Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan penyakit demam akut dengan manisfestasi klinis
bervariasi, disebabkan oleh leptosspira. Leptospirosis masih merupakan masalah
kesehatan global terutama di negara tropis, termasuk indonesia. Leptospirosis termasuk
emerging infectious disease, dan akhir-akhir ini sering terjadi outbreaks di Nicaraguan,
Brazil, India, negara-negara Asia Tenggara, juga Amerika. Dinegara maju seperti amerika
pun masih juga dilaporkan adanya penyakit ini,yaitu 100-200 kasus setiap tahunnya dan
50% kasus berasal dari Hawai. Masalah yang berkembang sehubungan dengan penyakit
ini adalah diagnosisnya sering terlambat serta progresivitas penyakit yang sebelumnya
diketahui.
Leptospirosis adalah zoonosis penting dengan penyebaran luas yang mempengaruhi
sedikitnya 160 spesies mamalia. Tikus, adalah reservoir yang paling penting, walaupun
mamalia liar yang lain yang sama dengan hewan peliharaan dan domestic dapat juga
membawa mikroorganisme ini. Leptospira meningkatkan hubungan simbiosis dengan
hostnya dan dapat menetap pada tubulus renal selama beberapa tahun. Transmisi
leptospira dapat terjadi melalui kontak langsung dengan urin, darah, atau jaringan dari
hewan yang terinfeksi atau paparan pada lingkungan; transmisi antar manusia jarang
terjadi. Karena leptospira diekresikan melalui urin dan dapat bertahan dalam air selama
beberapa bulan, air adalah sarana penting dalam transmisinya. Epidemik leptospirosis
dapat terjadi melalui paparan air tergenang yang terkontaminasi oleh urin hewan yang
terinfeksi.
Leptospirosis paling sering terjadi di daerah tropis karena iklimnya sesuai dengan
kondisi yang dibutuhkan pathogen untuk bertahan hidup. Pada beberapa negara
berkembang, leptospirosis tidak dianggap sebagai masalah. Pada tahun 1999, lebih dari
500.000 kasus dilaporkan dari Cina, dengan nilai case fatality rates dari 0,9 sampai 7,9%.
Di Brazil, lebih dari 28.000 kasus dilaporkan pada tahun yang sama. Manusia tidak sering
terinfeksi leptospirosis. Ada beberapa kelompok pekerjaan tertentu yang memiliki resiko
tinggi yaitu pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja
tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-orang yang mengadakan
perkemahan di hutan, dokter hewan. Setiap individu dapat terkena leptospirosis melalui

1
paparan langsung atau kontak dengan air dan tanah yang terinfeksi. Leptospirosis juga
dapat dikenali dimana populasi tikus meningkat. Aktivitas air seperti berselancar,
berenang, dan ski air, membuat seseorang menjadi beresiko leptospirosis. Pada tahun
1998, kejadian luar biasa terjadi diantara komunitas atlet. Dikarenakan para atlet tersebut
menghisap dan menelan air yang terinfeksi leptospirosis
Beberapa faktor yang ikut menentukan progresivitas leptospirosis. Faktor eksternal
antara lain virulensi leptospira,dan faktor internal adalah sistem imun individu serta
lipopolisakarida, glikoprotein, lipoprotein, peptidoglikan, heart shock proteins, dan
flagellin. Gen hemosilin SphH dari L. Interorgans strain HY-1, juga ikut berperan dalam
pengendalian progresivitas leptospirosis. Leptospira yang mengalami lisis akibat
aktivitas imunoglobin maupun komplemen dapat menginduksi sekresi enzim,toksin dan
sitokin (IL-1,II-6,IL-8,TNFα) yang kemudian ikut menentukan derajat beratnya
manisfestasi klinis (sachro,2002).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari leptospirosis?
2. Sebutkan etiologi dari leptospirosis?
3. Sebutkan pathogenesis dan patologi leptospirosis?
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang leptospirosis?
5. Bagaimana prognosis, pencegahan serta pengobatan dari leptospirosis?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan leptospirosis?

C. Tujuan Penulisan
1. TujuanUmum
Dengan dibuatnya makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami penyakit
pada pasien dengan Leptospirosis.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penyakit leptospirosis
b. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi leptospirosis.
c. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan lesptospirosis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang di sebabkan oleh
mikroorganisme, yaitu lestospira tanpa memandang bentuk spesifik serotipnya, penyakit
ini dapat terjangkit pada laki-laki atau perempuan semua umur. Banyak ditemukan di
daerah tropis, dan biasanya penyakit ini juga dikenal dengan berbagai nama seperti
mudfever, slimefever, Swampfever, autumnal fever, filedfever, Infectiousjaundle, cane
cutre fever dan lain-lain (Mansjoer dkk,2007).
Leptospirosis adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk
penyakit zoonosis yang paling sering di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan
nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul karena banjir. Di beberapa
negara leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur,
penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam canicola, penyakit swineherd, demam rawa atau
demam lumpur (Judarwanto, 2009)
Menurut NSW Multicultural Health Communication Service (2003), Leptospirosis
adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan kuman Leptospira yang
ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena.

B. Etiologi
Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen berbentuk
spiralgenus Leptospirafamily leptospiraceae dan ordo spirochaetales.Spiroseta berbentuk
bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan anaerob.
Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang pathogen dan L
biflexa bersifat saprofitik (Judarwanto, 2009).
1. Patogen L Interrogans

2
Terdapat pada hewan dan manusia. Mempunyai sub group yang masing-masing
terbagi lagi atas berbagai serotip yang banyak, diantaranya; L. javanica, L. cellodonie,
L. australlis, L. Panama dan lain-lain.

2. Non Patogen L. Biflexa


Menurut beberapa penelitian, yang paling tersering menginfeksi manusia
adalah: L. icterohaemorrhagiae dengan resorvoir tikus, L. canicola dengan resorvoir
anjing, L.pomona dengan reservoir sapi dan babi.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia di antaranya
tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan
yang paling berisiko adalah kambing dan sapi. Resevoar utamanya di seluruh dunia
adalah binatang pengerat dan tikus.

C. Distribusi Penyakit
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik didaerah maupun perkotaan,
didaerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang
bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter
hewan, dan personel militer. Selainitu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu
yang terpapar air yang terkontaminasi .Di daerah endemis,puncak kejadian Leptospirosis
terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir.
Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang
hangat, tanah yang basah dan pH alkalis,kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim
tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara
beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih
berat.Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per
tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus
Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000
orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi
lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100
orang dari kelompokberisikotinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.
Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia
termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen . Pada usia lebih dari 50 tahun kematian

3
mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen -
54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.

D. Cara Penularan

Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne
disease). Urin dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama
penularan, baik pada manusia maupun pada hewan . Kemampuan Leptospira untuk
bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran
penyakit ini, terutama di daerah banjir . Gerakan bakteri memang tidak mempengaruhi
kemampuannya untuk memasuki jaringan tubu namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang.

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir dapat menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genengan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur serta banyak timbunan sampah yang
menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembangbiak.

Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui
permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan
reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang
alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain
seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi
potensi menularkan kemanusia tidak sebesar tikus .

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke


penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui
kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva),kontak luka di kulit,mulut,

4
cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari manusia
ke manusia jarang terjadi.

E. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari . Infeksi Leptospirosis


mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering
terjadi kesalahan diagnosa . Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang
ditandai dengan flu ringan sampai berat.

Penyakit leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemia dan fase imun. Pada
periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik (Judarwanto, 2009).

1. Fase awal dikenal sebagai fase septisemik atau fase leptospiremik karena bakteri
dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringantubuh. Fase
awal sekitar 4-7 hari, ditandai gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa
variasinya. Manifestasi klinisnya demam, menggigil, lemah dan nyeri terutama tulang
rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada,
muntah darah, ruam, nyeri kepala frontal, fotofobia, gangguan mental, dan meningitis.
Pemeriksaan fisik sering mendapatkan demam sekitar 400C disertai takikardi.
Subconjunctival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus
ringan,mild jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk
makular, makulopapular, eritematus, urticari, atau rash juga didapatkan pada fase awal
penyakit.

2. Fase kedua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibody dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urine, mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari
darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu
seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal. Gejala nonspesifik seperti demam dan
nyeri otot mungkin lebih ringan dibandingkan fase awal selama 3 hari sampai
beberapa minggu. Sekitar 77% penderita mengalami nyeri kepala terus menerus yang
tidak responsif dengan analgesik. Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal
meningitis selain delirium. Pada fase yang lebih berat didapatkan gangguan mental
berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan demensia.

5
F. Patofisiologi

Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman
leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput
lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman
leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan
oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen
mengalami mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat
diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan
penyakit.

Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan


vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang
paling penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler.
Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang
berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit
disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.

Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin.


In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan
sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan
hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan
lumen tubulus.

Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan


meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.

Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh


darah, kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi
lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan

6
lentikular. Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis
kronik berulang.

Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme


pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar
antibodi spesifik dalam darah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ
kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat
menetap selama beberapa minggu atau bulan.

G. Komplikasi
Pada leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal,
miokarditis, meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila
terjadi selalu menyebabkan kematian.

Perdarahan subkonjuntiva adalah komplikasi pada mata yang sering terjadi pada
92% penderita leptospirosis. Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria, proteinuria
dan oliguria sering tampak pada 50% penderita. Kuman leptospira juga dapat timbul di
ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70% penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot
juga dapat timbul.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui
gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.

1. Urine yang paling baik diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urine sejak
awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke tiga. Cairan tubuh lainnya yang
mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang
untuk isolasi kuman sangat pendek Isolasi kuman leptospira dari jaringan lunak atau
cairan tubuh penderita adalah standar kriteria baku. Jaringan hati, otot, kulit dan mata
adalah sumber identifikasi kuman tetapi isolasi leptospira lebih sulit dan
membutuhkan beberapa bulan.
2. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi
diagnosis tetapi lambat karena serum akut diambil 1-2 minggu setelah timbul gejala
awal dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi antileptospira
diperiksa menggunakan microscopic agglutination test (MAT).
3. Titer MAT tunggal 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang
gelap dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.

7
4. Pemeriksaan complete blood count (CBC) sangat penting. Penurunan hemoglobin
dapat terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk
mengetahui komponen DIC. Blood urea nitrogen dan kreatinin serum dapat
meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis pada penyakit Weil.
5. Peningkatan bilirubin serum dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Peningkatan
transaminase jarang dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L. Waktu koagulasi akan
meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum creatine kinase (MM fraction) sering
meningkat pada gangguan muskular.
6. Analisis CSF bermanfaat hanya untuk eksklusi meningitis bakteri. Leptospires dapat
diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak mengubah tatalaksana
penyakit.
7. Pemeriksaan pencitraan foto polos paru dapat menunjukkan air space bilateral. Juga
dapat menunjukkan kardiomegali dan edema paru pada miokarditis. Perdarahan
alveolar dan patchy multiple infiltrate dapat ditemukan. Ultrasonografi traktus bilier
dapat menunjukkan kolesistitis akalkulus.
8. Perwarnaan silver staining dan immuno fluorescene dapat mengidentifikasi leptospira
di hati, limpa, ginjal, CNS dan otot. Selama fase akut pemeriksaan histology
menunjukkan organisma tanpa banyak infiltrate inflamasi.

I. Diagnosis Banding
1. Dengue Fever
2. Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
3. Hepatitis
4. Malaria
5. Meningitis
6. Mononucleosis, influenza
7. Enteric fever
8. Rickettsial disease
9. Encephalitis
10. Primary HIV infection

J. Penatalaksanaan
Obat antibiotika yang biasa diberikan adalah penisillin, strptomisin, tetrasiklin,
kloramfenikol, eritromisin dan siproflokasasin. Obat pilihan utama adalah penicillin G 1,5
juta unit setiap 6 jam selama 5-7 hari. Dalam 4-6 jam setelah pemeberian penicilin G
terlihat reaksi Jarisch Hecheimmer yang menunjukkan adanya aktivitas antileptospira>
obat ini efektif pada pemberian 1-3 hari namun kurang bermanfaat bila diberikan setelah
fase imun dan tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal dan meningitis. Tindakan
suporatif diberikan sesuai denan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.

8
K. Prognosis
Tergantung keadaan umum klien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya
kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor
pemberat seperti gagal ginjal atau perdarahan dan terlambatnya klien mendapat
pengobatan.

9
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Keadaan umum klien seperti umur dan imunisasi., laki dan perempuan tingkat
kejadiannya sama.
2. Keluhan utama
Demam yang mendadak
Timbul gejala demam yang disertai sakit kepala, mialgia dan nyeri tekan (frontal)
mata merah, fotofobia, keluahan gastrointestinal. Demam disertai mual, muntah,
diare, batuk, sakit dada, hemoptosis, penurunan kesadaran dan injeksi konjunctiva.
Demam ini berlangsung 1-3 hari.
3. Riwayat keperawatan
a. Imunisasi, riwayat imunisasi perlu untuk peningkatan daya tahan tubuh
b. Riwayat penyakit, influenza, hapatitis, bruselosis, pneuma atipik, DBD, penyakit
susunan saraf akut, fever of unknown origin.
c. Riwayat pekerjaan klien apakah termasuk kelompok orang resiko tinggi seperti
bepergian di hutan belantara, rawa, sungai atau petani.
4. Pemeriksaan dan observasi
a. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, penurunan kesadaran, lemah, aktvivitas menurun
Review of sistem :
1) Sistem pernafasan
Epitaksis, penumonitis hemoragik di paru, batuk, sakit dada
2) Sistem cardiovaskuler
Perdarahan, anemia, demam, bradikardia.
3) Sistem persyarafan
Penuruanan kesadaran, sakit kepala terutama dibagian frontal, mata
merah.fotofobia, injeksi konjunctiva,iridosiklitis
4) Sistem perkemihan
Oligoria, azometmia,perdarahan adernal
5) Sistem pencernaan
Hepatomegali, splenomegali, hemoptosis, melenana
6) Sistem muskoloskletal

10
Kulit dengan ruam berbentuk makular/makulopapular/urtikaria yang tersebar
pada badan. Pretibial.

b. Laboratorium
1) Leukositosis normal, sedikit menurun,
2) Neurtrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggiu
3) Proteinuria, leukositoria
4) Sedimen sel torak
5) BUN, ureum dan kreatinin meningkat
6) SGOT meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal
7) Bilirubin meninggi samapai 40 %
8) Trombositopenia
9) Hiporptrombinemia
10)Leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3
11) Glukosa dalam CSS Normal atau menurun

B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, proses penyakit
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (proses penyakit)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
mengabsorbsi zat-zat bergizi karena faktor bilogis, proses penyakit.

C. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Criteria Hasil
Intervensi (NIC)
Keperawatan (NOC)

1 Hipertermia NOC : NIC :


berhubungan Thermoregulation Fever treatment
denganpeningkatan - Monitor suhu sesering mungkin
metabolisme tubuh,Kriteria Hasil : - Monitor IWL
proses penyakit - Suhu tubuh dalam rentang - Monitor warna dan suhu kulit
normal - Monitor tekanan darah, nadi dan RR
- Nadi dan RR dalam rentang - Monitor penurunan tingkat kesadaran
normal - Monitor WBC, Hb, dan Hct
- Tidak ada perubahan warna - Monitor intake dan output
kulit dan tidak ada pusing, - Berikan anti piretik
merasa nyaman - Berikan pengobatan untuk mengatasi
penyebab demam
- Selimuti pasien
- Lakukan tapid sponge
- Berikan cairan intravena
- Kompres pasien pada lipat paha dan
aksila
- Tingkatkan sirkulasi udara
- Berikan pengobatan untuk mencegah

11
terjadinya menggigil

Temperature regulation
- Monitor suhu minimal tiap 2 jam
- Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu
- Monitor TD, nadi, dan RR
- Monitor warna dan suhu kulit
- Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
- Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
- Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
- Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
- Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan
efek negatif dari kedinginan
- Beritahukan tentang indikasi
terjadinya keletihan dan penanganan
emergency yang diperlukan
- Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan
- Berikan anti piretik jika perlu

2 Nyeri akut berhubunganNOC : NIC :


dengan agen biologis Pain Level Pain Management
(proses penyakit) Pain control - Lakukan pengkajian nyeri secara
Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil : kualitas dan faktor presipitasi
- Mampu mengontrol nyeri (tahu - Observasi reaksi nonverbal dari
penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik Gunakan teknik komunikasi
nonfarmakologi untuk terapeutik untuk mengetahui
mengurangi nyeri, mencari pengalaman nyeri pasi
bantuan) - Kaji kultur yang mempengaruhi
- Melaporkan bahwa nyeri respon nyeri
berkurang dengan menggunakan - Evaluasi pengalaman nyeri masa
manajemen nyeri lampau
- Mampu mengenali nyeri (skala, - Evaluasi bersama pasien dan tim
intensitas, frekuensi dan tanda kesehatan lain tentang
nyeri) ketidakefektifan kontrol nyeri masa
- Menyatakan rasa nyaman lampau
setelah nyeri berkurang - Bantu pasien dan keluarga untuk

12
- Tanda vital dalam rentang mencari dan menemukan dukungan
normal - Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
- Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
- Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Tingkatkan istirahat
- Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
- Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic Administration
- Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
- Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
- Cek riwayat alergi
- Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
- Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya nyeri
- Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
- Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
- Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
- Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
- Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)

13
14
3 Ketidakseimbangan NOC : - NIC :
nutrisi kurang dari - Nutritional Status : food and - Nutrition Management
kebutuhan tubuh b.d Fluid Intake - Kaji adanya alergi makanan
ketidakmampuan untuk - Nutritional Status : nutrient - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
mengabsorbsi zat-zat Intake menentukan jumlah kalori dan nutrisi
bergizi karena faktor - Weight control yang dibutuhkan pasien.
bilogis, proses penyakit. - Anjurkan pasien untuk meningkatkan
Kriteria Hasil : intake Fe
- Adanya peningkatan berat - Anjurkan pasien untuk meningkatkan
badan sesuai dengan tujuan protein dan vitamin C
- Berat badan ideal sesuai dengan - Berikan substansi gula
tinggi badan - Yakinkan diet yang dimakan
- Mampu mengidentifikasi mengandung tinggi serat untuk
kebutuhan nutrisi mencegah konstipasi
- Tidak ada tanda tanda malnutrisi - Berikan makanan yang terpilih
- Menunjukkan peningkatan ( sudah dikonsultasikan dengan ahli
fungsi pengecapan dari menelan gizi)
- Tidak terjadi penurunan berat - Ajarkan pasien bagaimana membuat
badan yang berarti catatan makanan harian.
- Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
- Berikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi
- Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
- Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal
- Monitor adanya penurunan berat
badan
- Monitor tipe dan jumlah aktivitas
yang biasa dilakukan
- Monitor interaksi anak atau orangtua
selama makan
- Monitor lingkungan selama makan
- Jadwalkan pengobatan dan tindakan
tidak selama jam makan
- Monitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi
- Monitor turgor kulit
- Monitor kekeringan, rambut kusam,
dan mudah patah
- Monitor mual dan muntah
- Monitor kadar albumin, total protein,
Hb, dan kadar Ht
- Monitor makanan kesukaan
- Monitor pertumbuhan dan
15
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan yang disebabkan kuman leptospira pathogen dan digolongkan sebagi zoonosis
yaitu penyakit hewan yang bisa menjangkiti manusia.
2. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri leptospira ini (resevoir) adalah
hewan pengerat dan tikus
3. Penyakit leptospirosis mungkin banyak terdapat di Indonesia terutama di musim
penghujan.
4. Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi secara langsung ataupun tidak
langsung, sedangkan penularan dari manusia ke manusia sangat jarang.
5. Pengobatan dengan antibiotik merupakan pilihan terbaik pada fase awal ataupun fase
lanjut (fase imunitas).
6. Selain pengobatan antibiotik, perawatan pasien tidak kalah pentingnya untuk
menurunkan angka kematian.
7. Angka kematian pada pasien leptospirosis menjadi tinggi terutama pada usia lanjut,
pasien dengan ikterus yang parah, gagal ginjal akut, gagal pernafasan akut.

B. Saran
1. Pada orang berisiko tinggi terutama yang bepergian ke daerah berawa-rawa
dianjurkan untuk menggunakan profilaksis dengan doxycycline.
2. Masyarakat terutama di daerah persawahan, atau pada saat banjir mungkin ada
baiknya diberi doxycycline untuk pencegahan.
3. Para klinisi diharapkan memberikan perhatian pada leptospirosis ini terutama di
daerah-daerah yang sering mengalami banjir.

16
4. Penerangan tentang penyakit leptospirosis sehingga masyarakat dapat segera
menghubungi sarana kesehatan

17
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2003. Rencana Asuhan & Dokumentas


Keperawatan. Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Judarwanto, W. 2009. Cermin Dunia Kedokteran; Leptospirosis pada Manusia.


Jakarta: Allergy Behaviour Clinic, Picky Eaters Clinic Rumah Sakit Bunda

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC)


Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River

NSW Multicultural Health Communication Service. 2003. Leptospirosis.


Dimuat dalam http://mhcs.health.nsw.gov.au (Diakses 20 Februari 2012)

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

https://id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis

Anda mungkin juga menyukai