Anda di halaman 1dari 28

Bedside Teaching

RETINOBLASTOMA

Oleh:

Adisty Chandra 1940312141

Miftahul Jannah 1940312120

Oryza Sativa A. M. 1940312116

Winda Yulistiawati 1940312092

Preseptor:

dr, Weni Helvinda, Sp. M(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya serta kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis
bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Retinoblastoma”. Shalawat dan
salam untuk junjungan mulia Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti


kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP. Dr. M. Djamil
Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Penulis menyadari bahawa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari itu
sangat diperlukan saran dan kritik untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 24 Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Anatomi Retina 3
2.2 Fisiologi Retina 5
2.3 Retinoblastoma 5
2.3.1 Definisi 5
2.3.2 Epidemiologi 6
2.3.3 Etiologi 6
2.3.4 Klasifikasi 6
2.3.5 Patofisiologi 8
2.3.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis 10
2.3.7 Diagnosis Banding 12
2.3.8 Tatalaksana 13
2.3.9 Komplikasi 17
2.3.10 Prognosis 17
BAB 3 LAPORAN KASUS 18
DAFTAR PUSTAKA 24

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Retinoblastoma merupakan salah satu jenis tumor yang dapat ditemukan
pada semua usia, umumnya ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia dibawah
2 tahun. Sekitar 95% kasus retinoblastoma pada umumnya terdiagnosis sebelum
pasien berusia 5 tahun. Prognosis yang lebih buruk ditemukan pada retinoblastoma
yang muncul diatas usia 5 tahun.
Insidensi retinoblastoma diperkirakan sekitar 1 kasus per 18.000-30.000
kelahiran hidup. Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat 250 hingga 500 kasus
baru retinoblastoma setiap tahunnya. Tingkat kelangsungan hidup penderita
retinoblastoma berkisar antara 86-92%. Menurut laporan Miranda dan Simanjuntak
(2017) di RS Adam Malik Medan, terdapat 129 kasus baru retinoblastoma pada
tahun 2011-2016, dengan 53,8% didiagnosis pada usia 3-5 tahun. Di Jawa Timur,
Soebagjo et al., (2013) melaporkan 44 penderita retinoblastoma di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya dari tahun 2010-2012.

Retinoblastoma dapat bersifat herediter maupun non herediter.


Retinoblastoma dikatakan herediter apabila terdapat riwayat retinoblastoma dalam
keluarga, maupun tidak terdapat riwayat keluarga namun sebenarnya telah
membawa mutasi gen yang yang diturunkan pada saat konsepsi. Retinoblastoma
herediter cenderung muncul pada usia yang lebih dini, dan biasanya merupakan
retinoblastoma bilateral. Anak-anak dengan retinoblastoma herediter dianjurkan
untuk menjalani skrining MRI atau CT Scan kepala setiap 6 bulan setelah diagnosis
hingga usia 5 tahun.

Retinoblastoma dapat bermanifestasi unilateral maupun bilateral.


Retinoblastoma dapat memunculkan manifestasi klinis berupa adanya gambaran
bintik putih pada mata (Leukokoria), yang pada umumnya ditemukan pada 60%
penderita. Selain itu, dapat pula ditemukan strabismus, proptosis, ataupun uveitis,
endoftalmitis, glaucoma, panoftalmitis, selulitis orbita, dan hifema.

1
Sekitar 90% kasus retinoblastoma yang terbatas pada mata (intraocular)
dapat disembuhkan. Tujuan utama terapi retinoblastoma adalah untuk
menyelamatkan nyawa penderita. Upaya untuk mempertahankan bola mata,
menghindari kebutaan, dan seluruh efek samping yang dapat menurunkan kualitas
hidup merupakan tantangan terbesar dalam pengobatan retinoblastoma.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang retinoblastoma meliputi definisi,
epidemiologi, factor resiko, klasifikasi, patofisiologi dan patogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi dan prognosis.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
retinoblastoma meliputi definisi, epidemiologi, factor resiko, klasifikasi,
patofisiologi dan pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
tatalaksana, komplikasi, dan prognosis.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan
merujuk kepada beberapa literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Retina
Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima
rangsangan cahaya.6 Retina merupakan suatu struktur yang terdiri dari lembaran
jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi dua pertiga
bagian dalam dinding posterior bola mata.7 Retina membentang ke anterior hampir
sejauh korpus siliaris dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata.
Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina
sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid, dan sklera. Lapisan-
lapisan epitel pada permukaan dalam korpus siliaris dan permukaan posterior iris
merupakan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan dalam
retina berhadapan dengan vitreus.7 Pada potongan melintang, dari luar ke dalam,
lapisannya adalah :
a. Epitel pigmen retina
b. Lapisan fotoreseptor , terdiri atas sel batang dan sel kerucut
c. Membran limitans eksterna yang merupakan membrane ilusi
d. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut
dan batang.
e. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal
f. Lapis inti dalam, merupakan badan sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller.
g. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps sel
bipolar, sel amakrin, dan sel ganglion.
h. Lapisan sel ganglion
i. Lapisan serabut saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju nervus optikus
j. Membran limitans interna.

3
Gambar 2.1 Lapisan-lapisan retina7
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm,
yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang
pembuluh darah retina temporal. Daerah ini juga disebut dengan area sentralis, yang
secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya
lebih dari satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah
berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning, yaitu xantofil. Fovea
merupakan zona avaskular retina yang berdiameter 1,5 mm. Foveola merupakan
bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya mengandung fotoreseptor
kerucut.7
Retina menerima darah dari 2 sumber yaitu koriokapilaris yang berada tepat
di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina.
Sumber kedua yaitu cabang-cabang arteri sentralis retina, yang mendarahi dua per
tiga dalam retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan
terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki jika retina mengalami ablasi.7

4
2.2 Fisiologi Retina
Sel batang dan kerucut merupakan unsur reseptif retina yang mengubah
energi fisik menjadi impuls saraf. Transformasi energi cahaya tergantung pigmen
visual yang terkandung dalam sel batang ataupun kerucut. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls
saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan
oksipital.8
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut
meningkat di pusat makula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan
sel batang lebih tinggi di perifer. Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman
penglihatan) dan penglihatan warna yang baik, keduanya memerlukan pencahayaan
ruang yang terang (penglihatan fotopik) dan paling baik di foveola. Sementara
retina sisanya terutama digunakan untuk penglihatan gerak, kontras, dan
penglihatan malam (skotopik).8
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik
yang avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mengawali proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rhodopsin, suatu pigmen penglihatan yang fotosensitif dan terbenam di dalam
diskus bermembran ganda pada fotoreseptor segmen luar. Saat rhodopsin menyerap
foton cahaya, 11-cis-retinal akan mengalami isomerisasi menjadi all-trans-retinal
dan akhirnya menjadi all-trans-retinol. Perubahan bentuk tersebut akan
mencetuskan terjadinya kaskade penghantar kedua.8

2.3 Retinoblastoma
2.3.1 Definisi
Retinoblastoma adalah keganasan intraokuler primer yang paling sering
ditemukan pada masa kanak-kanak. Retinoblastoma merupakan keganasan yang
terjadi pada sel retinoblas imatur pada masa perkembangan retina. Diduga
penyebab retinoblastoma yaitu adanya mutasi pada gen RB1, yang mana gen ini
berperan sebagai gen supresor tumor. Retinoblastoma memiliki kecenderungan
yang kuat untuk terjadi invasi ke otak melalui nervus optikus dan metastasis ke

5
tempat lainnya. Anak dengan retinoblastoma yang tidak tertangani dapat
meninggal dunia dalam waktu 2-4 tahun setelah munculnya gejala.1,2,3,4

2.3.2 Epidemiologi
Retinoblastoma terjadi pada 1 dari tiap 14.000-20.000 kelahiran hidup.
Insidens ini nampaknya serupa di berbagai negara, namun sumber lain mengatakan
bahwa retinoblastoma tampak lebih banyak terjadi di Negara-negara berkembang
khususnya di Afrika, India dan Amerika Utara. Retinoblastoma merupakan 3% dari
seluruh kasus keganasan yang tejadi pada anak. Retinoblastoma mengenai anak
pada usia yang sangat muda, 2 per 3 kasus terdiagnosis pada usia kurang dari 2
tahun, dan lebih dari 95% kasus pada usia kurang dari 5 tahun. Retinoblastoma
dapat mengenai laki-laki maupun perempuan sama rata dan belum ada bukti
mengenai predileksi ras tau etnis.2,5
Berdasarkan ada tidaknya faktor herediter, angka kejadian retinoblastoma
bilateral atau multifocal herediter sebesar 25% kasus, pada tipe unilateral atau
unifokal herediter sebesar 75% kasus. Meskipun demikian kejadian retinoblastoma
90% nya merupakan kasus non herediter atau sporadic. Sedangkan berdasarkan
lokasinya, retinoblastoma unilateral didapati sebanyak 60-70%, dan retinoblastoma
bilateral sisanya.2,5

2.3.3 Etiologi
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi pada gen Rb1 yaitu gen yang
berfungsi menekan perkembangan retinoblastoma sendiri. Kedua salinan gen Rb1
ini harus bermutasi supaya dapat terbentuk tumor. Gen Rb1 berlokasi pada lengan
panjang kromosom 13 lokus 14(13q14). Rb1 yang cacat ini dapat diwariskan dari
salah satu orang tua, biasanya mengenai kedua mata dan cenderung berkembang
pada usia yang muda. Namun pada beberapa kasus lain mutasi baru terjadi pada
tahap awal perkembangan janin berupa kesalahan anak pada tahap awal
perkembangan janin berupa kesalahan pada proses penyalinan ketika sel
membelah.9

2.3.4 Klasifikasi
Klasifikasi Reese-Ellsworth adalah metode penggolongan retinoblastoma
intraokular yang paling sering digunakan, tetapi klasifikasi ini tidak

6
menggolongkan Retinoblastoma ekstraokular. Klasifikasi diambil dari perhitungan
jumlah, ukuran, lokasi tumor dan ada tidaknya vitreous seeding.

Tabel 2.1 Klasifikasi Reese-Ellsworth Retinoblastoma

Selain klasifikasi diatas, juga dapat dipakai sistem klasifikasi internasional


untuk menilai respon tumor terhadap kemoterapi,

Tabel 2.2 Klasifikasi Sistem Internasional untuk Menilai Respon terhadap Kemoterapi

7
2.3.5 Patofisiologi
Awalnya retinoblastoma dianggap sel glia sehingga disebut pseudoglia dan
saat ini diterima bahwa tumor ini berasal dari sel neuroblastik pada lapisan inti
retina. Penelitian imunohistokimia membuktikan bahwa retinoblastoma berasal dari
keganasan sel kerucut, diperlihatkan oleh hasil positif tumor untuk neuron spesifik
enulase, rod spesifik antigen S-fotoreseptor segmen luar dan rodopsin. Sel tumor
mensekresikan substansi ekstrasel yang disebut retinoid interfotoreseptor binding
protein yang normalnya merupakan produk dari fotoreseptor.1
Gen retinoblastoma normal, yang biasa terdapat pada semua orang
merupakan suatu gen supresor tumor atau anti-onkogen. Individu dengan penyakit
herediter memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya. Apabila alel
pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan maka
terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit non-herediter, kedua alel gen
retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh suatu
mutasi spontan. Penyebab dari mutasi gen ini tidak diketahui dengan pasti hingga
saat ini. Diduga adanya Human Papilloma Virus dalam jaringan retina yang sedang
tumbuh dapat meyebabkan mutasi yang meningkatkan resiko terjadinya
retinoblastoma dan juga terdapat dugaan bahwa prosedur bayi tabung dapat
meningkatkan resiko terjadinya retinoblastoma pada calon bayi.9
Khas gambaran histopatologis retinoblastoma yang biasanya dijumpai
adanya Flexner-Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes yang jarang.
Keduanya dijumpai pada derajat terbatas pada diferensiasi sel retina. Homer-Wright
rosettes juga sering dijumpai tapi kurang spesifik untuk retinoblastoma karena
sering juga dijumpai pada tumor neuroblastik lain. Kalsifikasi luas biasa dijumpai.
Tumor terdiri dari sel basophilic kecil (retinoblas) dengan nukleus hiperkromotik
besar dan sedikit sitoplasma. Kebanyakan retinoblastoma tidak dapat dibedakan
tapi bermacam-macam derajat diferensiasi retinoblastoma ditandai oleh
pembentukan Rosettes, yang terdiri dari 3 tipe :7
• Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen central yang
dikelilingi oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen.

8
Gambar 2.2 Flexner – winsteiner rosettes
• Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan sel
terbentuk mengelilingi masa proses eosinofilik.
• Flerettes adalah fokus sel tumor yang menunjukkan differensiasi
fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan sitoplasma dan
tampak menyerupai karangan bunga.10

Retinoblastoma menunjukkan berbagai macam pola pertumbuhan, yaitu:3


1. Pertumbuhan endofilik
Pertumbuhan endofilik terjadi saat tumor menembus internal limiting
membrane kearah corpus vitreus dan memiliki gambaran massa berwarna
putih sampai krem, yang menunjukkan tidak adanya pembuluh darah
superfisial atau pembuluh darah tumor irregular yang kecil. Pola
pertumbuhan ini biasanya berhubungan dengan vitreous seeding yaitu
fragmen kecil dari jaringan menjadi terpisah dari tumor utama. Pada beberapa
keadaan, vitreous seeding dapat meluas menyebabkan sel tumor terlihat
sebagai massa-massa sphenoid yang mengapung pada vitreous. Dari korpus
vitreous tumor dapat menginfiltrasi serabut nervus optikus, koroid dan sklera.
2. Pertumbuhan eksofilik
Pertumbuhan eksofilik terjadi pada celah subretinal. Pola
pertumbuhan ini biasanya berhubungan dengan akumulasi cairan subretinal
dan terjadi sobekan pada retina. Sel tumor dapat menginfiltrasi melalui
membran Bruch ke koroid dan kemudian menginvasi nervus siliaris.
Pertumbuhan tumor juga dapat keluar dari rongga orbita.
3. Pertumbuhan infiltrasi difus

9
Jenis pertumbuhan ini merupakan jenis pertumbuhan yang jarang
dimana hanya 1,5% dari seluruh pola pertumbuhan retinoblastoma.
Pertumbuhan ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi datar pada retina oleh sel
tumor tanpa massa tumor yang tampak jelas.
Jika letak tumor di makula maka dapat terlihat gejala awal strabismus. Massa
tumor yang semakin membesar akan memperlihatkan gejala leukokoria, tanda-
tanda peradangan vitreus yang menyerupai endoftalmitis. Jika sel-sel tumor terlepas
dan masuk ke segmen anterior mata, akan menyebabkan glaukoma atau tanda
peradangan berupa hipopion atau hifema. Pertumbuhan tumor ini dapat
menyebabkan metastasis dengan invasi tumor melalui; nervus optikus ke otak,
sclera ke jaringan orbita dan sinus paranasal dan metastasis jauh kesumsum tulang
melalui pembuluh darah. Pada fundus terlihat bercak kuning mengkilat, dapat
menonjol ke badan kaca. Di permukaan terdapat neovaskularisasi dan perdarahan.
Warna iris tidak normal. Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar limfe
preaurikuler dan submandibula serta secara hematogen ke sumsum tulang dan
visera, terutama hati.6

2.3.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Penegakan diagnosis retinoblastoma didasarkan pada temuan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis retinoblastoma ditentukan oleh ukuran,
lokasi tumor, dan ada tidaknya invasi ekstraokular dan metastasis jauh. Manifestasi
klinis paling sering ditemukan leukokoria (white pupillary reflex) yang
digambarkan sebagai mata yang bercahaya, berkilat, atau cat’s-eye appearance,
strabismus dan inflamasi okular. Gejala ini muncul setelah tumor menginvasi lensa,
melalui pupil tumor tampak berwarna putih kuning. Strabismus adalah gejala klinis
lain yang sering ditemukan, karena otot okular terkena, atau tumor menginvasi
makula sehingga visus terganggu, dapat berupa esotropia ataupun eksotropia.
Penurunan visus terutama karena tumor menginvasi retina. ketika tumor bertambah
besar dan menyumbat angulus kamera okuli anterior, dapat timbul glaukoma,
oftalmalgia dan sefalgia. Bila tumor menginvasi keluar bola mata sampai ke orbita

10
maka bola mata bengkak merah terfikasi, kelenjar limfe periaurikular dan leher
dapat membesar.1,11

Gambar 2.3 Manifestasi klinis retinoblastoma (Sumber: Jogi R, 2009)

Tabel 2.3 Manifestasi Klinis Retinoblastoma

Usia < 5 tahun Usia > 5 tahun


• Leukokoria(54-62%)
• Strabismus (18%-22%)
• Inflamasi
Hypopion
• Hyphema

• Leukokoria (35%)
• Heterochromia

• Penurunan visus (35%)
• Spontaneous globe perforation
• Strabismus (15%)
• Proptosis

• Floater (4%)
• Katarak

• Pain (4%)
• Glaucoma

• Nistagmus

• Tearing

• Anisocoroa
Sumber: American Academy of Ophthalmology, 2007
Untuk mengkonfirmasi temuan klinis, berbagai pemeriksaan dilakukan
dalam keadaan anestesi dengan pupil dilatasi maksimal. Pemeriksaan dengan
oftalmoskopi indirek dan penekanan sklera adalah pemeriksaan yang sangat penting
untuk diagnosis. Ultrasonografi (USG) membantu untuk membuat diagnosis
banding leukocoria pada anak. USG dapat menentukan ketebalan atau tinggi dari

11
tumor. Namun USG tidak lebih sensitif daripada CT scan.12,13
Evaluasi nervus optikus, orbital, keterlibatan sistem saraf pusat dan
kalsifikasi intraokular dapat dilakukan dengan menggunakan CT scan dan MRI.
MRI adalah modalitas yang sangat sensitif untuk tumor ekstraokuler. Apabila ada
bukti penyebaran ekstraokuler, maka dianjurkan untuk pemeriksaan sitologi dengan
cara aspirasi, biopsi sumsum tulang, dan punksi lumbal. Diagnosis retinoblastoma
jarang menggunakan biopsi. Pemeriksaan dokter berdasarkan gejala klinis dan
pencitraan adalah dua modalitas utama penegakan diagnosis retinoblastoma.12,13

Gambar 2.4 Gambaran USG retinoblastoma Sumber: (Correa, 2016)

Gambar 2.5 Pemeriksaan CT scan pada retinoblastoma Sumber: (Correa, 2016)

2.3.7 Diagnosis Banding


Retinoblastoma adalah diagnosis yang paling penting jika terdapat
leukokoria pada anak. Namun, hilangnya refleks fundus ini juga dapat disebabkan
oleh, hal lain seperti katarak, penyakit Coats, persistent fetal vasculature (PFV),
retinopati prematur, ablasi retina, toxocariasis, koloboma koroid, perdarahan
vitreous, mielinisasi serat saraf retina, dan tumor retina lainnya, seperti hamartoma
astrocytic. Selain itu kekeruhan kornea juga dapat menghasilkan refleks putih,
tetapi hal ini dapat dengan mudah dibedakan dari leukocoria pada pemeriksaan
klinis.14
Toxocariasis dapat menyebabkan retina putih, perifer dengan tampilan yang

12
mirip dengan retinoblastoma. Toxocariasis biasanya unilateral, dan jika akut, dapat
dikaitkan dengan tanda-tanda peradangan. Riwayat demam, eosinofilia,
pneumonitis, atau hepatosplenomegali sangat sugestif untuk manifestasi sistemik
larva migrans perifer. Serum titer positif bagi Toxocara canis akan lebih
mendukung diagnosis.14
PFV adalah penyakit kongenital, dan leukocoria terlihat pada masa awal
kehidupan, bahkan pada saat lahir. Biasanya bersifat unilateral, dan mata cenderung
microphthalmic. Katarak sering menyertai penyakit ini.. USG bisa membantu
membedakan PFV dari retinoblastoma.14
Eksudat pada penyakit Coats lebih kuning karena adanya eksudasi lipid.
Penyakit Coats biasanya unilateral dan dominan pada anak laki-laki antara 6 dan 8
tahun yang mana merupakan usia yang lebih tua dari pasien retinoblastoma.14
B-scan ultrasonografi dapat membantu dalam membedakan retinoblastoma
dari kondisi-kondisi ini. Adanya kalsifikasi intralesi difus yang berhubungan
dengan massa membantu diagnosis retinoblastoma. Massa retrolental yang tidak
terkalsifikasi dan aksial yang pendek dibandingkan mata kontralateral membantu
menegakkan diagnosis PFV. Fluorescein angiography (FA) dapat membantu untuk
membedakan antara retinoblastoma dan penyakit Coats.14

2.3.8 Tatalaksana
Regresi spontan dari retinoblastoma dapat terjadi, namun sangat jarang.
Tatalaksana retinoblastoma bertujuan untuk mempertahankan kehidupan,
mempertahankan bola mata dan mempertahankan penglihatan. Penanganan
retinoblastoma bergantung pada besarnya tumor, bilateral, perluasan ke jaringan
ekstra okular dan adanya tanda-tanda metastasis jauh. Jenis-jenis terapi pada
retinoblastoma adalah :15
1. Fotokoagulasi laser
Fotokoagulasi digunakan sebagai terapi primer pada tumor kecil yang
terletak di posterior. Fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma
stadium sangat dini. Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh
darah yang menuju ke tumor akan tertutup sehingga sel tumor akan menjadi mati.
Laser yang paling sering digunakan adalah argon atau xenon.15

13
2. Krioterapi
Krioterapi dapat digunakan untuk tumor yang diameternya 3,5 mm dengan
ketebalan 3 mm, tanpa adanya vitreous seeding dan terletak di anterior. Krioterapi
dapat digabung dengan fotokoagulasi laser. Krioterapi dilakukan secara transklera,
pembekuan dilakukan sampai semua badan tumor membentuk jaringan es. Siklus
refreeze-thaw diulang 3-4 kali.15
3. Termoterapi
Panas yang ekstrim ditargetkan untuk membunuh sel kanker.15
4. Enukleasi bulbi
Enukleasi merupakan terapi definitif untuk retinoblastoma unilateral pada
pasien yang belum meluas ke ekstraokular.1 Enukleasi dilakukan apabila tumor
sudah memenuhi segmen posterior bola mata dan visus sudah sangat menurun.
Enukleasi dilakukan untuk mencegah perluasan tumor ke jaringan sekitar. Setelah
mengangkat bola mata, dapat di pasang implan mata artifisial pada rongga orbita.
Otot ekstraokular akan dilekatkan pada implan mata, sehingga otot mata dapat
menggerakan implan mata seperti halnya dengan mata normal. Implan mata tidak
dapat melihat, namun dapat bergerak dan terlihat layaknya seperti mata yang
normal.15
5. Kemoterapi
Kemoterapi adalah obat-obatan yang diberikan yang akan ditransportasikan
oleh darah ke seluruh tubuh untuk membunuh sel kanker. Kemoterapi biasanya
digunakan bersama dengan terapi konsolidatif fokal. Prinsip pentalaksanaan ini
disebut sebagai kemoreduksi karena tujuannya adalah untuk mengecilkan ukuran
tumor, sehingga selanjutnya dapat dilakukan terapi konsolidatif fokal atau terapi
lain untuk mengatasi sel kanker yang tersisa. Pengecilkan ukuran tumor akan
meningkatkan angka kesuksesan terapi konsolidatif fokal. Terapi konsolidatif fokal
bersifat dekstruksi terhadap sel tumor secara langsung ataupun dengan
menghancurkan barier pembuluh darah okular sehingga akan meningkatkan
penetrasi obat kemoterapi ke dalam bola mata.1 Kemoterapi juga dapat digunakan
untuk menatalaksana kanker yang sudah menginvasi keluar dari bola mata.
Indikasinya adalah pada tumor yang sudah dilakukan enukleasi bulbi yang pada
pemeriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada khoroid dan atau mengenai

14
nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada pasien yang sudah dilakukan
eksenterasi dan dengan metastase regional atau metastase jauh.15
Pada pasien dengan retinoblastoma bilateral yang lanjut, sisi mata yang
kelainannya lebih berat diterapi dengan enukleasi bulbi, sedangkan sisi mata yang
lebih ringan diterapi dengan kemoreduksi dengan atau tanpa EBR.15
Retinoblastoma study group menganjurkan penggunaan carboplastin,
vincristine sulfate, dan etopozide phospate. Teknik lain yang dapat digabungkan
dengan metode kemoterapi ini adalah :15
a. Kemotermoterapi
Dimana setelah dilakukan kemoreduksi dilanjutkan dengan termoterapi.
Cara ini paling baik untuk tumor-tumor yang berada pada fovea dan nervus optikus
dimana dilakukan radiasi atau fotokoagulasi laser
b. Kemoradioterapi
Dimana kombinasi antara kemoterapi dan radioterapi yang dapat
dipergunakan untuk tumor-tumor lokal dan sistemik.

6. Eksternal beam radioterapi (EBR)


Radioterapi adalah terapi elektif lokal untuk retinoblastoma karena tumor
ini bersifat radiosensitif. Keberhasilan EBRT bergantung pada ukuran tumor, teknik
terapi dan lokasi tumor. Hasil terapi bisa dilihat dengan oftalmoskopi. Cryoterapi
atau fotokoagulasi bisa dilakukan setelah radiasi apabila terdapat rekurensi.15
EBR menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker. Dosis yang
diberikan adalah 4000-45000 cGy dengan 200 cGy fraksi. EBR dapat menyebabkan
efek samping seperti katarak, chronic dry eye, keratopati, perdarahan vitreous,
retinopati radiasi, neuropati radiasi optik, hipoplasia fasial. EBR juga dapat
meningkatkan resiko terhadap tumor sekunder. Resiko tumor sekunder meningkat
sebanyak tiga kali lipat oleh EBR. Karena efek samping ini, maka EBR mulai
diganti dengan kemoterapi sebagai tatalaksana utama terhadap retinoblastoma.
EBR masih dapat digunakan pada kasus tertentu sebagai tindakan penyelamatan
setelah kegagalan terhadap kemoterapi reduksi sistemik dan sebagai tatalaksana
dari retinoblastoma ekstraokular.1

15
Retinoblastoma di tatalaksana sesuai dengan klasifikasinya yaitu klasifikasi
Reese-Ellsworth dan klasifikaai retinoblastoma internasional, yang dapat dilihat
sesuai gambar dibawah.

Retinoblastoma Retinoblastoma
ekstraokular
intraokular

1. N.optikus, atau
Less advanced Advanced koroid

-RE : I, II, III -RE : IV, V 2. Orbital

-ICRB : A, B, C -ICRB : D, E 3. Sistem saraf pusat

Laser, transpupillary Multimodal therapy


termoterapi, Enukleasi
krioterapi, bulbi
kemoreduksi, eksternal Kemoterapi sistemik
intensif, EBR, surgical
debulking, transplant
sumsum tulang

Gambar 2.6 Tatalaksana retinoblastoma berdasarkan klasifikasinya17


Sebelum berkembang pesatnya kemajuan kemoterapi, retinoblastoma
ekstraokular bersifat fatal. Retinoblastoma yang terbatas pada rongga orbita, hanya
memiliki 10% angka survival, sedangkan semua pasien retinoblastoma yang telah
bermetastasis jauh tidak akan mampu bertahan hidup lama. Akan tetapi, setelah
semakin maju kemoterapi, prognosis retinoblastoma ekstraokular semakin
membaik. Retinoblastoma yang terbatas para rongga orbita, dapat ditatalaksana
dengan kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan sel tumor, yang selanjutnya
diikuti dengan surgical debulking dan kemoterapi post operasi dan radiasi jika
diperlukan. Retunoblastoma yang telah bermetastasis, terutama pada sistem saraf
pusat, penatalaksaan agresif dengan kemoterapi dosis tinggi (high dose
chemoteraphy/HDC) dan autologous stem cell rescue (ASCR) direkomendasikan.1

16
2.3.9 Komplikasi
Pasien dengan retinoblastoma membutuhkan tindak lanjut jangka panjang
karena pasien tersebut memiliki resiko keganasan sekunder di seluruh tubuh seumur
hidup. Tumor sekunder yang paling umum adalah osteosarcoma. Tumor lainnya
adalah PNETs, fibrosarcoma, dan melanoma. Pasien yang telah diobati dengan
radiasi berada pada resiko tinggi untuk tumor sekunder.16

2.3.10 Prognosis
Dengan modalitas kemoterapi saat ini termasuk intravena, intra-arteri, dan
kemoterapi intravitreal, tingkat kesembuhan pasien lebih dari 95%. Prognosis
visual tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Prognosis retinoblastoma baik jika
dilakukan terapi yang tepat. Angka kesembuhannya hampir 90% jika nervus
optikus tidak terlibat dan enukleasi dilakukan sebelum tumor melewati lamina
kribosa. Angka ketahanan hidup jadi 60% jika tumor meluas melewati lamina
kribosa. Kematian terjadi kerana perluasan intrakranial.1

17
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama :T

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 1 tahun 11 bulan

Pekerjaan :-

Alamat : Payakumbuh

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Pasien mengeluhkan mata kiri semakin menonjol sejak 15 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang

⚫ Keluhan diawali mata yang memerah sejak 6 bulan yang lalu. Leih kurang 1
1/2 bulan sebelum pasien masuk rumah sakit, terdapat warna bagian hitam mata
yang memudar.

⚫ Menurut orang tua pasien, pasien tidak mengetahui apakah ada benda asing
bulan yang lalu pasien terjatuh dan dahi kiri pasien terbentur, tidak mengenai
mata.

⚫ Penonjolan mata kiri mulai terjadi 15 hari ini, pada hari ke-6 mata kiri pasin
dipatuk ayam hingga berdarah.

⚫ Pasien memiliki mata merah, berair, dan ada kotoran mata sebelum mengalami
pembengkakan. Pasien rewel jika melihat cahaya silau.

⚫ Ibu mengandung pasien di usia 21 tahun, anak pertama, G1P1A0H1, kontrol


ruti ke dokter kandungan.

18
⚫ Pasien dilahirkan cukup bulan, BB 3,1 kg, PB 50cm, dibantu oleh bidan secara
normal.

Rwayat Penyakit Dahulu

⚫ Riwayat Trauma mata tidak ada

⚫ Riwayat infeksi mata tidak ada

⚫ Riwayat operasi mata tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

⚫ Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien

⚫ Tidak ada keluarga dengan penyakit tumor tau kanker

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Komposmentis

Keadaan umum : sakit berat

Tekanan darah : dalam batas normal

Nadi : 86x

Suhu : afebris

Pernafasan : 20x

Tinggi badan : (tidak dilakukan pengukuran)

Berat badan : (tidak dilakukan pengukuran)

Keadaan gizi : baik

Sianosis : tidak ada

Edema : tidak ada

Anemis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

19
Pemeriksaan Umum

Kulit : dalam batas normal

KGB : tidak terdapat pembesaran KGB

Kepala : tidak ada kelainan

Rambut : tidak ada kelainan

Mata : status oftalmikus

THT : tidak ada kelainan

Gigi dan mulut : tidak ada kelainan

Leher : tidak ada kelainan

3.4 Pemeriksaan Oftalmologi

STATUS OD OS
OFTALMIKUS

Visus tanpa koreksi (tidak diakuakn (tidak diakuakn


pengukuraan) pengukuraan)

Visus dengan Koreksi (tidak diakuakn (tidak diakuakn


pengukuraan) pengukuraan)

Reflek Fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Silia/Supersilia Trikiasis (-), Madarosis Trikiasis (-), Madarosis


(-) (-)

diskiasis (-), krusta (-) diskiasis (-), krusta (-)

Palpebra Superior Edema (-) Retraksi (+)

Palpebra Inferior Edema (-) Retraksi (+)

Margo Palpebra Entropion (-), Extropion Sulit dinilai


(-)

20
Sekret (-) Krusta (-)

Aparat Lakrimal Normal Normal

Konj. Tarsalis Hiperemis(-) Papil (-)

folikel(-)

Konj. Fornik Hiperemis(-) Papil (-)

folikel(-)

Konj.Bulbi Injeksi siliar (-)

Injeksi konjungtiva (-) Tampak massa


berukuran 30x30x20
Sklera Putih, intak
mm, pendarahan (-), pus
Kornea Bening (+), jaringan nekrotik

COA Cukup dalam, flare (-) (+), terfiksir, kenyal,


permukaan datar
Iris Coklat, rouge (+)

Pupil Bulat, Refleks pupil


(+/+), diameter 3 mm

Korpus Vitreum (tidak dilakukan


pemeriksaan)

Fundus (tidak dilakukan (tidak dilakukan


pemeriksaan) pemeriksaan)

- Media Tidak dilakukan Tidak dilakukan

- Papil Optik Tidak dilakukan Tidak dilakukan

- Retia Tidak dilakukan Tidak dilakukan

- AA/VV Tidak dilakukan Tidak dilakukan

- Makula Tidak dilakukan Tidak dilakukan

21
TIO (tidak dilakukan (tidak dilakukan
pemeriksaan) pemeriksaan)

Posisi Bola mata Ortho (tidak dilakukan


pemeriksaan)

Gerak Bola Mata Bergerak bebas (tidak dilakukan


pemeriksaan)

Posisi Bulbus Okuli Dalam batas normal (tidak dilakukan


pemeriksaan)

3.5 Diagnosis

Diagnosa Kerja

Suspect Retinoblastoma OS

Diagnosis Banding

Tidak ada diagnosis banding

22
3.6 Terapi

Anjuran Terapi

- Cendoxytrol eye oint 3x1

- Vitamin B Complex 1x1

- Vitamin C 1x1

- Rencana Operasi

- Konsul Sp.A dan spAn untuk plan operasi

Anjuran pada Pasien

Tidak mengucek mata

Hindari yang dapat menyebabkan trauma pada mata (ayam)

23
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophtalmology. 2014. Ophtalmic patology and intraocular


tumors. San Francisco: American Academy of Ophtalmology.
2. Yanoff M, Dukker JS. Ophtalmology. 3rd Edition. 2008. China: Mosby Elsevier, 2008.
3. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology. 17th
Edition. 2008. USA: McGraw Hill, 2008.
4. Dimaras H,Kimani K, Dimba EAO, Gronsdahl P, White A, Chan HSL, et al.
Retinoblastoma. Lancet. 2012 March 12; 379: 1436-46.
5. Rodriguez-Galindo, Orbach DB, VanderVeen D. Retinoblastoma. Pediatr Clin N Am.
2015; 62: 201-203.
6. Ilyas S. 2007. Anatomi dan Fisiologi Mata. In: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 1-13
7. Jordan-Eva, Paul. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata. In: Riordan-Eva, P.,
John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit
EGC. 7-14.
8. Fletcher EC, Shetlar DJ, Chong P.. 2010. Retina. In: Riordan-Eva, P., John P.
Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit EGC. 185.
9. Augsburger, James, Taylor Asbury. 2010. Aspek Genetik Penyakit Mata. In:
Riordan-Eva, P., John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit EGC. 369-370.
10. Galindo CR, Mathew WW, Guillermo C, Ligia F, Ibrahim Q, Celia A, Carlos L
et al. 2010. Retinoblastoma: One World, One Vision. Pediatrics: 122(3): e763-
70
11. Herzog, Cynthia E. 2004. Retinoblastoma. In: Behrman, Richard E, Robert
Kliegman,Hall B, Jenson. Nelson Textbook of Pediatric. Philadelphia: WB
Saunders
12. Sutaryo, Hagung P. Retinoblastoma. Dalam: Buku Ajar Hematologi Onkologi
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2005. Hlm 302-309.
13. Gumpala MC, Barrios PC, Paysse EA, Plon SE, Hurwitz R. Retinoblastoma:
Review of Current Management. The Oncologist 2007; 12:1237-1246.

24
14. Correa ZM, Berry JL. Retinoblastoma. 2016 (diunduh 13 Desember 2017).
Tersedia dari: URL:http:// www.aao.org/pediatric-center-detail/retinoblastoma-
2016.
15. American Academy of Ophtalmology. 2007. Ophtalmic patology and intraocular
tumors. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology
16. Correa ZM, Berry JL. Retinoblastoma. 2016 (diunduh 27 desember 2017).
Tersedia dari : URL : http://www.aao.org/pediatric-center-
detail/retinoblastoma-2016.
17. American Academy of Ophtalmology. 2013 (diakses 27 desember 2017). Tersedia dari
: URL : http://www.aao.org/topic-detail/retinoblastoma.

25

Anda mungkin juga menyukai