Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

SYPPHILIS

Disusun Oleh :
Tri Handini 1102014269

Pembimbing :
Dr. dr. Nenden Lilis Setiasih, SpKK, FINSDV, MM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT ARJAWINANGUN CIREBON

UNIVERSITAS YARSI
2020

1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………. 4
A. DEFINISI ……………………………………………………………………… 4
B. ETIOLOGI …………………………………………………………………….. 5
C. KLASIFIKASI ………………………………………………………………… 6
D. PATOGENESIS ……………………………………………………………….. 6
E. MANIFESTASI KLINIS ……………………………………………………… 8
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG ……………………………………………… 14
G. PENATALAKSANAAN ……………………………………………………… 18
H. PENCEGAHAN……………………………………………………………….. 20
I. PROGNOSA ………………………………………………………………….. 20

BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………………… 21


DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 22

2
BAB I
PENDAHULUAN

Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat
kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh,
dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke
janin. Dalam istilah Indonesia disebut juga raja singa. Meskipun insidens sifilis kian
menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan karena merupakan penyakit berat. Hampir semua
alat tubuh dapat diserang, termasuk sistem kardiovaskular dan saraf.
Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis kongenital (ditularkan
dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis didapat/akuisita (ditularkan melalui
hubungan seks atau jarum suntik dan produk darah yang tercemar). Sifilis yang didapat
terbagi lagi menjadi sifilis dini , stadium I (SI), stadium II (SII) dan stadium lanjut SII. Sifilis
kongenital juga terbagi dua, yaitu sifilis kongenital dini dan sifilis kongenital lanjut.
Pada tahun 2000 dan 2001, di dunia dilaporkan bahwa kasus sifilis primer dan
sekunder 2,1% kasus per 100.000 populasi, kasus terendah setelah tahun 1941. Tetapi, setelah
tahun 2000 – 2001 kasus sifilis mulai meningkat. Pada tahun 2015, sebanyak 23.872 kasus
sifilis primer dan sekunder. Selama 2014 – 2015, sifilis meningkat sebanyak 19% yaitu 7,5
kasus per 100.000 populasi, angka tertinggi sejak tahun 1994. Selama 2000 – 2015,
peningkatan sifilis pada laki – laki khususnya gay dan bisexual.
Dikarenakan perkembangan kasus sifilis secara terus menerus kasus, maka penulis
akan membahas mengenai sifilis stadium I dan stadium II pada referat ini, dengan tujuan
untuk menambah pengetahuan bagi penulis maupun pembaca.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI SIFILIS
Sifilis merupakan infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh Treponema
pallidum, subspecies pallidum, infeksi menular seksual yang berkarakteristik dengan
adanya episode bergejala dan terdapat episode laten serta dapat ditularkan dari ibu ke
janin.
Sifilis primer (SI), stadium ini merupakan stadium dimana didapatkan papul
lenticular pada kullit, lalu segera menjadi erosi kemudia menjadi ulkus dengan bentuk
bulat dan soliter. Pada permukaan kulit sekitarnya tidak menunjukan peradangan yang
akut. Biasanya terjadi di sulcus coronaries pada pria sedangkan wanita pada labia
mayor.
Sifiis sekunder (SII), adanya ruam kulit dan/atau lesi membran mukosa (luka
di mulut, vagina atau anus) merupakan tanda dari gejala sifilis stadium II. Stadium ini
umunya dimulai dengan berkembangnya satu atau lebih ruam di tubuh. Pada SII
selain kelainan pada mukosa, dapat pula terjadi kelainan pada kelenjar getah bening,
mata hepar, tulang dan syaraf.

EPIDEMIOLOGI SIFILIS

Sifilis terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi


rendah dan di kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering
terkena infeksi adalah golongan usia muda berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif
secara seksual.
Pada tahun 2000 dan 2001, di dunia dilaporkan bahwa kasus sifilis primer dan
sekunder 2,1% kasus per 100.000 populasi, kasus terendah setelah tahun 1941. Tetapi,
setelah tahun 2000 – 2001 kasus sifilis mulai meningkat. Pada tahun 2015, sebanyak
23.872 kasus sifilis primer dan sekunder. Selama 2014 – 2015, sifilis meningkat
sebanyak 19% yaitu 7,5 kasus per 100.000 populasi, angka tertinggi sejak tahun 1994.
Selama 2000 – 2015, peningkatan sifilis pada laki – laki khususnya gay dan bisexual.

4
Integrated Behavioral and Biological Survey (IBBS) / Survey Terpadu Biologi
dan Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia melaporkan prevalensi sifilis pada
populasi WPS yang terinfeksi HIV sebesar 16,7%; sedangkan pada mereka yang tidak
terinfeksi HIV 9,47%. Prevalensi sifilis pada LSL - HIV 23,8% sedangkan pada yang
LSL – non HIV 16,67%. Pada kedua populasi tersebut, secara statistik terbukti bahwa
prevalensi sifilis berkorelasi positif dengan prevalensi HIV. Korelasi tersebut
ditunjukkan dengan odds ratio sebesar 1,91 dan 3,63.
STBP 2011 di Indonesia juga melaporkan prevalensi sifilis masih cukup tinggi.
Pada populasi waria, prevalensi sebesar25%, WPSL (Wanita Penjaja Seksual
Langsung) 10%, LSL (Lelaki yang berhubungan Seks dengan Lelaki) 9%, warga
pembinaan lembaga pemasyarakatan 5%, pria berisiko tinggi 4%, WPSTL (Wanita
Penjaja Seks Tidak Langsung) 3% dan Penasun (Pemakai Narkoba Suntik) 3%.

ETIOLOGI SIFILIS

Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudin dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales. Familia Spirochaetacae
dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um,
lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya
berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak
secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam,
sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam
Adhi, kinghorn

Gambar 1: Treponema pallidum yang berbentuk spiral

5
KLASIFIKASI SIFILIS
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis
kongenital dibagi menjadi: dini (sebelum dua tahun), lanjut (sesudah dua tahun), dan
stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan
epidemiologik.
Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi tiga stadium: stadium I (S I),
stadium II (S II), dan stadium Ill (S 111).
Secara epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi:
- Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,
stadium rekuren, dan stadium laten dini.
- Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium
laten lanjut dan S Ill. Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada
yang memasukkannya ke dalam S Ill atau S IV

PATOGENESIS SIFILIS
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang
menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.
Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh dan
kulit yang luka, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran darah,
kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial
jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa
jam setelah terpapar, terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi
belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun
yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembangbiak
Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara in vivo 30-33 jam.
Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasanya bertahan
selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya,
kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat
yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat
sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat masuknya kuman
tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum berada diantara endotel
kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat
menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini

6
mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi
erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre. Pada pemeriksaan klinis tampak
sebagai S I. Dan S II terjadi 6-8 minggu sesudah S I.
Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami secara
detail, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik karena didalam
dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin. Meskipun didalam
lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan kerusakan jaringan yang
cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar sel akan terbunuh oleh
fagosit tetapi ada sejumlah kecil Treponema yang dapat tetap dapat bertahan di dalam
sel makrofag dan di dalam sel lainya yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan
fibroblas. Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum
dapat hidup dalam tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa
asimtomatik yang merupakan ciri khas dari penyakit sifilis. Sifat invasif Treponema
sangat membantu memperpanjang daya tahan kuman di dalam tubuh manusia.

Gambar 2 : Patofisiologi Sifilis

7
MANIFESTASI KLINIS SIFILIS
1. SIFILIS AKUISITA (DIDAPAT)
STADIUM I
Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya
segera menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Papul membesar
dengan ukuran 0,5 – 1,5 cm kemudian mengalami ulserasi, membentuk ulkus.
Ulkus sifilis yang khas berupa bulat, diameter 1-2 cm , tidak nyeri, dasar ulkus
bersih tidak ada eksudat, teraba indurasi, soliter tetapi dapat juga multipel.
Hampir sebagian besar disertai pembesaran kelenjar getah bening inguinal
medial unilateral atau bilateral.

Timbul suatu ulkus yang disebut ulkus durum yang mempunyai sifat
khusus :
a. Tidak nyeri
b. Sekitar ulkus teraba keras
c. Dasar ulkus bersih dan berwarna merah
d. Soliter

Gambar 2 : Sifilis primer dengan lesi yang berbatas tegas

STADIUM II
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I
dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai
sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada
S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II.

8
Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan,
malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.
Lesi sekunder yang terjadi merupakan manifestasi penyebaran
Treponema pallidum secara hematogen dan limfogen.Manifestasi klinis sifilis
sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ
tubuh. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula, folikulitis,
papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi dapat
ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak tangan dan kaki.
Papul biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5 – 2 cm,
umumnya berskuama tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan
pada sifilis kongenital.

Bentuk Lesi
1. Roseola
Roseola ialah eritema makular, berbintikbintik atau berbercak-
bercak, wamanya merah tembaga, bentuknya bulat atau lonjong.
Roseola biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat
pada S II, dan di sebut roseola sifilitika. Karena efloresensi tersebut
merupakan kelainan S II dini maka seperti telah dijelaskan,
lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki
ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat dan
menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa
hari/minggu, dapat pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan
tersebut dapat residif, jumlahnya menjadi lebih sedikit, lebih lama
bertahan, dapat anular, dan bergerombol. Jika menghilang,
umumnya tanpa bekas, kadang-kadang dapat meninggalkan bercak
hipopigmentasi.
2. Papul
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S
II. Bentuknya bulat, ada kalanya terdapat bersama-sama dengan
roseola. Papul tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir
(kolerat) dan disebut papulo-skuamosa. Skuama dapat pula
menutupi permukaan papul sehingga mirip psoriasis, oleh karena
itu dinamai psoriasiformis. Jika papul-papul tersebut menghilang
9
dapat meninggalkan bercak-bercak hipopigmentasi dan disebut
leukoderma koli atau collar of Venus.
Bentuk lain ialah kondilomata lata, terdiri atas papul-papul
lentikular, permukaannya datar, sebagian berkonfluensi, terletak
pada daerah lipatan kulit; akibat gesekan antarkulit permukaannya
menjadi erosif, eksudatif, sangat menular. Tempat predileksinya di
lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah mamme, dan
antarjari kaki.
3. Pustul
Bentuk ini jarang didapatkan. Mula-mula terbentuk banyak
papul yang segera menjadi vesikel dan kemudian terbentuk pustul,
sehingga di samping pustul masih pula terlihat papul.

STADIUM II PADA MUKOSA


S II pada mukosa biasanya timbul bersama-sama dengan eksantema
pada kulit, kelainan pada mukosa ini disebut enantem, terutama terdapat pada
mulut dan tenggorok. Umumnya berupa makula eritematosa, yang cepat
berkonfluensi sehingga membentuk eritema yang difus, berbatas tegas dan
disebut angina sifilitika eritematosa. Keluhannya nyeri pada tenggorok,
terutama pada waktu menelan. Sering faring juga diserang, sehingga memberi
keluhan suara parau. Pada eritema tersebut kadang-kadang terbentuk bercak
putih keabu-abuan, dapat erosif dan nyeri.

Gambar 3: Sifilis Sekunder pada Palatum


Molle

10
Gambar 4: Sifilis Sekunder pada Komisura Mukosa

STADIUM II PADA RAMBUT


Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat
difus dan tidak khas, disebut alopesia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi
kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut
yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut
alopesia areolaris. Bercak-bercak tersebut disebabkan oleh roseola/papul, akar rambut
dirusak oleh treponema. Kerusakan tersebut dapat juga terjadi pada alis mata bagian
lateral dan janggut.

STADIUM II PADA KUKU


Kelainan pada kuku jarang dibandingkan dengan pada rambut. Warna kuku
berubah menjadi putih, kabur. Selain itu juga menjadi rapuh, terdapat pula alur
transversal dan longitudinal. Bagian distal lempeng kuku menjadi hiperkeratotik
sehingga kuku terangkat. Kelainan tersebut dinamakan onikia sifilitika. Pada
paronikia sifilitika timbul radang kronik, kuku menjadi rusak, kadang-kadang kuku
terlepas. Kelainan ini sukar dibedakan dengan paronikia oleh piokokus dan kandida.

STADIUM II PADA ALAT LAIN


a. Kelenjar getah bening
Pada S II umumnya seluruh kelenjar getah bening superfisial membesar,
sifatnya seperti pada SI.
b. Mata
Pada S II lanjut terjadi uveitis anterior, tetapi lebih sering terjadi pada stadium,
rekuren. Koroido-retinitis dapat terjadi, tetapi jarang.
c. Hepar
Kadang-kadang terjadi hepatitis, hepar membesar dan menyebabka ektirus
ringan.

11
d. Tulang Sendi dan bursa jarang dikenai, terbentuk efusi. Kelainan berupa
pembengkakan, biasanya tidak nyeri dan pergerakan tidak terganggu.
Periostitis atau kerusakan korteks akan menyebabkan nyeri.
e. Saraf Pada pemeriksaan likuor serebrospinalis, tampak kelainan berupa
peninggian sel dan protein. Gejala klinis pada stadium ini jarang, tetapi dapat
disebabkan oleh meningitis akut/ subakut. Tekanan intrakranial dapat m
ningkat dan memberi gejala nyeri kepala, muntah, dan udema papil.
Pemeriksaan serebrospinal pada S II ini tidak perlu dikerjakan secara rutin.

SIFILIS KONGENITAL
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis
dini sebab banyak T.pallidum beredar dalam darah, treponema masuk secara
hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa
kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada
tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai
90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis
lanjut 30%. Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang
kemudian menjadi berkurang. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital
dini (prekoks), sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan
lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, menyerupai S II, sedangkan yang
lanjut berbentuk guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau
deforrnitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.

SIFILIS KONGENITAL DINI


Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain
di badan. Cairan bula mengandung banyak T. Pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini
adakalanya disebut pemfigus sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi
berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul
atau papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur,
misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti
kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut
mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi
berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput.

12
Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku dapat
terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang
baru bentuknya akan berubah. Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat
plaque muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada
daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis dan
disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau
seropurulen yang sangat menular. Hepar dan lien membesar akibat invavasi
T.pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit
ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk
albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru
kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih". Tulang sering
diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang
panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran khas
pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak
sehingga tidak dapat digerakkan; seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo
paralisis Parrot.

SIFILIS KONGENITAL LANJUT


Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat
menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan alat dalam. Yang khas ialah guma pada
hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila
meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan
deforrnitas. Guma pada palatum mole dan durum juga sering terjadi sehingga
menyebabkan perforasi pada palatum. 464 Periostitis sifilitika pada tibia umumnya
mengenai sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre
tibia. Osteoperiostitis setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut
Parrot nodus, umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal. Keratitis interstisial
merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga
puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat
menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang
biasanya bilateral. Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri
disertai efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara
umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan menghilang tanpa
meninggalkan kerusakan. Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes
13
dorsalis. Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus
kranial, hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata juvenilis
biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh belas tahun. Tabes juvenilis
umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga dewasa muda. Aortitis
sangat jarang terjadi

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING SIFILIS


Untuk mendiagnosis sifilis, dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
1. Anamnesis

Riwayat yang akurat penting untuk mengidentifikasi potensi komplikasi (baik awal
maupun akhir) dan untuk membedakan tipe laten akhir, pernah medapat terapi dan
infeksi non-veneral T. Palllidum yang mana dapat menunjang hasil serologi yang
identik.
Seluruh riwayat hubungan sexual:
a. Untuk sifilis primer (primary syphilis) – termasuk semua partner sexual dalam 3
bulan terakhir

b. Untuk sifilis sekunder awal (early secondary syphilis) dan laten sifilis awal
(early latent syphilis) – semua partner dalam 2 tahun terakhir

Pertanyaan langsung gejala sifilis:


a. Penelusuran mendalam diagnosis sifilis sebelumnya (waktu, terapi yang pernah
didapat, hasil serologi sebelumnya)

b. Pemeriksaan sifilis sebelumnya (screening antenatal, donor darah, skrining


kesehatan seksual)

2. Pemeriksaan fisik

Awal penyakit (primer atau sekunder) untuk dilakukan pemeriksaan berikut saat
terindikasi :
a. Pemeriksaan genital
b. Pemeriksaan kulit termasuk mata, mulut, kulit kepala, telapak tangan dan kaku
c. Pemeriksaan neurologis apabila ada gejala neuologis
Tipe akhir yang simptomatis; pemeriksaan dilakukan sesuai indikasi dengan
memberi perhatian pada:

14
a. Kulit (efloresensi)
b. Sistem muskuloskeletal (pada kejadian kongenital)
c. Sistem kardiovaskular (kemungkinan adanya tanda aorta regurgitasi)
d. Sistem nervus (general paresis, dysarthria, hypotonia, refleks abnormal)

3. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan T Pallidum
Bahan sediaan: serum dari bagian dasar/dalam lesi kulit yang diperoleh
setelah membersihkan lesi dengan larutan garam faal.

Cara pemeriksaan
- Mikroskop lapangan gelap adalah dengan mengambil serum dari lesi
kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan
gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada
hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres dengan larutan garam
faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis,
mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih
pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap
sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pada
pandangan
- Pewarnaan Burry adalah untuk melihat bentuk treponema yang sudah
mati sehingga tidak dapat dilihat pergerakannya.
- Teknik Fluoresens, spesimen dioleskan pada gelas objek lalu difiksasi
dengan aseton, diberi antibodi spesifik yang dilabeli zat fluoresens dan
diperiksa dengan mikroskop.

2. Tes Serologik Sifilis (T.S.S.)


T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis
yang penting bagi sifilis
T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu :
- Nontreponemal (Tes Reagin)
Digunakan untuk screening atau konfirmasi hasil positif tes
treponemal, digunakan sebagai panduan terapi:
a) Tes fiksasi komplemen: Wasserman (WR), Kolmer.
b) Tes flokulasi:

15
VDRL (Venereal Disease Research Laboratories)
c) SI muncul dalam 2-4 minggu dengan titer 1/4 atau
lebih, SII lanjut titer 1/64 atau 1/128 perlahan turun
hingga (-)
d) RPR (Rapid Plasma Reagin)
Memakai antigen VDRL. Kelebihan 1) flokulasi dapat
terlihat secara mikroskopik, 2) lebih sederhana, 3) lebih
cepat.
- Tes Treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau
ekstraknya, digunakan untuk mengkonfirmasi hasil positif tes antibodi
non treponemal dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok:
a) Tes Imobilisasi: TPI (Treponemal pallidum Imobilization
Test).
Tes paling sensitif namun memiliki beberapa kekurangan,
yakni teknik sulit, mahal, reaksi lambat (dapat negatif pada
sifilis dini/sangat lanjut) tidak dapat menilai hasil terapi
b) Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein
Complement FixationTest).
Dapat dijadikan tes skrining karena murah namun dapat
memberikan hasil positif palsu.
c) Tes Imunofluoresen:
FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody Absorption
Test), ada dua jenis pemeriksaan: lgM sangat reaktif pada
sifilis dini dan cepat menurun setelah terapi, lgG lambat
menurun setelah terapi
d)Tes hemoglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum
Haemoglutination Assay)
Sebaiknya dilakukan kuantitatif dengan pengenceran 1/80 –
1/1024 karena kelebihannya: pengerjaan dan pembacaan
mudah, cukup sensitif dan spesifik, mudah reaktif sejak dini
dan kekurangannya tidak dapat digunakan untuk menilai
hasil terapi.

16
Tabel 1. Interpretasi Hasil Tes Serologi Sifilis.1
VDRL TPHA FTA-Abs Interpretasi
IgG IgM
- - + + S I dini belum diterapi atau baru
saja diterapi
+ + + + -Sifilis dini belum diterapi atau
baru saja diterapi, khususnya S I
dini dan reinfeksi
-Sifilis lanjut asimptomatik belum
diterapi
-Sifilis lanjut simptomatik yang
diterapi 5 tahun sebelumnya
-Sifilis laten
+ + + - Sifilis lanjut yang diterapi
- + + - -Sifilis dini yang diterapi
-Old yaws
- - + - -S I yang diterapi
-Infeksi treponema burn out atau
kasus lama
+ - - +/- Rekasi positif semu biologik

DIAGNOSIS BANDING
Untuk differential diagnosis dari Sifilis ini tergantung dari stadiumnya:
1. Stadium I (SI)
a. Herpes Simpleks
Herpes Simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
(virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang
berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens
2. Stadium II (SII)

a. Pitiriasis Rosea

17
Pitiriasis Rosea adalah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai dengan
sebuah lesi inisial ang berbentuk eritema dan skuama halus. Pitiriasis rosea (PR)
adalah dermatosis papulo-squamous yang relatif umum dan belum diketahui
penyebabnya, yang terutama muncul pada remaja dan dewasa muda (10-35
tahun), sedikit lebih sering pada wanita. Berdasarkan bukti ilmiah, diduga
pitiriasis rosea merupakan eksantema virus yang berhubungan dengan reaktivasi
Human Herpes Virus (HHV-6 dan HHV-7).

TATALAKSANA SIFILIS
Medikamentosa menggunakan penisilin dan antibiotik lain.
1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus
placenta sehingga mencegah infeksi sifilis dini dan lanjut serta pada janin n dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi

Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:


a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam,
jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM),
lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum
dua sampai tiga minggu, bersifat kerja lama.

18
Gambar 5 : Tatalaksana sifilis

2. Antibiotika Lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai
pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi
terhadap penisilin diberikan :
- tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau
- eritromisin 4 x 500 mg/hri, atau
- doksisiklin 2 x 100 mg/hari

Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten.

19
PENCEGAHAN SIFILIS
Pencegahan kasus baru sebaiknya dengan memberikan edukasi tentang
penyakit menu;ar seksual tersebut kepada populasi umum dan khususnya populasi
yang rentan (prostitusi, obat-obatan intravena, dan lain-lain). Konseling pasien
untuk mengobati pasangannya dan menganjurkan penggunaan kondom dalam
berhubungan. Menghindari transmisi penyakit dapat dilakukan dengan deteksi dan
inisiasi dini serta terapi yang adekuat untuk pasangan. Pada deteksi dini dilakukan
dengan penggunaan rapid test pada pasangan atau wanita hamil.

PROGNOSIS SIFILIS
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik.
Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.
Pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh
klinis seumur hidup, tidak menular ke orang lain, T.S.S. pada darah dan likuor
serebrospinalis selalu negatif. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir
seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S Ill, 10% mengalami sifilis
kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23% akan
meninggal.
Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan
kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan
menetap berminggu-minggu. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II.
Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun sesudah terapi, berupa lesi menular
pada mulut, tenggorok, dan region perianal

- Qua ad Vitam : dubia ad bonam


- Qua ad Sanationam : dubia ad bonam
- Qua ad Kosmetikam : dubia ad bonam

20
BAB III
KESIMPULAN

• Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik.
• Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai
banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin.
T.pallidum penyebab sifilis dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain
melalui hubungan genito-genital (kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral).
Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa
kehamilan.
• Diagnosis ditegakkan secara sempurna dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang seperti Serologi Tes Sifilis (STS).
• Antibiotik yang biasa dipakai dalam penatalaksanaan Sifilis ialah Penisilin.
• Dengan pemberian penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Jika tidak
diobati, mak 25% akan kambuh, pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan
mencapai 95%.
• Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I danS II. Kambuh klinis umumnya terjadi
setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan regio
perianal.

DAFTAR PUSTAKA

21
Adhi D. Sifilis. In: Mochtar Hamzah, Siti Aisah (eds.) Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. p.455.
Amaral S, Souza F, Aguiar M, Antonucci C, Lacerda J, Cota L. Specific
clinical finding of secondary syphilis in the oral mucosa: a series of six case reports.
Brazil. 2016. p16-17
Anonym. Guidelines For The Management of Sexually Transmitted Infevction.
Switzeland. World Health Organization; 2015. p. 1
Anonym. Sexually Transmitted Disease 2015. Atlanta:Center of Disease
Control and Prevention. 2015. p. 31
Devi Putri, Hendra Tarigan. 2014. Syphilis. Artikel Review: J MAJORITY
Volume 3 Nomor 7. Medical Faculty of Lampung University, Dermatovenerologist
Division of Abdoel Moeloek Hospital6
Efrida, Elvinawaty. 2014. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan
Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas: Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang
Kinghorn GR. Syphilis and Bacterial Sexually Transmitted Infections. In: DA
Burns, SM Breathnach, NH Cox, CEM Griffiths (Eds.) Rook's Textbook of
Dermatology, 8th edition. Sheffield, UK: Blackwell Publishing Ltd; 2010. p.34.1-
34.25.
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Sifilis Untuk Pengendalian
Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. p. 2-3
L.H. Emily, A.L. Sheila. Syphilis: using modern approaches to understand an
old disease. J Clin Invest. 2011;121(12): 4584-4592.
Wolf K. In: Fitzpatrick’s Dermatology in Internal Medicine Seventh Edition
Volume 1&2. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 1993

22

Anda mungkin juga menyukai