Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

SINUSITIS DAN POLIP

Disusun Oleh:

RAISAH HULAIMAH NASHRUDDIN

NIM. I4061222054

Pembimbing:

dr. Saiful Bahri Bangun, SP. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT-KL

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

RSUD DR. SOEDARSO PONTIANAK

2023
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul:

Sinusitis dan Polip

Disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik

Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Dr. Soedarso Pontianak

Pontianak, 2 Mei 2023

Pembimbing Diskusi Topik Penyusun

dr. Saiful Bahri Bangun, SP. THT-KL Raisah Hulaimah N.

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Sinusitis dan
Polip”. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik stase
Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.

Penulisan referat ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan
serta dari semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Saiful Bahri Bangun, SP. THT-KL
selaku pembimbing referat di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso
Pontianak yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta saran yang
membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga saya ucapkan kepada para tenaga medis
terutama kak Ely dan Kak Yosi serta staff rumah sakit yang telah membantu selama
saya mengikuti kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso
Pontianak dan juga berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
selanjutnya. Akhir kata, semoga penulisan referat ini bermanfaat bagi banyak pihak,
khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

Pontianak, 2 Mei 2023

Raisah Hulaimah N.

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sinusitis menjadi salah satu penyakit yang paling banyak ditemui pada
kasus THT-KL. Penyebab sinusitis paling banyak adalah infeksi virus (common
cold) dan infeksi oleh bakteri.1
Menurut survei nasional di Amerika tahun 2018, sebanyak 28,9 juta
(11,6%) orang dewasa menderita sinusitis. Sinusitis di Indonesia menduduki
peringkat 25 dari 50 penyakit peringkat utama dengan jumlah 102.817 penderita.
Penelitian yang dilakukan di THT RSCM menunjukkan sebanyak 50% dari 496
pasien rawat jalan menderita sinusitis kronik. Angka ini lebih besar jika
dibandingkan dengan negara lain. Salah satu penelitian di RSU Palembang
menunjukkan perbandingan jenis kelamin pada penderita sinusitis sebanyak 7:5
2,3,4
(laki-laki:perempuan) dari 140 kasus sinusitis.
Polip nasi didefinisikan sebagai lesi mukosa hidung atau sinus paranasal
yang diakibatkan oleh respon inflamasi atau infeksi. Polip nasi adalah masa
lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih
keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip bisa terjadi pada
laki-laki maupun perempuan dan tidak terbatas pada usia (dari anak hingga usia
lanjut). 1
Negara-negara di Eropa dan Finlandia melaporkan sebanyak 1-2% dan
4,2% orang dewasa menderita polip nasi sedangkan di Amerika Serikat
prevalensi polip nasi sebanyak 1-4%. Prevalensi pada anak sangat jarang
ditemukan dan dilaporkan. Studi epidemiologi di Indonesia menunjukkan
perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menderita polip nasi
1,2
sebesar 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal


2.1.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Hidung 5

Gambar 2.2 Struktur tulang dan kartilago hidung 5


Tulang hidung merupakan tulang rawan yang melekat ke aperture
piriformis melalui jaringan ikat.6 Batang hidung (dorsum nasi) terdiri atas:
1) Bagian yang keras (kranial): os nasalis kanan dan kiri, processus frontalis
os maksila
2) Bagian yang lunak (kaudal)L: kartilago lateralis dan kartilago alaris

5
Gambar 2.3 Cavum nasi 6
Terdapat rongga sempit di antara konka dan dinding lateral hidung yang
disebut meatus. Terdapat 3 meatus yaitu 6:
a) meatus inferior → terdapat muara ductus nasolakrimalis
b) meatus medius → terdapat muara sinus frontal, sinus maksilaris dan
sinus ethmoid anterior
c) meatus superior → terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus
sphenoid

Kompleks Osteomeatal (KOM)

Gambar 2.4 Kompleks Osteomeatal dan Klirens Mukosiliar 7


Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan sekumpulan ostium yang
bermuara pada meatus medius dan secara anatomis merupakan darah konstriksi
yang cenderung tertutup. Selain itu, diameter fungsionalnya juga kecil, sebagai

6
contoh ostium sinus maksila hanya sebesar 2-4 mm, sedangkan ostium sel
etmoid lebih kecil lagi. Kompleks osteomeatal berperan sangat penting terhadap
fungsi sinus dan kesehatan sinus. Terdapat hubungan antara meatus medius dan
sinus anterior terutama sel etmoid anterior. Jika ada kerusakan anatomis seperti
konka bulosa atau ada proses peradangan yang memungkinkan dua permukaan
mukosa kontak secara langsung, akan muncul stasis siliar lokal yang kemudian
menyebabkan satu atau lebih infeksi sinus.7
Sinus Paranasal
Sinus paranasal sangat bervariasi bentuknya pada setiap individu. Ada
empat pasang sinus sphenoid kanan dan kiri. Pneumatisasi tulang-tulang kepala
menghasilkan rongga yang kemudian disebut sebagai sinus paranasal. Semua
sinus mempunyai muara (ostium) ke rongga hidung,1
Secara embriogenik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus ethmoid telah ada saat
bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembangn dari sinus ethmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun,1

Gambar 2.5 Sinus Paranasal Anterior (kiri) dan Lateral (kanan)8

7
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml yang kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.1
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaaan infratemporal maksila, dinding mediannya adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada
di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara di hiatus semilunaris
melalui infundibulum ethmoid.1
Anatomi sinus maksila jika diperhatikan dari segi klinik adalah 1:
1) Dasar sinus maksila sangat dekat dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P! dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia dan harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat proses peradangan atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau sel-sel infundibulum
ethmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.1
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang

8
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih
5% sinus frontalnya tidak berkembang.1
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 sm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk
dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.1
Sinus Ethmoid
Sinus ethmoid adalah sinus yang paling bervariasi dan dianggap paling
penting dari semua sinus paranasal karena bisa menjadi pusat infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Orang dewasa memiliki bentuk sinus ethmoid seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukuran dari anterior ke posterior
4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebar 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.1
Sinus ethmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang merupakan
sarang tawon yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya
bervariasi. Berdasarkan letaknya sinus ethmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus ethmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus ethmoid anterior biasanya kecil-kecil
dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior
konka media dengan dinging lateraal (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus
etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dan lamina basalis.1
Terdapat bagian sempit pada sinus etmoid anterior yang disebut resesus
frontal, yang terhubung dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut
bua r=ethmoid, Terdapat daerah penyempitan pada ethmoid anterior yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila.1

9
Sinus Sphenoid
Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus ethmoid
posterior. Sinus sphenoid dibagi menjadi dua oleh sekat yang disebut inter
sphenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7
cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dan nervus di bagian lateral os sphenoid akan semakin dekat dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sphenoid.1
Superior dari sinus sphenoid dibatasi dengan fossa serebri media dan
kelenjar hipofisa, bagian anterior dibatasi dengan atap nasofaring, lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak
sebagai indentasi) dan bagian posterior dibatasi dengan fossa serebri posterior
daerah pons.1
2.1.2. Fisiologi Penghidu
Proses penghidu dimulai dari zat pembau yang terhirup. Zat terkebut
kemudian bercampur dengan mukus olfaktorius. Mukus olfaktorius
mempresentasikan zat pembau dengan dipengaruhi oleh daya serap, daya larut
dan reaktivitas kimia. Protein pengikat yang bersifat mudah larut mempermudah
akses zat pembau ke reseptor olfaktorius. Pada permukaan silia olfaktorius,
informasi kimiawi berubah menjadi potensial aksi listrik, Aksi listrik terjadi
pada saat zat pembau berinteraksi dengan protein reseptor yang disebut protein
G. Protein G mengaktifkan adenylyl cyclase yang mengubah ATP menjadi cyclic
adenosine 3 monophosphate (cAMP). cAMP membuka saluran ion yang
menyebabkan masuknya ion natrium Na2+ dan kalsium (Ca2+) serta
mencetuskan potensial aksi sepanjang akson sel olfaktorius. Akson sel
olfaktorius menembus lamina kribosa dan bersinaps dengan lapisan glomerulus
di bulbus olfaktorius.9
Pada bulbus olfaktorius terjadi integrasi sinyal antara akson dengan
dendrit sel mitral. Setelah itu sinyal menuju sistem saraf pusat dengan mengikuti
tiga jara. Jaras pertama di bulbus olfaktorius menuju ke tuberkulum olfaktorius,
melewati bagian medial inti dorsalis talamu dan berakhir pada korteks
orbitofrontal. Jaras ini memberikan persepsi bau secara sada. Jaras kedua dari
bulbus olfaktorius menuju ke korteks piriformis dilanjutkan ke amigdala dan

10
korteks entorhinal berakhir pada hipotalamus, midbrain dan hipokampus. Jaras
ini melewati sistem limbik sehingga memediasi aspek memori sistem penghidu.
Jaras ketiga bersifat bilateral dimana jaras ini menghubungkan informasi dari
dua sisi bulbus olfaktorius. Jaras dari bulbus olfaktorius dilanjutkan ke nukleus
olfaktorius anterior ipsilateral dan diteruskan ke nukleus olfaktorius anterior
kontralateral.9

2.2 Sinusitis
2.2.1. Definisi
Sinusitis adalah keadaan di mana mukosa sinus paranasal mengalami
inflamasi. Sinusitis biasanya disertai atau disebabkan oleh rinitis sehingga
sering disebut rhinosinusitis. Penyebab terbanyak dari sinusitis adalah selesma
(common cold) akibat infeksi virus atau bakteri. Apabila beberapa sinus
mengalami inflamasi maka disebut multisinusitis, sedangkan jika semua sinus
paranasal mengalami inflamasi maka disebut pansinusitis.1
2.2.2. Epidemiologi
Menurut data kesehatan nasional Amerika pada tahun 2018, sebanyak
29,9 juta (11,6%) orang dewasa mengalami sinusitis.2 Penyakit sinusitis di
Indonesia menempati urutan ke 25 dari 50 pola penyakit peringkat utama
dengan jumlah pasien rawat jalan sekitar 102.817 orang. Hasil penelitian di
THT-FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50% penderita
sinusitis kronik. Angka tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan negara
lain.3 Salah satu penelitian yang dilakukan di RSU Palembang tahun 2015
menunjukkan perbandingan kasus sinusitis pada laki-laki dan perempuan
sebanyak 7:5.4
2.2.3. Etiologi
Penyebab dari sinusitis diantaranya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Atas) akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal
pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi geligi, kelainan imun, diskinesia silia seperti pada sindrom
Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.1

11
Hipertrofi adenoid menjadi penyebab sinusitis tersering pada anak
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral.1
Faktor lain yang bisa menjadi penyebab adalah kondisi lingkungan yang
berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama
kelamaan dapat menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1
2.2.4. Klasifikasi
Sinusitis diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan
lokasi, waktu dan penyebabnya.
Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasinya, sinusitis dibagi menjadi 1:
a) Sinusitis maksilaris: menyebabkan nyeri daerah maksila seperti sakit gigi
dan kepala
b) Sinusitis frontalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang dan atas
mata
c) Sinusitis ethmoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang ,ata,
maupun sakit kepala
d) Sinusitis sphenoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata,
tetapi lebih sering pada vertex kepala
Berdasarkan Waktu
Berdasarkan waktunya, sinusitis dibagi menjadi 10:
a) Sinusitis akut: onset mendadak, berlangsung kurang dari 4 minggu
dengan resolusi lengkap
b) Sinusitis subakut: sebuah rangkaian dari sinusitis akut tetapi kurang dari
12 minggu
c) Sinusitis akut rekuren: empat atau lebih episode akut, masing-masing
berlangsung setidaknya 7 hari, dalam periode 1 tahun
d) Sinusitis kronis: tanda dan gejala bertahan selama 12 minggu atau lebih.
Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, sinusitis dibagi menjadi 11:

12
a) Rhinogenik (adanya kelainan atau masalah pada hidung), segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Sebagai contoh: rinitis akut karena influenza, polip nasal dan deviasi
septum. Tipe ini dapat terjadi juga karena perluasan infeksi yang berasal
dari hidung. Sinusitis rinogen lebih sering terjadi dibandingkan dengan
sinusitis dentogen
b) Dentogenik/ Odontogenik (adanya kelainan pada gigi geligi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pree molar
dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branhamella catarrhalis.
2.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi sinusitis berawal dengan proses inflamasi pada mukosa
hidung yang menimbulkan pembengkakan (udem) dan proses eksudasi. Udem
menyebabkan gangguan pada sistem transpor mukosiliar. Kondisi ini
memungkinkan bakteri untuk berkembang biak. Oksigen yang terperangkap di
rongga sinus akan diabsorbsi oleh mukosa sehingga menyebabkan hipoksia.
Hipoksia merupakan kondisi di mana pH dan kadar oksigen menurun dan
ditemukan adanya tekanan negatif dalam rongga sinus. Keadaan ini
menyebabkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar meningkat sehingga
terjadi transudasi. Semakin banyaknya eksudat serosa yang disertai dengan
penurunan fungsi silia menyebabkan terjadinya retensi sekresi di rongga sinus.
7

2.2.6. Manifestasi Klinis


Keluhan utama pasien sinusitis akut berupa hidung tersumbat disertai
nyeri atau rasa tertekan pada area wajah dan ingus kuning kehijauan. Ingus
pada anak sering turun ke tenggorokan dan menyebabkan sesak serta batuk
(post nasal drip). Gejala lainnya bisa berupa demam dan malaise.1
Keluhan nyeri atau rasa tertekan di daerah sinus yang tertekan
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta terkadang nyeri juga terasa di tempat
lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinus maksila, nyeri diantara atau
di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau

13
seluruh kepala menandakan sinus frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri
dirasakan di daerah vertex, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid.
Pada sinusitis maksila terkadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.1
Manifestasi klinis sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit untuk
didiagnosa. Terkadang hanya 1 atau 2 gejala yang muncul, seperti sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga
akibat adanya sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan paru (seperti
bronkitis, sinobronchitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati, Pada anak mukus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.1
2.2.7. Diagnosis
Sinusitis didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1 Berdasarkan gejalanya dibagi menjadi gejala mayor
dan gejala minor. Dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor ditambah
dia gejala minor sudah mengarah pada sinusitis dan diagnosis dikonfirmasi
dengan pemeriksaan radiologi Adapun gejala mayor dan minor dari sinusitis
dapat dilihat pada tabel 2,1.
Tabel 2.1 Gejala mayor dan minor sinusitis 12

Gejala Mayor Gejala Minor

Nyeri di daerah wajah Sakit kepala


Rasa penuh pada hidung Demam
Hidung tersumbat Halitosis
Ingus kuning kehijauan Malaise
Hiposmia atau anosmia Sakit Gigi
Ditemukan sekret purulen saat pemeriksaan fisik Batuk
Rasa penuh di telinga
Pemeriksaan fisik pasien diduga sinusitis dilakukan rinoskopi anterior
dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
yang lebih tepat dan dini. Temuan pada pemeriksaan fisik yang khas adalah
sekret purulen di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior
dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoid posterior dan
sphenoid). Edema mukosa dan hiperemis dapat ditemukan pada sinusitis akut.
Sering ditemukan edema dan hiperemis di daerah kantus medius pada anak.1

14
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah foto polos atau CT
Scan. Posisi foto polos menggunakan posisi Waters, PA dan lateral.
Pemeriksaan foto polos hanya dapat menilai sinus-sinus besar seperti maksila
dan frontal dengan gambaran kelainan berupa perselubungan opak, batas
udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.1
Gold standard pemeriksaan sinusitis adalah CT Scan karena dapat
menilai anatomi hidung dan sinus lebih detail serta dapat menggambarkan
kondisi penyakit sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun
pemeriksaan menggunakan CT Scan memiliki kekurangan yakni harganya
yang relatif lebih mahal daripada foto polos sehingga hanya dilakukan sebagai
penunjang diagnosis pada sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi
sinus.1

Gambar 2.6 Perbandingan sinus normal dengan sinusitis 13

15
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram
dan gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret di meatus medius atau superior, untuk mendapatkan
antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari
pungsi sinus maksila.1
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk
terapi.1

2.2.8. Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatannya
adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi
sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi
pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik
yang dipilih adalah golongan penisislin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan
amoksisilin-klavulanat atau memproduksi jenis sefalosporin generasi ke-2.
Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis
sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk
bakteri gram negatif dan anaerob.1
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan , seperti analgetik, mukolitik , steroid oral/ topikal, pencucian
rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak
rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi
lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi
ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan
terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan
jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.1

16
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal.1 Indikasi dilakukannya BSEF 1:
a) Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b) Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel
c) Polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur
2.2.9. Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.1
Komplikasi sinusitis diantaranya:
a) Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis ethmoid,
kemudian sinus frontalis dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan
selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.1
b) Kelainan Intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus
c) Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau distula
pada pipi.
d) Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis, Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
2.2.10. Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40% akan sembuh
tanpa pemberian antibiotik. Terkadang penderita juga bisa mengalami relaps

17
setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5%. Komplikasi
dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak adanya pengobatan yang adekuat dan
nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, abses otak atau
komplikasi diluar sinus lainnya. Sedangkan prognosis untuk sinusitis kronik
yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan mendapatkan hasil yang
baik.14

2.3 Polip Nasi


2.3.1. Definisi
Polip nasi merupakan perlukaan pada mukosa hidung atau sinus
paranasal yang terjadi karena adanya respon inflamasi atau bisa disebabkan
juga karena stimulus infeksi. Polip nasi adalah masa lunak yang mengandung
banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang
terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada laki-laki maupun
perempuan tanpa batasan usia.15
2.3.2. Etiologi
Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya polip nasi, bisa karena
infeksi, inflamasi, non infeksi, kelainan anatomis maupun abnormalitas
genetik. Beberapa teori menyebutkan bahwa polip sebagai manifestasi dari
inflamasi kronis pada rongga hidung. Predisposisi terjadinya polip antara lain
seperti rinitis alergi maupun non alergi, sinusitis, intoleransi aspirin, asma,
Churg-strauss syndrome, kista fibrosis, Kartagener syndrome dan Young
syndrome.15
2.3.3. Epidemiologi
Persebaran penderita polip nasi masih belum diketahui jumlahnya secara
pasti. Prevalensi polip nasi di Eropa pada orang dewasa sebanyak 1-2% dan di
Finlandia sebanyak 4,2%. Prevalensi polip nasi di Amerika Serikat sebanyak
1-4%. Polip nasi pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan
hanya sekitar 0,1%. Studi epidemiologi di Indonesia menunjukkan
perbandingan laki-laki dan perempuan yang terkena polip nasi sebanyak 2-3:1
dengan prevalensi 0,2%-4,3%.15

18
2.3.4. Patogenesis
Polip nasi sering disebabkan karena inflamasi kronik, disfungsi saraf
otonom dan kerentanan genetik. Menurut Berstein, perubahan mukosa hidung
disebabkan oleh peradangan atau turbulensi aliran udara, terutama pada bagian
sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh
reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan
penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi cairan
sehingga terbentuk polip.1
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskuler yang
mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian
akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.1
2.3.5. Diagnosis
Gejala klinis polip nasi dapat diketahui lewat anamnesis seperti obstruksi
hidung yang menetap, hidung yang berair terus-menerus, gangguan penghidu,
sakit kepala, post nasal drip, bersin, epistaksis, mendengkur, namun bisa juga
tanpa gejala. Keluhan anosmia dan hiposmia menyusul berkurangnya
kemampuan membedakan rasa juga ditemukan. Polip nasi dapat menutup ostia
dari sinus sehingga menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi pada sinus.16
Pemeriksaan fisik rinoskopi anterior dapat ditemukan massa tunggal atau
multiple keabuan, paling sering berasal dari meatus medius dan prolaps ke
cavum nasi. Polip nasi tampak licin, semi translusen. Massa ini terdiri atas
jaringan ikat jarang, edema sel inflamasi dan beberapa kapiler dan kelenjar.
Massa ditutupi oleh beberapa macam sel epitel, paling banyak adalah epitel
respirasi pseudostratified dengan sel goblet dan silia. Polip nasi yang masif
dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar
karena pelebaran batang hidung. Pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat massa
yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakan.
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997):16

19
a) Stadium 1: polip terbatas di meatus medius
b) Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di
rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
c) Stadium 3: polip masif.
Pemeriksaan nasoendoskopi sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 terkadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi.Tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila
juha bisa dilihat pada kasus polip koanal.16
Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos sinus paranasal (posisi
Waters, AP, Calwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan
adanya atas air fluid level di dalam sinus, tetapi kurang terlihat pada kasus
polip, pemeriksaan CT Scan sangat berguna untuk melihat keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses peradangan, kelainan anatomi, polip
atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. CT Scan terutama diindikasikan
pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama beda
endoskopi.16
Pemeriksaan histopatologi pada polip nasi menunjukkan adanya
peningkatan infiltrasi sel radang, produksi sitokin dan kemokin, peningkatan
level IL-8 yang dapat menginduksi infiltrasi neutrofil. Terjadi peningkatan
kadar serum IgA dan IgE juga pada polip nasis. Mukosa hidung pada sinonasal
poliposis ditemukan sel eosinofil, sel mast dan sel plasma yang meningkat.
Terjadi peningkatan serum IgE pada sinonasal poliposis. Berdasarkan
histopatologi, polip nasi dibagi menjadi dua yaitu alergi dan non-alergi.
Histopatologi pada polip nasi alergi ditemukan dominasi sel inflamasi
eosinofil, mucin alergi, hiperplasia sel goblet dan hipertrofi kelenjar. Polip nasi
mengandung banyak sel radang yang berperan penting untuk mengetahui
penyebab polip nasi tersebut.16

20
Gambar 2.7 Polip nasi 17

Gambar 2.8 Perkembangan polip nasi 17


2.3.6. Tata Laksana
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan keluhan-keluhan,
mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Kortikosteroid dapat
diberikan secara topikal maupun sistemik untuk menghilangkan polip nasi.
Polip eosinofilik merespon pengobatan kortikosteroid intranasal lebih baik
daripada polip neutrofilik.13
Tindakan pembedahan dapat dilakukan apabila polip nasi yang tidak
kunjung membaik dengan terapi medikamentosa atau kondisi polis yang
massif. Pembedahan atau polipektomi dapat dilakukan menggunakan senar
polip atau cunam dengan analgesik lokal. Etmoidektomi intranasal atau
etmoidektomi ekstranasal digunakan untuk polip etmoid. Operasi Caldwell-Ius
untuk sinus maksila. Tindakan operasi akan lebih baik jika dapat dilakukan
dengan endoskopi.13
2.3.7. Prognosis
Prognosis polip nasi terbilang baik, namun tergantung kembali terhadap
pola hidup dan perilaku pasien. Pengobatan polip nasi dan kekambuhannya

21
bergantung pada penyebab, seperti reaksi alergi. Menghindari alergen menjadi
terapi paling ideal pada kasus-kasus alergi. Pemberian antihistamin dengan
atau tanpa dekongestan topikal juga dapat diberikan jika reaksi alergi muncul.
Imunoterapi dapat dilakukan pada pasien dengan alergi inhalan dengan gejala
berat dan sudah berlangsung lama jika pengobatan lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan.17

22
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasal yang sering


disebabkan oleh rinitis sehingga bisa disebut sebagai rhinosinusitis. Penyebab utama
sinusitis yaitu selesma (Common cold) infeksi virus maupun bakteri. Keluhan utama
sinusitis akut berupa hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tertekan di daerah wajah
dan ingus kuning kehijauan, post nasal drip dan dapat juga disertai dengan demam dan
malaise.

Polip nasi adalah massa lunak berisi cairan yang terdapat di dalam rongga
hidung, berwarna keabu-abuan, disebabkan oleh inflamasi mukosa. Penyebab polip nasi
antara lain: alergen, infeksi jamur, intoleransi aspirin asma, sindrom Churg-strauss, kista
fibrosis, primary ciliary, diskinesia dan sindrom Kartagener.Gejala polip nasi berupa
hidung tersumbat, ingus jernih hingga kuning-kehijauan, hiposmia atau anosmia,
terkadang juga disertai bersin-bersin, nyeri daerah hidung, dan sakit kepala daerah
frontal.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,


Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2017.

2. CDC. Summary Health Statistics Tables for U.S. Adults: National Health
Interview Survey. 2018

3. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam


Malik pada tahun 2011. Medan: Jurnal FK USU. 2013.

4. Amelia NL, Puspa Z, and Denny S U. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di RSUP


Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya 49.2. 2017.
h.75-82.

5. Ballenger JJ. Anatomy and Physiology Of The Nose And Paranasal Sinuses.In:
Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.6th ed.Hamilton: BC
Decker Inc; 2003. h.547-60

6. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas of Human Anatomy Head, Neck and


Neuroanatomy. 15th Edition. Munchen: Elsevier Urban & Fischer. 2015

7. Maharyati, Rani, and Irwan Kristyono. Peranan Irigasi Nasal Larutan Garam
Pada Rinosinusitis Kronis. Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fak Kedokteran Univ Airlangga-RSUD Dr
Soetomo Surabaya. 2007.

8. Drake, R. L., Vogl, A. W. & Mitchell, A. W. M. GRAY Dasar-Dasar Anatomi.


1st ed. Singapore: Elsevier. 2014.

9. Doty RL, Mishra A. Olfaction and its alteration by nasal obstruction, rhinitis,
rhinosinusitis. The laryngoscope 2001; 14: 409-23.

10. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. StatPearls. 2020.

11. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung


tenggorok-kepala leher. Jakarta: FK UI. 2010

24
12. Marple BF, Ferguson BJ. Diagnosis and management of chronic rhinosinusitis in
adults. 121(6):121–39. 2009.

13. Qalbi, R. N., & Sabir, M.. Rhinosinusitis Dengan Polip Nasi. Jurnal Medical
Profession (Medpro), 3(2).2021

14. Hoxworth. J.M, Glastonbury. C.M. Orbital and Intracranial Complications of


Acute Sinusitis. Neuroimag Clin N Am. 2010.

15. Taufiq, Fauziah Putri Amaliyah. Polip Nasi Rekuren Bilateral Stadium 2 Pada
Wanita Dengan Riwayat Polipektomi Dan Rhinitis Alergi Persisten.Jurnal
Medula 1.05 (2014): 1-6.

16. Marbun, Erna M. Penatalaksanaan polip nasi dengan operasi fungsional


endoskopi sinus. Jurnal Kedokteran Meditek. 2018

17. Mangunkusumo E, Wardani R. Polip Hidung. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. p. 101–3.

25

Anda mungkin juga menyukai