Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SIFILIS

Disusun Oleh :

Dela Hesti Pratiwi

20211040101025

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2022

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat stase kulit dengan topik “Sifilis”

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik Kulit di

Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kediri. Tidak lupa penulis ucapkan terima

kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini,

terutama kepada dr. Diana Kartika Sari, Sp. KK selaku dokter pembimbing yang

telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan

penyempurnaan referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang

kedokteran.

Kediri, Januari 2022

Penyusun

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Walupun insidens sifilis kian menurun kejadiannya, penyakit ini tidak

dapat dianggap mudah,karena hampir semua alat tubuh dapat diserang oleh

penyakit ini, termasuk sistem kardiovaskular dan sistem saraf. Bahkan Wanita

hamil yang menderita penyakit sifilis dapat menularkan pada janin yang

dikandungnya dan dapat menyebabkan sifilis kongenital yang menyebabkan

kelainan bawaan bahkan kematian pada janin.2

Penyakit sifilis telah tersebar diseluruh dunia dan dikenal dengan penyakit

kelamin klasik. Kejadian sifilis dan sifilis kongenital dilaporkan meningkat di

amerika serikat. Peningkatan kasus sifilis terutama terjadi dikalangan

masyarakat dengan tingkat sosioekonomi yang rendah, menurut WHO angka

kejadian sifilis hamper 90% terjadi dinegara berkembang dan terbanyak

dikalangan usia anak-anak muda dengan usia rata-rata 20-29 tahun yang masih

aktif melakukan hubungan seksual.3

Insidensi kejadian sifilis diberbagai negara diseluruh dunia pada tahun

1996 berkisar 0,04%-0,52%, dengan insidens sifilis terendah di China

sedangkan insidens tertinggi terjadi di Amerika selatan.3

Di Indonesia sendiri insidensi kejadian sifilis diperkirakan sekitar 0,61%.

Angka kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu Dan

Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 oleh Kementrian Kesehatan RI, terjadi

peningkatan angka kejadian sifilis di tahun 2011 jika dibandingkan dengan

tahun 2007. 3

3
1.2 Tujuan

Referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi,

gejala klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding dan terapi

pada penyakit sifilis.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a.1 Definisi

Infeksi Menular Seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema

Pallidum yang mana penularan penyakit ini dapat melalui berbagai

cara antara lain melalui hubungan seksual dengan orang yang

terinfeksi, kontak langsung dengan lesi terinfeksi. transfusi

darah,jarum suntik atau penularan secara vertical dari ibu ke janin

melalui placenta.1 Sifilis mempunyai sifat perjalanan penyakit yang

kronik, dapat menyerang semua organ tubuh, menyerupai berbagai

penyakit (great imitator disease),1 Sifilis melewati beberapa stadium,

yaitu stadium primer, stadium sekunder, Sifilis Laten stadium tersier

dan sifilis yang tidak menunjukkan gejala klinis disebut sebagai sifilis

laten.3

a.2 Epidemiologi

Diperkirakan terdapat ± 11-12 juta kasus sifilis baru setiap tahunnya,

yang Sebagian besar terjadi dinegara berkembang seperti Afrika, Asia

Tenggara. Selain itu diperkirakan terjadi ±700.000-150.000 kasus

sifilis kongenital dengan >50% kasus mengalami keguguran atau lahir

mati.4 Meskipun ketersediaan alat untuk diagnostik, terapi antibiotik

untuk sifilis, telah mengalami kemajuan tetapi kasus sifilis mulai

muncul kembali di Amerika serikat, kanada, Eropa, Rusia, dan China.

5
Wabah sifilis dalam cakupan yang lebih kecil Kembali menyerang

Amerika serikat, kanada, Eropa yang mana hal ini Sebagian besar

banyak melibatkan hubungan seksual antara pria dan pria, bahkan

epidemi yang terjadi di Rusia Sebagian besar melibatkan hubungan

yang heteroseksual. Peningkatan insidensi sifilis Kembali merupakan

suatu permasalahan tersendiri dikarenakan lesi mucosa ulseratif pada

sifilis dapat menjadi port the entry dari HIV.4

a.3 Etiologi

Penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman pada tahun

1905 ialah bakteri Treponema Pallidum, yang termasuk dalam ordo

Spirochaetales, Famillia Sprichaetaceae, dan genus Treponema.

Memiliki bentuk seperti spiral teratur, dengan panjang sekitar ± 6-15

mikrometer, dan lebar 0,15 mikrometer yang memiliki delapan sampai

dua puluh empat lekukan. Gerakkanya berupa rotasi dan maju

disepanjang aksis seperti gerakan pembuka botol. Bakteri Treponema

Pallidum berkembangbiak dengan secara pembelahan melintang.

Pembiakan umumnya terjadi didalam tubuh inang, karena bakteri ini

jika berada di luar tubuh inang akan cepat mati. Sedangkan jika berada

di dalam darah bakteri ini dapat bertahan hingga 72 jam.2

a.4 Patogenesis

Stadium dini

Pada sifilis yang didapat (Acquired) bakteri Treponema Pallideum

masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau melalui selaput lendir,

biasanya melalui hubungan seksual. Lalu kuman tersebut

6
berkembangbiak, jaringan bereaksi dengan membentuk suatu infiltrat

berupa sel-sel limfosit dan sel plasma, terutama perivascular,

pembuluh darah kecil yang berproliferasi dan dikelilingi oleh bakteri

Treponema Pallidum dan sel-sel radang. Bakteri ini terletak diantara

endhotelium kapiler dan jaringan perivascular disekitarnya. Enarteritis

pembuluh darah kecil yang mengakibatkan terjadinya hipertrofik

endhotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enartritis

obliterans). Kehilangan perdarahan akan menyebabkan erosi, pada

pemeriksaan klinis yang tampak sebagai SI (Sifilis Primer). 2

Sebelum SI (Sifilis Primer) terlihat, kuman ini telah menginfeksi

hingga ke kelenjar getah bening regional secara limfogen dan

melakukan perkembangbiakan. Pada saat itu juga terjadi penyebaran

penyakit melalui darah (hematogen) yang menyebar keseluruh tubuh.

Multiplikasi diikuti dengan reaksi jaringan sebagai SII (Sifilis

Sekunder), yang mana sifilis sekunder terjadi sekitar ±6-8 minggu

setelah SI (sifilis primer). Saat masuk ke tahap sifilis sekunder maka

sifilis primer akan sembuh secara perlahan-lahan dikarenakan kuman

yang berada di tempat tersebut jumlahnya akan berkurang, lalu

mulailah terbentuk jaringan fibroblast-fibroblast dan akhirnya

terbentuk suatu jaringan sikatriks. SII (sifilis sekunder) juga lama

kelamaan akan mengalami regresi dan perlahan-lahan menghilang. 2

Setelah SII (sifilis sekunder) mulai menghilang akan mulai masuk ke

tahap sifilis laten yang mana tidak ditandai dengan gejala

(asimptomatis), walaupun infeksi yang masih aktif masih ada. Pada

7
tahap ini jika seorang Wanita menderita sifilis stadium ini maka juga

dapat menularkan ke bayi yang dikandung melalui placenta, dan bayi

yang dilahirkan menderita sifilis kongenital.2

Stadium Lanjut.

Dapat terjadi bertahun-tahun sifilis stadium laten, yang mana bakteri

Treponema pallidum ini mengalami dorman di dalam tubuh. Meskipun

stadium laten namun pasien yang terinfeksi di stadium ini tetap

memiliki antibody dalam serumnya. Setelah mengalami masa laten /

SIII maka bakteri ini dapat mencapai sistem kardiovaskular dan sistem

saraf dan menyebabkan kerusakan secara perlahan-lahan sehingga

kadang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk gejala klinis muncul.


2

8
Gambar 2.1 Stadium pada Sifilis 2

Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit Sifilis 6, 1

a.5 Gejala Klinis

A. Sifilis Dini

 Sifilis primer

Masa tunas bakteri sekitar 2-4 minggu. Bakteri Treponema Pallidum akan

masuk ke selaput lendir atau kulit yang terdapat lesi/mikrolesi secara

langsung, dan bakteri tersebut akan berkembangbiak dan terjadi

penyebaran secara hematogen dan limfonogen.

9
Kelainan kulit pada tahap ini berupa dimulai dari papul lentikuler yang

segera menjadi erosi, lalu menjadi ulkus. Ulkus biasanya berbentuk bulat,

soliter, dan dasarnya ialah jaringan granulasi yang berwarna merah dan

bersih dan diatasnya tampak serum. Dindingnya tak bergaung, disekitar

kulit tidak ada tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen

dan dapat teraba indurasi karena itu dinamakan ulkus durum.

Manifestasi ini dinamakan afek primer yang pada umunya biasanya

berlokasi di genitalia eksterna. Pada laki-laki sering pada sulkus

coronarius, sedangkan pada Wanita lokasi tersering adalah di labia mayor

dan minor. Jika pada lokasi ekstragenital bisa di lidah,anus, ataupun

tonsil.1

Gambar 2.3 Ulkus sifilis pada penis (kiri)

Gambar 2.4 Primary syphilis: penile chancre 5

 Sifilis sekunder

10
Biasanya muncul gejala klinis pada SII 6-8 minggu setelah SI. Pada

SII disertai dengan gejala konstitusi sebelum atau selama SII. Gejala

umunya tidak berat seperti anoreksia,malaise, penurunan berat badan,

atralgia,nyeri kepala, dan demam. Gejala penting yang membedakan

antara SII dan penyakit kulit lainnya adalah: umunya tidak gatal,

sering disertai dengan limfadenitis yang generalisata, dan pada SII

kelaianan kulit juga terjadi pada telapak tangan dan kaki.2

Terdapat perbedaan gejala klinis pada SII dini dan SII lanjut yaitu:

pada SII dini kelainan kulit bersifat generalisata,simetris, dan akan

lebih cepat hilang, tetapi pada SII lanjut maka kelainan tidak general

lagi dan hanya pada lokasi setempat-setempat serta lesi bertahan lebih

lama. Lesi dapat mengenai pada mukosa, rambut, kuku, kelenjar getah

bening, mata, hepar, tulang, saraf serta memiliki gambaran lesi dengan

berbagai bentuk seperti roseala, papul, pustule dan bentuk yang

lainnya.2

Gambar 2.6 Ruam sifilis sekunder di telapak tangan dan kaki1

Gambar 2.7 Kondiloma lata perivulva dan perianal pada sifilis sekunder1

11
Gambar 2.8 sifilis sekunder Gambar 2.9 sifilis sekunder

(roseola syphilitica)5 papulosquamous or copper-like color5

 Sifilis Laten dini

Pada stadium ini sifilis tidak memberikan gejala klinis, dan kelainan tetapi

infeksi masih ada dan aktif. Jika dilakukan pemeriksaan serologi dengan darah

hasilnya tetap akan positif walau tak bergejala, sedangkan jika dilakukan tes

likuor serebrospinal maka hasil akan negatif. Tes yang disarankan pada

stadium ini adalah dengan pemeriksaan VDRL dan TPHA.2

B. Sifilis Lanjut

 Sifilis Laten lanjut

Perlu dilakukan pemeriksaan, apakah terdapat sikatriks bekas SI (sifilis primer)

pada daerah genitalia atau ditemukan adanya leukoderma pada daerah leher

yang menunjukkan tanda bekas SII (sifilis sekunder) colar of venus.2

 Sifilis Tersier (SIII)

Lesi pertama biasanya muncul setelah 3-10 tahun setelah SI (Sifilis

Primer). Kelainan yang khas biasnya adalah guma yakni berupa gambaran

infiltrate sirkumskrip, kronik, dan biasanya melunak serta destruktif. 2

12
Selain guma, gejala lain pada SIII adalah nodus. Mula-mula terletak

dikutan lalu kemudian ke epidermis, dan pertumbuhannya lambat yakni

dari beberapa minggu/ bulan dan biasanya meninggalkan jaringan sikatriks

yang hipotrofi. selain itu Gejala klinis pada SIII dapat mengenai mukosa,

tulang, organ dalam seperti hepar,esofagus dan lambung. 2

Gambar 2.10 Sifilis Tersier (Gumma)5 Gambar 2.11 Sifilis gummatosa terdapat
plaque dengan multiple ulkus melibatkan tulang rawan septum nasal (kiri)1

13
Gambar 2.3 Stadium Sifilis 1

a.6 Diagnosis

A. Anamnesis2

- Masa tunas: 2-4 minggu  gali riwayat pasien mengenai bagaimana

kebiasaan hubungan seksual (berganti-ganti pasangan)

14
- Gejala prodormal  tidak ada.

B. Pemeriksaan Fisik2

- Lesi: terdapat erosi/ ulkus yang bersih,soliter, bulat/lonjong,

teratur,indolen, dengan indurasi.

- Pembesaran kelenjar regional

C. Pemeriksaan penunjang2

Umunya penegakan diagnosa sifilis dilakukan dengan bantuan

pemeriksaan penunjang mikroskopis atau serologi:

1. Pemeriksaan T.Pallidum

Cara pemeriksaan:

Mengambil serum dari lesi kulit dengan cara ditekan dan lalu dilihat

dengan mikroskop lapang gelap untuk melihat bentuk dan pergerakan

dari bakteri. Pemeriksaan ini dilakukan selama 3 hari berturut-turut.

Untuk mendapatkan hasil valid. Jika hasil pada pemeriksaan hari ke-1

dan ke-2 negatif tapi lesi dikompres dengan larutan garam faal. Bila

hasil negatif lagi maka bukan berarti menyingkirkan diagnosa sifilis,

bisa jadi hasil negative karena kuman pada lesi itu terlalu sedikit.2

2. TSS (Tes Serologi Sifilis)

Tes serologi ini dilihat berdasarkan sensitifitas atau spesifisitas.

Sensitifitas adalah kemampuan untuk bereaksi dengan penyakit sifilis

yang baik digunakan untuk screening, Sedangkan spesifisitas adalah

kemampuan untuk bereaksi non reaktif pada penyakit non-sifilis yang

baik untuk menegakkan diagnosis,maka semakin spesifik maka

semakin sedikit kemungkinan dapat memberikan hasil positif palsu.2

15
Berdasrakan antigen yang di pakai TSS ( Tes Serologi Sifilis) dibagi

menjadi 2 yaitu:

 Non-Treponemal

Pada tes ni menggunakan antigen yang tidak spesifik yaitu kardiolipin

yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol. Sehingga tes ini dapat

memberikan hasil yang biologic semu atau biologic fase positive.

Contoh tes non-treponemal:

- Tes fiksasi komplemen: Wasserman (WR)

- Tes Flokulasi: VDLR (Venereal Disease Reseach Laboratories),

RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), RST

(Reagin Screen Test).

Tes yang biasa digunakan adalah VDRL dan PRP secara kuantitatif,

karena secara teknis lebih murah dan cepat. Dan baik untuk menilai dan

memantau respons terapi karena berkorelasi dengan aktivitas penyakit

dan hasilnya harus dilaporkan secara kuantitatif. 1 jika terapi berhasil

maka titer VDRL akan cepat turun dan dalam 6 minggu maka akan

menjadi normal. Tes VDRL juga dipakai secara rutin untuk melakukan

Screening terhadap sifilis.2

Jika didapatkan titer pada pasien sifilis bernilai ¼ atau lebih, yang mulai

bisa bernilai positif saat di tes setelah 2-4 minggu sejak SI (sifilis primer)

timbul. Lalu titer akan mulai meningkat hingga mencapai puncaknya SII

(sifilis sekunder) lanjut menjadi (1/64 atau 1/128), lalu bertahap mulai

turun dan menjadi negatif.2

16
 Treponemal

Tes ini memiliki sifat yang lebih spesifik karena antigennya ialah

Treponema atau ekstrak dari golongan:2

a. Tes imobilisasi: TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).

b. Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test).

c. Tes Imunofluoresen: FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antibody

Absorption Test). Ada dua yaitu : lgM, IgG, FTA-Abs DS (Fluorescent

Treponemal Antibody-Absorption Double Staining).

d. Tes hemoglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination

Assay), IgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS

(Hemagglutination Treponemal Test for Syphillis), MHA-TP

(Mirohemagglutination Assay for Antibodies to Treponema Pallidum).

FTA-Abs merupakan pemeriksaan Treponemal yang paling sensitive kurang lebih

(90%), terdapat dua macam penilaian yaitu untuk lgM dan IgG yang sudah positif

pada waktu timbul kelainan S I (Sifilis Primer). Sedangkan lgM sangat reaktif

pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun, sedangkan IgG

lambat. IgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital.2

TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena secara teknis dan

pembacaan hasilnya lebih mudah, dan cukup spesifik dan sensitive serta nilai

reaktifnya yang muncul cukup dini untuk penyakit sifilis. Kekurangannya tidak

dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang

cukup lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia. Sebaiknya dilakukan

secara kuantitatif yakni dengan pengenceran antara 1/80-1/1024. 2

17
3. TSS pada Kehamilan

Setiap Wanita hamil dilakukan pemeriksaan TSS pada saat kunjungan

Atenatal care (ANC) yang pertama,dan diulangi lagi pada trisemester ke-3

untuk melakukan screening pada ibu hamil untuk mencegah terjadinya sifilis

kongenital. Pengobatan pada ibu yang menderita sifilis dan mengandung akan

mencegah terjadinya sifilis kongenital pada beberapa kasus. Jika sejak awal

kehamilan sifilis pada ibu diobati maka kecil untuk dapat kemungkinan sifilis

ditularkan dari ibu ke anak (secara vertical). Tetapi walaupun ibu sudah

diobati tetap saja bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis akan tetap

dilakukan pemeriksaan TSS melalui darah pada saat bayi berusia 6 minggu

dan saat usia 2 bulan. Jika ternyata hasil pemeriksaan TSS hasilnya reaktif,

maka belum tentu bayi tadi mengalami sifilis kongenital, karna bisa jadi hasil

reaktif karena terjadi perpindahan serum dari ibu ke bayi secara pasif. Jika

benar maka titer bayi tidak akan nilainya lebih tinggi dari titer ibu, dan akan

terjadi penurunan titer dalam kurun waktu 3 bulan sejak pemeriksaan awal.

Tetapi kenaikan titer IgM pada darah janin dapat digunakan untuk

menegakkan diagnosis. Karena IgM tidak dapat menembus sawar darah

plasenta dan masuk ke janin dikarenakan IgM molekulnya lebih besar, dan

bayi belum bisa membentuk IgM hingga usia 3 bulan.2 jika bayi diperiksan

lalu didaptkan IgM positif dalam serum bayi maka pemeriksaan FTA-Abs

IgM menjadi pemeriksaan paling sensitive. Karena pada neonates yang

terkena sifilis kongenital maka pemeriksaan FTA-Abs IgM akan positif,

tetapi akan negative terutama pada neonatus dengan ibu yang TSS positif,

18
sensitivitas dari pemeriksaan ini sekitar ± 90% pada sifilis kongenital dini

simptomatik, sedangkan pada sifilis kongenital lanjut hanya sekitar ± 65%.2

a.7 Diagnosis Banding

 Ulkus Mole kelainan yang ditandai dengan gambaran ulkus lebih dari satu,

dan ditandai dengan tanda radang akut, terdapat pus, dan dindingnya

bergaung.2

 Herpes Simpleks penyakit bersifat residif (berulang) yang disertai dengan

gejala gatal/nyeri, lesi berupa vesikel diatas kulit yang eritematosa, dan

berkelompok. Jika lesi pecah maka akan tampak gambaran berupa erosi

dan tidak terdapat indurasi. 2

 Skabies lesi dapat berbentuk papul atau vesikel di daerah genitalia

eksterna, khas terasa gatal pada malam hari. Orang-orang dirumah juga

mengalami keluhan yang sama. 2

 Balanitis kelainan dengan gambaran berupa erosi pada area glans penis

disertai eritema, tanpa disertai indurasi. 2

a.8 Tatalaksana

Penatalaksaan sifilis berdasarkan stadium klinis. 1pengobatan sifilis

juga diberikan bagi mitra seksualnya,dan sebelum pasien sembuh

dilarang untuk melakukan hubungan seksual terlebih dahulu.

Pengobatan yang dilakukan sedini mungkin maka akan memberikan

hasil yang lebih baik.2

A. Terapi umum:

19
 PENISILIN

Penisilin merupakan pilihan obat lini pertama dari sifilis. Obat ini juga

dapat menembus sawar darah plasenta sehingga bisa diberikan bagi ibu

yang terkena sifilis saat sedang hamil untuk mencegah anak yang

dikandungnya mengalami sifilis kongenital pula, dan juga efektif

untuk neurosifilis.2

Hanya diperlukan kadar dalam serum jangan kurang dari 0,03

unit/ml.dan kadar penisilin dalam serum harus bertahan selama 10-14

hari untuk sifilis dini dan lanjut, sedangkan pada neurosifilis dan sifilis

kardiovaskular dipertahankan kadar nya hingga 21 hari. Jika kadarnya

dalam serumkurang dari 0,03 unit/ml, lebih dari 24-30 jam maka

kuman dikhawatirkan dapat berkembang biak lagi. 2

Berdasarkan lama kerja dari obat penicillin dibagi menjadi:

a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat

jam, jadi bersifat kerja singkat.

b. Penislin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat

(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.

c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam

serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.

Penisilin diberikan dengan route intramuscular (IM). Derivate

penicillin yang diberikan dengan peroral tidak dianjurkan karena dapat

terabsorbsi di saluran cerna sehingga tidak efektif dibandingkan yang

diberikan melalui jalur intramuscular. Dan cara pemberian penisilin

tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing. Yang mana obat

20
penicillin yang pertama diberikan setiap hari, penicilin yang ke-2

diberikan setiap 3 hari, dan yang ke-3 diberikan biasanya setiap

minggu.2

B.Terapi keadaan Khusus:

- Neurosifilis dianjurkan dengan pilihan terapi Penisilin G prokain

dalam akua 18-24 juta unit perhari, dengan dosis tiap pemberian 3-4

juta unit secara IV, dengan interval antar pemberian adalah 10-14 hari

sekali2.

-Sifilis Kardiovaskular dianjurkan dengan pilihan terapi Penicilin G

Benzatin 9,6 juta unit, diberikan sebanyak 3 kali 2,4 juta unit, yang

diberikan dengan jarak antar suntikan adalah 1 minggu sekali.2

- Sifilis Kongenital dianjurkan dengan pilihan terapi Penicilin G

prokain dalam akua 100.000-150.000 satuan/KgBB per hari, diberikan

secara IM dengan interval penyuntikan 10 hari sekali.2

- Pilihan terapi bagi pasien yang alergi terhadap Penicilin:

o Doksisiklin merupakan terapi alternatif untuk sifilis pada

pasien dengan alergi golongan penisilin. Doksisiklin bekerja

menghambat pengikatan kompleks t-RNA-AA pada ribosom,

sehingga metabolisme mikroorganisme akan terganggu dan

menghasilkan efek bakterisida. Doksisiklin dinilai cukup

efektif untuk sifilis stadium dini, sebagai terapi alternatif pada

kasus yang tidak dapat diobati dengan penisilin. Dosis

doksisiklin yang sering digunakan adalah 2x100 mg sehari

selama 14 hari atau bisa lebih pada sifilis laten. Doksisiklin

21
lebih murah dan mudah didapat dibandingkan penisilin, lebih

mudah digunakan karena sediaan oral, namun penggunaan rutin

selama 14 hari membuat doksisiklin rawan gagal jika

kepatuhan pengunaan obat tidak terjaga, dibandingkan

golongan penisilin yang hanya menggunakan dosis tunggal.

Pemberian doksisiklin kontraindikasi pada ibu hamil, efek

samping doksisiklin yang perlu diperhatikan antara lain

fotosensitif dan ganggguan pencernaan.1

o Seftriakson Cara kerja bakterisida seftriakson adalah dengan

menghambat enzim transpeptidase. menggunakan dosis

parenteral 1-2 gram IM/IV sekali sehari selama 10-15 hari

dengan tingkat respons serologis 65%-100%.1

a.9 Komplikasi Terapi

Reaksi Jarisch-Herxheimer merupakan sindrom yang timbul 6-12 jam

setelah terapi/ suntikan pertama dari penicilin. 2 Reaksi ini merupakan

efek samping signifikan yang dapat terjadi dengan terapi antibiotik

sifilis apapun tetapi paling umum setelah penggunaan penisilin.

Kejadiannya pada 1/3 sampai 2/3 pasien sifilis primer dan sekunder

yang diterapi penisilin.1 Manifestasi klinis dapat berupa umum dan

lokal. Gejala umum biasanya berupa keluhan demam ringan hingga

berat, nyeri kepala,artalgia,malease,berkeringat,dan kemerahan pada

muka.2 sedangkan gejala lokal yang biasa muncul dengan keluhan afek

primer menjadi bengkak dan agak nyeri lalu akan menghilang setelah

10-12 jam kemudian.2 Reaksi Jarisch-Herxheimer bukan suatu reaksi

22
hipersensitivitas melainkan adanya sitokin yang dicetuskan oleh

lipoprotein T. pallidum yang mati, sehingga terapi penisilin tidak perlu

dihentikan. Reaksi ini diduga akibat pelepasan lipoprotein, sitokin, dan

kompleks imun dari organisme (bakteri) yang mati.1

a.10 Prognosis

Setelah ditemukan antibiotik untuk infeksi bakteri Treponema

Pallidum, Penicilin prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk

menentukan bahwa tidak ditemukan lagi bakteri Treponema Pallidum

ditubuh penderita tidak mungkin, tetapi penyembuhan yang dimaksud

adalah sembuh secara klinis seumur hidup dan tidak menularkan

keorang lain, dan jika dilakukan tes serologi sifilis (TSS) pada

specimen darah atau Likuor serebrospinal maka hasilnya sellau

negative.

Tetapi jika sifilis tidak diobati maka hamper seperempatnya akan

kambuh, 5% akan berkembang menjadi SIII, dan 10% berkembang

menjadi sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria dengan prevalensi

9% dan Wanita 5%, dan 23% akan meninggal.2

BAB III

KESIMPULAN

23
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh

Treponema pallidum sub spesies pallidum. Gejala klinis yang muncul pada

penderita tergantung dengan stadium perjalanan penyakitnya saat ini

(Primer,Sekunder,Laten atau Tersier).1 Diagnosis dan terapi pada kasus sifilis

harus dilakukan tepat waktu untuk mencegah terjadinya penularan berikutnya dan

mencegah terjadinya kerusakan jaringan yang bersifat iireversible. Terapi pada

sifilis pun didasarkan atas stadiumnya saat ini. Pada pasien yang dicurigai maka

pemeriksaan serologi penting untuk menegakkan diagnosa sifilis.6 Tes serologi

sifilis (TSS) selain digunakan untuk menegakkan diagnosis sifilis juga dapat

digunakan untuk memantau perkembangan terapi pasien sifilis.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Rinandari, Ummi, and Endra Yustin Ellista Sari. "Terapi Sifilis

Terkini." Cermin Dunia Kedokteran 47.11 (2020): 647-658.

24
2. Linuwih,Sri dkk,2018. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 8

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

3. Saputri, Bernadya Yogatri Anjuwita, and Dwi Murtiastutik. "Studi

Retrospektif: Sifilis Laten." Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin 31.1 (2019): 46-54.

4. Stamm, L. V. "Syphilis: antibiotic treatment and

resistance." Epidemiology & Infection 143.8 (2015): 1567-1574.

5. Goldsmith, LA, Kats, SI, Gillchrest, BA, Paller, AS, Leffell, DJ, Wolff, K

2012, Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th ed. E-book: The

McGraw-Hill companies, New York.

6. Nyatsanza, Farai, and Craig Tipple. "Syphilis: presentations in general

medicine." Clinical Medicine 16.2 (2016): 184.

7. Gabrielli, Chiara et al. “Non-primary nail-plate syphilis in an HIV-infected

patient.” SAGE open medical case reports vol. 6 2050313X18767229. 28

Mar. 2018, doi:10.1177/2050313X18767229

8. Peeling, Rosanna W et al. “Syphilis.” Nature reviews. Disease

primers vol. 3 17073. 12 Oct. 2017, doi:10.1038/nrdp.2017.73

9. Tuddenham, Susan et al. “Syphilis Laboratory Guidelines: Performance

Characteristics of Nontreponemal Antibody Tests.” Clinical infectious

diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of

America vol. 71,Suppl 1 (2020): S21-S42. doi:10.1093/cid/ciaa306

10. Vrbová, Eliška et al. “A retrospective study on nested PCR detection of

syphilis treponemes in clinical samples: PCR detection contributes to the

25
diagnosis of syphilis in patients with seronegative and serodiscrepant

results.” PloS one vol. 15,8 e0237949. 20 Aug. 2020,

doi:10.1371/journal.pone.0237949

11. Ong, Jason J et al. “Expanding syphilis testing: a scoping review of

syphilis testing interventions among key populations.” Expert review of

anti-infective therapy vol. 16,5 (2018): 423-432.

doi:10.1080/14787210.2018.1463846

12. Peterman, Thomas A, and Susan Cha. “Context-Appropriate Interventions

to Prevent Syphilis: A Narrative Review.” Sexually transmitted

diseases vol. 45,9S Suppl 1 (2018): S65-S71.

doi:10.1097/OLQ.0000000000000804

13. Kidd, Sarah et al. “Use of National Syphilis Surveillance Data to Develop

a Congenital Syphilis Prevention Cascade and Estimate the Number of

Potential Congenital Syphilis Cases Averted.” Sexually transmitted

diseases vol. 45,9S Suppl 1 (2018): S23-S28.

doi:10.1097/OLQ.0000000000000838

14. Kenyon, Chris Richard et al. “The Global Epidemiology of Syphilis in the

Past Century - A Systematic Review Based on Antenatal Syphilis

Prevalence.” PLoS neglected tropical diseases vol. 10,5 e0004711. 11

May. 2016, doi:10.1371/journal.pntd.0004711

15. Morshed, Muhammad G, and Ameeta E Singh. “Recent trends in the

serologic diagnosis of syphilis.” Clinical and vaccine immunology :

CVI vol. 22,2 (2015): 137-47. doi:10.1128/CVI.00681-14

26
16. Liu, Zhiyu et al. “Evaluating the progress to eliminate mother-to-child

transmission (MTCT) of syphilis in Hunan Province, China: A study based

on a health service delivery model.” PloS one vol. 13,9 e0203565. 7 Sep.

2018, doi:10.1371/journal.pone.0203565

17. Spiteri, G et al. “The resurgence of syphilis in high-income countries in

the 2000s: a focus on Europe.” Epidemiology and infection vol. 147

(2019): e143. doi:10.1017/S0950268819000281

18. Park, Ina U et al. “Performance of Treponemal Tests for the Diagnosis of

Syphilis.” Clinical infectious diseases : an official publication of the

Infectious Diseases Society of America vol. 68,6 (2019): 913-918.

doi:10.1093/cid/ciy558

19. Kojima, Noah, and Jeffrey D Klausner. “An Update on the Global

Epidemiology of Syphilis.” Current epidemiology reports vol. 5,1 (2018):

24-38. doi:10.1007/s40471-018-0138-z

20. Kahn, James G et al. “The cost and cost-effectiveness of scaling up

screening and treatment of syphilis in pregnancy: a model.” PloS one vol.

9,1 e87510. 29 Jan. 2014, doi:10.1371/journal.pone.0087510

27
28

Anda mungkin juga menyukai