Anda di halaman 1dari 46

SINUSITIS + POLIP NASI

Paper ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti Kepaniteraan Klinis Senior
Bagian Telinga Hidung Tenggorokan (THT) Rumah Sakit Umum Haji Medan

DISUSUN OLEH :

M. Dirgantara HR
Regi Mohammad Rochmat
Cindy Tiara

PEMBIMBING :
dr. Yuliani Maradiati Lubis, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga Paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul
“SINUSITIS + POLIP NASI”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dara cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan dalam
penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari semua pihak.
Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat bermanfaat bagi
pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Yuliani M. Lubis, Sp.
THT-KL yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam menyelesaikan paper ini.
Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah bekerja sama membantu
menyusun laporan kasus ini..
Akhirnya semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Medan, Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL..............................................................................................................i

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG.......................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................2

A. ANATOMI....................................................................................................................2

B. SINUSITIS....................................................................................................................2

1. Definisi......................................................................................................................7

2.Epidemiologi..............................................................................................................9

3.Etiopatogenesis..........................................................................................................9

4.Manifestasi Klinis....................................................................................................11

5.Diagnosis..................................................................................................................13

6.Tatalaksana...............................................................................................................19

7.Prognosis..................................................................................................................20

B POLIP NASI.................................................................................................................2

1. Definisi......................................................................................................................7

2.Epidemiologi..............................................................................................................9

3.Etiopatogenesis..........................................................................................................9

4.Manifestasi Klinis....................................................................................................11

5.Diagnosis..................................................................................................................13

iii
6.Tatalaksana...............................................................................................................19

7.Prognosis..................................................................................................................20

BAB III KESIMPULAN....................................................................................................22

LAPORAN KASUS

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari–hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis didefiniskan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu
oleh rinitis sehingga sering disebut (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri .1,2
Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian
antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan
60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh
seorang praktisi kesehatan, dan sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis
maksilaris.3
Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, aktivitas harian dan kenyamanan. Polip
nasi merupakan mukosa hidung yang mengalami inflamasi dan menimbulkan prolaps mukosa di
dalam rongga hidung. Polip nasi ini dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau
tanpa bantuan endoskopi.8,9
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari
hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa
dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat
prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan
dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi
polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006).10,11
Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini,
polip nasi maSih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi
yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan

5
tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI

1. Anatomi Sinus Paranasal

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi.
Sinus – sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai
dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus
etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi,
yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam
kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.1

Secara embrionik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai dari fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid sudah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2

Gambar 1. Sinus Paranasal dan Ostiumnya

6
Gambar 1. Sinus Paranasal dan Ostiumnya

1). Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus
ialah permukaan fasial os maksilla yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.2

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :2

a) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (p1
dan p2), dan molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar 3,
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi
geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
7
b) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
c) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang
sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Gambar 2. Sinus Maksilaris


2). Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel- sel infundibulum etmoid. setelah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempuyai satu sinus frontal, dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.2
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinusnya berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,

8
sehingga infeksi dan sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.2

3). Sinus Etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir- akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi:2
1) Sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus posterior.
2) Sinus posterior yang lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior
dari lamina basalis
Di bagian terdepat sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut pula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.1,2
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.2
4). Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya,
dalam 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bangian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.2
Batas-batasnya adalah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.2
B. Hidung

9
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal
hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi
anterior kartilago septum.9

hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum
nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum
nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.9

10
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior,
Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea
dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.9
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior.Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis
os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona
prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila,
dan kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine
dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung.

Gambar 2.3 Septum nasi

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di belakangnya
terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral

11
terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka
media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 9
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius, dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius
terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.9
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,
yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat
pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika,
sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.9

A. DEFINISI

2.2 Sinusitis

1) Definisi

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya


disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya
ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti
oleh infeksi bakteri.3

2) Etiologi

12
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi, seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.3

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis


sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk mengangkat sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos
leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.3

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah streptococcus Pneumonia (30-50%). Hemophylus Influenzae (20-40%) dan
Moraxella Catarrhalis (4%). Pada anak, M.Catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang
ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan anaerob.3

13
3) Patogenesis

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mokosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang bersifat sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan.3
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis
non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Gangguan penyerapan dan aliran udara di dalam sinus juga
menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi oleh selaput
permukaan sinus akan menjadi lebih kental dan menjadi mudah untuk bakteri timbul dan
14
berkembang biak. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan
terapi antibiotik.3,5
Jika terapi ini tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan
ini mungkin diperlukan tindakan operasi.3

4) Manifestasi Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat
disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah
sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (reffered pain). Nyeri pada pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara
atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh
kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks,
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang
ada nyeri alih ke gigi dan telinga.3

Selain itu, gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala
yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti aspirin. Wajah terasa
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, seperti sewaktu naik
atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri
pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk inisiatif non-produktif seringkali ada. Transluminasi berkurang bila
sinus penuh cairan.3,5

5). Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari
luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transluminasi, pemeriksaan radiologic
dan sinoskopi.2,3
15
a) Pemeriksaan Fisik
 Pada Inspeksi, yang diperhatikan adalah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan
mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas
mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan
pembengkakan di luar, kevuali bila telah terbentuk abses.
 Pada palpasi, didapatkan nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan
adanya sinus maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar frontal, yaitu
pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di
daerah kantus media.
 Transluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
memeriksa sinus maksila dan sinus frontal. Bila pada pemeriksaan transluminasi
tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa
antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang
besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.
Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas penggunaannya.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi


sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda yang khas adalah adanya pus
di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus
superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) Pada rinosistis akut, mukosa edema dan
hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.2,3

b) Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi
water, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar
seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-
cairan (air-fluid level) atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standard
diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit
dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.

16
 Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret dari
meatus medius/superior, untuk mendapatkan secret yang tepat guna. Dan lebih baik
lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
 Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui
meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang
sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.3

Pada tahun 1997, American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-

17
HNS), menerbitkan kriteria diagnosis berdasarkan gejala dan tanda sinonasal, yang dibagi
menjadi kriteria mayor dan minor. Terdapatnya 2 atau lebih tanda mayor, atau 1 mayor dan 2
minor, maka dikatakan sugestif sinusitis.6

Kriteria diagnosis sinusitis

Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala

Sekret nasal purulen Batuk

Demam Rasa lelah

Kongesti nasal Halitosis

Obstruksi nasal Nyeri gigi

Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan pada telinga


Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor
dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

6). Tatalaksana

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah komplikasi dan


3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM
sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.3

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman
telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat
atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selam 10-14 hari
meskipun gejala klinik sudah hilang.3
18
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika perlukan seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan
sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proesz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang
dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang
berat.3

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis
bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih
ringan dan tindakan radikal.3

Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis
serta sinusitis jamur.3

7). Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.


Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.3

Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid kemudian
sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul
ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus
Kelainan Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak
intrakranial. dan trombosis sinus kavernosus
Osteomielitis dan Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan
19
abses subperiostal. pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul
fistula oroantral atau fistula pada pipi
Kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang
sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

. POLIP NASI

a. Definisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak bening
karena mengandung banyak cairan. Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari celah
kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.9,13

b. Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari
hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa
dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat
prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan
dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi
polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di
Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan
prevalensi 0,2%-4,3%.9,10,11

c. Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah
hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi
genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai
ketidakseimbangan vasomotor.9
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu :13
20
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung

Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :9,10,13


 Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu karena
sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan asma, serta
temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan
alergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui
inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung.8

Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung. 7 Akan tetapi
ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip hidung juga lebih
tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma dengan onset
yang telat (late onset asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-
15%

 Ketidak Seimbangan Vasomotor


Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya tanda-
tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan tetapi
pasien cenderung mengalami rinitis prodromal sebelum pada akhirnya berkembang
menjadi polip hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang
dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam regulasi
vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip.

 Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang selanjutnya
menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif dalam KOM,
yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudia akan
terjadi infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
21
 Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi daspat
menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan membentuk
polip. Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena pengaruh gravitasi
atau drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan
pengamatan mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna
pada pasien dengan polip hidung.

 Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi
aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis yang
jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu terjadinya
rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat
berbeda pada pasien dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat
dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan
metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT).
Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi
jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2
(yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase
selanjutnya akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon
inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis.

 Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada
kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen tunggal
pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR).
Hal ini menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated chloride chanel yang
menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium.
Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan
pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari,

22
pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya
inflamasi kronis skunder.

 Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar
dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular,
pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya
dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense system superoxide
dismutase , catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat
melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler,
defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar
nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung
dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal
bebeas pada polip hidung.

 Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan
proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen
yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi
terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.

 Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus didekat
polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus enterotoxin A
(SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1
(TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan
ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan
menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan
menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan

23
dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak
50% pada penderita polip hidung.
d. Manifestasi Klinis

Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat


menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian
dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal.
Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari penyertanya, pada infeksi bakteri
dapat disertai pula dengan post nasal drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder
yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan
tidur, dan gannguan kualitas hidup.9
Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa batuk
kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma.13
Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma, intoleransi aspirin.13

e. Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea, hiposmia
atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti bernafas melalui
mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas.9

Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media dan mudah
digerakkan.9

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip masih
terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus
media, tampak pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga hidung,
Stadium 3: polip masif.9

24
Pemeriksaan Penunjang
 Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior,
akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip
koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila.9,14
 Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan
sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada
kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip
yang gagal diobati dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.14

f. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 11,14
- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
- Meminimalisir gelaja
- Meningkatkan kemampuan penghidu
- Menatalaksanai penyakit penyerta
- Meningkatkan kulitas hidup
- Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui penatalksanaan
medis dan operatif.
 Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis. Walaupun pada
beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif sebelum dan
sesudah operatif juga diperlukan.9,14
1. Antibiotik

25
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya
menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan
dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberkan
harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies Staphylococcus,
Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis
kronis.14
2. Corticosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip hidung. Selain
itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien post-operatif
polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka kekambuhan. Pemberian
dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone
propionate nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam mengatasi
polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran dari
polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.11

Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti.
Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikosteroid intranasal.
Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg
selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide
spray 0,2 mg dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan
sinus dan mengurangi ukuran polip.11
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu
methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8 mg selama 10
hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi ukuran
polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan kemampuan
penghidu.14
3. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simtomatik akan
tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan adanya

26
keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien
dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan
intoleransi aspirin.11

 Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien yang tidak
memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien dengan infeksi berulang,
serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung disertai
riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi
jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi),
etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila. Untuk
pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan navigasi
komputer dan instrumentasi power. 10,13

27
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala

Massa polip hidung Curiga keganasan


Tentukan stadium Permukaan berbenjol, mudah
berdarah

Jika mungkin : biopsy untuk


tentukan tipe polip dan lakukan
polipektomi reduksi Biopsy tatalaksana sesuai

Keterangan menentukan
stadium
Stad 2&3 Stad I & 2 Polip dalam MM (NE)
Terapi bedah Terapi medik Polip keluar dari MM
Polip memenuhi rongga
hidung

Persiapan pra
bedah
Terapi medik :
steroid topical dan atau
polipektomi medikamentosa dengan cara :
deksametason 12 mg (3 Hr) 8 mg (3 Hr)4 mgt (3 Hr)
Methylprednisolon 64 mg 10 mg (10 Hr)
Prednisone 1 mg/ kgbb (10 Hr)

Terapi bedah Tidak ada perbaikan Perbaikan Perbaikan


mengecil hilang

Tindak lanjut dengan steroid topical sembuh


Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE

Polip rekuren :
Cari faktor alergi
Steroid topical
Steroid oral tidak lebih 3-4x/ tahun
Kaustik
Operasi ulang
a. Prognosis

Bagan 1: Penatalaksanaan Polip Nasal7


g. Prognosis
Sumber : Perhati-KL, Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia
28
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini
baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi
kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering
terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia
pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus,
pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali, serta
stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan
pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal
kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung.9,10,13

29
BAB III

KESIMPULAN

Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak bening
karena mengandung banyak cairan. Etiologi polip nasi, terdapat sejumlah hipotesis mengenai
asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi
anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya dapat
menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus. Kemudian dirasakan
hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri kepala daerah frontal
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis.
Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif
sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan dengan antibiotik, korticosteroid, dan terapi
Pembedahan.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka
dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip) dapat disertai gejala
sistemik seperti demam dan lesu.
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah komplikasi dan
3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM
sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

30
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

 Nama : M. Hafifuddin Zuhri


 No. MR :374940
 Umur : 23 tahun (26 Desember 1998)
 Jenis kelamin : Laki – laki
 Pekerjaan : Belum bekerja
 Alamat : Dsn. Meunasah Telaga Meuku Dua Aceh Tamiang Banda Aceh

ANAMNESIS
Keluhan Utama :

Hidung tersumbat

Telaah :
Pasien datang ke poli THT Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan keluhan hidung tersumbat
sehingga os kesulitan untuk bernapas, keluhan ini dirasakan kurang lebih 8-10 tahun ini,
memberat sekitar kurang lebih 4 tahun ini, os juga mengatakan sering keluar lendir berwarna
bening dari kedua hidung, lendir sering keluar pada malam hari, os mengatakan nyeri pada
hidung dan nyeri pada daerah dahi, demam (-), batuk (-), bersin-bersin (-), nyeri kepala (-),
riwayat trauma (-), telinga dan tenggorokan tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

 - POLIP
Riwayat Penggunaan Obat

 -

Riwayat Penyakit Keluarga

 -

Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kebiasaan.

 -

31
Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 124/73 mmHg
Nadi : 71x/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,7 oC
BB : 50 Kg
TB : 163 Cm

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephali, deformitas (-), rambut hitam sukar dicabut
Mata : Konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik(-/-), Pupil isokor

Leher : KGB tidak teraba membesar, Massa(-), Tiroid tidak teraba membesar, kaku
kuduk (-)

Paru : Simetris, fremitus kanan=kiri, Sonor (+/+), Vesikuler (+/+)

Jantung : BJ I-II regular , murmur (-), gallop (-)


Abdomen : distensi (-), Peristaltik (+) normal, Soepel (+), nyeri tekan (-), Timpani (+) 4
kuadran abdomen
Ekstremitas : teraba hangat, CRT <2 sec, Oedem (-/-)

32
Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun telinga Kel. Kongenital - -
Trauma - -
Radang - -
Kel. Metabolik - -
Nyeri tarik - -
Nyeri Tekan - -
Dinding liang Cukup Lapang (N) + +
telinga
Sempit - -
Hiperemis - -
Edema - -
Massa - -
Sekret/Serumen Bau - -
Warna - -
Jumlah - -
Jenis - -
Membran Timpani
Utuh Warna DBN -
Refleks cahaya DBN -
Bulging - -
Retraksi - -
Atrofi - -
Perforasi Jumlah perforasi - -
Jenis - -
Kuadran - -
Pinggir - -
Mastoid Tanda radang - -

Fistel - -
33
Sikatrik - -
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -

Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Hidung luar Deformitas - -
Kelainan kongenital - -
Trauma - -
Radang - -
Massa + +

Sinus Paranasal
Inspeksi
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan + +
Nyeri ketok - -

Rinoskopi Anterior

Pemeriksaan Dextra Sinistra


Vestibulum Vibrissae - -
Radang - -
Kavum nasi Cukup lapang (N) - -
Sempit + +
Lapang - -
Sekret Lokasi +
+

Jenis Cair Cair

34
Jumlah - -
Bau - -
Konka inferior Ukuran - -
Warna - -
Permukaan - -
Edema - -
Konka media Ukuran - -
Warna - -
Permukaan - -
Edema - -
Septum Cukup lurus/ deviasi Dalam batas normal
Permukaan - -
Warna - -
Spina - -
Krista - -
Abses - -
Peforasi - -
Mass Lokasi ethmoidal choana
a Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna pucat pucat
Konsistensi - -
Mudah digoyang + +

35
Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Koana Cukup lapang (N) - -
Sempit + +
Lapang - -
Mukosa Warna - -
Edema + +
Jaringan granulasi - -
Adenoid Ada/ tidak - -
Muara tuba Tertutup sekret - -
eustachius
Massa Lokasi ethmoidal Choana
Ukuran - -
Bentuk - -
Permukaan -- -
Post nasal drip Ada/ tidak - -
Jenis - -

Orofaring dan Mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Trismus -
Uvula Edema - -
Bifida - -
Palatum mole Simetris/ tidak - -
arkus faring Warna - -
Edema - -
Bercak/ eksudat - -
Dinding faring Warna -
Permukaan -
Massa -

36
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah Muda Merah muda
Permukaan Rata Rata
Muara/kripti - -
Detritus - -
Eksudat - -
Perlengketan - -
dengan pilar
Peritonsil Warna - -
Edema - -
Abses - -
Tumor Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Gigi Karies/ radiks Tidak ada Tidak ada
Kesan Gigi geligi baik
Lidah Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal Normal
Deviasi - -
Massa - -

37
Pemeriksaan Penunjang

a. CT- Scan Sinus Paranasal

Tampak perselubungan di sinus maksillaris kiri, osthium maksillaris kiri tertutup

Mukosa sinus maksillaris kanan menebal, osthium maksilaris kanan terbuka

Tampak nodul variable size dicavum nasi kanan-kiri, sinus ethmoidalis kiri dan
coronal kiri

38
b. Foto Thorax

Sinus costofrenicus dan diafragma normal


Jantung : ukuran dalam batas normal
Paru : Corakan bronchovaskuler normal
Tidak tampak kelainan aktif spesifik dan pathologis lainnya
Kesan : Cor : Dalam Batas Normal
Paru : Dalam Batas Normal

c. Pemeriksaan laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN


Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin 16,5 11.7-15.5 g/dL
Hematokrit 49,6 40-50 %

Leukosit 6.80 4-11 ribu/mm3


Trombosit 233 150-440 ribu/mm3
Eritrosit 5.56 4.88-5.50 Juta/uL
PDW 15.9 9.0-13.0 fL

39
RDW-CV 12 11.5-14.5 %
MPV 8.2 7.2-11.1 fL
PCT 0.191 0.150-0.400 %
Index Eritrosit
MCV 89 77-95 fL
MCH 30 25-33 pg
MCHC 33 31-37 g/dL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 14 1-3 %
Neutrofil Segmen 45 50-70 %
Limfosit 35 20-45 %
Monosit 6 4-8 %
Jumlah Total Sel
Total Lymphosit 2.34 0.58-4.47 ribu/uL
Total Basofil 0.01 0-0.1 ribu/uL
Total Monosit 0.38 0.17-1.22 ribu/uL
Total Eosinofil 0.96 0-0.61 ribu/uL
Total Neutrofil 3.1 1.88-7.82 ribu/uL
Hemostasis
Masa Pendarahan (BT) 2 1-3 Menit
Masa Pembekuan (CT) 4 2-6 Menit
Kimia Klinik
Karbohidrat
Glukosa Darah 72 <200 mg/dL
Adrandom

Imunoserologi
Swab Antigen Rapid Negatif Negatif
Covid 19
Hepatitis Marker

40
HBsAG Negatif Negatif
HIV Non Reaktif Non Reaktif

Diagnosis

SINUSITIS + POLIP DEXTRA SINISTRA

Diagnosa Banding

 Angiofibroma
Terapi Awal
 Inj. Ceftriaxone 1 amp / 12 jam
 Inj. Dexamethasone 1 amp/ 12 jam

41
Laporan pembedahan

Operasi Functional Endoscopic Sinus Surgery dan Polipektomi

Tanggal : 24 Febuari 2022

Pukul : 13.00 WIB

Operator : dr. Amran Simanjuntak, Sp. THT-KL (K)

Ahli anestesi : dr. Asmin Lubis Sp.An

Jenis anestesi : Geneal anestesi (ETT)

Diagnosa Pra- bedah : Sinusitis dan polip nasal

Diagnosa Pasca-bedah: Post OP FESS dan polipektomi

Indikasi operasi : Sinusitis dan polip nasal

Keadaan pra bedah : TD : 123/80 mmHg

HR : 80x/ menit

RR : 20x/ menit

T : 36,6o C

Terapi post OP :
1. Inj. Ceftriaxone 1 amp / 12 jam
2. Inj. Ranitidine 1 amp / 12 jam
3. Inj. Ketorolac 1 amp/ 8 jam
4. Inj. Asam tranexamat 1 amp/ 8 jam

Follow Up

Tanggal S O A P
24-02-22 Hidung Sensorium: Sinusitis + 1. Inj. Ceftriaxone
tersumbat (+) Compos polip nasal 500mg / 12 jam
Annisa mentis 2. Inj. Dexamethasone 1
42
(sebelum HR: amp/ 12 jam
operasi) 80x/menit
RR:
20x/menit
T : 36ºC
SpO2: 98%

25-01-22 Nyeri pada Sensorium: Post FESS + 1. Inj. Ceftriaxone 1


bekas luka Compos polipektomi amp / 12 jam
Annisa operasi (+) mentis 2. Inj. Ranitidine 1
(Post SN : 6 amp / 12 jam
operasi) HR: 3. Inj. Ketorolac 1
90x/menit amp/ 8 jam
RR: 5. Inj. Asam
21x/menit tranexamat 1 amp/
T : 36,5 ºC 8 jam
SpO2: 100 %
Luka operasi
tertutup
perban (+)

26-01-22 Nyeri pada Sensorium: Post FESS 1. Inj. Ceftriaxone 1


bekas luka Compos amp / 12 jam
operasi terasa mentis 2. Inj. Ranitidine 1
berkurang SN : 4 amp / 12 jam
HR: 3. Inj. Ketorolac 1
85x/menit amp/ 8 jam
RR: 20 4. Inj. Asam
x/menit tranexamat 1 amp/
T : 36.6 ºC 8 jam
SpO2: 100 %
Luka operasi
tertutup
perban (+)

27-01-22 Nyeri pada Sensorium: Post FESS + 1. Ganti Verban


bekas luka Compos polipektomi 28/02/22
operasi terasa mentis 2. Inj. Ceftriaxone 1
berkurang SN : 3 amp / 12 jam
HR: 3. Inj. Ranitidine 1
43
88x/menit amp / 12 jam
RR: 20 4. Inj. Ketorolac 1
x/menit amp/ 8 jam
T : 36.7 ºC 5. Inj. Asam
SpO2: 100 % tranexamat 1 amp/
Luka operasi 8 jam
tertutup
perban (+)

28-02-22 Nyeri pada Sensorium: Post FESS + 1. Ganti Verban


bekas luka Compos polipektomi 2. Inj. Ceftriaxone 1
operasi terasa mentis amp / 12 jam
berkurang SN : 2 3. Inj. Ranitidine 1
HR: amp / 12 jam
92x/menit 4. Inj. Ketorolac 1
RR: 20 amp/ 8 jam
x/menit 5. PBJ
T : 36 ºC
SpO2: 100 %
Luka operasi
tertutup
perban (+)

29-01-22 Obat Pulang


1. Amoxicillin 500 mg
tab 3x1
2. Paracetamol 500mg
tab 3x 1
3. Dexamethasone tab
2x1
4. Ibu profen tab 2 x 1

44
DAFTAR PUSTAKA
1. Higler, P.,A.. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit
THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC. 1997.hal.173-190
2. Mangunkusumo, Endang., Damajanti Soetjipto. Sinus Paranasal. Dalam : Soepardi Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:
FKUI. 2007.hal.145-149
3. Mangunkusumo, Endang., Damajanti Soetjipto. Sinusitis. Dalam : Soepardi, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI.
2007.hal.150-153
4. Patel AM, Vaughan WC. 2005. Chronic Maxillary Sinusitis Surgical Treatment. Medscape
Refference. Available at: http://www.emedicine.com. Accessed : Maret 2nd , 2012
5. Higler, P.A. Penyakit Sinus Paranasal. Dalam : BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi
Keenam. Jakarta: EGC.1997.hal.240-260
6. Lane, Andrew P., David W. Kennedy. Sinusitis dan poliposis. In : Ballenger
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 3th edition. Northwestern university. Chicago.
2003. p.760-786
7. Mangunkusumo, Wardani. Polip Hidung. Dalam : Soepardi Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. 2007.hal.123-
125
8. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of the Nose,
Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme, 2006,
h. 2 – 13
9. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001,
h. 88 – 95
10.Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal Polyps that Require
Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-75
11. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87

12.Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc Thai. 2005 : 88
(12) :1966-72

45
13.Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps. Current Option in
Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 : 27-36
14. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-KL di
Indonesia. 2007. Hal 25

46

Anda mungkin juga menyukai