Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

DRY EYE DISEASE

Disusun oleh:

Mada Ilham Bawono


G4A020100

Pembimbing:
dr. Sutama, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUD CILACAP
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

“Dry Eye Disease”

Oleh:
Mada Ilham Bawono
G4A020100

Disusun dan diajukan sebagai salah satu tugas dan persyaratan


mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Telah diterima dan disahkan pada


Purwokerto, 23 Juni 2022

Pembimbing,

dr. Sutama, Sp.M

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................................2
2.1. UNIT FUNGSI LAKRIMALIS................................................................................2
2.2.1. Definisi........................................................................................................................4
2.2.2. Etiologi........................................................................................................................4
2.2.3. Faktor Risiko.............................................................................................................6
2.2.4. Patogenesis.................................................................................................................7
2.2.5. Diagnosa Banding......................................................................................................8
2.2.6. Anamnesis..................................................................................................................8
2.2.7. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................................9
2.2.8. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................10
2.2.9. Tatalaksana..............................................................................................................12
2.2.10. Komplikasi...............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit mata kering (Dry Eye Disease / DED) merupakan salah satu penyakit

mata yang sering ditemui dalam keseharian. Keluhan yang dirasakan seperti

fotopobia, mata lelah, gatal, terasa panas atau terbakar, iritasi, dan gangguan

penglihatan dapat mengganggu aktivitas hingga menurunkan kualitas hidup seseorang

karena sifatnya yang kronis dan membutuhkan terapi jangka panjang (Mun, 2018).

Tahun 2020, Asia Dry Eye Society (ADES) mengklasifikasikan DED menjadi

tiga, yaitu Defisiensi Aqueous, Peningkatan Evaporasi, dan Penurunan Keterbasahan

Kornea dan Konjungtiva. DED dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status hormonal,

genetik, ras Asia, status imun, nutrisi, patogen, dan stress akibat lingkungan. Seiring

dengan kemajuan teknologi informatika, DED menjadi masalah kesehatan yang

serius. Penggunaan komputer atau gadget akan berdampak pada turunnya refleks

berkedip yang kemudian menyebabkan peningkatan evaporasi pada mata (Farrand,

2017).

Adapun beberapa faktor risiko DED lainnya adalah Disfungsi Kelenjar

Meibom, Sindrom Sjogren, Defisiensi Hormon Androgen, Terapi Hormon Estrogen,

Penyakit Jaringan Ikat, Lingkungan, Pengguna Komputer dan Lensa Kontak, serta

Obat-Obatan.

Referat ini akan membahas lebih mengenai klasifikasi, diagnosis, dan

tatalaksana mata kering yang diharapkan dapat memudahkan klinisi dalam

menegakkan diagnosis dan pemberian terapi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. UNIT FUNGSI LAKRIMALIS


Unit Fungsional Lakrimal (LFU) terdiri dari kelenjar lakrimal, permukaan
mata yang terdiri dari kornea, konjungtiva, kelenjar meibom, serta saraf sensorik
dan motorik. LFU bertanggung jawab dalam regulasi, produksi, dan kesehatan
lapisan air mata. Secara terus menerus, air mata diisi ulang dengan cara
mengedipkan mata. Pada saat mata terbuka, lapisan air mata (aqueous) akan
berkurang akibat dari evaporasi serta aliran keluar melalui punctum dan duktus
nasolakrimal. Apabila mata mulai terasa kering dan terjadi dry spot pada kornea,
mata akan terasa perih, menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris dan terjadi
refleks mengedip sehingga lapisan air mata terbentuk lagi dan seterusnya.
Produksinya berkisar 1,2 µl per menit dengan volume total 6 µl. Tebal lapisan air
mata yang diukur dengan interferometri adalah 6,0 µm ± 2,4 µm pada mata
normal dan menurun menjadi 2,0µm ±1,5 µm pada pasien dry eye (Jones, 2017).

Gambar 2.1 Mekanisme Terbentuknya Lapisan Air Mata Saat Berkedip

Lapisan air mata berfungsi sebagai lubrikan, untuk menjaga ketajaman mata,
melindungi kornea, dan sel epitel konjungtiva. Selain itu, lapisan ini juga
berperan untuk melindungi permukaan mata dari iritan, alergen, temperatur,
patogen, dan polutan. Dalam lapisan air mata, terdapat antioksidan seperti
vitamin C, tisosin, dan glutation yang berfungsi meredam radikal bebas dan
membantu meminimalisir reaksi oksidasi. Selain komponen tersebut, komponen
lain seperti growth factors,

2
neuropeptida, dan penghambat protease juga berperan penting untuk merawat
kesehatan kornea dan menstimulasi penyembuhan luka. Lapisan ini memiliki
permukaan refraksi yang lembut diatas mikrovili pada epitel kornea. Jika terjadi
ketidakstabilan dan pengeringan lapisan air mata, maka mata akan mengalami
degradasi, fluktuasi, kehilangan kontras, dan timbul rasa ketidaknyamanan
(Craig, 2017).

Gambar 2.2 Komposisi Lapisan Air Mata

Lapisan paling luar merupakan lapisan lipid anterior sebagai perlindungan


terhadap penguapan. Lapisan tengah terdapat aqueous sebagai penyedia volume
terbanyak air mata. Dan lapisan musin menjadi berada di lapisan paling dalam
yang memberi perlindungan dan lubrikasi terhadap epitel kornea dan
konjungtiva. Adapun pendapat lain mengenai lapisan air mata terbagi menjadi
mucin atau aqueous glycocalyx gel yang meliputi semua volume air mata, dan
lapisan lipid di bagian eksternal yang disekresi oleh kelenjar meibom untuk
mencegah terjadinya penguapan dari lapisan aqueous, mempertahankan
ketebalan lapisan air mata, dan berperan sebagai surfaktan dalam penyebaran air
mata secara merata (Stapleton, 2017). Lapisan aqueous terdiri dari mucin atau
aqueous gel yang berfungsi sebagai suplai oksigen untuk epitel kornea,
komponen antimikroba (IgA, lisozim, lactoferrin), menghilangkan debris, iritan,
allergen, dan memfasilitasi leukosit setelah terjadi luka. 95% sekresi aqueous
berasal dari kelenjar lakrimalis dan sel goblet, lainnya disekresi oleh kelenjar
Krause dan Wolfring. Sekresi dapat bekurang dengan penggunaan topikal
anestesi dan ketika sedang tidur. Dan meningkat lima kali lipat ketika terdapat
luka pada permukaan mata (Messmer, 2015).
3
2.2. DRY EYE DISEASE
2.2.1. Definisi
Penyakit mata kering atau Dry eye disease (DED) merupakan suatu
penyakit yang disebabkan oleh multifactorial yang ditandai oleh hilangnya
homeostasis airmata dan ketidakstabilan lapisan air mata. DED memiliki
gejala utama seperti rasa kering, kasar, dan mengganjal pada mata. DED juga
dapat memiliki gejala tambahan seperti rasa nyeri, terbakar, gatal,
kemerahan, fotofobia, pengelihatan kabur, dan secret berfilamen. Gejala
DED akan memburuk pada lingkungan dengan kelembaban yang rendah atau
tempratur yang tinggi (Inoue, 2017)

2.2.2. Etiologi
Dry eye syndrome merupakan penyakit multifactorial yang berarti
terdapat banyak factor yang dapat menimbulkan DED akan tetapi Asia
Dry Eye Society (ADES) pada tahun 2017 menyatakan bahwa etiologi
utama DED adalah ketidakstabilan lapisan air dan mengklasifikasikan
DED menjadi 3 yaitu Aqueous Deficient Dry Eye (ADDE) dan
Evaporative Dry Eye (EDE), dan Decreased wettability dry eye (Casey &
Marina, 2021).
ADDE merupakan kondisi yang berkaitan dengan kegagalan
fungsi kelenjar lakrimal untuk menghasilkan komponen aqueous yang
adekuat sehingga terjadi kerusakan permukaan mata (kornea dan
konjungtiva). Penyakit mata kering tipe ini sering ditemui pada pasien
dengan Sindrom Sjogren, Graft Versus Host Disease (GVHD), Ocular
Cicatricial Pemphigoid (OCP), dan Sindrom Steven Johnson. Sementara
itu, EDE berkaitan dengan peningkatan evaporasi air mata yang sering
terjadi pada disfungsi kelenjar Meibom, blink-related, dan penggunaan
lensa kontak (Casey & Marina, 2021).

ADDE merupakan suatu kondisi dimana terjadi kegagalan fungsi


kelenjar lakrimalis untuk menghasilkan komponen aqueous yang cukup
sehingga terjadi kerusakan pada permukaan mata (kornea dan
konjungtiva), kelainan ini seringkali terjadi pada pasien dengan sindrom

4
Sjogren, Greaft Versus Host Disease (GVHD), Ocylar Cicatricial
pemphigoid (OCP), dan sindrom steven johnson (Casey & Marina, 2021).

EDE merupakan suatu kondisi dimana kekeringan mata


disebabkan oleh peningkatan evaporasi air mata yang sering terjadi pada
disfungsi kelenjar meibom, blink-related (lagoftalmus atau penggunaan
gadget), dan penggunaan lensa kontak (Casey & Marina, 2021).

Decreased wettability dry eye merupakan salah satu penyebab


ketidakstabilan lapisan air mata yang dapat menyebabkan mata kering,
ketidakstabilan ini dapat terjadi karena defisiensi membrane associated
mucin (Casey & Marina, 2021).

Gambar 2.3 Klasifikasi Dry Eye (Asia Dry Eye Society, 2020)

5
2.2.3. Faktor Risiko
Berdasarkan studi epidemiologi yang pernah dilakukan, wanita
memiliki kemungkinan lebih tinggi terkena sindrom mata kering dari
pada laki-laki, sejalan dengan penelitian Barabino yang menunjukkan
bahwa hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, fungsi kelenjar
meibom, dan densitas sekresi sel goblet. Krenzer dalam penelitiannya
menyebutkan defisiensi androgen kronik menyebabkan disfungsi kelenjar
meibom (kaido, 2018)
Selain jenis kelamin, ada faktor risiko lain berupa usia tua, terapi
estrogen, postmenopause, penggunaan komputer, penggunaan lensa
kontak, diet rendah asam lemak omega-3 dan omega-6, operasi refraktif,
riwayat trauma kimawi, kekurangan vitamin A, terapi radiasi, pengobatan
sistemik seperti beta blocker dan pengobatan antihistamin, serta bahan
pengawet tetes mata yang mengandung benzalkonium hydrochloride.
Adapun faktor risiko eksternal dapat berasal dari paparan polusi udara,
cahaya matahari, angin kencang, dan merokok (Tsubota, 2020) .
Adapun pada pasien dengan DM berpotensi terjadi Mata Kering
karena neuropati yang menyebabkan terganggunya refleks berkedip dan
keadaan eksoftalmus pada penyakit tiroid karena permukaan mata yang
semakin melebar menyebabkan evaporasi LAM semakin tinggi (Holland,
2019).

6
2.2.4. Patogenesis

Gambar 2.4 Patogenesis Dry Eye


Patogenesis pada dry eye dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan
klasifikasinya yang pertama adalah ADDE dimana kekeringan pada mata
disebabkan oleh kegagalan sekresi air mata lakrimal akibat disfungsi kelenjar
lakrimal asinar atau penurunan volume sekresi air mata. Keadaan ini
menyebabkan hiperosmolaritas karena evaporasi tetap berlangsung normal.
Hiperosmolaritas menstimulasi mediator inflamasi (IL-1α, IL-1β, TNF α,
matriks metaloproteinase 9, MAP kinase, dan NFkβ pathway). MKDA
dikelompokkan menjadi dua sub-kelas, yaitu mata kering sindrom Sjogren
(MKSS) dan mata kering bukan sindrom Sjogren (MKBSS)(Elvira & Wijaya,
2018).
MKSS merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar
lakrimal, kelenjar saliva, dan beberapa organ lain. Infiltrasi sel T pada
kelenjar saliva dan lakrimal menyebabkan kematian sel asinar dan duktus
serta hiposekresi air mata atau saliva. Aktivasi mediator inflamasi memicu
ekspresi autoantigen di permukaan sel epitel (fodrin, Ro, dan La) dan retensi
sel T CD4 dan CD8. Detail kriteria klasifikasi sindrom Sjogren berdasarkan
American-European Consensus Group (Elvira & Wijaya, 2018).
MKBSS merupakan kelompok MKDA akibat disfungsi kelenjar

7
lakrimal yang bukan bagian dari autoimun sistemik. Keadaan yang paling
sering ditemukan adalah mata kering berkaitan dengan usia. Defisiensi
kelenjar lakrimal juga dapat terjadi akibat penyakit lain seperti sarkoidosis,
AIDS, Graft vs Host Disease (GVHD) atau keadaan obstruksi duktus kelenjar
lakrimal akibat trakoma juga berperan dalam MKBSS. Pada Beave Dam study
ditemukan angka kejadian mata kering pasien DM 18,1% dibandingkan
dengan pasien non-DM (14,1%) (Elvira & Wijaya, 2018).
Patogenesis kedua disebabkan oleh mata kering evaporasi (MKE),
MKE terjadi akibat kehilangan air mata di permukaan mata, sedangkan
kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh
faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik (penyakit permukaan
mata atau pengaruh obat topikal), keterkaitan kedua faktor masih sulit
dibedakan (Elvira & Wijaya, 2018).

2.2.5. Diagnosa Banding


Penegakkan diagnosis diperlukan untuk membedakan antara DED,
infeksi, dan alergi yang mana ketiganya memiliki gejala klinis yang serupa,
tetapi penatalaksanaan yang berbeda. Anamnesis lengkap yang meliputi onset,
keluhan, faktor risiko (pekerjaan, lingkungan), riwayat penyakit sistemik
(Grave’s disease, Sjogren syndrome, diabetes mellitus, penyakit vaskular
kolagen), dan riwayat pengobatan harus ditanyakan.
2.2.6. Anamnesis
Pasien dengan sindrom mata kering paling sering mengeluhkan sensasi
tergores atau berpasir. Gejala umum lain berupa gatal, ketidakmampuan
menghasilkan air mata, sensasi terbakar, fotosensitivitas, kemerahan, sakit,
dan lainnya. Ciri khas dapat ditemukan pada pemeriksaan slitlamp, yakni
dengan melihat terputus atau tidaknya meniskus air mata di tepian palpebra
inferior. Benang-benang mukus kental kekuningan terkadang muncul dalam
forniks konjungtiva inferior. Konjungtiva bulbar tidak memberikan
penampakan kilauyang normal dan mungkin hiperemis (Yokoi, 2015).
Epitel kornea menunjukkan bercak-bercak punctata halus di fissura
intra palpebra dalam berbagai derajat. Sel-sel epitel konjungtiva dan kornea
yang rusak terpulas dengan bengal rose 1% dan defek-defek di epitel kornea
8
terpulas dengan fluorescein. Pada tahap lanjut nampak filamen-filamen yang
salah satu ujungnya melekat di kornea dan ujung lain bergerak bebas (Yokoi,
2015).

Kuesioner digunakan pada penelitian klinis untuk mendiagnosis


sindrom mata kering dan keparahannya. Beberapa kuesioner yang telah
dievaluasi oleh DEWS tahun 2007 dan digunakan:
a. McMonnies Dry Eye History Questionnaire (Nichols, McMonnies)

b. Canada Dry Eye Epidemiology Study (CANDEES [Doughty])

c. Ocular Surface Disease Index (OSDI [Schiffman])

d. Salisbury Eye Evaluation (Schein, Bandeen-Roche)

e. Dry Eye Epidemiology Projects (deep) questionnaire (Oden)

f. Women’s Health Study questionnaire (Schaumberg)

Gambar 2.5 Kuesioner OSDI


2.2.7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan fisik segmen
anterior dimana beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti pada bagian

9
palpebra dan margo palpebra untuk menilaian adanya entropion, ektropion,
lagoftalmos, paralisis N.VII, obstruksi orifisium kelenjar Meibom. Frekuensi
berkedip juga perlu diperhatikan karena berkedip merupakan mekanisme mata
untuk mendistribusikan air mata ke seluruh permukaan mata sehingga jika terjadi
penurunan frekuensi berkedip, yang sering terjadi pada saat membaca atau
menggunakan komputer, akan terjadi peningkatan evaporasi air mata yang
berujung pada penyakit mata kering tipe EDE(Elvira & Wijaya, 2018).
2.2.8. Pemeriksaan Penunjang
Tes Schirmer I untuk menilai produksi air mata oleh kelenjar lakrimal
selama 5 menit. Kertas filter fluoresein diletakkan pada cul-de-sac kelopak
mata bawah dan mata pasien tertutup selama 5 menit kemudian dinilai
panjang kertas yang basah(Elvira & Wijaya, 2018). Schirmer yang dilakukan
setelah anestesi topical (tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal
aksesorius. Bila dilakukan tanpa anestesi, uji ini mengukur fungsi kelenjar
lakrimal utama yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring.
Bagian basah yang terpajan diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang
bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anestesi dan atau panjang basah kurang
dari 5 mm dengan anestesi dianggap abnormal (Marina, 2021).
Tes Schirmer II digunakan untuk mengukur sekresi air mata sebagai
respon terhadap stimuli nasal. Kertas Whatman #41 diletakan di sepertiga
lateral palpebral inferior dengan perlakuan yang sama seperti pada tes
Schirmer I. Kemudian, stimulasi pada baian mukosa nasal dilakukan dengan
aplikator cotton bud. Bila kertas strip basah kurang dari 15 mm setelah 15
menit, hal itu berhubungan dengan adanya defek pada sekresi secara
refleks(Elvira & Wijaya, 2018).

10
Gambar 2.6 A. Test Schrimer B. Cul-de-sac

Diagnosis penyakit mata kering dapat ditegakkan dengan kombinasi


gejala dan penurunan hasil tear film breakup time (TBUT) (Elvira & Wijaya,
2018).

Gambar 2.7 Diagnosis DED

Pengukuran “tear film break-up time” digunakan untuk memperkirakan


kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin dapat berakibat
tidak stabilnya film air mata dan menyebabkan lapisan tear film menjadi cepat
pecah sehingga terbentuk gambaran bintik-bintik kering. Proses ini akhirnya
akan merusak sel-sel epitel yang dilepaskan kornea meninggalkan daerah
yang dapat diwarnai saat permukaan kornea dibasahi fluoresen (Yokoi, 2017).

Gambar 2.8 Test TBUT

Pengukuran “tear film break-up time” dapat diukur dengan meletakan


secarik kertas berfluorescein, yang sedikit dilembabkan pada conjungtiva

11
bulbaris dan meminta pasien berkedip. Film air mata kemudian diperiksa
dengan bantuan filter cobalt pada slitlamp, sementara pasien diminta untuk
tidak bekedip. Bintik-bintik kering yang pertama muncul pada lapisan
fluorescein kornea adalah TBUT.
2.2.9. Tatalaksana
ADES mengusung klasifikasi DED berdasarkan lapisan air mata yang
mengalami kelainan dan menjadikannya
menjadi dasar untuk konsep penatalaksanaan DED yang disebut dengan
Tear Film Oriented Therapy (TFOT).8 Jika DED disebabkan oleh defisiensi
mucin, pasien sebaiknya diberikan mucin secretatogue seperti tetes mata
diquafosol atau rebamipide. Diquafosol merupakan P2Y2 reseptor agonis
yang berfungsi meningkatkan sekresi aqueous dan mucin, sedangkan
rebamipide merupakan derivat quinolinone yang berfungsi meningkatkan
komponen mucin pada lapisan air mata. Pada beberapa penelitian, diquafosol
dan rebamipide terbukti dapat meningkatkan TBUT dan memperbaiki
staining kornea dan konjungtiva (Yokoi, 2015).

Jika lapisan aqueous yang mengalami kelainan, seperti pada sindrom


Sjogren maupun non-Sjogren, maka terapi berfokus pada peningkatan volume
air mata dengan pemberian artificial tears, asam hyaluronat, diquafosol, atau
oklusi puncta. Artificial tears dan asam hyaluronat merupakan terapi inisial
yang umum dipilih, dengan keduanya memiliki durasi yang singkat pada
permukaan mata 3-5 menit. Diquafosol memiliki efikasi yang lebih baik
dibandingkan dengan artificial tears dan asam hyaluronat sehingga saat ini
menjadi terapi pilihan pertama. Oklusi puncta tidak hanya meningkatkan
komponen aqueous, tetapi juga komponen lipid dan mucin. Kombinasi oklusi
puncta dengan diquafosol memberikan perbaikan jangka panjang pada ADDE
berat (Kawahara, 2017).

Pemberian anti-inflamasi dipercaya dapat meningkatkan stabilitas


lapisan air mata. Tetes mata siklosporin A merupakan imunosupresan yang
berfungsi menurunkan aktivasi sel T melalui IL-2. Pemberian kortikosteroid
topikal seperti fluorometholone selama 2-4 minggu terbukti mengurangi
keluhan subjektif pasien DED dan memperbaiki staining kornea (Chalmers,
12
2017).

Jika kelainan ada pada lapisan lipid, seperti yang sering ditemukan pada
disfungsi kelenjar Meibom, maka tatalaksana mengacu pada algoritma terapi
disfungsi kelenjar Meibom, yaitu kompres hangat, lid hygiene, artificial tears,
antibiotik sistemik atau topikal (golongan tetrasiklin atau makrolid), dan
suplementasi asam lemak omega-3 (yang terdapat pada minyak ikan)
(Messmer, 2015).

Gambar 2.9 Tatalaksana DED

2.2.10. Komplikasi
Pada awal perjalanan sindrom mata kering, penglihatan sedikit
terganggu. Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus, penipisan, hingga perforasi
kornea. Bisa disertai terjadi infeksi bakteri sekunder, dan berakibat
munculnya sikatriks dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat
mengganggu menurunkan penglihatan. Terapi dini dapat mencegah
komplikasi-komplikasi ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Amano S, Inoue K. 2017. Effect of Topical 3% Diquafosol Sodium on Eyes with Dry Eye
Disease and Meibomian Gland Dysfunction. Clin Ophthalmol. 11:1677-82.
Craig JP, Nichols KK, Akpek EK. 2017. TFOS DEWS II Definition and Classification
Report. The Ocular Surface. 15(3):276-83.
Casey A, Marina S. 2021. Klasifikasi, Diagnosis, dan Pengobatan Saat Ini untuk Penyakit
Mata Kering. Insisari Sains Medis. 12(2). 640-644.
Elvira, & Wijaya, V. N. (2018). Penyakit Mata Kering. CDK Edisi Suplemen, 192–196.

Farrand KF, Fridman M, Stillman IÖ, Schaumberg DA. 2017. Prevalence of Diagnosed
Dry Eye Disease in The United States Among Adults Aged 18 Years and Older. Am
J Ophthalmol. 182:90-98.
Holland EJ, Darvish M, Nichols KK, Jones L, Karpecki PM. 2019. Efficacy of Topical
Ophthalmic Drugs in The Treatment of Dry Eye Disease: A Systematic Literature
Review. Ocul Surf. 17(3):412-23.
Jones L, Downie LE, Korb D. 2017. TFOS DEWS II Management and Therapy Report.
Ocul Surf. 15(3):575-628.
Kaido M, Kawashima M, Shigeno Y, Yamada Y, Tsubota K. 2018. Randomized Controlled
Study to Investigate the Effect of Topical Diquafosol Tetrasodium on Corneal
Sensitivity in Short Tear Break-Up Time Dry Eye. Adv Ther. 35(5):697-706.
Messmer EM. 2015. The Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment of Dry Eye Disease.
Dtsch Arztebl Int. 112(5):71-82.
Mun Y, Kwon JW, Oh JY. 2018. Therapeutic Effects of 3% Diquafosol Ophthalmic
Solution in Patients with Short Tear Film Break-Up Time-Type Dry Eye Disease.
BMC Ophthalmol. 18(1):237.
Stapleton F, Alves M, Bunya VY. 2017. TFOS DEWS II Epidemiology Report. Ocul Surf.
15(3):334-365.
Tsubota K, Yokoi N, Shimazaki J. 2017. New Perspectives on Dry Eye Definition and
Diagnosis: A Consensus Report by the Asia Dry Eye Society. Ocul Surf. 15(1):65-
76.
Tsubota K, Yokoi N, Watanabe H. 2020. A New Perspective on Dry Eye Classification:
Proposal by the Asia Dry Eye Society. Eye Contact Lens. 1(1):S2-S13.
14
Tsubota K. 2018. Short Tear Film Breakup Time Type Dry Eye. Invest Ophthalmol Vis Sci.
59(14):64-70.
Utsunomiya T, Kawahara A, Hanada K, Yoshida A. 2017. Effects of Diquafosol
Ophthalmic Solution on Quality of Life in Dry Eye Assessed Using the Dry Eye-
Related Quality-of-Life Score Questionnaire: Effectiveness in Patients While
Reading and Using Visual Display Terminals. Cornea. 36(8):908-914.
Wolffsohn JS, Arita R, Chalmers R. 2017. TFOS DEWS II Diagnostic Methodology
Report. Ocul Surf. 15(3):539-574.
Yokoi N, Georgiev GA, Kato H. 2017. Classification of Fluorescein Breakup Patterns: A
Novel Method of Differential Diagnosis for Dry Eye. Am J Ophthalmol. 180:72-85.
Yokoi N, Uchino M, Uchino Y. 2015. Importance of Tear Film Instability in Dry Eye
Disease in Office Workers Using Visual Display Terminals: The Osaka Study. Am
J Ophthalmol. 159(4):748-754.

15

Anda mungkin juga menyukai