Anda di halaman 1dari 14

LEPTOSPIROSIS

Oleh :

Bunga Maulidya Risza 16310053

Cut Zhakia Ananda 16310056

Cindy Tiara 16310055

Chandra Farid Rifay 16310054

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis yaitu
penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia.
Gejala klinis leptopirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influenza,
meningitis, hepatitis, demam dengue demam berdarah dan demam virus lainnya. Sehingga
seringkali tidak terdiagnosis .
Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air
tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak
diencerkan akan cepat mati. Leptospira bisa terdapat pada hewan piaraan maupun hewan liar.
Leptospirosis dapat berjangkit pada laki-laki maupun wanita semua umur tetapi kebanyakan
mengenai laki-laki dewasa muda (50% kasus umumnya berusia antara 10-39 tahun
diantaranya 80% laki-laki).
Angka kematian akibat penyakit yang disebabkan bakteri lepstopira tergolong cukup
tinggi bahkan untuk penderita yang berusia lebih dari 50 tahun malah kematiannya bisa
mencapai 56% (Masniari poengan, peneliti dari Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor
2007)
Di Amerika Serikat tercatat sebanyak 50-150 kasus leptospirosis setiap tahun sebagian
besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Salah satu daerah di Indonesia merupakan daerah
endemik Leptospirosis yaitu di Guilan Provinsi di utara di Iran. Karena diagnosa
Leptospirosis berdasarkan gejala klinis sangat sulit karena kurangnya karakteristik
pathogonomic, dukungan laboratorium diperlukan. Angka kejadian penyakit leptospirosis di
Provinsi Guilan Iran Utara cukup tinggi terutama pada daerah Rasht. Pada daerah tersebut
terdapat 233 kasus Leptospirosis dari keseluruhan kasus yang berjumlah 769.

Indonesia memiliki banyak wilayah yang sering dilanda banjir. Beberapa wilayah di
Indonesia misalnya di kota besar DKI Jakarta hampir setiap tahunnya dilanda banjir. Banjir
ini tentunya membawa dampak yang sangat merugikan bagi semua aspek kehidupan manusia,
salah satunya adalah timbulnya berbagai macam penyakit pasca banjir. International
Leptospirosis Society menyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara insiden leptospirosis
cukup tinggi dan merupakan peringkat mortalitas ketiga di dunia. Hal ini berdasarkan jumlah
kasus leptopirosis di DKI Jakarta akibat banjir besar yang terjadi tahun 2002 mencapai 113
pasien leptospirosis dan 20 orang diantaranya meninggal (Case Fatality Rate Leptospirosis
adalah 19,4%,). (Tri, 2012)
Keadaan banjir pada beberapa kecamatan di wilayah tersebut menyebabkan adanya
perubahan lingkungan seperti: banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek,
berlumpur, serta banyak timbunan sampah, yang menyebabkan mudahnya kuman Leptospira
berkembang biak. Masalah leptospirosis yang terjadi di DKI Jakarta selalu terjadi pada
wilayah yang sama yang diakibatkan oleh faktor lingkungan yang buruk, perilaku yang buruk
atau pengaruh karateristik individu.
Hospes reservoir dari bakeri Leptospira ini adalah tikus yang gemar dengan keadaan
lingkungan yang lembab, becek, kotor. Penyebaran Leptospirosis (penyakit kencing tikus)
diakibatkan karena urine hewan yang terinfeksi kuman Leptospira akan terbawa oleh
genangan air dan mencemari lingkungan rumah. Dibutuhkan pengetahuan mengenai bakteri
ini, patologi dari leptospirosis, epidemiologi, tindakan pengendalian, dan pencegahan yang
tepat untuk menekan penyebaran bakteri ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah penyebab dari penyakit leptospirosis ?
2. Apakah gejala klinis dari leptospirosis ?
3. Bagaimanakah pencegahan leptospirosis ?
1.3. Tujuan
1. Mengenal lebih dalam tentang Leptospirosis
2. Menngetahui cara pencegahan leptospirosis
3. Mengetahui gejala klinis leptospirosis
BAB II

ISI

2.1. Sejarah Leptospirosis

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat
pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan
manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat,
disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan
penyakit ini di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection
and specific therapy of Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39
tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah
faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus
terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur
karena tanah lembab dan bersifat alkalis.
Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus
leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak
beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah
diagnosis dan nonfatal.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis
setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam
banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.
Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan
terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir
pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan
jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang
lanjut usia dan penderita “immunocompromised” mempunyai resiko tinggi terjadinya
kematian.
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56
persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata
berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang
berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur,
rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit.
Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai,
seperti berenang atau rafting.
Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi
dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang
susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi
pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%

2.2. Definisi

Leptospirosis merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh beberapa bakteri dari
golongan leptospira yang berbentuk spiral kecil disebut spirochaeta. Bakteri ini dengan
flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia normal. Leptospira ini dapat hidup di
air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Sistem klasifikasi tradisional didasarkan atas
patogenitas yang membedakan antara spesies patogen yaitu Leptospira interrogans dan
spesies nonpatogen yang hidup bebas, yaitu Leptospira biflexa. Leptospira berbentuk ulir
yang rapat, tipis dengan panjang 5-15 mm. Leptospira dapat hidup berminggu-minggu di
dalam air, khususnya pada pH basa. (Brooks, 2005)

2.3. Etiologi

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk


spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta
berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob.
Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen
dan L biflexa adalah saprofitik.
Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang
tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira
dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing,
kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko
mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.
Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang
paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan
tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia.
Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan kucing.
Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L pomona dan L interrogans
terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L
ballum dan L icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L canicola dikaitkan
dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan
australis.
2.4. Cara Penularan

Leptospira bisa keluar lewat urine/air seni hewan yang jatuh ke tanah. Ini bisa
berpotensi menginfeksi selama 6 – 48 jam. Pada urine yang mempunyai pH netral atau basa,
tidak terkontaminasi dengan deterjen dan suhu di atas 22 derajat C, leptospira dapat hidup
sampai berminggu-minggu.  Kita dapat terinfeksi bila terjadi kontak dengan air, tanah dan
lumpur yang terkena urine binatang tersebut.
Leptospira akan masuk ke kulit atau selaput lendir lewat luka atau lecet pada kulit.
Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit
yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi leptospirosa. Masa
inkubasi dari bakteri ini adalah selama 4 – 19 hari. Air yang menggenang atau mengalir
lambat akan memudahkan infeksi.

2.5. Manifestasi Klinik

Sistem saraf pusat, hati, dan ginjal merupakan organ yang paling sering terkena
infeksi bakteri Leptospira pada manusia. Beratnya patologi bervariasi tergantung dari
antarsevoar, misalnya infeksi L. icterohaemorrhagiae biasanya lebih berat daripada infeksi L.
copenhageni. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan faktor
pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan
penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu
pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal.
Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel
tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang
yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan
oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal
menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal
karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh
vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia
hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis
dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak disertai peningkatan
antibodi leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih
dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam
terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis.
Gejala klinik leptospirosis tidak spesifik, sering menyerupai influenza, meningitis
aseptika, ensefalitis, dengue fever, hepatitis atau gastro enteritis. Gejala ringan yang timbul
berupa panas, lesu, sakit pada otot, dan sakit kepala. Gejala yang berat ditandai dengan
demam, ikterus, disertai perdarahan, anemia, azotemia dan gangguan kesadaran. Bentuk berat
dari penyakit leptospirosis ini dikenal sebagai Weil’s disease. Masa inkubasi leptospirosis 2-
26 hari, biasanya 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 3 fase
penyakit yang khas yaitu:
1. Fase leptospiremia
Pada fase ini Leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan tubuh lain. Gejala
ditandai dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit otot betis, paha, pinggang disertai
nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare,
bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%).
Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali,
hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani
secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dengan organ-organ yang terlibat akan
membaik. Fungsi organ-organ ini akan kembali ke 3-6 minggu setelah perawatan. Pada
keadaan sakit lebih berat,
demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali.
Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
2. Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam hingga 40°C disertai
mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa sakit.
Perdarahan paling jelas saat fase ikterik, dapat ditemukan purpura, peteki, epistaksis, dan
perdarahan gusi. Conjuntiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan
tanda patognomonis
untuk leptospirosis. Fase ini juga dapat ditandai dengan meningitis, yang dapat menetap
dalam beberapa minggu dan menghilang setelah 2 hari. Pada fase ini, leptospira juga dapat
dijumpai dalam urin. (Kunadi, 2012)
3. Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala
klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot,
ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali.

2.6. Epidemiologi Leptospirosis

Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia, dapat dibedakan atas maintenance
host dan incidental host. Dalam tubulus ginjal maintenance host, leptospirosis akan menetap
sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui kontak
langsung. Biasanya, infeksi didapat pada usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik melalui
urin meningkat dengan bertambahnya umur hewan. Pada manusia, penularan melalui kontak
tidak langsung dengan-maintenance host. Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor
yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance host dan
incidental host. Hal ini dan juga tentang serovar penting untuk studi epidemiologi
leptospirosis pada setiap daerah. (Stephen, 2008).
Penularan juga dapat terjadi melalui gigitan hewan yang sebelumnya telah terinfeksi
leptospirosis atau kontak dengan kultur leptospirosis di laboratorium. Manusia yang
mempunyai risiko tinggi tertular penyakit ini adalah pekerja di sawah, peternak, pekerja
tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter hewan. Aktivitas yang
berisiko tertular penyakit ini antara lain : berenang di sungai, berburu, dan kegiatan di hutan.
Sebagai contoh pada tahun 2000, 80 peserta Ecochallenge multi sport di Borneo, Malaysia
yang berenang di sungai Segama terkena leptospirosis. Kelompok yang rentan terkena
leptospirosis adalah peternakan, lingkungan banjir, dan lingkungan yang banyak tikus.
(Kunadi, 2012)
Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari Negara yang beriklim sedang,
karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab.
Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang dimana terdapat
kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi karena
tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh kontaminasi yang tersebar
luas di lingkungan. Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi
Leptospira merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis. Kejadian leptospirosis dapat
meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air.

2.7. Faktor yang mempengaruhi Penyebaran Leptospirosis

1.      Kondisi selokan buruk


Banyak selokan di Indonesia yang tidak memenuhi standar. Sebagai contoh, jumlah
sampah yang banyak di selokan, ukuran selokan yang tidak pas, tidak ada penutup
selokan, dan lainnya. Hal ini membuat air yang seharusnya mengalir menjadi
tersumbat atau meluber ke jalan. Tikus sangat senang dengan tempat yang gelap dan
lembab. Bisa saja tikus buang air di selokan dan air selokan yang terkontaminasi
dapat terinjak oleh manusia.
2. Keberadaan sampah dalam rumah
Tikus sangat menyukai sampah dan makanannya terdapat dalam tumpukan sampah.
Oleh karena itu, tikus bisa buang air di dalam rumah yang terdapat sampahnya.
Urinnya dapat menempel di perabot rumah atau terbawa air banjir.
3. Keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah
Adanya tikus di dalam dan sekitar rumah meningkatkan probabilitas adanya urin tikus
di sekitar rumah yang terinfeksi bakteri Leptospira.
4. Kebiasaan tidak memakai alas kaki
kebiasaan tidak memakai alas kaki ini juga menjadi faktor infeksi leptospirosis. Air
yang terkontaminasi urin tikus dapat mengenai kulit kaki dan bakteri Leprospira
dapat masuk ke dalam jaringan kulit dan menimbulkan infeksi.
5. Kebiasaan mandi/mencuci di sungai
Saat mandi/mencuci di sungai pasti membutuhkan air yang tersedia di sungai. Air
sungai tersebut tidak dijamin bebas dari mikroba. Air tersebut dapat mengandung urin
tikus. Air yang terkontaminasi akan menempel pada badan kita dan terjadi infeksi
bakter Leptospira.
6. Pekerjaan berisiko
Pekerjaan yang berisiko terkena infeksi leptospirosis antara lain pekerja di sawah,
peternak, pekerja tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter
hewan.
7. Tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis
Sebab tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis, maka masyarakat tidak mengetahui
mengenai penyakit leptospirosis, cara infeksinya, gejala klinisnya, pencegahannya,
dan lain-lain sehingga masyarakat tetap melakukan aktivitasnya yang tidak sehat dan
berpotensi terkena infeksi. (Agus, 2008)

2.8. Diagnosis Leptospirosis

Salah satu kendala penanganan leptospirosis adalah kesulitan dalam melakukan


diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari berbagai sistem
organ seperti: demam, sakit kepala, hepatitis, nefritis, meningitis, pneumonia, influenza,
bahkan pankreatitis. Pada anamnesis, penting untuk menanyakan identitas pasien, misalnya
pekerjaan dan tempat tinggal. Itu dapat menunjukkan apakah pasien termasuk orang berisiko
tinggi atau tidak. Gejala demam, sakit kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan foto fobia
dapat dicurigai kearah leptospirosis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia,
nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lainlain.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung, spesimen
darah segar (pada permukaan masa infeksi) yang dibuat sediaan darah tebal dengan teknik
Giemsa, juga dilakukan dengan pembiakan leptospira, berasal dari darah dan cairan
serebrospinal (minggu pertama masa sakit) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke
40). Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH. Pada media ini,
pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Adanya leptospira pada
media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan
mikroskop fluoresen (fluorerescent antibodi stain).
Pemeriksaan uji imunoserologi sangat penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada
umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke-10. Titernya akan meningkat dan
akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa sakit. Uji imunoserologi yang
biasa digunakan: (Levett,2003. Tansupaseri,2005),,,,,,,,,,,,,,,,,,
1. MAT (Microscopic Agglutination Test)
2. IgM dot ELISA dipstick test
Hasil penelitian terbaru menyebutkan adanya antigen spesifik leptospira, yaitu
lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis leptospirosis. (Kunadi, 2012)
2.9. Komplikasi Leptospirosis

1. Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6


2. Pada Ginjal : Gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
3. Pada Jantung : Berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang
dapat menyebabkan kematian mendadak
4. Pada paru paru : Batuk darah, nyeri dada, sesak napas
5. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernapasan, saluran
pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata ( konjungtiva )
6. Pada kehamilan : Keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati

2.10. Pencegahan
Pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi :
a. Jalur sumber infeksi
1)      Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2)      Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau
dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara pemberian
berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
3)      Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4)      Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan
membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air,
dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh
dari jangkauan tikus.
5)      Mencegah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara
lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga
sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang
baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sedemikian rupa sehinnga tidak menimbulkan
kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
1)      Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker)
2)      Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3)      Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan
air yang terkontaminasi.
4)      Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau
mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh
bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan
jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5) Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin
hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat
merawat hewan yang sakit.
6)      Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai
kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
7)      Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik,
filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8)      Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan- bahan
kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
9)      Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan
sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira..
10) Manajemen ternak yang baik.
c. Jalur pejamu manusia
1)      Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi
kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira, cara-cara
menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira.
2)      Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara edukasi
yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi militer,
dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan
diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor telepon yang dapat
dihubungi untuk informasi lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi
.
2.11. Pengobatan

Pengobatan kasus leptospirosis masih diperdebatkan. Sebagian ahli mengatakan


bahwa pengobatan leptospirosis hanya berguna pada kasus kasus dini (early stage)atau fase
awal sedangkan pada fase ke dua atau fase imunitas (late phase) yang paling penting adalah
perawatan.

Tujuan pengobatan dengan antibiotik adalah:

1. mempercepat pulih ke keadaan normal


2. mempersingkat lamanya demam
3. mempersingkat lamanya perawatan
4. mencegah komplikasi seperti gagal ginjal (leptospiruria)
5. menurunkan angka kematian

Obat pilihan adalah Benzyl Penicillin. Selain itu dapat digunakan Tetracycline, Streptomicyn,
Erythromycin, Doxycycline, Ampicillin atau moxicillin.
Pengobatan dengan Benzyl Penicillin 6-8 MU iv dosis terbagi selama 5-7 hari. Atau
Procain Penicillin 4-5 MU/hari kemudian dosis diturunkan menjadi setengahnya setelah
demam hilang, biasanya lama pengobatan 5-6 hari.
Jika pasien alergi penicillin digunakan Tetracycline dengan dosis awal 500 mg,
kemudian 250 mg IV/IM perjam selama 24 jam, kemudian 250-500mg /6jam peroral selama
6 hari. Atau Erythromicyn dengan dosis 250 mg/ 6jam selama 5 hari. Tetracycline dan
Erythromycin kurang efektif dibandingkan dengan Penicillin. Ceftriaxone dosis 1 g. iv.
selama 7 hari hasilnya tidak jauh berbeda dengan pengobatan menggunakan penicillin.
Oxytetracycline digunakan dengan dosis 1.5 g. peroral, dilanjutkan dengan 0.6 g. tiap 6 jam
selama 5 hari; tetapi cara ini menurut beberapa penelitian tidak dapat mencegah terjadinya
komplikasi hati dan ginjal.Pengobatan dengan Penicillin dilaporkan bisa menyebabkan
komplikasi berupa reaksi Jarisch-Herxheimer. Komplikasi ini biasanya timbul dalam
beberapa waktu sampai dengan 3 jam setelah pemberian penicillin intravena; berupa demam,
malaise dan nyeri kepala; pada kasus berat dapat timbul gangguan pernafasan.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.Kesimpulan
Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae.
Leptospira merupakan bakteri aerob, berbentuk spiral yang rapat, bersifat motil, dan
merupakan spiroketa gram negative. Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak
langsung. Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis antara lain kondisi selokan
buruk, keberadaan sampah dalam rumah, keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah,
kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi/mencuci di sungai, pekerjaan berisiko,
tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis
Beratnya patologi bervariasi tergantung dari antarsevoar. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain. Diagnosis dapat
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung. Kejadian pada negara beriklim hangat
lebih tinggi dari negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam
lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan
tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi, memelihara lingkungan bersih,
membuang sampah pada tong sampah, menjaga sanitasi, meningkatkan pengetahuan tentang
kesehatan. Leptospirosis diobati dengan antibiotika seperti doxycycline atau penicillin.

3.2.Saran

Saran untuk masyarakat adalah masyarakat diharapkan dapat meningkatkan


pengetahuan kesehatan terutama mengenai penyakit leptospirosis. Dengan mengetahui akan
penyakit tersebut, pencegahan dan penanggulangannya dapat dilakukan sehingga penyakit
leptospirosis tidak menimbulkan patologi atau infeksi yang berat karena telatnya penanganan.
Masyarakat juga harus meningkatkan dan menjaga sanitasi diri sendiri maupun lingkungan
karena bakteri Leptospira menyebar pada lingkungan yang kotor dan dapat terbawa oleh air.
Saran bagi pemerintah adalah pemerintah dapat melakukan promosi kesehatan mengenai
penyakit leptospirosis kepada masyarakat, memperbaiki tatanan kota yang buruk, dan
meningkatkan pelayanan medis dalam mengobati penderita leptospirosis.

Anda mungkin juga menyukai