Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Sutama, Sp.M
REFERAT
Oleh:
Mada Ilham Bawono
G4A020100
Pembimbing,
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................................2
2.1. UNIT FUNGSI LAKRIMALIS................................................................................2
2.2.1. Definisi........................................................................................................................4
2.2.2. Etiologi........................................................................................................................4
2.2.3. Faktor Risiko.............................................................................................................6
2.2.4. Patogenesis.................................................................................................................7
2.2.5. Diagnosa Banding......................................................................................................8
2.2.6. Anamnesis..................................................................................................................8
2.2.7. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................................9
2.2.8. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................10
2.2.9. Tatalaksana..............................................................................................................12
2.2.10. Komplikasi...............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit mata kering (Dry Eye Disease / DED) merupakan salah satu penyakit
mata yang sering ditemui dalam keseharian. Keluhan yang dirasakan seperti
fotopobia, mata lelah, gatal, terasa panas atau terbakar, iritasi, dan gangguan
karena sifatnya yang kronis dan membutuhkan terapi jangka panjang (Mun, 2018).
Tahun 2020, Asia Dry Eye Society (ADES) mengklasifikasikan DED menjadi
Kornea dan Konjungtiva. DED dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status hormonal,
genetik, ras Asia, status imun, nutrisi, patogen, dan stress akibat lingkungan. Seiring
serius. Penggunaan komputer atau gadget akan berdampak pada turunnya refleks
2017).
Penyakit Jaringan Ikat, Lingkungan, Pengguna Komputer dan Lensa Kontak, serta
Obat-Obatan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Lapisan air mata berfungsi sebagai lubrikan, untuk menjaga ketajaman mata,
melindungi kornea, dan sel epitel konjungtiva. Selain itu, lapisan ini juga
berperan untuk melindungi permukaan mata dari iritan, alergen, temperatur,
patogen, dan polutan. Dalam lapisan air mata, terdapat antioksidan seperti
vitamin C, tisosin, dan glutation yang berfungsi meredam radikal bebas dan
membantu meminimalisir reaksi oksidasi. Selain komponen tersebut, komponen
lain seperti growth factors,
2
neuropeptida, dan penghambat protease juga berperan penting untuk merawat
kesehatan kornea dan menstimulasi penyembuhan luka. Lapisan ini memiliki
permukaan refraksi yang lembut diatas mikrovili pada epitel kornea. Jika terjadi
ketidakstabilan dan pengeringan lapisan air mata, maka mata akan mengalami
degradasi, fluktuasi, kehilangan kontras, dan timbul rasa ketidaknyamanan
(Craig, 2017).
2.2.2. Etiologi
Dry eye syndrome merupakan penyakit multifactorial yang berarti
terdapat banyak factor yang dapat menimbulkan DED akan tetapi Asia
Dry Eye Society (ADES) pada tahun 2017 menyatakan bahwa etiologi
utama DED adalah ketidakstabilan lapisan air dan mengklasifikasikan
DED menjadi 3 yaitu Aqueous Deficient Dry Eye (ADDE) dan
Evaporative Dry Eye (EDE), dan Decreased wettability dry eye (Casey &
Marina, 2021).
ADDE merupakan kondisi yang berkaitan dengan kegagalan
fungsi kelenjar lakrimal untuk menghasilkan komponen aqueous yang
adekuat sehingga terjadi kerusakan permukaan mata (kornea dan
konjungtiva). Penyakit mata kering tipe ini sering ditemui pada pasien
dengan Sindrom Sjogren, Graft Versus Host Disease (GVHD), Ocular
Cicatricial Pemphigoid (OCP), dan Sindrom Steven Johnson. Sementara
itu, EDE berkaitan dengan peningkatan evaporasi air mata yang sering
terjadi pada disfungsi kelenjar Meibom, blink-related, dan penggunaan
lensa kontak (Casey & Marina, 2021).
4
Sjogren, Greaft Versus Host Disease (GVHD), Ocylar Cicatricial
pemphigoid (OCP), dan sindrom steven johnson (Casey & Marina, 2021).
Gambar 2.3 Klasifikasi Dry Eye (Asia Dry Eye Society, 2020)
5
2.2.3. Faktor Risiko
Berdasarkan studi epidemiologi yang pernah dilakukan, wanita
memiliki kemungkinan lebih tinggi terkena sindrom mata kering dari
pada laki-laki, sejalan dengan penelitian Barabino yang menunjukkan
bahwa hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, fungsi kelenjar
meibom, dan densitas sekresi sel goblet. Krenzer dalam penelitiannya
menyebutkan defisiensi androgen kronik menyebabkan disfungsi kelenjar
meibom (kaido, 2018)
Selain jenis kelamin, ada faktor risiko lain berupa usia tua, terapi
estrogen, postmenopause, penggunaan komputer, penggunaan lensa
kontak, diet rendah asam lemak omega-3 dan omega-6, operasi refraktif,
riwayat trauma kimawi, kekurangan vitamin A, terapi radiasi, pengobatan
sistemik seperti beta blocker dan pengobatan antihistamin, serta bahan
pengawet tetes mata yang mengandung benzalkonium hydrochloride.
Adapun faktor risiko eksternal dapat berasal dari paparan polusi udara,
cahaya matahari, angin kencang, dan merokok (Tsubota, 2020) .
Adapun pada pasien dengan DM berpotensi terjadi Mata Kering
karena neuropati yang menyebabkan terganggunya refleks berkedip dan
keadaan eksoftalmus pada penyakit tiroid karena permukaan mata yang
semakin melebar menyebabkan evaporasi LAM semakin tinggi (Holland,
2019).
6
2.2.4. Patogenesis
7
lakrimal yang bukan bagian dari autoimun sistemik. Keadaan yang paling
sering ditemukan adalah mata kering berkaitan dengan usia. Defisiensi
kelenjar lakrimal juga dapat terjadi akibat penyakit lain seperti sarkoidosis,
AIDS, Graft vs Host Disease (GVHD) atau keadaan obstruksi duktus kelenjar
lakrimal akibat trakoma juga berperan dalam MKBSS. Pada Beave Dam study
ditemukan angka kejadian mata kering pasien DM 18,1% dibandingkan
dengan pasien non-DM (14,1%) (Elvira & Wijaya, 2018).
Patogenesis kedua disebabkan oleh mata kering evaporasi (MKE),
MKE terjadi akibat kehilangan air mata di permukaan mata, sedangkan
kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh
faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik (penyakit permukaan
mata atau pengaruh obat topikal), keterkaitan kedua faktor masih sulit
dibedakan (Elvira & Wijaya, 2018).
9
palpebra dan margo palpebra untuk menilaian adanya entropion, ektropion,
lagoftalmos, paralisis N.VII, obstruksi orifisium kelenjar Meibom. Frekuensi
berkedip juga perlu diperhatikan karena berkedip merupakan mekanisme mata
untuk mendistribusikan air mata ke seluruh permukaan mata sehingga jika terjadi
penurunan frekuensi berkedip, yang sering terjadi pada saat membaca atau
menggunakan komputer, akan terjadi peningkatan evaporasi air mata yang
berujung pada penyakit mata kering tipe EDE(Elvira & Wijaya, 2018).
2.2.8. Pemeriksaan Penunjang
Tes Schirmer I untuk menilai produksi air mata oleh kelenjar lakrimal
selama 5 menit. Kertas filter fluoresein diletakkan pada cul-de-sac kelopak
mata bawah dan mata pasien tertutup selama 5 menit kemudian dinilai
panjang kertas yang basah(Elvira & Wijaya, 2018). Schirmer yang dilakukan
setelah anestesi topical (tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal
aksesorius. Bila dilakukan tanpa anestesi, uji ini mengukur fungsi kelenjar
lakrimal utama yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas saring.
Bagian basah yang terpajan diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang
bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anestesi dan atau panjang basah kurang
dari 5 mm dengan anestesi dianggap abnormal (Marina, 2021).
Tes Schirmer II digunakan untuk mengukur sekresi air mata sebagai
respon terhadap stimuli nasal. Kertas Whatman #41 diletakan di sepertiga
lateral palpebral inferior dengan perlakuan yang sama seperti pada tes
Schirmer I. Kemudian, stimulasi pada baian mukosa nasal dilakukan dengan
aplikator cotton bud. Bila kertas strip basah kurang dari 15 mm setelah 15
menit, hal itu berhubungan dengan adanya defek pada sekresi secara
refleks(Elvira & Wijaya, 2018).
10
Gambar 2.6 A. Test Schrimer B. Cul-de-sac
11
bulbaris dan meminta pasien berkedip. Film air mata kemudian diperiksa
dengan bantuan filter cobalt pada slitlamp, sementara pasien diminta untuk
tidak bekedip. Bintik-bintik kering yang pertama muncul pada lapisan
fluorescein kornea adalah TBUT.
2.2.9. Tatalaksana
ADES mengusung klasifikasi DED berdasarkan lapisan air mata yang
mengalami kelainan dan menjadikannya
menjadi dasar untuk konsep penatalaksanaan DED yang disebut dengan
Tear Film Oriented Therapy (TFOT).8 Jika DED disebabkan oleh defisiensi
mucin, pasien sebaiknya diberikan mucin secretatogue seperti tetes mata
diquafosol atau rebamipide. Diquafosol merupakan P2Y2 reseptor agonis
yang berfungsi meningkatkan sekresi aqueous dan mucin, sedangkan
rebamipide merupakan derivat quinolinone yang berfungsi meningkatkan
komponen mucin pada lapisan air mata. Pada beberapa penelitian, diquafosol
dan rebamipide terbukti dapat meningkatkan TBUT dan memperbaiki
staining kornea dan konjungtiva (Yokoi, 2015).
Jika kelainan ada pada lapisan lipid, seperti yang sering ditemukan pada
disfungsi kelenjar Meibom, maka tatalaksana mengacu pada algoritma terapi
disfungsi kelenjar Meibom, yaitu kompres hangat, lid hygiene, artificial tears,
antibiotik sistemik atau topikal (golongan tetrasiklin atau makrolid), dan
suplementasi asam lemak omega-3 (yang terdapat pada minyak ikan)
(Messmer, 2015).
2.2.10. Komplikasi
Pada awal perjalanan sindrom mata kering, penglihatan sedikit
terganggu. Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus, penipisan, hingga perforasi
kornea. Bisa disertai terjadi infeksi bakteri sekunder, dan berakibat
munculnya sikatriks dan vaskularisasi pada kornea, yang sangat
mengganggu menurunkan penglihatan. Terapi dini dapat mencegah
komplikasi-komplikasi ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
Amano S, Inoue K. 2017. Effect of Topical 3% Diquafosol Sodium on Eyes with Dry Eye
Disease and Meibomian Gland Dysfunction. Clin Ophthalmol. 11:1677-82.
Craig JP, Nichols KK, Akpek EK. 2017. TFOS DEWS II Definition and Classification
Report. The Ocular Surface. 15(3):276-83.
Casey A, Marina S. 2021. Klasifikasi, Diagnosis, dan Pengobatan Saat Ini untuk Penyakit
Mata Kering. Insisari Sains Medis. 12(2). 640-644.
Elvira, & Wijaya, V. N. (2018). Penyakit Mata Kering. CDK Edisi Suplemen, 192–196.
Farrand KF, Fridman M, Stillman IÖ, Schaumberg DA. 2017. Prevalence of Diagnosed
Dry Eye Disease in The United States Among Adults Aged 18 Years and Older. Am
J Ophthalmol. 182:90-98.
Holland EJ, Darvish M, Nichols KK, Jones L, Karpecki PM. 2019. Efficacy of Topical
Ophthalmic Drugs in The Treatment of Dry Eye Disease: A Systematic Literature
Review. Ocul Surf. 17(3):412-23.
Jones L, Downie LE, Korb D. 2017. TFOS DEWS II Management and Therapy Report.
Ocul Surf. 15(3):575-628.
Kaido M, Kawashima M, Shigeno Y, Yamada Y, Tsubota K. 2018. Randomized Controlled
Study to Investigate the Effect of Topical Diquafosol Tetrasodium on Corneal
Sensitivity in Short Tear Break-Up Time Dry Eye. Adv Ther. 35(5):697-706.
Messmer EM. 2015. The Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment of Dry Eye Disease.
Dtsch Arztebl Int. 112(5):71-82.
Mun Y, Kwon JW, Oh JY. 2018. Therapeutic Effects of 3% Diquafosol Ophthalmic
Solution in Patients with Short Tear Film Break-Up Time-Type Dry Eye Disease.
BMC Ophthalmol. 18(1):237.
Stapleton F, Alves M, Bunya VY. 2017. TFOS DEWS II Epidemiology Report. Ocul Surf.
15(3):334-365.
Tsubota K, Yokoi N, Shimazaki J. 2017. New Perspectives on Dry Eye Definition and
Diagnosis: A Consensus Report by the Asia Dry Eye Society. Ocul Surf. 15(1):65-
76.
Tsubota K, Yokoi N, Watanabe H. 2020. A New Perspective on Dry Eye Classification:
Proposal by the Asia Dry Eye Society. Eye Contact Lens. 1(1):S2-S13.
14
Tsubota K. 2018. Short Tear Film Breakup Time Type Dry Eye. Invest Ophthalmol Vis Sci.
59(14):64-70.
Utsunomiya T, Kawahara A, Hanada K, Yoshida A. 2017. Effects of Diquafosol
Ophthalmic Solution on Quality of Life in Dry Eye Assessed Using the Dry Eye-
Related Quality-of-Life Score Questionnaire: Effectiveness in Patients While
Reading and Using Visual Display Terminals. Cornea. 36(8):908-914.
Wolffsohn JS, Arita R, Chalmers R. 2017. TFOS DEWS II Diagnostic Methodology
Report. Ocul Surf. 15(3):539-574.
Yokoi N, Georgiev GA, Kato H. 2017. Classification of Fluorescein Breakup Patterns: A
Novel Method of Differential Diagnosis for Dry Eye. Am J Ophthalmol. 180:72-85.
Yokoi N, Uchino M, Uchino Y. 2015. Importance of Tear Film Instability in Dry Eye
Disease in Office Workers Using Visual Display Terminals: The Osaka Study. Am
J Ophthalmol. 159(4):748-754.
15