LEPTOSPIROSIS
DEPARTEMEN EMERGENCY
Oleh:
RIYAN AJI ANGGANA
NIM: 160070301111029
KELOMPOK 19
LEPTOSPIROSIS
A. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh salah satu dari
spirochete patogenik dari family Leptospiraceae. Penyakit ini disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interrogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya.
Manusia terinfeksi oleh hewan carrier seperti tikus dan hewan ternak .Penyakit ini
pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 . Bentuk beratnya dikenal sebagai
Weils disease. (Gantz et.al, 2006)
Penyakit ini umumnya ringan namun juga bisa menjadi berat akibat dari bakteremia
yang mempengaruhi pembuluh darah kecil. Perubahan transien pada fungsi ginjal sering
dijumpai, umumnya membaik dalam 3 sampai 6 minggu. Pemeriksaan laboratorium
adalah penting karena gambaran klinis tidak patognomonik.
B. Epidemiologi
Pada daerah endemik leptospira akut bisa terjadi pada 5-20% populasi yang
terpapar setiap tahunnya, penapisan serologis pada pasien meningitis aseptik dan
uveitis bisa menunjukkan leptospira dan antibodi (bisa ditunjukkan selama 2 sampai 10
tahun dari masa infeksi) bisa didapatkan 20 sampai 80%. Leptospira bisa terdapat pada
binatang peliharaan seperti anjing, lembu, babi kerbau maupun binatang liar seperti
tikus, musang, tupai , dll. Penyakit ini dapat berjangkit pada laki-laki dan wanita semua
umur, namun lebih banyak mengenai laki-laki dewasa muda. Leptospirosis tersebar di
seluruh dunia, namun terbanyak di dapati di daerah tropis. Di Indonesia leptospirosis
ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.1-6
Penularan langsung terjadi melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang
mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu, dari hewan ke manusia
merupakan penyakit akibat pekerjaan, dari manusia ke manusia meskipun jarang dapat
terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen, atau dari ibu penderita
leptospira ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. Penularan tidak langsung
terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang
tercemar urin hewan.11
Faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung/terpajan air dan rawa
yang terkontaminasi yaitu : kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira/urin
tikus saat banjir, pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung, mencuci atau mandi
di danau, peternak yang terpajan, tukang kebun, petani tanpa alas kaki di sawah,
pekerja potong hewan, tukang daging, pembersih selokan, pekerja tambang, pemancing
ikan dan pekerja tambak, anak yang bermain di genangan air atau rawa, tempat rekreasi
air tawar, petugas laboratorium yang memeriksa spesimen leptospira serta petugas
kebersihan di rumah sakit.11
C. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira. Genus leptospira terdiri dari 2
kelompok atau kompleks, yaitu patogen linterrogans, dan yang non patogen atau saprofit
L.biflexa. Kelompok patogen terdapat pada hewan dan manusia. Ciri khas dari
organisme ini yakni terbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 cm dengan spiral yang
sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung organisme sering membengkat,
membentuk suatu kait terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan flagella. SP
irochaeta ini halus, sehingga dalam mikroskopis lapangan gelap hanya dapat terlihat
sebagai rantai kokus kecil-kecil dengan pemeriksaan lapangan redup mikroskopis biasa
morfologi lekospira secara vibum dapat dilihat. Lepto spina membutuhkan media dan
kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk
membuat kultur yang positif dengan mediaum Fletchers dapat tumbuh dengan baik.
Kelompok yang patogen terdiri atas sub group yang masing-masing terbagi atas
berbagai serotipe yang jumlanya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan lebih dari 240
serotipe yang tergabung dalam 23 sergrup, diantaranya yang dapat menginfeksi
manusia adalah licterohaemorhagiae, L.Javanika, L. celledoni, L. canicola, L. ballum, L.
pyrogeres, Lcynopterl, L. automnalis, L australis, L pomona, L. gripothyphosa, L
hepdomadis, L batakae, L tardssovi, L. panaka, L. anadamena (shermani), L rananum,L
bufonis, L. copenhageni. Menurut para peneliti yang sering menginfeksi manusia adalah
Lictero haemorrhagieae dengan reservoir tikus, L canicola dengan reservoir anjing, dan
L. pmona dengan reservoirnya sapi dan babi.
D. Cara Penularan
Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne
disease). Urin dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama
penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk
bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu factor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran
penyakit ini, terutama di daerah banjir . Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi
kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir dapat menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya
genengan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur serta banyak timbunan sampah
yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus
terbawa banjir kemudian masuk ketubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka,
selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus
penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya
reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain
seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi
potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus .
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke
penderita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui
kontak dengan selaput lender (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut,
cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan) Penularan dari
manusia ke manusia jarang terjadi.
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal
ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan
kerusakan ginjal.
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS)
dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya
respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai
oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan
sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya
paling sering disebabkan oleh L. canicola.
Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan
oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan
renal, hepatic atau disfungsi vascular.
F. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-rata 10
hari.
Gambaran klinik pada leptospirosis :
Yang sering: demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,
conjungtivitis, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia.
Yang jarang: pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,
artralgia, gagal ginjal, periferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis,
asites, miokarditis.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase
leptospiremia/septikemia dan fase imun.
Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa
sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan
pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang
disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret,
bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di
jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika
cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan
organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset.
Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas
demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase
kedua atau fase imun.
Fase Imun (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi
dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat
ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari
atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase pertama.
Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari, namun
ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai beberapa
minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti pada
fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris
tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan
tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama yang
menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar 50
% pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian
besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat
pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh
kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah
selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah
nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 %
kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis,
iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama beberapa
tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan
setelah awal penyakit.
G. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mendukung penegakan
diagnosis dan tingkat keterlibatan organ pada infeksi leptospirosis, diantaranya
adalah:3,7
1. Pemeriksaan darah lengkap
Pada pemeriksaan DL dapat ditemukan leukositosis dengan shift to the left serta
peningkatan laju endap darah (LED). Adanya perdarahan pada paru atau organ lain
dapat memberikan gambaran anemia. Trombositopenia adalah satu pemeriksaan
yang umum ditemukan pada infeksi trombosit, walaupun adanya trombositopenia
tidak berarti terjadi koagulasi intravaskular diseminata. Pada pasien dengan penyakit
Weils dengan keterlibatan ginjal dapat ditemukan peningkatan kadar ureum serta
kreatinin darah. Kadar bilirubin juga dapat meningkat sebagai akibat obstruksi pada
level intrahepatik. Kadar alkalin fosfatase juga dapat meningkat hingga 10 kali lipat.
2. Urinalisis
Pada urinalisa dapat ditemukan proteinuria. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat
ditemukan leukosit, eritrosit, serta sedimen hyaline maupun sedimen granular.
3. Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks dilakukan untuk melihat keterlibatan paru pada penyakit Weils.
Ultrasonografi (USG) abdomen juga dapat dilakukan untuk melihat adanya
kolesistitis.
4. Pemeriksaan serologis
Antibodi antileptospira dapat dideteksi dengan menggunakan tes aglutinasi
mikroskopik (MAT) meskipun ketersediaannya saat ini masih terbatas. Selain MAT,
pemeriksaan serologis lain seperti ELISA IgM atau SAT juga dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis.
5. Mikroskop lapang gelap
Ditemukannya spiroketa dengan mikroskop lapang gelap dapat membantu
penegakan diagnosa leptospirosis. Meskipun pemeriksaan penunjang dapat
membantu penegakan diagnosis leptospirosis, diagnosis definitif leptospirosis
dilakukan dengan penemuan organisme dalam isolasi kultur dalam medium
semisolid (misal; medium EMJH Fletcher) ataupun dengan pemeriksaan lapang
gelap, tes serologis, dan deteksi DNA spesifik dengan PCR.3,7
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding leptospirosis akut tergantung pada fase dalam perjalanan
penyakitnya. Pada fase akut ketika gejala yang dominan adalah demam dan mialgia,
diagnosis banding leptospirosis antara lain seperti influenza, malaria, infeksi virus seperti
dengue atau chikungunya. Pada fase berat, penyakit Weils diagnosis banding dapat
berkembang menjadi malaria, demam tifoid atau hepatitis viral dengan berbagai macam
keterlibatan organ.7
H. Penatalaksanaan
Beberapa antibiotik memiliki aktivitas anti Leptospira seperti ditunjukan pada tabel 1.
Durasi pengobatan 10-14 hari. Apabila pasien mengalami Leptospirosis sedang/berat
dengan keterlibatan organ, misalnya ginjal, maka penatalaksanaan komplikasi harus
dilakukan sesuai dengan organ yang terlibat, misalnya hemodialisa, transfusi darah,
bahkan jika diperlukan perawatan di ruang rawat intensif (ICU).7
I. Pencegahan
Tidak terdapat vaksin yang tersedia untuk mencegah infeksi leptospirosis. Salah satu
langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan antibiotik
profilaksis dengan doksisiklin 200 mg per oral seminggu sekali.3 Doksisiklin 200 mg
setiap minggu dapat digunakan untuk pencegahan leptospirosis dengan efektivitas
hingga 95% dan direkomendasikan pada orang yang diperkirakan terpajan dalam jangka
waktu tertentu. Hindari paparan dari air seni dan jaringan hewan terinfeksi, vaksinasi
hewan peliharaan dan hewan ternak, eradikasi hewan liar reservoar. 4
Yang pekerjaannya menyangkut binatang:
Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air.
Pakailah pakaian pelindung misalnya sarung tangan, pelindung atau perisai mata,
jubah kain dan sepatu bila menangani binatang yang mungkin terkena, terutama jika
ada kemungkinan menyentuh air seninya.
Pakailah sarung tangan jika menangani ari-ari hewan, janinnya yang mati di dalam
maupun digugurkan atau dagingnya.
Mandilah sesudah bekerja dan cucilah serta keringkan tangan sesudah menangani
apa pun yang mungkin terkena.
Jangan makan atau merokok sambil menangani binatang yang mungkin terkena.
Cuci dan keringkan tangan sebelum makan atau merokok.
Ikutilah anjuran dokter hewan kalau memberi vaksin kepada hewan.
Laboratorium
1) Leukositosis normal, sedikit menurun,
2) Neurtrofilia dan laju endap darah (LED) yang meninggiu
3) Proteinuria, leukositoria
4) Sedimen sel torak
5) BUN, ureum dan kreatinin meningkat
6) SGOT meninggi tetapi tidak melebihi 5 x normal
7) Bilirubin meninggi samapai 40 %
8) Trombositopenia
9) Hiporptrombinemia
10) Leukosit dalam cairan serebrospinal 10-100/mm3
11) Glukosa dalam CSS Normal atau menurun
A. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, proses penyakit
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (proses penyakit)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
mengabsorbsi zat-zat bergizi karena faktor bilogis, proses penyakit.
B. Rencana Keperawatan
No Tujuan dan Criteria Hasil
Diagnosa Keperawatan Intervensi (NIC)
(NOC)
1 Hipertermia berhubungan NOC : Thermoregulation NIC :
denganpeningkatan Kriteria Hasil : Fever treatment
metabolisme tubuh, prosesSuhu tubuh dalam rentang Monitor suhu sesering mungkin
penyakit normal Monitor IWL
Nadi dan RR dalam rentang Monitor warna dan suhu kulit
normal Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Tidak ada perubahan warna Monitor penurunan tingkat kesadaran
kulit dan tidak ada pusing, Monitor WBC, Hb, dan Hct
merasa nyaman Monitor intake dan output
Berikan anti piretik
Berikan pengobatan untuk mengatasi
penyebab demam
Selimuti pasien
Lakukan tapid sponge
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan
aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Berikan pengobatan untuk mencegah
terjadinya menggigil
Temperature regulation
Monitor suhu minimal tiap 2 jam
Rencanakan monitoring suhu secara
kontinyu
Monitor TD, nadi, dan RR
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan
efek negatif dari kedinginan
Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency
yang diperlukan
Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan
Berikan anti piretik jika perlu
Gantz NM, Brown RB, Berk SL, Myers JW. Leptospirosis. In : Manual of Clinical Problems in
Infectious Disease. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins, 2006 : 311-3
Hickey W.P, Demers D, Leptospirosis 2006. available at : http//www.emedicine.com.
Downloaded on 4 July 2007.
Levett Paul N. Leptospirosis. Clin. Microbial. Reviews 2001; University of the West Indies,
School of Clinical Medicine & Research, and Leptospira Laboratory, Ministry of
Health, Barbados. Vol. 14(2):296-326
Mc Kenzie DJ. Leptospirosis in Human. available at : http//www.emedicine.com.
Downloaded on 4 July 2007.
Meites E, Jay MT, Deresinski S, Shieh WJ, Zaki SR, Reemerging leptospirosis, California.
In : Emerging Infectious Disease 2004 ; 10 (3) : 406-11. Available at
http://www.cdc.gov/eid
Pohan H. Gambaran klinis dan laboratoris leptospirosis di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan RS Persahabatan, Jakarta . Majalah kedokteran Indonesia Vol : 50 Nomor : 2
Februari 2000
Pohan H. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam : Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2003. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 2003: 68-75.
Soetanto T, Soeroso S, Ningsih S. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI. 2004
Speelman P. Leptospirosis. In : Braunwauld E, Kasper D, Fauci A, etc. Harrisons Principles
of Internal Medicine,16th ed. New York : McGraw-Hill, 2005 : 988-991
Tanomkiat W, Poosawat P. Pulmonary radiographic findings in 118 leptospirosis patients.
Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2005; 36 : 1247-51
Thanachai Panaphut, Somnuek Domrongkitchaiporn,Asda Vibhagool, Bandit Thinkamrop,
Wattanachai Susaengrat. Ceftriaxone Compared with Sodium Penicillin G for
Treatment of Severe Leptospirosis. Clinical Infectious Diseases 2003; 36:150713
Zein U . Leptospirosis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006 : 1845-8
Zulkarnain I. Management of leptospirosis, recent development. Dalam : Current Diagnosis
and Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2003: 76-81