Anda di halaman 1dari 15

Sifilis

Octavia Ukhti Prakarsi, S.Ked


Pembimbing Dr. Mutia Devi, Sp.KK
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2016

PENDAHULUAN
Sifilis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum (T.
pallidum). Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual,intrauterin, transfer produk darah
atau jaringan yang telah terkontaminasi, dan kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan.1
Sifilis dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh termasuk sistem kardiovaskular dan saraf
jika tidak ditatalaksana dengan segera.2
Angka kejadian sifilis mencapai 90% di negara berkembang. World Health
Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi di Afrika, Asia
Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean.5 Angka kejadian sifilis di Indonesia
berdasarkan laporan Survei Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia terjadi peningkatan angka kejadian sifilis di tahun 2011
dibandingkan tahun 2007.6 Angka kejadian sifilis di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang
pada tahun 2015 adalah sebanyak 2.8% dari seluruh pasien yang datang ke Poliklinik
Dermatologi dan Venereologi (DV) divisi Infeksi Menular Seksual.*
Meskipun insidennya tidak terlalu tinggi (2.8%), sifilis tidak dapat diabaikan karena
merupakan penyakit berat. Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem
kardiovaskular dan saraf. Selain itu, wanita hamil yang menderita sifilis juga dapat
menularkan ke janin dan menyebabkan sifilis kongenital yang dapat menyebabkan kelainan
bawaan dan kematian. Sifilis dibagi menjadi sifilis stadium dini dan stadium lanjut, biasanya
stadium dini lebih infeksius dibanding stadium lanjut. Sifilis stadium dini terbagi atas sifilis
primer, sekunder dan laten dini.1 Pada sifilis sekunder dan stadium lanjut, manifestasi klinis
yang muncul menyerupai kelainan kulit lain sehingga disebut sebagai the Great Imitator.
Sebagai dokter umum, kompetensi Sifilis stadium I dan II adalah 4A yaitu dapat
menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat. Referat ini dibuat untuk
menambah pengetahuan mengenai sifilis agar dapat menegakkan diagnosis dan memberikan
terapi yang tepat. Referat ini membahas definisi, epidemiologi, etiopatogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis.
*

Data kunjungan pasien sifilis di Poliklinik Dermato dan Venereologi Rumah Sakit Dr Mohammad Hoesin

Palembang

ETIOPATOGENESIS
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum subspesies pallidum. T. pallidum
merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral dengan diameter 0,2 m dan panjang 5-15
m.(Gambar 1)

Gambar 1.Treponema pallidum memiliki bentuk spiral3

T. pallidum merupakan organisme microaerofilik dan memiliki struktur yang terdiri


dari membran sel bagian dalam, dinding sel dilapisi oleh peptidoglikan tipis, dan membran sel
bagian luar. T. pallidum memiliki empat subspesies, yaitu Treponema pallidum pallidum
(penyebab sifilis), Treponema pallidum pertenue (penyebab yaws/chronic treponematous
disease), Treponema pallidum carateum (penyebab treponematous disease), dan Treponema
pallidum endemicum.7,20
Penularan sifilis melalui hubungan seksual, kontak langsung luka/lesi terinfeksi atau
dari ibu terinfeksi sifilis ke janin melalui plasenta. T. pallidum masuk melalui membran
mukosa atau kulit yang lecet dengan gerakan cork-screw, setelah itu masuk ke dalam kelenjar
getah bening, menembus aliran darah kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Beberapa
jam setelah bakteri masuk, terjadi infeksi sistemik walaupun belum menimbulkan manifestasi
klinis.8 T. pallidum berkembang biak dalam waktu 30-33 jam, kemudian muncul lesi primer di
tempat bakteri pertama kali masuk, bertahan selama 4-6 pekan lalu sembuh secara spontan.
Pada tempat masuk, bakteri ini akan multiplikasi dan tubuh bereaksi ditandai dengan
munculnya sel-sel imun berupa limfosit, makrofag dan sel plasma sehingga menimbulkan
infiltrat dan memberikan gambaran klinis berupa papul.9 Selain itu, bakteri berada diantara
endotel kapiler saat berinteraksi dengan sel-sel imun mengakibatkan reaksi radang yang
mengenai jaringan vaskular dan menimbulkan hipertrofi endotel sehingga terjadi obliterasi
lumen kapiler. Kerusakan jaringan vaskular mengakibatkan penurunan aliran darah sehingga
papul dapat berubah menjadi erosi atau ulkus, kelainan ini disebut dengan chancre.10
2

Beberapa saat setelah inokulasi, T. pallidum akan menembus jaringan kulit dan masuk
ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Ketika masuk ke dalam tubuh, T. pallidum
akan merangsang sel inflamasi seperti sel T CD4 + (pada chancre), sel T CD8+ (pada sifilis
sekunder, sitokin Th 1, IL-2 dan IFN-. Respon imun humoral ditandai dengan produksi IgM
dua pekan setelah terinfeksi, diikuti dengan IgG dua pekan kemudian. Pada infeksi bakteri
secara umum, respon imun berperan untuk membunuh bakteri yang menyerang tubuh, jika
pada sifilis, respon imun tidak mampu membunuh T. pallidum. T. pallidum dapat menyerang
sistem yang mengatur kekebalan tubuh (sistem saraf pusat, mata dan plasenta), selain itu
terjadi penekanan respon sel Th1 yang menyebabkan bakteri susah untuk dibunuh.
Dibandingkan dengan orang yang pertama kali terserang sifilis, pada orang yang terinfeksi
kembali cenderung memiliki manifestasi sifilis sekunder dan lebih sering menjadi sifilis
laten.1
Sifilis tidak diobati, akan menjadi sifilis sekunder 2-8 pekan setelah chancre timbul.
Sifilis sekunder menyebar melalui kelenjar limfe ke aliran darah, menyebar ke seluruh tubuh
dan mengakibatkan supresi cell mediated immunity mengakibatkan peningkatan proliferasi T.
pallidum. Pada stadium ini terjadi peningkatan antibodi yang disebabkan peningkatan jumlah
bakteri dalam tubuh yang menyerang dan menimbulkan gejala berupa ruam di seluruh tubuh. 2
Stadium laten merupakan stadium setelah sifilis sekunder. Pada stadium ini reaksi
hipersensitivitas tidak terjadi mengakibatkan pada stadium ini tidak memiliki gejala klinis.
Pada sifilis tersier, mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) terjadi sehingga
menimbulkan pembentukan granuloma. Stadium ini muncul minimal lebih dari 1 tahun
setelah riwayat kontak.3

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis sifilis bervariasi tergantung pada perjalanan penyakit. Sifilis dibagi
menjadi stadium dini dan stadium lanjut, biasanya stadium dini lebih infeksius dibanding
stadium lanjut. Sifilis stadium dini terbagi atas sifilis primer, sekunder dan laten dini. Sifilis
stadium lanjut termasuk sifilis tersier (sifilis kardiovaskular, neurosifilis) dan sifilis stadium
laten lanjut (Gambar 2).1,9

STADIUM DINI (MENULAR)

1 tahun

STADIUM LANJUT (TIDAK MENULAR)

Stadium Rekuren
S.t

SI
2-4

minggu

S II

S III

6-8

minggu
3-10 tahun
Sifilis laten lanjut
(tidak menular)

Keterangan :
S.t
= senggama tersangka
SI
= sifilis stadium I
S II
S III

= sifilis stadium II
= sifilis stadium III

Gambar 2. Stadium Sifilis4

Sifilis Primer
Berdasarkan definisi kasus surveilans Center for Disease Control and prevention (CDC),
sifilis primer merupakan stadium sifilis yang ditandai dengan adanya chancre.1 Setelah masuk
kedalam tubuh melalui inokulasi, chancre merupakan tanda lesi kulit pertama yang timbul
dan biasanya muncul 18-21 hari setelah terinfeksi. Lesi berbentuk papul merah kecil atau
erosi superficial berkrusta, dalam beberapa hari sampai pekan berubah menjadi lebih bulat
atau oval, peninggian pada papul dengan permukaan erosi tetapi tidak mengeluarkan cairan
dan tidak menimbulkan nyeri (button-like papule) (Gambar 3A). Lesi berukuran 1 atau 2 cm,
lesi tunggal, terkadang multipel atau kissing lesions.1,11 Papul ini akan mengalami erosi
kemudian menjadi ulkus. Ulkus ini disebut dengan ulkus durum biasanya berbentuk bulat,
soliter, dasarnya jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, dindingnya tidak bergaung,
kulit disekitarnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut, indolen dan teraba indurasi
(Gambar 3B).4 Pada wanita, chancre tidak selalu ditemukan karena lokasinya di vagina atau
serviks, namun pada wanita dapat diikuti oleh edema di labia atau serviks (Gambar 3C).3
Chancre dapat timbul pada ekstragenital, biasanya pada jari dan sering disertai nyeri.9

Gambar 3. (A) Button-like papule.11 (B) Ulkus durum.3 (C) Multipel chancre pada wanita.3

Sifilis Sekunder
Sifilis sekunder timbul 2-6 bulan setelah infeksi primer, 2-10 pekan setelah munculnya
lesi pertama chancre atau 6-8 pekan setelah hilangnya lesi chancre, walaupun terkadang pada
sifilis sekunder masih disertai dengan lesi chancre.11 Sifilis sekunder memiliki lesi yang
bersifat simetris, generalisata, superfisial, bersisik dan berbentuk makula yang nantinya
berubah menjadi makulopapular atau popular (Gambar 4A).11 Lesi cenderung mengenai
wajah, bahu, panggul, telapak tangan dan daerah genital.1 Pada sifilis sekunder juga terdapat
kondiloma lata yang berbentuk papul dengan kubah datar, lunak, lembab dan menyerang
daerah genital (Gambar 4B).1 Annular syphilis merupakan salah satu manifestasi klini pada
sifilis sekunder, lesi berbentuk papul datar, annular, menyebar dan sering timbul di pipi
terutama dekat sudut mulut (Gambar 4C).11 Pada sifilis sekunder juga terjadi kelainan
sistemik meliputi limfadenopati generalisata, sakit tenggorokan, malaise, sakit kepala dan
gangguan penglihatan.1

Gambar 4. (A) Sifilis sekunder (red flat-toped papules).10 (B) Kondiloma lata pada sifilis sekunder.1
Annular Syphilis pada sifilis sekunder.10

(C)

Sifilis Laten
Pada stadium sifilis laten tidak ditemukan gejala klinis sehingga diagnosis sifilis laten
dapat ditegakkan anamnesis yang jelas, pemeriksaan fisik yang mengarah pada kelainan yang
disebabkan infeksi sifilis dahulu dan pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang yang
normal tetapi pemeriksaan serologis darah reaktif. Pada stadium laten dengan riwayat kontak
lebih dari 2 tahun jarang menular melalui hubungan seksual, tetapi masih dapat terjadi
penularan secara vertikal.12
Sifilis Tersier
Sifilis tersier merupakan sifilis laten lanjut dengan manifestasi klinis selain neurosifilis,
seperti peradangan pada sistem kardiovaskular, kulit, tulang dan terkadang organ tubuh lain,
dan dibuktikan dengan temuan pada jaringan dan hasil tes sera menunjukkan sifilis. 1 Sifilis
tersier muncul 3-5 tahun setelah infeksi dan sekitar 16% pasien yang tidak ditatalaksana akan
timbul lesi tersier pada kulit, membran mukosa, tulang dan sendi. 1 Karakteristik pada stadium
ini ditandai dengan adanya guma kronik, lembut, seperti tumor yang mengalami inflamasi
dengan ukuran berbeda-beda. Guma mengenai kulit, tulang dan hati namun dapat juga muncul
dibagian lain (Gambar 5).8 Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan
nekrosis sentral, muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi awal, meskipun guma bisa
juga muncul lebih lambat. Lesi jarang sembuh spontan tetapi dapat sembuh secara cepat
dengan terapi antibiotik yang tepat.9

Gambar 5. Infiltrasi berbentuk guma pada glabella dan dahi1

Neurosifilis
Neurosifilis merupakan gambaran dari bentuk dari meningitis kronis, dengan gangguan
pembuluh darah dan jaringan parenkim pada otak dan medulla spinalis. Neurosifilis tanpa
gejala diartikan sebagai ditemukan kelainan pada cairan serebrospinal ditambah tidak adanya
temuan klinis dari penyakit neurlogis. Pada beberapa individu kelainan ini dapat menetap dan
bertahan sampai pada usia lanju hingga menimbulkan gejala klinis (neurosifilis simtomatik).2
6

Berdasarkan onset dan jenis neurosifilis terdiri dari beberapa jenis, diantaranya adalah
neurosifilis asimtomatik, neurosifilis meningeal, sifilis meningovaskular neurosifilis
gumatous, sifilis parenkimatous, dan neurosifilis tabetik.
Neurosifilis asimtomatik muncul tanpa manifestasi klinis dengan tanda khas berupa
abnormalitas pada pemeriksaan LCS tanpa disertai gangguan neurologis. Pada pemeriksaan
darah ditemukan leukosit (10-100 WBC/mm) sebagian besar limfosit, protein (50-100
mg/dL), dan pada 90% kasus ditemukan adanya antobodi non-troponemal reaktif pada
pemeriksaan VDRL.19
Neurosifilis meningeal jarang terjadi dengan angka kejadian hanya mencapai 6% dari
neurosifilis. Masa inkubasi pada sebagian besar pasien terjadi kurang dari 1 tahun. Pada
seperempat pasien dengan neurosifilis meningeal, meningitis merupakan manifestasi klinis
pertama yang muncul.
Sifislis meningovaskular dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Penyebab paling
adalah obliterasi lumen vaskuler pada sifilis sekunder. Pada penelitian yang dilakukan Meritt
dkk, angka kejadian sifilis meningeal mencapai 10% dari neurosiflis.
Neurosifilis gumatous ditandai dengan adanya guma intraserebral yang sangat jarang
terjadi. Gambaran yang muncul pada neurosifilis gumatous berupa neoplasma serebral, abses
otak, atau tuberkuloma. Pada pemeriksaan LCS, hasi yang ditemukan sama dengan
pemeriksaan neurosifilis lain.
Sebelum era Penisilin, neurosifilis tabetik dapat terjadi pada lebih dari sepertiga pasien
neurosifilis. Manifestasi klinis biasanya muncul pada pasien yang tidak diobati setalah masa
laten (20-25 tahun).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang penyakit sifilis terbagi atas diagnosis langsung berupa
pemeriksaan mikroskop dan amplifikasi asam nukleat dengan PCR dan diagnosis tidak
langsung berupa uji serologi untuk mendeteksi antibodi. 9 Pada neurosifilis dapat dilakukan
lumbal pungsi untuk melihat adanya adanya gangguan pada cairan serebrospinal. Uji
serologis pada sifilis umumnya negatif pada saat lesi primer, dan menjadi positif setelah 1-4
pekan. Uji serologi dibagi dalam dua kategori yaitu uji nontreponemal untuk skrining dan uji
treponemal untuk konfirmasi.13
Uji nontreponemal yang paling sering dilakukan adalah uji (Veneral Disease
Reasearch Laboratory) VDRL. Pemeriksaan VDRL mudah dilakukan, cepat dan sangat baik
untuk skrining. Uji VDRL dilakukan untuk mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap materi
7

lipoidal sama halnya seperti lipoprotein, dan mungkin kardiolipin berasal dari treponema.

16

Pada pemeriksaan ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan
dengan lesitin dna kolesterol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologi Semu (RBS)
atau Biologic Fase Positive (BFP).
Antibodi disebut reagin, terbentuk setelah infeksi dengan T. pallidum, tetapi zat
tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat
bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan, menggumpal membentul
massa yang dapat dilihat pada tes flokulasi. Massa dapat bersatu dengan komplemen yang
merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen. Contoh tes non treponemal adalah Tes fiksasi
komplemen : Wasserman (WR), Kolmer dan Tes flokulasi: VDRL (Veneral Disease Research
Laboratory), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), RST
(Reagin Screen Test)
Tes yang dianjurkan adalah VDRL dan RPR secara kuantitatif karena teknis lebih
mudah dan lebih cepat daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitif daripada tes
Kolmer/Wasserman, dan baik untuk menilai terapi. Jika terapi VDRL berhasil, maka titer
VDRL cepat menurun dalam enam pekan titer akan menjadi normal. Tes ini dipakai secara
rutin, termasuk untuk tes screening. Jika titer seperempat lebih tersangka penderita sifilis,
mulai positif stelah dua sampai empat pekan sejak sifilis primer timbul. Titer akan meningkat
hingga mencapai puncaknya padasifilis sekunder lanjut (1/64 atau 1/128) kemudian
berangsur-angsur menurun dan menjadi negatif.
Uji serologi treponemal termasuk pemeriksaan serum dengan metode fluorescent
treponemal antibody absorption (FTA-ABS). Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap
antigen treponemal dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji
nontreponemal, terutama pada sifilis lanjut. 17 tes ini bersifat spesifik karena antigennya ialah
treponema atau ekstraknya dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu Tes
imobilisasi:TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test), Tes fiksasi komplemen: RPCF
(Reiter Protein Complement Fixation Test), Tes imunofluoresen: FTA-Abs (Fluorescent
Treponemal Antibody Absorption Test), IgG dan IgMl; FTA-Abs DS (Fluorescent Treponemal
Antibody-Absorption Double Staining), Tes Hemoglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum
Haemoglutination Assay), IgS IgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS
(Hemaglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemagglutination Assay for
Antibodies to Treponema pallidum)
TPI merupakan tes yang paling spesifik, akan tetapi mahal den tekniknya lebih sulit,
serta membutuhkan waktu lama. Selain itu, reaksinya lambat, positif pada akhir stadium
primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis
8

dini dan sangat lanjut. RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah,
namun kadang didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua
macam yaitu untuk IgM dan IgG sudah positif pada waktu timbul kelainan sifilis primer. IgM
sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer IgM tetap turun, sedangkan IgG
lambat. IgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital. TPHA merupakan tes treponemal
yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif,
dan reaktif cukup dini. Kekurangannya tidak dapat digunakan untuk menilai hasil terapi
karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Dilakukan secara kuantitatif dengan pengenceran
antara 1/80-1/1024.
IgS IgM SPHA merupakan tes yang relatif baru. Sebagai antiserum ialah cincin
spesifik U dan reagin TPHA. Secara teknik lebih mudah daripada FTA-Abs IgM. Tujuan tes
ini adalah mendeteksi secara cepat IgM yang spesifik terhadap T. pallidum dan memegang
peranan penting untuk membantu diagnosis neurosifilis. Jika titernya melebihi 2560, artinya
menyokong diagnosis aktif.
Jika hasil tes serologi tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut perlu diulangi, mungkin
terjadi kesalahan teknis. Bila perlu dilakukan di laboratorium lain. Demikian pula hasil tes
yang satu dengan yang lainnya tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah (1/4), sedangkan
titer TPHA tinggi (1/1024).
Tabel 2. Interpretasi uji serologi sifilis
Hasil uji serologi
Non treponemal positif, treponemal negatif
Non treponemal positif, treponemal positif

Kesimpulan
Positif semu uji tapisan nontreponemal
Sifilis yang tidak diobati; sifilis lanjut yang pernah
diobati
Sifilis sangat dini yang belum diobati; sifilis dini yang
pernah diobati
Bukan sifilis; sifilis sangat lanjut; sifilis + infeksi HIV
dan imunosupresi

Non treponemal negaitf, treponemal positif


Non treponemal negatif, treponemal negatif

Tabel 3. Pola tes serologik sifilis dan interpretasinya


Serological pattern
Pattern
number
1
2

VDRL
+

TPHA
+

FTA-ABS
IgG IgM
+
+
+
+

Condition in wich the serological pattern is typical


Untreated (or recently treated) early primary syphilis
Untreated (or recently treated) early syphilis, except early
primary, and including re-infections
Untreated symptomatic late syphilis (nit usually tabes dorsalis,
where pattern 3 and 4 are commoner)
Symptomatic late syphilis treated within the preceding 5 years
Latent syphilis (some cases)

+
(low
titer)

VDRL

TPHA

+or -

Pattern
number

FTA-ABS
Ig
IgM
G
+
-

Treated late syphilis


Old yaws (some case)
Latent syphilis (some case)
Tabes dorsalis (some case)
Conditions in which serological pattern is typical
Treated early syphilis
Old Yaws
Tabes dorsalis (some case)
Latent Syphilis (some case)
Treated primary syphilis
Some cases of old treated or burn out treponemal infection
Biological fase positive fectors

DIAGNOSIS BANDING
Sifilis primer memiliki lesi berbentuk papul merah kecil atau erosi superficial
berkrusta, dalam beberapa hari sampai pekan berubah menjadi lebih bulat atau oval,
peninggian pada papul dengan permukaan erosi tetapi tidak mengeluarkan cairan dan tidak
menimbulkan nyeri (button-like papule). Lesi berukuran 1 atau 2 cm, lesi tunggal, terkadang
multipel atau kissing lesions, dan terdapat lesi primer yaitu chancre.3,11 Oleh karena itu, sifilis
primer dapat didiagnosis banding seperti pada tabel 1.
Tabel 4. Diagnosis Banding Sifilis Primer1
Infeksi
Herpes Simplek
Chancroid
Granuloma Inguinal
Limfogranuloma Venerum
Apthous Ulcer

Non-Infeksi
Erosi karena trauma atau Ulcer
Penyakit Behcet
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma Sel Basal
Erupsi Obat

Sifilis sekunder muncul 2-6 bulan setelah infeksi primer, lesi bersifat simetris,
generalisata, superfisial, bersisik dan berbentuk makula yang berubah menjadi makulopapular
atau papular. Lesi cenderung mengenai wajah, bahu, panggul, telapak tangan dan daerah
genital.3Diagnosis banding lesi makulo popular pada sifilis sekunder dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Diagnosis Banding Sifilis Sekunder1
Pertimbangkan
Ptiriasis Rosea
Kondiloma Akuminata (Kondiloma Lata)
Erupsi Obat
Erupi Viral
Psoriasis

Paling Mendekati
Liken Planus
Eksim
Sarcoid
Limfoma Sel T kutaneus
Eritema Multiform
Balanitis
Vulvitis
Granuloma Anular

10

Lupus Eritematosus
Dermatofitosis

Sifilis tersier merupakan akibat dari tidak adanya pengobatan pada sifilis
sebelumnya. Manifestasi klinis ditimbulkan hingga dapat menyebabkan kematian, namun
paling sering timbul adalah infiltrasi berbentuk guma. Guma timbul paling cepat 2 tahun
setelah riwayat kontak, namun dapat timbul lebih lambat. 12 Diagnosis banding sifilis sekunder
dapat dilihat pada Tabel 6
Tabel 6. Diagnosis Banding Sifilis Sekunder1
Paling Mendekati
Sarcoid
Karsinoma dengan metastase
Sarkoma
Limfoma
Granulomatosis dengan poliangitis (Wegeners)
Leismaniasis
Vaskulitis
Infeksi Fungal Profunda
Lupus Vulgaris
Psoriasis

DIAGNOSIS
Diagnosa sifilis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.1 Diagnosis pasti sifilis ditegakkan jika dapat ditemukan T. pallidum. Pemeriksaan
dilakukan dengan mikroskop lapangan gelap sampai 3 kali (selama 3 hari berturut-turut). 11
Gold Standard pemeriksaan sifilis adalah biakan secara in vivo dengan cara bakteri
diinokulasikan di testis kelinci, namun pemeriksaan ini membutuhkan waktu lama dan dana
yang banyak sehingga tidak efisien.9 Selain itu, diagnosis dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan serologis yaitu nontreponemal dan uji treponemal.14

PENATALAKSANAAN
Prinsip tatalaksana pada sifilis adalah mengobati pnderita dan mitra seksualnya.
Selama belum sembuh, penerita tidak boleh bersenggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten, terapi bermaksud mencegah
proses lebih lanjut. Tatalaksana sifilis dengan menggunakan Penisilin dan antibiotik lain
dibagi berdasarkan klasifikasinya yaitu tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Tatalaksana sifilis berdasarakan klasifikasinya19
Klasifikasi sifilis

Terapi anjuran

Alternatif terapi

Alternatif terapi pada alergi penisilin

11

Hamil
Early

syphilis

Benzatin

(sifilis

stadium

benzilpenisilin

dini),
primer,

sifilis
sifilis

sekunder.

2,4

juta IU injeksi IM

benzilpenisilin

1,2

juta IU injeksi IM

(pemberian dengan

(setiap hari selama

dua

10

kali

injeksi

hari

Laten

ditempat berbeda)
Benzatin

turut)
Prokain

Syphilis

(sifilis

benzilpenisil

benzilpenisili

2,4

1,2

juta IU (total 7,2

juta IU injeksi IM

juta IU) injeksi IM,

(setiap hari selama

(sekali

20

seminggu

selama 3 minggu

hari

berturut-

500mg

oral (4 kali sehari


selama 14 hari

mg (2 kali sehari
atau;

Tetrasiklin,

500 mg oral (4 kali


sehari) selama 14

Eritromisin 500 mg

hari.
Doksisiklin

oral (4 kali sehari

mg oral (2 kali

selama 30 hari)

sehari), atau;
Tetrasiklin,

100

500

mg (4 kali sehari)
selama

berturut)

30

hari,

atau 21-28 hari.

berturut-turut di hari
Neurosyphilis

Eritomisin

berturut-

Late

stadium lanjut)

Tidak Hamil
Doksisiklin
100

Prokain

ke 1, 8 dan 15)
Aquaous

Prokain

Doksisiklin

benzylpenicilin 18-

benzilpenisilin 1,2-

mg oral (2 kali

24 juta IU injeksi IB

2,4 juta IU, injeksi

sehari) selama 30

(pemberian dengan

IM setiap hari dan

3-4 juta IU. Setiap 4

Probenesid 500 mg

hari, atau
Tetrasiklin 500 mg

jam selama 14 hari).

oral (4 kali sehari)


selama 10-14 hari)

200

oral (4 kali sehari


30 hari).

atau;
Ceftroaxone 1-2 g
IV

setiap

hari

selama 10-14 hari


(apabila tidak ada
Sifilis kongenital

Usia < 2tahun dan

penizilin)
Usia 20; Aquaous

Eritromisin

infant

benzylpenicilin

12,5 mg/kg oral (4

200000-300000 juta

kali sehari) selama

IU/kg/hari

30 hari (pada bayi

dengan

abnormal
dengan;

CSF
Aquaous

injeksi

benzylpenicilin

IM.

100000-150000 juta

pemberian

IU/kg/hari

juta

IU/kg/dosis

IV setiap 12 jam,

setiap

4-6

selama

selama 10-14 hari.

injeksi
7

kehidupan

hari

Dengan
50000

diawal

7,5-

bulan

kehidupan)

jam

dan

setelah itu setiap 8


jam, totalnya selama
10 hari, atau;
Prokain

12

benzilpenisilin
50000 juta IU/kg
injeksi

IM

dosis

tunggal (selama 10
hari)

PROGNOSIS
Pada sifilis dapat sembuh bila diobati dengan tepat. Kriteria sembuh pada sifilis adalah
sembuh secara klinis, tes serologi dan hasil pemeriksaan cairan serebrospinal normal. Kasus
kambuh pada sifilis jarang terjadi, terkadang muncul setelah setahun terapi pada penderita
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, berupa lesi menular pada mulut,
tenggorok dan daerah perianal. Pada sifilis stadium lanjut dapat terjadi neurosifilis dan
menyebabkan kematian bila menyerang otak.5
KESIMPULAN
Sifilis terdiri dari beberapa stadium yang terdiri dari stadium sifilis primer, sekunder
dan tersier. Pada sifilis primer memiliki lesi berbentuk papul merah kadang disertai krusta,
dan pada papul terjadi erosi menimbulkan chancre. Pada sifilis sekunder gambaran berupa
simetris, generalisata, superfisial, bersisik dan berbentuk makula yang nantinya berubah
menjadi makulopapular atau papular. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis
ditambah dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
serologis yaitu pemeriksaan nontreponemal untuk skrining dan treponemal untuk konfirmasi.
Pengobatan diberikan antibiotik golongan penisilin (Benzathine penisilin G 2,4 juta IU IM)
dosis tunggal dan dilakukan skrining ulang saat 6 bulan dan 12 bulan setelah pengobatan.
Penyakit sifilis dapat sembuh bila ditatalaksana dengan baik. Pasien sifilis dinyatakan sembuh
bila tidak ditemukan gangguan klinis, tes serologi dan hasil pemeriksaan CSS normal. Kasus
kambuh pada sifilis jarang terjadi, namun dapat terjadi setelah 1 tahun masa pengobatan pada
pasien yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah.

13

DAFTAR PUSTAKA
1 Sanches, Miguel R, Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Syphilis in Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.hal. 19552

77
Peeling, R.W, Hook EW. The pathogenesis of syphilis : the Great Mimicker. Pubmed.
2006. 208 (2).hal.224-32

Jamez WD, Berger TG, Elston D. Andrews Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology. 11th ed. New york: Saunders Elsevier. 2011. hal. 345-56

14

Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, ed. Dermatology 2nd ed. Britain: Elsevier Mosby,

2008.
World Health Organization. The use of rapid syphilis tests. The sexually transmitted

diseases diagnostic initiative. Geneva: WHO.2006.


Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual.

Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2011.
Jawetz, Melnick, Adelberg. Spiroketa & mikroorganisme spiral lainnya Dalam:

Mikrobiologi Kedokteran, 23th ed, Jakarta: EGC. 2004. hal. 338-42.


Prince SA, Wilson LM. Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit, 6th,. Jakarta : EGC. 2006.hal. 1338-40


Efrida, Elvinawaty. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan Pemeriksaan Serologi.

2014. hal. 572-87


10 Pommerville, JC. Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamos Fundamentals
Of Microbiology, Body Systems Edition, Jones And Bartlett Publishers. 2010. hal. 8225.
11 Wolff

K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of

Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. hal.919-31


12 Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook's Textbook of Dermatology. 8th ed.
Chichester:Wiley-Blackwell.2010.
13 Brown WJ. Biology of treponema pallidum. In: Pathophysiology of Syphilis, Health
Guidance. Healthguidance. 2012.
14 Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi ke-17. Jakarta: Bakti
Husada. 2000. hal. 501-8
15 Ratnam S. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med Microbiol,
Canadian STI Best Practice Laboratory Guidelines. 2005; (16): No. 1
16 Kennedy EJ, BS Jr, Creighton ET. Venereal disease research laboratory (VDRL) Slide
Test . CDC. 2010.
17 Pope V, Fears BF. Serodia treponema pallidum passive particle agglutination (Tp-Pa)
Test .CDC. 2012.
18 CDC. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines. Atlanta.2015
19 Holmes KX, Sparling PF, Stam WE. Piot P, Wasserheit J, Corey L. In; Sexually
Transmitted Disease. New York: McGraw Hill. 2008.hal.661-84.
20 Yuwono; Spirochetes Dalam: Mikrobiologi Penyakit Infeksi, Palembang: Departemen

Mikrobiologi FK Unsri. 2012.hal.96-7

15

Anda mungkin juga menyukai