Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MAKALAH

Disusun untuk memenuhi nilai pada mata kuliah sistem Integumen

Oleh

Kelompok Tutorial 4

Shelli Harismi R 220110120004

Dinda Piranti A

220110120047

Winda Riska

Rafianti Nur F

220110120053

Annisa Lathifa U 220110120016

Amalia Dewi A

220110120059

Riri Amalina

220110120022

Ranti Asri Lestari 220110120066

Tanty Yulianti

220110120028

Agni Auliya F

220110120072

Hilawati

220110120035

Euis Yulianti

220110120078

Algia Nuruliani

220110120041

220110120010

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNVERSITAS PADJADJARAN
2014

PENDAHULUAN
Penyakit menular seksual atau yang biasa dikenal dengan PMS merupakan salah satu
penyakit infeksi yang menyerang manusia yang ditularkan melalui perilaku hubungan
seksual. Istilah penyakit menular seksual ini semakin banyak digunakan karena memiliki
cakupan pada orang yang mungkin terinfeksi atau menginfeksi orang lain dengan tanda-tanda
kemunculan penyakit.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai beberapa penyakit yang berhubungan
dengan penyakit menular seksual. Contoh penyakit menular seksual yang kami bahas dalam
makalah ini adalah penyakit sifilis dan gonorhea. Sifilis dan gonorhea merupakan salah satu
macam penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri. Namun bakteri penyebab
kedua penyakit ini berbeda. Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, sedangkan
gonorhea disebabkan oleh bakteri Niesseria gonorrhoeae. Kedua penyakit ini sangat
berbahaya dan mudah sekali menular, terutama pada orang-orang yang sering melakukan
hubungan seks bebas.
Fokus masalah yang kami bahas pada makalah ini adalah mengenai konsep penyakit
itu sendiri, mulai dari definisi, penyebab penyakit, cara penularan, cara pencegahan sampai
prosedur pengobatan yang harus dijalani seseorang jika terinfeksi penyakit tersebut. Pada
makalah ini kami juga membahas mengenai masalah-masalah keperawatan yang mungkin
muncul ketika seseorang terkena penyakit tersebut. Termasuk juga langkah intervensi yang
harus dilakukan oleh seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
penderita penyakit sifilis atau gonorhea.
Tujuan dari pembuatan makalah ini tentunya dapat memberikan pengetahuan
mengenai penyakit menular seksual, cara pencegahan dan pengobatan yang harus dilakukan.
Serta prosedur asuhan keperawatan yang harus dilakukan ketika menemukan kasus penyakit
menular seksual, khususnya penyakit sifilis dan gonorhea.

SIFILIS
1. Difinisi
Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum yang
bersifat akut dan kronis ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder
pada kulit dan selaput lendir kemudian masuk ke dalam periode laten diikuti dengan
lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem saraf pusat dan sistem
kardiovaskuler. (Manual Pemberantasan Penyakit Menular : 1995). Sedangkan
menurut CDC (2010) Sifilis di definisikan sebagai penyakit sistemik yang disebabkan
oleh Treponema pallidum. Berdasarkan temuan klinis, penyakit dibagi ke dalam
serangkaian kumpulan staging yang digunakan untuk membantu dalam panduan
pengobatan dan tindak lanjut.

2. Etiologi
Schaudinn dan Hoffman (1905), berhasil menemukan penyebab sifilis yaitu bakteri
Treponema pallidum. Organisme ini termasuk dalam ordo Spirochaetales, family
Spirochaetaceae dan genus Treponema dengan tingkat virulensi yang tinggi
Treponema pallidum berbentuk spiral yang teratur rapat dengan jumlah lekukan
sebanyak 8 24. Panjangnya berkisar 6 15 m dengan lebar 0,15 m. Apabila
difiksasi, Treponema pallidum terlihat seperti gelombang dengan panjang gelombang
sebesar 1,1m dan amplitudo 0,2 0,3 mm (Djuandi. A, 2000).
Treponema pallidum dapat berenang dalam lingkungan viscous (contohnya rongga
mulut, traktus intestinal), tetapi hanya dapat berputar dalam air karena gesekan
minimal. Kontak dengan udara, antiseptik, atau cahaya matahari akan membunuh
mikroba tersebut. Jika diletakkan di luar tubuh dalam lingkungan gelap dan lembab
hanya bertahan tidak lebih dari 2 jam. Replikasi terbatas T. pallidum didapatkan pada
kultur sel epitel kelinci, dengan waktu untuk memperbanyak 2 kali lipat adalah 30
jam, tetapi replikasi terjadi lambat dan hanya dapat dipertahankan beberapa
generasi.18 Genom lengkap dari T. pallidum terdiri atas satu kromosom sirkular yang
terdiri dari 1.138.006 pasang basa dan diperkirakan mengkode 1.041 gen.

3. Epidemologi
Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang
dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis
kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan
tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi terutama di

kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anak-anak
muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia
muda berusia antara 20 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan
prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial
daripada faktor biologis. Dari data tahun 1981-1989 insidensi sifilis primer dan
sekunder di Amerika Serikat meningkat 34% yaitu 18,4% per 100.000 penduduk.
Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bagian
selatan faktor risiko yang melatarbelakangi peningkatan prevalensi sifilis pada
kelompok ini antara lain pemakaian obat-obat terlarang, prostitusi, AIDS dan
hubungan seks pertama kali pada usia muda. Pada tahun 2003-2004 terjadi
peningkatan prevalensi sifilis sebanyak 8 % dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000
populasi. Sedangkan pada tahun 2006 2007 terjadi peningkatan 12% dari 3,3
menjadi 3,7 per 100.000 populasi (Liu,2009).

4. Manifestasi
Lesi primer (Chancre=ulcus durum) biasanya muncul 3 minggu setelah terpajan. Lesi
biasanya keras (indurasi), tidak sakit, terbentuk ulcus dengan mengeluarkan eksudat
serosa di tempat masuknya mikroorganisme. Masuknya mikroorganisme ke dalam
darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya
pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras non fluktuan. Infeksi
juga dapat terjadi tanpa ditemukannya ulcus durum yang jelas, misalnya kalau infeksi
terjadi di rectum atau cervik. Walaupun tidak diberi pengobatan ulcus akan hilang
sendiri setelah 4-6 minggu.
Sepertiga dari kasus yang tidak diobati akan mengalami stadium generalisata, stadium
dua, di mana muncul erupsi kulit yang kadangkala disertai dengan gejala kontitusional
tubuh. Timbul makolo popular biasanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti
dengan limfa denopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari Sifilis yang
akan hilang spontan dalam beberapa minggu atau sampai 12 bulan kemudian.
Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak diobati akan
masuk ke dalam fase laten selama berminggu-minggu bahkan selama bertahun-tahun.
Pada awal fase laten sering muncul lesi infeksius yang berulang pada selaput lendir.
Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis sifilitik
akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis dan
tabes dorsalis. Periode laten ini kadangkala berlangsung seumur hidup.

Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5-20 tahun setelah infeksi terjadi lesi
aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau guma dapat muncul di kulit,
saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir.
Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius,
sedangkan stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan
menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada
saat yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP.
Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat
mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan frekuensinya makin
jarang pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya.
Infeksi pada janin dapat berakibat aborsi, stillbirth, atau kematian bayi karena lahir
prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena
menderita penyakit sistemik. Infeksi congenital dapat berakibat munculnya
manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa gejala neurologis terserangnya SSP.

5. Klasifikasi
Pembagian penyakit Sifilis menurut WHO ialah Sifilis Dini dan Sifilis Lanjut dengan
waktu diantaranya 2-4 tahun. Sifilis Dini dapat menularkan penyakit karena terdapat
Treponema pallidum pada lesi kulitnya, sedangkan Sifilis Lanjut tidak dapat menular
karena Treponema pallidum tidak ada.
Sifilis Dini dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Sifilis primer (Stadium I)
b. Sifilis sekunder (Stadium II)
c.

Sifilis laten dini

Sifilis Lanjut dikelompokkan menjadi 4 yaitu :


a. Sifilis laten lanjut
b. Sifilis tertier (Stadium III)
c. Sifilis kardiovaskuler
d. Neurosifilis
Secara klinis ada beberapa stadium sifilis yaitu stadium primer, sekunder, laten dan
tersier. Stadium primer dan sekunder termasuk dalm sifilis early sementara stadium tersier
termasuk dalam sifilis laten atau stadium late latent (STD Guidelines, CDC 2010).

6. Faktor Resiko
a. Orang yang beresiko

1. Pelancong
2. Pekerja Seks Komersial (PSK)
3. Homoseksual
4. Suka berganti-ganti pasangan
b. Cara penularan
-

Penularan secara langsung yaitu melalui kontak seksual, kebanyakan 95%- 98%
infeksi terjadi melalui jalur ini , penularan terjadi melalui lesi penderita sifilis
yang bergesekan dengan kulit pasangannya dimana timbul kontak fisik yang
menjadi perantara pindahnya bakteri tersebut.

Penularan tidak langsung kebanyakan terjadi pada orang yang tinggal bersama
penderita sifilis. Kontak terjadi melalui penggunaan barang pribadi secara
bersama-sama seperti handuk, selimut, pisau cukur, bak mandi, toilet yang
terkontaminasi oleh kuman Treponema pallidum.

Melalui Kongenital yaitu penularan pada wanita hamil penderita sifilis yang tidak
diobati dimana kuman treponema dalam tubuh ibu hamil akan masuk ke dalam
janin melalui sirkulasi darah.

Melalui darah yaitu penularan terjadi melalui transfusi darah dari penderita sifilis
laten pada donor darah pasien, namun demikian

Penularan melalui darah ini sangat jarang terjadi

7. Komplikasi
Sifilis

stadium

lanjut

yang

dapat

menyebakan

neurosifilis,

sifilis

kardiovaskuler, dan sifilis benigna lanjut dapat menyebabkan kematian bila


menyerang otak.

8. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis laboratorium penyakit sifilis pada umumnya dilakukan melalui pemeriksaan
mikroskopik langsung maupun pemeriksaan serologik.
-

Pemeriksaan Mikroskopik
Dalam sediaan segar tanpa pewarnaan, gerak kuman Treponema dapat dilihat dengan
menggunakan

mikroskop

lapangan

gelap.

Pemeriksaan

Treponema

secara

mikroskopik dilihat dengan teknik imunnofluoresensi dengan membuat usapan cairan


jaringan atau eksudat pada kaca objek kemudian difiksasi dan diwarnai dengan serum

anti treponema yang dilabel fluoresein sehingga pada lapang pandang gelap akan
terlihat fluoresensi yang khas dari kuman Treponema (STD Guidelines, CDC 2010).
-

Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan Serologis Tes darah adalah cara lain untuk menentukan apakah
seseorang memiliki sifilis. Tak lama setelah infeksi terjadi, tubuh memproduksi
antibodi sifilis yang dapat dideteksi oleh tes darah.
Pemeriksaan Serologis Sifilis penting untuk diagnosis dan pengamatan hasil
pengobatan. Pemeriksaan ini dapat diklasifikasikan :
a. Tes Non Treponema : kardiolipin, lesitin dan kolesterol
b. Tes Treponema : Treponema pallidum hidup / mati / fraksi Treponema pallidum
Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan :
a. Sensitivitas : % individu yang terinfeksi yangmemberi hasil positif
b. Spesifivitas : % individu yang tidak infeksi yang memberikan hasil negative
Menurut Fitzpatrick (2003) Pemeriksaan kuantitatif Serologi Sifilis memungkinkan
dokter untuk :
- Mengevaluasi efektivitas pengobatan
- Menemukan potensi kambuh (relaps) sebelum menjadi menular
- Membedakan antara kambuh dan infeksi ulang
- Melihat adanya reaksi sebagai jenis seroresistant
- Membedakan antara benar dan biologis positif palsu reaksi serologis.
Secara garis besar ada 2 macam Tes Serologi Sifilis yaitu :
a.

Non Treponemal Test atau Reagin Test


Tes Reagin terdiri dari antibodi Ig M dan Ig A yang ditujukan terhadap beberapa
antigen yang tersebar luas dalam jaringan normal. Dapat ditemukan pada serum
penderita sifilis yang belum mendapat pengobatan , 2-3 minggu setelah infeksi.
Contohnya adalah Tes Flokulasi dan Tes Fiksasi Komplemen. Kedua tes ini dapat
memberikan hasil secara kuantitatif yaitu dengan menentukan kadar reagin dalam
serum yang secara berturut-turut diencerkan 2 kali. Pengenceran tertinggi yang
masih menunjukkan hasil positif merupakan titer serum yang bersangkutan.
Positif palsu dapat terjadi pada infeksi lain seperti Malaria, Lepra, Morbili,

Mononukleosis infeksiosa, vaksinasi dan penyakit kolagen (SLE (Systemic Lupus


Erythematosus, Polyarteritis Nodosa).
Tes Flokulasi
Tes ini didasarkan atas kenyataan bahwa partikel antigen yang berupa lipid
mengalami flokulasi dalam beberapa menit setelah dikocok dengan reagin. Tes
flokulasi yang positif dapat menjadi negatif pada 6- 24 bulan setelah pengobatan
yang efektif pada sifilis early. Contoh tes flokulasi adalah VDRL (Venereal
Disease Research Laboratory test) dan RPR (Rapid Plama Reagin Test).
Tes Fiksasi Komplemen
Didasarkan pada kenyataan bahwa serum yang mengandung regain dapat
mengikat komplemen bila ada cardiolipin pada antigen. Jika serum yang diperiksa
bersifat antikomplemen dapat mengakibatkan terjadinya positif palsu. Contoh Tes
Wassermann, dimana digunakan eritrosit domba sebagai indikator dan hasil tes
positif jika tidak terjadi hemolisis dan negatif bila ada hemolisis.
b. Treponemal Antibodi Test
Pada Tes digunakan antigen yang berasal dari kuman Treponemal yang masih
hidup maupun yang sudah dimatikan atau salah satu fraksi dari kuman treponema
sehingga diperoleh hasil tes yang spesifik. Yang termasuk dalam tes ini adalah Tes
Fluoresensi Antibodi Treponema (FTA Abs), TPHA (Treponemal pallidum
Passive Hemagglutination Assay), Tes Imobilisasi Treponema pallidum (TPI) dan
Tes Pengikatan Komplemen Treponema pallidum atau RPCF (Reiter Protein
Complement Fixation Test).
Tes Fluoresensi Antibodi Treponema (Fluorescent Treponemal Antibody
Absorption Test)
Merupakan tes imunnofluoresensi indirect yang sangat spesifik dan sensitif
terhadap antibodi Treponema. Serum penderita diabsorpsi terlebih dahulu dengan
antigen Reiter yang telah diolah dengan getara frekuensi tinggi (sonifikasi).
Kuman Treponema yang telah dimatikan direaksikan dengan serum penderita dan
gamma globulin yang telah dilabel. Kuman akan berfluoresens jika terkena sinar
violet. Hasil tes ini positif pada sifilis early dan tetap positif sampai beberapa

tahun setelah pengobatan yang efektif sehingga hasil tes ini tidak dapat digunakan
untuk menilai pengobatan. Pada bayi baru lahir, adanya Ig M FTA merupakan
bukti adanya infeksi intrauteri (kongenital sifilis) namun demikian bisa terjadi
negatif palsu jika Ig M pada bayi bukan akibat infeksi sifilis.
Tes Hemaglutinasi Pasif Treponemal Pallidum (Treponemal pallidum Passive
Hemagglutination Assay )
Tes ini menggunakan eritrosit domba yang telah diolah dengan kuman Treponema
pallidum. Hasil test positif jika terjadi aglutinasi dari eritrosit domba tersebut.
TPHA memberikan hasil secara kuantitatif dan sangat spesifik.

Tes Imobilisasi Treponema Pallidum (TPI)


Tes ini menggunakan kuman Treponema pallidum yang masih aktif sebagai
antigen. Dalam serum penderita sifilis yang telah ditambahkan komplemen ,
kuman yang semula masih dapat bergerak aktif akan mengalami imobilisasi.
Waktu yang dibutuhkan adalah 18 jam. Antibodi imobilisasi timbul pada minggu
ketiga setelah infeksi. Antibodi ini berbeda dari reagin, TPI memerlukan biaya
mahal, reagensia murni dan tenaga yang terlatih.
Tes Pengikatan Komplemen Treponema Pallidum atau RPCF (Reiter Protein
Complement Fixation Test)
Tes ini menggunakan antigen yang berasal dari fraksi protein kuman Treponema
pallidum strain Reiter. Antibodi yang bereaksi dalam tes ini tidak sama dengan
antibodi imobilisasi ataupun reagin. Hasil positif palsu dapat terjadi bila fraksi
protein tersebut kurang murni missal mengandung lipopolisakarida.
Penilaian terhadap Tes Serologi
Apabila kedua tes Treponemal dan Non Treponemal memberikan hasil positif
maka dilakukan penilaian secara kuantitatif, jika hanya satu yang memberikan
hasil positif maka dilakukan pemeriksaan ulang.
Pada Tes Serologis Non Treponema

Hasil Tes Serologis Non Treponema menjadi negatif (-) dalam 3- 8 bulan
setelah pengobatan adekuat.

Penilaian : kualitatif & kuantitatif

Hasilnya menjadi positif (+) dalam 2 minggu I setelah ulkus durum positif
(+)Titer pada berbagai stadium :
S I : Negatif / positif rendah sampai tinggi
S II : Positif tinggi
S III : Positif tinggi
Sifilis kardiovaskular : Dapat non reaktif
Neurosifilis : Dapat non reaktif

Pengaruh pengobatan terhadap kuantitas Tes Serologis antara lain :


S I : Bila terapi di mulai pada saat hasil Tes Serologis non reaktif

tetap non

reaktif : Bila terapi mulai pada saat hasil Tes Serologis reaktif non reaktif setelah
1 tahun
S II : Hasil Tes Serologis akan (-) dalam waktu 2 tahun
Laten dini : Hasil Tes Serologis akan (-) dalam waktu 2 tahun
Laten lanjut : 20-30 % kasus akan (-) dalam 5 tahun
Sifilis lanjut : < 20- 30 % kasus akan (-) dalam 5 tahun
False negative: Bisa (+)1- 2 % S II, disebut Prozone reaction
False positive : (+) akibat salah teknik dan karena penyakit Treponema lain.
Menurut CDC (2010) hasil positif palsu pada tes non treponemal dapat dikaitkan
dengan beberapa kondisi medik yang tidak terkait dengan sifiis termasuk
keadaaan autoimun , usia lanjut, injection drug use, oleh karena itu harus
dilakukan tes antibodi treponemal. Tes non treponemal biasanya berkaitan dengan
perjalanan penyakit. Antibodi sifilis dalam kadar rendah mungkin akan tinggal
dalam darah selama berbulanbulan atau bertahun-tahun bahkan setelah penyakit
telah berhasil diobati. Fenomena ini dikenal dengan istilah serofast reaction.

9. Penatalaksanaan
Penyakit Sifilis hampir seperempatnya akan kambuh bila tidak di obati, pada sifilis
dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kegagalan terapi sebanyak 5%
pada SI dan SII. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi

menular pada mulut , tenggorok, dan regio perianal. Menurut CDC STD Treatment
Guidelines (2011) disebutkan bahwa Benzatin penisilin G, Bicillin adalah obat pilihan
terbaik untuk pengobatan semua tahap sifilis dan merupakan satu-satunya pengobatan
dengan keberhasilan yang di gunakan untuk sifilis pada masa kehamilan. Penisilin
memang tetap merupakan obat pilihan utama karena murah dan efektif. Berbeda
dengan gonokokus, belum ditemukan resistensi treponema terhadap penisilin.
Konsentrasi dalam serum sejumlah 0,03 UI/ml sudah bersifat treponemasidal namun
harus menetap dalam darah selama 10-14 hari pada sifilis menular, 21 hari pada
semua sifilis lanjut dan laten.

10.Patofisiologi
Treponema pallidum masuk ke dalam kulit
melalui mikrolesi atau selaput lendir ( senggama)

bakteri berkembang biak

lesi di area genital

respon immune ( keluar, kinin, histamin, brandikinin )


vasodilatasi pem.darah

proses pagositosis

area infeksi kemerahan

kuman di selimuti selaput mucoid

kuman kebal

bertahan di dalam sel makrofag


menyebar ke nodus limfa

pemebentukan antibody
humoral

masuk ke dalam system peredaran darah

demam

nyeri
sendi
membrane mukosa

ke otak

ke jantung

ginjal

hati

nyeri kepala
lesi
kerusakan integritas kulit
tubuh

gangguan citra
resiko infeksi

INTERVENSI KEPERAWATAN SIFILIS

Dx 1 :
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan substansi kimia ( T. pallidum)
Intervensi
. Mengamati warna, kehangatan (suhu), bengkak, getaran, tekstur, edema, dan nanah
o Memeriksa kemerahan, perubahan suhu yang ekstrim, atau drainase dari kulit dan
membran mukosa
o Memantau area merah dan rusak dari kulit
o Memantau sumber tekanan dan pergeseran
o Memantau infeksi
o Memantau area yang tidak berwarna dan memar kulit dan membrane mukosa
o Memantau kudis dan abrasi kulit
o Memantau kelainan kekeringan dan kelembaban kulit
o Memeriksa keketatan pakaian
o Memantau warna kulit
o Memantau suhu kulit

2. Resiko Tinggi Infeksi berhubungan dengan penyebaran T. paliidium


Intervensi
Monitor sistemik dan tanda-tanda lokasi dan symptom infeksi
o Batasi jumlah pengunjung
o

Kaji semua status kesehatan pengunjung

Lakukan tindakan aseptis pada pasien yang beresiko

o Lakukan teknik isolasi jika diperlukan


o Inspeksi kulit dan membran mukosa pasien
o Perhatikan asupan cairan pasien

o Instruksikan pasien untuk memakai antibiotic sesuai resep


o Ajarkan pasien dan keluarganya temtang tanda-tanda infeksi

3. Gangguan citra tubuh


intervensi
Menentukan dugaan citra tubuh pasien, sesuai dengan perkembangannya
o Membantu pasien untuk mendiskusikan perubahan yang terjadi akibat penyakit dan
pembedahan
o Membantu pasien memelihara perubahan tubuh
o Membantu pasien untuk membedakan penampilan fisik dari perasaan yang beharga
o Membantu pasien untuk menentukan akibat dari persepsi yang sama penampilan tubuh.
o Monitoring pandangan diri secara berkala
o Monitoring apakah pasien melihat perubahan pada bagian tubuh
o Montoring pernyataan tentang persepsi identitas diri sehubungan denagn bagian tubuh dan
berat badan
o Menentukan apakah perubahan citra tubuh berkontribusi dalam isolasi social
o Membantu pasien dalam mengidentifikasi penampilan yang akan meningkat

Referensi
1.
2.
3.
4.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25720/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18893/3/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26065/4/Chapter%20II.pdf
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20308039-T%2031667-Faktor-faktor-full

%20text.pdf
5. http://lms.unhas.ac.id/claroline/backends/download.php?
url=L1BFTIIBS0IUX0tVTEIUX0RBTI9LRUxBTUIOX1BBREFfU0ITVEVNX1VST0d
FTkIUQUxfLV9Db3B5LnBwdHg%3D&cidReset=true&cidReq=A987987

GONORHEA
1. Definisi
Gonorrhea didefinisikan sebagai penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri Neisseria gonorrhoea, suatu diplokokus gram negatif. Infeksi umumnya terjadi
pada aktivitas seksual secara genito-genital, namun dapat juga kontak seksual secara
oro-genital dan ano-genital. Dan mengenai mukosa membran uretra pada pria, serta
endoserviks dan kelenjar Bartholini pada wanita. Pada laki-laki umumnya
menyebabkan uretritis akut, sementara pada perempuan menyebabkan servisitis yang
mungkin saja asimtomatik. Bakteri penyebab gonorrhea tidak dapat hidup di luar
tubuh sehingga hanya akan menular melalui kontak hubungan seksual. Penderita
gonorrhea akan mengalami rasa sakit yang luar biasa pada saat buang air kecil
(kencing), yaitu rasa pedih dan terbakar. Seringkali disertai dengan urine yang
bernanah. Biasanya, penyakit ini tidak cepat dirasakan oleh wanita sehingga jarang
sekali wanita yang mengalami keluhan terserang gonorrhea. Pada wanita, infeksi
tersebut menyebabkan pembentukan selaput lendir di tuba fallopi yang mencegah
pergerakan sperma menuju sel telur sehingga mengakibatkan kemandulan.

2. Etiologi
Gonorrhea disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae, famili Neisseriaceae.
Bakteri ini berukuran 0,6 1,5 mikron, berbentuk diplokokus seperti biji kopi dengan
sisi datar yang berhadap-hadapan dan mempunyai 3 lapis dinding sel. Kuman ini tidak
membentuk spora dan tidak tahan lama di udara bebas, serta cepat mati pada keadaan
kering,

3. Manifestasi Klinis
Gejala gonorrhea pada pria lebih jelas daripada yang terdapat pada wanita. Wanita
seringkali hanya mengalami gejala ringan atau tidak ada sama sekali. Pada pria gejala
pertama biasanya timbul 2-7 hari setelah terjadinya kontak seksual dengan seseorang
yang mengidap penyakit ini. Gejala yang dialami pria dimulai dengan rasa tidak
nyaman pada saluran kencing, yang diikuti dengan rasa sakit ketika kencing atau
keluarnya cairan dari penis. Gejala yang juga muncul adalah perasaan ingin buang air
kecil terus menerus (anyang-anyangan), dan makin memburuk ketika penyakit ini
menyebar ke bagian atas dari uretra. Ujung penis juga menjadi kemerahan dan
membengkak. Pada wanita, gejala pertama kali timbul 7-21 hari setelah ia terinfeksi.
Atau seringkali wanita yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun sampai
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelah ia terinfeksi, dan baru ketahuan
setelah pria pasangannya diketahui terinfeksi kemudian ia ikut diperiksa. Namun pada
beberapa kasus, gejala yang biasanya timbul adalah sebagai berikut:
Keluarnya cairan hijau kekuningan dari vagina
Demam
Muntah-muntah

Rasa gatal dan sakit pada anus serta sakit ketika buang air besar, umumnya terjadi
pada wanita dan homoseksual yang melakukan anal seks dengan pasangan yang
terinfeksi
Rasa sakit pada sendi
Munculnya ruam pada telapak tangan
Sakit pada tenggorokan (pada orang yang melakukan anal seks dengan pasangan
yang
terinfeksi)

4. Komplikasi
Apabila gonorrhea tidak diobati, bakteri dapat menyebar ke aliran darah dan
mengenai sendi, katup jantung atau otak. Komplikasi yang paling umum dari
gonorrhea adalah Pelvic Inflammatory Disease (PID), yaitu infeksi serius pada organ
reproduksi wanita, yang dapat menyebabkan infertilitas. Selain itu, kerusakan yang
terjadi dapat menghambat perjalanan sel telur yang sudah dibuahi ke rahim. Apabila
ini terjadi, sebagai akibatnya sel telur ini berkembang biak di dalam saluran falopii
atau yang disebut kehamilan di luar kandungan, suatu hal yang dapat mengancam
nyawa sang ibu apabila tidak terditeksi secara dini. Seorang wanita yang terinfeksi
dapat menularkan penyakitnya kepada bayinya ketika sang bayi melalui jalan lahir.
Pada kebanyakan kasus ibu yang mengidap gonorrhea, mata bayi ditetesi obat untuk
mencegah infeksi gonococcus yang dapat menyebabkan kebutaan. Karena adanya
resiko infeksi Ibu dan bayi, biasanya dokter menyarankan agar ibu hamil menjalani
tes gonorrhea setidaknya sekali selama kehamilannya. Sedangkan pada pria, apabila
tidak ditangani secara serius gonorrhea dapat menyebabkan impotensi.

5. Pencegahan
Karena gonorrhea ini sangat menular namun seringkali tidak menampakkan gejalagejala khusus, seseorang yang pernah melakukan hubungan seks dengan lebih dari
satu pasangan sebaiknya memeriksakan dirinya dengan teratur ke rumah sakit.
Penggunaan kondom dan difragma juga dapat mencegah penularan. Selain itu,
pastikan toilet yang digunakan higienis, dan hindari penggunaan toilet duduk di
tempat umum.

6. Pengobatan
Pada dasarnya pengobatan gonorrhea baru diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Fasilitas untuk menegakkan diagnosis penyebab gonorrhea secara pasti pada suatu
daerah kadang-kadang belum tersedia, sehingga diagnosis dengan mengandalkan
tanda-tanda klinis atau dengan pendekatan sindrom masih dipandang efektif.
Obat-obat yang digunakan sebagai terapi tergantung beberapa faktor :
- Pola resistensi menurut area geografi maupun sub populasi - Obat-obatan yang
tersedia

- Efektivitas yang dikaitkan dengan harga obat


Terapi gonorrhea tanpa komplikasi :
- Golongan Cephalosporin :
Cefixime 400 mg per oral
Ceftriaxone 250 mg im
- Golongan Quinolone :
Ofloxacin 400 mg per oral
Ciprofloxacin 500 mg per oral Spectinomycin : 2 gram im
- Kanamycin : 2 gram im
Semua diberikan dalam dosis tunggal

7. Penatalaksanaan
a) Farmako
1) Infeksi akut tanpa komplikasi, dengan obat pilihan lain
Penisilin prokain 2,4 juta IU, diberikan dengan injeksi intramuskular.
Sedangkan dosis untuk wanita 4,8 juta IU.
Ampisilin dosis tunggal 3,5 gram + Probenesid 1 gram
Amoksilin 3 gram + Probenesid 1 gram
Tiamfenikol oral dosis tunggal 2,5 3,5 gram (tidak dianjurkan pada
wanita hamil)
Bila kuman penyebab diduga resisten terhadap penisilin, maka obat yang
dipilih adalah Tiamfenikol dan Kuinolon.
2) Infeksi dengan komplikasi

Siprofloksasin 500 mg, 2 x sehari selama 5 7 hari diberikan secara oral.

b) Non-Farmako
Memberikan pendidikan kesehatan kepada klien mengenai,
1) Bahayanya penyakit seksual
2) Penjelasan tentang penyakit, cara penularan, cara pencegahan dan pengobatan
3) Pentingnya mematuhi prosedur pengobatanyang diberikan

8. Patofisiologi Gonorhea
Bakteri Neisserriae Gonorrhoeae masuk dan menular
dari penderita melalui hubungan seksual

Terdapat banyak
Masuk kedalam tubuh (saluran genital)
dlm kolono yang pekat

(opaque)
Menginvasi membran selaput lendir genitourinaria Nyeri saat BAK

Aktivasi mediator-mediator inflamasi (histamine, prostaglandin, dll)

Respon dan proses inflamasi


permeabilitas kapiker

makrofag, leukosit (neutrofil, dll),


Sitotoksik T sel menghancurkan bakteri
Menyebar ke
keluarnya sel

mata, rektum,
darah ke
Muncul eksudat
tenggorokan dan sendi lapisan kulit

bakteri melawan dengan mengeluarkan


Terjadi proses
Papula, eudeuma.
racun leukosidins yang membunuh neutrofil
Inflamasi berlebih
dan kemerahan ResikoHDR

dan Eksudasi di

Muncul abses
lokasiinvasi merangsang pruritoseptoror

Eksudat dan abses berkumpul menjadi pus hijau


Rangsang
Timbul rasa gatal

termoregulasi berlebih
Kerusakan
keluar bersama urin
oleh sitokin
Integritas

Kulit
kencing nanah
suhu tubuh
Hipertermi

ASKEP GONORRHEA
1. Pengkajian
A. Anamnese
1. Riwayat Keperawatan
a. Identitas
Meliputi :
1) Nama
2) Umur : angka terjadi pada perempuan berusia 15 19 th dan laki-laki berusia
20 24 tahun
3) Jenis kelamin : bisa terjadi pada kedua jenis kelamin tetapi angka tertinggi
pada perempuan
4) Agama
5) Suku bangsa : angka gonnorea di Amerika serikat lebih tinggi daripada di
negara-negara inustri lainnya
6) Pekerjaan
7) Pendidikan
8) Status perkawinan
9) Alamat
10) Tgl MRS.
b. Keluhan Utama
Klien biasanya mengatakan nyeri saat kencing namun ada juga yang asimtomatik.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
P = Tanyakan penyebab terjadinya infeksi ?
(Terinfeksinya dikarenakan sering berhubungan seks tanpa pengaman )
Q = Tanyakan bagaimana gambaran rasa nyeri tersebut.
(Berupa rasa gatal, panas sewaktu kencing terdapat pada ujung penis atau bagian
distal uretra, perasaan nyeri saat ereksi)
R = Tanyakan pada daerah mana yang sakit, apakah menjalar ?
(Rasa tidak nyaman pada uretra kemudian diikuti nyeri ketika berkemih)
S = Kaji skala nyeri untuk dirasakan.
(Rata-rata nyeri berskala 7)
T = Kapan keluhan dirasakan ?
(Keluhan dirasakan pada saat akan berkemih)
e.

Riwayat Kesehatan Keluarga

Tanyakan pada kx apakah ada anggota keluarga px yang menderita penyakit yang
sama seperti yang diderita px sekarang dan juga apakah ada penyakit keturunan
yang di derita keluarganya.
2. Pola Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup
Perlu dikaji bagaimana kebiasaan kesehatannya dalam kehiduoan sehati
harinya, misalnya PH dari klien seperti mandi dan gosok, gigi serta kebiasaan
kebiasaan dalam mengkonsumsi minum minuman keras dan perokok.
b. Pola tidur dan istirahat
Perlu dikaji bagaimana kebiasaan pola tidur klien setiap harinya, sebelum dan
setelah sakit, biasanya klien akan mengalami gangguan pola tidur karena
proses inflamasi dan pembengkakan jika telah terjadi komplikasi.
c. Pola aktifitas dan latihan
Perlu dikaji kegiatan keseharian dari klien, dan keteraturan klien dalam
berolahraga.
d. Pola hubungan dan peran
Perlu dikaji bagaimana peran klien dengan keluarganya dan lingkungan
sekitarnya, biasanya pada klien dengan gonore hubungan peran dengan
keluarga terutama suami atau istri kurang baik sehingga menyebabkan
pelampiasannya dengan orang lain yang telah terjangkit gonore.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Perlu dikaji bagaimana persepsi klien dengan kondisi tubuhnya yang
menderita gonore, apakah hal ini akan mempengaruhi konsep diri klien yang
menyebabkan klien ini akan merasa rendah diri.
f. Pola sensori dan kognitif
Perlu dikaji tingkat pengetahuan klien mengenai penyakit yang dideritanya
dan juga kognitif klien, misalnya tingkatan pendidikannya. Biasanya pada
klien gonore tingkat pendidikannya rendah sehingga mereka sulit
mendapatkan pekerjaan dan akan melakukan pekerjaan yang bisa
menyebabkan tertularnya gonore.
g. Pola penanggulangan stress
Perlu dikaji bagaimana klien dalam menangani stress yang dialami
berhubungan dengan kondisi sakitnya.
h. Pola tata nilai dan kepercayaan
Perlu dikaji bagaimana kebiasaan beribadah klien, serta kepercayaannya.
i. Pola reproduksi dan seksual
Perlu dikaji apakah klien masih dalam masa subur atau tidak, berapa jumlah
anaknya, apakah menggunakan alat kontrasepsi dan dengan kondisi sakitnya
saat ini bagaimana pola seksualitas dari klien, biasnya klien mengalami
perubahan dalam pola seksualnya karena adanya inflamasi pada organ
reproduksinya.

j. Pola eliminasi
Perlu dikaji frekuensi dan konsistensi BAB serta BAK klien setiap harinya,
apakah mengalami gangguan atau tidak, biasanya klie mengalami disuria dan
sulit untuk BAB serta diikuti dengan rasa nyeri.
k. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien perlu dikaji dengan kondisi sakitnya, apakah klien mengalami
gangguan pola makan, namun biasanya klien akan merasa malas, dan
mengalami gangguan pola makannya karena adanya inflamasi pada faringnya
sehingga akan mengalami penurunan metabolisme tubuh.
3. Pemeriksaan Fisik
1) Tingkat Kesadaran
GCS : biasanya kesadaran pasien normal yaitu 4,5,6
Observasi TTV Klien, yaitu :
Nadi
Tekanan Darah
RR
Suhu
2) Pengkajian Persistem
a. Sistem Integumen
Biasanya terjadi inflamasi jaringan sekitar uretra, genital lesions dan skin
rashes.
b. Sistem Kardiovaskuler
Kaji apakah bunyi jantung normal / mengalami gangguan, biasanya pada
klien bunyi jantung normal, namun akan mengalami peningkatan nadi
karena proses dari inflamasi yang mengakibatkan demam.
c. Sistem Pernafasan
Perlu dikaji pola nafas klien, auskultasi paru paru untuk mengetahui
bunyi nafas, dan juga kaji anatomi pada sistem pernafasan, apakah terjadi
peradangan atau tidak. Biasanya pada klien terdapat peradangan pada
faringnya karena adanya penyakit.
d. Sistem Penginderaan
Kaji konjungtiva, apakah ada peradangan / tidak.
( Konjungtiva tidak mengalami peradangan, namun akan mengalami
peradangan jika pada konjungtivitis gonore dan juga bisa ditemukan
adanya pus )
e. Sistem Pencernaan
Kaji mulut dan tenggorokan termasuk toksil.
( Mulut sudah terjaga PHnya dan tidak terdapat toksil )
Pada faring biasanya mengalami inflamasi sehingga akan mengalami
gangguan dalam pola makan apakah terdapat diare / tidak.
( Pola eliminasi vekal tidak mengalami gangguan )

Anus, Biasanya pasien mengalami inflamasi jaringan akibat infeksi yang


menyebabkan klien sulit dan nyeri saat BAB
f. Sistem Perkemihan
Biasanya klien akan mengalami , retensi urin karena inflamasi prostat,
keluar nanah dari penis dan kadang kadang ujung uretra disertai darah,
pembengkakan frenulum pada pria, dan pembengkakan kelenjar bartoloni
serta labio mayora pada wanita yang juga disertai dengan nyeri tekan.
g. Sistem Muskuluskeletal
Biasanya pada pasien laki laki tidak mengalami kesulitan bergerak,
sedangkan pada pasien wanita yang sudah mengalami komplikasi akan
mengalami kesulitan dalam bergerak dan juga saat duduk karena
terjadinya komplikasi pembengkakan pada kelenjar bartholini dan juga
labio mayoranya.
2. Diagnosa
1) Nyeri saat BAK berhubungan dengan adanya reaksi inflamasi pada uretra ditandai
dengan klien mengeluh sakit dan keluat nanah pada saat berkemih.
2) Hipertermi berhubungan dengan adanya reaksi penyakit ( reaksi inflamasi )
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan jaringan yang ditandai
dengan adanya abses dan kemerahan
4) Resiko harga diri rendah berhubungan dengan proses penyakitnya.
3. Intervensi
1) Diagnosa I
Nyeri saat BAK berhubungan dengan adanya reaksi inflamasi pada uretra ditandai
dengan klien mengeluh sakit dan keluar nanah pada saat berkemih.
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam, klien akan
merasa nyaman saat berkemih.
Kriteria Hasil :
- Klien tampak rileks saat berkemih
- Klien secara verbal mengatakan tidak sakit / tidak nyeri
- Klien akan menggunakan pencegahan non analgetik untuk mengurangi rasa
nyerinya.
- Skala nyeri klien 2 3 / 0
- Tanda tanda vital klien dalam batas normal
- Klien tampak tenang
Rencana Tindakan :
a) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ : agar klien dan keluarga lebih kooperatif ketika dilakukan tindakan
b) Jelaskan pada klien penyebab rasa nyeri
R/ : klien mengerti dari penyebab rasa nyeri dan mengurangi rasa cemas

c) Observasi tanda-tanda nyeri non verbal, seperti ekspresi wajah gelisah,


menangis
R/ : Mengetahui tingkat rasa nyeri yang dirasakan pasien
d) Observasi skala nyeri
R/ : Mengetahui skala nyeri yang dirasakan oleh pasien
e) Ajarkan klien tehnik relaksasi dan dekstraksi untuk mengurangi nyeri
R/ : Dengan tehnik relaksasi dan dekstraksi dapat mengurangi rasa nyeri
f) Anjurkan klien untuk napas panjang
R/ : Untuk mengurangi rasa nyeri
g) Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang
R/ : klien akan merasa nyaman dan tenang
h) Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian terapi analgesik
R/ : Melaksanakan fungsi independen dan analgesik dapat mengurangi rasa
nyeri

2) Diagnosa II
Hipertermi berhubungan dengan adanya reaksi penyakit ( reaksi inflamasi )
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan dalam waktu 1 x 24 jam suhu
tubuh klien dalam batas normal
Kriteria Hasil :
-

Suhu tubuh klien normal

Klien tampak nyaman

Secara verbal klien mengatakan nyaman

Tanda vital klien normal

Tidak ada perubahan warna kulit dan klien tidak pusing

Rencana Tindakan :
a) Jelaskan pada klien dan keluarga klien untuk mengompres klien pada daerah
arteri besar misalnya pada aksila dan leher
R/ : dengan melakukan kompres pada daerah arteri besar bisa membantu
menyeimbangkan termoregulasi tubuh, agar suhu tubuh klien normal

b) Observasi suhu tubuh klien setiap 2 jam sekali


R/ : dengan memonitor secar rutin tentang suhu tubuh klien bisa memantau
perubahan perubahan yang terjadi sehingga bisa segera dilakukan tindakan
keperawatan.
c) Observasi nadi, tekanan darah dan respirasi rate klien
R/ : jika tubuh mengalami peningkatan maka nadi klien juga bisa mengalami
peningkatan, sehingga bisa memperburuk kondisi klien jika tidak dilakukan
observasi.
d) Tingkatkan inktake cairan dan nutrisi klien
R/ : peningkatan cairan bisa membantu menstabilkan termoregulasi panas
klien
e) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian obat antipiretik
R/ : obat antipiretik akan membantu menurunkan suhu tubuh klien sesuai
batas normal.
3) Diagnosa III
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan jaringan yang ditandai
dengan adanya abses dan papula
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam gangguan
integritas kulit klien akan teratasi.
Kriteria Hasil :
-

Abses tidak ada

Papula tidak ada

Mempertahankan integritas kulit

Tidak terjadi infeksi dan komplikasi

Rencana Tindakan
a) Jelaskan pada klien agar tetap menjaga kekeringan dan kebersihan di daerah
luka

R/ : mengurangi dan mencegah terjadinya iritasi yang meluas pada area kulit
lain yang bisa memperparah kondisi klien
b) Observasi kondisi kerusakan
pembengkakan dan kemerahan.

jaringan

kulit

klien,

catat

adanya

R/ : daerah ini cenderung terkena radang dan infeksi dan memantau kondisi
kerusakan integritas kulit klie
c) Bersihkan dan keringkan kulit khususnya daerah dengan kelembaban tinggi
R/ : kulit yang bersih dan kering tidak akan cenderung mengalami kerusakan
d) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian obat antibiotik
R/ : obat antibiotik akan mempercepat proses penyembuhan dengan
membunuh bakteri penyebabnya.

4) Diagnosa VI
Resiko harga diri rendah berhubungan dengan proses penyakitnya.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam resiko
HDR tidak menjadi aktual.
Kriteria Hasil :
-

Mengindentifikasi aspek-aspek positif diri

Menganalisis perilaku sendiri dan konsekuensinya

Mengidentifikasi cara-cara menggunakan kontrol dan mempengaruhi hasil

Rencana Tindakan :
a) Bina hubungan saling percaya dengan klienR/ : jika terjalin hubungan saling
percaya antara perawat dan klien maka akan mempermudah dalam
melakukan proses keperawatan
b) Jelaskan pada klien mengenai proses penyakitnya
R/ : jika klien tahu tentang penyakitnya akan mengurangi kekhawatiran klien
c) Bantu individu dalam mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan

R/ : dengan mengekspresikan perasaannya klien bisa mengurangi beban


pikirannya sehingga klien akan lebih terbuka terhadap masalahnya
d) Motivasi klien untuk membayangkan masa depan dan hasil positif dari
kehidupan
R/ : motivasi yang positif bisa meningkatkan kepercayaan diri klien
e) Perkuat kemampuan dan karakter positif (misal: hobi, keterampilan,
penampilan, pekerjaan)
R/ : dengan memperkuat kemampuan dan karakter positif bisa membantu
klien untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan keluarganya.
f)

Bantu klien menerima perasaan positif dan negatifR/ : dengan menerima


kondisi dari klien akan lebih bersabar dan menerima apa adanya sehingga
klien tidak akan atau klien akan membangkitkan kepe
rcayaan dirinya

Referensi
1. Garry F . 2006 . Obstetri Williams Edisi 21, Jakarta: EGC, Jawetz, Melnick, &
Adelbergs. 2001. Mikrobiologi Kedokteran
Edisi Pertama, Penerbit Salemba
Medika Jakarta.
2. Repository.usu.ac.id
3. Repository.unand.ac.id
4. Pedoman pengobatan dasar di Puskesmas, Depkes RI dalam Buku saku dokter
(online)
5. http://penyakitgonorrhea.com/
6. http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember
%202010/URETRITIS%20GONORE.pdf
7. Murtiastutik Dwi. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular, Cetakan 1. Airlangga University
Press Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai