligan yang menahan saluran ini terbuka
adalah siklik guanosin monofosfat (GMP siklik) atau cGMP. Masuknya Na,
disebut "arus gelap," sebagian mendepolarisasi fotoreseptor. Akibatnya, dalam
kegelapan potensi membran fotoreseptor sekitar 30 mV. Ini jauh lebih dekat ke nol
daripada potensial membran istirahat khas neuron sebesar 70 mV. Depolarisasi
parsial selama kegelapan memicu pelepasan neurotransmiter terus menerus di
terminal sinaptik. Neurotransmiter dalam batang, dan mungkin dalam kerucut,
adalah asam amino glutamat (asam glutamat). Pada sinapsis antara batang dan
beberapa sel bipolar, glutamat adalah neurotransmiter penghambat: Glutamat

8
memicu potensial penghambat postinaptik yang menghambat hiperpolarisasi sel-
sel bipolar dan mencegahnya mentransmisikan sinyal ke sel-sel ganglion.6
Ketika cahaya menyerang retina dan cis-retinal mengalami isomerisasi,
enzim diaktifkan yang memecah cGMP. Akibatnya, beberapa saluran Na-cGMP
tertutup, aliran inflow menurun, dan potensi membran menjadi lebih negatif,
mendekati 70 mV (Gambar 2.5 b). Urutan peristiwa ini menghasilkan potensi
reseptor hiperpolarisasi yang mengurangi pelepasan glutamat. Lampu redup
menyebabkan potensi reseptor kecil dan singkat yang mematikan sebagian
pelepasan glutamat; lampu yang terang menimbulkan potensi reseptor yang lebih
besar dan lebih lama yang lebih mematikan pelepasan neurotransmiter. Dengan
demikian, cahaya menggairahkan sel-sel bipolar yang sinapsis dengan batang
dengan mematikan pelepasan neurotransmitter penghambat. Sel-sel bipolar
tereksitasi kemudian merangsang sel-sel ganglion untuk membentuk potensi aksi
di akson mereka.6

2.3 Retinopati Diabetik


2.3.1 Definisi
Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular pada
diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan 2 yang terjadi akibat proses hiperglikemia dalam
jangka waktu yang lama. Retinopati diabetik diklasifikasikan atas non proliferative
9
diabetic retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic retinopathy (PDR). Non
proliferative diabetic retinopathy merupakan tahap awal dari retinopati diabetik
yang terdiri dari mild, moderate, severe dan very severe NPDR. Proliferative
diabetic retinopathy yang merupakan tahap lanjut dari retinopati diabetik terdiri
atas early, high risk dan advanced PDR.7

2.3.2 Epidemiologi
Diabetes mellitus (DM) mempengaruhi sekitar 400 juta orang dewasa di
seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2030
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) WHO, laporan
global tentang diabetes.8 Berdasarkan riskesdas 2018, prevalensi diabetes melitus
pada usia ≥ 15 tahun meningkat dari pada tahun 2018 dibandingkan dengan 2013.
Di Sumatera Barat penigkatan prevalensi diabetes juga terjadi (Gambar 2.6).9

10
Gambar 2.6 Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk
umur ≥ 15 tahun menurut provinsi, 2013-20189
Retinopati diabetik adalah penyebab utama hilangnya penglihatan pada
orang dewasa berusia 20-74 tahun.10 Pada tahun 2010, dari sekitar 285 juta orang
di seluruh dunia dengan diabetes, lebih dari sepertiga memiliki tanda-tanda
retinopati diabetik, dan sepertiga dari mereka menderita vision-threatening
diabetic retinopathy (VTDR), yang didefinisikan sebagai retinopati deabitik non-
proliferasi berat atau retinopati diabetik proliferatif ( RDP).111
Sebuah meta-analisis yang dilakukan di seluruh dunia dari 1980 hingga
2008 yang memperkirakan prevalensi umum dari retinopati diabetik dan RDP di
antara pasien dengan diabetes masing-masing 35,4 dan 7,5% .11 Prevalensi
retinopati diabetik dan PDR lebih tinggi pada mereka yang menderita diabetes tipe
1, dibandingkan dengan mereka yang menderita diabetes tipe 2 (77,3 vs 25,2%
untuk setiap retinopati diabetik , 32,4 vs 3,0% untuk PDR). Sebagian besar negara
Asia melaporkan prevalensi retinopati diabetik antara 12,1-23,0%, dan prevalensi
VTDR antara 4,3-4,6%.12
Di RSCM, kompilkasi diabetes melitus berupa retinopati diabetik mencapai
33,4% dari penderita diabetes melitus pada tahun 2011.13 Pada tahun 2017, kasus
retinopati diabetik non poliperatif berjumlah 305 kasus dan retinopati diabetik
poliperatif berjumlah 145 kasus yang ditemukan di poliklinik mata RSUP
M.Djamil Padang.

11
2.3.3 Etiologi
Perubahan abnormalitas sebagian besar meliputi perubahan anatomis,
hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya
retinopati diabetik antara lain:7
 Perubahan anatomis
o Capilaropathy
 Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit
 Proliferasi sel endotel
 Penebalam membran basalis
o Sumbatan mikrovaskuuler
 Arteriovenous shunts
o Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
 Neovaskularisasi
 Perubahan hematologi:
o Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi
eritrosit yang meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas
darah.
o Abnormalitas lipid serum
o Fibrinolisis yang tidak sempurna
o Abnormalitas dari sekresi growth hormone
 Perubahan biokimia
o Jalur poliol
o Glikasi nonenzimatik
o Protein kinase C

2.3.4 Patofisiologi dan Patogenesis


Retina merupakan bagian dari sistem saraf pusat, dengan karakter blood-
retinal barrier (BRB) yang menyerupai karakter blood-brain barrier (BBB).
Retina terdiri atas 10 lapisan berbeda. Melalui lapisan-lapisan retina, pembuluh
darah memberi nutrisi dan oksigen, dan dapat dibagi menjadi lapisan
mikrovaskuler superfisial (arteriol dan venul), lapisan kapiler medial, dan lapisan
kapiler dalam.14

12
Mekanisme terjadinya penyakit mikrovaskuler diabetes masih belum jelas,
namun keadaan hiperglikemia jangka lama dapat mengubah fisiologi dan biokimia,
sehingga terjadi kerusakan endotelial.15 Hiperglikemi terlalu lama menyebabkan
aktivasi sejumlah jalur biokimia yang berkontribusi pada patologi retinopati
diabetik. Jalur utama yang terlibat dalam patogenesis retinopati diabetik termasuk
peningkatan fluks glukosa melalui jalur poliol dan heksosamin, aktivasi protein
kinase C (PKC), terlalu aktifnya jalur plasma kallikrein-kinin (PKK) dan
akumulasi produk akhir glikasi lanjutan. Stres oksidatif terjadi sebagai akibat dari
kelebihan produksi superoksida mitokondria yang diinduksi hiperglikemia. Stess
oksidatif ini yang menyebakan gangguan neuroglial, hiperpermiabel vaskular, dan
inflamasi pada retina.16
„ Polyol Pathway:
Aldose reductase mereduksi glukosa menjadi sorbitol dengan kofaktor
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Kemudian sorbitol
diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol dehydroginase (SDH).11 Sorbitol bersifat
hidrofilik dan tidak dapat berdifusi ke dalam membran sel, sehingga terjadi
akumulasi yang menyebabkan kerusakan osmotik endotel pembuluh darah retina,
kehilangan perisit, dan penebalan membran basement.10 Fruktosa berikatan dengan
fosfat menjadi fructose-3-phosphate dan kemudian dipecah menjadi 3-
deoxyglucosone, yang nantinya dibentuk menjadi advanced glycation end
products (AGEs).17
„ Advanced glycation end products (AGEs):
AGE merupakan protein atau lemak yang dihasilkan dari reaksi glikasi non-
enzimatik dan oksidasi setelah terpapar gula aldose.17 Produk awal reaksi non-
enzimatik adalah schiff base, yang kemudian spontan berubah menjadi Amadori
product. Proses glikasi protein dan lemak menyebabkan perubahan molekuler yang
menghasilkan AGE. AGE ditemukan di pembuluh darah retina dengan kadar
serum berkorelasi dengan derajat keparahan retinopati. AGE dapat berikatan
dengan reseptor permukaan sel seperti RAGE, galectin-3, CD36, dan reseptor
makrofag.18 AGE memodifikasi hormon, sitokin, dan matriks ekstraseluler,
sehingga terjadi kerusakan vaskuler. Selain itu, AGE juga menghambat sintesis

13
DNA, meningkatkan mRNA VEGF, meningkatkan NF-kB di endotelium vaskuler,
dan memicu apoptosis perisit retina.14
„ Aktivasi Protein Kinase C (Pkc) Pathway:
PKC merupakan serine kinase yang berperan dalam transduksi hormonal,
neuronal, dan stimulus growth factor. Keadaan hiperglikemia meningkatkan
sintesis diacylglycerol (DAG), yang merupakan aktivator PKC. PKC β1/2 berperan
penting dalam proses terjadinya retinopati diabetes.19 Aktivasi PKC berperan
dalam kejadian komplikasi diabetes, seperti: perubahan aliran darah, mengatur
sintesis protein matriks ekstraseluler, permeabilitas pembuluh darah, angiogenesis,
sel pertumbuhan, dan enzymatic activity alteration (MAPK). Selain itu, vascular
endothelial growth factor (VEGF) di jaringan retina juga ikut meningkat, memicu
terjadinya edema makula dan retinopati proliferasi.18
„ Faktor Genetik:
Gen aldo-keto reductase family 1 member B1 (AKR1B1) berkaitan dengan
komplikasi mikrovaskuler termasuk retinopati.14
„ Inflamasi:
Hiperglikemia merupakan keadaan proinflamasi, meningkatkan sintesis
nitrit oksida (iNOS), leukotrien, dan cyclooxigenase-2 (COX-2).14 Respons
inflamasi memperburuk proses inflamasi pada pathway lainnya melalui sitokin,
adhesi molekul, sinyal VEGF, reseptor AGE, dan perubahan regulasi nitric oxide.
Beberapa obat anti-inflamasi seperti intravitreal triamcinolone acetonide (IVTA)
dan obat anti-inflamasi nonsteroid dilaporkan dapat menurunkan aktivasi VEGF,
menormalisasi permeabilitas endotel, menurunkan apoptosis dan leukostasis, dan
meningkatkan tajam penglihatan.19 Anti- TNF α dalam proses penelitian fase III
untuk menurunkan ketebalan makula.19
„ Stres Oksidasi:
Salah satu faktor penyebab retinopati diabetes adalah ketidakseimbangan
antara pembentukan dan eliminasi reactive oxygen species (ROS)(Gambar 2.7).
Pada fisiologi normal, ROS membantu tubuh untuk merusak mikroorganisme
asing yang dapat merusak sel. Akan tetapi, kadar ROS tinggi dapat merusak sel
melaui peroksidase lipid, modifikasi DNA, destruksi protein, dan kerusakan
mitokondria.14 ROS mengaktifkan poly-(ADP-ribose)-polymerase (PARP). PARP

14
menghambat glyceraldehyde phosphate dehydrogenase (GAPDH), sehingga
terjadi akumulasi metabolit glikolitik. Metabolit ini kemudian mengaktifkan AGE,
PKC, polyol, dan hexosamine pathway, sehingga memperburuk keadaan
retinopati.19,20

Gambar 2.7 Skema patogenesis retinopati diabetik16

Retinopati diabetik muncul melalui interaksi yang kompleks antara


kerusakan neuroglial dan vaskular yang dihasilkan dari stres metabolik yang
diinduksi hiperglikemia. Dari perspektif mikrovaskular, hipoperfusi pada awal
penyakit karena hilangnya sel-sel penyusun endotelium akhirnya mengarah pada
pertumbuhan kompensasi pembuluh darah baru yang rapuh dan bocor. Kompensasi
integritas barier darah retina menyebabkan ekstravasasi cairan dan mediator
inflamasi, menciptakan edema yang mengancam penglihatan dan memperburuk
kondisi inflamasi. 21

15
2.3.5 Manifestasi Klinis

Perubahan dini atau nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) tidak


memberikan keluhan gangguan penglihatan. Jika pembuluh darah rusak dan bocor
dan masuknya lipid ke makula,makula akan edem dan penglihatan menurun.
Gejala yang bisa timbul diantaranya:1

1) Mikroaneurisma, yaitu penonjolan dinding kapiler dengan bentukberupa bintik


merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.

2) Pendarahan dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang letaknya dekat
mikroaneurisma di polus posterior. Pendarahan terjadi akibat gangguan
permeabilitas atau karena pecahnya kapiler.

3) Dilatasi pembuluh darah dengan lumen ireguler yang diakibatkan kelainan


sirkulasi dan kadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.

4) Hard exudate, merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina dengan gambaran khas
iregular dan kekuning-kuningan.

5) Soft exudate, sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi memberikan gambaran bercak kekuningan yang difus.

6) Pembuluh darah baru retina pada permukaan jaringan yang terjadi akibat
proliferasi sel endotel pembuluh darah. Pecahnya neovaskularisasi ini akan
mengakibatkan pendarahan retina maupun pendarahan preretinal.

7) Edema retina, ditandai dengan hilangnya gambaran retina pada daerah makula
sehingga memberikan keluhan penurunan tajam penglihatan.

2.3.6 Klasifikasi

Retinopati diabetik dibagi menjadi dua jenis yaitu Non Proliferasi Diabetik
Retinopati (NPDR) dan Proliferasi Diabetik Retinopati (PDR). Pada Diabetik
Retinopati tipe NPDR terjadi kelemahan pada pembuluh darah retina. Diameter
pembuluh darah menjadi membesar dengan bentuk tepi pembuluh tidak beraturan.

16
Jenis Diabetik Retinopati dengan tipe NPDR dapat menjadi tipe Proliferasi
Diabetik Retinopati (PDR) pada stadium lanjut. 22

Kerusakan pembuluh darah pada tipe PDR, berakibat pertumbuhan


pembuluh darah baru yang tidak normal pada retina sehingga mengakibatkan
terganggunya aliran cairan normal pada mata. Bola mata akan mendapatkan
tekanan yang cukup tinggi. Salah satu cara untuk mengetahui seseorang menderita
Diabetik Retinopati pada tipe NPDR dapat dilihat dari adanya kemunculan antara
lain Exudates (Soft Exudates seperti Cotton Wool dan Hard Exudates), Intra
Retinal Mikrovaskuler Abnormalities (IRMAs) yang mengakibatkan
penggelembungan vaskuler (Venous Beading) serta perdarahan titikan bercak (Dot
and blot intraretinal hemorrhages). 22

Gambar 2.8 Gambaran fundus tipe NPDR 23

Karakteristik simptomp yang ditemukan pada Non-Proliferative Diabetik


Retinopati (NPDR) :

1. Perdarahan titik dan bercak (Dot and blot intraretinal hemorrhages)

Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api
karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal,
sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau bercak terletak di lapisan retina yang
lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.

17
Gambar 2.9 Gambaran Fundus dengan Dot and blot intraretinal hemorrhages 24

2. Microaneursym.

Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik yang


disebut mikroaneurisme, sedangkan vena-vena mengalami dilatasi dan berkelok-
kelok. 22

Gambar 2.10 Gambaran Fundus dengan Microaneursym 4

Klasifikasi NPDR berdasarkan ETDRS dengan melihat keberadaan


beberapa kelainan pada kuadran citra retina. Pembagian empat kuadran pada citra
fundus dilakukan dengan aproksimasi sudut pengambilan Optic Disc (Field Of
View). Kebocoran lemak pada vascular retina akan mengakibatkan exudates,
Venous Beading pada dua kuadran dan Intra Retinal Microvaskuler Abnormalities
pada satu kuadran merupakan dua diantara gejala klinis pada Diabetik Retinopati.
25

18
Venous Beading pada citra retina mengakibatkan pembuluh darah menjadi
berkelok-kelok. Hal ini mengakibatkan dinding pembuluh darah menjadi bocor.
Microaneurysms merupakan pelebaran titik fokus dari pembuluh kapiler retina
yang muncul sebagai titik-titik bulat kecil merah gelap mengakibatkan pendarahan.
Keberadaan exudates, venous beading yang terdeteksi, microaneurysms dan
haemorrhages pada citra retina menunjukkan derajat penyakit (stadium) Diabetik
Retinopati. Evaluasi klinis yang dilakukan untuk mendeteksi NPDR adalah dengan
melakukan pemeriksaan melalui kamera fundus atau pemeriksaan langsung
melalui ophthalmoscope. 25

Exudates dibagi menjadi 2 :22

1. Soft Exudates.

Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan Optlamoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning
bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi
dan dihubungkan dengan iskemia retina. Contoh citra fundus dengan soft exudates
dapat dilihat pada :

Gambar 2.11 Citra Fundus dengan Cotton Wool Spot. 22

19
2. Retinal edema (Hard exudates)

Gambar 2.12 Fundus dengan Hard Exudates. 22

Retinopati diabetika secara umum dapat dibagi menjadi dua berdasarkan


ada tidaknya pembuluh darah baru pada retina yaitu nonproliferatif dan proliferatif.
Menurut Early Treatment Retinopati Research Study Group (ETDRS) retinopati
dibagi atas dua stadium yaitu : 22

1. Retinopati Diabetika Nonproliferatif (RDNP)

Retinopati diabetika adalah bentuk retinopati yang paling ringan dan sering
tidak memperlihatkan gejala. Cara pemeriksaannya dengan menggunakan foto
warna fundus atau fundal fluoroscein angiography (FFA). Mikroaneurisma
merupakan tanda awal terjadinya RDNP, yang terlihat dalam foto warna fundus
berupa bintik merah yang sering di bagian posterior. Kelainan morfologi lain antara
lain penebalan membran basalis, perdarahan ringan, hard exudate yang tampak
sebagai bercak warna kuning dan soft exudate yang tampak sebagai bercak halus
(Cotton Wool Spot). Eksudat terjadi akibat deposisi dan kebocoran lipoprotein
plasma. Edema terjadi akibat kebocoran plasma. Cotton wool spot terjadi akibat
kapiler yang mengalami sumbatan. 22

2. Retinopati Diabetika Proliferatif (RDP)

Retinopati diabetika proliferatif ditandai dengan terbentuknya pembuluh


darah baru (Neovaskularisasi). Dinding pembuluh darah baru tersebut hanya terdiri

20
dari satu lapis sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga sangat
rapuh dan mudah mengalami perdarahan. 22

Pembentukan pembuluh darah baru tersebut sangat berbahaya karena dapat


tumbuh menyebar keluar retina sampai ke vitreus sehingga menyebabkan
perdarahan di vitreus yang mengakibatkan kebutaan. Apabila perdarahan terus
berulang akan terbentuk jaringan sikatrik dan fibrosis di retina yang akan menarik
retina sampai lepas sehingga terjadi ablasio retina. 26

Gambar 2.13 Fotografi fundus RDP yang menunjukkan neovaskularisasi,


perdarahan neovaskularisasi, pelepasan retina dari makula. 22

2.3.7 Diagnosis

Diagnosis bisa ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan. Pada


anamnesis pasien akan mengeluhkan penglihatannya terhalang secara mendadak.
Penderita Diabetik Retinopati biasanya tidak menyadari kelainan yang terjadi pada
retina sampai muncul keluhan seperti melihat bayangan benda hitam melayang
mengikuti pergerakan mata atau lebih dikenal dengan istilah floaters. 26

Pemeriksaan penunjang bisa dengan pencitraan optical coherence


tomography yang bermanfaat dalam menentukan dan memantau edema macula.
Umumnya pengobatan diperlukan pada penebalan retina lebih dari 300 mikron.

21
Angiografi flouresein juga bisa dilakukan untuk menentukan kelainan vascular
pada retinopati diabetik.24 American Academy of Ophthalmology (AAO)
menyetujui metode diagnostik retinopati diabetika dengan menggunakan fundus
photography.27

Pemeriksaan Diabetik Retinopati dapat dilakukan dengan berbagai cara,


yaitu :27

a. Visual acuity test. Pengukuran kemampuan penglihatan standar


menggunakan eye chart.

b. Tonometry. Pengukuran tekanan pada bagian dalam mata

c. Dilated eye exam. Pemeriksaan yang memberikan cairan ke mata untuk


memperbesar pupil .

d. Opthamoloscope/Fundus photography.

Fundus photography memanfaatkan pantulan sinar cahaya pada


gelombang tertentu yang dipancarkan ke pupil mata. Citra yang didapat
dari fundus photography memberikan informasi tentang keadaan retina
seperti microaneursym, exudates, pendarahan, dan pembuluh darah.

e. Fluorescein angiography

Citra fluorescein angiography terbentuk dari sejumlah foton yang


dipancarkan dari zat pewarna fluorescein. Sebelum angiography
dilakukan, zat pewarna fluorescein disuntikkan kepada penderita
terlebih dahulu. Zat pewarna fluorescein akan beredar ke seluruh tubuh,
termasuk retina. Ketika zat pewarna fluorescein berada di retina, maka
proses angiography dilakukan. Citra fluorescein angiography dapat
memberikan informasi tentang pembuluh darah, mikroaneurisma,
makula, dan pendarahan pada retina secara lebih jelas jika
dibandingkan dengan citra hasil fundus photography.7

22
f. Optical Coherence Tomography (OCT).

Metode yang digunakan untuk menghitung ketebalan jaringan


dengan cara mengukur waktu pembiasan dari satu lapisan jaringan ke
lapisan jaringan berikutnya. OCT dapat dianalogikan sebagai
ultrasonography yang menggunakan sinar cahaya, bukannya
gelombang suara. Citra yang didapat dari OCT memberikan
informasi mengenai saraf optik dan struktur retina. Citra OCT
dapat digunakan untuk melihat lapisan retina, pembengkakan
makula, kerusakan saraf optik, dan pembengkakan saraf optik.
2.3.8 Tatalaksana

Manajemen primer untuk progresitas retinopati diabetikum berupa


pencegahan terutama dengan melakukan pengendalian ketat terhadap
hiperglikemia, tekanan darah dan hiperkolesterolemia. Intervensi sekunder untuk
retinopati diabetikum dilakukan tergantung dari lokasi dan keparahannya, dapat
berupa farmakoterapi, terapi laser fotokoagulasi, maupun operasi vitreoktomi. 25

Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah hormon yang


diproduksi oleh sel-sel retina sebagai respon dari iskemia. VEGF merupakan
promotor yang kuat bagi permeabilitas vaskuler dan neovaskularisasi sehingga
menjadikannya target utama untuk manajemen pada retinopati diabetikum.
Beberapa percobaan klinis telah membuktikan keberhasilan anti VEGF seperti
ranibizumab, bevacizumab, dan afliberacept. Injeksi intravitreous anti-VEGF
dilakukan sesuai prosedur dengan anastesi topikal, dan diindikasikan untuk edema
makula yang tidak dapat dilakukan terapi laser.25

Untuk edema makula yang signifikan secara klinis, terapi laser yang
dilakukan berupa fokal laser fotokoagulasi jika lesinya setempat, dan grid laser
fotokoagulasi jika lesinya difus.25

23
Vitrektomi merupakan operasi pengangkatan vitreous, darah, dan jaringan
fibrovaskuler retina. Indikasi pengobatan ini untuk PDR parah yang tidak resonsif
terhadap PRP, kejadian perdarahan vitreous berat, traksi ablasi retina, proliferasi
fibrovaskuler berat, sindrom postvitrektomi fibrinoid, maupun proliferasi
fibrovaskuler hialoid anterior.27

Laser Panretinal Photocoagulation (PRP). Panretinal photocoagulation


(PRP) adalah suatu metode terapi yang bersifat aman dan tidak invasif yang
terbukti keberhasilannya pada beberapa percobaan klinis. Diabetes Retinopathy
Study (DRS) dan ETDRS menyatakan laser PRP sebagai standar perawatan untuk
pengobatan PDR. Terapi ini menurunkan risiko kebutaan berat sebanyak 50% pada
PDR risiko tinggi dan NPDR derajat berat. 27

Laser PRP mengaplikasikan 1000-2000 sinar laser (masing-masing sekitar


500 μm) pada retina perifer yang jauh dari makula. Penipisan retina akibat laser
dapat meningkatkan kemampuan retina untuk mendapatkan oksigen dari koroid,
serta mengurangi pelepasan faktor pertumbuhan angiogenik seperti VEGF.
Dengan demikian, neovaskularisasi retina menjadi berkurang atau menghilang.27

Efek samping laser PRP dapat memperparah edema makula, efek lapangan
pandang perifer, penurunan penglihatan malam hari, efusi koroid yang
menyebabkan myopia sementara dan peningkatan tekanan intraokular. 27.
2.3.9 Komplikasi dan Prognosis

Keadaan-keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetik:1

1. Pada diabetes juvenilis yang insulin dependent dan kehamilan dapat


merangsang timbulnya perdarahan dan proliferasi.

2. Arteriosklerosis dan proses menua pembuluh-pembuluh darah memperburuk


prognosis.

3. Hiperlipoproteinemi diduga mempercepat perjalanan dan progresifitas


kelainan dengan mempengaruhi arteriosklerosis dan kelainan hemobiologik.

24
4. Hipertensi arteri, memperburuk prognosis terutama usia tua. Hipoglikemi atau
trauma dapat menimbulkan perdarahan retina yang mendadak.

25
BAB III

KESIMPULAN

Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai


oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena. WHO melaporkan, 4,8 persen
penduduk di seluruh dunia menjadi buta akibat retinopati diabetik. Dalam urutan
penyebab kebutaan secara global, retinopathy DM menempati urutan ke-4 setelah
katarak, glaukoma, dan degenerasi makula (AMD= age-related macular
degeneration). Pemeriksaan oftalmologi retinopathy DM secara khas terbagi atas :
Non proliferative, prolifertativ. Angiografi flouresein merupakan pemeriksaan
penting dalam menunjang retinopati diabetik. Terapi retinopati diabetik mencakup
perawatan medis untuk kontrol gula darah dan terapi oftalmologi yang mencakup
terapi bedah dan medikamentosa. Prognosis ditentukan oleh faktor-faktor yang
menguntungkan dan merugikan dalam perjalanan penyakit ini serta tindakan yang
dilakukan dalam intervensinya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas HS.. Ilmu Penyakit Mata. Edi.5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2015

2. Victor AA. Retinopati Diabetik Penyebab Kebutaan Utama Penderita Diabetes.


Jakarta: Departemen Mata FKUI/RSCM;2008.
3. Pandelaki K.. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Jakarta: FK UI ;2007.
4. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of anatomy & physiology.
Ed. 9. San Francisco : Pearson ;2012 .p. 555-74.
5. Marieb EN, Joehn K. Human anatomy & physio logi. Ed. 9. USA: Pearson;2013.
p. 545-65.
6. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy & physiologi. Ed. 14. USA :
Wiley; 2014. p. 580-94.
7. American Academy of Ophthalmology Retina/Vitreous Panel. Preferred Pratice
Pattern® Guidelines Diabetic Retinopathy. San Francisco, CA: American
Academy of Ophthalmology; 2016. Available at www.aao.org/ppp (diakses
tanggal 5 Juli 2019).
8. Rowley WR, Bezold C, Arikan Y, Byrne E, Krohe S. Diabetes 2030: insights
from yesterday, today, and future trends. Population Health Management. 2017;
20: 6–12.
9. Kementerian kesehatan RI. Hasil utama riskesdas. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan;2018.
10.Cheung N, Mitchell P, Wong TY. Diabetic retinopathy. Lancet.
2010;376(9735):124–36.
11. Yau JW, Rogers SL, Kawasaki R, Lamoureux EL, Kowalski JW, Bek T, et al.
Global prevalence and major risk factors of diabetic retinopathy. Diabetes
Care. 2012;35(3):556–64.
12. Lee R, Wong TY, Sabanayagam C. Epidemiology of diabetic retinopathy,
diabetic macular edema and related vision loss. Lee et al. Eye and
Vision.2015;2:17.
13. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin. Situasi dan analisi diabetes. Jakarta :
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014.
14. Eshaq RS, Aldalati AMZ, Alexander JS, Harris NR. Diabetic retinopathy:
Breaking the barrier. Pathophysiology. 2017;24(4):229-41.
15. American Academy of Ophthalmology. Retina and vitreous in basic and
clinical science course. 2015-2016. Biomarker of oxidative damage in human

27
disease. Clinical Chemistry, Vol.52 (4): 601-623.
16. Stitt AW, Curtis TM, Chen M, Medina RJ, McKay GJ, Jenkins A, et al. The
progress in understanding and treatment of diabetic retinopathy. Progress in
Retinal and Eye Research. 2016; 51: 156–86.

17. Elvira, Suryawijaya EE. Retinopati Diabetes. CDK-274.2019;46(3):220-4.


18. Cen S, Hsu Y, Lin Y, Huang YC, Chen CJ, Lin WD, et al. Current concepts
regarding developmental mechanisms in diabetic retinopathy in Taiwan.
Biomedicine. 2016; 6:1-8.

19. Tarr JM, Kaul K, Chopra M, Kohner EM, Chibber R. Pathophysiology of


diabetic retinopathy. ISRN Ophthalmol. 2013; 343560.
20. Ahsan H. Diabetic retinopathy-biomolecules and multiple pathophysiology.
Diab Met Syndr: Clin Res Rev: 2014.
21. Lechner J, O’Leary OE, Stitt AW. The pathology associated with diabetic
retinopathy. Vision Research. 2017; 139: 7–14.
22. Bowling. Kanskis's Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. Ed
8.Sydney: Elsevier;2016.
23. Proliferative diabetic rhetinopaty.;2016 . Available at
http://www.retinaeye.com/nonprodiabeticretinopathy.html. (diakses tanggal 5
Juli 2019)
24. Eva PR, Witcher JP. Vaughan & Asbury Ophtalmology Umum. Ed 17.
Jakarta:EGC;2007.
25. Chakraborty, Harper, Keeffe JE. Diabetic Retinopathy Management
Guidelines. Expert Rev. Ophtalmol. 2012; 7(5):417-39.
26. Andi. Retinopati Diabetik Penyebab Utama Kebutaan. Artikel Kesehatan. e-
Health Kompas. 2008.
27. Advances in the Treatment of Diabetic Retinopathy: Paradigm shifts in patient
care and education;2016. Available at
www.nei.nih.gov/health/diabetic/retinopathy. ( diakses tanggal 5 Juli 2019).

28

Anda mungkin juga menyukai