Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

SIFILIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RSUD DR. ADHYATMA, MPH, SEMARANG

Pembimbing :

dr. Agnes Sri Widayati, Sp.KK

Disusun Oleh :

Faqih Bawazir Sudrajat

112170030

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON
RSUD DR. ADHYATMA, MPH, SEMARANG
2017

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

BAB I PENDAHULUAN 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..4

A. DEFINISI..4
B. ETIOLOGI ............4
C. KLASIFIKASI ..5
D. PATOGENESIS ...5
E. MANIFESTASI KLINIS ..7
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG ...18
G. PENATALAKSANAAN 20
H. TINDAK LANJUT .23
I. PROGNOSA ..23

BAB III KESIMPULAN ....25

DAFTAR PUSTAKA 26

BAB I

PENDAHULUAN

1
Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat terbesar. Penyakit Sifilis merupakan salah satu penyakit menular
Seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum yang bersifat akut
dan kronis. Jalan utama penularannya melalui kontak seksual. Infeksi ini juga dapat
ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan
terjadinya sifilis kongenital. Jika cepat terdeteksi dan diobati, sifilis dapat disembuhkan
dengan antibiotika. Tetapi jika tidak diobati, sifilis dapat berkembang ke fase
selanjutnya dan meluas ke bagian tubuh lain di luar alat kelamin. Sifilis sering disebut
the great imitator karena effloresensinya yang menyerupai kelainan kulit yang lain. (1)

Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan insidens sifilis adalah,


bangsa/ras, pekerjaan dan tingkat sosial. Di Amerika Serikat, dilaporkan jumlah
penderita sifilis tahun 2006 sebesar + 36.000 orang. Kasus terbanyak adalah sifilis
primer dan sekunder yang terjadi pada wanita usia 20-24 tahun dan pada pria usia 35-39
tahun. Sedangkan pada tahun 2008, dilaporkan angka kejadian sifilis di Amerika Serikat
mengalami penurunan menjadi 13.500 kasus dengan persentasi terbesar pada rentang
usia 20-29 tahun, dimana 63% kasus terjadi pada pria homoseksual.(1,2)
Secara Global Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada
Tahun 1999 Jumlah kasus baru sifilis di dunia adalah sebesar 12 juta kasus. Di Amerika
Latin dan Karibia pertambahan jumlah kasus baru diperkirakan 3 juta jiwa. Pada
beberapa studi, kasus Sifilis saat ini mulai banyak ditemukan pada kelompok
Transgender. Studi pada kelompok Transgender muda di Chicago menyebutkan terjadi
peningkatan 1,3% (2005-2008) menjadi 10,1% pada Tahun 2009. (1)Kejadian penyakit
sifilis di Amerika Serikat terdapat lebih dari 36.000 kasus sifilis pada tahun 2010,
termasuk 9.756 kasus sifilis primer dan sekunder. Sebagian besar kasus tersebut terjadi
pada pasien berusia 20 sampai 39 tahun. Insiden sifilis pada wanita tertinggi pada usia
20 sampai 24 tahun dan pada laki-laki 35 sampai 39 tahun. Sementara kasus sifilis
kongenital pada bayi baru lahir meningkat dari 2009 sampai 2010, dari 339 kasus baru
yang dilaporkan pada tahun 2009 menjadi 349 kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2010

2
tercatat 64% dari kasus sifilis dilaporkan terjadi pada pria yang berhubungan seks
dengan pria.

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) melalui Surveilans Terpadu Biologis


dan Perilaku (STBP) bahwa pada tahun 2011 mendapatkan angka kejadian sifilis di
Indonesia diderita oleh waria sebesar 25%, pekerja seks langsung sebesar 10%, pria
yang berhubungan seks sesama pria sebesar 10%, pekerja seks tidak langsung sebesar
3% dan narapidana sebesar 3%.2 Jika tidak diobati, angka mortalitas mencapai 8%
hingga 58%, dengan angka kematian lebih tinggi ada laki-laki. Keparahan gejala sifilis
berkurang selama abad ke-19 dan 20, sebagian karena semakin banyaknya ketersediaan
pengobatan efektif dan karena penurunan virulens dari spirochaete. Dengan pengobatan
dini, komplikasi lebih sedikit. Sifilis meningkatkan risiko penularan HIV dua hingga
lima kali, dan infeksi lainnya juga banyak terjadi. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah, Jumlah kasus baru IMS lainnya termasuk sifilis di Provinsi Jawa Tengah
tahun 2012 sebanyak 8.671 kasus, lebih sedikit dibanding tahun 2011 (10.752 kasus).
Meskipun demikian kemungkinan kasus yang sebenarnya di populasi masih banyak
yang belum terdeteksi.3

Meskipun kejadian sifilis sudah menurun, penyakit ini harus mendapat


perhatian. Hampir semua system dalam tubuh dapat diserang termasuk system
kardiovaskuler dan saraf. Selain itu wanita hamil dapat menularkan pada janinnya
sehingga menyebabkan sifilis congenital yang dapat mengakibatkan kelainan bawaan
dan kematian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

3
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum yang
sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir
seluruh alat tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin. Penyakit syphilis disebut juga Mal de naples, morbus
gallicus, lues venereal (Prat), disease of the isle of espanole (Dias), Spanish of French
disease, Italian or Neopolitan disease atau raja singa.(4)

B. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan
genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar
0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa
rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara
pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan
pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat
mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.4,8,9

C. Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi: (4,11)
1. Sifilis kongenital
a. Dini : Sebelum 2 tahun

4
b. Lanjut: Sesudah 2 tahun
c. Stigmata
2. Sifilis Akuisita (didapat): Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara:
a. Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium:
1. Stadium I (SI)
2. Stadium II (SII)
3. Stadium III (SIII)
b. Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi:
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI,
SII, Stadium rekuren dan stadium laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri
atas stadium laten lanjut dan SIII.
D. Patogenesis
1. Stadium Dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya
melalui sanggama. Kuman tersebut membiak jaringan bereaksi dengan membentuk
infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular,
pembuluh- pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel
radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan
perivaskular disekitarnya. Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada
pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai
kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula
penjalaran hematogen dan menyebar kesemua jaringan di badan, tetapi manifestasinya
akan tampak kemudian.(4)
Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam
sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di
tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan
akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu
menghilang. Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang
aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan
bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi
sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau
kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi
rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular
tersebut dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun.(4)
2. Stadium Lanjut

5
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun dan keadaan treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat berubah karena sebabnya belum
jelas, kemungkinan trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu
munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.
pallidum namun reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-
tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-
tempat lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu
dini, tetapi kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-
tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak
mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua
pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.(4)
E. Manifestasi Klinis
A. Sifilis Akuisita
a) Sifilis Dini
1) Sifilis Primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre),
tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja
di daerah genitalia eksterna yaitu 3 minggu setelah kontak. Lesi awal
biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat
indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya
bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang
mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain,
maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut
dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus
koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga
dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu
disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral.
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah
bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks
primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya
lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya
tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut. Afek primer tersebut sembuh

6
sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee dipakai,
jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam,
misalnya pada transfuse darah atau suntikan.4,5,8

Ulkus Durum
2) Sifilis Sekunder (SII)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I
dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai
sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi,
pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S
II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat
badan, malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh serta dapat disertai demam dan malaise. Juga
adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila
ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat
berupa makula, papul, folikulitis, papula skuomosa, dan pustule, jarang
dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis
kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit
sehingga disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII
dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata,
hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan
(malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.4,5

7
Bercak eritem pada SII
Bentuk Lesi
1. Roseola
Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warna
merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm. Roseola biasanya
merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II dan disebut roseola
sifilitika. Karena efloresensi tersebut merupakan kelainan S II dini,maka seperti telah
dijelaskan, lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut
dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat dan menyeluruh. Roseola
akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu, dapat pula bertahan hingga
beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif, jumlahnya menjadi lebih sedikit,
lebih lama bertahan, dapat anular, dan bergerombol. Jika menghilang, umumnya
tampak bekas, kadang kala dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut
leukoderma sifilitikum. Jika roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat
menyebabkan rontoknya rambut.(4,8)

Roseola Sifilitika
2. Papul

8
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II.
Bentuknya bulat, ada kalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul tersebut dapat
berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut papulo-skuamosa. Skuama
dapat pula menutupi permukaan papul sehingga mirip psoriasis, oleh karena itu
dinamakan psoriasiformis. Jika papul-papul tersebut menghilang dapat meninggalkan
bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitika, yang akan menghilang
perlahan-lahan. Pada S II dini, papul generalisata dan simetrik, sedangkan pada yang
lanjut bersifat setempat dan tersusun secara teratur, arsinar, sirsinar, polisiklik, dan
korimbiformis. Papul-papul tersebut juga dapat dilihat pada sudut mulut, ketiak, di
bawah mammae, dan alat genital. (4,8)
3. Pustul
Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang menjadi
vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping pustul masih pula
terlihat papul. Timbulnya banyak pustul ini sering disertai demam yang intermitten
dan penderita tampak sakit lamanya dapat berminggu-minggu. Kelaianan kulit
demikian disebut sifilis variseliformis karena menyerupai varisela.(4)
4. Bentuk lain
Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul, dan
krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu disebut sifilis
impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang tertutupi krusta yang disebut
ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal disebut rupia sifilitika. Disebut sifilis ostrasea
jika ulkus meluas ke perifer sehingga berbentuk seperti kulit kerang. Sifilis yang
berupa ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan mukosa disertai demam dan keadaan
umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat menyebabkan kematian. Pada S II
yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus dan tidak
khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi kerontokan setempat
setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak
botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris.
Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak
diobati,infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.(4)

9
S II pada wajah S II pada mulut

Alopecia Areolaris Sifilitika


3) Sifilis Laten Dini
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-
alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif,
sedangkan tes likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah
VDRL dan TPHA. Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala
klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan
penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau
seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada
tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma,
kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Fase ini bisa
berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan
sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang
infeksius kembali muncul.(4)
4) Stadium Rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip
SII, maupun serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada

10
sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup.
Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadang-kadang SI. Kadang-kadang
relaps terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive.(4)
b) Sifilis Lanjut
1) Sifilis Laten Lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga
bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis
hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik.
Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada orititis.(4)
2) Sifilis Tersier (SIII)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun
setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip,
kronis, biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari
lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak
menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah
beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda
radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat
terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan
seropurulen, kadang-kadang sanguinolen. Pada beberapa kasus disertai
jaringan nekrotik. Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus,
bentuknya lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut
terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk
pinggir yang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus, maka infiltrat yang
terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa
pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa
tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya
asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma
multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain guma,
kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-mula dikutan kemudian
ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan
umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam
perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan

11
membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik.
Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil
(miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan
untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata).
Warnanya merah kecoklatan. Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat
tumbuh terus secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat
tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah
bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut
nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik,
tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.(4)

Guma Pada S III

SIII pada Mukosa


Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang
setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan
melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan
septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah
guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia
SIII pada Tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus.
Gejala nyeri, biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis
gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X
SIII pada Alat Dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.Guma
bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi,

12
membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum. Esofagus dan
lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada
paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh
terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika
urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-
kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan
unilateral. Kadang kadang memecah ke bagian anterior skrotum

B. Sifilis Kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30
tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga
kali daripada wanita. Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke
arah katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau
aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut,
akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya
hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisma aorta
torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa
kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis
darah reaktif, pada tahap pertama harus diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat
dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif.(4)
C. Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang
terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa
endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa
yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan.(6)
D. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis
dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara
hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa
kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada
tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai
90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis
lanjut 30 %.Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang

13
kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus
pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin
dengan sifilis congenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh
dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir
seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz.
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis
congenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun.
Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk
guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat
penyembuhan kedua stadium tersebut.(5)
a) Sifilis Kongenital Dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat
lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit.
Bentuk ini ada kalanya disebut pemfigus sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul
pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada
umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang simetris dan
generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab
papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan
kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus;
bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat
turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula,
terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di
bawahnya; disebut onikia sifilitika. Kelenjar getah bening dapat membesar,
generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II. Hepar dan lien membesar akibat
invasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan
sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat
terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal
ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia
putih". Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.
Osteokondritis pada tulang panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam
bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. (4)

14
b) Sifilis Kongenital Lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma
dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah
guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi
perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami
kolaps dengan deformitas. Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai
sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia.
Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara
umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis
kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII
terjadi ketulian yang biasanya bilateral. (4)

Sabre Tibia Sifilis Kongenital

E. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut
dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis
kongenital,akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran
tersebut.
1) Stigmata Lesi Dini
a. Facies : Gangguan pertumbuhan septum nasi, depresi jembatan
hidung(saddlenose), maksila tumbuh abnormal lebih kecil dari mandibula
(bulldog jaw) menunjukkan saddlenose.
b. Gigi menunjukkan gigi hutchinson, pada gigi insisi permanen lebih kecil
dari normal dengan bagian sisi konveks dan daerah untuk menggigit konkav.
Moonsmolar atau mulbery molar yaitu permukaan gigi molar berbintil bintil.

15
c. Kuku : onikia akan merusak dasar kuku.
2) Stigmata Lesi Lanjut
a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b. Lesi tulang: Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre
tibia. Frontal bossing, saddle nose dan buldog jaw.
c. Trias hutchinson: terdiri dari keratitis intertisialis, gigi hutchinson, tuli nervus
VIII.(4)
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sifilis ada 3 :
1. Pemeriksaan T.Pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat
bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan
tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara itu lesi
dikopres dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya
bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih
pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak
perlahan-lahan melintasi lapangan pada pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti
Borrelia vincentii penyebab stomatitis. Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut
Buri, tidak dapat dilihat pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi
hanya tampak bentuknya saja. Sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam
faal setiap hari. (4,6)
2. Tes Serologik Sifilis (TSS)
T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis
yang penting bagi sifilis. S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif
(seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif
lemah. Pada S II yang masih dinireaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi
sangat kuat pada S II lanjut. PadaS III reaksi menurut lagi menjadi positif lemah atau
negatif. T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu :
a) Nontreponemal (Tes Reagin)

16
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi
Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP). Antibodinya
disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat
tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin
ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan,
menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada tesflokulasi. Massa
tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar bagi tes
ikatan komplemen.(10,11)
Contoh tes nontreponemal:
1) Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer.
2) Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn, RPR
(Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST (Reagin
Screen Test).
b) Tes Treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau
ekstraknyadan dapat digolongkan menjadi empat kelompok :
1) Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
2) Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement FixationTest).
3) Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody Absorption
Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS (FluorescentTreponemal Antibody
Absorption Double Staining).
4) Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay),
19SlgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS
(Hemagglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP
(Microhemagglutination Assay for Antibodies to Treponema pallidum).
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan :
biasanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga
reaksinya lambat , baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan
untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat
lanjut. RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah;
kadang-kadang didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%),
terdapat dua macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk
kelainan S I. lgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer
lgM cepat turun, sedangkan lgG lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis
kongenital. TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan
pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya

17
cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi,
karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di
Indonesia. Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut peru
diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di laboratorium
lain. Demikian pula jika hasil tes yang satu dengan yang lain tidak sesuai,
misalnya titer VDRL rendah (1/4), sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024)
Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit, merupakan
pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis. Kuman spirochaeta
hidup berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat pada pemeriksaan slide
eksudat secara mikroskopis. Uji absorpsi antibodi treponema menggunakan
fluoresensi akan mendeteksi antigen T.pallidum yang terdapat pada jaringan,
cairan mata, LCS, secret trakeobronkial dan eksudat pada lesi. Pemeriksaan ini
sangat sensitif untuk mendeteksi sifilis pada berbagai tahap. Sekali reaktif, ia
akan tetap reaktif. (4,6,9,12)
G. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah
proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.

1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus
placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang
terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis. Kadar yang tinggi dalam serum tidak
diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar
tersebut hares bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat belas hari untuk
sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular.
Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai
tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a) Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi
bersifat kerja singkat.
b) Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama
kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c) Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua

18
sampai tiga minggu, bersifat kerja lama.(9,12)
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak
dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan
suntikan.
Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing yang
pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya
setiap minggu. Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat
dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu
disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini
mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar
masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain
dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan,
ada yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM
memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika
suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan. Pada sifilis kardiovaskular
terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3
kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang
dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 jutaunit sehari, diberikan 3-4
juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari. Pada sifilis kongenital, terapi
anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua100.000-150.000 satuan/kg B.B. per
hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari selama 10 hari.(4)
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.
Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh
hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. Pallidum yang mati.
Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam
sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama. Gejalanya dapat bersifat
umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu
dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan
kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema
dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh
sampai dua belas jam tanpa merugikan penderita pada S I. Pada sifilis lanjut dapat

19
membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan guma di
laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan
trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding
aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang
berlebihan akibat penyembuhan yang cepat. Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah
dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga
dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada
gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta
dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.(4)
2. Antibiotika Lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai
pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi terhadap
penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau eritromisin 4 x 500 mg/hri, atau
doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari
bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan.
Doksisiklin absorbsinya lebih baik dari pada tetrasiklin,yakni 90-100%, sedangkan
tetrasiklin hanya 60-80%. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau
eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan
perbaikan. Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500
mgsehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau
i.v.selama 15 hari. Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama di
negara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg
sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari.(4,11,12)
H. Tindak Lanjut
Evaluasi T.S.S. (V.D.R.L) sebagai berikut:
1. 1 bulan sesudh pengobatan selesai T. S. S diulang:
a) Titer : tidk diberikan pengobatan lagi.
b) Titer : pengobatan ulang
c) Titer menetap : tunggu 1 bulan lagi
2. 1 bulan sesudah c:
a) Titer : tidak diberikan pengobatan
b) Titer atau tetap : pengobatan ulang
Kriteria sembuh, jika lesi telah menghilang, kelenjar getah bening tidak teraba
lagi dan V.D.R.L negatif. Pada sifillis dini yang diobati T.S.S (VDRL/RPR) akan
menjadi negative dalam3-6 bulan. Pada 16% kasus tetap positif dengan titer rendah

20
selama setahun atau lebih, tetapi akan menjadi neatif setelah 2 tahun. Tindak lanjut
dilakukan sesudah 3,6 dan 12 bulan sejak selesai pengobatan. Setelah setahun diperiksa
liquor serebrospinal. Kasus yang mengalami kambuh serologic atau klinis diberikan
terapi ulang dengan dosis dua kali lebih banyak. Terapi ulang juga untuk kasus
seroresisten yang tidak terjadi penurunan titer serologic setelah 6-12 bulan setelah
terapi. Pada sifilis laten tindak lanjut dilakukan selama 2 tahun. Penderita sifilis
kardiovaskuler dan neurosifilis yang telah diobti hendaknya ditindaklanjuti selama
bertahun-tahun.(4)
I. Prognosa
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik.
Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum
di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur hidup,
tidak menular keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor serebrospinalis selalu negative.
Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh,5% akan mendapat
S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita
5%, 23% akan meninggal. Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai
95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening
akan menetap berminggu-minggu. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II.
Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada
mulut, tenggorok, dan region perianal. Disamping itu dikenal pula kambuh serologic,
yang berarti T.S.S yang negative menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin
positif. Rupanya kambuh serologic ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada
wanita juga dapat bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten
lanjut prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang
dikenai dan banyaknya kerusakan. Prognosis neurosifilis bergantung pada tempat dan
derajat kerusakan. Sel saraf yang rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis dini
baik, angka penyembuhan dapat mencapai 100%, neurosifilis asimptomatik pada
stadium lanjut prognosisnya juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang. (4)
BAB III

KESIMPULAN

21
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya
dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit,
mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Contohnya Gumma, gigi
hutchinson dan snuffle nose merupakan salah satu dari manifestasi kelainan pada gigi
dan mulut yangdisebabkan oleh penyakit sifilis. T.pallidum penyebab sifilis dapat
ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genito-genital (kelamin-
kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang
ibu kepada bayinya selama masa kehamilan. Jika tidak diobati, maka hampir
seperempatnya akan kambuh, pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan
mencapai 95%. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I danS II. Kambuh klinis
umumnya terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok,
dan regio perianal. Diagnosis ditegakkan secara sempurna dari pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti Serologi Tes Sifilis (STS) sehingga dapat diberikan
antibiotik yang sesuai dan tepat. Antibiotik yang biasa dipakai dalam penatalaksanaan
Sifilis ialah Penisilin.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Hartanti, A. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Sifilis Pada Populasi
Transgender Waria Di 5 Kota Besar Di Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. 2012
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Surveilan Terpadu Biologis dan Perilaku.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. 2011
3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengan Tahun
2012. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah. 2012
4. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010
5. Mitchel, R. N. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. EGC. Jakarta. 2008
6. Rubeinstein, D; dkk. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Erlangga. Jakarta. 2007
7. indonesia.digitaljournals.org/index.php/deridn/article/download/30/33
8. Sandoz A, Koenig T, Kusnir D, Tausk F. Psychocutaneous Diseases. In: Wolff K,
GoldsmithLA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology InGeneral Medicine. 7 th ed. USA: McGraw-Hill; 2008
9. World Health Organization, The sexually transmitted diseases diagnostics initiative
(SDI). The use of rapid syphilis tests. 2007.
10. James WD, Berger TG, Elston DM. Neurocutaneous Dermatoses. In:
Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: Saunders
Elsevier, 2006
11. Khana, N. Illustrated Synopsis of Dermatology and Sexually Transmitted Disease. 3th
ed. Canada: Saunders Elsevier, 2009
12. Thappa D.M. Woods Light Examination, in Textbook of Dermatology, Leprology&
Venereology, 3rd Edition. Elsevier.Haryana. 2009.

23

Anda mungkin juga menyukai