LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien:
Nama pasien
: Ny S.
Usia
:B. Subjective:
Keluhan Utama: Panas
RPS:
Pasien mengeluh badan sering panas sejak satu bulan yang lalu. Pasien
lemas dan tidak kuat untuk beraktivitas berat. Pasien juga
mengeluhkan lemas sejak satu minggu yang lalu, panas seringkali
semakin memberat. Pasien juga mengeluh mual mual dan muntah
semenjak dua hari yang lalu, muntah + hari ini hingga 3x isi cairan dan
makanan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut bagian bawah
semenjak dua hari yang lalu. Nyeri hilang timbul dan seperti ditusuk
tusuk
RPD: riwayat sakit seperti ini (-). DM dan HT(-)
Riwayat pernikahan & kehamilan: menikah dan memiliki tiga orang
anak
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada keluarga pasien yang
2. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Darah Lengkap (25 Desember 2015)
PEMERIKSAAN
HASIL PEMERIKSAAN
Hemoglobin
12,6
Lekosit
Hitung jenis
13,500
Granulosit
Lymphosit
Monosit
LED
85
11
4
22/37
269.000
39
Trombosit
Hematokrit
Eritrosit
5,3
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PDW
74
25
34
14
7
8
Typhi O
Typhi H
Paratyphi A
Paratyphi B
: 1/320
: 1/160
: 1/160
: 1/160
D. Problem List
Subyektif
1. Panas
2. Kondisi lemas,
3. Perut terasa sakit, mual
4. Nafsu makan menurun
Obyektif
1. KU lemah
2. Nadi 102 x/menit
3. Leukosit 13.500 /cmm
4. LED 22/37
5. Typhi O 1/320
NILAI NORMAL
L: 13,5-18,0
P:11,5-16,0g/dL
4.000 - 11.000/ cmm
54 62
25 33
37
L; 0 15
P: 0 20 mm/jam
150.000 450.000/cmm
L: 40 - 54% P: 37 47%
L: 4,5 6,5
P: 3,0 6,0 jt/cmm
80 99 um3
27 32 pg
31 34 g/dL
13 - 34%
7,1 9,5 um3
10 - 18%
E. Assesment :
Demam Typhoid
F. Planning:
Planning therapy:
o MRS - IVFD RL 20 tmp
o Inj intravena Anthrain 3 x 1 gr k/p
o Inj intravena Ceftriaxone 3 x 1 gr
o Inj intravena Ranitidin 2 x 50 mg
o Drip Neurosanbe 2 amp/hari
o Po. Antasida 3x1
o
Chloramphenicol 2x500 mg
Planning monitoring:
o
o
o
G. Edukasi:
Keluhan subyektif
Keadaan umum dan kesadaran
Tanda vital
mengenai kondisi terkini pasien, tatalaksana apa yang akan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Tifoid
2.1.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai antara lain dengan
demam dan nyeri abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella
serotype Typhi, Salmonella serotype Paratyphi A, Salmonella serotype Paratyphi
B (Schootmuelleri), Salmonella serotype Paratyphi C (Hirschfeldii). Sinonim dari
demam tifoid adalah enteric fever, typhus abdominalis. Penyakit ini pada mulanya
dinamakan demam tifoid karena klinisnya hampir sama dengan typhus. Namun
pada awal tahun 1800, demam tifoid sudah didefinisikan sebagai penyakit yang
memiliki gambaran patologi yang khas, ditandai dengan pembesaran plaque
Peyeri dan nodus limfatikus mesenterika. Pada tahun 1869 diberikan nama sesuai
tempat infeksi anatominya, sehingga enteric fever diusulkan sebagai bentuk
alternatif untuk membedakan demam tifoid dari typhus.
2.1.2 Etiologi
Penyebab demam tifoid termasuk genus Salmonella yang termasuk kedalam
family Enterobacteriaceae dan mempunyai lebih dari 2300 serotipe.
Transmisi dari manusia ke manusia dengan rute fekal-oral dapat terjadi
melalui air atau makanan yang terkontaminasi dengan feses atau urin pasien atau
carier. Sayuran dan buah-buah yang tidak dimasak merupakan vechicle penting.
Transmisi lainnya adalah melalui kontak dekat individu yang terinfeksi akut atau
individu pembawa kronik. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan sakit pada
manusia adalah 105 - 108 CFU Salmonella (mungkin cukup 103 untuk Salmonella
enterica serotype Typhi).
2.1.3 Epidemiologi
Insidensi, transmisi demam tifoid berbeda di negara maju dan berkembang.
Diperkirakan di seluruh dunia sedikitnya terdapat 16 juta kasus baru tiap tahunnya
dengan 600.000 kematian. Salmonella enterica serotype Typhi dan Salmonella
Paratyphi A, B dan C hanya endemik di negara-negara dengan tingkat ekonomi
rendah. Negara-negara tersebut memiliki sanitasi yang buruk dan kekurangan air
layak minum, sehingga mempermudah kasus ini maupun kariernya untuk
pada individu yang sehat. Secara langsung, 109 CFU menginduksi penyakit sekitar
< 95% tapi 103 jarang terjadi. 25% terjadi sakit setelah menelan 105 organisme.
Asam lambung merupakan sistem pertahan melawan infeksi enteric. Pada
usus halus, organism berpenetrasi cepat melalui mukosa intestine. Organisme
bermultiplikasi dalam lumen dalam periode pendek dan pada fase ini kultur feses
positif.
Dari submukosa,organism pindah ke mesenteric lymp node, bermultiplikasi
kemudian masuk ke sirkulsi darah melalui thoracic duct (transient primary
bacterimia) dan ditransforkan ke liver dan spleen. Setelah bermulitiplikasi,
sejumlah besar organism masuk lagi ke sirkulasi darah dan ditandai dengan
manifestasi klinis (secondary bacterimia).
Attach to microvili of ileal brush border & invade intestine epithelial through
peyers patches --- stool + culture (during 1st 4 days incubation)
Organism reach liver, spleen & bone marrow & multiplication here
Severe hemorrhage.
Transmural penetration
Peritonitis
2.1.6 Dasar Molekular Patogenesis
Menjadi pathogen yang efektif, Salmonella harus mampu menginvasi sel
epitel dan untuk organism untuk menyebabkan demam enteric memilki sistem
untuk bertahan hidup di dalam sel reticuloendothelial system
A. Epithlial Invasion
Target invasi Salmonella adalah sel M tapi sebelumnya harus melewati
lapisan epitel untuk mencapinya. Salmonella menginvasi sel epitel intestine
dengan mekanisme kompleks meliputi :
- Triggering active rearrangement
- Formation of pseudopodia
- Pagositosis of bacterium into cell
Membrane yang kerut (the ruffling membrane) kembali normal setelah
bacterium terinvasi. Proses ini dikontrol oleh type III secretion system yang
dikode oleh gene pada bacteri. Gene tersebut terletak pada pathogenecity
island SPI-1 yang dibutuhkan untuk invasi sel epitel intestine dan
merangsang sekresi intestinal dan respon inflamasi.
B. Intracelullar Survival
Salmonella harus dapat hidup dan bereplikasi dalam makrofag sehingga dapat
menimbulkan infeksi sistemik.
Gene Salmonella yang dibutuhkan untuk kelangsungan dalam makrofag yaitu
phoP/phoQ.
2.1.7 Patologi
Ciri khas pemeriksaan histologi pada demam tifoid adalah adanya infiltrasi
jaringan oleh makrofag yang berisi bakteri, eritrosit dan limfosit yang
berdegenerasi. Agregasi makrofag ini dinamakan sebagai nodul tifoid, dan paling
sering ditemukan pada usus, nodus limfatikus mesenterika, limpa, hati dan
sumsum tulang tetapi dapat juga ditemukan pada ginjal, testis dan kelenjar parotis.
Dalam usus, terdapat empat stadium patologi yang klasik yang terjadi saat infeksi:
(1) perubahan hiperplasia,
(2) nekrosis mukosa usus,
(3) mukosa sloughing,
(4) pembentukan ulkus.
Nodul limfoid pada submukosa, khususnya plaque Peyeri di ileum terminal
membesar dan sangat menonjol hingga diameternya dapat mencapai 80mm.
Dalam nodus limfatikus mesenterika, sinusoid membesar dan meregang akibat
adanya kumpulan yang banyak dari makrofag dan sel-sel retikuloendotelial.
Limpa membesar dan lunak dengan obliterasi pulpa putih dan pulpa merah pucat.
Secara mikroskopik terdapat sinus histiosit dan proliferasi sel retikuloendotelial.
Dalam hati terdapat fokal kecil dari nekrosis hepatosit dan digantikan dengan
nodul tifoid.
Rose spot ditemukan pada lower chest dan upper abdomen. Rose spot terjadi
disebabkan karena embolisasi bakteri. Relatif bradikardia, pulse lebih rendah
dibandingkan yang diharapkan pada keadaan demam.
Pada minggu ketiga : pasien terlihat sangat toxic dan kesakitan. Temperatur
yang tinggi terus berlanjut dan keadaannya delirious confusional. Abdominal
distensi makin terlihat dengan sedikit bowel sound. Diare terjadi dengan
karakteristik cair, foul green-yellow stool / pea soup diarrhea. Lemah dengan
pulse lemah dan napas cepat, crackles dapat terjadi sekitar basis paru. Kematian
mungkin terjadi karena toxiemia, myocarditis, intestinal hemorrhage atau
perforasi.
Pada minggu ke-empat : pada pasien yang masih bertahan akan timbul
demam, mental state dan abdominal distensi secara perlahan membaik dalam
beberapa hari tetapi komplikasi intestinal mungkin tetap terjadi. Penyembuhan
biasanya terjadi perlahan.
Variasi abnormal klinis dapat terjadi, seperti mild dan infeksi yang tidak
terjadi, diare dapat terjadi pada minggu pertama dan pada anak-anak mungkin
dengan demam tinggi dan demam kejang.
2.1.9 Diagnosis
Diagnosis definitif :
- Isolasi organism dari darah, isolasi dari urin/feses.
- Widal tes
- Deteksi antibody IgM dan IgG
2.1.10 Pemeriksaan
Awalnya leukositosis ringan, tapi seiring berkembangnya penyakit menjadi
leucopenia dan neutropania. Pada kasus uncomplicated terjadi low grade anemia,
trombositopenia ringan, peningkatan serum transaminase sedang dan proteinuria
ringan.
Relative bradicardia.
Pada kondisi demam umumnya pasien akan mengalami gejala tachycardia. Hal ini
terjadi dikarenakan tubuh harus mengkompensasi peningkatan set point
hypothalamus dengan meningkatkan produksi panas. Peingkatan produksi panas
dapat terjadi apabila terjadi peningkatan metabolism tubuh, hal ini harus disertai
dengan supply darah ke jaringan dengan jumlah yang lebih banyak, oleh karena
Campak
Malaria
Gastroenteritis
Riketsiosis
Bruselosis
Tularemia
leptosirosis
Tb Milier
Hepatitis virus
2.2.8 Pengobatan
Paratyphoid B Merespons baik pada pemberian chloramphenicol atau cotrimoxazole. Paratyphoid C, umumnya efektif dengan therapy Chloramphenicol.
2.2.9 Prognosis
Baik, dengan tes dan diagnosis yang baik . mortality rate < 1%. Antibiotik
seperti Azithromycin efektif untuk membunuh backteri.
2.2.10 Preventif
Edukasi personal higyen.
2.3 Management Demam Typhoid
Pengobatan suportive sangat penting dalam penanganan pasien typhoid
seperti oral atau hidrasi intravene, pemberian antipiretik adan kecukupan nutrisi
dan tranfusi darah bila di butuhkan. Pengobatan yang paling penting adalah
pemberian antibiotik.
Pilihan obat untuk demam typhoid :
- Chloramphenicol
Sejak di perkenalkan tahun 1948, obat ini sudah menjadi pilihan untuk
pengobatan typhoid di dunia. Chloramphenicol dapat menurunkan demam pada
hari 3-4. di rekomendasikan 500 mg setiap 4jam sampai demam turun kemudian
di lanjutkan dengan pemberian tiap 6 jam sekali selama 14 hari. Pada pasein yang
mengalami diare dan muntah maka opbat ini dapat di berikan secara intavena.
- Ampicillin dan amoxycillin
Obat ini juga dapat di gunakan sebagai pengobatan typhoid, tetapi 5 tahun
belakangan ini obat ini tidak lagi di gunakan karna sudah adanya resisten terhadap
golongan obat ini. Obat ini dapat di berikan empat kali sehari selama 14 hari
- Co-trimoxazole
Kombinasi antara trimethoprim dan sulfonamide juga efektif dalam pengobatan
typhoid.
- Azithromycin
Merupakan antibiotic golongan macrolide dimana antibiotic golongan ini
memghasilkan konsentrasi yang tinggi di dalam jaringan. Obat ini masih dalam uji
klinis dan diharapkan sebagai salah satu obat pilihan untuk pengobatan typhoid.
- Third Generation cephalosporins
kortikosteroid)..
Gray baby syndrome.
Anemia
b. Miokarditis
c. Syok
3. Neuropsikiatrik
a. Ensefalopati
b. Delirium
c. Psikosis
d. Meningitis
e. Kelainan ekstrapiramidal
4. Respirasi
a. Bronkitis
b. Pneumonia
5. Hematologi
a. Anemia
b. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
6. Lainnya
a. Abses fokal
b. Faringitis
c. Aborsi
d. Kambuh
e. Pembawa kronik
2.5 Pencegahan Demam typhoid
Dengan memberikan edukasi yang adekuat kepada pasien tentang :
Kebersihan Air
Karena penyebaran Salmonella typhii salah stunya melalui air, maka
jelaskan kepada pasien harus menggunakan dan mengkomsumsi air yang
bersih dan sudah dimasak dengan baik
Pemberian Vaksinasi
Kebersihan Makanan
Harus dijelaskan juga kepada pasien typhoid dapat tertular memalui
makanan yang terkontaminasi sehingga harus di perhatikan ketika
mempersiapkan makanan.
Sanitasi
dengan
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Diagnosis
3.1.1 Anamnesis
Pada pemeriksaan typhoid fever, gejala yang muncul dapat bervariasi yakni
demam berkepanjangan, kelelahan, sakit perut kanan-atas, hilang nafsu makan,
berat badan menurun, demam, mual.
Pada pasien ini, temuan positif yang sesuai dengan temuan Typhoid fever
yakni keluhan badan sering panas sejak satu bulan yang lalu. Pasien lemas dan
tidak kuat untuk beraktivitas berat. Pasien juga mengeluhkan lemas sejak satu
minggu yang lalu, panas seringkali semakin memberat. Pasien juga mengeluh
mual mual dan muntah semenjak dua hari yang lalu, muntah + hari ini hingga 3x
isi cairan dan makanan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut bagian bawah
semenjak dua hari yang lalu. Nyeri hilang timbul dan seperti ditusuk tusuk.
Riwayat keluarga disangkal, riwayat sakit serupa disangkal. Pasien berasal dari
keluarga yang menengah kebawah dengan higienitas yang kurang terjaga
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pasien typhoid fever, temuan fisik yang paling khas adalah demam,
bradikardi relative, adanya lidah kotor, nyeri pada perut, malaise, anorexia dan
hepatosplenomegaly. Pada pasien ini, dari pemeriksaan fisik, didapatkan GCS 456
dengan tekanan darah 100/75 mmHg, Nadi 92 kali/menit, Pernapasan 20
kali/menit, suhu 39,1 C. Ditemukan lidah kotor +, Tidak didapatkan kelainan
pada thorax, ditemukan nyeri pada epigastrium. Hal ini sesuai dengan temuan
fisik pada pasien demam typhoid. Namun pada pasien ini belum ditemui nyeri
perut yang meluas yang artinya typhoid masih belum menjadi fase berat dan
mengakibatkan peritonitis.
3.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Demam Typhoid didiagnosis dengan bantuan berbagai macam pemeriksaan
penunjang seperti Widal, Tubex dan Salmonella IgG dan IgM leukopenia
trombositopenia mungkin ada Pada pasien ini, Dari pemeriksaan penunjang
didapatkan abnormalitas yakni leukositosis (Leukosit 11.400), Widal Typhi O
dan
amoxycillin,
Co-trimoxazole, Azithromycin,
Cefotaxime,
Metabolisme : dihati.
Eskresi : urin.
Efek samping
Bone marrow toxicity (tidak boleh dikombinasikan dengan
kortikosteroid)..
Gray baby syndrome.
Anemia
Hemolitik (pada pasien dengan G6PD ).
Aplastik (tidak tergantung dosis pemberian dan
terjadi setelah terpai dihentikan).
BAB V
RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien
: Ny S.
Usia
:
SUBYEKTIF
Pasien mengeluh badan sering panas sejak satu bulan yang lalu. Pasien
lemas dan tidak kuat untuk beraktivitas berat. Pasien juga mengeluhkan lemas sejak
satu minggu yang lalu, panas seringkali semakin memberat. Pasien juga mengeluh
mual mual dan muntah semenjak dua hari yang lalu, muntah + hari ini hingga 3x isi
cairan dan makanan. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut bagian bawah
semenjak dua hari yang lalu. Nyeri hilang timbul dan seperti ditusuk tusuk. Riwayat
keluarga disangkal, riwayat sakit serupa disangkal. Pasien berasal dari keluarga
yang menengah kebawah dengan higienitas yang kurang terjaga
OBYEKTIF
Vital sign
o
o
o
o
Nadi: 92 x/menit
RR: 20 x/menit
Temp: 39,1 C
Tensi 110/75 mmHg
Kepala leher:
o Conjunctiva anemis -/-, sklera icterik +/+, PBI 3cm/3cm
o Lidah kotor +
o Pembesaran KGB (-)
o JVP R+2cmH2O
Thorax:
o Pulmo:
Inspeksi : simetris
Palpasi : ekspansi dinding dada simetris, fremitus TDE
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi: ves +/+, rh -/-, wh-/o Cor:
Inspeksi: hemithorax bulging
Palpasi: fremisment
Perkusi: ukuran jantung normal
Auskultasi: s1 s2 tunggal m- g Abdomen:
o Inspeksi: Flat
o Auskultasi: Bu + normal
o Palpasi: soefl, liver tidak teraba, liver span 8 cm, nyeri region
umbilikus
o Perkusi: timpani
Ekstrimitas : hangat kering, CRT<2 detik
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
DARAH LENGKAP
39
Leukosit
Hemoglobin
PCV
Trombosit
IMUNOSEROLOGI
Widal Test
Typhi O
Typhi H
Paratyphi A
Paratyphi B
: 1/320
: 1/160
: 1/160
: 1/160
ASSESMENT
1. Demam Typhoid
PLANNING
1. Diagnosis: Diagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan lab leukositosis dan titer
widal yang naik sudah dapat digunakan untuk menilai adanya proses demam
typhoid.Meskipun demikian, ada tes lain yang memiliki spesifisitas dan
sensitifitas yang lebih tinggi seperti tubex test, IgG dan IgM salmonella, kultur,
sayangnya fasilitas tersebut tidak ada di Rs Muhammadiyah Jombang.
2. Pengobatan: Pengobatan diberikan secara suportif dan kuratif. Medikasi yang
mungkin dapat diberikan meliputi antipiretik, antiemetik, dan antibiotik. Pada
pasien ini terapi yang diberikan yakni antipiretik metamizole (anthrain),
antiulcer ranitidine, anti biotik Ceftriaxone injeksi dan chloramphenicol, terapi
suportif antasida.
IVFD RL 20 tpm
Inj Anthrain 3 x 1 gr k/p
Inj Ranitidin 2 x 50 mg
Inj Ceftriaxone 3x1 gr
Po. Chloramphenicol 2x 500 mg
Antasida 3x 1 tab a.c
3. Pendidikan : Segera menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang dialami
pasien adalah penyakit infeksi yang seharusnya bisa membaik dengan perawatan
suportif dan kuratif. Meskipun demikian, ada beberapa resiko yang bisa terjadi,
harus diterima dengan baik oleh keluarganya. Keluarga pasien juga didorong
untuk bersedia dirujuk ke RS lain yang lebih lengkap peralatannya jika kondisi
pasien memburuk atau terjadi peritonitis.
4. Konsultasi
: dijelaskan secara rasional perlunya penangan intensif pada
pasien. Keluarga pasien harus mendapat informasi yang sesunggunya demi
keamanan tindakan pelayanan medis yang didapatkan pasien.
Pembahasan Farmakologis
No Kegiatan
1 Informed concent
Periode
Awal di UGD
2 Inj. Ranitidine
Ulkus gasritis
3 Inj. Anthrain
Temperatur tinggi
4 Inj Ceftriaxone
5 Po Chloramphenicol
6 Po Antasida
MRS-Antibiotik
MRS-Antibiotik
Ulkus gasritis
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Jawetz, Melnick. Mikrobiologi Kedokteran. Ed 20. Jakarta : ECG; 1996
2. Gordon C. Cook AZ. Manson's Tropical Disease. 21, editor. London: Saunders; 2003.
3. Fauci B, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Losclzo. Harrison's Princiles of Internal
Medicine. 17, editor. USA: McGraw-Hill; 2008.
4. Kliegman B, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of Pediatrics. 18, editor. USA: Elsevier
Inc; 2007.
5. WHO. The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. 2003
6. Juwono, R. Demam Tifoid. Dalam H.M.S. Noer, S. Waspadji, A.M. Rachman, L.A.
Lesmana, D. Widodo, H. Isbagio, et al, editor. Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 3. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI; 1996.
1. 7. Chambers, Henry F. Bacterial & Chlamydial Infection. Dalam Stephen J. Mcphee,
Maxine A Papadakis, editor. Current Medical Diagnosis And Treatment. 48th Ed.
USA : the McGraw-Hill Companies, Inc; 2009.
39